Post on 25-Jan-2016
description
FRAKTUR ORBITA
FRAKTUR BLOW-OUT
DEFINISI
Trauma tumpul pada mata dan daerah orbita dapat menyebabkan kerusakan
pada dinding tulang orbita yang relatif tipis. Trauma secara langsung (direct) maupun
tidak langsung (indirect) dapat menyebabkan fraktur pada tulang orbital. Daerah
tulang orbita yang paling rentan terhadap trauma adalah dinding inferior dan medial.
Apabila fraktur terjadi hanya pada dinding orbita, dapat terjadi suatu kondisi yang
disebut fraktur blow-out atau blow-in. Pada fraktur blow-out apabila tekanan pada
daerah orbita cukup kuat, maka dapat terjadi penurunan isi orbita ke tempat terjadinya
fraktur, biasanya terjadi penurunan isi orbita ke sinus maksillaris. Fraktur blow-out
dapat juga terjadi bersama fraktur tulang zygomaticus, atau fraktur daerah midfacial
sepert fraktur Le Fort II dan Le Fort III. Fraktur blow-out sebagian besar terjadi
karena trauma tumpul pada daerah orbita, biasanya terjadi akibat kecelakaan olahraga
atau akibat perkelahian. Umumnya benda tumpul yang menyebabkan trauma memiliki
ukuran yang lebih besar dari diameter daerah orbital, seperti kepalan tangan, bola
tennis, dan dashboard mobil. (Warden and Lieberman, 2002)
KLASIFIKASI
Fraktur blow-out yang terjadi tanpa disertai fraktur orbital rim disebut “Pure
blow-out fracture”, sedangkan fraktur blow-out yang terjadi bersamaan dengan raktur
Fraktur Blow-out
orbital rim disebut “Impure blow-out fracture”. Fraktur blow-out biasanya terjadi
pada tulang dasar atau medial dari orbital, karena daerah ini merupakan daerah yang
paling lemah, tetapi tidak menutup kemungkinan fraktur ini terjadi pada dinding
superior atau lateral. Oleh karena itu fraktur blow-out dapat diklasifikasikan menjadi
fraktur blow-out superior, inferior, medial, dan lateral. Fraktur blow out superior
biasanya hanya terjadi pada orang orang yang mengalami pneumatisasi pada tulang
atap orbita. Fraktur pada dinding lateral orbita jarang terjadi karena tulang pada
daerah ini cendrung lebih tebal, dan ditunjang oleh otot, oleh karena itu apabila terjadi
fraktur pada dinding lateral biasanya diikuti fraktur pada daerah lain, atau tenaga
trauma yang terjadi pada orbita sangat besar. (Mathur, Taylor and Patel, 2014)
EPIDEMIOLOGI
Sebesar 70% kasus fraktur blow-out disebabkan karena trauma benda tumpul,
13% disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, 10% disebabkan karena terjatuh, dan
6% disebabkan karena luka tembak. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria, yaitu
sebesar 81% penderita fraktur ini adalah pria, hal ini disebabkan karena penyebab
utama fraktur ini adalah trauma. Selain itu karena penyebab utama dari fraktur ini
adalah trauma tumpul atau kecelakaan lalu lintas, penyakit ini paling banyak
ditemukan pada populasi dewasa muda. Pada wanita penyebab tersering fraktur ini
adalah kekerasan dalam rumah tangga. (Weerakkody and Gaillard, 2015) (Mathur,
Taylor and Patel, 2014)
PATOFISIOLOGI
Fraktur blow-out terjadi akibat adanya trauma baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap mata. Terdapat berbagai teori yang mengemukakan
bagaimana mekanisme trauma tersebut dapat menyebabkan terjadinya fraktur pada
tulang dasar orbita, dan menyebabkan fraktur blow-out.
Teori tersebut antara lain :
1. Teori Hydraulic
Pada teori ini dinyatakan bahwa suatu trauma pada daerah orbita dapat
menyebabkan peningkatan tekanan hidraulik dalam bola mata yaitu tekanan
intra okular. Peningkatan tekanan intra okular ini menyebabkan terjadinya
fraktur pada dinding orbita yang paling lemah, yaitu pada umumnya pada
dinding inferior.
2. Teori Buckling
Pada teori ini dinyatakan bahwa tekanan yang ditimbulkan akibat trauma pada
daerah orbita dapat disalurkan melalui orbital rim ke dinding orbita,
menyebabkan terjadinya fraktur dinding orbita tanpa menyebabkan fraktur
pada orbital rim.
Apabila tekanan yang ditimbulkan trauma cukup kuat, maka isi orbita dapat keluar ke
tempat yang mengalami fraktur, kondisi ini disebut fraktur blow-out. Fraktur blow-out
dikatakan sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegah perforasi bola mata
saat terjadi peningkatan tekanan pada daerah orbita. Fraktur pada dinding orbita juga
bisa terjadi akibat fraktur tulang zygomaticus, atau tulang maxila seperti pada Le Fort
II dan III, pada keadaan ini fraktur pada daerah lain menjalar sampai ke dinding
orbita. (Warden and Lieberman, 2002)
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Gejala Klinis Fraktur blow-out, secara umum terdapat trias gejala fraktur
blow-out yaitu enophtalmos, restrictive strabismus, dan rasa baal di infraorbital yaitu
di daerah kelopak mata bawah dan pipi, sampai ke gusi atas. Selain trias diatas dapat
ditemukan pula penurunan visus dan vertical diplopia, ekimosis, ptosis dan
pembengkakan pada daerah periorbital, gerakan bola mata terbatas, disertai rasa nyeri
bila bola mata digerakkan, dapat juga ditemukan pendarahan subconjunctiva pada
bola mata. Pasien biasanya mengalami gangguan dalam menggerakan bola mata
Mekanisme Fraktur Blow-out
keatas, karena terjadi penjepitan musculus rectus inferior di tempat terjadinya fraktur,
selain itu dapat juga diakibatkan karena kerusakan nervus III. (Warden and
Lieberman, 2002)
Dalam memeriksa pasien dengan kecurigaan fraktur blow-out harus diperiksa
visus, dan refleks pupil untuk memastikan ada atau tidaknya kerusakan pada nervus
opticus. Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan pergerakan bola mata, untuk
menilai apakah ada kerusakan pada saraf saraf penggerak bola mata. Pemeriksaan
dengan slit lamp, dan pemeriksaan tekanan intra okular juga perlu dilakukan untuk
memastikan tidak ada perforasi bola mata. (Andersson, Kahnberg and Pogrel, 2010)
Fraktur blow-out dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Antara lain
penjepitan pada saraf terutama M. Rectus Inferior, sehingga menyebabkan vertical
diplopia, dan gangguan pergerakan bola mata ke atas. Selain itu dapat juga terjadi
kerusakan nervus opticus yang dapat menimbulkan penurunan visus. Perforasi atau
ruptur bola mata juga dapat terjadi pada beberapa kasus. (Andersson, Kahnberg and
Pogrel, 2010)
Pemeriskaan radiologis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis fraktur
blow-out antara lain :
Foto Polos : Caldwell, dan Waters, pemeriksaan ini memiliki angka false
negative sampai sebesar 50%. Pada foto polos dapat ditemukan bayangan
opak pada sinus maksilaris atau sinus ethmoidalis.
USG : Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas sebesar 85%
CT Scan : Merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis fraktur blow-out,
disarankan untuk melakukan pemeriksaan CT Scan dengan potongan coronal
dan axial, pada melakukan CT Scan harus diprioritaskan untuk mendapatkan
gambaran lantai dasar orbita dan canalis nervus opticus.
MRI : kurang disarankan karena MRI kurang baik dalam menggambarkan
kondisi tulang, selain itu karena fraktur blow-out disebabkan karena trauma,
pemeriksaan MRI harus dilakukan dengan hati-hati, karena ada kemungkinan
terdapat benda asing di dalam orbita.
Pada pemeriksaan radiologis secara umum dapat ditemukan kerusakan pada tulang
dasar orbita, tulang dasar orbita dapat tidak terlihat, atau terlihat turun ke dalam sinus.
Sinus maksilaris pada umumnya akan memberikan gambaran radiopak, dapat pula
timbul gambaran air-fluid level. Pada beberapa kasus dapat dtiemukan emphysema
subcutis di daerah periorbital, sering pula ditemukan pembengkakan jaringan lunak
periorbital. (Mathur, Taylor and Patel, 2014)
Gambaran Klinis Pasien dengan Fraktur Blow-out
FRAKTUR BLOW-IN
DEFINISI
Seperti fraktur blow-out orbita, fraktur blow-in terjadi karena adanya fraktur
pada dinding orbita. Fraktur blow-in terjadi saat fragmen fraktur dinding orbita
terdorong masuk ke dalam orbital space atau cavum orbitalis. Masuknya fragmen
fraktur ke dalam orbital space menyebabkan orbital space menjadi lebih sempit, dan
terjadi peningkatan tekanan pada orbital space. Kelainan ini dianggap lebih parah
daripada fraktur blow-out. Fraktur blow-in lebih jarang ditemukan apabila
dibandingkan dengan fraktur blow-out. (Elston et al., 2013)
Fraktur Blow-in
KLASIFIKASI
Fraktur blow-in dapat diklasifikasikan menjadi “Pure”, dan “Impure”, sama
seperti fraktur blow-out. Yang membedakan kedua klasifikasi tersebut adalah kondisi
orbital rim, apabila orbital rim mengalami fraktur maka fraktur blow-in disebut
sebagai “Impure”, sebaliknya apabila tidak terjadi fraktur orbital rim maka fraktur
blow-in tersebut dapat disebut “Pure”. Fraktur blow-in “Impure” biasanya diikuti
fraktur pada tulang midfacial seperti os zygomaticus, atau os maxilla. Fraktur blow-in
juga dapat diklasifikasikan berdasarkan dinding orbita yang mengalami fraktur
menjadi superior, inferior, medial, dan lateral. Fraktur blow-in yang sering ditemukan
adalah fraktur blow-in superior. (Mathur, Taylor and Patel, 2014)
PATOFISIOLOGI
Pada fraktur blow-in fragmen fraktur yang masuk ke obrital space bersifat
sebagai space-occupying lesion. Pada kasus fraktur-blow in sering terjadi fenomena
trap-door dimana fragmen fraktur yang masuk ke dalam orbital space tidak dapat ter
reduksi secara spontan oleh gaya gravitasi ke tempat semula karena tertahan oleh
mukosa sinus maxillaris. Akibatnya fragmen fraktur tertahan di dalam orbital space.
Fenomena trap-door juga dapat terjadi karena terjepitnya m. rectus inferior,
memberikan gejala diplopia dan gangguan pergerakan bola mata. Fraktur blow-in
lebih sering terjadi pada anak-anak karena elastisitas dari tulang anak-anak lebih
tinggi daripada dewasa. Elastisitas tulang anak-anak menyebabkan lebih rentan terjadi
fenomena trap-door karena pada saat terjadi perpindahan fragmen tulang, elastisitas
yang tinggi membuat fragmen fraktur seperti tertarik kembali ke tempat semula
dengan cepat, hal ini menyebabkan rentan terjadi penjepitan jaringan. Fragmen fraktur
yang masuk ke dalam orbital space bersifat sebagai space-occupying lession pada
orbital space, menyebabkan berbagai gangguan pada fungsi normal mata, dan
menimbulkan berbagai gejala klinis. (Warden and Lieberman, 2002)
Fraktur Blow-in Superior dengan Fenomena Trap-Door
GEJALA KLINIS
Secara umum gejala klinis fraktur blow-in orbita mirip dengan gejala klinis
pada fraktur blow-out orbita. Pada pasien dapat ditemukan adanya vertical diplopia,
gangguan pergerakan bola mata, hipestesia di daerah periorbital maupun pada pipi,
dapat pula ditemukan ekimosis dan pembengkakan pada daerah periorbital. Gejala
yang khas yang ditemukan pada penderita fraktur blow-in adalah adanya proptosis
dari bola mata, hal ini disebabkan karena fragmen fraktur menyebabkan volume
orbital space berkurang, sehingga tekanan nya meningkat, dan bola mata terdorong ke
luar. (Warden and Lieberman, 2002)
DAFTAR PUSTAKA
Warden, S. and Lieberman, G. (2002) Orbital Fractures A Radiological Perspective,
September, [Online], Available:
http://eradiology.bidmc.harvard.edu/LearningLab/central/Warden.pdf [8
January 2015].
Elston, J.B., Ching, J.A., Hiro, E. and Payne, W.G. (2013) Pure Orbital Floor Blow-in
Fracture, 20 March, [Online], Available: http://www.eplasty.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=932:pure-orbital-floor-blow-in-
fracture&catid=183:x-craniofaciall-microsurgery&Itemid=122 [8 Mar 2015].
Mathur, N.N., Taylor, S.F. and Patel, B. (2014) Orbital Fractures , 14 July, [Online],
Available: http://emedicine.medscape.com/article/867985-overview [8 Mar
2015].
Weerakkody, Y. and Gaillard, F. (2015) Orbital blow-out fracture, 14
February, [Online], Available: http://radiopaedia.org/articles/orbital-blow-
out-fracture [8 Mar 2015].
Andersson, L., Kahnberg, K.-E. and Pogrel, M.A. (2010) Oral and Maxillofacial
Surgery, 1st edition, Chichester: Wiley-Blackwell.
KESIMPULAN
Fraktur orbita dan fraktur maksilofasial merupakan fraktur yang paling sering
terjadi pada trauma di daerah wajah. Fraktur orbita dapat berdiri sendiri, namun tidak
jarang pula fraktur orbita terjadi bersamaan dengan fraktur maksilofasial. Kedua
fraktur ini memiliki dampak yang serius dan sering menimbulkan berbagai
komplikasi. Dibutuhkan penangan yang tepat dan sesegera mungkin untuk mencegah
timbulnya berbagai komplikasi yang diakibatkan karena fraktur tersebut. Identifikasi
yang cepat dan tepat pada kedua jenis fraktur diatas sangat diperlukan, dan salah satu
alat bantu utama untuk menegakkan diagnosis pada fraktur orbita dan maksilofasial
adalah pemeriksaan radiologis.
Berbagai pemeriksaan radiologi telah tersedia untuk membantu menegakkan
diagnosis fraktur orbita dan fraktur maksilofasial. Pengetahuan mengenai pemilihan
pemeriksaan radiologi yang tepat sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
fraktur orbita dan fraktur maksilofasial. Selain itu diperlukan juga pengetahuan yang
memadai mengenai interpretasi dari masing masing pemeriksaan radiologis untuk
mendiagnosis fraktur-fraktur tersebut dengan cepat dan tepat. Kemampuan untuk
memilih pemeriksaan radiologis yang paling ideal, dan interpretasi yang akurat sangat
berperan dalam menegakkan diagnosis fraktur orbita dan fraktur maksilofasial.