Post on 06-Aug-2015
Fiskal Luar NegeriAditya T. Handoko Bwoga - Prime Consulting, 18 Juli 2007
Bagi anda yang biasa berpergian ke luar negeri, tentu tidak asing dengan istilah ini : tarif fiskal. Tetapi belum tentu memahami siapa saja yang terkena tariff tersebut. Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah pajak penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Di bawah ini, sedikit ringkasan tentang hal – hal yang mesti diperhatikan dari fiskal luar negeri.
Pembayaran dan Pengkreditan FLN
1. Tarif fiskal luar negeri adalah :
Rp. 1,000,000 untuk setiap kali penerbangan dengan menggunakan pesawat udara.
Rp. 500,000 untuk setiap kali perjalanan dengan mengguakan kapal laut.
2. Dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri (TBPFLN) di Unit Pelaksanan Fiskal Luar Negeri (UPFLN) di bandara udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri, maupun tempat lain yang ditunjuk oleh Direktur Jendral Pajak.
3. Untuk anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/identitas anggota keluarga yang bertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga.
4. Pembayaran FLN oleh wajib pajak orang pribadi (WP OP) dalam negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang pada SPT tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.
5. Pembayaran FLN oleh WP OP yang tidak mempunyai NPWP dapat dikreditkan dengan PPh terutang dengan syarat WP OP tersebut mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP serta menyampaikan SPT tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat domisili WP.
6. Pembayaran FLN oleh karyawan yang bertolak keluar negeri tidak dapat dikreditkan dengan PPh pasal 21.
7. Pembayaran FLN bagi karyawan (tidak termasuk istri dan anak) yang ditanggung pemberi kerja merupakan angsuran PPh pasal 25 bagi pemberi kerja yang dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dalam SPT Tahunan PPh badan Pemberi Kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pengecualian Fiskal Luar Negeri
Orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut :
Pembebasan langsung, diberikan oleh pejabat Direktorat Jendral Pajak yang Berwenang. Pembebasan melalui Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) diterbitkan
oleh Unit Fiskal Luar Negeri (UPFLN) DJP.
Pembebasan Langsung
Beberapa pembebasan langsung diantaranya :
1. Anggota korps dilplomat, pegawai perwakilan negara asing. Staf dari badan- badan Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) dan sebagainya.
2. Pejabat negara, anggota TNI, POLRI atau PNS yang bertolak ke Luar Negeri dalam rangka dinas yang menggunakan paspor dinas.
3. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
4. Orang pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah kerjasama ekonomi sub regional Asean yang bertolak ke Luar negeri dalam daerah kerjasama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama tersebut.
Pembebasan Melalui Pemberian SKBFLN
Beberapa pembebasan melalui pemberian SKBFLN diantaranya :
1. Anggota TNI, POLRI, atau PNS yang bertugas di bidang keamanan dan pelayanan pemerintah di daerah perbatasan yang melaksanakan dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan.
2. Tenaga kerja warga negara asing, pendatang yang bekerja di Pulau Batam, Pulau Bintan, Pulau Karimun sepanjang Mereka telah dipotong PPh pasal 21/26 oleh pemberi kerja, SKBFLN di terbitkan oleh UPFLN DJP di daerah setempat.
3. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh pasal 26 oleh pemberi penghasilan.
4. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penelitian di Bidang Ilmu pengetahuan dan kebuadayaan di bawah koordinasi lembaga resmi pemerintah, sepanjang tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Cara Memperoleh SKBFLN
1. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jendral Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat keberangkatan di luar negeri.
2. Bila permohonan disetujui, maka akan diberikan rekomendasi pembebasan FLN. 3. Berdasarkan rekomendasi tersebut, UPFLN dipelabuhan laut atau bandar udara tempat
pemberangkatan akan menerbitkan SKBFLN. 4. Bagi WP luar negeri yang berkerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan
wilayah perusahaan asing, permohonan pembebasan kewajiban membayar FLN diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai unit pelaksana FLN dimana kantor perwakilan wilayah perusahaan asing tersebut berkedudukan sebagai pengganti SKBFLN.
Demikian Sekilas mengenai Fiskal Luar Negeri
ANALISIS KEBIJAKAN FISKAL LUAR NEGERI
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri dikenai kewajiban
untuk membayar Fiskal Luar Negeri (FLN). FLN merupakan salah satu dari sekian banyak
kebijakan pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan fungsi budgetair dan fungsi regulerren.
Fungsi budgetair dalam hal ini adalah berkenaan dengan peranan FLN sebagai salah satu pos
penerimaan negara, dan fungsi regulerren berkenaan dengan upaya pemerintah untuk mengatur
dan atau membatasi WNI yang hendak bepergian ke luar negeri.
Ketentuan berkenaan dengan FLN ini banyak menimbulkan kritik dari banyak kalangan
karena dinilai memberatkan dan cenderung dianggap membatasi hak warga negara untuk
berkunjung ke luar negeri. Disamping itu sudah banyak Negara lain (bahkan di kawasan Asia
Tenggara) yang menghapuskan kebijakan ini. Dengan beberapa pertimbangan tersebut, banyak
pihak memberikan masukan kepada pemerintah untuk menghapuskan kebijakan FLN. Wacana
untuk menghapuskan FLN tersebut akhirnya berujung pada lahirnya kebijakan pemerintah untuk
menghapus FLN secara bertahap yang akan mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009
mendatang.
Dasar hukum berkenaan dengan penghapusan FLN (secara bertahap) terdapat pada
ketentuan Pasal 25 ayat (8) Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa:
“Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 (dua
puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah”, yang secara a contrario berarti bahwa FLN tidak wajib dibayar
oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke luar negeri dan telah
memiliki NPWP atau belum berusia 21 tahun. Ketentuan tersebut merupakan penyempurnaan
atau perubahan ketentuan dalam Pasal 25 ayat (8) Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang perubahan ketiga Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang
menyebutkan bahwa: “Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri wajib
membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Peraturan Pemerintah
yang dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2000
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri
khususnya ketentuan pasal 1 dan pasal 2 yang pada intinya menyatakan bahwa setiap orang
pribadi yang bertolak ke luar negeri wajib membayar Pajak Penghasilan (Fiskal Luar Negeri)
sebesar Rp. 1.000.000,- jika menggunakan pesawat udara, Rp. 500.000,- jika menggunakan
kapal laut, dan Rp. 200.000,- jika melalui perjalanan darat.
Dengan diberlakukannya UU Pajak Penghasilan yang baru (UU 36/2008) maka perlakuan
mengenai Fiskal Luar Negeri juga mengalami penyesuaian. Jika dulu setiap orang yang hendak
bepergian ke luar negeri diharuskan membayar fiskal luar negeri yang besarnya satu juta rupiah
jika menggunakan pesawat udara (lewat udara) dan lima ratus ribu jika menggunakan kapal laut
dan atau perjalanan darat, maka dengan ketentuan yang baru orang pribadi yang telah memiliki
NPWP atau belum berumur 21 tahun dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ketentuan ini akan
mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 hingga akhir 2010. Selanjutnya mulai 01 Januari 2011
setiap orang yang akan bepergian keluar negeri dibebaskan dari kewajiban untuk membayar
fiskal luar negeri.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah:
Bagaimanakah ketentuan normatif mengenai Kebijakan Fiskal Luar Negeri
yang ada di Indonesia?
Bagaimana dampak pemberlakuan kebijakan pembebasan Fiskal Luar
Negeri di Indonesia?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana
ketentuan normatif Kebijakan Fiskal Luar Negeri yang ada di Indonesia, dan bagaimana dampak
kebijakan tersebut.
1.4.Manfaat Penulisan
Manfaat praktis dari penulisan ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak
kebijakan pembebasan Fiskal Luar Negeri bagi Penerimaan Pajak dan apa saja manfaatnya
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kebijakan Publik
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik (public policy) dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing-masing
definisi tersebut memberikan penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena
masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara disisi yang lain,
pendekatan dan model yang digunakan oleh para ahli akhirnya juga akan menentukan bagaimana
kebijakan publik tersebut hendak didefinisikan. Kebijakan publik dalam perspektif penulis secara
garis besar dipahami sebagai: (1) kebijakan publik yang menjalankan fungsi sebagai decision
making process; (2) kebijakan publik sebagai sebuah proses managerial, yaitu kebijakan publik
sebagai rangkaian kerja pejabat publik dalam membuat dan menerapkan sebuah kebijakan; (3)
kebijakan publik dikategorikan sebagai bentuk intervensi pemerintah; dan (4) kebijakan publik
merupakan sarana interaksi antar negara dan rakyatnya.
Salah satu definisi mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone yang
mengatakan bahwa: secara luas, kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu
unit pemerintah dengan lingkungannya. Konsep Eyestone ini mengandung pengertian yang
sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik mencakup
banyak hal. Thomas R. Dye mengatakan bahwa: kebijakan publik adalah apapun yang dipilih
oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Walaupun batasan yang diberikan oleh
Dye ini agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberikan pembedaan yang jelas antara apa
yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan. Konsep
ini bisa mencakup hal-hal yang bersifat privat yang sebenarnya sudah berada diluar domain
kebijakan publik seperti KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara). Richard Rose, seorang pakar
ilmu politik, menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai serangkaian kegiatan
yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang
bersangkutan dari pada suatu keputusan yang tersendiri. Definisi ini bersifat ambigu namun
berguna karena kebijakan dipahami sebagai suatu arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar
suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Carl Friedrich memandang kebijakan sebagai suatu
arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Definisi yang diberikan oleh
Friedrich ini menyangkut dimensi yang sangat luas karena kebijakan tidak hanya dipahami
sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok dan individu. Point
pentingnya adalah kebijakan dilihat sebagai suatu perilaku (arah tindakan) yang mempunyai
maksud dan tujuan.
Chandler dan Plano menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan pemanfaatan
strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik.
Menurutnya, kebijakan publik merupakan bentuk intervensi negara untuk melindungi
kepentingan masyarakat (kelompok) yang kurang beruntung. Definisi Chandler dan Plano tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan publik masuk dalam lapis pemaknaan kebijakan publik sebagai
intervensi dari pemerintah.
Easton berpendapat bahwa kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup
pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut
merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari
pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Dalam hal ini kebijakan publik merupakan proses
pengambilan keputusan (decision making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik
akan efisien ketika berada dalam ranah pemerintahan. Artinya, kekuasaan negara dalam
kebijakan publik ini sangat besar.
Anderson mengungkapkan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang
dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu
adalah;
kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan;
kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah;
kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan;
kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan
tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam
arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
kebijakan publik pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif
didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Amir Santoso dengan menggunakan metode komparasi dari berbagai definisi kebijakan
publik yang ada, membedakan kebijakan publik sebagai: (1) kebijakan publik sebagai tindakan-
tindakan pemerintah, yang mencakup tahap-tahap tertentu seperti perumusan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan penilaian atau evaluasi, dan (2) kebijakan publik sebagai suatu
pelaksanaan kebijakan yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan
pemerintah yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu, dan kebijakan publik diangap sebagai
suatu yang dapat diramalkan akibatnya.
Selanjutnya Arief Ramelan Karseno, MA.,Ph.D. menyatakan bahwa kebijakan publik
dipahami sebagai kebijakan, baik politik, ekonomi, dan sosial yang diambil secara kolektif, demi
kepentingan/keuntungan masyarakat secara bersama-sama (kolektif). Kebijakan Publik itu
bisa berbentuk “aturan atau rambu-rambu” perdagangan dalam hubungan ekonomi antara
anggota masyarakat; bisa berbentuk pembuatan atau penyediaan barang yang akan dipakai
bersama (disebut barang publik) atau bahkan, bisa berbentuk hukum dan kode etik hubungan
antara manusia sebangsa yang sering kita sebut dengan budaya yang diterima secara umum
dalam masyarakat itu.
Dari berbagai pendapat tersebut, berkaitan dengan konteks penulisan kali ini dengan
objek penulisan kebijakan publik di bidang Fiskal Luar Negeri, maka penulis berpendapat bahwa
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrument pemerintahan, bukan saja dalam arti government
yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai
bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha, maupun masyarakat (baik sebagai individu
maupun kelompok). Dalam tahap perumusan kebijakan, memang dalam hal ini pemerintah
mempunyai peranan yang besar dalam ‘mempositifkan’ berbagai macam kebijakan, namun hal
ini tidak berarti terlepas dari dunia diluar pemerintahan (masyarakat) itu sendiri karena kita tahu
berbagai macam bentuk kebijakan yang ada pada dasarnya harus ‘mengikuti kehendak pasar’ dan
demi kepentingan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (tujuan tertinggi pembentukan
suatu negara). Dalam tahap implementasi dan evaluasi, kebijakan publik yang telah digulirkan
oleh pemerintah sebagai suatu pola perilaku yang mempertimbangkan arah tindakan dan sasaran-
sasaran tertentu yang ingin dicapai, tidak akan terlepas dari peran masyarakat (baik itu kelompok
maupun individu). Dengan kalimat lain dapat dijelaskan bahwa masyarakat berperan sebagai
‘kepanjangan tangan’ bagi pemerintah ketimbang sebagai objek baik dalam perumusan,
pelaksanaan, maupun dalam tahap evaluasi kebijakan. Lebih lanjut, kebijakan pada intinya
merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi kepentingan
publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat, atau warga negara. Kebijakan merupakan
hasil dari adanya sinergi, kompromi, atau bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori,
ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara. Dengan
demikian ciri-ciri dari kebijakan publik adalah adanya peran dasar pemerintah, bersentuhan
dengan kepentingan publik, berorientasi kepada kepentingan publik, dan melalui mekanisme
positivisme hukum (apapun instrumen yang digunakan, baik itu produk hukum maupun produk
politik), dan dalam koridor APBN atau dalam kerangka pola umum pembangunan berjangka
(yang terencana) dari suatu negara.
2.2. Landasan Teori
Untuk memahami kebijakan publik setidaknya ada enam pendekatan/teori yang bisa
dipakai. Pendekatan ini berdasarkan pada konstruksi silogisme (bagaimana cara memperoleh
data dan membuat kesimpulan-kesimpulan), dan berdasarkan unit analisis yang menjadi obyek
penulisan. Silogisme dibedakan menjadi dua, yaitu metode deduktif dan induktif. Metode
Deduktif merupakan pendekatan atau cara berfikir untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang
berangkat dari hal-hal yang bersifat umum (premis mayor) dan diakhiri dengan hal-hal yang
bersifat khusus (premis minor). Metode Induktif bersifat sebaliknya, berangkat dari premis minor
(hal-hal khusus) menuju ke premis mayor (general). Sedangkan pendekatan berdasarkan unit
analisis, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: individu, kelompok, dan institusi.
Apabila kita menggunakan pendekatan metode: deduktif dengan unit analisis: individu,
maka akan dikenal teori pertama untuk memahami kebijakan publik, yaitu: Rational Choice
Theory (Public Choice). Rational Choice Theory berangkat dari asumsi bahwa individu-
individu mempunyai kepentingan untuk memaksimalkan keuntungan-keuntungan pribadi
(maximizing their own benefit). Public Choice sebagai sebuah analisis untuk memahami
kebijakan publik meyakini bahwa manusia adalah individu-individu yang rasional, yang
mengejar keuntungan-keuntungan untuk kemakmuran pribadi. Rational Choice Theory
memandang: kebijakan publik digunakan untuk merespon kekuatan-kekuatan eksternal untuk
mensupport mekanisme pasar, mengatasi market inefficiency, dan untuk mengatasi monopoli.
Point penting dalam public choice adalah adanya regulatory policy, dimana kebijakan publik
dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan hukum-hukum ekonomi pasar,
dengan ciri-ciri adanya competitive regulatory policy yang menjamin adanya persaingan yang
sehat diantara pelaku-pelaku ekonomi sehingga tidak dimungkinkan terjadi monopoli, dan
adanya proteksi terhadap kelompok-kelompok lemah.
Teori yang kedua adalah Marxisme, dimana usaha pemahaman policy making process
menggunakan pendekatan metode deduktif dengan unit analisis kelompok. Marxisme
memandang ekonomi atau material sebagai faktor utama bagi bergeraknya suatu masyarakat.
Pergerakan masyarakat sangat dipengaruhi oleh mode of production (sistem produksi) yang
nantinya akan menentukan pola-pola hubungan produksi (relationship of production) yang ada di
masyarakat dan alat-alat produksi (means of production). Hal tersebut akan memunculkan
adanya dua kelompok besar masyarakat dalam marxisme, yaitu kelompok yang menguasai
faktor-faktor produksi (kelompok borjuis) dan kelompok yang menjadi alat produksi (kelompok
proletar). Kebijakan publik merupakan hasil dari interaksi antar klas yang di dalamnya ada
ordinant dan sub ordinant.
Neo Institusionalisme merupakan teori yang ketiga untuk memahami kebijakan publik
yang menggunakan metode deduktif dengan unit analisis institusi. Neo Institusionalisme
mengkaji bagaimana hubungan lembaga-lembaga negara dengan individu, tidak hanya
bagaimana hubungan antar lembaga negara dan bagaimana konstitusi mengaturnya sebagaimana
dalam paradigma old institusionalisme. Lebih dari itu, dalam neo institusionalisme terdapat
semacam ‘transaksi politik’ antara penguasa dengan individu. Kebijakan publik yang lahir bukan
semata-mata karena elit (penguasa) punya otoritas, akan tetapi kebijakan publik bersifat
transaksional, dan bersifat saling menguntungkan satu sama lain.
Teori yang keempat adalah Welfare Economic, dengan metode induktif dan individu
sebagai unit analisis. Welfare Economic merupakan suatu pendekatan yang dipakai untuk
memahami kebijakan publik yang berkaitan dengan keputusan-keputusan sosial dan
kesejahteraan rakyat. Terdapat dua mainstream pemikiran ekonomi, yang pertama adalah
Kapitalisme (manifesto non komunism), kedua adalah Sosialisme (manifesto komunism). Dalam
kapitalisme, pasar sangat berperan dalam membentuk suatu kondisi equilibrium. Peran negara
sangat diminimalisir karena yang berjalan adalah mekanisme pasar. Dalam welfare state,
kebijakan publik berperan sebagai suatu solusi untuk mengatasi masalah market failure, dan
berperan dalam mengkoreksi pasar, dengan tujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sebaliknya dalam sosialisme, peranan negara menjadi sangat dominan dan malah menjadi
determinant dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui berbagai macam kebijakan-
kebijakannya.
Selanjutnya teori yang kelima adalah Pluralisme atau Corporatisme yang merupakan
upaya memahami kebijakan publik dengan menggunakan metode induktif dengan unit analisis
kelompok. Corporatisme menekankan adanya peran kelompok-kelompok dominan sebagai yang
berkepentingan atas kebijakan tertentu. Hal semacam ini dapat terjadi apabila sebagian besar
faktor-faktor produksi yang ada di suatu negara ‘dikuasai’ oleh sekelompok atau beberapa
kelompok atau golongan tertentu. Kepentingan kelompok-kelompok tersebut yang akan
menentukan arah kebijakan yang seperti apa yang akan diambil oleh negara.
Teori yang keenam adalah Stateisme yang menggunakan metode induksi dengan intsitusi
sebagai unit analisis. Pendekatan ini sangat memperhatikan aspek-aspek pembentukan kebijakan,
konfigurasi dari institusi (negara), dan kekuatan sistem ekonomi dan politik suatu negara. Negara
dianggap sebagai suatu alat untuk melayani masyarakat melalui kebijakan yang dibuatnya.
Seakan-akan tugas mendasar dari suatu negara adalah membuat kebijakan. Faktor yang dominan
dari pembuatan kebijakan adalah adanya ‘kepentingan’ dari negara itu sendiri.
Di antara keenam teori tersebut, apabila merujuk pada penerapan kebijakan di bidang
Fiskal Luar Negeri di Indonesia, maka pendekatan yang paling relevan menurut penulis adalah
sesuai dengan teori Neo Institusionalisme (dengan menggunakan metode deduktif dengan unit
analisis institusi). Ciri khas dari Neo Institusionalisme adalah kebijakan publik menjadi semacam
hasil kesepakatan politik antara negara (penguasa) dengan rakyat (masyarakat), dan kebijakan
publik bersifat transaksional (saling menguntungkan satu sama lain). Dalam konteks kebijakan
berkaitan dengan pembebasan Fiskal Luar Negeri secara bertahap sebagaimana ketentuan dalam
pasal 25 ayat (8) UU No 36 Tahun 2008, maka sifat transaksional ini dapat terlihat dari
keberlakuan kebijakan dalam kurun waktu 01 Januari 2008 s/d 31 Desember 2010. Bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) yang telah memiliki NPWP diberikan
pembebasan dari kewajiban membayar FLN, dengan begitu Pemerintah berharap Subyek Pajak
yang belum berNPWP dapat tergerak hatinya untuk mendaftarkan diri guna memperoleh NPWP.
2.3. Metode Pencarian Data
Metode Pencarian Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode ‘snow ball
effect rolling up’. Penulis menelusuri keberlakuan peraturan perundang-undangan dari mulai
yang terbaru, kemudian dengan memperhatikan konsideran-konsideran dari peraturan tersebut
penulis menelusuri ke belakang. Instrument yang digunakan untuk melakukan penelusuran
peraturan adalah search engine yang ada di situs Direktorat Jenderal Pajak www:pajak.go.id
yang dapat diakses oleh semua pihak. Keyword yang digunakan adalah Fiskal Luar Negeri.
Keterbatasan instrument menjadi kendala tersendiri karena situs tersebut hanya menyediakan
data sampai dengan tahun 1983.
Kendala lain yang dihadapi oleh penulis adalah keterbatasan akses data berkaitan dengan
realisasi penerimaan pajak dari sektor Fiskal Luar Negeri dari tahun ke tahun, berapa WP yang
mengkreditkan pembayaran FLN sebagai pajak masukan, dan berapa jumlah NPWP baru yang
dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan pembebasan FLN mulai 01 Januari 2009 kedepan. Hal ini
karena sifat kerahasiaan data, disamping karena memang data yang dibutuhkan oleh penulis
tidak tersaji. Beberapa data yang disajikan berkaitan dengan realisasi penerimaan FLN
didapatkan dari sumber eksternal DJP.
BAB 3
ANALISIS
3.1. Pengertian Fiskal Luar Negeri
Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri.
Pembayaran dan Pengkreditan FLN
1. Tarif Fiskal Luar Negeri adalah :Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan
menggunakan pesawat udara atau melalui bandara;Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan
dengan menggunakan kapal laut atau melalui pelabuhan laut;Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan
dengan menggunakan sarana transportasi darat.2. Dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Bukti Pembayaran Fiskal Luar Negeri
(TBFLN) di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
3. Anggota keluarga sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, TBPFLN diisi dengan nama/identitas anggota keluarga yang bertolak ke luar negeri, dan NPWP yang dicantumkan adalah NPWP kepala keluarga.
4. Pembayaran FLN bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) Dalam Negeri merupakan pembayaran PPh pasal 25 yang dapat dikreditkan dengan PPh yang terutang pada SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan;
5. Pembayaran FLN bagi WPOP yang tidak mempunyai NPWP dapat dikreditkan dengan PPh terutang dengan syarat WPOP tersebut mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
serta menyampaikan SPT Tahunan PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat domisili WP;
6. Pembayaran FLN bagi karyawan yang bertolak ke Luar Negeri tidak dapat dikreditkan dengan PPh Pasal 21 oleh karena merupakan pembayaran PPh Pasal 25.
7. Pembayaran FLN bagi karyawan (tidak termasuk isteri dan anak), yang ditanggung pemberi kerja merupakan angsuran PPh pasal 25 bagi pemberi kerja yang dapat dikreditkan terhadap PPh terutang dalam SPT Tahunan Pemberi Kerja untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Pengecualian Fiskal Luar Negeri
Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dikecualikan dari pembayaran FLN dengan cara sebagai berikut :
pembebasan langsung, diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang;
pembebasan melalui pemberian Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN) diterbitkan Unit Fiskal Luar Negeri (UPFLN) DJP.
Pembebasan Langsung:
a. Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing. staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional yang mendapat persetujuan Pemerintah RI, sepanjang mereka bukan Warga Negara Indonesia (WNI) dan disamping jabatan resminya tidak melakukan pekerjaan lain atau kegiatan usaha di Indonesia beserta anggota keluarga dan pembantu rumah tangganya yang bukan WNI.
b. Pejabat negara, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertolak ke luar negeri dalam rangka dinas yang menggunakan Paspor Dinas, dan dilengkapi dengan surat tugas/perjalanan dinas ke luar negeri untuk setiap kali keberangkatan. Dalam hal keberangkatannya ke Luar Negeri dalam rangka penempatan di luar negeri, pembebasan diberikan juga kepada isteri dan anak-anaknya.
c. Anggota TNI atau POLRI yang mendapat tugas sebagai pasukan PBB atau dalam rangka latihan bersama dengan pasukan negara lain di luar negeri.
d. Petugas imigrasi yang melakukan tugas pemeriksaan keimigrasian dalam pesawat terbang perusahaan penerbangan nasional atau kapal laut perusahaan pelayaran nasional.
e. Jemaah haji yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Departemen Agama dan petugas pelaksana pemberangkatan haji yang pembiayaannya dibebankan pada dana ONH.
f. Penduduk Indonesia yang melakukan perjalanan lintas batas wilayah RI dengan mempergunakan Pas Lintas Batas sesuai dengan perjanjian lintas batas dengan negara terkait;
g. Orang asing yang berada di Indonesia dengan visa turis, transit, visa sosial budaya, visa kunjungan usaha, dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
h. Orang asing yang karena sesuatu hal diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk meninggalkan wilayah Republik Indonesia.
i. Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional ASEAN yang bertolak ke luar negeri dalam daerah kerja sama melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama.
j. Orang Pribadi yang bertempat tinggal dalam wilayah Kerjasama Ekonomi Sub regional Indonesia-Australia (AIDA) yang bertolak ke Australia melalui pelabuhan atau tempat pemberangkatan ke luar negeri dalam daerah kerjasama kecuali Bali.
Pembebasan melalui pemberian SKBFLN:
a. Anggota TNI atau POLRI dan PNS yang bertugas dibidang keamanan dan pelayanan pemerintahan di daerah perbatasan yang melaksanakan tugas dinas ke luar negeri dalam rangka kerja sama dengan negara yang berbatasan;
b. Penduduk Indonesia yang bertempat tinggal tetap di Pulau Batam yang mempunyai Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang di pulau tersebut, sepanjang mereka telah dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi penghasilan atau telah terdaftar sebagai wajib pajak dan telah memenuhi kewajiban Pajak penghasilannya pada Kantor Pelayanan Pajak Batam.
c. Tenaga Kerja Warga Negara Asing pendatang yang bekerja di pulau Batam, pulau Bintan ,pulau Karimun, sepanjang mereka telah dipotong PPh Pasal 21/26 oleh pemberi kerja, SKBFLN diterbitkan oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di daerah setempat;
d. Orang asing yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia yang tidak bertempat tinggal atau tidak bermaksud menetap di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari (seratus delapan puluh tiga) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sepanjang atas penghasilan tersebut telah dipotong PPh pasal 26 oleh pemberi penghasilan.
e. Mahasiswa atau pelajar asing yang berada di Indonesia dalam rangka belajar dengan rekomendasi dari pimpinan sekolah atau perguruan tinggi yang bersangkutan dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
f. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan penulisan dibidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan dibawah koordinasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau lembaga resmi Pemerintah lainnya serta Departemen Pendidikan Nasional, sepanjang tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
g. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka pelaksanaan program kerjasama teknik dengan mendapat persetujuan Sekretariat Kabinet serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
h. Orang asing yang berada di Indonesia dalam rangka melakukan tugas sebagai anggota misi keagamaan dibawah koordinasi Departemen Agama dan misi kemanusiaan dibawah koordinasi Departemen terkait.
i. Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya organisasi sosial termasuk 1 (satu) orang pendamping dengan persetujuan Menteri Kesehatan
j. Anggota Korps Diplomatik, Pegawai Perwakilan Negara Asing, staf dari Badan-Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, tenaga ahli dalam rangka kerja sama teknik dan staf dari Badan/ Organisasi internasional beserta isteri dan anak-anaknya yang merupakan anggota keluarga seperti yang dimaksud dalam angka 1 huruf a;
k. Anak-anak yang berangkat ke Luar Negeri sepanjang umurnya tidak melebihi 12 tahun berdasarkan Bukti Surat kependudukan atau paspor yang bersangkutan.
l. Orang pribadi yang berasal dari bekas propinsi Timor Timur yang berada di Indonesia dalam status pengungsi, yg telah memutuskan menjadi Warga Negara bekas Propinsi Timor Timur dan akan kembali Ke Timor Timur, berdasarkan rekomendasi Palang Merah Indonesia .
m. WNI yang akan bekerja di Luar Negeri dalam rangka program pengiriman TKI dengan persetujuan Menteri Tenaga Kerja.
n. Awak pesawat terbang dan awak kapal laut yang beroperasi di jalur internasional atau yang melakukan penerbangan, pelayaran, dan operasi berdasarkan perjanjian carter angkutan.
o. Anggota misi kesenian, misi Olah raga dan misi keagamaan serta misi dagang atau pameran yang mewakili pemerintah RI di luar negeri.
p. Mahasiswa atau pelajar Indonesia yang pergi ke Luar Negeri serta guru Indonesia dalam rangka program resmi pertukaran mahasiswa atau pelajar atau guru yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Badan Asing dengan persetujuan Menteri terkait.
q. WNI yang bertempat tinggal tetap di luar negeri yang memiliki tanda pengenal resmi sebagai penduduk luar negeri tersebut dan tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia sepanjang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan pembebasan tersebut hanya diberikan untuk 4 (empat) kali dalam masa 1 (satu) tahun takwim.
r. Orang Pribadi WNA yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, dan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Catatan :huruf e, f, g, h, o, dan p tidak berlaku bagi isteri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Cara memperoleh SKBFLN
1. Mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat keberangkatan ke luar negeri.
2. Bila permohonan disetujui, maka akan diberikan rekomendasi pembebasan FLN.3. Berdasarkan rekomendasi tersebut, unit FLN di pelabuhan laut atau bandar udara
tempat pemberangkatan akan menerbitkan SKBFLN.4. Bagi WP luar negeri yang bekerja di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan
wilayah perusahaan asing, permohonan pembebasan kewajiban membayar FLN diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai unit pelaksana FLN dimana kantor perwakilan wilayah perusahaan asing tersebut berkedudukan, sebagai pengganti SKBFLN.
3.2. Landasan Hukum Penerapan Kebijakan Fiskal Luar Negeri
Sejarah berlakunya ketentuan mengenai Fiskal Luar Negeri di Indonesia dimulai ketika
dilaksanakannya reformasi di bidang perpajakan pada Tahun 1983, dimana pada saat itu DPR
menyetujui paket Rancangan Undang Undang Perpajakan yang diajukan Pemerintah untuk
disahkan menjadi Undang Undang meliputi:
Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan;Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; danUndang Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam ketentuan Pasal 25 ayat (8) UU 7/1983 diatur mengenai kewajiban Wajib Pajak yang
akan bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya akan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Landasan hukum berkaitan dengan kewajiban membayar FLN sebelum reformasi UU
Perpajakan Tahun 1983 adalah Keppres 84/1982, dimana menurut ketentuan tersebut setiap
WPOPDN yang akan bertolak ke luar negeri dibebani dengan kewajiban membayar FLN sebesar
Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah). Ketentuan ini berlaku sampai dengan tanggal 05 Oktober
1986 sampai dengan ditanda tanganinya KMK 828 dan 830 Tahun 1986 yang mengatur
mengenai tarif FLN sebesar Rp. 250.000,- dan subyek pajak FLN WPOPDN dengan usia lebih
dari 12 Tahun. Namun demikian KMK ini tidak membedakan antara subyek pajak yang
menggunakan sarana kapal laut ataupun kapal udara untuk bepergian ke luar negeri. Walaupun
demikian KMK ini terlihat cukup lama bertahan karena baru dilakukan penyesuaian pada 14 Juli
1990 dengan dikeluarkannya KMK 768/1990 yang membedakan tarif antara yang menggunakan
kapal udara dengan kapal laut sebagai sarana bertolak ke luar negeri. Untuk WPOPDN yang
bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara berlaku tarif 250 ribu untuk setiap
keberangkatan, sedangkan yang menggunakan kapal laut dikenai kewajiban FLN sebesar 100
ribu rupiah.
Periode berikutnya adalah masa keberlakuan PP 46/1994 yang merupakan ketentuan
pelaksana dari amanat pasal 25 ayat(8) UU 7/1983. Dalam ketentuan pasal 1 dan pasal 2 PP
46/1994 disebutkan bahwa Orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri diwajibkan
membayar Pajak Penghasilan, dan besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar oleh orang
pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah :
Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) bagi setiap orang untuk
setiap kali bertolak ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;
Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali
bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut;
Rp 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali
bertolak ke luar negeri melalui darat.
PP 46/1994 ini mulai diberlakukan pada 01 Januari 1995 sampai dengan diterbitkannya PP
42/2000 pada tanggal 23 Juni 2000 yang memperbaruhi tarif FLN menjadi:
Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap orang setiap kali bertolak
ke luar negeri dengan menggunakan pesawat udara;
Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) untuk setiap orang setiap kali
bertolak ke luar negeri dengan menggunakan kapal laut; dan
Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) untuk setiap kali perjalanan dengan
menggunakan sarana transportasi darat.
Ketentuan dalam PP 42/2000 tersebut sampai sekarang masih berlaku.
Periode berikutnya adalah masa keberlakuan UU Pajak Penghasilan yang baru (UU
36/2008). Dengan berlakunya UU 36/2008 maka perlakuan mengenai Fiskal Luar Negeri juga
mengalami penyesuaian. Jika pada periode sebelumnya setiap orang yang hendak bepergian ke
luar negeri diharuskan membayar fiskal luar negeri yang besarnya satu juta rupiah jika
menggunakan pesawat udara (lewat udara) dan lima ratus ribu jika menggunakan kapal laut dan
atau perjalanan darat, maka dengan ketentuan yang baru orang pribadi yang telah memiliki
NPWP atau belum berumur 21 tahun dibebaskan dari kewajiban tersebut. Ketentuan ini akan
mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 hingga akhir 2010. Selanjutnya mulai 01 Januari 2011
setiap orang yang akan bepergian keluar negeri dibebaskan dari kewajiban untuk membayar
fiskal luar negeri. Tabel berikut ini akan menunjukkan bagaimana keberlakuan kebijakan Fiskal
Luar Negeri di Indonesia dari tahun ke tahun.
Tabel 1
Kebijakan Fiskal Luar Negeri di IndonesiaKurun Waktu Dasar Hukum Subyek Pajak Objek Pajak Tarif FLNSebelum Reformasi UU Perpajakan
n/a n/a n/a n/a
06 Okt 86 s/d 13 Jul 90
Kepres 84/1982KMK 828 dan 830/1986
WPOPDN Pergi ke luar negeri
250 rb
14 Jul 90 s/d 31 Des 94
Kepres 28/90KMK 768/90
WPOPDN Pergi ke luar negeri
250 rb100 rb
01 Jan 1995 s/d 22 Jun 00
PP 46/1994 SE-49/PJ.41/99 tgl 27 Okt 99
WPOPDN 12 Tahun Keatas
Pergi ke luar negeri
250 rb100 rb50 rb
23 Jun 00 s/d 31 Des 08
PP 42/2000
WPOPDN 12 Tahun Keatas
Pergi ke luar negeri
1 jt500 rb200 rb
01 Jan 2009 s/d 31 Des 2010
UU 36/2008Pasal 25 ayat (8)PP/KMK/SE???
WPOPDN Non NPWP & 21 Tahun Keatas
Pergi ke luar negeri
2,5 jt1 jt200 rb
01 Jan 2011 s/d dst
UU 36/2008pasal 25 ayat (8a)
WPOPDN Pergi ke luar negeri
FREE
3.3. Analisis Dampak Kebijakan Pembebasan Fiskal Luar Negeri
Selama ini FLN merupakan salah satu sumber pemasukan negara dari sektor pajak. Jika
kita lihat dari besarannya, dari tahun ke tahun penerimaan dari sektor FLN selalu mengalami
peningkatan yang signifikan (tabel 2).
Tabel 2Realisasi Penerimaan Fiskal Luar Negeri
Uraian JumlahFiskal Luar Negeri 2005 Rp. 0,8 TFiskal Luar Negeri 2006 Rp. 1,2 TFiskal Luar Negeri 2007 Rp. 2,5 TFiskal Luar Negeri 2008*) Rp. 2,8 T (Target 3,3 T)
*) Data sampai dengan Oktober 2008
Anggito Abimanyu (Kepala BKF Depkeu) dalam suatu kesempatan menyampaikan
bahwa kebijakan pembebasan FLN yang akan diberlakukan secara bertahap mulai 01 Januari
2008 akan membawa konsekuensi logis berupa potensial loss lebih dari 3,3 T di tahun 2009. Jika
pernyataan ini ditinjau dari paradigma konsep penyusunan RAPBN, memang benar ada loss
harus ditanggung oleh pemerintah di tahun 2009 dst sebagai akibat berlakunya kebijakan
pembebasan FLN ini. Pos pemasukan Negara dari sektor pembayaran FLN yang pada tahun
2008 (data s/d Oktober 2008) mencapai 2,8 T yang diperkirakan pada 2009 dapat meningkat
menjadi lebih dari 3,3 T akan hilang pada RAPBN 2009.
Namun apabila kita mencermati lebih jauh, substansi dari pembayaran FLN sebenarnya
merupakan bagian dari PPh Orang Pribadi yang dibayarkan pada saat ia hendak bertolak ke luar
negeri dalam bentuk Fiskal Luar Negeri. FLN berlaku sebagai kredit pajak, sehingga pada akhir
tahun (ketika melakukan pelaporan pajak) WP dapat mengkreditkan FLN yang telah dibayar
sebagai pajak masukan, atau jika PPh Pasal 29nya nihil dapat dimintakan restitusi. Jadi apabila
diasumsikan bahwa semua orang yang pergi ke luar negeri sudah punya NPWP, maka FLN yang
dibayarkan akan berfungsi sebagai setoran PPh Pasal 25 dan nantinya akan menjadi bagian dari
perhitungan PPh Pasal 29 orang tersebut. Beberapa kemungkinan yang terjadi berkenaan dengan
pelaksanaan kebijakan FLN pada masa keberlakuan UU 7/1983 dapat digambarkan pada bagan 1
berikut:
Bagan 1Perhitungan Riil Potential Loss
Pada masa keberlakuan UU 36/2008 (untuk kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31
Desember 2010), ketika orang yang sudah ber NPWP dan berusia dibawah 21 tahun dibebaskan
dari kewajiban membayar FLN, maka potential income pemerintah dari sektor ini praktis hanya
berasal dari WPOPDN yang bertolak ke luar negeri dan belum mempunyai NPWP dan sudah
berusia diatas 21 tahun. Kebijakan ini jelas sekali bertujuan untuk mendorong WPOPDN yang
sering atau paling tidak akan bepergian ke luar negeri untuk mendaftakan diri guna memperoleh
NPWP. Jadi tujuan utama dari kebijakan ini adalah dalam rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak
atau guna memperluas basis Subyek Pajak. Bagan 2 berikut ini akan memperjelas bagaimana
potential income yang seharusnya menjadi perhitungan potential loss FLN di tahun 2009 dan
2010.
Bagan 2Potential Incoma FLN 2009 dan 2010
Pemberlakuan FLN sendiri dalam tataran administrative terkendala dengan beberapa
hambatan atau terdapat bias of purposes. Sebagai contoh adalah terhadap WPOP yang sumber
penghasilannya berasal dari satu pemberi kerja dan tidak mempunyai penghasilan lain diluar itu.
Ketika ia lapor SPT, maka kedudukannya akan menjadi LB (lebih bayar) sebagai akibat
pembayaran FLN. Jika ia meminta restitusi, maka ini akan menjadi beban pekerjaan yang
tersendiri bagi DJP. Tentu saja hal ini merupakan inefisiensi karena hanya memutar-mutar uang
yang sebenarnya tidak berguna atau justru memberatkan kedua belah pihak baik bagi WP
maupun DJP. Nah dalam keadaan yang demikian maka timbul pertanyaan apakah sebenarnya
yang menjadi tujuan diterapkannya ketentuan mengenai FLN? Apakah untuk mendongkrak
tingkat pendapatan (fungsi budgetair)? Jika ini yang menjadi pertimbangan maka hal tersebut
tidak tepat, karena bagi orang yang bepergian ke luar negeri dan telah memiliki NPWP maka
pembayan FLNnya berlaku sebagai kredit pajak yang bersifat mengurangi PPh terutang di
perhitungan PPh Pasal 29-nya. Lalu ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa
pemberlakuan FLN merupakan suatu upaya dari pemerintah untuk membatasi warganya yang
akan pergi ke luar negeri. Harapan dari pemerintah adalah untuk meminimalisir capital drain di
dalam negeri. Nah, jika yang menjadi alasan adalah dalam menjalankan fungsi regulerren, maka
kritik yang timbul adalah bahwa bepergian ke luar negeri merupakan bagian dari hak dasar
manusia sebagai makhluk sosial, oleh karena itu negara tidak boleh membatasi warganya yang
akan bepergian ke luar negeri (dengan berbagai keperluan). Jika yang menjadi alasan adalah
capital drain, maka ini hanyalah merupakah phobia belaka dari pemerintah, karena justru
semakin mobile pengusaha ia akan semakin banyak mendapatkan relasi, sehingga usahanya
dapat berkembang sejalan dengan mobilitasnya. Maka yang harus dilakukan pemerintah adalah
memperbaiki iklim investasi dan bukan membatasi warganya yang akan bepergian ke luar
negeri. Dengan adanya kenyataan-kenyataan regulasi berkaitan dengan fiskal luar negeri, maka
yang nampak dari kacamata penulis, apakah sebenarnya yang ada dibalik pemberlakuan
kebijakan mengenai fiskal luar negeri ini secara adalah:
Kurun waktu 01 Januari 1984 s/d 31 Desember 2008
FLN berfungsi lebih sebagai alat politik dari penguasa untuk membatasi rakyatnya yang akan
bepergian ke luar negeri dengan membebaninya dengan kewajiban pembayaran pajak (atau lebih
tepatnya mungkin bisa disebut dengan bea) dari pada sebagai alat untuk menambah kas negara.
Lebih tepat disebut dengan bea? Ya, jika ini terjadi pada orang pribadi yang belum memiliki
NPWP. FLN yang sebenarnya berlaku sebagai kredit pajak tidak bisa ‘dimanfaatkan’ oleh orang
yang membayarnya jika ia tidak atau belum memiliki NPWP. Bukan sebagai alat untuk
menambah kas negara? Ya, karena FLN berlaku sebagai kredit pajak bagi mereka yang
mempunyai NPWP. Jadi jika diasumsikan semua orang yang membayar FLN memiliki NPWP,
maka FLN bukan merupakan alat untuk menambah kas negara.
01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010
Pemberlakuan ketentuan pembebasan FLN, yaitu pembebasan FLN bagi orang yang telah
memiliki NPWP dan berusia dibawah 21 tahun. Hal ini merupakan propaganda dari DJP untuk
meningkatkan ratio kepemilikan NPWP. Upaya ini dikenal sebagai Ekstensifikasi Wajib Pajak.
Kritik dari penulis adalah, pemberlakuan FLN ini merupakan iming-iming DJP terhadap orang
pribadi yang memiliki tingkat kesaradaran pajak yang rendah (yang dibuktikan dengan belum
memiliki NPWP) namun memiliki potensi yang tinggi untuk membayar pajak (yang dibuktikan
dengan kemampuan ekonomisnya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri). Hal ini mungkin
akan efektif apabila diterapkan pada orang pribadi yang pemahaman tentang administrasi
perpajakannya rendah. Namun kebijakan ini tidak akan berlaku efektif terhadap orang yang
memiliki pemahaman yang baik tentang administrasi perpajakan, yang mengetahui bagaimana
cara menghitung pph, apa itu kredit pajak, bagaimana cara mengkreditkan FLN, dsb, sedangkan
tingkat kesadaran pajaknya rendah. Ia akan berfikiran bahwa apabila ia ‘memanfaatkan’
kebijakan ini, dalam arti ia mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP (dengan tujuan
memperolah bebas fiskal jika ia pergi ke luar negeri), maka ia akan dihadapkan pada
konsekuensi untuk mengisi SPT, menghitung pajak, membayar pajak, dan melaporkan SPTnya
ke DJP. Dengan kalkulasi ini maka ia akan berfikir ulang, mana yang lebih menguntungkan
buatnya. Apakah mendaftarkan diri untuk memperolah NPWP dengan segala konsekuensinya,
atau tidak mendaftarkan diri dengan konsekuensi membayar FLN jika bepergian ke Luar Negeri.
Kritik dari penulis adalah, kebijakan FLN yang berlaku di kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31
Desember 2010 merupakan propaganda yang bersifat ‘menjebak’ bagi masyarakat dengan tujuan
untuk meningkatkan jumlah WP. Apabila DJP ingin melaksanakan ekstensifikasi wajib pajak
maka seyogianya menggunakan cara-cara yang lebih elegan. Misalnya meningkatkan
pemahaman masyarakat akan arti penting pajak, keuntungan-keuntungan yang didapatkan
apabila memiliki NPWP, meningkatkan mutu pelayanan, dsb. Namun demikian cara-cara seperti
ini (Esktensifikasi Wajib Pajak dengan sasaran WPOPDN yang sering ataupun akan pergi ke luar
negeri akan tetapi belum memiliki NPWP dan sudah berusia 21 tahun) menurut penulis sah-sah
saja dan kebijakan pembebasan FLN bagi WPOPDN yang sudah berNPWP ini cukup fair karena
dinilai saling menguntungkan baik bagi masyarakat maupun DJP (pemerintah).
01 Januari 2011 dst
Pembebasan FLN bagi siapa saja yang hendak bepergian ke Luar Negeri. Hal ini merupakan
kebijakan yang ideal yang sebenarnya telah diterapkan sejak lama di banyak negara. Dengan
asumsi bahwa setiap WPOPDN yang bepergian ke luar negeri adalah orang dengan penghasilan
diatas PTKP, dan oleh karenanya mereka sudah memiliki NPWP, dan karena FLN itu sendiri
berfungsi sebagai kredit pajak, maka kebijakan pembebasan FLN ini secara rasional kebijakan
ini seharusnya tidak akan berdampak terhadap penerimaan pajak. Bepergian ke Luar Negeri
merupakan hak dari setiap warga negara, dan negara wajib menjamin kebebasan ini dan
hendaknya berfungsi sebagai fasilitator. Dengan adanya kebijakan ini diharapkan justru iklim
investasi akan meningkat sejalan dengan dipermudahnya orang untuk keluar masuk ke luar
negeri atau ke dalam negeri. Kritik penulis, ketentuan ini selayaknya didukung oleh kebijakan di
bidang pelayanan perpajakan yang memuaskan bagi seluruh Wajib Pajak, dan juga upaya
merubah paradigma masyarakat dari pajak merupakan suatu beban menjadi pajak sebagai
kehormatan dalam menjalankannya.
BAB 4
PENUTUP
4.1. Simpulan
Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri dikenai kewajiban untuk membayar Fiskal Luar Negeri (FLN).
Fiskal Luar Negeri (FLN) adalah Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib dibayar oleh setiap Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri dengan tarif Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan pesawat udara atau melalui bandara; Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan kapal laut atau melalui pelabuhan laut; dan Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah), untuk setiap kali perjalanan dengan menggunakan sarana transportasi darat.
Ketentuan berkenaan dengan FLN ini banyak menimbulkan kritik dari banyak kalangan karena dinilai memberatkan dan cenderung dianggap membatasi hak warga negara untuk berkunjung ke luar negeri. Disamping itu sudah banyak negara lain (bahkan di kawasan Asia Tenggara termasuk Malaysia dan Singapura) yang menghapuskan kebijakan ini.
Wacana untuk menghapuskan FLN tersebut akhirnya berujung pada
lahirnya kebijakan pemerintah untuk menghapus FLN secara bertahap yang akan
mulai diberlakukan pada 01 Januari 2009 mendatang dengan perlakuan sebagai
berikut: kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31 Desember 2010, WPOPDN yang sudah
mempunyai NPWP dan belum berusia 21 tahun dibebaskan dari kewajiban membayar
FLN; kurun waktu 01 Januari 2011 semua WPOPDN yang hendak bepergian ke luar
negeri bebas dari kewajiban membayar FLN.
Dampak kebijakan FLN dalam kurun waktu 01 Januari 2009 s/d 31
Desember 2010 secara matematis memang menghilangkan potensi penerimaan pajak
dari sektor FLN sebesar lebih dari Rp. 3,3 T di tahun 2009 dan diatas Rp. 4 T di tahun
2010. Namun demikian hal ini bukan berarti DJP akan menderita kerugian yang
besar, karena sifat pembayaran FLN itu sendiri yang berfungsi sebagai kredit pajak
bagi yang membayarnya.
Dengan asumsi bahwa FLN dibayar oleh WPOPDN yang sudah berNPWP, maka kebijakan pembebasan FLN ini tidak akan berdampak besar pada sisi penerimaan pajak.
Kebijakan pembebasan FLN lebih banyak bertujuan untuk menjaring NPWP baru dengan sasaran WPOPDN yang sering atau merencanakan bepergian ke luar negeri di tahun 2009 s/d 2010 dan belum berNPWP. Hal ini dibuktikan dengan
pengenaan tarif yang lebih besar pada 2009-2010 yaitu 2,5 jt melalui bandara dan 1 jt melalui pelabuhan laut.
Efektifitas keberlakuan kebijakan pembebasan FLN ini jika memang tujuannya untuk melakukan Ekstensifikasi Wajib Pajak, maka akan dapat terlihat dengan meneliti seberapa besar peningkatan jumlah NPWP baru.
4.2. Saran
Kebijakan FLN merupakan salah satu diantara sedikit kebijakan
pemerintah yang bersifat win win solution baik bagi warga masyarakat maupun bagi
pemerintah. Ini dapat terlihat dengan terakomodasinya kepentingan kedua belah
pihak. Masyarakat membutuhkan pembebasan FLN karena dinilai tidak efisien (bagi
yang sudah berNPWP) dan bersifat membatasi kebebasan warga Negara untuk
bepergian ke luar negeri. Sedangkan dari sisi pemerintah (dalam hal ini DJP)
kebijakan ini berpeluang untuk menambah jumlah Wajib Pajak terdaftar. Saran dari
penulis adalah, untuk meningkatkan jumlah Wajib Pajak terdaftar DJP seyogianya
menggunakan cara-cara yang lebih komprehensif seperti meningkatkan mutu
pelayanan dan terus aktif berupaya meningkatkan kesadaran perpajakan warga
masyarakat. Dengan cara ini diharapkan tanpa adanya ketentuan pembebasan luar
negeri bertahap pun (kurun waktu 01 Januari 1009 s/d 31 desember 2010)
masyarakat yang sudah memenuhi ketentuan normatif untuk mempunyai NPWP
akan berbondong-bondong menuju KPP setempat untuk mendaftarkan diri guna
memperoleh NPWP.
Untuk mengetahui sejauh mana dampak kebijakan pembebasan
FLN ini, dan untuk mengetahui efektivitas keberhasilannya sehubungan dengan
upaya menambah jumlah WP baru pada kurun waktu 2009-2010, penulis
menghadapi kendala berkaitan dengan data-data riil penerimaan FLN dari tahun ke
tahun, dan penambahan jumlah WP terdaftar dengan tujuan untuk ‘memanfaatkan’
kebijakan ini. Dengan demikian disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui bagaimana dampak kebijakan ini berkaitan dengan penambahan
jumlah WP terdaftar.
Tata cara pembebasan fiskal LN
Sebagaimana kita ketahui bahwa aturan mengenai Fiskal Luar Negeri sejak 1 Januari 2009 telah mengalami perubahan dimana tidak semua orang yang ke luar negeri harus bayar Fiskal Luar Negeri. Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara agar mendapatkan pembebasan Fiskal Luar Negeri sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1/PJ/2009 Tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 53/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pembayaran, Pengecualian Pembayaran Dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki NPWP
Wajib Pajak atau penumpang tujuan luar negeri menyerahkan fotokopi Kartu NPWP/ SKT/ SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass ke petugas UPFLN. Dalam hal Kartu NPWP atas nama/dimiliki oleh Kepala Keluarga, maka anggota keluarga yang ke Luar Negeri dari:
Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) atau berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) dan memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan:
1. fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau2. Surat Pernyataan Me3. nanggung Sepenuhnya Orang Tua yang tidak terdaftar dalam Kartu
Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki NPWP (contoh surat pernyataan pada Lampiran IV.6).
Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya berstatus sebagai Warga Negara Asing (WNA) yang:
1. tidak memiliki Kartu Keluarga harus melampirkan fotokopi Surat Keterangan Susunan Keluarga Pendatang (SKSKP) atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SKSKP yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.
2. namanya tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga atau memiliki Kartu Keluarga yang terpisah dengan anggota keluarganya yang disebabkan perbedaan kewarganegaraan harus melampirkan fotokopi dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi berwenang.
Petugas UPFLN menerima dan meneliti fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS, fotokopi paspor, dan boarding pass serta fotokopi Kartu Keluarga atau surat pernyataan atau fotokopi SKSKP atau dokumen lain, kemudian menginput NPWP pada aplikasi yang tersedia.
NPWP dinyatakan valid apabila:
NPWP telah terdaftar sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan.
Dalam hal NPWP telah terekam dalam database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.
Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada database Wajib Pajakpada Direktorat Jenderal Pajak, dengan mengabaikan perbedaan tulisan/ejaandengan ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua)kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat JenderalPajak.
Dalam hal NPWP belum terekam dalam database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.
1. Aplikasi check digit NPWP menunjukkan bahwa NPWP tersebut adalah benar.
2. Nama Wajib Pajak pada paspor sesuai dengan nama pada fotokopi Kartu3. NPWP/SKT/SKTS, dengan mengabaikan perbedaan tulisan/ejaan dengan
ketentuan apabila nama Wajib Pajak lebih dari 2 (dua) kata, minimum 2 (dua) kata harus sesuai antara paspor dan database Wajib Pajak pada Direktorat Jenderal Pajak.
4. Menginput nama Wajib Pajak sesuai yang tertera pada fotokopi NPWP/SKT/SKTS pada aplikasi.
Apabila NPWP dinyatakan valid, maka petugas UPFLN menempelkan stiker Bebas Fiskal (contoh pada Lampiran IV.5) pada bagian belakang boarding pass yang ditujukan untuk penumpang.
Penumpang menyerahkan boarding pass yang telah ditempel stiker Bebas Fiskal kepada petugas konter pengecekan FLN untuk diteliti.
Penumpang tujuan luar negeri tetap wajib membayar FLN apabila:
1. NPWP terdaftar kurang dari 3 (tiga) hari sebelum hari keberangkatan;2. Tidak dapat menyerahkan fotokopi Kartu NPWP/SKT/SKTS; atau3. Menyerahkan fotokopi kartu NPWP/SKT/SKTS namun check digit menyatakan
tidak valid; atau4. Menyerahkan fotokopi kartu NPWP/SKT/SKTS yang dimiliki oleh Kepala
Keluarga tetapi tidak melampirkan fotokopi Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, atau melampirkan fotokopi kartu keluarga/SKSKP/dokumen
lain yang menunjukkan hubungan status keluarga yang dikeluarkan oleh instansi yang
5. berwenang tetapi nama penumpang tidak tercantum dalam susunan Kartu Keluarga/SKSKP/dokumen lain tersebut atau tidak melampirkan surat pernyataan bagi orang tua yang tidak terdaftar dalam Kartu Keluarga.
Bagi Wajib Pajak lainnya yang dikecualikan.
Dibebaskan secara langsungPengecualian dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri yang diberikan secara langsung hanya terbatas pada angka 1 s.d. angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, termasuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun dengan cara sebagai berikut:
1. Penumpang tujuan luar negeri menyerahkan paspor dan boarding pass ke petugas konter pengecekan FLN.
2. Petugas konter pengecekan FLN menerima dan meneliti paspor dan boarding pass, apabila pemohon memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam angka 1 s.d. angka 7 huruf a Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berusia kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, maka petugas konter pengecekan FLN membebaskan secara langsung orang pribadi yang akan bertolak ke luar negeri tersebut.
3. Pemohon yang tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN.
Dibebaskan melalui penerbitan SKBFLNPengecualian dari kewajiban pembayaran FLN orang pribadi dalam negeri yang akan bertolak ke luar negeri yang diberikan melalui penerbitan SKBFLN hanya terbatas pada angka 7 huruf b s.d. angka 13 Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan cara sebagai berikut:
1. Pemohon mengisi Formulir Permohonan SKBFLN yang telah disediakan dan data pendukungnya untuk diserahkan ke UPFLN Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri atau KPP yang melaksanakan pengelolaan FLN (contoh Formulir Permohonan SKBFLN pada Lampiran IV.3).
2. Petugas UPFLN menerima dan meneliti surat permohonan pada angka 1 serta mencocokkan formulir tersebut dengan data pendukung. Apabila pemohon memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka Petugas menerbitkan SKBFLN serta menyerahkan lembar 1 dan 2 kepada pemohon dan lembar 3 sebagai arsip (contoh SKBFLN pada Lampiran IV.4).
3. Petugas konter pengecekan FLN memberikan stempel tanggal saat digunakan pada SKBFLN saat penumpang akan menuju gerbang imigrasi.
4. Pemohon yang tidak memenuhi syarat untuk dibebaskan dari kewajiban membayar FLN, wajib membayar FLN.
5. Petugas UPFLN membuat laporan penerbitan SKBFLN berdasarkan lembar 3 beserta surat permohonan dan data pendukung sebagai arsip.