Hubungan Agama Dengan Negara

Post on 03-Mar-2016

12 views 0 download

description

Pancasila

Transcript of Hubungan Agama Dengan Negara

Dalam konteks ke-Indonesia-an, agama dan kenegaraan (Religion and Nation State) merupakan tema diskursus penting dalam konteks sosial kemasyarakatan Indonesia. Hal ini dilandasi oleh kondisi sosial kemasyarakatan ketika masa-masa awal Orde Baru yang menganggap gerakan agama sebagai gerakan ekstrim, fanatis, puritanis dan tekstualis, yang mencoba menggoyahkan sendi dasar negara Indonesia. Fakta sejarah telah menunjukan bahwa gerakan ideologisasi Islam pernah muncul dalam dekade Orde Lama, seperti adanya desakan sejumlah politikus Islam agar dilegalisasikannya kembali Piagam Jakarta. Kebanyakan masyarakat merasa dan mengetahui, atau bahkan meyakini, bahwa hubungan antara agama dan negara dalam Islam sudah sangat jelas. Yaitu bahwa antara keduanya terkait erat secara tidak terpisahkan, sekali pun dalam segi pendekatan teknis dan praktis dapat dibedakan.Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya, hubungan antara agama dan negara menjadi persoalan yang krusial di kalangan cendekiawan. Pada satu pihak, terdapat adanya hubungan antara agama dan negara, dan sebaliknya agama dan negara tidak memiliki hubungan yang signifikan. Pembentukan negara adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam bentuk demokratis, karena membentuk negara itu dapat memberikan beberapa prinsip yang dipakai dalam mewujudkan masyarakat yang dimaksud adalah: Pertama, pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah), Kedua, organisasi pemerintah yang dinamis. Ketiga, Kedaulatan. Untuk itu, membutuhkan pemikiran yang rasional untuk melengkapi hukum yang dibutuhkan masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan. Sejarah selalu mengabaikan orang yang menjadi korban/yang kalah dan hanya memperhatikan orang yang menang. Dalam hal itulah agama melibatkan diri. Agama, dengan mengintroduksi kekuatan supranatural selalu merupakan negasi terhadap segala kemacetan ideologi, keputusasaan, jalan buntu yang diakibatkan oleh sistem sosial. Agamadapat diibaratkan sebagai sumber energi yang tidak habis-habisnya ditimba umat manusiauntuk memperoleh kekuatan baru dalam mengejar apa yang disebut sebagai kebenaran.Kebenaran adalah panggilan Tuhan agar manusia hidup dalam keutuhannya. Agama dapat didefinisikan sebagai suatu realisasi sosio-individu yang hidup (dalam ajaran, tingkah laku, ritus/upacara keagamaan dari suatu relasi dengan yang melampaui kodrat manusia (Yang Kudus) dan dunianya dan berlangsung lewat tradisi manusia dan dalam masyarakatnya. Realisasi sosio-individu yang hidup ini menciptakan suatu sistem yang mengatur makna atau nilai-nilai dalam kehidupan manusia yang digunakan sebagai kerangka acuan bagi seluruh realitas. Sementara itu, istilah politik dimaksudkan seperangkat makna atau nilai-nilai serta pilihan-pilihan yang diambil dari dalam masyarakat untuk membenarkan fungsi tatanan masyarakat yang berlaku. Nilai-nilai dan pilihan-pilihan itu terjadi bila dalam masyarakat terdapat ideologi dan hubungan kekuasaan yang menjamin efektivitasnya.Sedangkan ideologi dapat diartikan sebagai bentuk imajinasi sosial yang menerangkan eksistensi suatu masyarakat, cita-cita yang hendak diwujudkan serta mendorong ke arah tindakan (praksis). Fungsi ideologi telah memberi legitimasi tindakan-tindakan serta pilihan-pilihan dalam tatanan masyarakat, karena dalam setiap ideologi terkandung tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu nilai-nilai, kepentingan-kepentingan dan pilihan-pilihan. Pilihan dapat diubah menjadi kepentingan dan kepentingan dapat menjadi nilai. Pilihan dapat juga ditingkatkan pada status nilai untuk mencapai kepentingan.Baik agama maupun politik merupakan lembaga masyarakat yang menghasilkan nilai-nilai tertentu. Nilai agama yang diyakini bersumber dari Yang Kudus dijadikan kerangka acuan seluruh realitas (dunia maupun akhirat); sedangkan nilai-nilai dalam politik sebagai kerangka acuan untuk memfungsikan tatanan masyarakat. Nilai-nilai politik ini tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang menjadi sumber nilai dan cita-cita yang diaktualisasikan oleh lembaga-lembaga politik (partai, ormas). Oleh karena itu membicarakan hubungan antara agama dan politik sebagai sistem sosial selalu berkaitan dengan ideologi.Di kebanyakan negara dunia ketiga, agama terlibat dengan ideologi pembangunannegara lewat pengejaran ketinggalan dalam iptek dan industrialisasi. Atas nama kepentingan umum/negara, pembangunan ekonomi di beri prioritas utama. Pembangunan politik (demokratisasi) diharapkan akan terwujud searah dengan naiknya keadaan perekonomian. Sementara itu kebijaksanaan pembangunan yang diatasnamakan kepentingan umum nasional selalu dikritik oleh pihak agama. Di lain pihak, kritik agama terhadap berbagai model pembangunan di dunia ketiga harus menghadapi kenyataan adanya kapitalisme dengan wajah baru lewat hadirnya perusahaan multi-nasional dengan kekuatan modal asing dan teknologinya ditambah revolusi informatika dan transportasi. Akibatnya terjadi internsionalisasi dunia usaha dan nilai budaya. Lalu apa dan bagaimana yang dapat dilakukan agama dalam situasi demikian? Menghadapi situasi zaman yang ditandai dengan internasionalisasi kehidupan ekonomi dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat pascaindustri, agama harus tetap teguh sebagai kekuatan moral.Kebijakan keagamaan di Indonesia telah menempuh jalan yang panjang. Hinggatahun 1960-an, persoalan keagamaan yang beraneka ragam di tanah air belum banyak tersentuh. Pemerintah sejak lama memandang keanekaragaman agama ini sebagai potensi penghambat pembangunan suatu nation Indonesia yang satu dan kuat. Kementerian agama yang di bentuk pada tahun 1946 memiliki tugas yang eksplisit antara lain mengawasi kegiatan keagamaan dan aliran-aliran/paham-paham, melakukan bimbingan dan pembinaan terhadap gerakan mistik agar kembali ke agama induk dan mengharuskan mereka untuk menegakkan hukum dan peribadatan agama. Tugas-tugas ini menunjukan bahwa negara mulai menerapkan pemikiran sistemik secara lebih tegas. Selain itu, tugas pokok lain adalah membimbing dan membina masyarakat penganut agama resmi seperti Islam, Kristen Prostetan, Katolik, Hindu dan Budha. Pemerintah sendiri membuat definisi agama resmi yang diakui pemerintah sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan yang memiliki kitab suci, nabi-nabi dan ajaranajaran. Dalam hal kebijakan keagamaan ini paling tidak pemerintah melakukan tiga hal. Pertama, membina umat yang sudah beragama di seluruh pelosok. Kedua,memberagamkan warga masyarakat yang dianggap belum beragama. Ketiga, pemerintah memerankan diri sebagai wasit sekaligus pemain dalam hubungan antarumat beragama besar. Dari sudut pandang intrinsik, maka secara sederhana agama adalah keyakinan akan entitas spiritual. Jika kita menggunakan definisi yang lebih kompleks, maka agama adalah suatu sistem simbol yang bekerja memantapkan suasana jiwa dan motivasi yang kuat, mendalam dan bertahan lama pada diri manusia dengan memformulasikan konsepsi-konsepsi keteraturan umum mengenai keberadaan dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas sehingga suasana jiwa dan motivasi tersebut seolah-olah secara unik nyata ada. Dinamika hubungan antara agama dan negara berlangsung dalam konteks instrumentalisasi yang kerap kali ditempeli oleh muatan potensi integratif maupun disintegratif. Dengan konkretisasi, interpretasi dan formalisasi agama dalam kehidupan yang nyata, manusia memiliki legitimasi untuk menjadikannya sebagai instrumen kekuasaan.Ada tiga kemungkinan skenario politik keagamaan. Pertama, agama dan negaraterpisah satu sama lain. Doktrin agama hanya menjadi pedoman hidup manusia sebatas dalam keluarga dan masyarakat yang berwadahkan keorganisasian dalam mesjid, gereja, kuil, dan lain-lain. Segala sesuatu yang berurusan dengan agama diselesaikan dalam institusi kegamaan tersebut. Prinsip utamanya adalah Agama adalah Agama. Dalam kenyataan, sukar menemukan pada abad global ini suatu institusi agama yang tidak tercemar sama sekali dengan pergumulan duniawi di luar diri agama. Kedua, Agama dan Negara terikat satu sama lain (Integralistik) dalam pengertian agama memberi corak dominan atas negara. Dalam konteks ini agama bermain penuh sebagai instrumen, yakni aktualisasi agama di dalam sebagian besar institusi negara seperti institusi politik, ekonomi, hukum dan lainnya. Ketiga, Agama ditempatkan dalam suatu sistem negara yang mengutamakan harmoni dan keseimbangan. Agama direduksi menjadi salah satu unsur saja dari sistem yang dipandang saling tergantung dengan unsur-unsur lain. Kebijakan-kebijakan yang merupakan konkretisasi pendekatan sistemik ini jelas sekali menekankan kontrol yang tegas terhadap unsur-unsurnya, termasuk unsur agama agar selalu terwujud keteraturan yang harmonis tanpa guncangan. Setiap kali ada gejolak sekecil apapun, langsung diredam oleh negara (pemerintah) sehingga keseimbangan tercapai kembali. Pendekatan ini langsung menempatkan negara (pemerintah) dalam kedudukan sentral yang lambat laun seolah melepaskan diri dari sistem dan bahkan mengontrol sistem. Keadaan ini membuat negara (pemerintah) semakin kuat karena sistem posisinya merosot menjadi subordinat, kehilangan kekuatan untuk mengontrol negara. Negara cenderung otoriter karena akumulasi kekuasaan berada di tangannya.