Post on 14-Mar-2019
90
DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
(Tinjauan Terhadap Ideologi Negara)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) oleh:
Lia Hilyah
NIM: 105045201521
Dibawah bimbingan
Pembimbing
Dr. Rumadi, MA
NIP: 196903041997031012
KONSENTASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2009
1430 H/2009 M
91
DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
(Tinjauan Terhadap Ideologi Negara)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Lia Hilyah
NIM: 105045201521
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
92
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI
Skripsi berjudul DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
(Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada tanggal 8 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah
Siyasah Konsentrasi Siyasah Syar’iyyah.
Jakarta, 10 Desember 2009
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A, M.M. NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., M.A., M.M. (…....…..……..…)
NIP: 195505051982031012
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (…………………)
NIP: 197102151997032002
3. Pembimbing : Dr. Rumadi, M.A (………….……..)
NIP: 196903041997031012
4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag (………………...)
NIP: 197102151997032002
5. Penguji II : Drs. Heldi, M. Pd (.….…….…...….)
NIP: 196304141993031002
93
Skripsi berjudul DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI’I MA’ARIF
(Tinjauan Terhadap Ideologi Negara) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 8 Desember 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah,
KonsentrasiSiyasaSyariyyah.
Jakarta, 8 Desember 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1.Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………………………)
NIP. 197210101997031008
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………………………)
NIP. 197102151997032002
3. Pembimbing: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag (………………………)
NIP. 197210161998031004
4. Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………………………)
NIP. 197112121995031001
5. Penguji II : Khamami Zada, MA (………………………)
NIP. 150326892
94
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, atas berkat
dan rahmat-Nya, penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul: Dinamika Pemikiran
Politik Ahmad Syafii Maarif (Tinjauan Terhadap Ideologi Negara), dapat
terselesaikan dengan tepat waktu. Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan
keharibaan Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan para pengikutNya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan motifasi
dari berbagai pihak, baik secara personal maupun secara kelembagaan. Untuk itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada semua
pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis
dalam penyelesaian skripsi ini. Maka perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan
terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum
2. Bapak DR. Rumadi, MA selaku pembimbing dalam penyelesaian skripsi ini.
Beliau dengan tulus telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat
berarti demi kelancaran penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Asmawi, MAg selaku ketua Jurusan Jinayah Siyasah dan Ibu Sri
Hidayati, MAg selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga penulis dapat
95
menyelesaikan studi di Jurusan Jinayah Siyasah Prodi Siyasah Syar’iyyah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Abi dan Umiku tercinta, kakak dan adik-adikku tersayang, dan semua
saudaraku yang ikut berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas
dukungan dan kasih sayang kalian. Aku Begitu Menyayangi dan Mencintai
kalian semua.
6. Orang terdekat penulis Abangku (Salman). Terima kasih atas dukungan dan
motivasinya.
7. Sahabat-sahabatku Istiqomah, Rohma, Arie Zakiyah, Qie-qie, Lisa Astarina,
Susanti (Ds), Foe (Ds). Terima kasih atas dukungan dan persahabatan kalian
yang selalu menemani penulis saat suka dan duka.
8. Sahabat-sahabat Siyasah Syar’iyyah angkatan 2005. Terima Kasih atas
kebersamaan dan persahabatannya. Semoga kita dapat terus menjalani
silaturrahmi.
9. Semua teman-teman penulis di mana pun berada, yang telah memberikan
dukungan dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
10. Kepada Lembaga Institut Maarif, terima kasih atas bantuan data-data yang
telah diberikan sehingga dapat mempermudah penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
Penulis berdo’a kepada Allah swt, semoga segala dukungan dan
bantuan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasannya.
Serta segala ilmu yang penulis dapatkan selama di perkuliahan dapat
96
bermanfaat. Dan segala pengorbanan penulis dalam penyususan skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amien…
Jakarta, 8 Desember 2009
Penulis
97
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 8 Desember 2009
Lia Hilyah
98
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI...............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………..9
D. Tinjauan Pustaka………………………………………………...10
E. Metode Penelitian……………………………………………….11
F. Subjek Penelitian…...……………………………………………13
G. Sistematika Penulisan……………………………………………13
BAB II BIOGRAFI SYAFI'I MA'ARIF
A. Riwayat Hidup Syafi'i Ma'arif …………………………………..16
B. Pendidikan dan Karir Syafi’i Ma’arif……………………………23
C. Aktifitas Syafi’i Ma’arif…………………………………………29
D. Karya-karya Syafi’i Ma’arif…………………………………….36
E. Fase Perkembangan Pemikiran Syafi’i Ma’arif
1. Pembentukkan Intelektual Syafi’i Ma’arif.………………….40
99
2. Pertumbuhan Intelektual Syafi’i Ma’arif…..………………...40
3. Perkembangan Intelektual Syafi’i Ma’arif.………………….41
4. Kematangan Intelektual Syafi’i Ma’arif….………………….41
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG IDEOLOGI DASAR NEGARA
DI INDONESIA
A. Pengertian Ideologi ……………………………………………...43
B. Bentuk-Bentuk Ideologi dan Dasar Negara yang Pernah
Berkembang di Indonesia………………………………………..44
1. Islam Sebagai Dasar Negara…………………………………..45
2. Pemahaman Negara Sekuler.………………………………….52
3. Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila……..54
4. Ideologi dan Falsafah Pancasila………………………………58
BAB IV PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFI'I MA'ARIF TENTANG
IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA
A. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif tentang Islam sebagai Ideologi
Negara............................................................................................69
B. Pandangan Ahmad Syafi'i Ma'arif tentang Pancasila sebagai
Ideologi Negara.............................................................................79
C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka...............................................83
100
D. Relevansi Pemikiran Politik Ahmad Syafi’i Ma’arif Dalam
Konteks Indonesia sekarang..........................................................85
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………88
B. Saran……………………………………………………………..89
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………...90
101
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di kalangan intelektual Muslim sejak zaman klasik hingga saat ini terdapat
tiga aliran tentang hubungan agama dan negara, yaitu: Pertama, golongan sekuler
(Barat), berpendapat bahwa agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan
politik atau negara. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad saw hanyalah seorang rasul
biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia
kembali kepada kehidupan yang mulia. Nabi tidak pernah bermaksud mendirikan
suatu negara atau pun sejenis bangunan politik lainnya. Kedua, aliran ini berpendapat
bahwa Islam memang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan masalah
negara tetapi ia memiliki seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara atau dalam
kata lain memiliki hubungan integralistik yang saling mempengaruhi melalui nilai-
nilai etika tersebut. Tokoh utama yang mewakili aliran ini adalah Muhammad Husain
Haikal.1 Ketiga, para Islamis pada umumnya berpendapat, Islam merupakan sebuah
agama yang khas. Sebab, Islam mengatur bukan hanya urusan transcendental, tapi
juga hubungan sosial, bahkan politik. Sejarah Islam juga telah memperlihatkan bahwa
Nabi Muhammad saw dalam kenyataannya merupakan pimpinan politik dan agama
1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1993), h. 3
102
sekaligus.2 Namun, Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai
seorang penguasa.
Fakta itu memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah
sarana dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas al-
Qur'an memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena al-
Qur'an memang lebih merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab
ilmu politik. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai
dengan tantangan zaman dan tuntunan masyarakat. Tujuan terpenting dalam al-Qur'an
lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat
mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Maka
atas dasar nilai-nilai etik al-Qur'anlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosio-
kultural wajib ditegakkan.3
Karena itu, dapat dipahami pula jika Islam akhirnya menjadi "ideologi" yang
ampuh dalam panji-panji perlawanan rakyat Indonesia ketika melawan kolonial,
penjajah dan pendatang asing yang atribut kulturnya berbeda dengan pribumi yang
mayoritas Muslim.4
Keinginan adanya cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di
lembaga negara disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca-
2 Dhurorurudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008), h. 51 3 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 16
4 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 53
103
kemerdekaan.5 Pada awal-awal menjelang kemerdekaan Indonesia, para tokoh pendiri
bangsa Indonesia dihadapkan dengan perdebatan panjang tentang ideologi dan dasar
negara yang akan diterapkan di Indonesia. Berbagai kalangan mencoba memberikan
argumen dan menawarkan dasar negara untuk Indonesia.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUUPK) yang
dilantik pada 28 Mei 1945, ditugaskan untuk merumuskan bentuk negara, batas
negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam
konstitusi. Para anggota BPUUPK mencoba mempertanyakan "Philosofische
Grondslang" (Landasan filosofis) bagi negara yang hendak didirikan, Soekarno dan
Moehammad Yamin merupakan tokoh yang paling siap untuk memberikan jawaban.
Soekarno dan Moehammad Yamin mengajukan lima prinsip dasar yang kemudian
dikenal dengan Pancasila. Sedangkan dari kalangan Islam yang paling bersemangat
adalah Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan
Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus ini merupakan anti-tesis terhadap usulan
Soekarno-Yamin. Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu, maka dimulailah
pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-sidang BPUPKI.
Dalam badan BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang sangat tajam antara
wakil-wakil kaum Muslimin dengan golongan nasionalis-sekuler. Perdebatan itu
dengan sendirinya memanaskan keadaan politik menjelang lahirnya Indonesia.
5 Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan
Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler (Yogyakarta: Uswah, 2008), h. 33
104
Sidang pertama BPUPKI diselenggarakan tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945.
Pokok bahasan sidang pertama itu membicarakan dasar (ideologi) negara yang akan
dibentuk.6 Para pemimpin Islam menginginkan agar negara didirikan di atas petunjuk
al-Qur'anul Karim dan al-Hadits shahih, sehingga Indonesia harus menjadi negara
Islam.
Sedangkan kaum nasionalis-sekuler, mengingat bahwa tidak hanya dihuni
oleh orang-orang Islam, mereka menghendaki konstruk negara Indonesia merdeka
tidak harus berdasarkan pada suatu agama tertentu (Islam), sebab jika negara yang
majemuk ini, terutama dari dimensi agama, Islam dijadikan sebagai agama resmi
negara dan sebagai dasar negara, tentu akan terjadi diskriminasi terhadap agama-
agama lain.7
Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk
Indonesia beragam Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan, sebab
-sebagaimana diutarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo- tidak ada institusi formal
seperti negara yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda adalah
contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan,
kendati pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut
Hadikusumo menjelaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan
langsung dengan persoalan politik.
6 Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia, h. 122 7 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), Cet. Ke-I, h. 89
105
Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo itu sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak
nasionalis-sekuler. Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara
Islam, karena menurut Soepomo (wakil nasionalis-sekuler), Indonesia mempunyai
keistimewaan-keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syariat
Islam tetap cukup mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern.
Ideologi Islam dalam pandangan mereka adalah bentuk sistem kuno yang tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat modern.
Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada tanggal 22 Juni
1945 suatu sintesis dan kompromi dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang
berbeda itu. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam
Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI.8 Dalam piagam ini
Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan
letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota (pertama), juga
diberikan anak kalimat pengiring, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan: Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir,
Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moehammad Yamin.
Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu
bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan
perkataan di atas dirasakan oleh sebagian bangsa kita belahan timur sebagai
8 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, h. 109
106
diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya
anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.
Alasan paling keras disuarakan untuk menolak pemberlakuan syariat Islam
adalah persoalan minoritas non-Muslim. Kekhawatiran minoritas non-Muslim seperti
ini pernah diungkapkan secara terbuka dan terus terang oleh seorang cendekiawan
Kristen, Th. Sumartana. Menurutnya, "Bagi umat non-Muslim, kesangsian dan
ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam adalah manakala status
kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekedar "para penumpang" atau "para
tamu", bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai "orang asing" di negara
sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara
dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam
pendirian republik ini.
Pasca polemik Soekarno dan Natsir, perdebatan yang sama kembali muncul
pada masa Orde Baru antara tahun 1960-an sampai 1980-an di kalangan para
intelektual Muslim. Pada masa awal Orde Baru, pembangunan ekonomi lebih
diprioritaskan dari pada masalah politik. Untuk itu stabilitas merupakan prinsip
penting bagi pemerintah, pada awal dekade 1970-an pemerintah mengadakan
restrukturisasi politik dalam usaha menciutkan peran politik masyarakat untuk
suksesnya stabilitas. Bersamaan dengan depolitisasi masa lalu, pemerintahan Orde
107
Baru merencanakan apa yang disebut dengan pembangunan nasional dengan
modernisasi isu sentralnya.9
Salah satu tokoh pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada masa
ini adalah Ahmad Syafii Maarif. Sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chicago,
pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan
menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 1976-1978, Syafii Maarif aktif
dalam MSA (Muslim Students' Association), yang masih sangat merindukan tegaknya
sebuah negara Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih
belum ada yang dapat ditawarkan Syafii Maarif untuk menembus kebuntuan
intelektualisme Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini ia
pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chicago pada awal
1980-an.10
Periode Chicago merupakan perubahan mendasar dalam pola pemikirannya
tentang Islam, Maarif merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran.
Islam baginya adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur'an adalah kitab suci
dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai acuan dalam
berpolitik. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Fazlur Rahman selama empat tahun
telah mempengaruhi sikap hidup Maarif secara mendasar.11
9Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid
dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1999), Cet. Ke-I, h. 38 10 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006), h.
195
11Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 224
108
Menurut Syafii Maarif, sebutan negara Islam tidak diperlukan lagi. Tetapi
bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan, jika
memang Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun
perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional
melalui proses demokratisasi. Dalam konteks ini, Nurchalish Madjid menggambarkan
bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah strukur atau kumpulan hukum, yang bisa
melahirkan formalisme agama, tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang
melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis, atau paling tidak mampu
menempatkan dirinya dalam konfigurasi pluralistik.12
Selanjutnya, untuk menjelaskan posisinya dalam masalah hubungan Islam dan
negara, Ahmad Syafii Maarif sering mengutip ungkapan Hatta "Janganlah gunakan
filsafat gincu, tampak tetapi tidak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi
terasa". Menurut Syafii Maarif, Pancasila yang sudah disepakati itu harus
membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu, sehingga tuduhan
bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara sekuler
akan dapat ditangkal. Pancasila yang hanya dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati
dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa, sementara tujuan
kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat adil dan makmur akan semakin
menjauh saja.
12 Ahmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), Cet. Ke-I, h. 156
109
Untuk mempelajari lebih dalam lagi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tersebut,
penulis merasa perlu dan merasa tertarik untuk membahas hal itu dalam sebuah
skripsi dengan judul:
DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF (Tinjauan
Terhadap Ideologi Negara). Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan
gambaran lebih jauh tentang konsep ideologi bernegara Ahmad Syafii Maarif.
B. Pembatasan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Supaya penelitian ini lebih terarah
dan tidak menyimpang dari topik yang dipersoalkan, maka penulis membatasi
permasalahan penelitian ini pada pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang
ideologi Negara Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan yang akan di jadikan bahan
perumusan masalah oleh penulis sebagai berikut:
a. Bagaiman pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dan Pancasila
sebagai ideologi negara sebelum kuliah di Chicago dan pasca kuliah di Chicago?
b. Bagaimana hubungan Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara Menurut
pandangan Ahmad Syafii Maarif?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
110
1. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperoleh gambaran yang jelas pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif
tentang Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara.
b. Untuk mengetahui alasan-alasan ideologi Ahmad Syafii Maarif dalam bernegara.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu kontribusi bagi pengembangan
kajian Politik Islam di Indonesia, khususnya tentang konsep ideologi negara.
b. Karya ilmiah ini merupakan wujud kontribusi dan sumbangan pemikiran penulis
untuk almamater dimana penulis menuntut ilmu.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini yang digunakan adalah dokumen-dokumen
tertulis yang bersangkutan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Langkah
ini dimaksud agar dalam proses penulisannya dilakukan kepada kepustakaan yang
sudah ada sehingga dapat dijadikan acuan dalam upaya melengkapi penulisan skripsi
ini. Adapun kepustakaan yang berhubungan dengan judul ini adalah sebagai berikut:
111
Roudhonah, Pemikiran Da’wah Ahmad Syafii Maarif. Disertasi ini mengkaji
tentang cara berda’wah Ahmad Syafii Maarif yang bertujuan agar kehidupan di dunia
ini selalu berlandaskan al-Qur’an dan al-Hadits.13
Buku Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-
1965), dalam buku ini mengkaji kritis realitas politik yang tercermin dalam tingkah
laku politik praktis partai-partai Islam pada periode demokrasi terpimpin (1959-
1965). Suatu periode singkat dalam sejarah modern Indonesia, tetapi cukup penting
dan genting bila ditempatkan dalam suatu perspektif sejarah perjuangan partai-partai
Islam di Indonesia.14
Buku Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, buku ini mengkaji
tentang penyebab kemunduran umat Islam. Dan dalam buku ini mencoba
mengenengahkan problem tersebut melalui analisisnya yang memadukan perspektif
sosial, politik, budaya, dan sejarah yang ditekuninya.15
Buku Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, dalam buku ini
mengkaji tentang kumpulan makalah-makalah dalam seminar yang dilaksanakan oleh
perpustakaan yayasan Hatta. Salah satu dari pengisi seminar tersebut adalah Ahmad
13 Roudhonah, Pemikiran Da’wah Ahmad Syafii Maarif (Jakarta: Program Doktor Sekolah
Pascasarjana UIN, 2008)
14 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Masa Demokrasi Terpimpin (Yogyakarta: PT.
Pustaka Parama Abiwara, 1988) 15 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1995)
112
Syafii Maarif, beliau membahas tentang pengaruh gerakan modern Islam Indonesia
terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dewasa ini.16
Di antara tinjauan pustaka di atas, tidak ada kesamaaan judul secara langsung
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Dari sini penulis
tertarik mengkaji lebih dalam tentang dinamika pemikiran politik Ahmad Syafii
Maarif (tinjauan atas ideologi negara).
E. Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan serta hasil yang komprehensif dan akurat, serta bisa
dipertanggungjawabkan secara moral dan intelektual, maka penulis memerlukan
metode penelitian yang mampu menjadi kerangka eksplorasi berbagai bahan dan
perangkat yang diperlukan.
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Adapun sifatnya
adalah deskriptif, yaitu menggambarkan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang
Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara. Penelitian ini juga merupakan penelitian
hukum yang bersifat normatif-doktriner.
2. Teknik Pengumpulan Data
16 Fauzi Ridjal, Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, 1991)
113
Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah Studi
dokumenter, yaitu studi yang dilakukan dengan mempelajari sumber-sumber
informasi milik obyek yang ditulis secara langsung tanpa perantara penulis lainnya.
Sedangkan untuk memperoleh data yang berkenaan dengan judul penulis
menggunakan metode pengumpulan data yang bersumber sebagai berikut: Data
Primer; yaitu buku-buku politik karangan Ahmad Syafii Maarif yang berkaitan
langsung dengan bahasan skripsi ini, di antaranya adalah buku Islam dan Pancasila
sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante (Jakarta: Pustaka
LP3ES) Indonesia, 2006), dan buku Peta Intelektualisme Islam di Indonesia
(Bandung: Mizan, 1995).
Sedangkan data Skunder, yaitu penulis peroleh dari buku-buku yang berkaitan
dengan pembahasan penulis, yaitu berupa artikel, majalah, surat kabar, yang ditulis
oleh penulis lain yang mempunyai relevansi dengan masalah penelitian sebagai bahan
penunjang.
3. Teknik Pengolahan Data
Pengelolaan data dalam penelitian ini mengunakan teknik pengelolaan data Editing,
yaitu memeriksa, mengontrol dari pada data yang di peroleh, untuk menjamin
kemantapan terhadap data tersebut atau menjamin validitas dan reabilitas data.17
4. Teknik Analisis Data
17 Surjadi Soerdirja, Metode Penelitian Sosial (Terhadap Dan Kebijakan), Jakatra,26 Oktober 2000, h.
81
114
Analisi data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi secara kualitatif
komparatif dengan menggunakan metode-metode penelitian deskriptif komparatif
yaitu penelitian yang berusaha memberikan uraian dan menggambarkan secara garis
besar kemudian dilakukan analisis terhadap pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif
terhadap Islam dan Pancasila sebagai ideologi negara sekarang.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku panduan penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(UIN) Jakarta Tahun 2008.
F. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ia adalah seorang
tokoh politik yang aktif dalam organisasi Muhammadiyyah.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih jelas dan mudah dipahami pembahasan dalam penelitian ini,
penulis memaparkan sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN. Sebagai karya ilmiah, penelitian ini dimulai dengan
pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah. Yaitu hal-hal apa saja yang
melatar belakangi permasalahan yang dibahas. Agar masalah yang dibahas tidak
melebar pemaparannya, maka masalah tersebut dibatasi, dan kemudian dirumuskan.
Pada bab ini juga memaparkan tujuan dan manfaat penulisan, yaitu menjelaskan
115
tujuan penulis melakukan penelitian, dan manfaat apa yang akan dicapai. Selanjutnya,
dala bab ini juga dipaparkan tinjauan pustaka. Dalam penelitian ilmiah harus ada
metode penelitian agar penelitian tersebut dapat terarah dan sistematis. Untuk itu,
pada bab ini penulis memaparkan metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF. Dalam bab ini, penulis
membahas sejarah ringkas kelahiran dan latar belakang keluarga Ahmad Syafii
Maarif, jenjang pendidikan yang pernah dilalui. Selanjutnya aktivitas dan bagaimana
karir Maarif di dunia Islam Indonesia, dan karya-karya apa saja yang sudah
dihasilkan. Pembahasan ini diperlukan agar penulis bisa mengetahui latar belakang
keluarga Syafii Maarif, alur pemikiran, Fase perkembangan pemikiran, dan tokoh-
tokoh yang mempengaruhi pemikirannya.
BAB III TINJAUAN UMUM TENANG IDEOLOGI NEGARA. Bab ini
penulis memaparkan tentang pengertian ideologi negara, bentuk-bentuk ideologi dan
dasar negara yang berkembang di Indonesia, antara lain Islam sebagai dasar Negara,
Pengertian Negara sekuler, Interseksi agama dan Negara dalam ideologi Pancasila,
dan falsafah Pancasila.
BAB IV PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG
IDEOLOGI NEGARA DI INDONESIA. Bab ini dimulai dari penjelasan tentang
Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai ideologi negara dan
dilanjutkan dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Pancasila sebagai
ideologi negara yang meliputi; Pancasila sebagai ideologi terbuka, relevansi
pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif dalam konteks Indonesia sekarang.
116
BAB V PENUTUP. Bab ini merupakan sebuah kesimpulan dari bab-bab sebelumnya
atau konklusi dari penelitian tentang pemikiran politik Ahmad Syafii Maarif tentang
ideologi negara. Bab ini juga berisi saran-saran penulis, dengan apa yang telah
penulis simpulkan
117
BAB II
BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF
F. Kelahiran Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah “Buya” oleh orang yang
dekat dengannya. Istilah Buya di ucapkan kepada Syafii Maarif karena ia pantas
menyandang panggilan Buya yang memang sudah menjadi ulama yang benar-benar
alim, dan juga dikenal sebagai pendidik, sekaligus ilmuwan atau cendekiawan yang
mempunyai reputasi intelektual yang sangat tinggi. Namun Ahmad Syafii Maarif
sendiri mengatakan “tidak usahlah disebut dengan Buya, cukup dengan nama saja,
sebutan Buya masih dipermasalahkan”. Kadang Ahmad Syafii Maarif suka
memelesetkan dengan kata “Buaya”, seolah-olah mencoba menetralisasi atau ingin
membersihkan kandungan “karismatik” atau feodalistik” yang dari sebutan khas
untuk tokoh Minang itu. Lagi-lagi sikap humanis yang egaliter. Di hadapannya
apapun yang berbau “keangkeran diri” diubah menjadi hal wajar, biasa dan bahkan
lugu dan polos.18
Ahmad Syafii Maarif lahir dari pasangan Ma'rifah Rauf dan Fathiyah pada
hari Sabtu, 31 Mei 1935 di bumi Calau Sumpur Kudus "Makkah Darat", Sumatera
Barat. Sumpur Kudus "Makkah Darat" (Makkah Darek dalam bahasa Minang)
adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit negeri Minang,
18 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (editor), Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii
Maarif Cermin untuk Semua (Jakarta: Maarif Institute, 2005), h. 37
118
rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya.19
Secara kultural melambangkan sebuah
gerak perlawanan terhadap apa yang bernama kultur hitam Jahiliyah yang dikuasai
Parewa (preman) sangar daerah pedalaman.
Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraih, tidak
ada angan-angan untuk jadi apa atau siapa, karena memang lingkungan nagari yang
sempit dan sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok melebihi orang
kampungnya. Semasa kecil Syafii Maarif, pengaruh kota belum menjalar di
kampungnya, karena televisi20
saat itu belum lagi ada. Wawasan Syafii Maarif pun
hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari, Syafii Maarif
bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengadu sapi, mengadu ayam, mengail,
menjala, menembak burung dengan senapang angin milik abangnya dan mengembala
sapi.21
Ayah Syafii Maarif lahir pada tahun 1900, Ia adalah seorang terpandang di
kampung, saudagar gambir, jauh sebelum dia diangkat menjadi kepala nagari tahun
1936. Keluarga Ahmad Syafii Maarif merupakan keluarga terhormat, ayahnya
sebagai kepala suku Melayu dengan menyandang gelar Datuk Rajo Malayu yang
jabatannya sampai wafat. Secara ekonomi, ayahnya termasuk dalam kategori elit di
kampung, tempat masyarakat mengadu tentang berbagai masalah, tidak saja
19 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006), h. 3
20 Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1962
dengan studionya yang sederhana di komplek Senayan Jakarta (Onong Uchyana Effendy, Dimensi
Komunikasi, Bandung: Alumni, 1981), h. 178
21 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 82
119
menyangkut masalah ekonomi, juga masalah adat dan lembaga tingkat nagari.
Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca. Bahkan ayahnya cerdas,
semua orang kampung mengakui. Maarif sendiri sering menyaksikan betapa rasa
hormat masyarakat kepada ayahnya, pasti datang dengan sikap sopan sebagai
pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu.
Ayah Ahmad Syafii Maarif bersaudara seayah-seibu (Abd. Rauf dan Bailam)
berjumlah tujuh; Ma’rifah, Karimah, Siti Dariyah, Saidina Hasan, Bainah, Attudin
Rauf, dan Ahmad. Karimah dan Ahmad wafat sewaktu masih kecil, sementara
Saidina Hasan wafat pada 1949 di rumah sakit Sawahlunto dalam usia sekitar 32
tahun. Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5 Oktober 1955, dimakamkan
di Tapi Selo, tanah persukuan orang Melayu. Semula ayahnya sakit di Tanjung
Ampalu, di tempat ibu tirinya bernama Mak Maran, kemudian etek Lamsiah, ibu tiri
Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo sampai ayahnya wafat di sana. Waktu
itu ayahnya berusia 55 tahun.22
Sementara ibu Maarif bernama Fathiyah lahir di Tepi Balai pada tahun 1905
dan meninggal dunia sewaktu Maarif berusia 18 bulan. Ahmad Syafii Maarif tidak
bisa membayangkan seperti apa perawakan ibunya, seperti apa senyumannya, dan
seperti apa pula ketika dia menggendong anak-anaknya. Ahmad Syafii Maarif tidak
pernah melihat foto ibunya, hal ini menjadi sulit baginya untuk membayangkan sosok
ibunya. Ibunya wafat pada tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun
menyusuinya. Maarif tidak sempat merasakan betapa manis atau pahitnya hidup
22 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 66
120
bersama ibunya, orang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif
tidak pernah mengenal wajah ibunya.
Seperti wanita-wanita yang lain di Sumpur Kudus, ibunya adalah wanita yang
sering menunggang Kuda untuk menempuh perjalanana jauh. Syafii Maarif pun
menceritakannya “selagi sehat kabarnya ibuku kalau bepergian biasa naik Kuda
dengan selendang sarung bugis yang diselempangkan di bahunya, suatu kebiasaan
yang tak terlalu lazim di kampungnya. Tetapi sebagai isteri orang terkemuka pada
tingkat nagari masyarakat dapat memakluminya. Alangkah anggunnya ibuku barang
kali berada di atas punggung kuda”.23
Budaya perempuan naik kuda, berarti pula bahwa posisi perempuan di
kampung Syafii Maarif sangat terhormat, tidak kalah dengan kaum pria dan
sebenarnya kultur Minangkabau adalah matrilinial, yakni kaum perempuan secara
teori memang mempunyai posisi dominan. Apakah ini terkait ini, yang jelas ibu
Syafii Maarif bukanlah manusia yang kolot pada saat Indonesia berada di bawah
sistem penjajahan.
Ibunya telah wafat pada umur yang masih muda, sehingga Ahmad Syafii
Maarif sendiri tidak dapat menelusuri sejarahnya, hanya pusaranya yang ada tidak
jauh dari rumah tempat kelahiran Ahmad Syafii Maarif. Sesaat setelah ibunya wafat,
Syafii Maarif diberi tahu bahwa ayahnya menggendongnya ke tepi Batang Sumpur,
tak jauh dari rumah kelahirannya sebelah barat melalui pematang sawah. Sungai ini
tak pernah kering, sumber penghidupan para petani yang merupakan mayoritas
23 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73
121
penduduk kampungnya, batang sumpur ini digambarkan sebagai “airnya jernih,
pasirnya putih, tebingnya landai, dan ikannya jinak”, sekalipun dalam kenyataannya
ketika hujan lebat airnya keruh juga, dan ikannya tidak pernah jinak, kecuali yang
sakit atau pingsan.24
Setelah ibunya meningggal, Ahmad Syafii Maarif dititipkan pada bibinya
Bainah (dipanggil etek), yang tempat tinggalnya sekitar 500 meter dari tempat
kelahirannya. Tampaknya, ayah Maarif sengaja menitipkan anaknya pada adiknya
sendiri, mungkin agar dapat diawasinya dari dekat, sebelum pergi merantau, selama
16 tahun Maarif hidup bersama bibi dan pamannya. Bibi Bainah mempunyai anak
bernama Saiful Wahid yang lahir tahun 1939. Saiful punya dua adik kandung
bernama Yusnida dan Muslim, keduanya sudah wafat dalam usia yang relatif muda,
sedangkan etek (bibi) Bainah wafat pada 1973 dalam usia belum terlalu tua.
Ahmad Syafii Maarif menikah pada tanggal 5 Februari awal tahun 1965
dengan seorang gadis bernama Nurkhalifah. Maarif menikah di rumah mertuanya
(Sarialam dan Halifah) yang dikenal dengan kawasan Mandahiling dalam sebuah
upacara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii Maarif sudah berumur 30
tahun.
Ahmad Syafii Maarif memiliki beberapa orang anak, anak pertamanya
bernama Salman yang lahir di Yogyakarta pada bulan Maret 1966. Namun sayang,
Salman meninggal diusianya kurang sedikit dari 20 bulan, setelah sakit beberapa
lama di Padang. Saat itu Salman diajak ibunya pulang ke Padang dalam keadaan
24 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 72
122
kurang sehat, sedangkan Ahmad Syafii Maarif tetap di Jawa. Akhirnya Salman wafat
tidak di depan ayahnya (Syafii Maarif). Kuburan Salman di pinggir laut, sekarang
sudah tidak ada bekasnya lagi karena telah ditelan ombak.25
Dengan meninggalnya
Salman, Syafii Maarif begitu terpukul batinnya, sebagaimana diungkapkannya
“sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat terguncang, tetapi inilah
kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui. Hanya iman saja yang dapat menolong
agar tidak terus berlarut dalam suasana ketidakstabilan jiwa.26
Anak selanjutnya
adalah bernama Iwan yang lahir pada November tahun 1968 dan ia wafat pada
Oktober tahun 1973. Anak ketiga Ahmad Syafii Maarif adalah Mohammad Hafiz
yang lahir premature dengan berat badan 2.20 kg pada 25 Maret 1974. Dari ketiga
anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya yang hidup hingga dewasa. Kini Syafii
Maarif hidup dengan anak semata wayangnya bernama Mohammad Hafiz dan
isterinya Hj Nurkhalifah. Panggilan Ibu Hj.Nurkhalifh (isteri) terhadap Ahmad Syafii
Maarif yaitu dengan sebutan Kak Oncu, sebuah kebiasaan anak nagari Sumpur Kudus
memanggil suaminya berdasarkan urutan kelahiran di kalangan keluarganya. Dan
dalam perjalanan hidupnya, melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya
satu kata yang diucapkannya, yaitu bersyukur. Rasa syukur itulah yang merupakan
25 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 185
26 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 186
123
perekat rumah tangga yang beranggotakan tiga orang tersebut: Buya, Ibu Hj.
Nurkhalifah, dan Mohammad Hafiz.27
Mohammad Hafiz sangat bangga pada ayahnya (Syafii Maarif), yang telah
memberi pelajaran secara relatif demokratis, dan liberal, dimana bertiga mempunyai
suara equal dalam menyampikan pendapat, dan kadang disertai adu argumen. Ketika
Hafiz mengobrol ringan dengan seorang teman Syafii Maarif di Padang, orang
tersebut mengatakan bahwa; “…..ayahmu itu adalah gambaran pribadi orang Minang
yang seutuhnya dan semestinya sikap yang egaliter, sederhana, adil, tegas, dan
jujur…..”28
tentulah Hafiz tidak menyangkal, apalagi Hafiz hidup di antara orang
Minang selama setahun lebih di Padang. Kesimpulan yang didapatkan mungkin
seorang Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu segelintir orang yang dari sekian lapis
generasi Minang yang bisa mempertahankan image orang Minang yang semestinya,
setelah generasinya yang melahirkan pribadi seperti H. Agus Salim, Moh. Hatta,
Buya Hamka dan lainnya.
Di samping itu, Dalam buku Refleksi 70 tahun Ahmad Syafii Maarif kesan
yang diutarakan Moh. Hafiz tentang ayahnya (Syafii Maarif), ada dua macam fungsi,
sebagai seorang ayah dan sebagai seorang individu yang unik. Sebagai seorang ayah,
selama hidup di bawah naungan beliau, pelajaran paling berharga Mohammad Hafiz
adalah tentang tawakkal dan kesederhanaan manusianya, terutama menghadapi
27 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73
28 Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii
Maarif:Cermin Untuk Semua, h.11
124
kenakalan seorang anak bernama Mohammad Hafiz, bahkan sampai dewasa pun
masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.
Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii Maarif memberikan
pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan individu-
individu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif dan baik dan
menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai dan menghormati.
Terkadang sedikit naif, sikap agak berlawanan dengan sikap pandangan/opini
Muhammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan cenderung sarkastik terhadap
orang.29
G. Pendidikan
Dunia awal masa kecil Ahmad syafii Maarif dilewati di kampung
halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus.
Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah
Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dari
Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau dan selesai pada tahun 1953.
Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagian
dilanjutkan di Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin
Yogyakarta. Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak semudah yang
dibayangkan. Karena ada beberapa alasan dari pihak sekolah untuk menolak Ahmad
29 Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. 11
125
Syafii Maarif masuk ke kelas empat, yaitu; pertama, kelas empat sudah penuh, kedua,
dari seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran di Yogya lebih
tinggi dibandingkan dengan Mu’alimin daerah lain. Jadi Ahmad Syafii Maarif akan
mengalami kesulitan bila masuk ke kelas empat. Awalnya Ahmad Syafii Maarif
merasa syok, namum Ahmad Syafii Maarif tidak bisa berbuat apa-apa dan kemudian
menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga. Semua itu dihadapinya dengan
tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas tiga Mu’alimin,30
sehingga akhirnya
dapat tamat pada 12 Juli 1956.31
Ahmad Syafii Maarif "mendinamisasikan" dirinya,
berkat M. Sanusi Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah Yogyakarta.32
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada tahun 1956, Ahmad
Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, tepatnya di Universitas
Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) atas
bantuan saudaranya.
30 Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 106
31 Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial (Jakarta: 10
Juli 2000
32 Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial (Jakarta: 10
Juli 2000
126
Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena hubungan
pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRI/Permesta,33
akhirnya
Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad
Syafii Maarif menjadi guru di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.34
Sambil
mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali melanjutkan kuliah, karena sering tidak
masuk kuliah -karna sering mengajar- akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat
Sarjana Muda (BA) pada tahun 1964. Putus sambung kuliah sudah pernah
dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya ia berhasil
menyelesaikan kuliah, walau harus ditempuh sambil bekerja.35
Gelar Sarjana (Drs)
diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta pada Agustus 196836
,
dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”, dibawah
bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara. Untuk teman-
teman seangkatannya, Ahmad Syafii Maarif adalah lulusan pertama.
33 PPRI adalah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia,suatu pemerintahan tandingan
dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara(dari masyumi)sebagai Perdana Menteri, PPRI di
proklamirkan di Padang, tanggal 15 Februari 1958. Pemberontakan ini menuntut otonomi regional,
perbaikkan Duumvirate Soekarno dan Hatta, Pembentukan Senat, Penggantian Kepala Staf ABRI
Jendral Nasution dan Stafnya, dan pembatasan aktivitas PKI. Permesta adalah Perjuangan Semesta
Alam, yang bergabung dengan PPRI yang dipimpin oleh H. N. V.Sumual, Permesta diproklamirkan pada tanggal 2Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Bahtiar Effendy, Islam Dan
Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, h. 97-98
34 Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran
Islam dan Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000), h. 172
35 Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. Xi
36 Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran
Islam dan Politik, h. 172-173
127
Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke
Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University (1973) dan Ohio State
University (1980) hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama teman-
temannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA (Muslim Students’ Association) yang
masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah di atas 30 tahun.
Selama perkembangan pemikiran keislamaan Syafii Maarif di Atheans belum ada
perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung dalam status quo. Masih
berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi,
dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan penyair dari pakistan pun telah
Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum singgah secara mantap di otak Syafii
Maarif yang masih bercorak aktivis, belum reflektif dan kontemplatif. Apalagi Syafii
Maarif aktif dalam MSA (Muslim Students Association), yang masih merindukan
tegaknya sebuah negara Islam di suatu Negeri.37
Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman dari Saudi Arabia,
Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di samping teman-teman dari Indonesia dan
Malaysia. Dari segi moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling
menjaga. Tidak ada di antara mereka yang larut dalam budaya serba bebas ala Barat.
Di Athens ia adalah salah seorang khatib pada hari Jum’at yang diselenggarakan di
sebuah ruangan luas di lingkungan kampus. Di Athens, lingkungan pergaulan Syafii
Maarif berada di tengah-tengah orang-orang saleh, tetapi hampir sepi dari pemikiran
37 Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.209
128
yang memungkinkan kita keluar dari kebutuhan intelektual yang sudah beradab
diderita dunia.Muslim. Teori-teori keIslaman yang bertolak dari sikap anti asing
ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin
sekuler kalau bukan ateistik. Sebuah paradoks berlaku di sini. Para pendukung
Maududi, Qutb, yang mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di
negerinya sendiri, karena berhadapan dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan
ulama konservatif. Justru mereka memilih hidup di barat yang dijadikan sasran kritik
itu.38
Menurut Syafii Maarif, di dunia ini kita tidak boleh memakai kaca mata
hitam. Di antara mahasiswa muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia, tidak
sedikit yang menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat. Bahkan sebagian
mereka menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu mereka
mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di Barat justru muncul kesadara
baru untuk mencapai Muslim yang baik. Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang
bersikap lapang dada saja, jangan ekstrim anti sesuatu, sebab Barat-Timur itu milik
Allah. Kearifan tidak bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang bias saja menemukan
kearifan itu di mana saja asal di cari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak
yang terbuka semata-mata karena rindu kepada kebenaran. Syafii Maarif pun berkata
Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,tetapi
38 Titik-tititk Kisar di Perjalananku, h.213
129
malah wajib berupaya mengubah realitas yang pengap menjadi sesuatu yang asri,
adil, dan penuh rahmat yang dapat diukur dengan parameter apa pun.39
Pada tahun 1978 diusia 43 tahun Maarif meninggalkan Athens, Di Ohio inilah
ia mendapat MA pada Departemen Sejarah dengan tesis “Islamic Politics Under
Guided Democracy in Indonesia” (1959-1965) dibawah bimbingan Prof. William H.
Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan sejarah Jepang yang teramat baik
terhadapnya.
Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti ke mana tapak kaki melangkah
sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D (Doctor of Philosophy), dari
negara yang mengklaim dirinya sebagai "bapak Demokrasi", Amerika Serikat,
tepatnya di University of Chicago (Desember 1983)40
dalam usia 47 tahun. Tidak
mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar ke Universitas Chicago, sekalipun ia
sudah diterima untuk program Ph.D dalam Pemikiran Islam. Bantuan sahabatnya M.
Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi Maarif untuk bisa belajar Islam ke
kampus “orientalis” itu. Professor Frederick turut membantunya untuk mendapatkan
beasiswa dari Ford Foundation dan USAID melalui perwakilannya di Jakarta.
Akhirnya dengan bantuan banyak pihak, beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat
awal itu tidak terbayang dalam otakknya bahwa Chicago akan mengubah secara
fundamental sikap intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam
39
Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.214
40 Ahmad Syafii Maarif, Mencri Autentisitas, h. Sampul
130
bidang pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi “Islam as the
Basic of State; A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent
Assembly Debates in Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.41
Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower, namun
kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa, misalnya
Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung “berat-sebelah” terhadap negara-
negara Muslim, tak pernah luntur.
Sebelum mencapai "puncak-puncak" di atas, Ahmad Syafii Maarif melakukan
perjalanan dan pengembaraan dari satu daerah ke daerah yang lain disertai berbagai
interupsi dalam kehidupannya. Antara rantau dan alam, dalam sosok Ahmad Syafii
Maarif, selalu terlibat dalam dialog secara terus-menerus disertai dengan sikap kritis
"Alam terkembang jadi guru". Proses atau "struktur pengalaman" inilah yang
membentuk sosoknya sebagai manusia bebas dan merdeka.
H. Aktivitas
Sebagai anak panah Muhammadiyah, tidak lama setelah tamat Mu’allimin,
Syafii Maarif berangkat ke Lombok dalam usia 21 tahun. Syafii Maarif datang ke
Lombok Timur pada 19 Agustus 1956 dan mengajar pada 21 Agustus 1956. Ia
ditempatkan di kampung Batuyang, di rumah Subki, adik kandung H. Harist yang
41 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1995),
cet. 111, h, 5
131
juga sebagai kepala desa. Ia mengajar pada PGA Muhammadiyah Pohgading yang
terletak di pinggir sungai.
Pada tahun 60-an di samping mengajar di Baturetno, Maarif juga mengajar di
kota Solo. Di Madrasah Mu’alimat NDM pimpinan pak Duhardi, SMA MIS (Modern
Islamic School) pimpinan pak Abdul Manna Kadim. Mata pelajaran yang Maarif asuh
umumnya sama dengan yang di Baturetno yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia. Cukup lama Maarif bolak-balik Solo-Baturetno dengan kereta api. Pada
saat itu Maarif naik kereta api dari Pasar Pon terus melaju ke Baturetno dengan jarak
52 km. Kereta api Solo-Baturetno adalah kendaraan para pedagang kecil(bakul), anak
sekolah, dan rakyat umumnya. Syafii Maarif termasuk dalam katagori yang terakhir.
Semua ini Syafii Maarif jalani tanpa perasaan gelisah yang mengganggu, karena cara
inilah satu-satunya jalan bagi Maarif untuk meneruskan kuliah di Solo: Universitas
Cokroaminoto.
Pada tanggal 1 Juni 1967 Ahmad Syafii Maarif diangkat menjadi pegawai
negeri dengan jabatan asisten perguruan tinggi. Sebagai asisten, Ahmad Syafii Maarif
diberi tugas mengajar sejarah Indonesia kuno pada FKIS IKIP Yogyakarta, di
samping juga menjadi asisten sejarah Islam pada Fakultas Syariah dan Tarbiyah UII
(Universitas Islam Indonesia) Pada tahun 1966 Ahmad Syafii Maarif diterima
menjadi sebagai korektor majalah Suara Muhammadiyah (SM), pimpinan alm. H.A.
132
Basuni, B.A dan alm Mohammad Diponegoro. Di samping sebagai korektor majalah,
Ahmad Syafii Maarif juga dipercayakan mengurus iklan untuk majalah.42
Bakat menulis Ahmad Syafii Maarif banyak disalurkan melalui suara
Muhammadiyah. Bermacam topik yang ia tulis, tetapi umumnya menyangkut
masalah agama, sejarah, dan politik. Sewaktu bekerja pada Suara Muhammadiyah, ia
pun pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) cabang
Yogyakarta. Setelah sekian lama menjadi korektor, posisi redaksi kemudian diberikan
kepada Ahmad Syafii Maarif sampai ia berhenti bekerja di sana karena beliau mau
berangkat ke Amerika Serikat pada Juli 1972.
Setelah pulang dari Chicago, Maarif kembali ke Indonesia dan mengajar pada
jurusan sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta (sekarang FIS Universitas Negeri
Yogyakarta). Pada tahun 1984 IAIN membuka program Pasca Sarjana. Maarif
diminta sebagai salah seorang tenaga pengajar. Tugas ini ia emban selama beberapa
tahun. Tahun 1986 selama 100 hari Maarif diminta untuk mengajar studi keislaman di
Universitas OIWA. Saat itu Ahmad Syafii Maarif dan Prof. Barnadib, mantan Rektor
IKIP, sama-sama berangkat ke Universitas yang sama.
Aktivitas lain Ahmad Syafii Maarif adalah di Muhammadiyah. Sejak tahun
1985 atas dorongan M.A. Rais, Maarif diminta aktif sebagai anggota Majelis Tabligh
PP Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sebagai alumnus Madrasah Mu’allimin, tentu
tidak sulit bagi Maarif untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tabligh ini.
Sebelumnya sewaktu bekerja pada majalah SM, Maarif pun pernah menjadi anggota
42 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 173
133
Majelis Pustaka PP Muhammadiyah pimpinan H.A. Basuni, BA. Dalam berkiprah
pada Majelis Tabligh ini Maarif mulai berkunjung ke daerah-daerah. Majelis
pimpinan M. A. Rais ini sangat aktif dalam menjalankan misi da’wahnya, tidak saja
secara lisan, penerbitan pun digalakkan.
Ahmad Syafii Maarif selama 2 tahun (1990-1992) bertugas di UKM
(Universitas Kebangsaan Malaysia). Proses keberangkatan Maarif ke Malaysia
dimulai dari informasi dari Dr. Ir. Imaduddin Abdul Rahim, tokoh pergerakan Islam
yang bersahabat dekat dengan Anwar Ibrahim. Imaduddin memberitahukan bahwa
pihak UKM memerlukan tenaga dosen dari Indonesia dengan kualifikasi Ph.D dalam
kajian Islam. Ijazah Maarif dari Chicago memang dalam bidang itu. Di UKM Maarif
diberi tugas untuk mengajar mata kuliah sejarah perang Salib, Islam dan Perubahan
Sosial di Asia Tenggara. Ia juga merupakan dosen tamu di Institute of Islamic studies,
universitas McGill, Kanada (1993-1994). Di samping terkenal sebagai seorang
pengajar, Ahmad Syafii Maarif juga dikenal sebagai seorang penulis yang aktif.
Tulisannya banyak dimuat di berbagai media masa baik berupa Jurnal, Majalah
seperti Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Dermaha, Ishlah dan Genta, Surat
Kabar seperti Mercu Suar, Abadi, Adil dan kedaulatan rakyat. Bentuk tulisannya
yang lain dituangkan alam bentuk buku yang juga sudah diterbitkan oleh berbagai
badan penerbit.
Pada Muktamar tahun 2000 di Jakarta, Ahmad Syafii Maarif kemudian
terpilih untuk memimpin Muhammadiyah untuk periode 2000-2005. Selama
kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif di Muhammadiyah, banyak terobosan baru yang
134
belum pernah dilakukan pada periode kepemimpinan sebelumnya. Jika pada periode
sebelumnya Muhammadiyah lebih banyak tampil dan dikenal sebagai gerakan
da’wah, pendidikan, dan amal usaha sosial, maka pada era Syafii Maarif,
Muhammadiyah lebih mewarnai percaturan bangsa dan menjawab tantangan
perkembangan dunia. Dorongan beliau untuk membubuhkan dan memberikan ruang
pada lahirnya pemikiran kritis di Muhammadiyah, intensifnya hubungan antar umat
beragama dan ormas Islam lainnya, keterlibatan yang sangat aktif dalam gerakan
Moral Anti Korupsi, serta partisipasi aktifnya dalam berbagai forum dialog dunia
untuk memecahkan berbagai persoalan kemanusiaan adalah di antara beberapa
terobosan yang sangat terasa signifikansinya.
Di era Ahmad Syafii Maarif, posisi Muhammadiyah yang mengambil jarak
dari semua partai politik dan tidak terlibat pada politik praktis juga kembali
ditegaskan. Hal itu terumuskan lewat Tanwir Makassar pada Juni 2003 yang tidak
mendukung partai dan calon presiden tertentu. Bahkan, di saat tokoh-tokoh bangsa
dan ormas Islam lainnya larut dan tergoda pada perebutan “kue” kekuasaan, Syafii
Maarif justru tidak bergeming dan tetap konsisten dengan perannya sebagai
pemimpin umat dan guru bangsa. Hal ini tentu saja berangkat dari keyakinan beliau
selama ini, bahwa Muhammadiyah pada dasarnya adalah gerakan pemikiran, sosial,
dan da’wah. Jadi, Muhammadiyah bukan gerakan politik yang bisa dijadikan untuk
dijadikan alat untuk merebut kekuasaan.43
43Abd Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 116-117
135
Kesan yang diperoleh Ahmad Syafii Maarif dalam menjalankan tugas sebagai
ketua PP Muhammadiyah dengan sebanyak mungkin kegiatannya adalah: 1)
Muhammadiyah dengan segala kelemahannya masih berada di papan atas. Tapi bila
parameter yang digunakan adalah cita-cita al-Qur’an untuk menciptakan sebuah
masyarakat Indonesia yang bermoral, Muhammadiyah masih juga berada di awal
jalan, suasana seperti ini memang memprihatinkan. Tentu untuk bergerak ke sana
merupakan tanggung jawab semua kekuatan bangsa dengan pimpinan pemerintah
yang juga harus bermoral.44
2) Pada sisi lain Syafii Maarif menggambarkan bahwa
isu-isu pembaharuan dikerjakan Muhammadiyah barulah sekedar menyentuh jenis
ijtihad pinggiran, sementara jenis ijtihad di luar itu belum disentuh bayak oleh
Muhammadiyah. Lebih jauh dikatakan bahwa secara intelektual Muhammadiyah
tidak tau betul apa yang harus dikerjakannya.45
3) Yang menjadi sorotan adalah
karena Muhammadiyah menyebut dirinya sebagai gerakan Islam, gerakan da’wah
amar ma’ruf nahi munkar. Rumusan semacam ini mengisaratkan tanggung jawab
yang besar sekali, sementara energi Muhammadiyah lebih banyak terkuras oleh kerja-
kerja sosial kemasyarakatan. 4) Dalam berbagai forum Syafii Maarif sering
mengatakan bahwa di bidang pendidikan dan kesehatan, Muhammadiyah hanyalah
sebagai pembantu pemerintah, tidak lebih dan tidak kurang. 5) Muhammadiyah
belum mampu menawarkan sistem alternatif, baik untuk pendidikan, kesehatan
44 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 348
45 M. Yunan Yunus, Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial (Jakarta:
Uhamka Press, 2005), h. 72
136
maupun dalam bidang-bidang kemanusiaan lain yang selalu memerlukan perhatian
khusus.
Selanjutnya, Ahmad Syafii Maarif adalah salah seorang yang mempunyai
prakarsa untuk mendirikan Maarif Institute for Culture and Humanity. Lembaga ini
didirikan di Jakarta pada tahun 2002 dan secara resmi berdiri pada tanggal 28
Februari 2003. Adapun salah satu misi Maarif Institute adalah memperjuangkan
percepatan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia dengan memperkuat peran dan
fungsi civil society, legislative dan eksekutif serta mendorong proses resolusi konflik,
mediasi dan rekonsiliasi.46
Ahmad Syafii Maarif adalah tokoh yang menghindari politik praktis, Ia
menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih kurang tujuh tahun dan tidak
pernah terjun ke politik praktis, baik itu menjabat jabatan publik, mencalonkan
ataupun bergerak melalui partai politik.
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif merupakan khazanah intelektual yang sangat
berharga, karena gagasan-gagasannya tidak dapat dilihat semata-mata sebagai
renungan intelektual dari tokoh yang berada di atas menara gading, sebab mereka
menulis dalam konteks sebuah pergerakan sosial, keagamaan dan politik di Indonesia
dimana beliau terlibat secara intens dan serius sebagai pelaku utama yang bergerak di
luar sistem praktis yang mencurahkan segenap perhatiannya sebagai pelaku yang
menyerukan pergerakan moral dan memberikan masukan-masukan yang bermanfaat
bagi bangsa Indonesia.
46 Raja Juli Antono, Laporan Tahunan (Jakarta, Maarif Institute, 2000-2007), h. 4
137
I. Karya-Karya
Ahmad Syafii Maarif adalah seorang penulis yang produktif, mulai belajar
menulis semenjak masih sekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah
Yogjakarta tahun 1950-an, diteruskan sampai sekarang setelah batang usianya di atas
setengah abad.47
Sebagian karangannya adalah mengenai Islam. Tulisan-tulisannya
diterbitkan pada artikel-artikel yang bertebaran di media masa, seperti surat kabar
(Mercu Suar, Abadi, Adil dan Kedaulatan Rakyat), majalah (Panji Masyarakat, Suara
Muhammadiyah, Dermaha, Islah, Gatra dan Genta) dan jurnal (Informasi, Sigma Pi
Gama dan Mizan).48
Beberapa bukunya telah diterbitkan oleh penerbit terkenal.
Sampai kini, Ahmad Syafii Maarif telah menghasilkan berbagai karya. Segudang
“produk pemikirannya”, dan jejak langkah yang telah digoreskan, merupakan hasil
dari sebuah proses yang panjang, berliku, bahkan penuh onak duri. Kesulitan dan
tantangan hidup telah dibacakan sebagai peluang untuk bergerak terus tanpa henti.
Puluhan buku telah lahir dari tangan seorang anak udik yang semula tidak punya cita-
cita besar dan muluk-muluk. Tugasnya sebagai ketua PP Muhammadiyah yang
diembannya selama tujuh tahun (1998-2005) telah membawanya ke pusaran
perkembangan politik, sosial, dan budaya secara nasional dan internasional. Periode
ini adalah titik-titik krusial dalam transformasi republik ini, dan Ahmad Syafii Maarif
47 Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam, h. 5
48 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (Jakarta: LP3ES, 2006),
h. sampul akhir
138
di antara anak bangsa yang ikut mengambil peran. Di antara karya-karya Ahmad
Syafii Maarif adalah:
1. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan,
2009).
2. Menerobos Kemelut Refleksi Cendekiawan Muslim (2006).
3. Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku (Yogyakarta: Ombak, 2006).
4. Menggugah Nurani Bangsa (2005).
5. Mencari Autentitas dalam kegalauan (Jakarta: PSAP, 2004).
6. Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan
Politik (Jakarta: Cidesindo, 2000).
7. Islam dan Politik Membingkai Peradaban (1999).
8. Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (1997).
9. Keterkaitan antara Sejarah, Filsafat, dan Agama (Yogjakarta: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Yogyakarta, 1997).
10. Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996).
11. Muhammadiyah dalam Konteks Intelektual Muslim (Bandung: Mizan, 1995).
12. Membumikan Islam (1995).
13. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (Shalahuddin Press, 1994).
14. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan, 1994).
15. Islam dan Politik di Indonesia (1988).
16. Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Bandung: Pustaka, 1985).
139
17. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante
(Jakarta: LP3ES, 1985).
18. Dinamika Islam (Shalahuddin Press, 1984).
19. Islam, Mengapa Tidak? (Shalahuddin Press, 1984).
20. Islam, Politik dan Demokrasi di Indonesia dalam Aspirasi Umat Islam
Indonesia (Jakarta: LEPPENAS, 1983).
21. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (Yogyakarta:
Yayasan FKIS IKIP Yogyakarta, 1975).
Tulisan-tulisan Ahmad Syafii Maarif sampai saat ini masih terus mengalir,
terutama yang selalu diterbitkan pada kolom Resonasi Republika (bergantian dengan
penulis lainnya). Dan tulisan-tulisannya sangat beragam, tidak hanya tentang
keislaman, namun juga mencakup tentang keindonesiaan dan kemanusiaan. Ahmad
Syafii Maarif adalah satu dari sedikit cendekiawan Muslim Indonesia yang secara
serius memikirkan nasib bangsanya. Melalui tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif
ingin berbagi kegelisahan sekaligus mengajak untuk mengatasinya, kepada semua
anak bangsa.
Abd. Rohim Ghazali mengatakan bahwa, sejauh ini gagasan yang paling
menonjol dari Ahmad Syafii Maarif adalah kegetolannya dalam merelevansikan
realitas obyektif umat Islam yang ada dalam sejarah dengan doktrin-doktin suci Islam
baik dalam al-Qur’an maupun dalam Hadits. Untuk upaya ini, setidaknya Ahmad
Syafii Maarif telah menulis tiga buku; 1) Al-Qur’an, Realitas Sosial dan Limbo
140
Sejarah (1985). 2) Membumikan Islam (1995). 3) Islam, Kekuatan Doktrin dan
Keagamaan Umat (1997).
Dalam tulisan-tulisannya, Ahmad Syafii Maarif tampaknya memiliki satu
obsesi akan tampilnya Islam sebagai agama yang memiliki kekuatan transformasi
bagi kehidupan umat. Sayangnya, diakui oleh Ahmad Syafii Maarif, obsesinya itu
masih jauh “panggang dari api”.49
Kiranya melalui karya-karyanya, Ahmad Syafii Maarif ingin mengajak bangsa
Indonesia khususnya, dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya hendaknya
berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits, politik harus dibangun sesuai dengan
moralitas al-Qur’an. Demikian juga dengan kegiatan kehidupan di dunia ini, segala
kegiatannya kendaknya berlandaskan al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw, seperti
dalam ukhwah islamiyah, yaitu persaudaraan Islam, dari manapun kita berasal, tetapi
terikat sesaudara seagama Islam, bukan dengan masih mementingkan golongan dan
budaya masing-masing.
Kini, Di usia senjanya, bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah, sebagai sumber
inspirasinya dalam “perang dan damai” dan anak semata wayangnya, Mohammad
Hafiz, Ahmad Syafii Maarif tetap menikmati hari-harinya. Ahmad Syafii Maarif
berharap di sisi hidupnya, ia mampu menghasilkan karya-karya besar tentang Islam
dan kemanusiaan. Dapat dipastikan bahwa karya itu kelak akan memberikan
sumbangan besar bagi peradaban.
49 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 20
141
E.Fase Perkembangan Pemikiran Syafii Maarif
1. Pembentukan Intelektual
Pembentukan Intelektual terjadi pada waktu Syafii Maarif belajar Di
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah di Balai Tangan, Lintau, selama menganggur
selam tiga tahun pasca Syafii Maarif. Dengan modal pendidikan Mu’allimin, Syafii
Maarif telah berani berpidato di depan publik kampong yang jumlahnya terbatas.
Bahkan lebih dari itu, Syafii Maarif sudah berani pula memberi ceramah di tempat-
tempat lain. Dengan bekal ilmu agama yang serba sedikit, sebagai pemula, Syafii
Maarif telah berani berdebat di masjid menghadapi kaum elit Sumpur Kudus dengan
semangat tinggi. Topik perdebatan tidak melebihi masalah-masalah khilafiah di
tingkat kampung. Paham agama Muhammadiyah yang telah dipompakan ke dalam
otak dan hatinya sejak masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur
Kudus telah menjadi modal Syafii Maarif untuk berkayuh lebih jauh, sampai ke
puncak karier akademiknya.50
2. Pertumbuhan Intelektual
Pertumbuhan Intelektual terjadi setelah meneruskan pelajaran ke Madrasah
Mu’allimin Jogjakarta. Wawasan semakin luas, tetapi nalurinya sebagai seorang
“Fundamentalis” belum berubah. Bahkan sampai Syafii Maarif belajar sejarah pada
Universitas Ohio di Athens, Amerika Serikat, paham agamanya belum banyak
mengalami perubahan. Cita-cita politik Syafii Maarif tetap saja ingin menaklukan
50Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, h. x
142
Indonesia agar menjadi Negara Islam, padahal batang usianya ketika itu sudah di atas
40 tahun.
3. Perkembangan Intelektual
Perkembangan Intelektual Syafii Maarif terjadi di lingkungan Kampus
Universitas Chicago. Syafii Maarif mengalami kebangkitan spiritual dan intelektual
yang baru. Otak dan hatinya mendapatkan “virus” pencerahan. Menurut Syafii
Maarif, ini adalah perkembangan pemikiran keislaman dan keindonesiaan. Peran
Fazlur Rahman, dengan segala kritiknya kepada sang guru, sungguh sangat besar.
Strategi dan pendekatan yang digunakannya agar Syafii Maarif menimbang seluruh
kekayaan khazanah Islam klasik dan modern dengan al-Qur’an sebagai sumber
pokoknya.51
4. Pematangan Intelektual
Pematangan Pemikiran Syafii Maarif terjadi setelah ia kembali dari Chicago, Islam
bagi Syafii Maarif adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Qur’an adalah Kitab
suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai pedoman dan
acuan tertinggi dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik. Pasca Chicago
pemikiran keindonesiaan dan keagamaan Syafii Maarif telah lebur menjadi satu.
Menurut Syafii Maarif Islam yang dianut mayoritas penduduk tidak boleh menang
51 Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.xi
143
sendiri, saudara-saudara sebangsa dan setanah air tetapi berbeda iman haruslah
dilindungi dan diperlakukan secara adil dan proporsional.52
52 Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalanan ku, h. 404
144
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG IDEOLOGI DAN DASAR NEGARA DI
INDONESIA
A. Pengertian Ideologi
Secara etimologi, istilah ideologi berasal dari kata Yunani, idea (ideos dalam
bahasa Latin) dan logos. Idea artinya gagasan, ide, atau cita-cita, logos adalah ilmu.
Secara sederhana, ideologi dapat dipahami sebagai ilmu tentang ide, gagasan atau
cita-cita.53
Dalam kamus besar bahasa Indonesia mendefinisikan ideologi sebagai
sekumpulan konsep bersistem yang menjadikan asas pandang memberikan arah dan
tujuan hidup seseorang atau satu kelompok masyarakat.54
Bagi para penganutnya, ideologi bukan hanya sekedar doktrin. Ideologi pada
dasarnya mengaitkan tindakan dengan sejumlah makna yang kemudian memberikan
pengaruh pada tingkah laku sosial penganutnya. Ideologi mempertegas landasan
moral dari tindakan-tindakan yang kemudian menjadi kekuatan untuk membangun
identitas dan solidaritas sosial para penganutnya.55
Ideologi yang didefinisikan dalam buku DR. Faisal Ismail oleh A.S. Hornby
sebagai ”seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori masyarakat teori
53 Paul Barry Clark dan Andrew Linxey, ed., Distionary of Ethics, Theology and Society,
(New York; Routledge, 1996), h. 466
54 Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 319
55 David E. Apter, Politik Modernisasi, Terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz
(Jakarta: PT Gramedia, 1987), h. 327-340
145
ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seseorang atau kelompok tertentu’,
adalah sesuatu yang sangat penting dan benar-benar vital bagi kelangsungan hidup
sebuah bangsa, karena ideologi memberi kejelasan identitas nasional, kebangsaan dan
kekuatan yang bisa mengilhami untuk mencapai cita-cita sosial dan politik.56
Jadi,
dalam politik, ideologi politik menjadi penggerak dinamis yang utama dalam
kehidupan organisasi atau lembaga politik serta dalam kehidupan politik suatu negara
dan bangsa, karena ideologi berfungsi ”menyatukan rakyat dalam organisasi politik
untuk melakukan tindakan politik secara efektif.” Lebih dari itu tujuan ideologi
adalah untuk membangkitkan perasaan dan mendorong munculnya tindakan,
sedangkan kekuatan ideologi terletak pada kapasitasnya dalam menangkap dan
menggerakan imajinasi manusia serta melepaskan energi-energi manusia.57
B. Bentuk-Bentuk Ideologi dan Dasar Negara yang Pernah Berkembang di
Indonesia
Dalam khazanah pemikiran ideologi dan falsafah negara Indonesia, diskursus
tentang Islam dan Pancasila memang bukan persoalan baru. Diskursus ini telah
berlangsung sangat lama, namun sampai sekarang tetap menjadi wacana yang
menarik dan aktual, bahkan kontroversial. Ini menandakan bahwa masalah Islam dan
56 DR. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: wacana ketegangan kreatif
antara Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wancana,1999). h. 15
57 DR. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 1
146
Pancasila merupakan masalah penting yang menjadi perhatian masyarakat dan umat
Islam Indonesia.
1. Islam Sebagai Dasar Negara
Di kalangan umat Islam, terdapat pemahaman dan keyakinan bahwa Islam
bersifat universal, menyeluruh dan meliputi aspek kehidupan manusia, di dalamnya
berisi beberapa pokok ajaran yang dapat diterapkan dalam berbagai dimensi
kehidupan manusia, termasuk tentang kenegaraan. Atas pemahaman dan keyakinan
tersebut, kemudian melahirkan konsep bersatunya Islam dan negara, dalam hal ini
keduanya tidak terpisah atau tidak dapat dipisahkan (integrated). Oleh karena itu,
kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara merupakan lembaga politik
dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
kedaulatan Ilahi (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan
berada di tangan Tuhan.
Dalam hubungan Islam dan Negara, Natsir mendasari uraiannya kepada al-
Qur’an: ”Dan kami telah jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah kepada ku” (51:56). Dari ayat tersebut Natsir mengembangkan teorinya
dengan mengatakan: ” Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita
kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni
hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Dunia dan
akhirat ini sama sekali bagi kaum Muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi
mereka, selanjutnya didalilkan bahwa Negara sebagai kekuatan dunia merupakan
sesuatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan
147
ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin
modernis Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah
demi keselamatan manusia. Sebagai alat, adanya Negara bersifat mutlak, karena itu
Natsir membela perinsip persatuan agama dengan Negara.58
Menurut Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan
kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Bagi Natsir, kaum Muslimin
mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis atau
Komunisme.59
Paham pemisahan Islam dari Negara, dan bukan kaitan non
formal/legal antara Islam dan Negara, inilah yang menyulut kritik dari beberapa
pemikir dan aktivis Islam politik, khususnya Mohammad Natsir. Bertolak belakang
dengan posisi Soekarno, Natsir Menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan
Negara.60
Hubungan Negara dan Agama dalam pidato Natsir di depan Majelis
Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas dan menjelaskan lebih lanjut
pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia di mana ummat
Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar
Negara, Natsir berdalih bahwa untuk dasar Negara, Indonesia hanya mempunyai dua
pilihan, yaitu Sekularisme (al-maniyah), atau paham agama (dini). Dan pancasila
menurut pendapatnya bercorak al-maniyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui
58 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study Tentang
Perdebatan dalam Konstituante, h. 130
59 Mohammad Natsir, Capital Selecta (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 436
60 Mohammad Natsir, Capita Selecta, h.429
148
wahyu sebagai sumbernya. Seperti kalangan umat Islam yang lain, Natsir percaya
akan watak Holistik Islam. Ia amat mendukung H.A.R. Gibb, yang memang
mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam, bahwa ”Islam itu sesungguhnya
lebih dari suatu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap.61
Bagi Natsir Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, melainkan juga
prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan
masyarakat.
Meski demikian, Natsir amat menyadari bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad tidak punya ”tangan dan kaki” untuk membuat manusia berjalan sesuai
dengan aturan-aturan Islam. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Islam
memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan.
Dalam konteks khusus inilah ia melihat Negara sebagai alat yang cocok untuk
menjamin agar perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan.
Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan
hanya merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Semua aturan-aturan Islam, seperti kewajiban belajar, zakat, dan pemberantasan
perzinahan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini
berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan ”kesempurnaan berlakunya undang-
61 Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 80
149
undang Ilahi bagi yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai
individu) maupun sebagai anggota masyarakat”.62
Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada Ijma ulama
yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secara tersirat menilai Soekarno
tidak obyektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab di satu pihak ia
menganjurkan agar umat Islam membuang ”warisan tradisioanl”. Tetapi di pihak lain
ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada Ijma tentang
persatuan agama dengan negara. Apakah Soekarno akan menerima keputusan itu atau
tidak? Atau ia malah berkata, ”ya” itu cuma satu Ijma ulama, satu gedachte traditie,
dan bukankan saya (Natsir) sudah bilang bahwa semua warisan tradisional itu harus
dibuang jauh-jauh.63
Keinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi bernegara di Indonesia,
sudah sejak lama cita-citakan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Hal ini bisa kita
telusuri dengan membaca sejarah Indonesia, khususnya pada saat-saat awal
menjelang kemerdekaan tahun 1945. Perdebatan sengit dan alot tidak bisa dihindari
dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUUPKI),
antara wali-wali umat Islam dan pemimpin-pemimpin umat Islam dan pemimpin-
pemimpin nasional. Isu yang paling krusial dalam perdebatan ini adalah pembicaraan
tentang ideologi negara Indonesia yang bakal lahir.
62 Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 442
63 Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 434
150
Dalam sidang BPUPKI dihadiri 68 orang anggota. Komposisi anggotanya
adalah 8 orang dari jepang dan 15 orang dari golongan nasionalis Islam, sedangkan
selebihnya dari golongan nasional sekuler dan para aristokrat jawa yang mereka
secara tegas menolak Islam sebagai dasar Negara. Diantara 15 orang golongan
nasionalis Islam terdiri dari K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas
Marsus, K.H. Kahar Muzakkir (ketiganya dari golongan muhammadiyah), K.H.
Masykur dan K.H.A.Wachid Hasyim (keduanya dari golongan NU), Sukiman
Wiryosandjoy (PII), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim (Partai Penyadar)
dan K.H. Abdul Halim (PUI). Melihat komposisi ini, dari sis kuantitas jumlah
golongan Islam yang memperjuangkan ideologi dan dasar Islam hanya 25% dari
keseluruhan anggota selain anggota yang dari pihak jepang.64
Dalam menggagas tentang dasar Negara, dari kelompok nasionalis sekuler
tampil tiga orang: Muhammad Yamin yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945,
Supomo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945 dan Soekarno yang berpidato pada
tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan dari kelompok nasionalis Islam: K.H. Kahar
Muzakkir, dan K.H.A.Wachid Hasyim. Sedangkan Ki Bagus Hadikusuma, seorang
tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan Islam sebagai ideologi negara (Dasar
Negara), meskipun pada akhirnya harapan untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia menjadi kandas.
64 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah
Projeksi (Jakarta:Hudaya,1970), h.11-12
151
Keinginan umat Islam untuk hidup secara Islami bukannya tanpa alasan.
Mereka berargumen bahwa umat Islam Indonesia berjumlah 90% membentuk nation
Indonesia, sehingga tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam.65
Apalagi Islam
merupakan bagian integral dan dominan (baik kuantitas maupun kualiatas) dalam
kekayaan rohani bangsa Indonesia yang akan tetap hidup dalam keinsyafan nilai dan
kesadaran norma dan bangsa sampai kapan pun. Menurut Natsir, kemerdekaan
bangsa Indonesia adalah tidak terlepas dari serpak terjang orang-orang Islam. Natsir
mencontohkan di Mataram ada Sultan Agung yang begitu membela Islam, di Aceh
ada Cut Nyak Dien, dan bahkan di lain tempat ada pahlawan-pahlawan yang
memberikan perlawanan untuk memerdekakan Islam dalam melawan penjajahan non
islam.
Teori tentang hubungan Islam dan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh Islam Indonesia sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa yang
telah dikemukakan oleh Ibn Taimiyah pada periode klasik bagian tengah dari sejarah
Islam. Dalam kitabnya, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, Ibn Taimiyah menjelaskan,
“Wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan
keperluan agama terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak dengan
kokoh.66
Negara bagi Ibnu Taimiyah, berfungsi sebagai institusi politik untuk
melaksanakan perintah-perintah Allah dan mencegah larangan-larangan-Nya.
65 Endang Syaifuddin Ansari, Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran tentang
Islam (Jakarta: Usaha Enterprises, 1976), h. 143-144
66 Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996), h. 138
152
Selanjutnya ia mengatakan, “dan karena Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar
serta menolong pihak yang teraniaya. Tidak mungkin sempurna kecuali dengan
kekuatan dan kekuasaan.67
Dr. Abd al-Karim Zaidan menyimpulkan pendapat Ibnu
Taimiyah ini dengan mengatakan bahwa orang Islam wajib menegakkan suatu
Daulah Islamiyah untuk melaksanakan hukum-hukum syariah.68
Kelompok Islam
formalis ini berpendapat, jalan untuk merealisasikan hukum Islam adalah melalui
jalur politik dalam arti seluas-luasnya,69
dengan membentuk konstitusi Islam,
memakai Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Khomeini misalnya,
berargumentasi bahwa setelah hukum dibuat perlu diciptakan kekuasaan eksekutif.
Demikian pula Islam, setelah mendatangkan hukum Islam pun menetapkan pemegang
kekuasan eksekutif. Di zaman Rasulullah saw adalah juga pelaksanan hukum. Beliau
menjalankan hukum pidana Islam. Pemikir Indonesia Muhammad Natsir berdalil
bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi al-Qur’an,
sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajarannya dapat dilaksanakan dalam
kehidupan nyata. Oleh sebab itu, Natsir membela prinsip peraturan agama dan
negara.
67 Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, h. 138
68 Abd. Al-Karim Zaidan, Al-Fardl wa al-Daulah fi al-Syariah al-Islamiyah (Al-Ittihad al-
Islami al-Alami, 1970), h. 9
69 G.H, Jansen, Islam Militan, terjemahan Armahedi Mahzar (Bandung: Pustaka, 1980), h.
205
153
Dengan demikian, Natsir ingin islam sebagai landasan ideologi Negara.
Karena menurutnya agama islam adalah agama yang bisa menunjukkan semua sikap
yang ada dalam rumusan pancasila.
2. Pemahaman Negara Sekuler
Sekuler mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan
negara atas agama. Dalam konteks Islam, sekuler ini menolak pendasaran Negara
kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari
Negara.70
Yang dimaksud negara sekuler adalah pemisahan agama dan negara sehingga
negara tidak menjadikan agama sebagai instrument politik tertentu. Karenanya, tidak
ada ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara. Agama
adalah urusan pemeluknya masing-masing yang tidak ada sangkuta pautnya dengan
negara. Kalau memang ada ketentuan agama yang menuntut keterlibatan publik
(intern pemeluk agama) tidak perlu meminjam “tangan nagara” untuk memaksakan
pemberlakuannya, namun cukup diatur sendiri oleh pemeluk agama yang
bersangkutan. Dengan demikian negara dapat dikatakana sekuler jika negara tersebut
tidak menjadikan kitab suci dasar konstitusinya, dan tidak menjadikan hukum agama
70 Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia, (Yogtakarta: LKiS, 200)1, h. 28
154
sebagai hukum nasional. Atas dasar itu, semua agama memiliki posisi yang sama,
tidak ada yang istimewa.71
Soekarno yang termasuk seorang yang menghendaki pemisahan Islam dan
Negara, mengemukakan beberapa argument: Pertama, penyatuan agama(Islam) dan
Negara bertentangan dengan prinsip demokrasi, Kedua, dimungkinkan pembentukan
syariat Islam dalam Negara demokrasi, dan Ketiga, tidak ada consensus ahli agama
tentang bersatunya agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan
spiritual dan pribadi, sedangkan masalah Negara adalah persoalan dunia dan
kemaslahatan. Soekarno menilai, bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran agama merupakan
tanggung jawab pribadi kaum muslimin dan bukan Negara atau pemerintah. Negara
dalam hal ini, tidak mempunyai wewenang turut campur untuk mengatur apalagi
memeksakan ajaran-ajaran agama kepada warga negaranya.72
Meskipun Soekarno mendukung pemisahan agama(Islam) dan Negara, bukan
berarti tidak boleh ada hubungan apapun antara kedua arus religio-politik ini.
Soekarno dengan tegas menentang hubungan formal-legal antara Islam dan Negara,
khususnya dalam sebuah Negara yang tidak semua penduduknya beragama Islam.
Model semacam ini, hanya akan menimbulkan perasaan terdiskriminasikan,
khususnya dikalangan masyarakat non-muslim.73
71 Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia, h. 31
72 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Darul Falah, 1964), h. 452,453,406
73 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 452
155
Di Indonesia, Pancasila yang mengandung konsep sekularisme dipahami
sebagai netral dan bersikap empati terhadap semua agama, semuanya memperoleh
hak yang sama. Hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945 yanag menjamin
kebebasan keyakinan dan beribadah, agama apapun itu. Dengan kata lain, semua
penduduk dapat memperoleh kesetaraan hak-hak sebagai warga Negara, tanpa
melihat agamanya. Namun pengertian yang benar dalam pengertian sekularisme
masih banyak di salah pahami, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia(MUI) sendiri
yang telah mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Padahal ketiga
paham itu merupaka dasar bagi kebebasa beragama dan peranan agama di ruang
publik. Tiga prinsip itu pula yang menjamin otonomi masyarakat sipil dan
penyelenggaraan kehidupan beragama yang toleran dan sekaligus dinamis, karena itu
pemahaman terhadap triologi sekularisme, liberalism, dan pluralism harus di
luruskan.74
3.Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila
Dalam Islam, agama dipahami tidak hanya berdimensi vertical (mengatur
hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi juga meliputi horizontal (mengatur
hubungan antara sesama manusia dengan berbagai aspek kehidupannya). Sehubungan
dengan hal ini, agama dalam konsepsi Islam mempunyai keterkaitan yang sangat erat
dengan Negara, karena Islam mempunyai konsep dalam mengatur persoalan-
74 Nawiriddin, Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara Nasional,
(Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta), h.160
156
persoalan sosial kehidupan manusia. Dalam konteks inilah, agama dan Negara
merupakan satu kesatuan yang tidak boleh bertolak belakang apalagi dipisahkan.
Pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik,
Negara yang dibangun Nabi sangat multicultural dan pluraris yang menjamin
kebebasan beragama di kalangan warga Negara Madinah yang diakui oleh sebagian
besar sarjana muslim dan bahkan beberapa sarjana Barat sebagai bukti adanya
demokrasi dalam sistem kenegaraan Islam kelasik.75
Oleh karena itu, Islam menolak sekularisme sebab konsep Islam mencakup
seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang kenegaraan. Dalam Islam
tidak ada pemisah antara urusan agama dengan urusan politik. Dalam pengertian,
politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka sistem nilai Islam.76
Dalam perspektif inilah, hubungan Islam dan Pancasila lebih di tekankan pada
pola hubungan simbiosis atau simbiotis, yaitu suatu pola hubungan timbal balik dan
saling membutuhkan dan saling melengkapi. Islam dan Pancasila memang tidak bisa
di perbandingkan dan menjadi mitra bersama dalam membangun masyarakat, bangsa
dan Negara. Spirit ajaran Islam tidak dapat berkembang dan efektif berlaku dalam
masyarakat tanpa bantuan Negara pancasila sebagai alat kekuasaan untuk
“memaksa”. Sebaliknya, Pancasila tanpa bimbingan Islam akan mengalami krisis
75 Azyumardi Azra, Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga
Postmodernisme, (Jakarta: Paramadina,1996), h.
76 Muhammad Hari Zamharir, Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid, (Raja Grafindo: Jakarta,2004), h. 74
157
etika dan moral, dengan panduan Islam Pancasila dapat berkembang dalam
bimbingan etika.
Dalam pandangan Al-Mawardi, kepemimpinan Negara (imamah) merupakan
instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur
dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang
berbeda, namun hubungan secara simbiotik, keduanya merupakan dua dimensi dari
misi kenabian.77
Oleh karena itu, konsep Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuasaan
dan kenegaraan, meskipun belakangan ini pemikir dan pengamat muslim Indonesia
lebih menitik beratkan subtansi keislaman dari simbolnya. Kecendrungan ini diwakili
oleh kalangan elit politik muslim, baik pada zaman orde baru, orde lama, maupun
Orde Reformasi. Kecendrungan atau penekanan terhadap subtansialisme nilai-nilai
Islam dalam konsep kenegaraan diistilahkan dengan pendekatan subtansialisme.
Konsep ini lebih mendorong kepada perjuangan penerapan subtansi atau nilai-nilai
Islam dibandingkan dengan perjuangan formalisasi Islam.
Subtansialisme dimaksudkan sebagai aksentuasi bahwa subtansi atau makna
iman dan pribadatan lebih penting dari formalitas simbiolisme keagamaan serta
ketaatan yang besifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Sementara peasn-pesan al-
Qur’an dan hadist yang mengandung esensi abadi dan bemakna universal, ditafsirkan
kembali berdasarkan runtut dan rentang waktu generasi kaum muslim serta
77 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Ode Baru, h. 156
158
mengkontekstualisasikannya dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada
masanya. Eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinstik, dalam iklim
politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan
islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Ini merupakan
pandangan dasar kaum subtansialis yang dilandasi dari perspektif historis.78
Soekarno sendiri pada dasaranya menganut paham hubungan yang brsifat
subtansialisme antara Islam dan negara atau Pancasila hal ini dapat dipahami dalam
salah satu bukunya yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa otensitas
sebuah Negara Islam tidak semata-mata ditunjukan oleh penerimaan formal atau
legal Islam dalam kebijakan-kebijakan Negara. Menurut soekarno, dalam suatu negeri
yang menganut sistem demokrasi, di mana rakyat melalui wakil-wakilnya di legislatif
boleh memperjuangkan dan memasukan segala macam keagamaannya dalam sistem
kenegaraannya dan perundang-undangan Negara, meskipun agama dipisahkan oleh
negara.79
Oleh karena itu, dalam Pancasila, Islam atau agama lainnya mempunyai
tempat yang terhormat. Hal ini didasarkan pada adanya jaminan konstitusional bahwa
Negara menjamin kemerdekaan warga Negara untuk beragama dan memberikan
kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk menjalankan ibadat sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Islam dan agama-agama lainnya,
menjadi landasan spiritual etika dan moral bagi pembangunan masyarakat Indonesia
78 M. Syafii Anwra, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 156
79 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Darul Falah, 1964), h. 452-453
159
4. Ideologi dan Falsafah Pancasila
Pengertian Pancasila dapat ditelusuri dari bahasa Sansekerta (India), bahasa
Kasta Brahmana, sedangkan bahasa rakyat jelata ialah Prakerta. Menurut M. Yamin,
dalam bahasa Sansekerta perkataan Pancasila terdiri dari dua kata, yaitu: Panca yang
berarti “lima” dan Syila (dengan huruf i pendek), yang berarti “batu-sendi”,
“alas/dasar”, atau Syiila (dengan huruf i panjang) yang dalam berarti “peraturan
tingkah laku yang penting/baik/senonoh”. Dari kata Syiila ini dalam bahasa Indonesia
menjadi “susila” yang artinya “tingkah laku yang baik”.80
Jadi, Pancasila secara
etimologi dapat diartikan dengan “lima prinsip dasar, atau bisa juga diartikan dengan
“lima aturan tingkah laku yang penting”.
Pada awalnya, istilah Pancasila dipergunakan oleh masyarakat India yang
memeluk agama Budha. Istilah ini digunakan untuk memberi nama rumusan lima
dasar moral dalam agama Budha. Pancasila berarti “lima aturan” atau “five moral
principles” yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh para penganut biasa (awam)
agama Budha, yang dalam bahasa aslinya dikenal dengan sebutan Pali “Pancasila”,
yang berisi larangan atau lima pantangan yang bunyinya; 1) dilarang membunuh, 2)
dilarang mencuri, 3) dilarang berzina, 4) dilarang berdusta, 5) dilarang minum
minuman keras.81
80 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan (Yogjakarta: Liberty, 1994), h. 8-9
81 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 9
160
Dalam sejarah Indonesia kuno, perkataan Pancasila telah dikenal sejak
kerajaan Hindu Majapahit (1296-1478 M) abad XIV, yaitu terdapat dalam buku
Nagarakertagama karya Empu Pra-panca (penulis dan penyair istana) dan buku
Sutasomo karya Empu Tantular.82
Istilah Pancasila masuk dalam pembendaharaan
kesusteraan Jawa-Kuno pada zaman Majapahit di bawah raja Haym Wuruk dan Patih
Gajah Mada.
Dalam buku Negarakertagama, istilah Pancasila dikenal dalam bentuk syair
pujian ditulis oleh pujangga istana bernama Empu Pra-panca selesai pada tahun 1365,
yakni di dalam Sarga 53 bait ke 2 yang berbunyi; “Yatnanggegwani Pancasyiila
Kertasangskarabhisekakakrama”, artinya: (Raja) menjalankan dengan setia kelima
pantangan (Pancasila) itu begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-
penobatan. Sedangkan dalam buku Sutasoma karangan Empu Tantular, istilah
Pancasila di samping mempunyai arti “lima batu karang atau lima prinsip moral”,
juga mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama), yaitu: 1)
tidak boleh melakukan kekerasan; 2) tidak boleh mencuri; 3) tidak boleh berjiwa
dengki; 4) tidak boleh berbohong; 5) tidak boleh mabuk minuman keras.83
Setelah Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke seluruh Indonesia, pengaruh
ajaran moral Budha yaitu Pancasila, masih dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai
82 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Histories dan
Yuridis-Konstitusional (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), h. 15
83 Darji Darmodiharjo, dkk., Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan
Yuridis-Konstitusional, h. 15. Lihat juga Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan
(Jakarta: LP3S, 1996), h. 144
161
lima larangan (pantangan, wewaler, pamali), dan isinya agak lain, yang disebut
dengan singkatan “Ma-lima”, yaitu lima larangan, yang dimulai dari awal kata “Ma”,
yaitu: 1) Mateni artinya membunuh, 2) Maling artinya mencuri, 3) Madon artinya
berzina, 4) Madat artinya menghisap candu, 5) Main artinya berjudi. Lima larangan
moral atau “Ma-lima” ini dalam masyarakat Jawa masih dikenal dan juga masih
menjadi pedoman moral, tetapi namanya bukanlah Pancasila, tetapi dengan nama
“Ma-lima”.84
Selanjutnya, secara terminologi istilah Pancasila mulai diperkenalkan dalam
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Soekarno pada 1 Juni 1945 menyampaikan
usulan lima dasar negara republik Indonesia, usulan konsep Soekarno ini diberinya
nama atau diistilahkannya dengan Pancasila, dengan muatan makna baru yang
berbeda dengan makna dalam pengertian Budha atau pada masa kerajaan Majapahit.
Pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya tanggal 17 Agustus
1945, besoknya pada 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 yang sebelumnya masih
merupakan rancangan hukum dasar serta dalam pembukaannya memberi nama
Pancasila. Sejak saat itulah Pancasila secara resmi atau secara formal masuk ke dalam
bahasa Indonesia walaupun di dalam pembukaan UUD 1945 itu tidak disebutkan
nama Pancasila. Pancasila dalam pembukaan ini sebagai dasar negara, karena itu
istilah Pancasila artinya “lima dasar” yang dimaksud ialah satu dasar negara yang
terdiri atas lima unsur yang menjadi satu kesatuan dasar falsafah negara republik
84 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 10-11
162
Indonesia yang isinya sebagaimana tertera dalam alinia ke empat bagian akhir
pembukaan UUD 1945, yaitu: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa, 2) Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, 3) Persatuan Indonesia, 4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, 5) Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.85
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya nama Pancasila
bukanlah berakar dari budaya Indonesia asli, tetapi berasal dari budaya Sansekerta,
yang kemudian diadopsi menjadi pembendaharaan bahasa Jawa-kuno dan bahasa
Indonesia. Meskipun istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansakerta, namun muatan
makna dan nilai-nilainya sangat jauh berbeda dengan muatan makna Pancasila dalam
UUD 1945, makna Pancasila dalam UUD 1945 sarat dengan muatan-mutan budaya
masyarakat Indonesia sendiri, bukan berasal dari budaya India atau agama Budha.
Soekarno mengambil konsep ini, dengan memberinya isi dan makna baru.
Soekarno sendiri menyatakan menggali Pancasila dari bumi dan kepribadian
mendalam bangsa Indonesia. Menurutnya Pancasila merupakan refleki konteplatif
dari warisan sosio-historis Indonesia kemudian merumuskannya dalam lima prinsip.86
Ketika menyampaikan usulan konsep dasar negara Indonesia, Soekarno memberinya
nama dengan Panca Sila. Pancasila menurutnya, terdiri dari Panca yang berarti lima
85 Noor Ms. Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, h. 11-12
86 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h. 144
163
dan Sila berarti azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah didirikan negara
Indonesia, kekal dan abadi.87
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, secara historis dapat dikatakan bahwa
Pancasila merupakan campuran berbagai ide. Namun, Soekarno merumuskan
Pancasila berangkat dari sebuah pemahaman kondisi bahwa Indonesia merupakan
negara majemuk. Majemuk dalam dua hal; pertama, segi geografis atau kondisi alam,
kedua, majemuk dalam arti memiliki ragam latar budaya dan penduduk. Dalam
kondisi seperti ini Soekarno sangat menyadari bahwa bangsa ini memerlukan sebuah
alat pengikat yang menurut Soekarno tak lain adalah Pancasila.
Konsep Pancasila oleh Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945,
sebenarnya sintesa dari berbagai ideologi Barat, terutama Nasionalisme, Sosialisme,
Internasionalisme dan hanya ditambah dengan ide ketuhanan yang berasal dari
gerakan keagamaan. Menurut Dawam Rahardjo, ada dua hal yang menarik yang perlu
dicatat.88
Pertama, para perumus lima sila dalam Piagam Jakarta dan UUD 1945,
mengganti istilah terknik dalam ideologi Barat, dengan istilah-istilah Indonesia, agar
mengandung makna yang berakar kepada nilai-nilai agama tradisi. Misalnya,
kemanusiaan yang adil dan beradab, musyawarah yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan atau keadilan sosial. Ini adalah gejala mencari identitas dalam proses
menyerap ide-ide modernis. Kedua, gerakan Islam tidak mengajukan konsep
87 Soekarno, ”Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945”, dalam Wawan Tunggul Alam (Ed.),
Bung Karno Menggali Pancasila (Kumpulan Pidato), h. 29-30
88 Dawam Rahardjo, ”Agama, Masyarakat, dan Negara”, dalam Mukti Ali, dkk (Ed). Agama
dalam Pergumulan, h. 133
164
tandingan yang kemudian dikenal dengan konsep negara Islam, tetapi hanya ingin
agar sila ketuhanan diberi keterangan ”dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”, dan ketika permintaan ini ditolak, dan demi menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa, Hatta juga beralasan bahwa dihilangkannya anak
kalimat itu adalah untuk mencegah masyarakat Kristen di Indonesia Timur
memisahkan diri,89
maka mereka menginginkan predikat ”Yang Maha Esa” di
belakang ketuhanan dan agar sila ini ditempatkan pada sila pertama, sebagai nilai
paling dasar dan mendasari sila-sila lain. Permintaan untuk mencantumkan Piagam
Jakarta (tujuh kata-kata) itu mempunyai latar belakang yang sederhana yaitu agar
umat Islam bisa memperoleh kemerdekaan beragama dengan menjalankan syariat
Islam. Dengan kesempatan untuk menjalankan syariat Islam itu, maka para pemimpin
gerakan Islam berpikir bahwa umat Islam bisa memelihara dan mengembangkan
identitas mereka dalam negara Indonesia.90
Kelahiran dan perumusan Pancasila mempunyai akar sejarah yang panjang,
dan merupakan refleksi dan puncak konstruksi serta solusi terhadap perbedaan
budaya, agama dan ideologi. Jadi, Pancasila adalah puncak prestasi kolektif pada
cendekiawan (Muslim dan non-Muslim) dalam membangun identitas dan cita-cita
negara Indonesia, yang merdeka. Bisa dikatakan Pancasila adalah miniatur dari
perpaduan antara budaya, agama dan modernitas.
89 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008), h. 58
90 Dawam Rahardjo, ”Agama, Masyarakat, dan Negara”, dalam Mukti Ali, dkk (Ed). Agama
dalam Pergumulan, h. 136-137
165
Kini, pancasila sebagai ideologi dan dasar negara indonesia, dapat diterima oleh
sebagian besar intelektual Muslim Indonesia, mereka berkeyakinan bahwa pancasila
merupakan ideologi terbuka dan tidak bertentangan dengan islam, bahkan pancasila
sejalan dengan piagam madinah yang meletakkan dasar-dasar legal dan histories
toleransi islam terhadap umat non-Muslim.91
Menurut Nurchalish Madjid, bahwa kaum muslim Indonesia bisa menerima
pancasila dengan dua pertimbangan. Pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran
agama islam. Dalam artian bahwa, nilai-nilai yang tertuang dalam pancasila itu tidak
bertentangan dengan nilai-nilai islam. Kedua, fungsinya sebagai nuktah-nuktah
kesepakatan antara berbagai golongan untuk mewujudkan kesatuan politik bersama.
Nurchalish menganggap bahwa pancasila adalah laksana sebuah dokumen yang di
dalamnya bertuliskan perjanjian kesepakatan antara berbagai pihak atau pun golongan
untuk membentuk politik Negara yang dibangun dengan landasan kebersamaan.
Pancasila dilaksanankan sebuah perjanjian luhur yang telah digariskan sebagai wadah
yang membentuk perjalanan dalam mendirikan bangsa dan berlandaskan ideologi.
Nurchalish menerima pancasila sebagai landasan ideologi Negara adalah
karena melihat sejarah masa silam, sebagaimana “konstitusi madinah” yang diajukan
rasulullah ketika memimpin negeri Madinah dulu. Sekalipun itu tidak bisa
disamakan, dengan kedudukan serta fungsi pancasila yang diterapkan di Indonesia.
Kenapa Piagam Madinah dapat diterima oleh mereka yang non-muslim di bawah
91 Azyumardi azra, fenomena hidayat nurwahid dan politik islam, media Indonesia, 11 oktober
2004
166
pimpinan seorang rasul islam di kota yastrib semasa dulu? Apakah dikarenakan
seorang pemimpin waktu itu dari golongan islam? Jawabannya adalah isi dari piagam
madinah itu sangat menarik, bahkan dari sudut tinjauan modern pun sangat
mengagumkan.
Pandangan Syafii Maarif tetang hubungan Islam dan Pancasila ini layak
untuk dipertimbangkan. Bertolak dari historis umat Islam dan bangsa Indonesia,
khususnya dalam usaha merumuskan dasar Negara menjelang kemerdekaan sampai
perdebatan di Majelis Konstituante, Syafii Maarif berkesimpulan bahwa dalam soal
penafsiran terhadap Pancasila umat Islam Indonesia dan golongan lain perlu belajar
dari Bung Hatta. Dengan terus terang Syafii Maarif memuji pandangan negarawan
yang pernah menjadi Wakil Presiden RI tentang Pancasila. Menurut Syafii Maarif, di
banding dengan tafsiran-tafsiran dari tokoh-tokoh Islam maupun golongan non-Islam
lainnya, Pancasila versi Hatta lebih masuk akal dan dibenarkan oleh sejarah.
Dalam analisisnya tentang Pancasila, Hatta berpendapat bahwa sila ketuhanan
Yang Maha Esa merupakan pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia.
Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi
rakyat dan bangsa Indonesia. Seiring dengan prinsip dasar ini, sila kedua,
“Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, adalah kelanjutan dari sila pertama dalam
peraktek. Demikian pula dengan sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima,
“Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, menjadi tujuan terakhir Pancasila.
Dengan berpegang teguh dengan filsafat ini, pemerintah Negara Indonesia tidak boleh
menyimpang dari jalan lurus bagi keselamatan masyarakat, ketertiban dunia, serta
167
persaudaraan antar bangsa. Dengan menempatkan sila Ketuhan Yang Maha Esa
sebagai sila pertama, Negara memperoleh landasan moral yang kukuh. Demikian inti
pokok pandangan Hatta tentang Pancasila, yang didukung dan dibenarkan
sepenuhnya oleh Syafii Maarif.92
Kritik Hatta terhadap golongan islam itu juga di setujui oleh Syafii Maarif
dalam Majelis Konstituante yang terus mendesak dasar negara Islam bagi Indonesia.
Bahkan Syafii Maarif merasa bersyukur karena usaha tokoh-tokoh Islam yang hendak
menjadikan Islam sebagai dasar Negara Indonesia gagal terwujud.93
Dari pengalaman Historis itu Syafii Maarif menegaskan pendiriannya bahwa
usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu Negara Islam, sekalipun sah
menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan “Usaha Prematur
dan tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan yang kukuh bagi
bangunan serupa itu belum lagi diciptakan”. Erat kaitannya dengan masalah ini
adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum memahami betul arti
Islam bagi manusia, baik bagi individual maupun kolektif.94
Dalam hubungan Islam dan pancasila Amien Rais tidak berbicara dalam
perspektif normatif dan filosofis, tapi lebih melihat pada pelaksanaan Pancasila dalam
praktek. Iasangant mengecam keras usaha pihak-pihak tertentu yang
mempertentangkan Islam dan Pancasila. Pancasila menurut Amien Rais sama sekali
92 M. Syafii Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, h. 200
93 M. Syafii Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, h. 201
94 M. Syafii Anwar, Pemikiran Dan Aksi Islam Indonesia, h. 202
168
tidak bertentangan dengan Islam, walaupun peringkatnya berbeda. Islam adalah
agama wahyu, sementara pancasila adalah ideologi buatan manusia. Dalam konteks
ini, ia mengingatkan, umat Islam telah mengaktualisasikan pancasila dalam
kehidupan kesehariannya, kalau tidak hendak dikatakan bahwa Pancasila itu sendiri
adalah hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa Indonesia. Pandangan Amien Rais di
sekitar penerimaan Muhammadiyah terhadap penetapan Pancasila sebagai satu-
satunya asas. Menurutnya, penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi
Muhammadiyah dalam Muktamar di Solo tahun 1985, didasarkan pada pertimbangan
rasional, yang berbeda dengan NU.95
Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan semata-mata karena situasi,
penerimaan itu benar-benar dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan dan
pemahaman NU terhadap sejarah. Dalam pemahaman keagamaan NU terhadap suatu
nilai di dalam masyarakat, sepanjang nilai tersebut tidak bertentangan dengan Islam.
Maka, nilai tersebut mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembngkan agar
selaras dengan tujuan-tujuan Islam. Dalam pandangan NU, Islam itu bersifat
menyempurnakan sehingga bila ada sesuatu yang baik di dalam masyarakat dan tidak
bertentangan dengan Islam maka ia termasuk kategori Islami. Apalagi sila pertama
dari Pancasila, yang menjiwai sila-sila lainnya dipandang mengandung nilai-nilai
kehidupan. Dari pihak lain, Pancasila yang digali dan dipilih merupakan kristalisasi
95 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 203
169
dari nilai luhur kebudayaan Indonesia. Termasuk kebudyaan Islam yang dianut dan
dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia.96
96Kacung Marjian, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Erlangga,
1992), h.
170
BAB IV
PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF TENTANG IDEOLOGI
NEGARA DI INDONESIA
A. Pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang Islam sebagai Ideologi Negara di
Indonesia
Teori suatu Negara Islam di Indonesia adalah fenomena baru-baru ini saja,
dan itu hampir dilakukan oleh penulis-penulis dan politisi modernis Muslim. Dari
dunia pesantren, sulit diperoleh suatu karya yang berarti tentang masalah ini. Tetapi,
sekalipun kelompok modernis telah banyak berbicara tentang sebuah Negara
berdasarkan Islam pada priode pasca kemerdekaan, menurut penilaian Syafii Maarif,
belum seorang pun diantara mereka yang telah berhasil menyusun suatu karya
sistematis dan ilmiah, yang mampu mengartikulasikan hakikat dan corak suatu
Negara Islam yang ingin mereka ciptaka di Indonesia.97
seluruhnya Keinginan adanya
cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di lembaga negara telah
disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca-kemerdekaan.98
Dari
kalangan Islam beralasan, bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia
beragama Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan, sebab tidak ada
institusi formal seperti negara yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial
97 Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang
Perdebatan dalam Konstituante, h.127
98 Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan
Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler (Yogyakarta: Uswah, 2008), h. 33
171
Belanda adalah contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat
berjalan, kendati pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Para Islamolog Indonesia umumnya berpendapat, Islam merupakan sebuah
agama yang khas. Sebab, Islam mengatur bukan hanya urusan transendental, tapi juga
hubungan sosial, bahkan politik. Sejarah Islam juga telah memperlihatkan bahwa
Nabi Muhammad saw dalam kenyataannya merupakan pimpinan politik dan agama
sekaligus. Banyak sarjana Barat modern menggambarkan bahwa khatamil anbiya’
(Nabi penutup) itu sebagai “Nabi-Penguasa atas komunitas Islam”.99
Ahmad Syafii Maarif mengakui bahwa pada mulanya yang menjadi cita-cita
politik bagi orang-orang Islam di Indonesia adalah keinginan untuk mendirikan suatu
negara nasional Islam. Melalui pemimpin-pemimpin umat Islam menginginkan cita-
cita tersebut terwujud. Tidak lain, menurut Ahmad Syafii Maarif, dibentuknya negara
nasional Islam tersebut adalah untuk menjamin dan melaksanakan ajaran-ajarannya
dalam kehidupan kolektif.100
Ahmad Syafii Maarif, sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chicago,
pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan
menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 1976-1978, Syafii Maarif aktif
dalam MSA (Muslim Students' Association), yang masih sangat merindukan tegaknya
sebuah negara Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih
99 Manzoruddin Ahmed, “The Classical Muslim State”, Islamic Studies, 1. no. 3 (September,
1962), h. 83
100 Syafii Maarif, Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dalam Fauzi
Rahman (Ed.), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), h. 162
172
belum ada yang dapat ditawarkan Syafii Maarif untuk menembus kebuntuan
intelektualisme Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini ia
pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chicago pada awal
1980-an.101
Menurut Ahmad Syafii Maarif, bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah
menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah interpretasi
bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana, sebagai alat bagi agama, dan bahkan
sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi fakta
bahwa sunnah Nabi maupun realitas al-Qur’an memang tidak memberikan pola teori
kenegaraan secara baku, karena memang al-Qur’an lebih merupakan petunjuk etik
bagi manusia, bukan sebuah kitab politik. Umat Islam diberi kebebasan untuk
membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntutan
masyarakat. Tujuan terpenting dalam al-Qur’an lebih terarah pada upaya agar nilai
dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan
sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Maka atas dasar nilai-nilai etik al-
Qur’anlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosio-kultural wajib ditegakkan.102
Al-Qur’an dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif tidak menjelaskan tentang
bentuk pemerintahan, dan Ahmad Syafii Maarif berpandangan memang tidak perlu
al-Qur’an menjelaskan tentang bentuk suatu pemerintahan dalam perspektif Islam,
101 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 195
102 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, h. 16 dan 18
173
tetapi Islam menekankan yang dinamakan prinsip syura atau musyawarah, artinya
menurut Ahmad Syafii Maarif adalah prinsip syura menempatkan manusia setara di
depan hukum bahkan di depan Tuhan sekalipun. Jadi Syafii Maarif berpendapat Islam
itu tidak menjelaskan suatu bentuk pemerintahan, tetapi Islam lebih dekat dengan
sistem demokrasi dan bentuk pemerintahan republik, walaupun demikian demokrasi
dan pemikiran yang digunakan tidak selalu sama dengan Barat.
Ahmad Syafii Maarif tidak setuju terhadap tokoh-tokoh Islam yang terus
mendesakkan dasar negara Islam untuk Indonesia. Berbeda dengan pandangan para
tokoh Islam lainnya, terutama dari golongan tua dari kubu modernis, Ahmad Syafii
Maarif justru bersyukur karena usaha para tokoh Islam untuk menjadikan Islam
sebagai ideologi dan dasar negara gagal. Apalagi jika yang dimaksudkan sebagai
dasar negara Islam itu adalah syariat sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para
imam mazhab. Menurut Syafii Maarif, syariat seperti itu hanyalah merupakan hasil
ijtihad mereka jauh sebelum jatuhnya kekaisaran Baghdad. Bagaimana mungkin akan
diterapkan pada abad ke-20. Seandainya syariat dan dasar negara Islam itu jadi
kenyataan pada tahun 1950-an, perpecahan besar akan melanda bangsa Indonesia.
“Boleh jadi umurnya tidak akan lebih dari 50 hari, karena partai-partai Islam akan
bertarung sendiri untuk membawa syari’at dalam kehidupan politik”, akhirnya
menurut Ahmad Syafii Maarif, meskipun usaha seperti itu konstitusional, bagaimana
pun ia merupakan usaha prematur yang tidak realistis karena belum mempersiapkan
pondasi intelektual keagamaan yang kukuh.
174
Ahmad Syafii Maarif menyayangkan, pada abad semodern ini belum ada satu
contoh pun tentang negara Islam yang dapat dijadikan teladan. Semuanya
bermasalah. Islam malah sering digunakan untuk tangga mendapatkan keuntungan
duniawi. Dalam ungkapan lain, nama Tuhan sering dibajak untuk tujuan-tujuan
rendah. Maarif tidak rela dan bahkan berontak melihat kenyataan buruk semacam ini.
Ia tidak mau menyaksikan apabila Islam dijadikan ”barang dagangan” dengan harga
murah. Islam adalah pedoman hidup maha sempurna. Syafii Maarif melihat proyek
negara Islam yang diawali abad ke-20 tidak satupun yang berdasakan hasil penelitian
komprehensif dan mendalam dengan menyiginya di bawah cahaya al-Qur’an dengan
konsep syuranya yang menempatkan manusia pada posisi setara dan sejajar.103
Jika upaya serba radikal ini gagal, dan memang tidak punya syarat untuk
berhasil, maka menurut Syafii Maarif sebab utamanya adalah karena sebuah gagasan
besar dikerjakan oleh otak-otak kecil yang lebih banyak dikuasai oleh emosi, bukan
oleh kekuatan penalaran yang mantap secara teori, tetapi belum berangkat dari
pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits secara autentik. Suasana dunia Islam yang
terjepit telah dijadikan dasar tak langsung dari teori yang coba dibangun itu. Hasil
akhirnya pasti akan kacau balau karena suasana batin yang marah menghadapi
realitas telah dijadikan pangkal tolak dalam membangun teori pasti akan sia-sia.104
Dalam masalah syariat, jelas Ahmad Syafii Maarif lebih melihat konsep
syariat sebagai esensi Islam sebagai agama keadilan, bukan semata-mata hukum-
103 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 231
104 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 232
175
hukum yang bersifat particular. Menurut M. Syafii Anwar,105
Ahmad Syafii Maarif
mengkitik tajam pemikiran kelompok Islam radikal. Dalam formulasi Syafii Anwar,
setidaknya ada tiga kritik utama dari Ahmad Syafii Maarif terhadap kelompok Islam
radikal yang sangat bersemangat untuk menggesa penerapan syariat Islam. Kritik
pertama, kelompok Islam radikal memahami syariat secara simplistik yakni semata-
mata dalam bingkai hukum dan fiqh saja. Apalagi jika syariat sekedar dipahami
sebagai pelaksanaan hukum rajam dan potong tangan, ini merupakan pemahaman
yang lemah secara intelektual. Lebih jauh lagi, pemahaman seperti ini akan membawa
implikasi serius terutama bagi munculnya kesan bahwa Islam adalah agama yang
menakutkan.
Kedua, Ahmad Syafii Maarif mengkritik pemahaman kelompok Islam radikal
atau modernis revivalis yang umumnya sangat -meminjam istilah Marshall Hodgson-
“shari’a minded”. Mereka yang tergolong “syari’a minded” ini umumnya melihat
syariah semata-mata disandarkan pada pendekatan hukum/fiqh serta pemikiran dan
pengamatan parsial yang “hitam–putih”. Mereka tidak melihat pengalaman historis
dan perbandingan dengan negara-negara Islam dalam mengimplementasikan syariat,
seperti Pakistan dan Sudan, yang sampai sekarang tetap dirundung masalah. Ia
menilai kelompok Islam radikal yang acap kali menuntut pelaksanaan syariat Islam
sangat ahistoris, karena menegasikan pengalaman kelompok, golongan, partai-partai
Islam di masa lalu dan masa kini yang selalu gagal memperoleh dukungan mayoritas
105 M. Syafii Anwar, Syafii Maarif,Bung Hatta, dan Deformalisasi Syariat, dalam Abd
Rohim Ghazali, Saleh Partoanan Daulay, ed,. Muhammadiyah dan Politik Islam Insklusif, h. 33
176
dalam perdebatan-perdebatan di konstituante tahun 1950-an atau DPR, serta
perolehan suara dalam pemilu. Kelompok Islam radikal juga tidak mau belajar dari
pengalaman negara-negara lain yang terlalu bersemangat ingin menegakkan syariat
Islam, tetapi justru keadaannya tidak lebih baik.
Ketiga, Ahmad Syafii Maarif mengingatkan bahwa masalah mendasar umat
Islam Indonesia adalah bagaimana mengatasi keadaan yang carut-marut karena
ketimpangan ekonomi, pengangguran yang tinggi, pendidikan yang rendah. Keadaan
seperti ini tidak dibaca secara cerdas oleh kelompok Islam radikal. Mereka
memahami dan ingin menerapkan syariat serta bermaksud melakukan perubahan
terhadap situasi secara radikal, tanpa melihat realitas permasalahan bangsa secara
kritis dan jernih. Masalah-masalah mendasar bangsa seperti itu akan berhasil jika
dipecahkan dengan formalisasi syariat, apalagi jika konsepsi syariat itu lebih
bermuara pada pendekatan legal-formal yang eksklusif.106
Dari kritiknya terhadap Islam radikal itu, sikap Ahmad Syafii Maarif
sangatlah jelas, ia secara tegas menolak formalisasi syariat, karena baginya tuntutan
seperti itu bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan pondasi
intelektual yang kuat. Ketika muncul isu syariat Islam di Indonesia, dengan jelas dan
tegas Syafii Maarif mengatakan, bahwa syariat agama itu tidak diterapkan langsung
dalam kehidupan bernegara, masyarakat, berbangsa, tetapi ditarik dulu esensi
moralnya. Lalu esensi moral dari syariat agama itu dibersamakan dengan esensi
106 Syafii Anwar, ” Syafii Maarif, Bung Hatta, dan Deformalisasi Syariat” dalam Abd. Rohim
Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay (ed), Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif , h. 33-35
177
moral dari syariat agama-agama lain, dan bersama-sama dijadikan dasar moral etis
bagi kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara di Indonesia.107
Itulah sebabnya Ahmad Syafii Maarif bersama-sama dengan tokoh-tokoh
Islam semacam KH Hasyim Muzadi, Nurchalish Madjid, Masdar F. Mas’udi, dan
lain-lain pada tahun 2001 tegas-tegas menolak tuntutan penerapan kembali Piagam
Jakarta dan upaya-upaya memformalisasikan syariat yang disuarakan oleh kelompok
Islam radikal dan partai-partai Islam lainnya. Karena sikapnya yang menolak
kembalinya Piagam Jakarta ini, sebagian golongan Muhammadiyah dan sejumlah
ormas Islam dari kelompok modernis revivalis, menilai Maarif sebagai tokoh Islam
yang anti syariat. Sejumlah penulis dari kalangan Islam radikal juga mengecap sikap
Maarif yang menurut mereka “tidak mendukung mereka perjuangan umat Islam”.108
Pemikiran Maarif yang menolak tuntutan penerapan kembali piagam Jakarta karna
Maarif dipengaruhi oleh pemikiran gurunya Prof. Fazlur Rahman. Pemikir asal
Pakistan ini memang sangat percaya bahwa syura merupakan gagasan politik ulama
dalam al-Qur’an. Bagi Rahman, syura adalah sebuah institusi yang telah ada dalam
masyarakat Arabiah pra-Islam, yakni ketika mereka menyelesaikan persoalan
bersama melalui permusyawaratan. Adapun tentang bentuk demokrasi, Rahman
berpendapat bahwa bentuknya bisa berbeda-beda menurut kondisi yang ada dalam
masyarakat. Namun demikian, untuk memilih bentuk demokrasi yang sesuai dengan
107 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. xii-xiii
108 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 35
178
masyarakat Islam, peranan ijtihad menjadi sangat menentukan. Bagi Rahman, umat
Islam bebas menentukan tipe sistem politik apa pun, termasuk demokrasi, sepanjang
perinsip syura dipertahankan dan dihormati secara sadar.109
Dari pandangan gurunyalah maarif menjadikan rujukan utama didalam
memformulasika pemikiran politiknya tentang Islam dan Negara. Karena itu, menurut
Maarif, tidak ada alasan untuk menolak sistem politik demokrasi, sekalipun
demokrasi liberal dari Barat, sepanjang prinsif syura dijalankan secara konsekuen.
Bagi Ahmad Syafii Maarif, sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi
bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah
keniscayaan, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negara yang adil dan
makmur. Menurut Ahmad Syafii Maarif, perangkat hukum-hukum Islam dapat
dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Yang
penting adalah prinsip moral Islam bagi tegaknya keadilan untuk semua harus
dijadikan program untuk bertindak. Adapun beberapa prinsip hukum Islam untuk
publik dapat saja diintegrasikan dalam hukum nasional, sehingga tidak lagi bersifat
eksklusif, kecuali yang bertalian dengan hukum keluarga, seperti perkawinan,
warisan, wakaf, dan juga yang menyangkut masalah zakat.110
Dalam konteks Indonesia, doktrin etika moral al-Qur’an, masih lebih
menonjol dalam retorika dan bahkan menjadi komoditas politik para politisi, dari
109 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 43
110 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung:
Mizan, 2009), h. 75
179
pada sebagai pedoman hidup sehari-hari. Contoh yang paling menonjol dari
fenomena ini adalah munculnya beberapa komponen umat yang menganut
diberlakukannya syariat Islam dan atau diberlakukannya kembali Piagam Jakarta.
Mereka ini, disebut Ahmad Syafii Maarif sebagai kelompok yang lebih menekankan
simbol dari pada substansi.111
Syafii Maarif mengutip ungkapan bung Hatta yang mengatakan; “Janganlah
gunakan filsafat gincu, tampak tapi tak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak
tetapi terasa.112
Hatta dengan imannya yang tulus tidak rela menyaksikan Islam
Indonesia seperti gincu, tampak tetapi tidak terasa, sibuk dengan serimoni tetapi
kehilangan substansi, meneriakkan “Allahu Akbar” sambil merusak dan menghujat
orang lain.113
Istilah “garam dan gincu” ini sering dikutip Maarif untuk menjelaskan
posisinya dalam masalah hubungan Islam dan negara. Jadi, Islam diharapkan dapat
mewarnai cara bertindak, berpikir dan merasa, meski tidak diformalisasikan. Dengan
cara itu dampaknya pun lebih baik karena akan terjadi internalisasi nilai-nilai.
Menurut Maarif, pemahaman syariat hanya sebagai hukum dan fiqh sangatlah
simplistik. Sebab, syariah memang bukan hukum dan fiqh tetapi nilai-nilai dan
moralitas yang menyemangati keadilan, kesetaraan, keadaban, dan kemanusiaan.
Satu hal yang kini banyak disalahpahami dari Ahmad Syafii Maarif, adalah
kekurang setujuanya pada upaya pemberlakuan syariat Islam atau Piagam Jakarta.
111 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 21
112 Z. Yasni, Bung Hatta Menjawab (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 179
113 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 281
180
Yang kurang bahkan yang tidak ia setujui sebenarnya bukanlah pemberlakuan syariat
Islam melainkan pemaknaannya yang eksklusif. Syriat Islam, bagi Ahmad Syafii
Maarif adalah etika atau norma kehidupan bersama yang universal. Syariat Islam
tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu karena hal itu akan mengerdilkannya atau
mendistorsinya.
Syariat Islam tidak bisa dikurung dalam ruang sempit hanya untuk
kepentingan yang eksklusif. Tentu saja, Ahmad Syafii Maarif tidak akan menyetujui
upaya siapa pun yang ingin mengerdilkan dan mendistorsi aspek-aspek tertentu dari
Islam. Karena Islam adalah agama universal. Agama yang berasal dari Tuhan seluruh
alam, dan dibawa oleh seorang Rasul yang juga diperuntukkan (sebagai pembawa
rahmat) untuk seluruh alam.114
B. Pandangan Ahmad Syafii Ma’arif tentang Pancasila sebagai Ideologi Negara
Indonesia
Menurut Ahmad Syafii Maarif, setelah dikaji dalam konteks kultur Indonesia,
sampai sekarang tidak ada konsep lain yang tepat yang secara rasional dapat
mengukuhkan persatuan dan keutuhan bangsa, kecuali lima dasar Pancasila.115
Kelima sila Pancasila itu jika dipahami secara benar dalam satu kesatuan tidak ada
yang perlu dipersoalkan dari pandangan sudut pandangan teologi Islam. Sila pertama
114 Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay, Muhammadiyah dan Politik Islam
Inklusif, h. 25-26
115 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 23
181
Ketuhanan Yang Maha Esa akan menjadi sila kosong bilamana keadilan dan
kemakmuran untuk semua tidak menjadi realitas di tanah air kita.
Pengalaman traumatik masa lampau jangan diulang lagi, sebab hanya akan
berujung dengan kesia-siaan. Dengan ungkapan lain, Islam yang harus ditawarkan
adalah sebuah Islam yang bersedia bergandengan tangan dengan nilai-nilai
keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.116
Maka demi upaya
mengukuhkan keindonesiaan dan kemanusiaan, bagi Maarif Piagam Jakarta tidak
perlu lagi dilihat dari perspektif legal formal, tetapi diambil ruhnya berupa tegaknya
keadilan yang merata bagi seluruh penghuni Nusantara, tanpa diskriminasi.
selanjutnya Pancasila yang sudah disepakati sebagai ideologi dan dasar negara
Indonesia, harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu. Bagi
Ahmad Syafii Maarif, langkah ini perlu dilakukan agar Pancasila ini bebas dari
tuduhan dari sebutan negara sekuler. Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya harus
berhenti untuk hanya dijadikan retorika politik. Semua nilai yang terkandung dalam
Pancasila harus diterjemahkan ke dalam format yang konkrit sehingga prinsip
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” benar-benar menjadi kenyataan.
Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa Pancasila dapat disebandingkan -
meski tidak persis sama- dengan Piagam Madinah. Alasannya berdasarkan dua hal;
pertama, secara substantif, baik Piagam Madinah maupun Pancasila mengakui kaitan
antara nilai-nilai agama dan masalah-masalah kenegaraan. Kedua, secara fungsional,
kedua rumusan politik tersebut mencerminkan titik temu (common platform), yang
116 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 312
182
berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang mengatur sebuah masyarakat politik dengan
latar belakang sosial keagamaan yang beragam.117
Sholahuddin Wahid seorang tokoh Nahdatul Ulama (NU) dalam hal ini
berpendapat, Pancasila adalah cara terbaik, sudah sebagai wujud kesepakatan
bersama. Dengan Pancasila, Indonesia kendati bukan negara agama (Islam), tetapi
juga bukan negara sekuler. Keberadaan Departemen Agama misalnya, merupakan
bentuk titik temu antara negara sekuler dengan negara agama. Bahkan, ketika UU
Perkawinan bisa dimasuki oleh ketentuan syariat Islam, maka penafsiran para tokoh
Islam terhadap Pancasila mulai berubah, yang semula dianggap sekuler menjadi
sesuatu yang bersifat religius.118
Menurut Syafii Maarif, penerimaan Pancasila sebagai dasar falsafah negara
oleh para pemikir Muslim Indonesia yang lebih mudah ialah penerimaan secara sadar,
bukan karena kalkulasi politik kekuasaan, bukan pula untuk mengganti Islam dengan
Pancasila, sesuatu yang tidak mungkin. Para pemikir ini menurut Syafii Maarif
adalah generasi-generasi terdidik yang lahir di era lain dibandingkan dengan generasi
sebelumnya yang sibuk dengan pertarungan tentang masalah dasar negara yang
sangat melelahkan itu. Bagi pemikir yang datang kemudian, alur pemikiran dan
117 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, h. 243
118 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), i
183
strategi intelektualnya sudah berbeda, “ilmu garam jauh lebih penting dari pada ilmu
gincu”.119
Maka tugas selanjutnya menurut Syafii Maarif, adalah mengisi Pancasila
dengan nilai-nilai kenabian yang sangat kaya dalam masalah moral, etika, sumber
hukum, dan doktrin eskatologis yang tidak mungkin diberikan filsafat ciptaan
manusia. Untuk keperluan masalah-masalah besar ini, Pancasila harus bersikap jujur
dalam mengukur dirinya yang serba terbatas dalam dinding keindonesiaan, sekalipun
aspek universal dari empat sila yang lain dapat dikembangkan lebih jauh.
Jika Pancasila tetap saja menjadi permainan bibir, sementara prinsip-
prinsipnya diabaikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
maka menurut Syafii Maarif masa depan Indonesia sulit sekali dibayangkan akan
menjadi lebih baik. Ia mengatakan bahwa sudah lebih 60 tahun Indonesia merdeka
tapi hampir tidak ada pemerintahan yang benar-benar berpihak kepada rakyat banyak
yang miskin. Memang di era demokrasi liberal tahun 1950-an, ada dua atau tiga
kabinet yang mempunyai program bagus untuk kesejahteraan rakyat, tetapi tidak
punya waktu untuk melaksanakannya karena umurnya relatif singkat. Pertentangan
partai-partai menjadi sebab utama mengapa umur kabinet di era itu tidak bisa
panjang.120
119 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 284
120 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, h. 315
184
C. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
Saat hal yang patut kita terima ialah kesepakatan bahwa Pancasila sebagai
ideologi terbuka. Pengertian secara umum Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
ideologi yang terbuka kepada perubahan-perubahan yang datang dari luar, tetapi
memiliki kebebasan dan integritas untuk menentukan manakah nilai-nilai dari luar
yang mempengaruhi dan mengubah nilai-nilai dasar yang selama ini sudah ada dan
manakah yang tidak boleh berubah.121
Terlepas dari pernyataan perumusan dan
pengkalimatan formalnya sebagaimana terpateri dalam Mukaddimah UUD 1945,
masing-masing nilai yang lima itu menciptakan suatu sosial-politk yang potensi
sangat dan selaras antara semua anggota masyarakat, mengikuti commonsense
masing-masing pribadi. Pandangan sosial-politik yang dihasilkan itu semua absah
belaka, sepanjang sejarah tidak menghalangi jiwa dan semangat dan titik temu
kebaikan bersamaan antara semua golongan, tanpa diskriminasi atau pembedaan satu
dari yang lain secara tidak benar.
Sebagai ideologi terbuka, maka Setiap orang dapat memberikan kontribusi
tentang arti sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai sumber legitimasi politik
dan mengandung cita-cita nasional yang tinggi, Pancasila tidak mungkin di buatkan
penjabarannya sekali untuk selamanya. Pelaksanaan nilai-nilai itu akan menyatu
dengan proses, dan proses yang progresif (terus menerus membuat kemajuan) hanya
akan terjadi jika dijiwai dengan semangat keterbukaan sebagai ideologi yang juga
121 Omcivics. “Panvasila Sebagai Ideologi Terbuka”. Artikel ini diakses pada 12 November
2009 dari http://www.Slideshare.net/omcivics/pancasila -sebagai-ideologi-terbuka.
185
mengandung nilai-nilai universal, Pancasila tidak mungkin diwujudnyatakan dengan
semangat napistis dan atapistis. Ini berarti Pancasila harus dipersepsikan sebagai
ideologi yang terbuka, kesanalah muara konpergensi nasional dan nilai Indonesia.122
Pemahaman yang bisa ditarik dari penjelasan tersebut adalah bahwa Pancasila
mempunyai muatan makna yang bersifat terbuka, universal, dan visioner, dengan kata
lain Pancasila mengandung nilai-nilai yang bisa diterjemahkan dan diwujudkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
bangsa Indonesia, kapan pun dan dimana pun. Penafsiran ini tentunya harus
disesuaikan dengan budaya dan agama masyarakat setempat, sehingga antara nilai-
nilai Pancasila dengan agama yang dianut masyarakat tidak bertentangan.
Tidak diragukan lagi bahwa Pancasila diterima sebagai dasar negara, karena
dianggap secara prinsipil dan konsepsional, nilai-nilainya tidak bertentangan dengan
Islam, bahkan mempunyai spirit yang sama. Perbedaan dan pertentangan terjadi antar
Islam dan Pancasila tidak dalam konteks nilai-nilainya, tetapi tafsiran yang diberikan
terhadap Pancasila melampaui batas-batas dari spirit muatan nilai-nilai Pancasila itu
sendiri, sehingga terjadi pertentangan antara Islam dan Pancasila.
Syafii Maarif pun berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara harus
bersifat terbuka. Dengan kata lain, bila Pancasila ingin tetap bermakna bagi
masyarakat Indonesia, ia harus membuka diri untuk menerima sinar dari agama-
agama yang berorientasi pada nilai-nilai transedental yang lebih tinggi. Dalam
122 Nurchalish Madjid, Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), h.
42
186
konteks masyarakat indonesia yang mayoritas pemeluknya beragama Islam. Syafii
Maarif mengharapkan agar Islam dijadikan sumber moral bagi umat Islam, ini juga
berarti bahwa penganut agama berhak penuh menyinari Pancasila dengan ajaran
agamanya masing-masing.123
D. Relevansi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif dalam Konteks Indonesia Dewasa
Ini
Belajar dari realitas sejarah politik Indonesia yang lebih banyak merugikan
umat Islam, memaksa kita melakukan reorientasi politik dengan berpijak pada sirah
nabawiyah (sejarah Nabi) bahwa Dustur Madinah (Piagam Madinah) secara
substansial dinilai mempunyai persamaan dengan Pancasila. Keduanya sama-sama
merupakan jawaban konstitusional terhadap realitas sosio-politik masyarakat yang
tengah dihadapi. Piagam Madinah maupun Pancasila merupakan jawaban terhadap
realitas pluralisme keagamaan dalam masyarakat masing-masing (Madinah maupun
Indonesia).
Pemahaman ini hendaknya bisa melahirkan kesadaran baru bagi umat Islam
Indonesia, bahwa Islam perlu dimasyarakatkan tanpa harus mengganti Pancasila atau
bahkan dalam bentuk formalisme lainnya, termasuk partai. Yang penting adalah
mengembangkan substansi Islam. Islam lebih berperan sebagai patokan utama,
123 Ahmad Syafii Maarif, Piagam Madinah dan Konvergensi Sisial, (Pesantren No. 3, Vol.
VII), h. 21-22
187
sebagai sumber moral bagi pelaksanaan bernegara, bahkan termasuk sumber moral
bagi pelaksanaan Pancasila.
Islam yang ingin dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang
ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar
bangsa dan negara. Sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan
kultur, sub-kultur, dan agama kita yang beragam, sebuah Islam yang memberi
keadilan, kenyamanan, keamanan, dan perlindungan kepada semua orang yang
berdiam di Nusantara ini, tanpa diskriminasi, apapun agama yang diikutinya atau
bahkan tidak diikutinya. Sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat
miskin, sekalipun ajarannya sangat anti-kemiskinan, sampai kemiskinan itu berhasil
dihalau sampai ke batas-batas yang jauh di negeri kepulauan ini.
Kegigihan dan keinginan sekelompok masyarakat Muslim untuk mendirikan
negara Islam Indonesia, dapat menimbulkan citra buruk bagi umat Islam. Apalagi
keinginan tersebut kerapkali diiringi dengan tindakan-tindakan anarkis dan cenderung
represif, kondisi ini dapat menimbulkan kecurigaan, bahkan kebencian di kalangan
kelompok-kelompok lainnya. Bahkan yang lebih buruk lagi, tudingan Barat terhadap
Islam sebagai sumber teroris dunia seakan-akan mendekati kebenaran. Bila hal ini
dikenal sebagai agama pembawa rahmat akan menjadi cacat.
Sudah saatnya umat Islam Indonesia memiliki kesadaran bahwa berjuang
untuk Islam tidak hanya dapat dilakukan dengan usaha mendirikan negara Islam.
Tetapi lebih jauh dari itu, dapat pula dilakukan dengan berjuang melalui berbagai
sektor kehidupan lainnya. Sektor pendidikan, ekonomi, dan stabilitas nasional
188
merupakan beberapa bidang yang cukup mendesak untuk ditangani. Keterpurukan
perekonomian Indonesia saat ini lebih disebabkan lemahnya ketiga sektor di atas.
Jika Islam ditampilkan dengan wajah garang oleh segelintir orang -egoistik,
penuh retorika murahan- ibarat monster, pasti akan menakutkan dan dibenci oleh
banyak pihak yang berfikir jernih, siapa pun mereka, apa pun agamanya. Sebuah
monster yang sering berbicara atas nama Tuhan, jelas terlepas dari kawalan syariah
dalam maknanya yang benar.
Pemikiran Ahmad Syafii Maarif yang secara tegas menolak formalisasi
syariat, sepertinya mesti kita pertimbangkan secara adil. Baginya tuntutan seperti itu
bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan pondasi intelektual
yang kuat. Ahmad Syafii Maarif yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw tidak
pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah
interpretasi bagi kita semua bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana, sebagai alat
bagi agama, dan bahkan sebagai sebuah perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu
sendiri.
Dengan demikian bisa kita terima tawaran intelektual Ahmad Syafii Maarif,
tentang sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam
harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah keniscayaan, jika
memang Indonesia ingin menjadi sebuah negara yang adil dan makmur. Untuk
kondisi Indonesia saat ini, semestinya umat Islam sudah lebih mau terbuka bahwa
perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional
melalui proses demokratisasi.
189
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan sebagai berikut:
190
1. Menurut Ahmad Syafii Maarif, bahwa Nabi Muhammad saw tidak pernah
menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta ini memberikan sebuah
interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dan bahkan sebagai sebuah
perwujudan (suatu eksistensi) dari agama itu sendiri. Apalagi realitas al-Qur’an
tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku. Umat Islam diberi
kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman
dan tuntutan masyarakat.
2. Ahmad Syafii Maarif secara tegas menolak formalisasi syariat, karena baginya
tuntutan seperti itu bukan saja ahistoris, tidak realistis, dan tidak dilandasi dengan
pondasi intelektual yang kuat
3. Bagi Ahmad Syafii Maarif, sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Tetapi
bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas (Indonesia) adalah sebuah
keniscayaan. Menurut Ahmad Syafii Maarif, perangkat hukum-hukum Islam
dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi.
Yang penting adalah prinsip moral Islam bagi tegaknya keadilan untuk semua
harus dijadikan program untuk bertindak. Adapun beberapa prinsip hukum Islam
untuk publik dapat diintegrasikan dalam hukum nasional, sehingga tidak lagi
bersifat eksklusif, kecuali yang bertalian dengan hukum keluarga, seperti
perkawinan, warisan, wakaf, dan juga yang menyangkut masalah zakat.
2. SARAN
191
Setelah melalui proses dan kajian terhadap pemikiran Ahmad Syafii
Maarif dinamika ideologi Negara Indonesia, kiranya penulis perlu
mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis atas hal-hal tersebut
di atas, yaitu; perlunya penelitian yang lebih komprehensif tentang Pancasila
sebagai ideology terbuka secara khusus, sehingga mampu memberikan informasi
yang lebih utuh. Dengan penelitian yang lebih komprehensif, diharapkan dapat
melahirkan pemahaman bahwa Indonesia merupakan Negara yang multi cultural,
multi agama, dan etnis. Untuk itu diperlukan suatu bangunan Negara nasional
yang mampu menggabungkan kesemua unsur budaya dan keragaman cultural
Indonesia.
192
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Manzoruddin.“The Classical Muslim State”, Islamic Studies, 1. no. 3
September, 1962
Ansari, Endang Syaifuddin. Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran
tentang Islam. Jakarta: Usaha Enterprises, 1976
Antono, Raja Juli. Laporan Tahunan , Jakarta, Maarif Institute, 2000-2007
Amir Azis, Ahmad. Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish
Madjid dan Abdurrahman Wahid. Jakarta: PT. Bineka Cipta 1999
Apter, David E. Politik Modernisasi, Terjemahan Hermawan Sulistyo dan Wardah
Hafidz , Jakarta: PT Gramedia, 1987
Awwas, S. Irfan. Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak
Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler.
Yogjakarta: Uswah, 2008
Azra, Azyumardi. Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga
Postmodernisme, Jakarta: Paramadina,1996
Bakry, Ms Noor. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogjakarta: Liberty, 1994
Clark, Paul Barry dan Andrew Linxey, ed., Distionary of Ethics, Theology and
Society, New York; Routledge, 1996
Darmodiharjo, Darji, dkk. Santiaji Pancasila; Suatu Tinjauan Filosofis, Historis dan
Yuridis-Konstitusional. Surabaya: Usaha Nasional, 1991
Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998
Effendy, Onong Uchyana. Dimensi Komunkasi, Bandung: Alumni, 1981
Ghazali, Abd Rohim. Muhammadiyah dan Politik Islam Inklusif. Jakarta: Maarif
Institute, 2005
Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua
Jakarta: Maarif Institute, 2005
193
Ismail, DR. Faisal. Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama: wacana ketegangan
kreatif antara Islam dan Pancasila, Yogyakarta: Tiara Wancana,1999
Jansen, G.H. Islam Militan, Terjemahan Armahedi Mahzar. Bandung: Pustaka, 1980
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1996
Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin,
dalam Fauzi Rahman (Ed.), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia.
Bandung: Mizan, 1994
Independensi Muhammadiyah: Di Tengah Pergumulan Islam
dan Politik, Jakarta:Cidesindo,2000
Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku. Yogjakarta: Ombak, 2006
Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan.
Bandung: Mizan, 2009
Peta Bumi Intlektualisme Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan,
1995), Cet. Ke-3
Piagam Madinah dan Konvergensi Sisial, Pesantren No. 3, Vol.
VII
Madjid, Nurchalish. Islam, Kemoderenan, dan Keindonesiaan , Bandung:
Mizaan,1978
Mangkusasmito, Prawoto. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah
Projeksi,Jakarta:Hudaya,1970
Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2008
Natsir, Mohammad. Capital Selecta. Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Nawiriddin. Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara
Nasional, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2008
194
Ridjal, Fauzi. Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan, Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 1991
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
UI Press, 1993
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964
Suara Karya, Ketua Umum: Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial,
Jakarta, 2000
Taimiyah, Ibnu. Al-Siyasah al-Syar’iyyah. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996
Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Wahid,Marjuki, Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia, Yogtakarta: LKiS, 2001
Yasni, Z. Bung Hatt Menjawab. Jakarta: Gunung Agung, 1979
Yunus, M. Yunan. Teologi Muhammadiyah Cita Tajdid dan Realitas Sosial ,Jakarta:
Uhamka Press, 2005
Zaidan, Abd Al-Karim. Al-Fardl wa al-Daulah fi al-Syariah al-Islamiyah. Al-Ittihad
al-Islami al-Alami, 1970
Zamharir, Muhammad Hari. Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid, Raja Grafindo: Jakarta,2004
Internet:
Omcivics. “Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka”. Artikel ini diakses pada 12
November 2009 dari http://www.Slideshare.net/omcivics/pancasila -sebagai-
ideologi-terbuka
195