Post on 23-Nov-2021
FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
UPTD PUSKESMAS KECAMATAN PONTIANAK SELATAN
1 2 2Annisa Putriani , Ismael Saleh , Andri Dwi Hernawan
ENVIRONMENTAL RISK FACTORS ASSOCIATED WITH PNEUMONIA
CASES AMONG INFANTS AT WORK AREA OF PUSKESMAS
KECAMATAN PONTIANAK SELATAN
1Peminatan Epidemiologi Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak
tahun 2014 (putri.annisa2707@yahoo.com )2 Dosen Tetap Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Pontianak
ABSTRAK
Latar Belakang:Pneumonia adalah infeksi yang menyebabkan paru-paru meradang. Pneumonia sangat berpotensi menular didalam rumah dengan kondisi yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Pneumonia dapat muncul karena beberapa faktor risiko seperti faktor lingkungan meliputi kepadatan hunian kamar, kelembaban, luas ventilasi, polusi udara didalam dan luar rumah, penggunaan racun nyamuk, serta keberadaan sekat dapur.Persentase penyakit Pneumonia pada tahun 2010 di Kalimantan Barat terdapat 4,77% dan tahun 2011 terdapat 4,71%, sementara UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatantahun 2013bulan Januari-Juli terdapat 124balitaPneumonia.
Tujuan : penelitian ini adalahuntuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita Di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan.
Metode :penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian Case Control dengan jumlah sampel sebanyak 68 responden terdiri dari 34 responden kelompok kasus dan 34 pada kelompok kontrol.
Hasil : penelitian menunjukkan bahwatidak ada hubungan antara kepadatan hunian kamar (p value = 0,327), polusi udara (p value = 0,183), luas ventilasi (p value = 0,186), tingkat kelembaban (p value = 0,051), penggunaan racun nyamuk (p value = 0,709), keberadaan sekat dapur (p value = 0,045; OR = 0,244) dan polusi asap rokok (p value = 0,242) dengan kejadian Pneumonia pada balita di UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan.
Saran :kepada orangtua balita agar menghindarkan anak dari paparan polusi asap rokok, membangun rumah atau memilih rumah sesuai peraturan pemerintah sertamemperbaiki kondisi fisik dapur agar memenuhi syarat.
Kata kunci : Faktor Risiko Lingkungan; Pneumonia Balita
ABSTRACT
Pneumonia is a lung infection that causes inflammation. It is has potential infection in the home environment for the condition of the house doesn't meet the health standards. Pneumonia may arise due to several risk factors, such as bed room occupancy density, humidity, extensive ventilation, inside and outside air pollution, the use of chemical mosquito repellents, and the condition of kitchen divider. In 2010, 4,77 % cases of pneumonia occurred in West Kalimantan . Then, in 2011, the cases still existed and reached 4,71%. Whereas, in 2013 (January-July), as many as 124 infants at work area of Puskesmas Pontianak Selatan suffered from pneumonia.
This study is aimed at discovering the environmental risk factors associated with pneumonia cases among
103Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
infants at work area of Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan.A case control design was carried out in this study. As many as 68 respondents consisting of 34 case group and
34 control group were selected as the samples.The study revealed that there were no correlation of bedroom occupancy density (p value=0,327), air
pollution (p value=0,183), ventilation's width (p value=0,186), humidity level (pvalue=0,051), the use of chemical mosquito repellent (p value=0,709), kitchen divider (p value =0,045; OR=0,244), cigarette smoke (p value= 0,242), and pneumonia cases among infants at work area of Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan.
Based on the findings, parents are encouraged to keep their children away from the exposure of air pollution. They are also suggested to build or select the government-standard houses and enhance the condition of the kitchen based on the health standard.
Key words : environmental risk factors
PENDAHULUAN
Pneumonia adalah infeksi yang
menyebabkan paru-paru meradang.
Pneumonia sangat berpotensi menular
didalam rumah dengan kondisi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan. Penyebab
pneumonia yang sebagian besar dan paling
s e r i n g m e n y e r a n g b a l i t a a d a l a h
pneumokokus, Hib, S.aureus dimana bakteri
ini secara alami hidup di rongga hidung dan
tenggorok manusia ditularkan lewat lendir
hidung misalnya melalui percikan ludah saat
bicara, batuk, atau bersin dan masuk ke
dalam tubuh melalui udara. Diperkirakan
75% pneumonia pada anak balita di Negara
berkembang termasuk Indonesia disebabkan 1oleh pneumokokus dan Hib.
Penyebab utama terbesar kematian
balita di seluruh dunia dan membunuh sekitar
1,2 juta anak di bawah usia lima tahun 2
sebanyak 18%.
Di Indonesia, pneumonia adalah
penyebab kematian kedua pada balita setelah
diare (15,5% diantara semua balita).Proporsi
kasus pneumonia balita pada tahun 2007-
2009 lebih besar dibandingkan proporsi 3kelompok umur > 5 tahun.
Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kalimantan
Barat menyebutkan bahwa Kota Pontianak
menduduki urutan pertama yang banyak
mengalami kejadian pneumonia dengan
jumlah penderita balita pada tahun 2011 4berjumlah 1.033 (18,8%).
Sedangkan Kota Pontianak tahun 2011
kejadian pneumonia yang paling banyak
ditemukan dan ditangani yaitu Kecamatan
Pontianak Selatan dengan penderita
penderita sebanyak 370 (42,1%) dari 6
kecamatan yang ada di kota Pontianak,
diantaranya Pontianak Kota sebesar 11,95%,
Pontianak Barat sebesar 11,78%, Pontianak
Tenggara sebesar 27,55%, Pontianak Timur
sebesar 22% dan Pontianak Utara sebesar
24,94%.Ditemukan puskesmas dengan kasus
terbanyak berada di UPTD Puskesmas 5Kecamatan Pontianak Selatan.
Pneumonia merupakan penyakit
menular dimana penyakit dapat ditularkan
baik secara langsung maupun melalui
perantara yang ditandai dengan hadirnya
agent (penyebab penyakit) yang akan tetap
hidup dengan adanya reservoir (habitat, 6
tempat hidup dan berkembang). Suatu
penyakit (infeksi) yang disebabkan oleh
agent tergantung host (faktor induk semang),
104 Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
dengan kata lain suatu penyakit dapat terjadi
pada seseorang tergantung kekebalan/
resistensi orang yang bersangkutan.
Environment merupakan tempat penyebaran
agent sehingga terjadi penularan. Konsep
dasar terjadinya penyakit yaitu model
segitiga epidemiologi (the epidemiologic
triangle) dengan adanya interaksi antara
komponen agent, host dan environment.
Berubahnya salah satu komponen meng-
akibatkan keseimbangan terganggu sehingga 7terjadi pneumonia.
Faktor risiko yang mempengaruhi
insidens pneumonia pada anak diantaranya
gizi kurang, BBLR, pemberian ASI, polusi 8
udara dan pemukiman padat.
Sedangkan faktor risiko lingkungan
meliput i kepadatan hunian kamar,
kelembaban, luas ventilasi, polusi udara
didalam dan luar rumah, penggunaan racun
nyamuk, serta keberadaan sekat dapur.
Berdasarkan hasil indept interview
terhadap 10 responden yaitu keberadaan
sekat dapur sebesar 80%, keberadaan
keluarga merokok di dalam rumah sebesar
100% dan penggunaan racun nyamuk sebesar
70% serta dalam 1 tahun terakhir terdapat
kasus tertinggi yang terjadi pada bulan
Februari, balita yang mengalami kejadian
pneumonia di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan,
membuat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Faktor Risiko
Lingkungan yang Berhubungan Dengan
Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah
Kerja UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Selatan”.
Metode
Jenis dalam penelitian ini bersifat
observasional analitik, yaitu penelitian yang
mengamati dan menganalisis hubungan
antara faktor risiko dan efek melalui
pengujian hipotesis dengan desain kasus
kontrol (case control).
Populasi dalam penelitian ini terdiri
dari dua kelompok yaitu kasus dan kontrol.
Kelompok kasus adalah semua balita yang
sedang rawat jalan UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan yang
dinyatakan menderita pneumonia dari bulan
Januari sampai Juli 2013 yang berjumlah 124
balita. Sedangkan kelompok kontrol adalah
semua balita yang tidak menderita
pneumonia, berjenis kelamin sama dengan
kasus di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan. Sampel
dalam penelitian ini berjumlah 68 reponden,
yang terdiri dari 34 kasus dan 34 kontrol.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan
ada lah purpos ive sampl ingdengan
menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi.
Data diperoleh melalui wawancara
langsung dan observasi. Analisis data
dilakukan secara bertahap meliputi analisis
univariat dan bivariat diuji secara statistik
Chi Square dengan derajad ketepatan 95% (á = 0,05).
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum
UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Selatan berada di Wilayah
Kecamatan Pontianak Selatan, Kota
Pontianak. Luas wilayah bina UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan 2
sekitar 8,73 km yang meliputi 245 RT dan 54
RW. Tahun 2012, jumlah balita sebanyak
5.299 jiwa dan pada tahun 2013 dari bulan
105Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
Januari hingga Mei berjumlah total 4.299
jiwa di UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Selatan.
Distribusi Karakteristik Responden
Dari table diatas diketahui bahwa
sebagian besar responden pada kelompok
kasus responden berumur 20-34 tahun yaitu
sebesar 70,6%, sedangkan pada kelompok
kontrol responden berumur 20-34 tahun
yaitu sebesar 64,7%. Karakteristik
pendidikan diketahui bahwa sebagian besar
responden pada kelompok kasus responden
paling banyak berpendidikan SLTA yaitu
sebesar 58.8%. Sedangkan pada kelompok
kont ro l responden pa l ing banyak
berpendidikan SLTA yaitu sebesar 41,2%.
Karakteristik penghasilan diketahui bahwa
sebagian besar responden pada kelompok
kasus yang paling banyak berpenghasilan Rp
1.000.000 - Rp 2.500.000 yaitu sebesar
64,7% dan pada kelompok kontrol responden
yang paling banyak berpenghasilan Rp
1.000.000 - Rp 2.500.000 yaitu sebesar 50%.
Kasus Kontrol
N % N %
Umur 20 – 34 tahun
24
70,6
22
64,7
35 – 49 tahun 10 29,4 12 35,3
Pendidikan TS SD
SLTP SLTA
Akademik/PT
0 5 8
20 1
0
14,7 23,5 58,8 2,9
2 7 7 14 4
5,9
20,6 20,6 41,2 11,8
Penghasilan Rp 1.000.000
< Rp1.000.000 >Rp2.500.000 Rp1.000.000-Rp2.500.000
3 7 2
22
8,8
20,6 5,9
64,7
6 7 4 17
17,6 20,6 11,8 50
Total 34 100 34 100
Sumber : data primer
Distribusi Karakteristik Balita
1. Umur
Rata-rata umur balita yang menderita
pneumonia adalah 38,00 bulan (SD 14,502
bulan), sedangkan rata-rata umur balita yang
tidak menderita pneumonia adalah sebesar
36,91 bulan (SD 14,882 bulan), dengan umur
minimum 12 bulan dan umur maksimum 60
bulan. Hasil uji statistik didapatkan nilai p =
0,761, artinya tidak ada perbedaan yang
signifikan rata-rata umur antara balita yang
menderita pneumonia dengan balita yang
tidak menderita pneumonia.
2. Jenis Kelamin
Diketahui bahwa sebagian besar pada
kelompok kasus dan kelompok kontrol balita
paling banyak berjenis kelamin laki-laki
yaitu masing-masing sebesar 55,9%.
Analisa Univariat
Umur N Mean SD Min Max Pvelue
Pneumonia 34 38,00 14,50
12 60 0,761 Tidak
Pneumonia 34 36,91 14,88
Sumber : data primer
Jenis Kelamin
Kasus Kontrol
N % N %
Laki-laki 19 55,9 19 55,9 Perempuan 15 44,1 15 44,1
Total 34 100 34 100
Sumber : data primer
Variabel Kasus Kontrol
N % N %
Kepadatan Hunian Kamar Padat 12 35,3 17 50 Tidak Padat 22 64,7 17 50
Polusi Udara (Outdoor) Terpapar 27 79,4 21 61,8 Tidak Terpapar 7 20,6 13 38,2
Luas Ventilasi Tidak Memenuhi Syarat 26 76,5 31 91,2 Memenuhi Syarat 8 23,5 3 8,8
Tingkat Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat 14 41,2 23 67,6 Memenuhi Syarat 20 58,8 11 32,4
106 Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
Penggunaan Racun Nyamuk
Menggunakan 29 85,3 31 91,2 Tidak Menggunakan 5 14,7 3 8,8
Sekat Dapur Tidak Ada 22 64,7 30 88,2 Ada 12 35,3 4 11,8
Polusi Asap Rokok Terpapar 24 70,6 29 85,3 Tidak Terpapar 10 29,4 5 14,7
Sumber : data primer
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui
bahwa distribusi frekuensi pada kelompok
kasus paling banyak hunian kamar tidak
padat yaitu sebesar 64,7% dan kelompok
kontrol yang kamar hunian padat dan tidak
padat yaitu sebesar 50%.Distribusi frekuensi
berdasarkan polusi udara, responden pada
kelompok kasus yang terpapar yaitu sebesar
79,4% sedangkan yang tidak terpapar sebesar
20,6%. Pada kelompok kontrol yang terpapar
yaitu sebesar 61,8% sedangkan yang tidak
terpapar sebesar 38,2%.Distribusifrekuensi
berdasarkan luas ventilasiresponden pada
kelompok kasus tidak memenuhi syarat yaitu
sebesar 76,5% sedangkan yang memenuhi
syarat sebesar 23,5%. Pada kelompok
kontrol responden yang tidak memenuhi
syarat yaitu sebesar 91,2% sedangkan yang
memenuhi syarat sebesar 8,8%. Distribusi
frekuensi berdasarkan tingkat kelembaban
responden pada kelompok kasus yang tidak
memenuhi syarat yaitu sebesar 41,2%
sedangkan yang memenuhi syarat sebesar
58,8%. Pada kelompok kontrol responden
yang tidak memenuhi syarat yaitu sebesar
67,6% sedangkan yang memenuhi syarat
sebesar 32,4%.Distribusi frekuensi
berdasarkan penggunaan racun nyamuk
diperoleh responden pada kelompok kasus
paling banyak yang menggunakan racun
nyamuk yaitu sebesar 85,3% sedangkan
kelompok kontrol sebesar 91,2%.Distribusi
frekuensi berdasarkan sekat dapurdiperoleh
responden pada kelompok kasus dan
kelompok kontrol sebagian besar tidak
mempunyai sekat dapur yaitu 64,7% dan
88,2%.Distribusi frekuensi berdasarkan
polusi asap rokokdiperoleh responden pada
kelompok kasus yang terpapar yaitu sebesar
70,6% sedangkan yang tidak terpapar
sebesar 29,4%. Pada kelompok kontrol yang
terpapar yaitu sebesar 85,3% sedangkan
yang tidak terpapar yaitu sebesar 14,7%.
Analisa Bivariat
Hasil analisis variabel kepadatan
hunian kamar dengan kejadian pneumonia
berdasarkan uji statistik Fisher's Exact Test
diperoleh nilai p = 0,327 lebih besar dari value
á =0,05 sehingga dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian kamar dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).
Hasil analisis variabel polusi udara
(Outdoor) dengan kejadian pneumonia
berdasarkan uji statistik Fisher's Exact Test
diperoleh nilai p = 0,183 lebih besar dari value
á =0,05 sehingga dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara polusi udara
dengan kejadian pneumonia yang berarti Ha
diterima (Ho ditolak).
Hasil analisis variabel luas ventilasi
dengan kejadian pneumonia berdasarkan uji
Variabel P
ValueOR 95% CI
Kepadatan Hunian Kamar
0,327 0,545 0,206 – 1,443
Polusi Udara (Outdoor)
0,183 2,388 0,810 – 7,041
Luas Ventilasi 0,186 0,315 0,076 – 1,308 Tingkat Kelembaban
0,051 0,335 0,124 – 0,902
Penggunaan Racun Nyamuk
0,709 0,561 0,123 – 2,562
Sekat Dapur 0,045 0,244 0,069 – 0,860 Polusi Asap Rokok 0,242 0,414 0,124 – 1,377
Sumber : data primer
107Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
statistik Fisher's Exact Test diperoleh nilai
p = 0,186 lebih besar dariá =0,05 sehingga value
dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara luas ventilasi dengan
kejadian pneumonia yang berarti Ha diterima
(Ho ditolak).
Hasil analisis variabel tingkat
kelembabandengan kejadian pneumonia
berdasarkan uji statistik Fisher's Exact Test
diperoleh nilai p = 0,051 lebih besar value
dariá =0,05 sehingga dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
tingkat kelembaban dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).
Hasil analisis variabel penggunaan
racun nyamuk dengan kejadian pneumonia
berdasarkan uji statistik Fisher's Exact Test
diperoleh nilai p = 0,709 lebih besar value
dariá =0,05 sehingga dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
penggunaan racun nyamuk dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).
Hasil analisis variabel keberadaan
sekat dapurdengan kejadian penumonia
berdasarkan uji statistikChi Square diperoleh
nilai p = 0,045 lebih kecil dariá =0,05 value
sehingga dinyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara keberadaan
sekat dapur dengan kejadian pneumonia
dengan yang berarti Ho diterima (Ha
ditolak). Hasil analisis diperoleh nilai
OR=0,244dengan nilai kemaknaan 95%
CI=0,069-0,860 (confidence interval tidak
mencakup angka 1), maka dapat disimpulkan
bahwa keberadaan sekat dapur merupakan
faktor protektif.
Hasil analisis variabel polusi asap
rokokdengan ke jad ian pneumonia
berdasarkan uji statistikFisher's Exact Test
diperoleh nilai p = 0,242 lebih besar value
dariá =0,05 sehingga dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
polusi asap rokok dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).
PEMBAHASAN
Pneumonia adalah infeksi yang
menyebabkan paru-paru meradang. Proses
peradangan pada jaringan paru-paru berupa
kantung udara dapat dipenuhi cairan.
Kantung-kantung kemampuan menyerap
oksigen menjadi kurang atau terganggu.
Kekurangan oksigen membuat sel-sel tubuh
tidak bisa bekerja, sehingga bila tidak diatasi 1
pneumonia akan menyebabkan kematian.
Pneumonia umumnya disebabkan oleh
mikroorganisme “bakteri, virus, mikoplasma
(bentuk peralihan antara bakteri dan virus)
dan protozoa”. Penyebab tersering
p n e u m o n i a a d a l a h S t re p t o c o c c u s
pneumoniae, Haemophilus influenza tipe b,
RSV (Respiratory Syncial Virus) dan 1
Staphylococcus aureus yang mencapai 75%.
a. Hubungan Kepadatan Hunian
K a m a r d e n g a n K e j a d i a n
Pneumonia pada Balita
Berdasarkan uji statistik Uji statistik
Fisher's Exact Test diperoleh nilai p = value
0,327 lebih besar dari á =0,05 sehingga
dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara kepadatan hunian
kamar dengan kejadian pneumonia yang
berarti Ha diterima (Ho ditolak).
Penelitian yang telah dilakukandan
hasilpenelitian sebelumnya yang men-
108 Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
dukung yakni tidak terdapathubungan yang
signifikan antara kepadatan hunian dengan 9
kejadian pneumonia pada balita.
Secara teori, kepadatan hunian
mempunyai kaitan erat dengan kejadian
pneumonia pada balia. Secara ideal satu 2ruang kamar tidur dengan luas minimal 8 m
dihuni oleh dua orang. Kepadatan hunian
rumah merupakan salah satu faktor penting
yang mempunyai asosiasi dengan kejadian
pneumonia karena keberadaan banyak orang
dalam suatu rumah akan mempercepat
transmisi organisme bibit penyakit dari
seseorang ke orang lain. Bakteri penyebab
pneumonia yang banyak macam akan mudah 10
menyebar di lingkungan hunian yang padat.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
meskipun berdasarkan uji statistik me-
nunjukkan tidak adanya hubungan antara
kepadatan hunian kamar dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan, hal ini dikarenakan responden pada
kelompok kasus lebih banyak yang tidak
padat hunian (64,7%) dibandingkan dengan
yang padat hunian (35,3%). Meskipun rata-
rata responden kelompok kasus lebih banyak
yang tidak padat hunian perlu diperhatikan
jumlah orang yang tinggal dirumah sehingga
tidak terjadi kepadatan yang merupakan pre-
requisite untuk penularan penyakit. Kondisi
fisik bangunan rumah merupakan penyebab
padatnya penghuni rumah, sehingga dalam
membangun rumah perlu memperhatikan
luas ruangan maupun kamar.
b. Hubungan Polusi Udara (Outdoor)
dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita
Berdasarkan uji statistik Uji statistik
Fisher's Exact Test diperoleh nilai p = value
0,183 lebih besar dari á =0,05 sehingga
dinyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara polusi udara dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).11Pada dasarnya polusi udara terutama
yang jarak rumahnya dekat dengan jalan,
dapat memungkinkan untuk terpapar oleh
asap kendaraan bermotor, debu jalanan serta 12kabut asap. Sumber polusi yang utama
berasal dari transportasi hampir 60%
dihasilkan dari karbon monokside dan 15%
terdiri dari hidrokarbon. Partikel debu dapat
menyebabkan gangguan sistem pernapasan,
iritasi mata, alergi, bronchitis khronis. Kabut
asap terjadi karena adanya pembakaran baik
itu pembakaran sampah maupun pembakaran
lahan atau hutan.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
meskipun berdasarkan uji statist ik
menunjukkan tidak adanya hubungan antara
polusi udara dengan kejadian pneumonia
pada balita di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan,
tetapi dari hasil penelitian didapatkan bahwa
responden pada kelompok kasus yaitu balita
yang menderita pneumonia cenderung lebih
banyak yang terpapar polusi udara sebanyak
27 responden (79,4%). Oleh karena itu perlu
diperhatikan dalam membangun rumah atau
memilih rumah sebaiknya memperhitungkan
jarak rumah dengan jalan sesuai peraturan
pemerintah.
c. Hubungan Luas Ventilasi dengan
Kejadian Pneumonia pada Balita
Berdasarkan Uji statistik Fisher's
Exact Test diperoleh nilai p = 0,186 lebih value
besar dariá =0,05 sehingga dinyatakan bahwa
109Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara luas ventilasi dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).
Penelitian yang telah dilakukandan
h a s i l p e n e l i t i a n s e b e l u m n y a y a n g
mendukung yakni tidak terdapathubungan
yang signifikan antara luas ventilasi dengan 9 13
kejadian pneumonia pada balita.10Secara teori tidak tersedianya
ventilasi yang baik pada suatu ruangan
makin membahayakan kesehatan, jika
kebetulan dalam ruangan tersebut terjadi
pula pencemaran oleh bakteri ataupun oleh
berbagai zat kimia (organik atau anorganik).
Keberadaan bakteri di udara dikarenakan
adanya debu, uap air yang mengandung
kuman. Setiap gram debu jalanan
mengandung kira-kira 50 juta bakteri,
sedangkan bakteri yang terdapat di dalam
ruangan mengandung sekitar 5 juta bakteri
per gram. Bakteri yang sering melayang di
udara adalah bakteri yang hidup pada saluran
pernapasan manusia yang dikeluarkan
melalui bersin, batuk, bernapas ataupun saat
berbicara. Pneumonia dan tuberculosis
sangat berpotensi menular di dalam rumah
dengan kondisi yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.10Dampak dari ventilasi yang tidak
memenuhi syarat dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme,
yang mengakibatkan gangguan terhadap
kesehatan manusia. Luas ventilasi minimal
10% dari luas lantai. Tidak akan berarti,
suatu luasan ventilasi rumah yang telah
memenuhi syarat sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan, kalau rumah tersebut mempunyai
volume-volume ruang yang sempit atau
ruang/rumah dihuni oleh anggota keluarga
yang berlebih (overcrowding).
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
meskipun berdasarkan uji statistik
menunjukkan tidak adanya hubungan antara
luas ventilasi dengan kejadian pneumonia
pada balita di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak Selatan,
tetapi dari hasil penelitian didapatkan bahwa
responden dengan luas ventilasi yang lebih
banyak tidak memenuhi syarat pada
kelompok kasus (76,5% ) dan kelompok
kontrol (91,2%). Oleh karena untuk
mengurangi kasus pneumonia dan tidak
terjadinya kasus pneumonia maka perlu
diperhatikan luas ventilasi dengan ukuran
10% dari luas lantai.
d. Hubungan Tingkat Kelembaban
dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita
Berdasarkan Uji statistik Fisher's
Exact Test diperoleh nilai p = 0,051 lebih value
besar dari á =0,05 sehingga dinyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat kelembaban dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho 14
ditolak).
Secara teori, ventilasi merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi tingkat
kelembaban, selain i tu suhu juga
berpengaruh karena suhu dan kelembaban
sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan
dan perkembangbiakan faktor etiologi
pneumonia berupa virus, bakteri dan jamur.
Suhu dalam ruang rumah yang terlalu rendah
dapat menyebabkan gangguan kesehatan
hingga hypothermia, sedangkan pada suhu
yang tinggi dapat menyebabkan dehidrasi
sampai dengan heat stroke. 14Kelembaban yang tinggi dapat
110 Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
menyebabkan membrane mukosa hidung
menjadi kering sehingga kurang efektif
dalam menghadang mikroorganisme. Pada
suhu dan kelembaban tertentu memungkin-
kan pertumbuhannya terhambat bahkan tidak
tumbuh sama sekali atau mati. Tapi pada
suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh
dan berkembang biak dengan sangat cepat.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
meskipun berdasarkan uji statistik
menunjukkan tidak adanya hubungan antara
tingkat kelembaban dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan, hal ini dikarenakan rata-rata
responden pada kelompok kasus tingkat
ke lembabannya memenuhi syara t ,
pengukuran kelembaban juga yang
dilakukan pada satu waktu serta terdapat
perbedaan luas ventilasi rumah tiap
responden. Selain itu kemungkinan pada
tingkat kelembaban tertentu memungkinkan
pertumbuhan bakteri terhambat bahkan tidak
tumbuh sama sekali atau mati.
e. Hubungan Penggunaan Racun
N y a m u k d e n g a n K e j a d i a n
Pneumonia pada Balita
BerdasarkanUji statistik Fisher's
Exact Test diperoleh nilai p = 0,709 lebih value
besar dari á =0,05 sehingga dinyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara penggunaan racun nyamuk dengan
kejadian pneumonia yang berarti Ha diterima
(Ho ditolak).
Penelitian yang telah dilakukandan
hasilpenelitian sebelumnya yang men-
dukung yakni tidak terdapathubungan yang
signifikan antara penggunaan obat nyamuk 15 16dengan kejadian pneumonia pada balita.
17Secara teori, polutan pencemar udara
yang biasanya sering digunakan dalam
rumah tangga seperti obat nyamuk bakar.
Obat nyamuk terutama obat nyamuk bakar
dan semprot merupakan salah satu sumber
polusi dalam rumah yang dapat mengganggu
pernapasan manusia. Semua obat nyamuk
berkhasiat sama yaitu membunuh dan
mengusir nyamuk, dan perbedaannya adalah
kemasan serta konsentrasi bahan aktif atau
zat racunnya. Obat nyamuk dikatakan
bahaya bagi manusia karena kandungan
bahan aktif yang termasuk golongan
organofosfat. Bahan aktifnya adalah
dichlorovynil dimethyl phosfat (DDVP),
propoxur (karbamat) dan diethyltoluamide
yang merupakan jenis insektisida pembunuh
serangga. Efek terbesar akan dialami oleh
organ sensitif karena obat nyamuk lebih
banyak mengenai hirupan, maka organ tubuh
yang kena adalah pernapasan.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
meskipun berdasarkan uji statistik
menunjukkan tidak adanya hubungan antara
penggunaan racun nyamuk dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan, tetapi dari hasil penelitian
didapatkan bahwa responden pada kelompok
kasus lebih banyak yang menggunakan racun
nyamuk (85,3%) dibandingkan dengan yang
tidak menggunakan racun nyamuk (14,7%)
karena jenis racun nyamuk yang digunakan
bervariasi. Selain racun nyamuk bakar yang
menimbulkan polusi didalam ruangan,
responden juga menggunakan racun nyamuk
jenis lain seperti racun nyamuk elektrik dan
semprot.Semua jenis racun nyamuk
mengandung bahan kimia beracun dan
berbahaya bagi kesehatan terutama pada
111Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
balita yang masih rentan. Agar terhindar dari
bahan kimia yang beracun maupun polusi
dalam rumah, dapat digunakan alternatif
untuk menghindar dari gigitan nyamuk yaitu
dengan memakai kelambu.
f. Hubungan Keberadaan Sekat
Dapur dengan Kejadian Pneumonia
pada Balita
BerdasarkanUji statistik Chi Square
diperoleh nilai p =0,045lebih kecil value
dariá =0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara
keberadaan sekat dapur dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ho diterima (Ha
ditolak). Hasil analisis diperoleh nilai
OR=0,244dengan nilai kemaknaan 95%
CI=0,069-0,860 (confidence interval tidak
mencakup angka 1), maka dapat disimpulkan
bahwa keberadaan sekat dapur merupakan
faktor protektif.
Penelitian yang telah dilakukandan
hasilpenelitian sebelumnya yang men-
dukung yakni terdapathubungan yang
signifikan antara keberadaan sekat dapur 18dengan kejadian pneumonia pada balita.
18Tata ruang dalam rumah bisa menjadi
faktor risiko kejadian pneumonia pada balita.
Salah satu diantaranya adalah letak dapur
yang digunakan untuk aktivitas memasak
keluarga dalam memenuhi kebutuhan makan
setiap hari. Keberadaan asap hasil aktivitas
memasak di dapur berdampak terhadap
kesehatan terutama penghuni di dalam
rumah. Letak dapur yang menyatu dengan
rumah induk tanpa adanya sekat merupakan
salah satu penyebab meningkatnya cemaran
udara dalam rumah. Cemaran udara dalam
rumah apabila terjadi secara terus menerus
dapat menyebabkan penghuni rumah juga
terpapar terus menerus termasuk balita.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
berdasarkan uji statistik menunjukkan
adanya hubungan antara keberadaan sekat
dapur dengan kejadian pneumonia pada
balita di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan, meskipun
dari hasil penelitian didapatkan bahwa
responden pada kelompok kontrol lebih
banyak yang tidak memiliki sekat dapur
(88,2%) dibandingkan responden pada
kelompok kasus (64,7%). Oleh karena itu
agar tidak terjadinya kasus pneumonia dan
dalam rangka menurunkan angka kejadian
pneumonia pada balita, kondisi udara dalam
rumah yang tercemar perlu dicegah terutama
didapur. Diperlukan lubang pengeluaran
asap atau cerobong asap untuk mengurangi
pencemaran udara di dalam rumah. Lubang
pengeluaran asap dapur dapat berupa
ventilasi yang berada di bagian atas dinding
dekat dengan tempat masak.
g. Hubungan Polusi Asap Rokok
dengan Kejadian Pneumonia pada
Balita
Berdasarkan Uji statistik Chi Square
diperoleh nilai p = 0,242 lebih besar dari value
á =0,05 sehingga dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara
polusi asap rokok dengan kejadian
pneumonia yang berarti Ha diterima (Ho
ditolak).
Penelitian yang telah dilakukandan
hasilpenelitian sebelumnya yang men-
dukung yakni tidak terdapathubungan yang
signifikan antara kebiasaan merokok dengan 15
kejadian pneumonia pada balita.19Secara teori, pada dasarnya asap
112 Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
rokok mengandung zat beracun yang
berbahaya bagi kesehatan terutama pada
balita. Beberapa bahan kimia asap rokok
yang terkandung didalamnya yaitu nikotin,
gas karbon monoksida, nitrogen oksida,
hydrogen cianida, ammonia, acrolein,
acetilen, benzoldehide, urethane, methanol,
conmarin, 4-ethyl cathecol, orteresor
peryline, dan lain-lain. Berbagai bahan kimia
tersebut dapat merangsang silia yaitu bulu-
bulu halus yang terdapat pada permukaan
saluran napas, sehingga sekret mukus
meningkat menjadi 30-50%. Hal ini
mengakibatkan silia akan mengalami
kerusakan dan mengakibatkan menurunnya
fungsi ventilasi paru. Asap rokok dapat
mengakibatkan menurunnya imun.
Kerusakan dari saluran napas disertai dengan
menurunnya imuni tas tubuh dapa
menyebabkan mudahnya terjadi infeksi pada
saluran pernapasan.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa
meskipun berdasarkan uji statistik
menunjukkan tidak adanya hubungan antara
polusi asap rokok dengan kejadian
pneumonia pada balita di wilayah kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan, tetapi dari hasil penelitian
didapatkan bahwa responden pada kelompok
kasus lebih banyak yang terpapar polusi
udara (70,6%) dibandingkan dengan yang
tidak terpapar polusi udara (29,4%).
Meskipun hasil penelitian menunjukkan
bahwa banyak responden yang tidak
m e r o k o k k e t i k a b e r s a m a b a l i t a .
Keterpaparan asap rokok sangat tinggi pada
saat berada didalam rumah. Anak dan
anggota keluarga yang berada di dalam
rumah lebih mudah dan lebih sering
menderita gangguan pernapasan dibanding
orang yang merokok. Asap rokok yang
ditimbulkan akan terhirup oleh anak secara
langsung.
SIMPULAN
1. Tidak ada hubungan antara kepadatan
hunian kamardengan kejadian
pneumonia di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan.
2. Tidak ada hubungan antara polusi
udara dengan kejadian pneumonia di
Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan.
3. Tidak ada hubungan antara luas
ventilasi dengan kejadian pneumonia
di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan.
4. Tidak ada hubungan antara tingkat
ke lembaban dengan ke jad ian
pneumonia di Wilayah Kerja UPTD
Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan.
5. Ti d a k a d a h u b u n g a n a n t a r a
penggunaan racun nyamuk dengan
kejadian pneumonia di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Kecamatan
Pontianak Selatan.
6. Ada hubungan antara keberadaan sekat
dapur dengan kejadian pneumonia
dengan nilai P = 0,045 dan OR = value
0,244 (95% CI=0,069-0,860).
7. Tidak ada hubungan antara polusi asap
rokok dengan kejadian pneumonia di
Wilayah Kerja UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan.
113Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
SARAN
1. Bagi Puskemas perlu meningkatkan
keberhasilan upaya tatalaksana
penderita pneumonia (MTBS) yaitu
suatu strategi yang digunakan untuk
menurunkan angka kesakitan, maka
keterampilan petugas kesehatan perlu
lebih ditingkatkan lagi (selain dokter
dan bidan, petugas kesehatan lain juga
bisa memeriksa dan menangani pasien
asalkan sudah dilatih).Selain petugas
kesehatan, peran kader perlu
ditingkatkan dalam pelaksanaan
praktek keluarga, sehingga MTBS
berbasis masyarakat dapat diterapkan.
2. Bagi masyarakat dalam membangun
rumah atau memilih rumah sebaiknya
memperhitungkan jarak rumah dengan
jalan sesuai peraturan pemerintah
sehingga dapat mengurangi polusi
udara.Selain itu perlu memperbaiki
kondisi rumah yang baik yaitu suhu
dan tingkat kelembaban serta fisik
dapur yang memenuhi syarat.
3. Hasil penelitian ini dapat menjadi
bahan referensi untuk melakukan
penelitian lanjutan yaitu pada
dasarnya masih terdapat faktor lain
yang menyebabkan kejadian penyakit
pneumonia yaitu mengenai suhu,
cerobong asap didapur, perilaku
membuka jendela serta hyhiene
sanitasi.
DAFTAR PUSTAKA
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran
Napas Pneumonia Pada Anak Balita,
Orang Dewasa, Usia Lanjut. Pustaka
Populer Obor : Jakarta.
WHO. 2013. Pneumonia. [serial online]
[disitasi tanggal 19 Juni 2013].
Diakses dari URL :http://www.who.
int/mediacentre/factsheets/fs331/en/i
ndex.html.
Soepardi, Jane. 2010. Situasi Pneumonia
Balita di Indonesia. Buletin Jendela
Epidemiologi, volume3, September
2010.
Dinkes Kalbar. 2010. Profil Dinas
Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat
2010. Pontianak.
UPTD Puskesmas Kecamatan Pontianak
Selatan. Profil UPTD Puskesmas
Kecamatan Pontianak Selatan 2011.
Pontianak.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan
Masyarakat. PT Rineka Cipta :
Jakarta.
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. PT
Rineka Cipta : Jakarta.
Said, Marjdanis. 2007. Pengendalian
Pneumonia Anak-Balita dalam
Rangka Pencapaian MDG 4. Buletin
Jendela Epidemiologi, volume 3,
September 2010.
Rachmawati, Diah A. 2013. Faktor Risiko
yang Berhubungan dengan Kejadian
Pneumonia pada Balita Umur 12-48
bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas
Mijen Kota Semarang. Jurnal
114 Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik
Kesehatan Masyarakat 2013 Vol. 2
No. 1 Tahun 2013. FKMUNDIP.
Kepmenkes. 2011. Peraturan Menkes RI
tentang Pedoman Penyehatan Udara
dalam Ruang Rumah.
Fardiaz, Srikandi. 2006. Polusi Air & Udara.
Kanisius : Yogyakarta.
Padmonobo, Heru., dkk. 2012. Hubungan
Faktor-Faktor Lingkungan Fisik
Rumah dengan Kejadian Pneumonia
pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Jatibarang Kabupaten
Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan
Indonesia Vol. 11 No. 2. FKM UNDIP.
Rianti, Emy, dkk. 2007. Hubungan
Lingkungan Fisik dan Tingkat
Ekonomi dengan Kejadian Pneumonia
Balita di Puskesmas Sawangan tahun
2007. Jurnal Kesehatan Volume 1,
Nomor 4, November 2008.
Saputra, Hadi. 2011. Kesehatan Lingkungan.
[serial online] [disitasi pada tanggal
18 Juni 2013]. Diakses dari URL:
http://lubmazresearch.blogspot.com/2
011/04/kesehatan-lingkungan.html.
Kaunang, Yohanna C. N. 2012. Faktor-
Faktor Risiko Kejadian Pneumonia
pada Anak Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Kawangkoan Kabupaten
Minahasa. Skripsi. Manado : Program
Pascasarjana Universi tas Sam
Ratulangi.
Pramudiyani, Novita A., Prameswari, Galuh
N. 2011. Hubungan Antara Sanitasi
Rumah dan Perilaku dengan Kejadian
Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan
Masyarakat 6 (2) (2011) 71-78.
Mukono, H. J. 2008. Pencemaran Udara dan
Pengaruhnya Terhadap Gangguan
Saluran Pernapasan. Airlangga
University Press : Surabaya.
Nurjazuli., Widyaningtyas, Retno. 2006.
Faktor Risiko Dominan Kejadian
Pneumonia Pada Balita. Article of
Disrict Health. FKM UNDIP.
Pradono, Julianty., Kristanti, Ch. M. 2003.
Perokok Pasi f Bencana yang
Terlupakan. Bul. Penel. Kesehatan
Vol.31 No.4.
115Jurnal Mahasiswa dan Penelitian Kesehatan - JuManTik