Post on 01-Feb-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Kompensasi Kerugian
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau
Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 17 Tahun 2000.
Kompensasi kerugian adalah proses membawa kerugian dalam satu tahun pajak
ke tahun-tahun pajak berikutnya. Hai ini terjadi karena kerugian yang didapatkan
dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-
tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi
lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Kompensasi kerugian dalam Pajak
Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal kompensasi
kerugian ini adalah sebagai berikut:
1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial.
Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-
biaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.
2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara
berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian
yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.
3. Kompensasi kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang
pribadi, yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan
PPh Final dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma
penghitungan.
4. Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan
dari dalam negeri.
Menurut pasal 6 ayat (2) UU PPh, apabila penghasilan bruto setelah dikurangi
biaya-biaya yang diperkenankan oleh UU PPh didapat kerugian, maka kerugian
tersebut dikurangkan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.
Contoh :
Wajib pajak PT A mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2007, maka kerugian tersebut
dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2008, 2009,
2010, 2011, dan 2012. Jika setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai dengan
tahun 2012 masih tersisa kerugian yang belum dikompensasikan, maka sisa kerugian
tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun
2013 atau sesudahnya.
Sebagai ilustrasi misalkan PT A dalam tahun 2007 mengalami kerugian fiskal
Rp1.200.000.000,00. Dalam lima tahun berikutnya rugi laba fiskal PT A sebagai
berikut :
2008 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2009 : rugi fiskal Rp300.000.000,00
2010 : laba fiskal NIHIL
2011 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2012 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Tahun 2008 :
Kompensasi kerugian Rp200.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp1.000.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2009 :
Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2009 juga mengalami
kerugian. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2010 :
Tak ada kompensasi kerugian dari tahun 2007 karena tahun 2010 laba fiskal nihil.
Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2011 :
Kompensasi kerugian Rp100.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp900.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Tahun 2012 :
Kompensasi kerugian Rp800.000.000,00 sehingga sisa rugi tahun 2007 tinggal
Rp100.000.000,00. Penghasilan Kena Pajak menjadi nihil dan PPh terutang juga nihil.
Sisa kerugian Rp100.000.000,00 ini tidak dapat lagi dikompensasikan ke tahun 2013
atau setelahnya.
2.2 PPH Pasal 15
PPh Pasal 15 atas Charter Penerbangan Dalam Negeri
1. Objek Pajak
Semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak berdasarkan perjanjian charter dari pengangkutan orang dan/atau
barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari
pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
Wajib Pajak perusahaan penerbangan dalam negeri adalah WP perusahaan
penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia (SPDN Badan) yang memperoleh
penghasilan berdasarkan perjanjian charter.
Yang dimaksud dengan perjanjian charter meliputi semua bentuk charter, termasuk
sewa ruangan pesawat udara baik untuk orang dan/atau barang ("space charter").
2. Tarif
PPh terutang = 30% x norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 6% x Peredaran Bruto
Sehingga tarif efektif PPh Terutang = 1,8 % x Peredaran Bruto (1,8% berasal dari 6% x
30%)
Pelunasan PPh sebesar 1,8% ini merupakan pembayaran PPh Pasal 23 yang dapat
dikreditkan terhadap PPh yang terutang dalam SPT Tahunan PPh untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
3. Pemotong
Pemotong yaitu pencharter yang merupakan Badan pemerintah, Subjek Pajak Badan
Dalam Negeri, Penyelenggara Kegiatan, BUT, atau Perwakilan Perusahaan Luar Negeri
Lainnya.
PPh Pasal 15 atas Pelayaran Dalam Negeri
1. Objek Pajak
WP perusahaan pelayaran dalam negeri dikenakan PPh atas seluruh penghasilan
yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
Oleh karena itu penghasilan yang menjadi Objek pengenaan PPh meliputi Penghasilan
yang diterima atau diperoleh WP dari pengangkutan orang dan/atau barang termasuk
penyewaan kapal dari:
a. Pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lain di Indonesia,
b. Pelabuhan di Indonesia ke luar pelabuhan Indonesia,
c. Pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia,
d. pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lain di luar Indonesia
2. Tarif
PPh terutang = 30 % x Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Norma Penghitungan Penghasilan Netto = 4% x Peredaran Bruto
Sehingga tariff efektif PPh Terutang =
30% x 4% x Peredaran bruto = 1,2% x Peredaran Bruto dan bersifat final.
Peredaran bruto adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang
yang diterima atau diperoleh WP perusahaan pelayaran dalam negeri dari pengangkutan
orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia
dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
3.Pemotong
Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian persewaan atau charter
dengan pemotong pajak : pihak yang membayar atau terutang hasil tersebut wajib
melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau terutang.
Dalam hal penghasilan diperoleh bukan berdasarkan perjanjian persewaan atau
charter dengan pemotong pajak,maka Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri
wajib menyetor sendiri PPh yang terutang.
Dalam hal Pengguna jasa adalah bukan pemotong pajak, maka Wajib Pajak perusahaan
pelayaran dalam negeri wajib menyetor sendiri PPh yang terutang.
Pasal 15 atas Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri
1. Objek Pajak
Objek PPh-nya adalah Semua nilai pengganti atau imbalan berupa uang atau nilai
uang dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari suatu pelabuhan ke
pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar
negeri.
Dengan demikian yang tidak termasuk penggantian atau imbalan yang diterima atau
diperoleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri tersebut adalah yang
dari pengangkutan orang dan/atau barang dari pelabuhan di luar negeri ke pelabuhan di
Indonesia.
2. Tarif
Penghasilan neto bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan
Luar Negeri ditetapkan sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto.
Pengertian peredaran bruto di sini adalah semua imbalan atau nilai pengganti berupa
uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran
dan/atau Penerbangan luar negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat
dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia
ke pelabuhan di luar negeri.
Besarnya Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau
Penerbangan luar negeri adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari
peredaran bruto dan bersifat final.
3. Pemotong
Dalam hal penghasilan diperoleh berdasarkan perjanjian charter, maka pihak yang
membayar/mencharter wajib melakukan pemotongan pada saat pembayaran atau
terutang.
Penghasilan selain berdasarkan perjanjian charter, maka Wajib Pajak Perusahaan
Pelayaran dan/atau Penerbangan luar Negeri Wajib menyetor sendiri.
PPh Pasal 15 atas Kantor Perwakilan Dagang Asing (representative office/liaison
office) di Indonesia
1. Subjek Pajak
Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang (representative
office/liaison office), selanjutnya disingkat KPD, di Indonesia yang berasal dari negara
yang belum mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan
Indonesia.
2. Objek Pajak
nilai ekspor bruto yaitu semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di
Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Tarif
Penghasilan neto = 1% dari nilai ekspor bruto
Pajak Penghasilan Terutang sebesar 0,44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final.
Khusus untuk Kantor Perwakilan Dagang (KPD) yang berasal dari negara mitra P3B
maka besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif BPT (Branch Proftit
Tax) dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait.
4. Pemotong
Pembayaran dilakukan dengan mekanisme penyetoran sendiri oleh kantor
perwakilan dagang selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikut setelah bulan diterima
atau diperolehnya penghasilan.
PPh Pasal 15 atas WP yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon internasional di
bidang produksi mainan anak-anak
1. Subjek Pajak
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha jasa maklon (contract
manufacturing) internasional adalah Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan
jasa pembuatan atau perakitan barang berupa produk mainan anak-anak, dengan bahan-
bahan, spesifikasi, petunjuk teknis dan penentuan imbalan jasa dari pihak pemesan yang
berkedudukan di luar negeri dan mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
2. Objek Pajak
Jumlah seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya
pemakaian bahan baku (direct materials).
Pengertian biaya pembuatan atau perakitan barang mencakup seluruh pengeluaran yang
merupakan biaya pabrikasi langsung (selain bahan baku milik prinsipal) dan tidak
langsung serta biaya umum dan administrasi sesuai dengan pembukuan komersial Wajib
Pajak;
3. Tarif (Final)
penghasilan neto sebesar 7% (tujuh persen) dari jumlah seluruh biaya pembuatan
atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku (direct materials).
PPh terutang sebesar 2,1% (dua koma satu persen) dari jumlah seluruh biaya
pembuatan atau perakitan barang tidak termasuk biaya pemakaian bahan baku (direct
materials)
Ketentuan tarif norma sebesar 7% (tujuh persen) berlaku sepanjang Wajib Pajak
tidak mengadakan Perjanjian Penentuan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement)
dengan Direktur Jenderal Pajak.
Pengertian biaya pembuatan atau perakitan barang mencakup seluruh pengeluaran
yang merupakan biaya pabrikasi langsung (selain bahan baku milik prinsipal) dan tidak
langsung serta biaya umum dan administrasi sesuai dengan pembukuan komersial Wajib
Pajak.
4. Pemotong
PPh terutang wajib disetor sendiri oleh Wajib Pajak dengan cara pembayaran setiap
bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
Besarnya pembayaran PPh setiap bulan dihitung berdasarkan jumlah realisasi
seluruh biaya pembuatan atau perakitan barang setiap bulannya tidak termasuk biaya
pemakaian bahan buku (direct material).
2.3 PPH Pasal 19 ( PPH Final)
Pajak Penghasilan Final (PPh Final) merupakan salah satu cara pemerintah menarik
pajak dari wajib pajak dengan cara yang sederhana. Disebut sederhana karena wajib
pajak dapat menghitung pajak dengan sekali hitung yaitu, penghasilan bruto kali tarif.
Tidak ada tarif progresif, tidak ada biaya yang harus dikurangkan, dan tidak dapat
dikreditkan di SPT Tahunan. Sekali bayar PPh Final, beres urusan.
Keuntungan PPh Final, yaitu : sederhana, dan mudah dilakukan oleh orang awam
sekalipun. Sedangkan kerugiannya berkaitan dengan rasa keadilan. Tidak ada istilah rugi
bagi PPh Final. Juga tidak ada tarif progresif sehingga semua membayar dengan tarif
yang sama, baik non pengusaha maupun bagi pengusaha konglomerat.
Berikut ini adalah penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final :
PPh Final yang termasuk PPh Pasal 4 (2).
a) Penghasilan yang diterima/diperoleh dari transaksi penjualan saham di Bursa
Efek, terdiri dari tarif 0,1% untuk saham bukan pendiri; dan tarif 0,6% untuk
saham pendiri.
b) Penghasilan yang diterima/diperoleh berupa bunga dan atau diskonto obligasi
yang diperdagangkan di Bursa Efek, tarifnya 20%
c) Penghasilan bunga deposito, termasuk simpanan pada Bank Dalam Negeri yang
memiliki cabang di Luar Negeri, bunga tabungan, jasa giro, dan diskonto SBI,
tarifnya 20%
d) Penghasilan berupa hadiah undian, tarifnya 25%. Tarif PPh hadiah berbeda antara
hadiah undian dengan hadiah bukan undian. Ciri hadiah undian antara lain
bersifat spekulasi, untung-untungan. Penghasilan hadiah bukan undian tidak
final.
e) Penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan, tarifnya 10%.
f) Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, pengalihan lebih luas daripada jual
beli, yang diterima oleh : [1] WP Badan yang usaha pokoknya bukan jual beli
tanah dan bangunan; [2) WP Orang Pribadi, Yayasan dan organisasi sejenis; [3]
Sewa Guna Usaha dengan hak opsi atau capital lease; [4] Sale and lease back;
[5] Perjanjian Bangunan Guna Serah (Built Operate and Transfer); semua
tarifnya 5%.
g) Penghasilan selisih lebih karena revaluasi aktiva tetap, tarifnya 10%
PPh Final yang termasuk PPh Pasal 15.
1. Pelayaran Dalam Negeri, tarifnya 1,2%
2. Penerbangan Dalam Negeri, tarifnya 1,8%
3. Pelayaran dan atau Penerbangan Luar Negeri, tarifnya 2,64%
4. Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di
Indonesia, tarinya 0,44%.
PPh Final | Pengertian PPh Final dan Tarifnya
Penghasilan, berdasarkan ketentuan, terdiri dari penghasilan yang merupakan objek
pajak dan penghasilan yang bukan objek pajak. Cara pengenaan Pajak Penghasilan atas
penghasilan yang objek pajak dilakukan dengan dua cara. Pertama, dikenakan PPh
secara umum dengan menggunakan tarif umum (tarif Pasal 17) dan pengenaannya
dilakukan di SPT Tahunan. Kedua, dikenakan PPh secara final.
Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak
tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan,
baik yang dipotong fihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan
pembayaran di muka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang
untuk penghasilan tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini
tidak akan dihitung lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-
sama dengan penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar
tersebut juga bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang
memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan-
penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan tertentu dengan pertimbangan
kesederhanaan, kemudahan, serta pengawasan.Pengenaan PPh Final sebagian berasal
dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final
berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26
Undang-undang PPh.
Pemajakan atas jenis penghasilan tertentu diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh .
PPh terutang dihitung dengan menerapkan tarif tertentu (tariff tunggal) terhadap
penghasilan bruto dan bersifat final. Adapun besarnya PPh terutang untuk masing-
masing jenis penghasilan adalah sebeagai berikut :
a. Bunga tabungan, deposito, sertifikat Bank Indonesia PPh terutang = 20% x
jumlah bruto
b. Penghasilan saham di bursa efek PPh terutang = 0,1% x penghasilan bruto
c. Sewa tanah dan bangunan PPh terutang = 10% x penghasilan bruto
d. Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan PPh terutang = 5% x penghasilan
bruto
e. Penjualan saham perusahaan modal ventura PPh terutang = 0,1% x penghasilan
bruto
f. Bunga/diskonto obligasi di Bursa Efek PPh terutang = 20% x jumlah bruto atau
selisih harga jual
g. Hadiah undian PPh terutang = 25% x penghasilan bruto/pasar
h. Transaksi derivative di bursa PPh terutang = 2,5% x penghasilan bruto
i. Bunga simpanan koperasi kepada anggota lebih dari Rp 240.000 per bulan PPh
terutang = 10% x penghasilan bruto
j. Bunga/diskonto obligasi
- Bunga kupon : WPDN/BUT 15%, WPLN 20% dari bruto
- Diskonto kupon : WPDN/BUT 15%, WPLN 20% dari selisih harga jual
- Diskonto obligasi tanpa bunga :WPDN/BUT 15%, WPLN 20% dari selisih
harga jual
- Bunga/diskonto diterima reksadana : tahun 2009-2010 = 0% (bebas), tahun
2011-2013 = 5%, mulai 2014 =15%
k. Jasa konstruksi
-Pelaksana konstruksi :
o Kualifikasi kecil =2% x bruto
o Non kualifikasi = 4% x bruto
o Kualifikasi menengah dan besar = 3%
- Perencanaan konstruksi:
o Kualifikasi = 4% x bruto
o Non kualifikasi = 6% x bruto
Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah sebagai berikut:
Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan
penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada
SPT Tahunan.
Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak
dapat dikreditkan pada SPT Tahunan.
Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan
Pertimbangan penerapan PPh Final:
Penyederhanaan pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha
memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak.
2.4 Contoh kasus pelanggaran pajak penghasilan
1. PT.ABC dalam tahun 2010 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000.
Periode 5 tahun berikutnya rugi laba fiskal PT ABC sebagai berikut :
Tahun 2011, laba fiskal = Rp. 200.000.000
Tahun 2012, laba fiskal = (Rp.300.000.000)
Tahun 2013, laba fiskal = NIHIL
Tahun 2014, laba fiskal = Rp.100.000.000
Tahun 2015, laba fiskal = Rp.800.000.000
Kompensasi kerugian sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2010 = (Rp . 1.200.000.000)
Laba fiskal tahun 2011 = Rp. 200.000.000 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2010 = (Rp. 1.000.000.000)
Rugi fiskal tahun 2012 = Rp. 300.000.000
Sisa rugi fiskal tahun 2010 = (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2013 = NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 2010 = (Rp. 1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2014 = Rp. 100.000.000 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2010 = (Rp. 900.000.000)
Laba fiskal tahun 2015 = Rp. 800.000.000 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2010 = (Rp. 100.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2010 sebesar Rp 100 juta tersebut sudah tidak bisa
dikompensasikan lagi karena jangka waktu kompensasi selama lima tahun sudah
kadaluarsa.
2. PT Aditya Putra Jaya dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar
Rp2.050.000.000,00 (dua miliar lima puluh juta rupiah). Dalam 5 (lima) tahun
berikutnya laba rugi fiskal PT Aditya Putra Jaya sebagai berikut :
2010 : laba Rp500.000.000,00
2011 : laba Rp650.000.000,00
2012 : laba Rp 300.000.000,00
2013 : laba Nihil
2014 : laba Rp600.000.000,00
Perhitungan Kompensasi kerugian PT Aditya Putra Jaya atas Laporan Laba/Rugi
tersebut dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp2.050.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2010 Rp 500.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.550.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2011 (Rp 650.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp 300.000.000,00) (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 600.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 Rp Nihil (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 600.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp 600.000.000,00 (+)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 0 )
Sisa rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 0 hal tersebut disebabkan karena selama jangka
waktu kompensasi selama lima tahun PT. Aditya Putra Jaya dapat memenuhi kerugian
fiskal pada tahun 2009.
3. Contoh Kasus Pph Pasal 15
1. PT Suka Berlayar merupakan perusahaan pelayaran dalam negeri yang
melakukan usaha jasa pelayaran termasuk penyewaan kapal. Pada tanggal 7
Oktober 2013 PT Suka Berlayar melakukan kontrak dengan PT Jaya Pulp dalam
rangka pengangkutan bahan setengah jadi untuk pembuatan kertas (pulp) dari
Surabaya ke Jakarta sebesar Rp200.000.000,00 dan dibayarkan pada tanggal 28
Oktober 2013.
Dengan demikian atas penghasilan PT Suka Berlayar dari PT Jaya Pulp yaitu untuk
jasa pengangkutan bahan setengah jadi untuk pembuatan kertas (pulp) dari Surabaya ke
Jakarta terutang PPh sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari peredaran bruto dan
bersifat final, PPh yang terutang tersebut dipotong oleh PT Jaya Pulp, sehingga
perhitungannya sebagai berikut :
1,2% x Rp200.000.000,00 = Rp2.400.000,00.
Kewajiban PT Jaya Pulp sebagai pemotong PPh Pasal 15 adalah:
1. melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa pelayaran untuk
pengangkutan pulp tersebut sebesar Rp2.400.000,00 dan memberikan bukti
pemotongan tersebut kepada PT Suka Berlayar;
2. menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke Kas Negara melalui Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 11
Nopember 2014
3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Oktober 2013 paling lama
tanggal 20 Nopember 2013.
2. PT Bumi Nusantara menyewa pesawat dari PT Vidi Airlines yang merupakan
perusahaan penerbangan dalam negeri, yang akan digunakan dalam penerbangan
Jakarta-Papua. Dalam perjanjian sewa/carter tersebut, telah disepakati harga dan cara
pembayaran. Pada tanggal 5 Maret 2013 PT Bumi Nusantara telah membayar biaya
carter sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Atas penghasilan yang diperoleh PT Vidi Airlines yaitu carter pesawat yang akan
digunakan untuk penerbangan Jakarta-Papua merupakan penghasilan berdasarkan
perjanjian carter terutang PPh sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) dari peredaran
bruto dan dipotong oleh PT Bumi Nusantara.
Perhitungan PPh-nya menjadi sebagai berikut:
1,8% x Rp500.000.000,00 = Rp9.000.000,00.
PPh yang dipotong oleh PT Bumi Nusantara merupakan kredit pajak bagi PT
Vidi Airlines yang dapat dikreditkan terhadap PPh yang terhutang dalam SPT Tahunan
PPh untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Kewajiban PT Bumi Nusantara sebagai pemotong PPh Pasal 15 atas sewa pesawat
tersebut adalah:
1. melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa penyewaan pesawat
sebesar Rp9.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan kepada PT Vidi
Airlines;
2. menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke Kas Negara melalui Kantor
Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 April
2013.
3. menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Maret 2013 paling lama
tanggal 22 April 2013.
3. PT. ABC menyewa kapal kepada PT. LAUT JAYA , Kapal tersebut digunakan untuk
mendistribusikan barang ke pelabuhan-pelabuhan yang ada di Belanda . Dalam
perjanjian sewa/carter tersebut, telah disepakati harga dan cara pembayaran. Pada
tanggal 10 Meit 2014 PT ABC telah membayar biaya carter sebesar
Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
Atas penghasilan yang diperoleh PT LAUT JAYA yaitu carter kapal yang akan
digunakan untuk pelayaran Jakarta – Belanda merupakan penghasilan berdasarkan
perjanjian carter terutang PPh sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empast persen)
dari peredaran bruto dan dipotong oleh PT ABC.
Perhitungannya adalh sebagai berikut :
2,64 % X Rp. 700.000.000,00 =
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah dan penyelenggara pembukuan dapat melakukan kompensasi
kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun berikutnya berturut-turut sampai
dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat
final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada
Tahun Pajak berikutnya.
3.2 Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi diatas, tentunya masih
banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya
rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah
di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada
khususnya juga para pembaca pada umumnya.