Post on 07-Mar-2019
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 i
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….....1
1.1. Latar Belakang………………………………………………… ….1
1.2. Tujuan……………………………………………………………….2
1.3. Sistematika Penulisan ……… …………………………………….3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….....4
2.1. Pertumbuhan Ekonomi Regional…………………………………4
2.2.Ketimpangan Pembangunan Daerah………………………10
2.3. Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah ……….13
BAB III METODOLOGI…………………………………………….....................19
3.1. Data dan Sumber Data…………………………………………….19
3.2. Metode Analisis Data……...…………………………………….....19
BAB IV PENDAPATAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KETIMPANGAN
4.1. Produk Domestik Bruto Perkapita…………………………………25
4.2. Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan……………………...…30
BAB V KESIMPULAN…………………………………………….......................35
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………............................37
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 1
BAB 1
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan
pada berbagai aspek dalam rangka mencapai kesejahteraan. Adanya perubahan
tersebut setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek yaitu terjadinya peningkatan
pertumbuhan ekonomi, rendahnya tingkat ketimpangan pendapatan, dan
meningkatnya kesempatan kerja. Meningkatnya Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) merupakan cerminan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi daerah,
dimana tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara makro akan
meningkatkan kekokohan struktur perekonomian daerah.
Namun demikian, keberhasilan pembangunan ekonomi yang ditunjukkan
dengan tingkat laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kenyataannya masih
belum mampu menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Permasalahan yang sering dihadapi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi adalah tidak meratanya distribusi pendapatan atau terjadi ketimpangan
yang cukup tinggi antar kelompok masyarakat yang kaya dengan kelompok
masyarakat yang miskin. Ketimpangan pendapatan antar golongan (kaya dan
miskin) yang tinggi tentunya mendorong kecemburuan yang pada akhirnya
menimbulkan konflik yang dapat menggangu pembangunan secara keseluruhan
dalam berbagai aspeknya.
Tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi periode 2009-
2013 menunjukkan petumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan, bahkan
secara-rata-rata masih lebih tinggi disbanding pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi menunjukkan
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 2
angka 6.75%, sementara Jawa Timur “hanya” 6.55% dan rata-rata nasional
sebesar 5.6%. Sektor pertanian masih mendominasi kontribusinya sebesar 44%
dalam pembentukan PDRB Kabupaten Banyuwangi, diikuti oleh sektor
perdagangan, hotel, dan restoran (28%). Disisi lain, capaian perekonomian
daerah yang cukup menggembirakan tersebut justru mengundang pertanyaan
yeng memerlukan kajian mendalam, yakni apakah keberhasilan pembangunan
ekonomi secara makro di Kabupaten Banyuwangi juga menyebabkan kehidupan
masyarakatnya lebih sejahtera? Apakah hasil pembangunan tersebut dinikmati
oleh seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi?.
Untuk mengkaji permasalahan tersebut perlu diukur dengan melihat
indikator-indikator yang menggambarkan kondisi secara umum permasalahan
ketimpangan. Gini Rasio adalah salah satu indikator yang bisa menggambarkan
kondisi ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat di Kabupaten
Banyuwangi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyusunan indikator gini rasio
dalam rangka menganalisis tingkat ketimpangan pendapatan di Kabupaten
Banyuwangi.
1.2. Tujuan
Secara umum, tujuan penyusunan indikator Gini Rasio Kabupaten
Banyuwangi adalah menampilkan indikator yang memberikan gambaran
proporsi tingkat pendapatan yang dapat digunakan untuk perencanaan
pembangunan daerah serta sebagai bahan evaluasi pembangunan daerah.
Sedangkan tujuan khusus penyusunan indikator Gini Rasio Kabupaten
Banyuwangi adalah:
a. Memberi gambaran tentang pendapatan perkapita masyarakat
b. Menggambarkan ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk
c. Menggambarkan ketimpangan antar wilayah
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 3
1.3. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan meliputi:
Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan, dan sistematika
penulisan;
Bab II Tinjauan Pustaka yang berisi konsep dan definisi mengenai
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan;
Bab III Metodologi berisi tentang data dan sumber data, metode analisis dan
pengukuran tingkat ketimpangan menggunakan ukuran gini rasio.
Bab IV Pendapatan, Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan berisi tinjauan
pendapatan perkapita, distribusi pendapatan serta analisis
ketimpangan menggunakan ukuran gini rasio;
Bab V Kesimpulan.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi Regional
Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses pengelolaan
sumberdaya yang dimiliki daerah dimana pemerintah daerah dan
masyarakat dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah
daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan
merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut
(Arsyad, 1999). Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan
dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set
(gugus) variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio
modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah di
batasi secara jelas. Adanya pembangunan regional menghasilkan
pertambahan pendapatan masyarakat di wilayah tersebut, yaitu berupa
kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005).
Perhitungan pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam harga
berlaku. Namun agar dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke
kurun waktu berikutnya, harus dinyatakan dalam nilai riel, artinya dinyatakan
dalam harga konstan. Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi
faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal,
tenaga kerja, dan teknologi), yang berarti secara kasar dapat
menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah
selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut
juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment, yaitu bagian pendapatan
yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 5
Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan
menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan
ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman
(1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan
menuju kepada divergensi. Ada beberapa teori pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori
Basis Ekspor; (2) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (3) Teori Pusat
Pertumbuhan; dan (4) Teori Neoklasik.
2.1.1 Teori Basis Ekspor
Teori Basis Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C.
North (1995) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini
membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu
wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (non-basis).
Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat
pada kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi
mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non-
basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu
sendiri.
Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu, asumsi pokok
atau yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen
(independent) dalam pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain
terikat (dependent) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini
berarti diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang
dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor lain terikat
oleh peningkatan pendapatan daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila
pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat. Asumsi kedua adalah
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 6
bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga
tidak akan berpotongan.
Beberapa hal penekanan dalam model teori basis ekspor yaitu, antara
lain (i) bahwa suatu daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk
dapat tumbuh dengan cepat, sebab faktor penentu pertumbuhan daerah
adalah keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki oleh
daerah tersebut; (ii) pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan dapat
dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan
komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor; serta (iii)
ketimpangan antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi
potensi masing-masing daerah.
Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki
kelemahan- kelemahan antara lain sebagai berikut, menurut Richardson,
besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu daerah.
Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil
apabila dibandingkan dengan total pendapatan. Ekspor jelas bukan satu-
satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada banyak
unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti pengeluaran
atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas
tenaga kerja.
Dalam melakukan studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang
diperoleh adalah rata-ratanya bukan perubahannya. Menggunakan multiplier
basis rata-rata untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila
nilai multiplier dari tahun ke tahun. Beberapa pakar berpendapat bahwa
apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi maka masalah
time lag (masa tenggang) harus diperhatikan. Ada kasus dimana suatu
daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil. Pada
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 7
umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak ragam
kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan
lainnya.
2.1.2 Teori Pertumbuhan Jalur Cepat
Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh
Samuelson pada tahun 1955 (Tarigan, 2005). Inti dari teori ini adalah
menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun
komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan
cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki
competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan
modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih
besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk
perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut
harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor
tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga
perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor-
sektor adalah membuat sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung.
Menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor
lain yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.
Selain itu perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi
(Schumpeter dan ahli lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan
teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship) dalam
masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan
mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja baru untuk menyerap
angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 8
2.1.3 Teori Pusat Pertumbuhan
Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu
teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan
desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan
merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional
yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan
pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat
menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah
dan perkotaan terpadu.
Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi
pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat
perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat
pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi
dinamakan daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah
pertanian, atau daerah pedesaan.
Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya
agglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau
agglomeration (economic of localization) (Tarigan, 2005). Economic of scale
adalah keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan
spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya
menjadi lebih efisien. Economic of agglomeration adalah keuntungan karena
di tempat tersebut terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat
digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa
perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air
bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan
produk, dan lain sebagainya.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 9
Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih
terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut (1) Generatif yaitu hubungan
yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang
lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif yaitu
hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak
banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa
mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3)
Enclave (tertutup) dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan
terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.
Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan
intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya
multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan
bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2005).
2.1.4 Teori Neoklasik
Teori Neoklasik (Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein
(1964), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan
Siebert (1969). Dalam negara yang sedang berkembang, pada saat proses
pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah
cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses
pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan
tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini
disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum
lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan
pertumbuhan belum dapat terjadi.
Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi.
Unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 10
modal, tenaga kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah
dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi)
dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional.
2.2. Ketimpangan Pembangunan Daerah
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk
mengurangi ketimpangan (disparity). Peningkatan pendapatan per kapita
memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah.
Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan
bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Seringkali di negara-negara
berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal
dari pada tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut
hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan
nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat,
maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan. Terdapat beberapa
bentuk-bentuk ketimpangan dalam pembangunan daerah.
2.2.1 Distribution Income Disparities
Terdapat berbagai macam alat yang dapat dijumpai dalam mengukur
tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk (Distribution Income
Disparities), diantaranya yaitu :
1. Kurva Lorenz (Lorenz Curve)
Kurva Lorenz secara umum sering digunakan untuk menggambarkan
bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat.
Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase
penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar
mereka terima selama periode tertentu, misalnya, satu tahun.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 11
Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi/bujur sangkar
dengan bantuan garis diagonalnya. Garis horizontal menunjukkan persentase
penduduk penerima pendapatan, sedangkan garis vertikal adalah persentase
pendapatan. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti
ketimpangan semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini
menjauhi diagonal berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi.
Kemungkinan yang digambarkan kurva Lorenz diatas yaitu
(i) jika 50% penduduk penerima pendapatan memperoleh 50% pendapatan,
menggambarkan pembagian pendapatan sempurna merata;
(ii) jika 50% penduduk yang paling rendah pendapatannya menerima
25% pendapatan, tergolong pada pembagian pendapatan cukup
merata; dan
(iii) jika 100% penduduk sama sekali tidak memperoleh pendapatan,
menggambarkan pembagian pendapatan sempurna tidak merata.
2. Gini Index
Kelemahan kurva Lorenz adalah sulit diaplikasikan, maka seorang
sarjana statistik matematik mencoba mengkuantifikasi konsep kurva Lorenz
tersebut yaitu Mr. Gini, yang selanjutnya hasil pendapatnya dikenal
dengan Gini Index/Gini Ratio. Gini index adalah ukuran ketimpangan
pendapatan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan
sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).
Menurut Gini setiap kurva Lorenz dapat dihitung nilai angkanya yang
selanjutnya disebut angka Gini dengan cara membagi luas yang dibentuk
kurva Lorenz tersebut dengan total pendapatan.
3. Kriteria Bank Dunia
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 12
Berdasarkan kriteria Bank Dunia di dalam menentukan tingkat
ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka
penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu (i) 20% penduduk berpendapatan
tinggi, (ii) 40% penduduk berpendapatan sedang; dan (iii) 40% penduduk
berpendapatan rendah. Dimana kriteria ketimpangannya adalah
- Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan
nasional < 12% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan
tinggi.
- Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan
nasional 12%-17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong
ketimpangan sedang/moderat.
- Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan
nasional > 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan
rendah.
2.2.2 Regional Income Disparities
Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan
masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di
dalam wilayah suatu negara. Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan
antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan
menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang
berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas
regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkosentrasi di daerah-
daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan
ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas
berkurang dengan signifikan.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 13
Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk
mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson
menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa
yang diperbandingka adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan
tingkat kesejahteraan antar kelompok. Formulasi Indeks Williamson secara
statistik.
Angka koefisien Indeks Williamson adalah 0 < IW < 1. Jika Indeks
Williamson semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan
yang semakin kecil atau semakin merata dan sebaliknya angka yang semakin
besar menunjukka n ketimpangan yang semakin melebar. Walaupun indeks
ini memiliki kelemahan yaitu sensitif terhadap difinisi wilayah yang digunakan
dalam perhitungan artinya apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda
maka akan berpengaruh terhadap hasil perhitungannya, namun cukup lazim
digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.
2.3. Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi
modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh
suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah
yang bersangkutan (Riadi, 2007). Adanya heterogenitas dan beragam
karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya
ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah.
Bertitik tolak dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar daerah
merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap
perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi
antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 14
(backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread
effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses
ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar
secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga
mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999). Adapun faktor-
faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009)
yaitu :
2.3.1 Perbedaan kandungan sumber daya alam
Terdapatnya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber
daya alam pada masing-masing daerah akan mendorong timbulnya ketimpangan
antar daerah. Kandungan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, atau
kesuburan lahan tentunya mempengaruhi proses pembangunan di masing-
masing daerah. Ada daerah yang memiliki minyak dan gas alam, tetapi daerah
lain tidak memilikinya. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang
cukup besar, tetapi daerah tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat
kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya
untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.
Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi
kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan
kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi
barang-barang tertentu dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan
daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih rendah.
Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan
menjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain.
2.3.2 Perbedaan Kondisi Demografi
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 15
Faktor utama lain yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan
antar daerah adalah jika terdapat perbedaan kondisi demografi yang cukup
besar antar daerah. Kondisi demografi meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur
kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan
tingkah laku masyarakat daerah tersebut. Perbedaan kondisi demografi ini akan
dapat mempengaruhi ketimpangan antar daerah karena hal ini akan
berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang
bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung
memiliki produktivias kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong
peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan
lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan.
Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografinya kurang baik
maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat
setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman
modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih
rendah.
2.3.3 Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Mobilitas barang dan jasa (perdagangan) antar daerah jelas akan
mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sebagaimana kita
ketahui bahwa bila kegiatan perdagangan (baik internasional maupun antar
wilayah) kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor produksi akan
terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi.
Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah
dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi
spontan. Bila mobilitas barang tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 16
suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian
pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga
kerja di suatu daerah yang tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang
sangat membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan antar daerah akan cenderung
tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini mengacu pada penyediaan sarana dan
prasarana serta fasilitas-fasilitas di dalam suatu daerah, seperti : jalan,
jembatan, alat transportasi baik darat, laut maupun udara dan lain-lain.
2.3.4 Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah
Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi
akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar
daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah
dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula
sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih
rendah.
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana
terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut
selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan
penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula,
apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang
selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya tingkat
pendapatan masyarakat setempat.
Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada
daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral
lainnya. Terdapatnya lahan yang subur juga turut mempengaruhi, khususnya
menyangkut pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 17
trasnportasi, baik darat, laut, dan udara juga ikut mempengaruhi konsentrasi
kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi demografi (kependudukan)
juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung
terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dengan kualitas yang
lebih baik.
2.3.5 Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah
Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik
lebih banyak investasi pemerintah dan swasta akan cenderung mempunyai
tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Selanjutnya akan
mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan tenaga kerja yang
lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Demikian
juga sebaliknya terjadi bila investasi pemerintah dan swasta yang masuk
ke suatu daerah ternyatalebih rendah.
Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh
sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah
yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung
lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan
antardaerah cenderung tinggi. Akan tetapi sebaliknya bilamana sistem
pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah
akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan
antar daerah akan cenderung lebih rendah.
Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak
ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan yang berperan banyak
dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang
dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 18
pula oleh ongkos transportasi baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang
harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsenstrasi pasar,
tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan
lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya
konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu.
Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak
terkonsentrasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Kondisi ini menyebabkan perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan
dengan daerah pedesaan.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 19
BAB 3
METODOLOGI
3.1. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penyusunan Gini Ratio Kabupaten
Banyuwangi berasal dari data primer dan sekunder. Data yang digunakan untuk
mengukur pemerataan pendapatan penduduk berasal dari hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) Kabupaten Banyuwangi tahun 2012-2013 yang
mencakup pengeluaran makanan dan pengeluaran non makanan (perumahan,
pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan lain sebagainya).
Disamping itu data juga bersumber dari data Kabupaten Banyuwangi dalam
Angka tahun 2013.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, yaitu
menganalisis dari hasil penghitungan indikator atau ukuran statistik yang
berkaitan dengan distribusi pendapatan. Dari berbagai studi yang dilakukan
mengenai pemerataan pendapatan, diketahui bahwa terdapat berbagai macam
metode untuk mengukur pemerataan distribusi pendapatan, baik menggunakan
metode statistik yang sederhana maupun metode empiris. Metode sederhana
yang digunakan antara lain range, standar deviasi, indeks Bowley, koefisien
variasi, dan sebagainya. Sedangkan metode empiris antara lain indeks Theil,
indeks Oshima, indeks Kuznets, koefisien Gini, ukuran Bank Dunia, kurva
Lorentz, dan lain sebagainya. Namun demikian di antara ukuran-ukuran tersebut
di atas, ada dua ukuran yang paling sering digunakan yaitu (i) Koefisien Gini
(Gini Ratio) dan Kurva Lorenz, dan (ii) Kriteria Bank Dunia.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 20
3.2.1. Ukuran Gini Ratio
Koefisien Gini (Gini Rasio) adalah ukuran yang sering digunakan untuk
menggambarkan ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat secara
menyeluruh pada suatu daerah. Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz,
yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari
suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform
(seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurva Lorenz
memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima
pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka
terima selama periode tertentu, misalnya, satu tahun.
Kurva Lorenz, ditunjukkan pada gambar 3.1, merupakan gambaran
kurva pada sebuah bidang persegi/bujur sangkar dengan bantuan garis
diagonal. Garis horizontal menunjukkan persentase penduduk penerima
pendapatan, sedangkan garis vertikal adalah persentase pendapatan. Semakin
dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan semakin rendah dan
sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal berarti ketimpangan
yang terjadi semakin tinggi.
Gambar 3.1. Koefisien Gini menurut Kurva Lorenz
Ku
mu
lati
f %
Pe
nd
ap
ata
n
Kumulatif % Jumlah Penduduk
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
Kurva
Lorenz
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 21
Formula yang digunakan untuk menghitung Gini Ratio (Koefisien Gini)
adalah sebagai berikut:
∑
dimana: GR = Koefisien Gini (Gini Ratio);
fpi = frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i;
Fci = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas
pengeluaran ke-i;
Fci-1 = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas
pengeluaran ke (i-1).
Kemungkinan yang digambarkan kurva Lorenz yaitu (i) jika 50%
penduduk (penerima pendapatan) memperoleh 50% pendapatan,
menggambarkan pembagian pendapatan sempurna merata; (ii) jika 50%
penduduk yang paling rendah pendapatannya menerima 25% pendapatan,
tergolong pada pembagian pendapatan cukup merata; dan (iii) jika 100%
penduduk sama sekali tidak memperoleh pendapatan, menggambarkan
pembagian pendapatan sempurna tidak merata. Sedangkan garis diagonal di
tengah disebut “garis kemerataan sempurna”. Karena setiap titik pada garis
diagonal merupakan tempat kedudukan prosentase penduduk yang sama
dengan prosentase penerimaan pendapatan. Semakin jauh jarak garis kurva
Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya.
Sebaliknya semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi
tingkat pemerataan distribusi pendapatannya.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa suatu distribusi pendapatan
makin merata jika nilai Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 22
distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata jika nilai Koefisien Gininya
makin mendekati satu.
Tabel 3.1. Kriteria Distribusi Pendapatan menurut Ukuran Nilai Koefisien Gini
Nilai Koefisien Distribusi Pendapatan
< 0,4
0,4 – 0,5
> 0,5
Tingkat ketimpangan rendah
Tingkat ketimpangan sedang
Tingkat ketimpangan tinggi
Daimon dan Thorbecke (1999) berpendapat bahwa penurunan
ketimpangan (perbaikan distribusi pendapatan) selalu tidak konsisten dengan
bertambahnya insiden kemiskinan kecuali jika terdapat dua aspek yang
mendasari inkonsistensi tersebut. Pertama, variasi distribusi pendapatan dari
kelas terendah meningkat secara drastis sebagai akibat krisis. Dan kedua,
merupakan persoalan metodologi berkaitan dengan keraguan dalam pengukuran
kemiskinan dan indikator ketimpangan.
Beberapa kriteria bagi sebuah ukuran ketimpangan yang baik misalnya:
Tidak tergantung pada nilai rata-rata (mean independence). Ini berarti bahwa
jika semua pendapatan bertambah dua kali lipat, ukuran ketimpangan tidak
akan berubah. Koefisien Gini memenuhi syarat ini.
Tidak tergantung pada jumlah penduduk (population size independence).
Jika penduduk berubah, ukuran ketimpangan seharusnya tidak berubah, jika
kondisi lain tetap (ceteris paribus). Koefisien Gini juga memenuhi syarat ini.
Simetris. Jika antar penduduk bertukar tempat tingkat pendapatannya,
seharusnya tidak akan ada perubahan dalam ukuranketimpangan. Koefisien
Gini juga memenuhi hal ini.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 23
Sensitivitas Transfer Pigou-Dalton. Dalam kriteria ini, transfer pandapatan
dari si kaya ke si miskin akan menurunkan ketimpangan. Gini juga
memenuhi kriteria ini.
Ukuran ketimpangan yang baik juga diharapkan mempunyai sifat:
Dapat didekomposisi. Hal ini berarti bahwa ketimpangan mungkin dapat
didekomposisi (dipecah) menurut kelompok penduduk atau sumber
pendapatan atau dalam dimensi lain. Indeks Gini tidak dapat didekomposisi
atau tidak bersifat aditif antar kelompok. Yakni nilai total koefisien Gini dari
suatu masyarakat tidak sama dengan jumlah nilai indeks Gini dari sub-
kelompok masyarakat (sub-group).
Dapat diuji secara statistik. Seseorang harus dapat menguji signifikansi
perubahan indeks antar waktu. Hal ini sebelumnya menjadi masalah, tetapi
dengan teknik bootstrap interval (selang) kepercayaan umumnya dapat
dibentuk.
3.2.2. Kriteria Bank Dunia
Berdasarkan kriteria Bank dunia di dalam menentukan tingkat
ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka
penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu (i) 20% penduduk berpendapatan
tinggi, (ii) 40% penduduk berpendapatan sedang; dan (iii) 40% penduduk
berpendapatan rendah. Dimana kriteria ketimpangannya adalah
- Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan
nasional < 12% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan
tinggi.
- Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 24
nasional 12%-17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong
ketimpangan sedang/moderat.
- Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan
nasional > 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan
rendah.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 25
BAB 4
PENDAPATAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KETIMPANGAN
4.1 Pendapatan Perkapita Kabupaten Banyuwangi
Perkembangan perekonomian daerah dapat diukur dengan menggunakan
ukuran pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada data pertumbuhan
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Ukuran pertumbuhan PDRB
memberikan gambaran nyata mengenai nilai tambah bruto yang dihasilkan unit-
unit produksi pada suatu daerah dalam periode tertentu. Perkembangan PDRB
merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu
daerah. Sedangkan peranan masing-masing sektor dalam Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) menunjukkan sektor potensial yang dimiliki oleh
Kabupaten Banyuwangi.
Gambar 4.1 memberikan gambaran kontribusi sektoral PDRB Kabupaten
Banyuwangi periode 2009-2013 menunjukkan perkembangan yang cukup
signifikan. Sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran
merupakan dua sektor yang memberikan kontribusi paling besar dalam
pembentukan PDRB Kabupaten Banyuwangi. Sementara, sector bangunan,
listrik dan air bersih menunjukkan kontribusi yang kecil dalam PDRB. Secara
umum, adanya peningkatan kontribusi sektor-sektor dalam PDRB Kabupaten
Banyuwangi mencerminkan kondisi peningkatan ekonomi masyarakat di
Kabupaten Banyuwangi. Lebih jauh, peningkatan ini dapat menggambarkan
kesuksesan penerapan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten Banyuwangi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 26
Ket: 2011: Angka perbaikan 2012: Angka sementara 2013: Angka sangat sementara Sumber: BPS Kabupaten Banyuwangi
Gambar 4.1: Kontribusi Sektoral PDRB Kabupaten Banyuwangi Tahun 2009-2013 atas Dasar Harga Konstan (%)
Meskipun PDRB Kabupaten Banyuwangi sepanjang periode 2009-2013
menunjukkan kecenderungan peningkatan yang berarti juga mencerminkan
adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, namun perlu adanya
pengukuran sejauh mana angka PDRB dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Salah satu ukuran kesejahteraan masyarakat suatu wilayah
umumnya didekati dengan dua pendekatan (proxy) pendapatan yaitu Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita dan Pengeluaran Konsumsi Per
kapita. Walaupun kedua nilai tersebut tidak menggambarkan pendapatan riil
penduduk akan tetapi secara empiris terbukti dapat memberikan gambaran
pendapatan penduduk untuk dapat menjadi indikator kesejahteraan masyarakat
suatu wilayah. Perkembangan pendapatan per kapita kabupaten Banyuwangi
tahun 2011 – 2013 dapat dilihat selengkapnya dalam tabel 4.1 berikut ini.
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
PERTANIAN
PERTAMBANGAN dan PENGGALIAN
INDUSTRI PENGOLAHAN
LISTRIK, GAS dan AIR BERSIH
BANGUNAN
PERDAGANGAN, HOTEL dan RESTORAN
PENGANGKUTAN dan KOMUNIKASI
KEUANGAN, PERSEWAAN dan JS…
JASA-JASA
2009 2010 2011 2012 2013
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 27
Tabel 4.1: Perekonomian Kabupaten Banyuwangi
Deskripsi 2011 2012 2013 2014
PDRB harga konstan (Miliar Rp.)
11.794.189* 12.655.586** 13.511.707** -
Pendapatan Perkapita (Rp.)
6.101.969 7.839.110 8.580.070 -
Upah Minimum Kabupaten (Rp.)
865.000 915.000 1.086.400 1.240.000
Ket: *) Angka perbaikan **) Angka sementara ***) Angka ssangat sementara
Tingkat pendapatan pendapatan suatu wilayah selain dari kemampuan
ekonomi wilayah tersebut juga tergantung jumlah penduduk yang ada di wilayah
tersebut, jadi wilayah yang mempunyai nilai PDRB tertinggi belum tentu memiliki
PDRB perkapita yang tinggi pula apabila jumlah penduduk wilayah tersebut
sangat tinggi. Berdasarkan tabel 4.1, diketahui bahwa peningkatan PDRB
Kabupaten Banyuwangi periode 2011-2013 memberikan dampak pada
peningkatan pendapatan perkapita masyarakat. Jika pada 2011 pendapatan
perkapita sebesar Rp. 6.101.969, telah meningkat menjadi Rp. 8.580.070
pada 2013. Sementara, upah minimum Kabupaten Banyuwangi sepanjang
2011-2014 terus mengalami peningkatan dari Rp. 865.000 pada 2011
meningkat menjadi Rp. 1.240.000 pada 2014. Hal ini mengindikasikan
bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi telah
mengalami perbaikan.
Sebaran Penduduk di Kabupaten Banyuwangi sepanjang periode 2000-
2013 menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2013, jumlah penduduk
Kabupaten Banyuwangi telah mencapai 1.574.778 orang atau mengalami
kenaikan sebesar 5.7% dibanding tahun 2000 (sebesar 1.488.791 orang).
Secara detil, data perkembangan jumlah penduduk di Kabupaten Banyuwangi
ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut:
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 28
Tabel 4.2: Banyaknya penduduk, Rumah Tangga, dan Anggota Rumah
Tangga di Kabupaten Banyuwangi, 2000-2013
Tahun Penduduk Jumlah Rumah
Tangga Rata-Rata Anggota
Rumah Tangga
2000 1.488.791 394.781 3,8
2010 1.556.078 467.733 3,3
2011 1.564.833 470.363 3,3
2012 1.568.898 471.588 3,3
2013 1.574.778 491.899 3,2
Sumber: Banyuwangi Dalam Angka 2014
Kabupaten Banyuwangi yang terdiri dari 24 kecamatan, wilayah dengan
persebaran penduduk terbanyak di Kabupaten Banyuwangi adalah di Kecamatan
Muncar dan Banyuwangi. Sedangkan daerah dengan jumlah penduduk paling
sedikit adalah di Kecamatan Giri dan Kecamatan Licin.
Sumber: LKPJ Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013
Gambar 4.2: Sebaran Penduduk Per Kecamatan Di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
140000
Pes
angg
aran
Ban
gore
jo
Pu
rwo
har
jo
Tega
ldlim
o
Mu
nca
r
Clu
rin
g
Gam
bir
an
Sro
no
Ge
nte
ng
Gle
nm
ore
Kal
ibar
u
Sin
goju
ruh
Ro
goja
mp
i
Kab
at
Gla
gah
Ban
yuw
angi
Gir
i
Wo
ngs
ore
jo
Son
ggo
n
Sem
pu
Kal
ipu
ro
Silir
agu
ng
Tega
lsar
i
Lici
n
LAKI - LAKI PEREMPUAN JUMLAH
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 29
Selain pendapatan perkapita, indikator keberhasilan pembangunan suatu
wilayah juga dapat ditunjukan oleh kondisi ketenagakerjaan. Kondisi
ketenagakerjaan yang baik seperti tingkat penggangguran yang rendah, tingkat
upah yang layak merupakan cerminan berhasilnya suatu pembangunan. Kondisi
ketenagakerjaan merupakan salah satu fokus dari pembangunan yang dilakukan
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Berbagai upaya terus dilakukan agar
menghasilkan kondisi ketenagakerjaan yang baik. Beberapa indikator yang
mampu mencerminkan kondisi ketenagakerjaan adalah angkatan kerja, jumlah
penduduk usia kerja, tingkat pengangguran terbuka (TPT), dan tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK).
Berdasarkan tabel 4.3, perkembangan kondisi ketenagakerjaan di
Kabupaten Banyuwangi periode 2011-2013 secara umum menunjukkan
kecenderungan pencapaian kinerja membaik. Pada tahun 2012 jumlah angkatan
kerja sebesar 870.948 orang, mengalami kenaikan sebesar 6,5% dari tahun
sebelumnya sebesar 817.785 orang, sedangkan untuk tingkat partisipasi
angkatan kerja (TPAK) di Kabupaten Banyuwangi tahun 2012 mengalami
kenaikan sebesar 4,13% dari 69,24% pada tahun 2011 menjadi 73,37% pada
tahun 2012. Sebaliknya, data kondisi ketenagakerjaan sedikit berubah pada
2013. Pada tahun 2013, jumlah angkatan kerja menunjukkan penurunan
dibandingkan tahun 2012, juga prosentase penduduk yang bekerja terhadap
angkatan kerja juga mengalami penurunan. Kondisi tersebut mengindikasikan
bahwa meskipun rata-rata pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi pada
2013 menunjukkan kecenderungan tinggi, namun disisi lain angka pengangguran
pada tahun tersebut juga masih cukup tinggi.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 30
Tabel 4.3: Penduduk Usia 15 tahun keatas menurut Jenis Kegiatan Utama di Kabupaten Banyuwangi, 2011-2013
Jenis Kegiatan 2011 2012 2013
Angkatan Kerja:
1. Bekerja
2. Penganggur
817.785
787.410
30.376
870.948
841.317
29.631
865.747
825.108
40.639
Bukan Angkatan Kerja 363.219 316.110 321.438
Jumlah Penduduk Usia Kerja 1.181.005 1.187.058 1.187.185
% Bekerja terhadap Angkatan Kerja 96,29 96,60 95,31
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 3,71 3,40 4,69
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 69,24 73,37 72,92
Sumber: Banyuwangi Dalam Angka 2014
4.2 Distribusi Pendapatan dan Ketimpangan
Distribusi pendapatan yang merata antar daerah menjadi salah satu
aspek yang menunjukkan tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah.
Namun demikian, tidak mudah mengukur dengan tepat tingkat distribusi
pendapatan di suatu daerah mengingat data pendapatan sulit untuk diperoleh.
Untuk itu, analisis ukuran distribusi pendapatan digunakan data pengeluaran
sebagai proksi pendapatan yakni data total pengeluaran rumah tangga.
Pengeluaran konsumsi dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu
pengeluaran konsumsi makanan dan pengeluaran konsumsi bukan makanan.
Masyarakat yang memiliki pendapatan yang tinggi umumnya memiliki
pengeluaran konsumsi non makanan yang tinggi. Dengan kata lain akan terjadi
pergeseran pola konsumsi dari konsumsi makanan menuju konsumsi bukan
makanan apabila terjadi penambahan pendapatan pada suatu kelompok
masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh elastisitas permintaan makanan yang
umumnya rendah. Ketika berada pada titik jenuh konsumsi makanan maka orang
cenderung untuk membelanjakan pendapatannya terhadap konsumsi non
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 31
makanan (yang umumnya memiliki elastisitas permintaan yang tinggi). Sehingga
seringkali pola konsumsi juga digunakan sebagai salah satu alat ukur untuk
menggambarkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Gini Rasio dan Kurva Lorenz
Salah satu ukuran distribusi pendapatan yang seringkali digunakan untuk
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan suatu daerah dapat menggunakan
gini rasio dan kurva Lorenz. Hasil perhitungan indeks Gini untuk mengukur
tingkat ketimpangan pendapatan di Kabupaten Banyuwangi ditunjukkan pada
tabel 4.4.
Tabel 4.4: Nilai Gini Ratio Kabupaten Banyuwangi, Tahun 2013
Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, Data Diolah. 2014
Berdasarkan tabel 4.4, diketahui bahwa koefisien gini Kabupaten
Banyuwangi tahun 2013 nilainya di bawah 0,4 yakni 0,276. Hal ini berarti bahwa
ketimpangan pendapatan yang terjadi selalu dalam kategori rendah dengan
kemerataan yang cukup tinggi. Hal yang menjadi perhatian bahwa aspek
pemerataan menjadi sangat penting di samping tentunya aspek pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Kelompok Pendapatan per Kapita sebulan (Rp)
Jumlah Penduduk
Frekuensi Kumulatif Penduduk
Jumlah Pendapatan
(Rp)
Frekuensi Kumulatif
Pendapatan Gini Rasio
< 299.999 162.637 0,10329 24.395.468.682 0,02488
300.000 - 449.999 534.072 0,44249 200.276.732.964 0,22914 0,096
450.000 - 599.999 359.259 0,67067 188.610.795.371 0,42151 0,166
600.000 - 749.999 197.268 0,79596 133.155.801.366 0,55731 0,137
750.000 - 899.999 120.245 0,87233 99.202.064.878 0,65849 0,104
900.000 - 1.049.999 76.043 0,92062 74.141.886.979 0,73411 0,075
1.050.000 - 1.199.999 44.843 0,94910 50.448.352.579 0,78556 0,048
1.200.000 - 1.349.999 19.030 0,96119 24.263.240.485 0,81030 0,022
1.350.000 - 1.499.999 18.562 0,97298 26.450.840.719 0,83728 0,022
1.500.000 <
42.545 1,00000 159.543.750.000 1,00000 0,055
Gini Rasio = 0,276
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 32
Selanjutnya, berdasarkan perhitungan gini rasio, gambar tingkat
pemerataan pendapatan Kabupaten Banyuwangi ditunjukkan kurva Lorenz pada
Gambar 4.3. Kurva Lorenz adalah kurva yang menggambarkan fungsi distribusi
pendapatan kumulatif. Sumbu horizontal mewakili jumlah penduduk penerima
pendapatan dan sumbu vertikal menggambarkan pendapatan yang diterima oleh
masing-masing persentase penduduk. Kurva lorenz memperlihatkan hubungan
kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan
tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar benar
mereka peroleh dari total pendapatan selama 1 tahun. Semakin jauh jarak kurva
lorenz dari garis diagonal (yang merupakan garis pemerataan sempurna) maka
semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya. Berdasarkan
gambar, terlihat bahwa kurva Lorenz menjauhi garis diagonal yang berarti bahwa
tingkat ketimpangan di Kabupaten Banyuwangi pada 2013 masih cukup tinggi.
Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, Data Diolah. 2014
Gambar 4.3: Kurva Lorenz di Kabupaten Banyuwangi, 2013
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 20 40 60 80 100
Kumulatif Penduduk (%)
Ku
mu
lati
f P
end
apat
an (
%)
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 33
Berdasarkan Kriteria Bank Dunia
Selain koefisien gini, tingkat kesenjangan distribusi pendapatan juga
dapat diukur dengan kriteria Bank Dunia. Pola pengukuran distribusi
pendapatan Bank Dunia membagi jumlah populasi penduduk ke dalam tiga
kelompok, yaitu 40 persen berpendapatan terendah, 40 persen berpendapatan
menengah, dan 20 persen berpendapatan tertinggi. Kelompok yang 20 persen
tertinggi umumnya dikatakan sebagai kelompo terkaya, sedangkan kelompok
yang 40 persen terendah umumnya digolongkan kepada kelompok termiskin
dan kelompok lainnya dimasukkan dalam kelompok menengah (Tambunan,
2005).
Tabel 4.5: Distribusi Pendapatan menurut Kriteria Bank Dunia Kabupaten
Banyuwangi Tahun 2013
40% Bawah
40% Menengah
20% Atas
20 55,73 24,27
Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, Data Diolah. 2014
Berdasarkan tabel 4.5 dan gambar 4.4, dengan menggunakan kriteria
Bank Dunia, maka Kabupaten Banyuwangi termasuk daerah yang memiliki
ketimpangan distribusi pendapatan rendah, hal ini terlihat dari pendapatan yang
dikuasai 40 persen penduduk berpendapatan terendah dinikmati 20 persen dari
total pendapatan penduduk Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2013 (atau di
atas 17 persen). Sedangkan kelompok kaya (20 persen atas) menguasai 24,27
persen pendapatan di Kabupaten Banyuwangi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa penguasaan terhadap total pendapatan oleh golongan kaya di
Kabupaten Banyuwangi masih tidak terlalu besar (24,27). Sementara, 40%
penduduk berpendapatan menengah menguasai 55,73% total pendapatan.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 34
Sumber : BPS Kabupaten Banyuwangi, Data Diolah. 2014
Gambar 4.4: Distribusi Pendapatan menurut Kriteria Bank Dunia Kabupaten
Banyuwangi, Tahun 2013
20
55,73
24,27
0
10
20
30
40
50
60
40% 40% 20%
Kumulatif Penduduk (%)
Ku
mu
lati
f P
end
apat
an (
%)
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 35
BAB 5
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan mengenai rasio gini di Kabupaten
Banyuwangi, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Banyuwangi
dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan tren peningkatan. Disisi lain,
jumlah penduduk yang juga terus meningkat, namun tidak sebesar
peningkatan PDRB memberikan hasil perhitungan PDRB perkapita yang
juga masih relatif besar. Bahkan sepanjang periode pengamatan
Pendapatan perkapita masyarakat di Kabupaten Banyuwangi menunjukkan
tren peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya laju
pertumbuhan ekonomi Kabupaten Banyuwangi diharapkan dapat dinikmati
semua kelompok penduduk secara adil dan merata.
2. Ukuran keberhasilan pembangunan melalui indikator pertumbuhan ekonomi
masih belumlah memadai, mengingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang
tinggi masih menyisakan banyak persoalan khususnya meningkatnya
distribusi ketimpangan diantara masyarakat. Untuk mengetahui besarnya
ketimpangan, digunakan ukuran gini ratio dan kurva Lorenz, serta
berdasarkan kriteria Bank Dunia. Berdasarkan perhitungan gini rasio dan
kurva Lorenz didapatkan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi
masih dalam kategori rendah dengan kemerataan yang cukup tinggi.
Sementara, berdasarkan kriteria Bank Dunia didapatkan bahwa Kabupaten
Banyuwangi termasuk daerah yang memiliki ketimpangan distribusi
pendapatan rendah, hal ini terlihat dari pendapatan yang dikuasai 40 persen
penduduk berpendapatan terendah dinikmati oleh 20 persen dari total
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 36
pendapatan penduduk Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2013 (atau di
atas 17 persen).
3. Berkaitan dengan poin 2, walaupun kedua ukuran ketimpangan
menunjukkan kesimpulan bahwa Kabupaten Banyuwangi berada pada
kondisi ketimpangan rendah, namun nilai gini ratio memiliki peluang untuk
mengalami peningkatan (dalam skala yang relatif kecil) pada periode-
periode berikutnya seiring dengan perubahan kondisi ekonomi. Hal ini perlu
mendapat perhatian oleh para pemangku kepentingan agar tidak semakin
meningkat di tahun-tahun berikutnya.
Gini Rasio Kabupaten Banyuwangi 2013 37
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, 1999, Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
BPS, Berbagai Edisi, Jawa Timur Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyuwangi (2014). Banyuwangi dalam Angka.
Kabupaten Banyuwangi: BPS Kabupaten Banyuwangi.
Friedmann,J dan Douglass, M. 1976. Pengembangan Agropolitan: Menuju Siasat
Baru Perencanaan Regional Di Asia. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Jhingan, M.L, 2003, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Terjemahan, D
Guritno, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mankiw, N. Gregory, 2007. Macroeconomics. Worth Publishers, New York.
Myrdal, G., 1968, Asian Drama: Inquiry into the Poverty of Nations, Pantheon,
New York.
Nicholson, Walter, 2001. Teori Ekonomi Mikro. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C, 2003. Economic Development. Eighth
Edition, Pearson Addision-Wiley.
Tambunan, Tulus, 2001, Perekonomian Indonesia (Teori dan Temuan Empiris),
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi
Aksara.