Post on 05-May-2019
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
CERITA RAKYAT TELAGA MADIRDA
Di Dusun Tlogo Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso
Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah
(Sebuah Tinjauan Folklor)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh: MUCHAROM
C0107033
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
CERITA RAKYAT TELAGA MADIRDA
Di Dusun Tlogo Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso
Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah
(Sebuah Tinjauan Folklor)
Disusun Oleh:
MUCHAROM C0107033
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Dra. Sundari, M. Hum NIP. 195610031981032002
Pembimbing II
Siti Muslifah, S. S, M. Hum NIP. 197311032005012001
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Supardjo, M. Hum NIP. 195609211986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
CERITA RAKYAT TELAGA MADIRDA Di Dusun Tlogo Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso
Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah (Sebuah Tinjauan Folklor)
Disusun Oleh:
MUCHAROM C0107033
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal 29 Desember 2011
Jabatan Nama Tanda Tangan. Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum ……………… NIP. 195710231986012001 Sekretaris Drs. Aloysius Indratmo, M. Hum ……………… NIP. 196302121988031002 Penguji I Dra. Sundari, M. Hum ………………. NIP. 195610031981032002 Penguji II Siti Muslifah S. S, M. Hum ……………….. NIP. 197311032005012001
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Riyadi Santosa, M. Ed, Ph.D NIP. 196003281986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
“Belajarlah untuk selalu menerima situasi, karena di situ kamu akan belajar banyak hal”
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
PERNYATAAN
Nama : Mucharom
Nim : C0107033
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Cerita Rakyat
Telaga Madirda Di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah (Sebuah Tinjauan Folklor)
adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang
lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda kutipan dan
ditunjukan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang
telah diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, Desember 2011
Yang membuat pernyataan,
Mucharom
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Bapak ibu dan seluruh keluarga tercinta yang telah
membimbing dan membiayai kuliah
hingga penulis mampu menyelesaikan kuliah hingga akhir
.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Al Hamdulillah selalu penulis ucapkan ke hadirat Allah
Subhanahu wa Ta`ala yang telah melimpahkan banyak nikmat kepada kita
semua. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada uswatun hasanah
kita Nabi Muhammad Sallallahu `Alaihi was Salam.
Banyak hambatan yang penulis hadapi selama penulisan penelitian ini,
namun demikian berkat Allah dan bantuan berbagai pihak sehingga penulisan
penelitian ini dapat selesai dengan baik. Untuk itu atas segala bentuk bantuan
selama ini, disampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Drs. Riyadi Santosa, M. Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa UNS Surakarta yang telah mengizinkan penelitian ini.
2. Drs. Supardjo, M. Hum. selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah yang telah
memeberikan izin unutk penelitian ini.
3. Drs. Y. Suwanto, M. Hum. selaku pembimbing akademik terima kasih
karena telah banyak membantu penulis dalam bidang akademik selaku
juga yang turut membantu mendewasakan peneliti.
4. Dra. Sundari, M. Hum. Selaku Pembibing I yang dengan baik memberikan
bimbingan dan masukan-masukan yang membangun dalam pembuatan
skripsi ini.
5. Siti Muslifah, S.S, M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah memberikan
arahan dan motivasi.
6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah berkenan
memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepala dan staf perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa maupun
perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
banyak membantu penulis memberikan kemudahan dalam pelayanan pada
penyelesaian skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
8. Semua warga Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar yang telah memberi kemudahan dalam penelitian
ini.
9. Adik-adikku tercinta yang telah memberiku dukungan, doa, pengorbanan,
kasih sayang, perhatian, serta sebuah kepercayaan sehingga penulis dapat
menempuh kuliah sampai akhir.
10. Sahabatku Tri Wistiyanto yang telah setia menemaniku ke tempat
penelitian untuk wawancara dan observasi. Sahabatku Reni yang
mendukungku dan juga meminjamkan buku-bukunya padaku.
11. Dinas Pariwisata Kabupaten Karanganyar, terima kasih terhadap segala
bantuannya.
12. Rekan-rekan Mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2007. Terima kasih atas
kebersamaan, kebahagiaan dan kasih sayang yang terjalin.
13. Semua pihak yang tidak disebutkan satu per satu, terima kasih atas semua
bantuan, doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih dirasa
jauh dari sempurna, meski telah diusahakan semaksimal mungkin. Untuk itu,
masukan serta saran yang membangun sangat diharapkan demi
penyempurnaan skripsi ini. Akhirmya penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Surakarta, Desember 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ....................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vi
KATA PENGANTAR....................................................................................... vii
DAFTAR ISI...................................................................................................... ix
ABSTRAK ......................................................................................................... xii
SARI PATHI...................................................................................................... xiv
ABSTRACT....................................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 10
E. Sistematika Penelitian ...................................................................... 11
BAB II. LANDASAN TEORI ......................................................................... 12
A. Pengertian Folklor ............................................................................ 12
B. Bentuk Folklor .................................................................................. 13
C. Pengertian Cerita Rakyat .................................................................. 16
D. Fungsi Cerita Rakyat ........................................................................ 17
E. Ciri Pengenal Folklor ........................................................................ 17
F. Pengertian Mitos................................................................................ 19
G. Pengertian Upacara Tradisional ....................................................... 20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 21
A. Lokasi Penelitian ............................................................................. 21
B. Jenis dan Bentuk Penelitian............................................................. 21
C. Sumber Data dan Data ..................................................................... 22
D. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 23
E. Teknik Analisis Data........................................................................ 25
BAB IV. PEMBAHASAN................................................................................ 27
A. Profil Masyarakat Desa Berjo ........................................................ 27
1. Karakteristik Masyarakat ........................................................... 27
2. Agama dan Kepercayaan ............................................................ 32
3. Tradisi Masyarakat . ................................................................... 35
B. Profil Telaga Madirda.................................................................. . 44
C. Bentuk dan Isi Cerita Rakyat Telaga Madirda ............................... 46
1. Bentuk Cerita Rakyat Telaga Madirda ...................................... 46
2. Deskripsi Cerita Rakyat Telaga Madirda .................................. 48
a. Versi masyarakat................................................................... 49
b. Versi wayang. .......................................................................... 49
3. Tradisi yang Terkait dengan Keberadaan Cerita Rakyat
Telaga Madirda ......................................................................... 59
a. Nyadran .................................................................................... 60
b. Bersih Dusun ........................................................................... 68
c. Padusan .................................................................................... 71
D. Unsur-Unsur Mitos dan Fungsi Sosial serta dampak Sosial
Ekonomi Cerita terhadap Masyarakat Pendukung...................... 73
1. Unsur-Unsur Mitos ..................................................................... 73
2. Fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda ...................................... 81
E. Tanggapan dan Penghayatan Masyarakat Pendukung Cerita
Rakyat Telaga Madirda ................................................................. 92
1. Berdasarkan Kelompok Usia .................................................... 96
2. Berdasarkan Kelompok Profesi ................................................. 98
BAB V. PENUTUP ........................................................................................... 101
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
A. Simpulan......................................................................................... 101
B. Saran ............................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 105
LAMPIRAN....................................................................................................... 107
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
ABSTRAK MUCHAROM. C0107033. 2011. Cerita Rakyat Telaga Madirda Di Dusun Tlogo Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah (Sebuah Tinjauan Folklor). Skripsi Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar Belakang yang mendasari dilakukan penelitian ini ialah bahwa Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan salah satu folklor yang berada dalam masyarakat yang masih kental dengan tradisi maupun adat-istiadat yang dipercayai oleh masyarakat pendukungnya sebagai sesuatu yang benar dari nenek moyangnya. Cerita Rakyat Telaga Madirda ini juga merupakan aset kebudayaan sehingga penelitian ini merupakan salah satu langkah dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah dengan cara mendokumentasikannya.
Rumusan Masalah Penelitian ini, adalah (1) Bagaimanakah profil masyarakat pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda dan profil Telaga Madirda, (2) Bagaimanakah bentuk dan isi Cerita Rakyat Telaga Madirda, serta tradisi budaya yang terkait dengan keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda, (3)Bagaimanakah unsur-unsur mitos dan fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda, (4) Bagaimanakah tanggapan dan penghayatan masyarakat pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan profil masyarakat pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda dan profil Telaga Madirda, (2) Mendeskripsikan bentuk dan isi Cerita Rakyat Telaga Madirda, serta tradisi budaya yang terkait dengan keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda, (3) Mendeskripsikan unsur-unsur mitos dan fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda, (4) Mendeskripsikan tanggapan dan penghayatan masyarakat pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda.
Manfaat penelitian yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan mengungkap aspek-aspek kekuatan nilai budaya Jawa sebuah cerita lisan, menambah khasanah penelitian cerita lisan nusantara dan dapat memperbanyak wawasan pengetahuan cerita lisan. Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan pemasukan daerah terkait dengan keberadaan cagar budaya di Kabupaten Karanganyar, dan untuk pengembangan pariwisata Kabupaten Karanganyar. Penelitian Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan jenis penelitian folklor dengan bentuk penelitian Deskriptif Kualitatif. Sumber Data berasal dari informan yaitu penjaga makam (juru kunci), tokoh-tokoh masyarakat atau masyarakat yang mengetahui Cerita Rakyat Telaga Madirda, hal ini bermanfaat untuk mengetahui segala informasi tentang keberadaan cerita. Sumber Data yang lain berasal dari buku-buku, rekaman, foto-foto, peta wilayah, serta referensi yang relevan dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah observasi langsung, wawancara dan (Content Analysis) analisis isi. Teknik analisis data mengunakan tahap-tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Hasil penelitian ini adalah, (1) profil masyarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar sebagai pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda ditinjau dari segi geografis, demografis,sosial budaya, agama dan kepercayaan, tradisi masyarakat (2) Bentuk dari Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan cerita prosa rakyat yang berbentuk Legenda, dibuktikan adanya tempat yang berkaitan dengan cerita seperti keberadaan Telaga Madirda. Tradisi budaya yang terkait dengan keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda yaitu Nyadran, Besih Dusun, dan Padusan (3) Unsur-unsur mitos Cerita Rakyat Telaga Madirda yaitu; a) Cara pengambilan air, b) cara membawa air, c) proses permohonan setelah dikabulkan, d) larangan mencicipi makanan apabila memasak buat kenduri yang hubungannya untuk upacara Nyadran Telaga Madirda e) larangan tidak boleh memasak bagi ibu-ibu harus dengan keadaan suci f) Juru Kunci yang bisa memiliki bunga Kanthil, Cerita Rakyat Telaga Madirda mempunyai fungsi yaitu; a) sebagai sarana sistem proyeksi, yaitu alat pencerminan angan-angan kelompok tertentu (suatu kolektif), b) sebagai alat pendidikan, c) sebagai pengawas norma-norma masyarakat yang harus dipatuhi kolektifnya, d) sebagai sarana hiburan. Dampak sosial ekonomi yang timbul pada masyrakat sekitar dengan adanya Telaga Madirda yang paling menonjol adalah menambah pendapatan masyarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo (4) Penghayatan masyarakat dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso masih banyak yang mengakui keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda lengkap dengan peninggalannya yang berupa telaga. Tradisi mempersembahkan sesaji diselenggarakan dengan wujud Nyadran oleh masyarkat Dusun Tlogo, Desa Berjo setiap tanggal 15 Ruwah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
SARI PATHI MUCHAROM. C0107033. 2011. Cerita Rakyat Telaga Madirda Di Dusun Tlogo Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah (Sebuah Tinjauan Folklor). Skripsi Jurusan Sastra Dhaerah Fakultas Sastra lan Seni Rupa Pawiyatan Luhur Sebelas Maret Surakarta Hadiningrat.
Prêkawis ingkang andhasari panalitèn punika bilih cariyos Telaga Madirda mujudakên salah satunggaling folklor ingkang dumunung wontên masarakat. Cariyos punika taksih ngêmot tradhisi lan adat-istiadat ingkang dipunpitados déning masarakat minangka ingkang nyata saking para lêluhuripun. Cariyos Telaga Madirda punika ugi minangka asèt kabudayan dados panilitèn punika minangka salah satunggalipun cara anggènipun nglêstantunakên kabudayan dhaèrah kanthi cara damêl dokumèntasipun.
Prêkawis panalitèn punika inggih punika 1) Kados pundi gêgambaran masarakat panyêngkuyung Cariyos Telaga Madirda lan Kados pundi gêgambaran Telaga Madirda? 2) Kados pundi wujud lan isi cariyos, saha tradhisi budaya ingkang wontên gêgayutan kaliyan wontènipun Cariyos Telaga Madirda? 3) Kados pundi babagan mitos saha mupangatipun Cariyos Telaga Madirda? 4) Kados pundi tanggêpan masarakat panyêngkuyung saha hangrêsêpi Cariyos Telaga Madirda?
Panalitèn punika kanggè 1) Gambarakên Telaga Madirda lan masarakat panyêngkuyung Cariyos Telaga Madirda 2) Gambarakên wujud lan isi cariyos, saha tradhisi budaya ingkang wontên gêgayutan kaliyan wontênipun Cariyos Telaga Madirda (3 Gambarakên babagan mitos saha mupangatipun Cariyos Telaga Madirda? (4 Gambarakên tanggêpan masarakat panyêngkuyung saha hangrêsêpi Cariyos Telaga Madirda.
Mupangating panalitèn inggih punika mupangat téorètis saha mupangat praktis. Kanthi cara téorètis asil panalitèn kaajab sagêd ngandharakên aspèk-aspèk kêkiatan Budaya Jawi minangka salah satunggaling cariyos lisan, anambahi khasanah panalitèn cariyos lisan nuswantara saha sagêd anambahi pangêrtosan cariyos lisan. Wondènè kanthi cara praktis asil panalitèn punika sagêd nyaosi mupangat kanggè bahan têtimbangan dhaèrah gêgayutan kaliyan kawontênan cagar budaya ing Kabupatèn Karanganyar saha kanggê ngrêmbakakakên pariwisata Kabupatèn Karanganyar.
Panalitèn Cariyos Telaga Madirda panalitèn folklor kanthi wujud panalitèn dèskriptif kualitatif. Asaling sumbêr data saking informan inggih punika juru kunci, tokoh masarakat utawi masarakat ingkang mangêrtosi Cariyos Telaha Madirda, babagan punika mupangati kanggé mangértosi sedaya informasi magêpokan kawotênan cariyos. Asal sumber data sanèsipun saking buku, rêkaman, foto, peta wilayah, saha rèfêrènsi ingkang jumbuh kalihan panalitèn punika. Teknik pangêmpalan data ingkang dipun ginakakên inggih punika obsêrvasi langsung, wawancara saha analisis isi. Teknik analisis data ginakakên kanthi urutan pangêmpalan data, reduksi data, penyajian data, saha dhudhutan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Asil panalitèn punika, (1 gêgambaran Telaga Madirda lan masarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar minangka panyêngkuyung Cariyos Telaga Madirda dipun pirsani saking babagan geografis, demografis, sosial budaya, agami lan kapitadosanipun, tradhisi masarakat. (2 Wujud saking cariyos punika, cariyos prosa rakyat ingkang awujud legênda ingkang sagêd dipun buktèkakên kanthi wontênipun panggênan ingkang gêgayutan kaliyan Cariyos Telaga, tradhisi budaya ingkang gêgayutan inggih punika: Nyadran, Bersih Dusun lan Padusan. (3) Unsuripun mitos Cariyos Telaga Madirda inggih punika: a) cara pamdhêting toya, b) cara mbêta toya, c) cara panyuwunan bѐrkah sasampunipun dikabulakên, d) awisan ngicipi dêdhahran menawi mangsak kgem kenduri ingkang wontên gêgayutan tata upacara Nyadran Telaga Madirda, e) awisan mboten keparêng mangsak kagêm para ibu, kѐdhah kanthi kawontênan ingkang suci, f) Juru Kunci ingkang saged anggadahi sekar Kanthil, Cariyos Tekaga Madirda anggadahi paѐdah inggih punika; a) minangka sistem proyeksi, inggih punika gêgambaran angaen-angen kelompok tartamtu, b) minangka sarana pendidikan, c) minangka pangandali norma-norma masarakat ingkang kêdah dipun lampahi, d) minangka sarana panglipur. Pangaruhing éwah-éwahan sosial ekonomi masarakat kanthi kawontênan Telaga Madirda ingkang paling katingal inggih punika tambahing rejeki masarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo. (4) Pangrosipun masarakat sagêd dipuntarik dhudhutan mênawi masarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo taksih ngakѐni kawontênan Cariyos Telaga Madirda ingkang arupi telaga. Tradhisi nyaosi sêsaji dipunwontênaken kanthi wujud Nyadran Dusun Tlogo, Desa Berjo sabѐn tanggal 15 Ruwah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
ABSTRACT MUCHAROM. C0107033. 2011. Folklore Telaga Madirda in Ngargoyoso Subdistrict of Karanganyar Regency, Central Java Province (A Folklore Study). Thesis of Local Literature Department of Faculty of Letters and Fine Arts of Surakarta Sebelas Maret University.
Background underlying this research is that the folklore Telaga Madirda is a folklore existing in the society with strong tradition and customs believed by the proponent society as something true from their ancestor. The folklore Telaga Madirda is also a cultural asset so this research is a measure in the attempt of preserving the local culture by means of documenting it.
The problem statements of research are (1) how public profile support folklore Telaga Madirda and profile Lake Madirda, (2) how to shape the content of the story folklore Telaga Madirda, (3) how the elements of myth and function, as well as socio-economic impacts on community support tradition related to the folklore Telaga Madirda, and (4) how is the power response and appreciation of cummunity support folklore Telaga Madirda.
This research aims (1) profile describes the community support folklore Telaga Madirda and Lake Madirda (2) describe the rorm and content of the story folklore Telaga Madirda (3) describe the the elements of myth and function, as well as socio-economic impacts on community support tradition related to the folklore Telaga Madirda, and (4) describe the power response and appreciation of cummunity support folklore Telaga Madirda.
The benefit of research includes theoretical and practical benefits. Theoretically, the result of research is expected can reveal the power aspect of Javanese cultural values in spoken story, increase the treasure of research on archipelago spoken story and increase the knowledge insight on spoken story. Meanwhile, practically the result of as the local input consideration related to the existence of cultural pledge in Karanganyar Regency, and for tourism development of Karanganyar Regency.
The research on folklore Telaga Madirda is a descriptive qualitative study. The data source derived from informant, the burial plot guard (juru kunci), society leaders or the society knowledgeable about the folklore Telaga Madirda; it is beneficial to find out any information about the existence of story. Other data source derived from books, recordings, photographs, area map, as well as the references relevant to this research. Techniques of collecting data used by the research were direct observation, interview, and content analysis. Technique of analyzing data included the following stages: data collection, data reduction, data display and conclusion drawing.
The result of research shows that (1) community profile Tlogo Hamlet and Lake Madirda in the Village Berjo, District Ngargoyoso, Karanganyar Regency as a supporter of Folklore Telaga Madirda terms of geographic, demographic, social, cultural, religions (2) Forms of Folklore Madirda Lake is a prose story in the form
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
of folk legend, proved the existence of places associated with stories such as the existence of Lake Madirda. Cultural traditions associated with the presence of Folklore Nyadran Lake Madirda ie, Bersih Dusun, and Padusan (3) Mythical elements Folklore Lake Madirda namely: a) How to capture water, b) how to bring water, c) the account after the petition is granted, d) prohibition to taste the food when cooking for a feast whose relationship to the ceremony Nyadran Lake Madirda e) prohibition should not be cooking for mothers should be with the state of purity f) Interpreter Lock which can have flowers Kanthil. Folklore Madirda Lake has a function, namely: a) as a means of projection system, which is a reflection of wishful thinking tools specific group (a collective), as an educational tool, as a supervisor societal norms that must be adhered to collective. Socioeconomic impacts that arise in the community about the existence of Lake Madirda the most prominent is the increase incomes Tlogo Hamlet, Village Berjo d) as a means of entertainment (4) Appreciation society can be concluded that the community Tlogo Hamlet, Village Berjo, District Ngargoyoso, Karanganyar Regency complete with relics of a lake. Tradition of offering offerings being held with the community Nyadran Tlogo Hamlet, Village Berjo every 15 Ruwah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil kreativitas manusia, baik yang tertuang
secara tertulis maupun secara lisan yang mencerminkan keadaan masyarakat
pemiliknya. Hasil sastra dalam bentuk lisan banyak ditemukan di daerah-daerah di
Indonesia. Sastra lisan merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun secara
lisan sebagai milik bersama. Sastra lisan sebagai karya seni merupakan karya
yang menggunakan bahasa lisan, diungkapkan dan disebarkan dari mulut ke mulut
berisikan pesan, makna kehidupan, dan nilai-nilai yang luhur. Cerita rakyat
merupakan karya sastra yang secara langsung menjadi milik rakyat, diturunkan
sejak jaman nenek moyang dengan menggunakan tradisi lisan. Meskipun hanya
sekadar sastra lisan, namun cerita rakyat justru merupakan suatu karya sastra yang
menjadi panutan dan cerminan nilai-nilai tradisi kehidupan nyata dari masyarakat
pecinta dan penikmat karya sastra.
Bahan kajian sastra lisan amat kaya, yang paling penting dalam penelitian
sastra lisan adalah upaya untuk menyelamatkan sastra lisan ke dalam bentuk
tulisan agar dapat dijadikan dokumen dan peninggalan sejarah. Cerita rakyat
sebagai sastra lisan mempunyai banyak fungsi dan sangat menarik serta penting
untuk diselidiki. Cerita Rakyat Telaga Madirda juga perlu dilestarikan sehingga
keberadaannya dapat dirasakan oleh masyarakat pendukungnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Cerita rakyat sering berkembang dan hidup pada masyarakat pedesaan.
Cerita rakyat yang muncul pada masyarakat pedesaan karena cerita rakyat yang
ada masih dipercaya oleh masyarakat pendukungnya. Salah satu dari beberapa
contoh cerita rakyat yang ada di Indonesia yang sampai saat ini masih dipercaya
dan berpengaruh terhadap masyarakat pendukungnya adalah Cerita Rakyat Telaga
Madirda.
Cerita Rakyat Telaga Madirda dituturkan secara lisan dan masih
terpelihara dengan baik di tengah-tengah masyarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso. Cerita Rakyat Telaga Madirda digolongkan sebagai
cerita lisan folklor. Folklor merupakan sebagian dari kebudayaan suatu kolektif
yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa
saja secera tradisional dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan
maupun disertai contoh dengan gerak isyarat atau alat bantu (James Dananjaja
1994: 2).
Cerita lisan lahir dari masyarakat tradisional yang masih memegang teguh
tradisi lisannya. Cerita rakyat merupakan manifestasi manusia yang hidup dalam
kolektivitas masyarakat yang memilikinya, dan diwariskan secara turun temurun
secara lisan dari generasi ke generasi. Cerita Rakyat Telaga Madirda digolongkan
sebagai cerita rakyat karena adanya peninggalan berupa telaga dan memiliki
cerita yang dipercayai keberadaannya. Cerita rakyat biasanya orientasi
penyebarannya terbatas pada daerah tertentu dan merupakan muatan lokal yang
menyatu sekaligus sebagai kebanggan daerah yang bersangkutan. Tokoh-tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dalam cerita dianggap merupakan orang yang bersifat dewa atau didewakan atau
kultus cerita pada tokoh atau masyarakat pendukungnya.
Cerita Rakyat Telaga Madirda sangat terkenal di kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Terutama cerita tentang Sugriwa, Subali
dan Anjani yang merupakan tokoh utama Cerita Rakyat Telaga Madirda. Tokoh-
tokoh tersebut oleh masyarakat dianggap sakti karena tokoh-tokoh itu yang
menyebakan adanya Telaga Madirda.
Nama Madirda pada Telaga Madirda berasal dari cerita tentang Sugriwa,
Subali dan Anjani. Pada suatu hari Sugriwa dan Subali melihat kakaknya yang
bernama Dewi Anjani bermain dengan cupu, yaitu bemda ajaib dapat melihat
keindahan jagad raya. Sugriwa dan Subali ingin memiliki cupu seperti yang
dimiliki kakaknya. Mereka berdua merasa iri kepada ayahnya, Resi Gotama
karena hanya Dewi Anjani yang diberi cupu.
Resi Gotama memanggil Dewi Anjani karena tidak merasa memberi
apapun kepada Dewi Anjani. Ternyata cupu itu adalah cupu Manik Astagina yang
hanya dimiliki Dewa Matahari atau Bathara Surya. Resi Gotama menemui istrinya
yang bernama Dewi Windardi untuk menanyakan perihal cupu tersebut. Dewi
Windardi hanya diam, dan Resi Gotama tahu bahwa istrinya telah berselingkuh
dengan Dewa Matahari. Dewi Windardi hanya dapat menangis dan menyesal,
tetapi karena marahnya, Resi Gotama mengutuknya menjadi batu.
Cupu yang menjadi rebutan antara Sugriwa, Subali dan Anjani tadi
akhirnya dibuang oleh Resi Gotama. Cupu itu terbuang jauh dan terpisah antara
badan cupu dan tutupnya. Tutup cupu jatuh dan menjadi telaga Madirda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Telaga Madirda konon dipercaya sebagai tempat yang memiliki berkah
dan sering digunakan orang sebagai tempat untuk berdo’a kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Telaga Madirda biasanya ramai dikunjungi orang pada malam Selasa
Kliwon dan Jum’at Kliwon. Mereka yang datang untuk laku biasanya
menyempatakan Ngalap Berkah di telaga tersebut. Kegiatan Ngalap Berkah
termasuk kegiatan batiniah yang bertujuan untuk mendapatkan ridho dari Tuhan.
Para pengunjung yang Ngalap Berkah berbeda-beda waktunya dalam melakukan
Ngalap Berkah, ada yang satu jam, satu hari sesuai dengan kepercayaan mereka.
Kebiasaan di Telaga Madirda, pengunjung sebelum melakukan ritual menyalakan
kemenyan. Kemenyan sebagai pengirim do’a kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena simbol keharuman kemenyan sangat disukai oleh Tuhan. Dengan suasana
hening dan sepi menjadikan do’a pelaku Ngalap Berkah khusyu’ dengan harapan
permohonan doa segera dapat dikabulkan.
Tradisi Nyadran di Telaga Madirda sudah berlangsung bertahun-tahun
juga dilakukan ketika menjelang bulan puasa. Selain tradisi Ngalap Berkah
terdapat juga tradisi Nyadran yang merupakan upacara ritual atas rasa syukur
yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan.
Kebudayaan adalah warisan sosial yang hanya dimiliki oleh warga masyarakat
pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau mekanisme
tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya mempelajari
kebudayaan yang di dalamnya terkandung norma-norma serta nilai-nilai
kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyrakat yang bersangkutan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
mematuhi norma-norma serta menjujung tinggi nilai-nilai penting bagi
masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat (Purwadi 2005:1).
Masyarakat sebagai pelaku dan pelaksana upacara Nyadran selalu
membuat ubarampe (perlengkapan), yaitu sesajen. Sesajen berupa hasil pertanian
diantaranya padi dan umbi-umbian.
Kebiasaan warga sekitar Telaga Madirda yang ada di Dusun Tlogo, Desa
Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar sangat sadar akan
kesemestaan yang melahirkan kesadaran terhadap lingkugan hidup (ekosistem).
Masyarakat Jawa masih menjujung tinggi mistik tidak pernah lepas dalam hal
menjaga kesakralan dan kekeramatan suatu tempat. Percaya akan penunggu atau
dhanyang-dhanyang menjadikan masyarakat selalu menghargai dan menjaga
segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Kepercayaan terhadap dhanyang-dhanyang
desa maupun pepunden desa masih sangat kental di daerah pedesaan yang
mayoritas penduduknya memeluk Islam Kejawen atau biasa disebut dengan
agama Jawa.
Masyarakat Dusun Tlogo, desa Berjo masih ada yang memeluk agama
Islam Kejawen. Hal itu terbukti masyarakat Desa Berjo masih melakukan tradisi
ritual yang selama ini masih berjalan dan turun temurun. Kepercayaan animisme
dan dinamisme yang telah mengakar dalam pemikiran masyarakat Berjo
khususnya pemeluk agama Islam Kejawen. Sebenarnya percaya akan hal-hal yang
gaib dan kekuatan keramat suatu tempat bertujuan untuk menjaga keselamatan
dan ketentraman diri serta alam tempat tinggal masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Cerita rakyat menyebabkan mitos yang ada dalam cerita tersebut
mendapatkan tempat di hati masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa mitos
yang mereka yakini tersebut memang benar-benar terjadi dan itu memang sesuatu
yang sangat wingit dan sakral. Mitos bisa menjadi pedoman hidup dan tingkah
laku suatu komunitas masyarakat tertentu, menyebabkan masyarakat percaya akan
kekuatan mitos yang mereka yakini. Di era modern seperti sekarang ini, masih
seringkali ditemukan mitos-mitos yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Mitos sering dijumpai pada komunitas masyarakat yang tinggal dan berdomisili
pada suatu daerah tertentu. Karena banyaknya unsur lapisan masyarakat yang
masih mempercayai akan adanya mitos yang mereka sakralkan dan mereka anut,
maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi suatu perbedaan pandangan dan
kepercayaan terhadap mitos yang mereka percayai. Perbedaan pandangan itu
mungkin terletak pada jalan cerita mitos ataupun kekuatan mistik yang ada pada
mitos tersebut. Munculnya perbedaan-perbedaan pandangan yang ada, maka besar
kemungkinan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain akan
memiliki pandangan dan kepercayaan yang berbeda terhadap mitos..
Cerita rakyat yang diwariskan secara lisan dan turun-temurun banyak
dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.Diantaranya adalah Cerita Rakyat
Telaga Madirda di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar.
Alasan umum yang melatarbelakangi diambilnya mitos Cerita Rakyat
Telaga Madirda di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar adalah sebagai berikut : (1) Cerita Rakyat Telaga Madirda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
merupakan aset kebudayaan di Dusun Tlogo Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso
Kabupaten Karanganyar pada khususnya dan kebudayaan Nasional pada
umumnya, sehingga penelitian ini merupakan salah satu langkah dalam rangka
melestarikan kebudayaan daerah; (2) Cerita Rakyat Telaga Madirda ini
mengandung ajaran moral yang berguna bagi masyarakat pendukungnya sehingga
perlu penguraian terhadap kedudukan Cerita Rakyat Telaga Madirda ini bagi
masyarakat pendukungnya; (3) Mitos yang terdapat dalam Cerita Rakyat Telaga
Madirda merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang perlu digali dan
dihayati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah profil masyarakat pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda
dan profil Telaga Madirda yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar?
2. Bagaimanakah bentuk dan isi Cerita Rakyat Telaga Madirda yang berada di
Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, serta tradisi
budaya yang terkait dengan keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda?
3. Bagaimanakah unsur-unsur mitos dan fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda
yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar?
4. Bagaimanakah tanggapan dan penghayatan masyarakat pendukung Cerita
Rakyat Telaga Madirda yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian tentang Cerita Rakyat Telaga Madirda adalah sebagai
berikut :
1. Mendeskripsikan profil masyarakat pendukung Cerita Rakyat Telaga Madirda
dan profil Telaga Madirda yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar.
2. Mendeskripsikan bentuk dan isi Cerita Rakyat Telaga Madirda yang berada di
Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, serta tradisi
budaya yang terkait dengan keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda.
3. Mendeskripsikan unsur-unsur mitos dan fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda
yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar.
4. Mendeskripsikan tanggapan dan penghayatan masyarakat pendukung Cerita
Rakyat Telaga Madirda yang berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian tentang Cerita Rakyat Telaga Madirda di Dusun
Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar adalah
sebagai berikut :
ini dapat dikelompokan menjadi dua yaitu:
1. Manfaat Teoretis
Diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Mengungkap aspek-aspek kekuatan nilai budaya Jawa pada sebuah
cerita lisan.
b. Menambah khasanah penelitian cerita lisan di nusantara dan dapat
memperbanyak wawasan pengetahuan cerita lisan.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk:
a. Bahan pertimbangan pemasukan daerah terkait dengan keberadaan
telaga, dan tradisi budaya yang berada di Kabupaten Karanganyar.
b. Untuk pengembangan pariwisata Kabupaten Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
E. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan ini teridiri atas lima bab. Kelima bab tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori. Bab ini berisi landasan teori pengertian foklor,
pengertian cerita rakyat, fungsi cerita rakyat meliputi nilai guna folklore, ciri-ciri
cerita rakyat, pengertian upacara tradisional, makna simbolik, dan pengertian
mitos.
Bab III Metode Penelitian. Bab ini berisi metode penelitian folklor,
lokasi penelitian, bentuk penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisis data.
Bab IV Pembahasan. Bab ini berisi profil masyarakat Dusun Tlogo, dan
profil Telaga di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar,
bentuk dan asal-usul Cerita Rakyat Telaga Madirda, fungsi mitos, makna, nilai
guna dan penghayatan masyarakat pendukung terhadap Cerita Rakyat Telaga
Madirda.
Bab V Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Pada akhir tulisan
disertakan daftar pustaka dan lampiran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori dalam suatu penelitian akan membantu penulis dalam
menganalisis permasalahan yang ada. Mengingat hal tersebut maka dalam suatu
penelitian sebaiknya berpegang pada suatu paham atau teori tertentu, sehingga
arah dan tujuan penelitian akan lebih jelas dan mudah dikaji.
A. Pengertian Folklor
Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, kata
dasarnya folk dan lore (Danandjaja, 1997:2). Folk adalah sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu, antara lain,
dapat berwujud warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata yang
sama, bahasa yang sama, bentuk rambut yang sama, dan lain-lain.
Danandjaja menyimpulkan bahwa folk adalah sinonim dengan kolektif
yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta
mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Lor adalah
tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun
secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
pembantu pengingat (1997: 2).
Folklor menurut Danandjaja, adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif
yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun. Diantara kolektif apa saja,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (1997: 2).
B. Bentuk Folklor
Folklor jika diperhatikan dari segi bentuknya ada dua, yaitu bentuk lisan
dan sebagian lisan (Danandjaja, 1997: 21-22). Bentuk folklor lisan antara lain:
1. Bahasa rakyat, yakni bentuk folklor Indonesia yang termasuk dalam kelompok
bahasa rakyat, adalah logat atau dialek bahasa-bahasa Nusantara.
2. Ungkapan tradisional adalah peribahasa (peribahasa yang sesungguhnya,
peribahasa tidak lengkap kalimatnya, peribahasa perumpamaan) dan ungkapan
(ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa).
3. Pertanyaan tradisional yakni yang lebih dikenal sebagai teka-teki merupakan
pertanyaan yang bersifat tradisonal dan mempunyai jawaban yang tradisional
pula.
4. Sajak dan puisi rakyat yakni folklor lisan yang memiliki kekhususan,
kalimatnya tidak berbentuk bebas, tapi terikat. Sajak dan puisi rakyat
merupakan kesusastraan yang sudah tertentu bentuknya, baik dari segi jumlah
larik maupun persajakan yang mengakhiri setiap lariknya. Termasuk ke dalam
jenis ini adalah parikan, rarakitan, wawangian, dan lain-lain.
5. Cerita prosa rakyat, yakni jenis folklor yang paling banyak diteliti oleh para
peneliti/ ahli folklor. Cerita prosa rakyat dapat dibagi menjadi tiga golongan
besar, yaitu: (1) mite (myth), (2) legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
6. Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri atas
kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif
tertentu, berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian.
Bentuk folklor yang sebagian lisan terdiri atas dua macam, yaitu (1)
kepercayaan rakyat, yang seringkali juga disebut takhayul adalah kepercayaan
yang oleh orang berpendidikan Barat dianggap sederhana, tidak berdasarkan
logika, sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
(Danandjaja, 1997: 153); dan (2) permainan rakyat dianggap tergolong ke dalam
folklor karena memperolehnya melalui warisan lisan, terutama berlaku pada
permainan rakyat kanak-kanak karena permainan ini disebarkan hampir murni
melalui tradisi lisan dan banyak di antaranya disebarluaskan tanpa bantuan orang
dewasa, seperti orang tua mereka atau guru sekolah mereka (Danandjaja, 1997:
171).
Pendekatan folklor terdiri atas tiga tahap, yaitu pengumpulan,
pengulangan, dan penganalisisan. James Danandjaja (Danandjaja, 1997: 181).
berpendapat, ada tiga tahap yang harus dilakukan oleh seorang peneliti di objek
penelitian.
1. Tahap Pra Penelitian di Tempat
Sebelum memulai penelitian, yaitu terjun ke tempat atau daerah, penelitian
hendak melakukan penelitian suatu bentuk folklor, harus mengadakan
persiapan matang, jika hal ini tidak dilakukan maka usaha penelitian akan
mengalami banyak hambatan yang seharusnya tidak akan terjadi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
2. Tahap Penelitian di Tempat Sesungguhnya
Tahap ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan
informan, maka sebagai peneliti harus jujur, rendah hati, dan tidak bersikap
menggurui. Sikap yang demikian akan membuat informan dengan cepat
menerima dan memberikan semua keterangan yang diperlukan. Sedangkan cara
yang dapat dipergunakan untuk memperoleh semua bahan folklor di tempat
adalah melalui wawancara dengan informan dan melakukan pengamatan.
3. Cara Pembuatan Naskah Folklor bagi Kearsipan
Pada setiap naskah koleksi folklor harus mengandung tiga macam bahan yaitu:
a. Teks bentuk folklor yang dikumpulkan,
b. Konteks teks yang bersangkutan,
c. Pendekatan dan penilaian informasi maupun pengumpulan folklor.
(James Danandjaja, 1997: 193).
Jadi kesimpulannya folklor adalah sebagian kebudayaan yang diwariskan
secara turun-temurun dan jika folklor itu belum diakui atau dipercaya oleh
masyarakat, maka bukan termasuk cerita rakyat. Masyarakat di Desa Berjo
sebagai pemilik cerita termasuk masih melaksanakan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat yang timbul karena adanya cerita tersebut.
C. Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat adalah bentuk penuturan cerita yang pada dasarnya tersebar
secara lisan, diwariskan secara turun-temurun di kalangan masyarakat
pendukungnya secara tradisional. Cerita rakyat yang di dalam bahasa Inggris
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
disebut dengan istilah folkate adalah sangat inklusif. Secara singkat dikatakan
bahwa setiap jenis cerita yang hidup di kalangan masyarakat, yang ditularkan dari
mulut ke mulut adalah cerita rakyat. Cerita rakyat meliputi mite, legenda dan
dongeng (Supanto, 1982: 48)
Cerita prosa rakyat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu :
a. Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh yang empunya cerita, mite ditokohi oleh para dewa atau
makhluk setengah dewa, peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang
bukan seperti dikenal sekarang dan terjadi pada masa lalu.
b. Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh
yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat.
c. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan
mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.
Berlainan dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia, walaupun ada kalanya
mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali juga dibantu makluk-makluk
ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang dikenal kini, karena
waktu terjadi belum terlalu lampau (Bascom, 1965b: 3-20). Legenda dapat
digolongkan ke dalam empat kelompok, seperti dikemukakan Jan Harold
Brunvand (dalam Danandjaja, 1997: 67), yaitu (1) legenda keagamaan
(religious legends), (2) legenda alam gaib (supernatural legends), (3) legenda
perseorangan (personal legends) dan (4) legenda setempat (local legends).
Dapat disimpulkan cerita rakyat adalah cerita yang sebagai bagian dari
folklor mengandung survival dan disebarkan secara lisan, secara turun temurun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dari mulut ke mulut disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu cukup
lama. Cerita rakyat berfungsi sebagai media pendidikan, pengajaran dan sekaligus
sebagai pelipur lara
D. Fungsi Cerita Rakyat
Menurut Wiliam R. Bascom dalam James Danandjaja,1994: 19), fungsi
cerita rakyat sebagai folklor adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sistem proyeksi (projective system) yakni sebagai alat pencerminan
angan-angan suatu kolektif. Fungsi ini dapat diwujudkan salah satunya dengan
sarana pengukuhan tempat keramat.
2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata lembaga kebudayaan. Fungsi ini dapat
terwujud oleh adanya lembaga yang pada saat ini terus menggali dan
menyelamatkan kebudayaan yang hampir punah dengan bentuk cagar budaya
ataupun bentuk lainnya.
3. Sebagai alat pendidikan anak (pedagocical device).
4. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu
dipatuhi anggota kolektifnya.
E. Ciri Pengenal Folklor
Folklor memiliki sembilan ciri pengenal utama. Ciri pengenal folklor ini
dapat dijadikan pembeda folklor dari kebudayaan lainnya (Danandjaja, 1997: 3-
4). Kesembilan ciri pengenal itu sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan yakni
desebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh
yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu
generasi ke generasi berikutnya;
2. Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relative tetap (standar);
3. Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda
lantaran tersebar secara lisan dari mulut ke mulut;
4. Bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi;
5. Folklor biasanya memiliki bentuk berumus atau berpola memiliki formula
tertentu dan mamanfaatkan bentuk bahasa klise;
6. Folklor mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif (alat
pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang
terpendam);
7. Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum (ciri ini berlaku baik bagi folklor lisan maupun folklor
sebagian lisan);
8. Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, hal ini disebabkan oleh pencipta
pertama sudah tidak diketahui lagi;
9. Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan
kasar, terlalu spontan; hal demikian dapat dimengerti apabila mengingat
bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia-manusia yang
paling jujur manifestasinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Sejalan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai maka pembicaraan
secara teoritis tentang folklor berkisar sekitar cerita (prosa) rakyat meliputi mite,
legenda, dan dongeng.
F. Pengertian Mitos
Mite (myth) adalah cerita prosa rakyat dianggap benar-benar terjadii dan
suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk
setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain bukan yang kita kenal sekarang dan
terjadi pada masa lampau (James Danandjaja, 1994:50). Mitos juga merujuk pada
cerita dalam sebuah kebudayaan, mempunyai kebenaran mengenai perkara masa
dahulu. Mitos memiliki dogma yang dianggap suci dan mempunyai konotasi
upacara.
Mitos itu ada yang berasal dari Indonesia dan ada yang berasal dari luar
negeri. Mitos dari luar negeri pada umumnya telah mengalami pengolahan dan
perubahan lebih lanjut, sehingga tidak terasa asing lagi yang disebabkan oleh
proses adaptasi perubahan jaman. Masyarakat Jawa tidak hanya mengambil mitos
dari India melaikan telah mengadaptasi dewa-dewa India menjadi dewa Jawa.
Bahkan orang Jawa percaya kisah itu terjadi di Jawa. Mitos di Indonesia biasanya
menceritakan terjadinya alam semesta, terjadinya susunan para dewa, terjadinya
manusia pertama, dunia dewata, dan terjadinya makanan pokok.
Dapat disimpulkan mitos adalah cerita paling berharga karena suci dan
bermakna, sehingga mitos mampu memberikan arah dan pedoman tingkah laku
manusia sehingga mampu bersikap bijaksana karena manusia tidak bisa dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mitos begitu saja, meskipun kebenaran mitos belum menjamin dan dapat
dipertanggungjawabkan.
G. Upacara Tradisional
Upacara tradisional adalah kegiatan sosial yang melibatkan warga
masyarakat dalam usaha mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara
tradisional merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat
pendukungnya. Kelestarian hidup upacara tradisional dimungkinkan oleh
fungsinya bagi kehidupan, dapat mengalami kepunahan bila tidak memiliki fungsi
sama sekali (Supanto, 1992:5).
Upacara tradisional merupakan satu kesatuan dinamis yang bermakna
sebagai perwujudan nilai-nilai pada zamannya. Upacara tradisional mengandung
berbagai aturan yang wajib dipatuhi. Aturan itu tumbuh dan berkembang di dalam
kehidupan masyarakat secara turun-temurun. Dan peranan yang dalam
melestarikan ketertiban hidup masyarakat. Kepatuhan anggota masyarakat
terhadap aturan dalam bentuk upacara tradisional disertai keseganan atau
ketakutan mereka terhadap sanksi bersifat sakral magis. Dengan demikian upacara
tradisional itu dapat dianggap sebagai bentuk pranata sosial tidak tertulis, namun
wajib dikenal dan diketahui oleh setiap warga, untuk mengatur sikap tingkah laku
mereka agar tidak melanggar adat kebiasaan yang berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini yaitu di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Dipilihnya Dusun Tlogo tersebut sebagai
lokasi penelitian dikarenakan di dusun inilah terdapat telaga yang akhirnya
memunculkan cerita rakyat tersebut.
B. Jenis dan Bentuk Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian folklor dengan mengunakan tiga
macam tahap yaitu pengumpulan, penggolongan, dan penganalisaan. Bentuk
penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu data-data yang
dikumpulkan berwujud naturalistik. Artinya dalam pelaksanaan penelitian ini
terjadi secara ilmiah, apa adanya, dalam situasi normal tidak dimanipulasi
keadaan dan kondisinya, serta menekankan pada deskripsi ilmiah. Penelitian ini
menggunakan perspektif fenomenologis, berusaha memahami makna peristiwa
dan interaksi manusia dalam situasi tertentu (Atar Semi, 1990: 25-26).
Penelitian deskriptif kualitatif, adalah pengumpulan data berupa kata-kata,
gambar, dan bukan angka-angka. Data yang dimaksud untuk memberikan
gambaran penyajian laporan. Data berasal dari naskah wawancara, catatan
lapangan, foto, video, tape recorder, catatan dan memo, buku-buku penunjang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dan dokumen resmi lainnya, (Lexy J. Moleong, 2010: 11). Tujuan penelitian
deskriptif kualitatif adalah memperoleh gambaran atau deskripsi mengenai
kualitas dari objek kajian yang berbentuk cerita rakyat atau folklor.
Penelitian ini dilakukan secara langsung ke lapangan. Peneliti mendata,
memproses dan menganalisis data. Peneliti adalah kunci utama penelitian,
sehingga peneliti harus teliti agar bisa tercapai penelitian yang akurat dan
sempurna, data yang diperoleh sesuai dengan fakta yang berada di lapangan.
C. Sumber Data dan Data
1. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu orang atau
informan, tempat (Desa Berjo dan Telaga Madirda), dan peristiwa (Upacara
Nyadra, bersih dusun dan padusan). Orang yang diperkirakan mengetahui Cerita
Rakyat Telaga Madirda adalah juru kunci, masyarakat setempat, masyarakat
pendatang atau pengunjung serta tokoh-tokoh masyarakat. Alasan pemilihan
informan mengacu pada informan yang mengetahui Cerita Rakyat Telaga
Madirda. jarak tempat tinggal informan dengan Telaga Madirda, dan umur
informan + 14-55 tahun yang mengetahui tentang cerita Rakyat Telaga Madirda.
Selain itu tempat observasi dalam penelitian ini berada di Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian ini penulis melakukan
wawancara kepada:
1. Juru Kunci Makam, yaitu Mbah Wiro
2. Penduduk sekitar, antara lain; Sunardi, Sularmi, Sukarni dan Afnan Malik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3. Tokoh-tokoh masyarakat, yaitu Bambang Santosa selaku pegawai kelurahan.
4. Peziarah, antara lain; Hadi Purwoko, Agus Setiana, Slamet Darayanto dan
Farid.
Sumber data yang lain dalam penelitian ini adalah buku-buku dan foto-foto
yang terkait dengan Cerita Rakyat Telaga Madirda.
2. Data penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data dari hasil wawancara
yang berupa informasi dan kata-kata yang diucapkan oleh informan yaitu juru
kunci, penduduk sekitar (Sunardi, Sularmi, Sukarni dan Afnan Malik yang
diwawancara penulis), tokoh masyarakat (Bambang Santosa), dan peziarah (Hadi
Purwoko, Agus Setiana, Slamet Darayanto dan FaridData yang lain yaitu foto atau
gambar yang memberikan informasi tentang Cerita Rakyat Telaga Madirda berupa
gambar peninggalan-peninggalan dan tradisi masyarakat.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi Langsung (Tempat dan Peristiwa)
Penggunaan teknik observasi langsung dalam penelitian ini untuk
mendapatkan keterangan langsung mengenai Cerita Rakyat Telaga Madirda.
Untuk mengamati fenomena yang ada di luar untuk diungkapkan secara tepat.
pengamat menggunakan alat indra secara langsung dan alat bantu misalnya alat
perekam; kamera dan video. Hal ini fungsinya untuk memudahkan dalam
pengamatan karena dapat diputar kembali.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2. Wawancara
Wawancara adalah salah satu cara pengumpulan data dalam penelitian
kepada narasumber.
Bentuk wawancara untuk penelitian folklor ada dua macam yaitu
wawancara yang terarah dan wawancara tidak terarah. Wawancara terarah adalah
wawancara dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sudah tersusun
sebelumnya dalam bentuk suatu daftar tertulis. Sedangkan wawancara tidak
terarah adalah wawancara yang bersifat bebas, santai dan memberikan
kesempatan yang sebesar-besarnya kepada informan untuk memberikan
keterangan yang ditanyakan (James Dananjaya, 1991: 195). Alasan peneliti
menggunakan teknik penelitian berupa wawancara adalah akan mendapat hasil
yang memuaskan.
Pedoman wawancara yang peneliti gunakan adalah bentuk “Semi
Structured” dalam hal ini maka mula-mula interview menanyakan serentetan
pertanyaan yang sudah terstruktur, kemudian satu per satu diperdalam dengan
mengorek keterangan lebih lanjut (Depdikbud, 1995). Dengan demikian jawaban
yang diperoleh bisa meliputi semua variabel, dengan keterangan yang lengkap dan
mendalam mengenai Cerita Rakyat Telaga Madirda
Para informan yang diwawancarai berjumlah 7 orang dan dipilih
berdasarkan usia (antara 14-55 tahun), jenis kelamin (laki-laki dan perempuan).
Informan yang diperkirakan mengetahui Cerita Rakyat Tealaga Madirda, antara
lain : 1) Juru Kunci, 2) Tokoh Masyarakat, 3) Masyarakat Sekitar, 4) Masyarakat
Pendatang atau Peziarah, dan 5) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3. Content Analysis
Teknik Content Analysis merupakan metodologi penelitian yang
memanfaatkan prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku
atau dokumen (Lexy J. Moleong, 2010: 163). Melalui Content Analysis data yang
diperoleh secara cermat untuk dapat diambil kesimpulan mengenai data yang
dapat digunakan data penelitian ini serta hal-hal penting yang menjadi pokok
persoalan penelitian.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data bertujuan untuk mengurutkan data ke dalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moeleong,
2010: 280). Sedangkan menurut Milles dan Huberman (dalam HB. Sutopo,
1990:30) dengan mengunakan metode interaktif yaitu penelitian yang bergerak
diantara 3 komponen. Yang meliputi pengumpulan data, reduksi data, dan
penarikan kesimpulan. Wujud data merupakan suatu kesatuan siklus yang
menempatkan peneliti tetap bergerak di antara ketiga siklus.
Tahap-tahap yang digunakan dalam analisis data penelitian adalah sebagai
berikut:
Pertama-tama peneliti mengumpulkan data-data dari informan. Setelah
data didapat maka data cerita dibandingkan dan direkontruksi. Data yang
direkontruksi kemudian disusun agar menjadi sebuah cerita yang utuh dan relatif
lengkap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Dalam analisis bentuk cerita peneliti mengunakan teori folklor tentang
bentuk cerita prosa rakyat. Cerita yang sudah utuh yang didapat dari hasil
perbandingan cerita kemudian digolongkan ke dalam bentuk cerita prosa rakyat
yaitu legenda.
Analisis yang kedua peneliti mengumpulkan data-data dengan memotret
peninggalan-peninggalan yang terkait dengan cerita. Data yang telah didapat
kemudian ditelusuri tentang keterkaitan peninggalan dengan cerita. Keterangan
yang didapat kemudian dideskripsikan satu per satu.
Analisis yang ketiga peneliti mengumpulkan data-data dengan memotret
peristiwa-peristiwa upacara tradisi yang terkait dengan cerita. Data yang telah
didapat kemudian ditelusuri tentang keterkaitan upacara tradisi dengan cerita.
Keterangan yang didapat kemudian dideskripsikan satu per satu.
Analisis yang keempat peneliti mengumpulkan data-data dengan mencari
informasi kepada masyarakat. Informasi yang didapat mengenai tentang tradisi-
tradisi yang timbul karena adanya Cerita Rakyat Telaga Madirda. Tradisi-tradisi
tersebut kemudian diungkapkan satu per satu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Profil Masyrakat Desa Berjo
1. Karakteristik Masyarakat Desa Berjo
Desa Berjo adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar. Desa Berjo berada dilereng Gunung Lawu, karena letak
geografis desa ini berada dilereng pegunungan desa ini memiliki suasana yang
sejuk walaupun disiang hari yaitu dengan suhu rata-rata 30-36ºC. Desa dengan
luas wilyah 1.623.865 Ha ini jauh dari keramaian kota sehingga bisa dibilang
masyarakat Desa Berjo adalah masyarakat desa.
Masyarakat desa merupakan masyarakat dengan ciri, karakteristik dan jati
diri yang unik. Unik disini dimaksudkan adalah berbeda dengan masyarakat kota
atau masyarakat pinggiran kota. Hal inilah yang menjadi ciri khas tersendiri bagi
masyarakat desa. Keunikan, ciri khas dan jati diri inilah yang membuat desa
dikenal dan memiliki arti. Dengan memiliki keunikan maka masyarakat luar dapat
dengan mudah mengetahui dan memahami karakteristik dari penduduknya.
Kehidupan keseharian masyarakat Desa Berjo setelah selesai bekerja
biasanya bersantai dengan keluarga. Sering kali mereka juga berkumpul dengan
tetangga. Banyaknya waktu untuk bebincang dan berkumpul menjadikan suasana
yang terbangun adalah suasana kekeluargaan dengan penuh keakraban.
Berikut pemaparan dari hasil dan pengamatan mengenai karakteristik dari
masyrakat Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Pengamatan dan hasil kajian ini dilakukan secara langsung di lapangan selama
beberapa bulan dengan lebih dari 8 kali kunjungan ke Desa Berjo. Mengenai
karakteristik masyarakat Desa berjo secara umum diuraikan sebagai berikut
a. Sederhana
Sederhana mungkin kata itulah yang tepat untuk menggambarkan
kehidupan masyarakat Desa Berjo. Kesederhanaan masyarakat Desa Berjo sangat
terlihat dari kehidupan keseharian yang mereka jalani. Kesederhanaan yang
dilakukan oleh masyarakat desa disebabkan oleh dua hal yaitu:
1) Secara Ekonomi Memang Kurang Mampu.
Jika dilihat dari hasil pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat Desa
Berjo yang sebagian besar bekerja sebagai petani gurem dan buruh tani
sangat tidak mungkin untuk bersikap royal. Hal ini dikarenakan oleh
jumlah pendapatan yang diterima dari hasil kerja keras (bertani atau
menjadi buruh tani) tidak seimbang (lebih besar pengeluaran dibanding
pendapatan). Dengan melihat berapa besar pedapatan yang diperoleh maka
tidak mungkin masyarakat desa Berjo menyombongkan diri (bersikap
tidak sedehana)
2) Secara Budaya Memang Tidak Menyombongkan Diri.
Masyarakat desa merupakan masyarakat dengan karakteristik tidak suka
pamer dan selalu menjujung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Masyarakat
desa tidak ingin melukai perasaan tetangga dengan bersikap yang tidak
biasa (menyimpang dari tradisi). Mereka sadar ketika bersikap diluar dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
kebiasan maka mereka sendirilah yang akan merugi karena akan
mendapatkan sanksi sosial baik berupa gunjingan ataupun pengucilan dari
pergaulan bermasyarakat.
b. Menjujung Tinggi Kesopanan (Unggah-Ungguh)
Masyarakat Desa Berjo sangat menjujung tinggi nilai-nilai kesopanan. Hal
ini terbukti dari beberapa sikap dan perilaku yang ditunjukkan. Sikap dan perilaku
sopan terlihat apabila bertemu dengan orang yang lebih tua atau dituakan,
berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi dan keilmuaan
(tingkat pendidikan) , berhadapan atau bertemu dengan pejabat dan bertemu
dengan orang asing yang kelihatan berwibawa. Adanya sikap sopan tersebut
sangat terlihat dan kental dalam pergaulan antara masyarakat. Yang nuda
menghormati yang tua, yang kecil menghormati yang besar. Sikap semacam ini
menjadi kebiasaan dan budaya yang berkembang di masyarakat Desa Berjo.
c. Kekeluargaan (Guyub)
Sikap kekeluargaan sangat terlihat dari keseharian kehidupan mereka. Hal
ini terlihat ketika mereka saling bertemu, berinteraksi dan bermasyarakat. Mereka
akan saling menyapa, bercanda dan bergaul diantara anggota masyarakat. Rasa
kekeluargaan yang terjalin diantara mereka salah satunya disebabkan oleh adanya
hubungan darah yang masih kental diantara mereka. Masyarakat desa biasanya
masih memiliki hubungan yang cukup dekat dengan anggota masyarakat yang lain
karena pola yang terbangun adalah pola kekeluargaan (clan).
Pola kekeluargaan inilah yang menyebabkan masyarakat Desa Berjo dalam
bergaul sangat supel dan membumi. Masyarakat desa sebagaimana masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Desa Berjo biasanya dalam mencari jodoh hanya berkisar tetangga saja, sehingga
antar tetangga menjadi saudara dan hubungan ini menjadi meluas hingga
terbangunlah pola kekeluargaan (clan).
d. Tertutup Dalam Hal Keuangan
Biasanya masyarakat Desa Berjo akan menutup diri manakala ada orang
yang bertanya tentang sisi kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang
tersebut belum begitu dikenalnya. Misalnya, mahasiswa yang sedang melakukan
tugas penelitian akan sulit mendapatkan inforamasi pasti tentang pendapatan dan
pengeluaran mereka. Masalah pendapatan merupakan masalah yang dianggap
masih tabu atau terlalu sensitif untuk diutarakan kepada orang lain, apalagi
orang yang belum begitu dikenal. Hal ini dikarenakan adanya perasaan malu,
minder dan sikap tidak terbuka terhadap orang lain dari warga masyarakat desa.
Ketertutupan ini lebih disebabkan oleh mainset pemikiran mereka yang
menganggap masalah ini tidak pantas untuk diketahui oleh orang lain.
e. Selalu Mengingat Janji
Bagi masyarakat Desa Berjo, janji yang pernah diucapkan
seseorang/komunitas tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan
dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama
ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program
pengembangan dan pembangunan di desa mereka. Janji yang telah terucap
bagaikan suatu pegangan yang akan senantiasa dipegang, sehingga ketika mereka
sekali dibohongi maka mereka akan senantiasa mengingatnya dan akan terbawa
hingga tua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
f. Menghargai Orang Lain (Ngajeni)
Masyarakat desa Berjo benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain
yang pernah diterimanya sebagai “pathokan” untuk membalas budi. Balas budi ini
tidak selalu dalam wujud materiil tetapi juga dalam bentuk pengahargaan sosial
atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan istilah “ngajeni”. Penghargaan
sosial yang diterima berupa rasa menghargai tersebut sangat terlihat dari sikap dan
perilaku yang ditunjukkan ketika berhadapan dengan orang yang telah berjasa
terhadap dirinya. Orang yang telah diberi kebaikan maka apapun yang dikatakan
kepadanya dari orang yang telah membantunya akan dipatuhi selama tidak
merugikan dirinya dan juga orang lain.
g. Suka Gotong Royong
Salah satu ciri khas masyarakat Desa Berjo adalah gotong-royong.
Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan
“nyengkuyung” tau bahu membahu meringankan beban tetangganya yang sedang
punya gawe atau hajatan serta terkena musibah. Mereka tidak memperhitungkan
kerugian materiil yang dijeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip mereka:
“rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan
materi tetapi mendapat keuntungan yaitu bertambah saudara. Sikap semacam
inilah yang sampai saat ini masih dilestarikan dan dipertahankan olah masyarakat
Desa Berjo. Rela berkorban untuk tetangga dan saudara dalam masyarakat Desa
Berjo merupakan suatu keharusan jika memang tetangga atau saudara itu mampu
untuk membantu meringankan beban mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Sambatan adalah gotong royong yang dilakukan oleh para kaum laki-laki
baik tua maupun muda yang ada di Desa Berjo guna meringankan beban suatu
pekerjaan, biasanya sambatan dilakukan pada saat membangun rumah, ngijing
atau memasang batu nisan pada pemakaman. Ini dilakukan dengan bersama-sama
tanpa membedakan statusnya, semua berbaur menjadi satu. Dan juga diadakannya
pertemuan bapak-bapak setiap malam Minggu Wage yang bertempat di rumah RT
yang membahas cara atau rencana guna pembanguanan dusun agar dapat lebih
maju.
Rewang adalah berkumpulnya ibu-ibu untuk memasak makanan tempat
orang yang punya hajat atau keperluan yang membutuhkan bantuan dari orang
lain. Rewang dilakukan secara bersama-sama tanpa ada suatu ikatan apapun baik
saudara, agama, maupun pekerjaan. Hal itu dilakukan oleh ibu-ibu dengan senang
hati dan penuh kebersamaan. Biasanya dilakukan pada hajatan pernikahan,
sunatan atau khitanan, mitoni, mendhak. Semuanya bekerja sama tanpa dibayar
ataupun meminta upah, dengan tujuan agar pekerjaan yang dilakukan cepat selesai
sehingga dapat cepat kembali ke rumah dan mengurus keluarga.
2. Agama dan Kepercayaan Masyarakat Desa Berjo
Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian masyarakat Jawa khususnya
masyarakat Desa Berjo masih berpegang pada Kejawen, yang masih menghormati
kepercayaan asli yang tumbuh dalam masyarakat. Orang-orang pedesaan
khususnya masyarakat di Desa Berjo bersifat sangat religius. Sifat ini ditandai
dengan agama atau kepercayaan yang mereka anut sekarang. Pengakuan dan
keyakinan atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa tercermin dalam pemeluk agama di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Desa Berjo yaitu Islam, Kristen dan Katholik. Warga Desa Berjo sendiri ada yang
memeluk agama Islam Jawi (Abangan) dan agama Islam Santri.
Mayoritas penduduk di Desa Berjo memeluk agama Islam dan sebagian
kecilnya memeluk agama Kristen dan Katholik. Hal ini terbukti dengan adanya
sarana ibadah yang ada di Desa Berjo yaitu Masjid, Mushola, dan Gereja.
Kehiduapan beragama tetap terjalin dengan baik. Masing-masing pemeluk agama
tidak pernah terjadi perselisihan dan tidak saling mengganggu di dalam
melaksanakan peribadatan. Meskipun berlainan agama, akan tetapi meraka hidup
rukun secara berdampingan karena mereka memiliki toleransi beragama yang kuat
dan patut untuk dijadikan contoh. Penduduk di Desa Berjo yang beragama Islam
masih ikut serta melakukan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh sebagian
besar lapisan masyarakat. Kegiatan agama ini meliputi Tahlilan atau Wiridan dan
pengajian yang diselenggarakan oleh kelompok pria dan kelompok wanita.
Sedangkan upacara-upacara keagamaan atau ritual biasanya dilakukan bersama
dengan upacara tradisi leluhur, yaitu berupa Nyadran, Selametan (kenduren),
Bersih Desa, memberi sesaji untuk roh-roh penunggu atau ruh-ruh yang telah
meninggal.
Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat di Desa Berjo merupakan
masyarakat agraris, yaitu sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian
sebagai petani dimana masih mempengaruhi oleh kepercayaan asli berupa sistem
religi animisme, yang merupakan inti dari tradisi kebudayaan Jawa asli yang
dijelmakan dalam bentuk penyembahan roh nenek moyang. Sistem religi
animisme dan dinamisme ini telah mengakar dalam alam pikiran dan tradisi Suku
Bangsa Jawa khususnya masyarakat Desa Berjo. Para petani biasanya selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
mengadakan upacara ritual, seperti Selametan dan sesaji serta do’a yang dilakukan
dalam rangka memulai usaha seperti halnya menanam padi, menanam palawija,
dan lain-lain serta ketika akan panen. Mereka melakukan hal itu untuk menjaga
keseimbangan dengan alam sekitarnya. Di samping dilakukan Selamatan dengan
do’a secara Islam, juga dilakukan persembahan beruapa makanan atau sesaji
untuk ruh-ruh lain yang dianggap dapat membantu untuk terkabulnya doa mereka.
Orang Jawa khususnya masyarakat Desa Berjo masih melakukan tradisi dan
tindakan berdasarkan pada pandangan hidup atau filsafat hidup yang religius dan
mistik seperti dalam menjalankan upacara peribadatan. Sikap hidup orang Jawa
ini merupakan hasil gabungan antara pikiran Jawa Tradisional, kepercayaan
Hindu dan ajaran Tasawuf dalam Islam.
Masyarakat Desa Berjo percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa,
Rasul dan Nabi, tetapi mereka juga percaya akan adanya alam gaib/makhluk gaib.
Selaian itu mereka juga percaya pada kejadian aneh yang kadang muncul
disekitarnya yang tidak bisa dijangkau oleh alam pikiran manusia. Namun mereka
semua tidak memuja penghuni alam gaib. Kepercayaan, tradisi dan adat istiadat
yang diwariskan oleh nenek moyang masih merupakan hal yang paling utama di
dalam kehidupan mereka, sehingga tidak mengherankan apabila ada hari-hari
tertentu yang dianggap keramat, yaitu seperti malam Selasa Kliwon dan Jum’at
Kliwon. Pada malam-malam tersebut sering dijumpai orang-orang melakukan
Wiridan atau Tahlilan, Selamatan (Kenduren) dan penyediaan sesaji (sajen)
ditempat-tempat yang dianggap keramat, termasuk di Telaga Madirda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
3. Tradisi Masyarakat
Dilihat dari kaca mata sosial masyarakat Berjo memiliki beragam aktivitas
kemasyarakatan yang telah mengakar menjadi tradisi. Aktivitas tersebut ada yang
terkait dengan sosial keagamaan dan peringatan hari-hari besar. Upacara
memiliki fungsi penting bagi masyarakat, yaitu menumbuhkan solidaritas. Dengan
kegiatan itu warga masyrakat bertemu, berkumpul dan meningkatkan rasa
kebersamaan sehingga dapat membantu terbentuknya kesatuan sosial.
Orang Jawa berpendapat bahwa yang tidak tampak mata itu ada. Hal gaib,
ruh yang menguasai semua daya dan ruh yang berwatak baik dan buruk. Orang
Jawa terus bersandar kepada daya gaib, dengan cara memohon, memuji melalui
ritual tertentu. Niat dan tujuannya agar daya gaib yang paling berkuasa bisa
membantu manusia agar terhindar dari daya godaan ruh halus yang bersifat buruk.
Dan bisa hidup damai, berdampingan dengan daya ruh halus yang bersifat baik.
Upacara-upacara ritual menjadi lambang kudus dalam dunia spiritual Jawa atau
dunia mistik Jawa.
Masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Desa Berjo masih berpegang
pada Kejawen. Masyarakat Desa Berjo masih bersifat sangat religius, sifat
tersebut ditandai dengan agama atau kepercayaan yang mereka anut sekarang.
Pengakuan dan keyakinan atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa tercermin dalam
pemeluk agama di Desa Berjo yaitu Islam, Kristen, Katholik, dan Hindu.
Kerukunan agama tetap terjalin dengan baik. Antar pemeluk agama tidak
pernah terjadi perselisihan dan tidak saling mengganggu di dalam melaksanakan
peribadatan. Meskipun berlainan agama, akan tetapi mereka rukun secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
berdampingan karena memiliki toleransi beragama yang kuat dan patut dijadikan
contoh. Penduduk Desa Berjo yang beragama Islam masih ikut serta melakukan
kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh sebagian lapisan masyarakat. Upacara-
upacara keagamaan atau ritual biasanya dilakukan bersama dengan upacara tradisi
leluhur, yaitu berupa Selametan (Kendhuren), Bersih Desa, memberi sesaji untuk
ruh-ruh penunggu atau ruh leluhur yang telah meninggal.
Masyarakat Berjo sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, tumbuh
dan berkembang dalam pengaruh budaya nenek moyang. Sebagai contoh tradisi,
yaitu mitoni (tujuh bulanan). Dalam tradisi Jawa, mitoni merupakan rangkaian
upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian
masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan
kata kerja) + ‘7’ (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan
ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang
dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan
tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa
memperoleh keselamatan. Ubarampe atau sesajen yang digunakan antara lain :
1. Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur
yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang
tinggi, di gunung-gunung. Ini sebagi simbol keselarasan agar bayi yang
dikandung sempurna dan tidak ada suatu kekurangan serta memberikan
keselamatan agar pada saat melahirkan lancar serta ibu bayinya juga selamat.
2. Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang
bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
3. Sajen berupa sego gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu
dalam kaeadaan segar.
4. Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong,
maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran
bayi.
5. Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan
bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak
pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.
6. Sayur 7 warna (sayuran terdiri dari 7 macam sayur yaitu jepan, kacang
panjang, kol/kubis, kluwih, daun mlinjo, wortel, terung). Hal itu dimaksudkan
agar si jabang bayi kelak dapat menjalani kehidupan yang penuh warna-
warni.
Pelaksanaanya diawali dengan kenduren oleh kaum laki-laki kemudian
dilanjutkan dengan diadakan siraman kepada calon ibu yang hamil menggunakan
air 7 sumber atau sumur dari Berjo yang telah dicampur dengan bunga. Lalu
dilanjutkan dengan calon ibu berganti jarik sebanyak 7 kali sebagai simbol
kehamilannya sudah berusia 7 bulan. Dilanjutkan dengan brobosan telur ayam
kampung. Telur ayam dimasukan ke dada ibu hamil oleh dukun bayi yang
kemudian ditangkap oleh nenek bayi ditengah kedua kaki ibu hamil. Apabila
telur dapat ditangkap maka kelak anak yang dilahirkan laki-laki, dan apabila telur
tidak dapat ditangkap maka kelak anak yang dilahirkan adalah perempuan.
Kemudian calon bapak dan calon ibu berjalan masuk rumah sambil
membersihkan tempat yang dilewatinya, sebagai simbol agar kelak pada saat
proses persalinan lancar dan tidak mengalami suatu hambatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Masyarakat Berjo mempunyai tradisi mengenai penghormatan terhadap
seseorang yang telah meninggal yaitu, tata cara mengelola atau merawat jenazah.
Upacara yang diselenggarakan pada saat kematian merupakan bentuk
penghormatan kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini memiliki makna
senantiasa mengingat segala kebaikan yang pernah diberikan oleh orang yang
sudah meninggal. Selain itu juga ada kepercayaan bahwa dengan dibantu doa,
maka arwah orang yang meninggal tersebut akan tenang dan diterima Tuhan.
Upacara yang dilakukan biasanya berwujud kenduri dengan menggunakan sesaji-
sesaji. Kenduri merupakan wujud kebersamaan masyarakat dalam menangani
masalah bersama. Kenduri juga berfungsi untuk memberikan hiburan bila ada
yang kesusahan. Kenduri tersebut tidak dapat dilepaskan dari sesaji. Sesaji yang
digunakan dalam peringatan meninggalnya seseorang pada dasarnya sama, hanya
masing-masing daerah memiliki kebiasaan yang berbeda.
Dalam penghormatan terhadap seseorang yang telah meninggal dunia,
masyarakat Berjo melakukan tradisi lama berupa upacara slametan. Upacara-
upacara yang diselenggarakan untuk memperingati kematian biasanya dilakukan
dengan mengadakan kenduri. Kenduri dilakukan dengan do’a bersama dan
dihadiri oleh kerabat dan tetangga terdekat. Kenduri menggambarkan pola gotong
royong dalam masyarakat Jawa. Sikap saling membantu dan memberi
penghiburan bila ada kesusahan merupakan contoh konkrit pola pikir masyarakat
Jawa. Serangkaian upacara yang dilakukan adalah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
1. Upacara ngesur tanah atau geblag
Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat
lubang untuk penguburan mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam
fana ke alam buka dan wadah semula yang berasal dari tanah akan kembali ke
tanah juga. Upacara ini dilaksanakan pada saat pembuatan liang lahat untuk
tempat pemakaman orang yang meninggal. Adapun perlengkapannya adalah :
a) Tumpeng ungkur-ungkuran (Tumpeng yang dibelah dan diletakkan dengan
saling membelakangi). Yang bermakna bahwa mayit telah berpisah antara
jasmani dan rohnya.
b) Ingkung (ayam dimasak utuh) Ingkung juga melambangkan kepasrahan kepada
Tuhan Yang maha Esa.
c) Urap (gudhangan dengan kelengkapannya) bermakna agar keselamatan selalu
mengiringi orang yang meninggal sampai mengahadap Tuhan.
d) Lalaban : ini terdiri dari cabai merah, garam, dan bawang merah
melambangkan diharapkan semua sesaji sesuai tidak ada kekurangan.
e) Dhele ireng: jenis kacang kedelai yang berwarna hitam yang melambangkan
agar tidak mendapatkan kegelapan semoga Tuhan selalu memberi penerangan
kepada orang yang telah meninggal.
2. Upacara tigang dinten (tiga hari)
Upacara ini merupakan upacara yang diselenggarakan untuk memperingati
tiga hari meninggalnya seseorang, untuk menyempurnakan 4 perkara yang disebut
anasir yaitu bumi, api, angin dan air. Peringatan ini dilakukan dengan kenduri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
mengundang kerabat dan tetangga terdekat. Sesajen yang digunakan sampai acara
nyewu (seribu hari hampir) sama, antara lain :
a. Tumpeng seger : nasi yang dibentuk seperti kerucut sebagi wujud dari
penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta penghormatan kepada
arwah leluhur yang sudah meninggal.
b. Sega golong : nasi yang dibentuk bulat-bulat seperti bola sebagai wujud bahwa
kebulatan hati yang telah rela melepas orang yang yang disayangi.
c. Ingkung ayam jago : ingkung juga melambangkan kepasrahan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
d. Sega kepyar : nasi yang dimasak setengah mateng.
e. Lalaban : ini terdiri dari cabai merah, garam, dan bawang merah
melambangkan diharapkan semua sesaji sesuai tidak ada kekurangan.
f. Sega liwet : nasi yang dimasak liwet dan di dalmnya ada satu buah telur.
g. Sayur sambal goreng : sayur yang terbuat dari kentang yang disantan berwarna
merah dan pedas.
h. Peyek : makanan yang terbuat dari tepung beras dan kacang maupun ikan asin
yang kemudian digoreng sanpai renyah.
i. Apem : makanan yang terbuat dari tepung gandum yang dibentik bulat seperti
uang logam yang melambangkan permintaan maaf dari yang meninggal atau
kesalahannya semasa masih hidup.
j. Dhele ireng : jenis kacang kedelai yang berwarna hitam yang melambangkan
agar tidak mendapatkan kegelapan semoga Tuhan selalu memberi penerangan
bagi orang yang telah meninggal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3. Upacara pitung dinten (tujuh hari)
Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang,
maksudnya menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah,
daging, sungsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang, dan otot. Ubarampe
yang digunakan dalam upacara kendurian pitung dinten (tujuh hari) ini sama
dengan upacara tigeng dinten (tiga hari)
4. Upacara sekawan dasa dinten (empat puluh hari)
Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya
seseorang, maksudnya untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan wadag
(jasad). Bahan untuk kenduri biasanya sama dengan kenduri pada saat
memperingati tujuh hari meninggalnya.
5. Upacara nyatus (seratus hari)
Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang.
Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari
meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat
puluh hari.
6. Upacara mendhak pisan (setahun pertama)
Upacara mendhak pisan merupakan upacara yang diselenggarakan ketika
orang meninggal pada setahun pertama, maksudnya unruk menyempurnakan kulit,
daging, dan jeroan-nya. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati
seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan
peringatan seratus hari.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
7. Upacara mendhak pindho (setahun kedua)
Upacara mendhak pindho merupakan upacara terakhir untuk memperingati
meninggalnya seseorang, maksudnya untuk menyempurnakan semua kulit, darah,
dan semacamnya yang tinggal hanyalah tulangnya saja. Tata cara dan bahan yang
digunakan untuk memperingati mendhak pindho meninggalnya pada dasarnya
sama dengan ketika melakukan peringatan mendhak pisan.
8. Upacara mendhak katelu (nyewu)
Merupakan peringatan seribu hari bagi orang yang sudah meninggal,
untuk menyempurnakan semua rasa dan bau hingga semua rasa dan bau sudah
lenyap. Peringatan dilakukan dengan mengadakan kenduri yang diselenggarakan
pada malam hari. Bahan yang digunakan untuk kenduri sama dengan bahan yang
digunakan pada peringatan empat puluh hari. Namun ada beberapa bahan yang
perlu diadakan untuk memperingati seribu hari meninggalnya ini, yaitu:
a. Sepasang burung merpati dikurung dan diberi rangkaian bunga. Bermakna agar
mayat diaharapkan saat menghadap Tuhan dalam keadaan suci bersih tanpa
dosa dan beban. Setelah do’a selesai dilakukan, burung merpati dilepas dan
diterbangkan. Maksud tata cara ini untuk mengirim tunggangan bagi arwah.
b. Benang lawe empat puluh helai yang bermakna agar orang yang meninggal
kembali kepada Tuhan tanpa ada suatu halangan yang menghadangnya.
Pelaksanaan kenduri baik dari tigang dinten (tiga hari) sampai upacara
seribu hari (nyewu) biasanya dilaksanakan malam hari setelah sholat maghrib.
Acara itu dihadiri kaum laki-laki baik tua maupun remaja. Acara dimulai dengan
pembacaan surat Yasin dan Tahlil secara bersama-sama dipimpin oleh imam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
masjid. Dilanjutkan dengan kenduri yaitu berdoa bersama-sama dengan
menggunakan sesajen yang telah dipersiapkan dan dipimpin oleh sesepuh Dusun
Tlogo, dilanjutkan makan bersama. Setelah makan bersama acara selesai, apabila
masih ada sisa ubarampe yang tidak dimakan boleh dibawa pulang oleh kaum
laki-laki yang datang. Untuk masyarakat yang beragama Kristen, biasanya tidak
ada acara pembacaan Tahlil dan Surat Yasin tetapi langsung kenduri saja, serta
ubarampe yang digunakan juga sama saja. Upacara seribu hari (nyewu) ada
pancen yang berupa minuman teh, kopi dan kinang (daun sirih, gambir dan enjet).
Pancen diletakkan diatas meja guna mempersiapkan siapa tahu orang yang
meninggal tadi pulang. Dalam perkembanganya, kemudian ritual tersebut telah
memasuki unsur-unsur yang bernuansa Islam, seperti membaca Tahlil dan Yasin.
Selain slametan, tradisi religius yang ada di masyarakat Berjo adalah Nyadran
dan wiwit.
Wiwit adalah upacara yang dilakukan masyarakat pada saat akan memanen
padi. Ubarampe atau sesajen yang digunakan antara lain:
a) Nasi tumpeng yang melambangkan penghormatan terhadap Tuhanh Yang maha
Kuasa atas karunianya sehingga hasil tanamannya berbuah hasil dan dapat
dipanen.
b) Ayam yang digoreng sebagai wujud syukur Yang Maha Kuasa.
c) Gudangan yaitu sayuran yang direbus kemudian diberi sambal kelapa yang
memiliki makna agar padinya dapat baik-baik dan segar sehingga hasilnya
bagus.
d) Tempe bakar dan ikan asian baker yaitu tempe atau ikan asin yang dibakar
diatas bara api.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
e) Jenang katul yaitu jenang atau bubur yang dibuat dari katul dan gula jawa.
f) Pisang.
g) Dan ubarampe lainnya seperti kaca, bedak, dan uang sebagai persembahan
kepada Dewi Sri.
Acara tersebut dilaksanakan sehari sebelum panen dan diadakan di sawah
yang akan dipanen. Ubarampe dibawa ke sawah, yang kemudian dido’akan agar
panenya tidak ada halangan dan panen berikutnya akan lebih baik lagi. Setelah
berdoa sedikit demi sedikit ubarampe tersebut diberikan di atas daun pisang
sebagai persembahan kepada Dewi Padi atau Dewi Sri. Tidak lupa pula di pojok
sawah tersebut digelung atau ditali dengan padi lainnya, sebagai simbol bahwa
padi siap dipanen keesokan harinya.
B. Profil Telaga Madirda
Telaga Madirda adalah sebuah telaga alami terletak di kaki Gunung Lawu
berada di Desa Berjo, telaga ini berada pada ketinggian kurang lebih 600-700 m
dari permukaan laut. Telaga Madirda terletak di ujung tenggara Desa Berjo
tepatnya di Dusun Tlogo. Telaga Madirda memiliki keindahan alam yang unik
walaupun bentuk dari telaga ini seperti lingkaran tetapi tidak beraturan . Letaknya
yang berada di sebelah Gunung Lawu dan diapit oleh Bukit Purung, sementara
aliran air di telaga ini tidak pernah surut sehingga menjadi salah faktor pendukung
guna menarik wisatawan.
Telaga Madirda merupakan sebuah kawasan telaga yang kini masih
tertutup lapisan tanah dengan mata air alami yang sangat besar dan jernih,
dipercayai sebagai tempat yang memiliki nilai legenda pewayangan dari serial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Ramayana, sehingga tetap merupakan tempat yang diyakini mengandung makna
pengajaran luhur bagi kehidupan masyarakat setempat.
Menurut pemaparan dari Juru Kunci telaga, Telaga Madirda ada sudah
sejak ribuan tahun yang lalu. Madirda artinya adalah suatu tempat yang
memabukkan (Zoetmulder 1984: 624) . Telaga yang luasnya tidak lebih besar dari
lapangan sepak bola ini ada karena disebabkan Cupu Manik Astagina yang jatuh
karena diperebutkan antara Sugriwa, Subali dan Anjani.(ketiganya adalah tokoh
dalam pewayangan)
Telaga Madirda berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar
dan 36 kilometer dari Surakarta. Jika dilihat secara lokasi, Telaga Madirda
aksesnya bisa dikatakan cukup mudah karena dengan aspal yang halus, tanjakan
yang tidak terlalu tinggi, dan lokasi yang nyaman. Bagi pengguna kendaraan
umum dapat menggunakan bus umum dari Solo ke terminal Karangpandan (arah
ke Tawangmangu) dengan tarif sebesar Rp 5000/orang , dilanjutkan naik bus kecil
ke Nglorog atau terminal Kemuning dengan tarif sebesar Rp 2000/orang.
Selanjutnya naik ojek karena tidak ada kendaraan umum menuju lokasi telaga.
Tarif ojek sudah tercantum, sekitar Rp 50.000 pp, tapi masih bisa dinego.
Jika menggunakan kendaraan pribadi, berangkat dari Karanganyar maka
perjalanan ke arah timur lalu setelah sampai di Karangpandan sudah ada papan
petunjuk jalan menuju lokasi. Tidak jauh dari percabangan sudah ada petugas
retribusi yang akan menarik biaya retribusi sepeda motor sebesar Rp 1.000,- lalu
mengambil jalan yang kanan bawah atau bisa bertanya ke petugas yang ada di
retribusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
C. Bentuk dan Isi Cerita Rakyat
1. Bentuk Cerita Rakyat Telaga Madirda
Cerita rakyat dapat dibagi menjadi atau dikelompokan menurut ciri-cirinya
menjadi tiga bentuk yaitu mite, legenda, dan dongeng. Cerita Rakyat Telaga
Madirda termasuk ke dalam cerita prosa rakyat yang berbentuk legenda maka
untuk mengetahui pastinya akan dibahas satu persatu bentuk cerita prosa rakyat
yang sesuai dengan Cerita Rakyat Telaga Madirda seperti dibawah ini:
Dalam kehidupan masyarakat Jawa berkembang kepercayaan terhadap
ruh-ruh halus. Ruh-ruh halus tersebut ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat
jahat. Ruh-ruh yang bersifat baik sering membantu manusia, misalnya menjaga
desa dari berbagai gangguan. Ruh-ruh halus penjaga desa sering disebut dengan
dhanyang pepunden desa, maupun baureksa. Adapun ruh-ruh yang bersifat jahat
dia adalah ruh-ruh yang cenderung sering mengganggu kehidupan manusia.
Kepercayaan terhadap dhanyang-dhanyang desa maupun pepunden desa
dari hari ke hari semakin berkembang terutama desa-desa yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam Kejawen atau Agami Jawi. Sedangkan dalam
kelompok Islam Santri kepercayaan terhadap dhanyang-dhanyang desa ataupun
pepunden desa dianggap musyrik (mempersekutukan Tuhan Yang Maha Esa).
Namun dalam hal ini semua warga Desa Berjo turut serta dalam bentuk ritual
yang dilakukan guna menjaga keselamatan dirinya dan desanya. Mengingat
penduduk Desa Berjo masih dipengaruhi oleh kepercayaan asli berupa, sistem
religi animisme dan dinamisme keseluruhan hal itu merupakan inti dari tradisi
kebudayaan Jawa asli yang dijelmakan dalam bentuk penyembahan ruh nenek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
moyang. Sistem religi animisme dan dinamsime ini telah mengakar dalam alam
pikiran.
Cerita Rakyat Telaga Madirda begitu populer di masyarakat Berjo
masyarakat menganggap Anjani, Sugriwa, dan Subali merupakan sosok yang
dianggap dewa, makhluk yang memiliki kekuatan luar biasa yang tidak dimiliki
manusia pada umumnya. Diceritakan merekalah yang menjadi penyebab
teciptanya Telaga Madirda, telaga yang memang dianggap keramat dan memiliki
pengaruh gaib terhadap masyarakat Berjo.
Legenda menceritakan terjadinya tempat seperti pulau, gunung, daerah
atau desa, danau atau sungai dan sebagainya serta ditokohi oleh manusia. Legenda
biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah sehingga dikenal luas
di daerah-daerah yang berbeda. Selain itu legenda acapkali tersebut dalam
pengelompokan yang berbentuk siklus (cycle), yaitu sekelompok cerita yang
berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Legenda dapat tercipta
apabila seorang tokoh, tempat atau kejadiaan dianggap berharga oleh kolektifnya
untuk diabadikan menjadi legenda.
Legenda tentang Sugriwa, Subali dan Anjani termasuk legenda alam gaib
dan legenda setempat, yaitu:
a) Legenda Alam Gaib, yaitu legenda yang berbentuk kisah yang dianggap benar-
benar terjadi dan pernah dialami seseorang. Seperti efek yang ditimbulkan dari
pengaruh aliran kepercayaan animisme dan dinamisme yaitu mempercayai
dapat berhubungan langsung dengan ruh-ruh halus untuk meminta bantuan
bagi kepentingan duniawi dan rohani masyarakat. Hubungan dengan legenda
alam gaib yang terkait dengan Cerita Rakyat Telaga Madirda adalah jika kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
melaksanakan Ngalap Berkah di Telaga Madirda pada hari Selasa Kliwon atau
Jum’at Kliwon setelah selesai Ngalap Berkah kemudian membawa air dari
Telaga Madirda, air tertsebut akan memberikan berkah pada mereka yang
mengambil air. Jika pada saat Ngalap Berkah kita khusyu’ dalam memanjatkan
do’a, seolah-olah kita mendapatkan suatu wangsit ataupun wahyu dari
dhanyang di Telaga Madirda
b) Legenda setempat, yaitu legenda tentang asal usul suatu tempat yang
berhubungan erat dengan nama suatu tempat contohnya adanya cerita yang
berkembang ditelinga masyarakat berupa Cerita Rakyat Telaga Madirda. Asal
sebuah dusun yang berasal dari Cerita Rakyat Telaga Madirda itu sendiri.
Dusun Tlogo diambil namanya dari kata Telaga.
Jadi Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan suatu cerita yang dianggap
benar-benar terjadi dengan adanya tokoh legendaris yang mendukung cerita
tersebut serta terjadinya melalui perjuangan suatu tokoh yang sakti dari cerita
terdahulu, dimana penyebarannya masih melalui tuturan yakni dari mulut ke
mulut dan dituturkan dari generasi ke generasi berikutnya sampai sekarang. Dari
penjelasan-penjelasan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Cerita
Rakyat Telaga Madirda di Dusuh Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar adalah merupakan sebuah folklor lisan yang berbentuk
Legenda.
2. Deskripsi Cerita
Cerita Rakyat Telaga Madirda memilki beberapa versi cerita. Dari
penelitian yang dilakukan oleh penulis mendapatkan 3 versi cerita, yaitu (a) dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
masyarakat setempat (dari Juru Kunci telaga), (b) dari buku pewayangan, dan (c)
dari wawancara dengan dalang.
a. Versi Masyarakat
Pada suatu hari Sugriwa dan Subali melihat kakaknya yang bernama Dewi
Anjani bermain dengan suatu benda ajaib yang disebut dengan cupu. Dengan cupu
itu dapat melihat keindahan jagad raya. Sugriwa dan Subali ingin memiliki cupu
seperti yang dimiliki kakaknya tersebut. Mereka berdua merasa iri kepada
ayahnya yang bernama Resi Gotama, karena hanya Dewi Anjani yang di beri
cupu.
Resi Gotama memanggil Dewi Anjani karena tidak merasa memberi
apapun kepada Dewi Anjani. Ternyata cupu itu adalah cupu manik Astagina yang
hanya di miliki Dewa matahari yang bernama Bathara Surya. Resi Gotama
menemui istrinya yang bernama Dewi Windardi untuk menanyakan perihal cupu
tersebut. Dewi Windardi hanya diam, dan Resi Gotama tahu bahwa istrinya telah
berselingkuh dengan Dewa Matahari. Dewi Windardi hanya dapat menangis dan
menyesal tetapi karena marahnya Resi Gotama mengutuknya menjadi batu.
Cupu yang menjadi rebutan tadi akhirnya dibuang oleh resi Gotama, cupu
itu terbuang jauh dan terpisah antara badan cupu dan tutupnya. Tutup cupu jatuh
sehingga menjadi Telaga Madirda (masyarakat setempat,dari Juru Kunci telaga)
b. Versi Wayang
1. Sumber buku “Wayang dan Budaya Jawa” karya Suyamto hal 69-73.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dikisahkan di pertapaan Agrastina di daerah Gunung Sukendra, hidup
seorang Resi bernama Gotama beserta keluarganya. Diceritakan Resi Gotama
adalah masih keturunan Bathara Ismaya, putra Prabu Heriya dari Maespati. Dia
adik Prabu Kartawirya, ayahanda Prabu Arjunasasrabahu. Atas jasa dan baktinya
kepada para dewa, Resi Gotama dianugrahi seorang bidadari kahyangan bernama
Dewi Windradi. Dari hasil perkawinan mereka dikaruniai tiga orang anak, Dewi
Anjani yang cantik jelita serta Guwarsa dan Guwarsi yang tampan dan rupawan.
Tahun berganti tahun, Dewi Windradi yang sering merasa kesepian karena
bersuamikan seorang brahmana tua yang lebih banyak bertapa, akhirnya tergoda
oleh panah asmara Bhatara Surya. Terjalinlah hubungan asmara secara rahasia yg
sedemikian rapi sampai bertahun-tahun tidak diketahui oleh Resi Gotama maupun
oleh ketiga putranya yang semakin beranjak dewasa.
Dewi Windradi memiliki sebuah pusaka kedewataan, Cupumanik
Astagina, pemberian kekasihnya, Bhatara Surya. Ketika memberikan Cupumanik
itu, Bhatara Surya mewanti-wanti untuk jangan pernah sekalipun benda itu
ditunjukkan, apalagi diberikan orang lain, walau itu putranya sendiri. Kalau pesan
itu sampai terlanggar, akan terjadi hal hal yang tak diharapkan. Cupumanik
Astagina adalah pusaka kadewatan yang menurut ketentuan dewata tidak boleh
dilihat atau dimiliki oleh manusia lumrah. Larangan ini disebabkan karena
disamping memiliki khasiat kesaktian yang luar biasa, juga didalamnya
mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kasuwargan. Bila orang
membuka Cupumanik Astagina, pada mangkuk bagian dalamnya akan tampak
gambaran swargaloka yang serba menakjubkan dan penuh warna warni yg
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
mempesona. Sedangkan pada tutup bagian dalamnya dapat dilihat berbagai
panorama menakjubkan yang ada di seluruh jagad raya, tampil berganti ganti dari
satu pemandangan ke pemandangan lain bagaikan keadaan yang nyata, seolah yg
melihatnya sedang dibawa berkelana berkeliling mayapada, menikmati keindahan
alam dari ketinggian, memandang gunung kebiruan, hutan menghijau, sungai
berkelok, mega berarakan dan langit biru menyejukkan.
Namun, suatu hari ketika Dewi Windradi sedang asyik mengamati
keindahan isi cupu tersebut, putri sulungnya Anjani memergokinya, dan tentu saja
amat ingin mengetahui benda yang sangat menarik itu. Terpaksa Dewi Windradi
meminjamkannya, dengan syarat jangan sampai diketahui oleh adik-adiknya.
Namun, akhirnya Anjani tidak tahan untuk tidak memamerkannya kepada kedua
adiknya, Guwarsa dan Guwarsi. Akibatnya Cupu Manik Astagina itu menjadi
rebutan, sehingga terjadi pertengkaran dan keributan diantara ketiga kakak
beradik tersebut. Anjani menangis dan melapor pada ibunya, sementara Guwarsa
dan Guwarsi mengadu pada ayahnya. Bahkan secara emosional Guwarsa dan
Guwarsi menuduh ayahnya, Resi Gotama telah berbuat tidak adil menganak
emaskan Anjani dengan memberi hadiah yang mereka tidak dapatkan.
Tuduhan kedua putranya ini membuat Resi Gotama sedih dan prihatin,
sebab ia merasa tidak pernah berbuat seperti itu. Segera saja ia memanggil Anjani
dan Dewi Windradi. Karena rasa takut dan hormat kepada ayahnya, Anjani
menyerahkan Cupumanik Astagina kepada ayahnya. Anjani berterus terang,
bahwa benda itu diperoleh dan dipinjam dari ibunya. Sementara Windradi diam
membisu tidak berani berterus terang dari mana ia mendapatkan benda kadewatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
tersebut. Dewi Windradi dihadapkan pada buah simalakama. Berterus terang,
akan membongkar hubungan gelapnya dengan Bhatara Surya. Bersikap diam,
sama saja artinya dengan tidak menghormati suaminya. Sikap membisu Windradi
membuat Resi Gotama marah, sikap diam Windradi itu bagaikan sebuah patung
batu. Karena pengaruh kesaktiannya, dalam sekejap sang Dewi berubah wujud
menjadi batu sebesar manusia yang mirip sebuah tugu. Menghadapi keterlanjuran
itu Sang Resi segera mengangkat tugu batu tersebut dan dilemparkannya sejauh
mungkin, dan ternyata jatuh di taman Argasoka dekat kerajaan Alengka. Kutukan
ini akan berakhir kelak bila batu tersebut digunakan untuk membela kebenaran
dengan cara dihantamkan ke kepala seorang raksasa atau angkara murka.
Demi keadilan atas cupu yang diperebutkan ketiga anaknya, Resi Gotama
lalu melemparkan cupu bertuah tersebut ke udara. Siapapun yang menemukan
benda tersebut nanti, dialah pemiliknya. Maka, Anjani, Guwarsi dan Guwarsa
segera berlari saling mendahului mengejar pusaka kadewatan tersebut. Tetapi
Cupumanik Astagina ini seolah mempunyai sayap. Sebentar saja ia telah
melayang melintas di balik bukit. Cupu tersebut lalu terpisah menjadi dua, bagian
mangkuk jatuh ke tanah dan berubah wujud menjadi sebuah telaga bernama
Nirmala, sedangkan tutupnya jatuh menjadi telaga Sumala. Sementara itu Anjani,
Guwarsi dan Guwarsa yang mengira cupu tersebut jatuh ke dalam telaga di tengah
hutan itu, langsung saja mendekati telaga Nirmala. Menurut cerita kutukan Resi
Gotama, untuk orang yang sedang diliputi rasa serakah keduniawian bila tersentuh
air telaga tersebut maka bagian tubuh yang mengenai air tersebut akan berubah
ujud menjadi bagian tubuh kera/monyet.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Tanpa berpikir panjang, Guwarsa dan Guwarsi segera menceburkan diri
dan menyelam ke dalam telaga, mencari cupu tadi. Sementara Anjani yang tidak
seberani kedua adik lelakinya hanya termangu berdiri di pinggir telaga. Namun,
karena merasa lelah berlarian sebelumnya, Anjanipun membasuh mukanya di air
telaga tersebut, agar merasa segar. Segera saja kedua tangannya sampai siku
ditumbuhi bulu-bulu lebat, sementara wajah dan kepalanya berubah menjadi
layaknya seekor kera. Akan halnya Guwarsa dan Guwarsi, merekapun segera
muncul ke permukaan telaga dalam keadaan telah berubah wujud sekujur
badannya menjadi kera. Sungguh suatu malapetaka yang hebat, membuat mereka
bertiga amat terpukul. Tidak ada lagi wajah mempesona Anjani, tidak tersisa lagi
ketampanan Guwarsi maupun kerupawanan Guwarsa. Ketiga kakak beradik
inipun saling berpelukan menangisi kejadian yang menimpa diri mereka. Dengan
penuh penyesalan mereka kembali ke pertapaan dan mohon pada ayahanya agar
wujud mereka dikembalikan seperti semula, tapi Resi Gotama mengatakan bahwa
perubahan wujud mereka sudah tidak dapat dirubah. Namun, walaupun berujud
kera, mereka masih dapat menunaikan darma. Untuk itu, mereka disarankan untuk
pergi bertapa mensucikan diri.
Anjani diperintahkan Resi Gotama untuk bertapa di sebuah sungai, sedang
Guwarsi dan Guwarsa yang diberi nama baru oleh ayahnya menjadi Subali dan
Sugriwa masing-masing bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Sesuai
petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya berendam telanjang seperti
seekor katak (cantoka) di tengah aliran sebuah sungai, sementara Subali
menggantung di ketinggian dahan sebuah pohon seperti seekor kelelawar
(ngalong), sedangkan Sugriwa bertapa di atas rerumputan di tengah kelebatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
hutan dengan mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang (ngidang).
Demikianlah. Anjani, Subali & Sugriwa nglakoni tapabrata selama berhari hari,
berminggu minggu, berbulan bulan, bertahun-tahun untuk menebus kesalahan
mereka.
2. Wawancara dengan Ngatmin S. Sn (Alumni ISI Surakarta jurusan pedalangan)
Pada satu masa di dekat negri Alengka (tempat para raksasa), tersebutlah
sebuah pertapaan yang disebut dengan Gunung Sukendra. Hiduplah Resi Gotama
dengan istrinya Dewi Windradi, seorang bidadari keturunan Bathara Asmara. Dari
perkawinannya memperoleh tiga orang putra masing-masing bernama; Dewi
Anjani, Guwarsi dan Guwarsa.
Seiring berjalannya waktu Dewi Windardi merasa bosan karena sering
ditinggal suaminya untuk bertapa. Dewi Windradi yang selalu merasa kesepian
akhirnya tergoda oleh panah asmara Bhatara Surya (dewa Matahari). Terjadi saat
sang dewi sering berjemur telanjang mandi sinar matahari di pagi hari. Terjalinlah
hubungan asmara rahasia yang bertahun-tahun tidak diketahui oleh Resi Gotama,
maupun oleh ketiga putranya yang sudah menginjak dewasa.
Bhatara Surya memberikan Cupu Manik Astagina kepada kekasihnya.
Cupumanik Astagina memiliki khasiat dan kesaktian luar biasa, didalamnya
mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kesuragaan. Dengan
membuka Cupumanik Astagina, melalui mangkoknya dapat melihat dengan nyata
dan jelas gambaran surga yang serba polos, suci dan penuh kenikmatan.
Sedangkan dari tutupnya akan dapat dilihat dengan jelas seluruh kehidupan semua
makluk yang ada di jagad raya. Sedangkan khasiat kesaktian yang dimiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Cupumanik Astagina ialah dapat memenuhi semua apa yang diminta dan menjadi
keinginan pemiliknya. Bhatara Surya telah berpesan jangan sekali-kali cupu itu
ditunjukkan apalagi diberikan orang lain, walaupun putranya sendiri. Kalau pesan
sampai terlanggar, sesuatu kejadian yang tak diharapkan akan terjadi.
Suatu hari Dewi Anjani memergoki ibunya sedang bermain-main dengan
Cupumanik Astagina, yakni sebuah alat yang berkhasiat untuk melihat menikmati
keindahan alam dunia. Dewi Anjani menyaksikan, betapa ibunya asyik dengan
Cupu Manik Astagina, yang dikiranya alat itu adalah mainan. Karena rasa
cintanya yang begitu besar pada Dewi Anjani, Dewi Windradi mengabaikan pesan
Bhatara Surya, memberikan pusaka kedewataan Cupumanik Astagina kepada
Anjani. Waktu Anjani meminta mainan itu, ibunya terpaksa memberikannya
karena takut putrinya itu akan mengadukan soal adanya Cupumanik Astagina
pada Resi Gotama, suaminya. Dewi Windradi mewanti-wanti agar Dewi Anjani
menyembunyikan dan senantiasa merahasiakan alat permainan itu. "Jangan
sampai ada orang yang mengetahui adanya alat permainan itu", kata Dewi
Windradi. Namun Dewi Anjani ternyata tidak mematuhi pesan ibunya. la justru
memamerkan Cupumanik Astagina pada kedua adiknya. Segera terjadilah
keributan di antara mereka. Ketiga bersaudara itu saling memperebutkan
Cupumanik Astagina.
Keributan karena pertengkaran itu akhirnya mengganggu Resi Gotama
yang sedang samadi. Ia mendatangi ketiga anaknya dan melihat apa yang mereka
perebutkan. Betapa terkejutnya Resi Gotama ketika tahu bahwa yang
diperebutkan anak-anaknya adalah Cupumanik Astagina, yang diketahuinya
sebagai milik Bhatara Surya. Dewi Windradi pun segera dipanggil dan ditanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
mengenai asal usul Cupumanik Astagina. Karena takut, Dewi Windradi bungkam,
tak berani menjawab. Kepada Dewi Windradi yang diam saja waktu ditanya, Resi
Gotama pun berkata: "Ditanya kok diam saja, seperti tugu ..." Kesaktian Resi
Gotama menyebabkan kata-katanya bertuah, seketika itu juga Dewi Windradi
berubah wujud menjadi tugu.
Resi Gotama marah dan cupu itu dilemparkannya jauh-jauh. Kepada ketiga
anaknya itu dan berkata : “Siapa yang dapat menemukan cupu itu, maka ia boleh
memilikinya....”. Cupumanik Astagina dilemparkan Resi Gotama jatuh di Telaga
Mandirda (di pewayangan disebut Telaga Sumala, "mala" artinya cacat, penyakit,
dosa, atau kesalahan; "su" berarti banyak atau sangat, sedangkan Telaga Nirmala
artinya bebas dari penyakit, karena "nir" berarti bebas atau tidak terkena).
Guwarsa dan Guwarsi yang larinya lebih cepat dibandingkan Dewi Anjani,
sampai ke telaga itu lebih dahulu. Kedua kakak beradik itu segera terjun dan
menyelam ke dalam air telaga mencari Cupumanik Astagina. Dewi Anjani yang
datang lebih lambat, sampai ke telaga itu dalam keadaan lelah. la segera
membungkuk dan mencuci muka dengan air telaga itu untuk menghilangkan
lelahnya. Sementara itu, dua pengasuh Guwarsa dan Guwarsi yaitu Menda dan
Jembawan, berlarian pula mengikuti anak asuhannya. Mereka pun ikut terjun ke
telaga.
Terjadilah keajaiban, begitu muncul kembali ke permukaan telaga,
Guwarsa dan Guwarsi telah berubah ujud menjadi kera. Sedangkan Dewi Anjani,
hanya wajahnya saja yang berubah ujud menjadi kera, tetapi tubuhnya tetap
manusia biasa. Wajah keranya, tidak mengurangi keindahan tubuh Dewi Anjani
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
yang masih remaja itu. Menda dan Jembawan, yang juga berubah wujud menjadi
kera, selanjutnya disebut Kapi Menda dan Kapi Jembawan. Kapi berarti kera.
Ketiga anak Resi Gotama menyesal sekali atas kejadian yang mereka
alami. Mereka lalu kembali ke pertapaan. Resi Gotama menyarankan agar anak-
anaknya mau menerima takdir. Selain itu ia juga mengganti nama mereka.
Guwarsa diganti namanya menjadi Sugriwa, sedangkan Guwarsi menjadi Subali.
Keduanya disuruh pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Dewi Anjani pun
melakukan hal yang serupa. la bertapa nyantoka, yaitu bertelanjang,
membenamkan tubuhnya, hanya kepalanya saja yang menyembul di permukaan
air Telaga Nirmala selama berbulan-bulan. Selama bertapa itu Dewi Anjani hanya
memakan apa saja yang hanyut di permukaan air telaga itu. Sementara Subali
melakukan tapa ngalong (seperti kelelawar) dan Sugriwa melakukan tapa seperti
kijang di hutan Sunyapringga.
Dari ketiga versi cerita penulis mendapatkan bahwa Sugriwa, Subali dan
Anjani merupakan tokoh dalam pewayangan. Bagi sebagian masyarakat Jawa
termasuk warga Desa Berjo Wayang menjadi simbolisme bahkan juga pandangan
hidup. Mereka menganggap cerita tentang Sugriwa, Subali dan Anjani (tokoh
pewayangan) merupakan sebuah konsepsi yang tersusun dan menjadi nilai-nilai
budaya yang pantas dipegang teguh untuk genarasi mereka sebelumnya, generasi
sekarang bahkan untuk generasi selanjutnya.
Setiap anggota masyarakat Berjo memiliki tuntutan dasar untuk selalu
menghormati anggota masyarakat lain sesuai dengan kedudukannya, serta
bersikap selaras untuk saling menjaga kerukunan. Hal ini yang akhirnya membuat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
masyarakat Berjo selalu mencoba untuk berjalan dalam koridor yang benar.
Harmonisasi dalam sikap dan perilaku sehari-hari membentuk sebuah
keseimbangan hidup bermasyarakat.
Cerita mengenai Sugriwa, Subali dan Anjani menjadi media untuk
introspeksi atas perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan. Di dalam cerita
Sugriwa, Subali dan Anjani mampu membawa sebuah tuntunan, nasehat dan nilai
hidup yang ada dalam peristiwa kehidupan. Melalui cerita Sugriwa, Subali dan
Anjani masyarakat diajak kejalan yang benar, selalu menjaga keseimbangan hidup
dengan alam maupun sesama.
Bagi sebagian orang cerita Sugriwa, Subali dan Anjani dianggap sesuatu
yang tidak masuk akal. Tetapi untuk masyarakat Berjo keberedaan cerita itu
begitu diakui, dipercaya dan sudah melekat sampai sekarang karena mereka
menganggap bahwa tokoh pewayangan itu memiliki kekuatan yang tidak dimiliki
manusia biasa. Masyarakat Desa Berjo begitu percaya tentang kekuatan “sekti”
(sakti) yang dimiliki oleh Sugriwa, Subali dan Ajani sehingga menjadi pangkal
dari berbagai peristiwa alam yang menyangkut kehidupan masyarakat disana yaitu
dengan adanya Telaga Madirda yang sampai saat ini masih ada.Mengenai
pengakuan yang ada tentang cerita dan keberadaan telaga merupakan legitimasi
yang sudah diturunkan oleh generasi sebelumnya.
Dengan adanya legitimasi dari generasi sebelumnya tentang cerita Telaga
Madirda membuat masyarakat Desa Berjo tidak ragu untuk yakin percaya.
Walaupun tidak rasional tetapi kejadian yang ada atau orang-orang yang ngalap
berkah di telaga, bisa mendapatkan apa yang diinginkan lebih menguatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
keberdaan cerita. Dengan peristiwa seperti itulah akan membuat cerita Telaga
Madirda akan diakui terus oleh generasi selanjutnya karena mereka akan
mendapatkan penuturan yang berkaitan dengan telaga dari genarasi sebelumnya.
3. Tradisi Budaya Yang Terkait Dengan Keberadaan Cerita Rakyat Telaga
Madirda
Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau
agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan,
karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Kata tradisi cenderung dimaknai sebagai segala sesuatu yang berasal dari
masa lampau. Kenyataannya tidaklah demikian. Tradisi tidak hadir sebagaimana
adanya di masa lalu. Tradisi pasti mengalami proses seleksi atau bongkar ulang
sehingga ada yang dipopulerkan ataupun dipinggirkan tergantung pada relasi
kekuasaan yang bermain di sekitarnya. Hal itu tercermin dari tradisi upacara
Nyadran dan Bersih Dusun yang mempunyai makna yang luas. Semua dimaknai
sebagai sesuatu yang berasal dari masa lampau ia tidak bersifat tunggal. Tidak
selamanya ia bermakna konservatif sebab di dalamnya juga terangkum kebenaran
dan kebaikan meskipun baik dan benar itu bukan semata karena dirinya sendiri
melainkan juga karena dihadirkan sesuai dengan ikatannya pada kekinian. Maka
oleh sebab itu tradisi upacara Nyadran dan Bersih Dusun ini adalah sebuah
cerminan dari masyarakat yaitu khususnya Desa Berjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
a. Nyadran
Tradisi Nyadran termasuk dalam pengertian tradisi spiritual Jawa dan
merupakan salah satu ciri khusus kebudayaan Jawa. Masalah ini erat
hubungannya dengan kebudayaan Jawa yang selalu mencari dan membangun
hubungan yang harmonis dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Hubungan
masyarakat Jawa dengan Tuhan Yang Maha Esa itu berbentuk beraneka macam
laku ritual bersifat spiritual, seperti ziarah, nyadran, kenduri, tirakat, dan lain-
lain.
Bermacam-macam adanya laku spiritual di tengah kebudayaan Jawa,
karena pengaruh budaya lain yang masuk dan menyatu dengan budaya Jawa.
Menurut Ketua program studi S2 Kajian Budaya UNS Solo, Prof Bani Sudardi
ketika menyampaikan kajian pada seminar. Bahwa tradisi spiritual Jawa memang
bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan. Budaya spiritual Jawa selalu dapat
menyatu dengan situasi dan kondisi yang ada. Dan biasanya tradiisi spiritual Jawa
tidak bersifat homogen. Seperti tradisi Nyadran yang sampai sekarang masih
dianut oleh masyarakat Jawa. Apabila dicari akar permasalahannya, laku spiritual
pada tradisi Nyadran tidak menganut pada ajaran agama kalau bulan Ruwah harus
menggelar ziarah Nyadran ke makam. Menurut ajaran islam, Nyadran ke kubur
dapat dilakukan kapan saja tidak harus pada Bulan Ruwah. Dan Nyadran dalam
pengertian Islam maknanya sangat simpel dan gampang yaitu agar orang yang
masih hidup selalu ingat bahwa nantinya akan mati juga. Maka sewaktu masih
hidup selalu berbuat yang baik, tidak melanggar norma-norma agama. (Jagad
Jawa no 67 Agustus 2008)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Tradisi Nyadran itu kalau diteliti ternyata sudah berlaku sejak jaman
Majapahit yaitu bernama “Sradha” upacara “Sradha” tersebut maksudnya tidak
lain merupkan cara untuk berbakti kepada orang tua yang berkaitan dengan
penghormatan terhadap leluhur yang sudah meninggal dunia. Secara Etimologis
Craddha berasal dari bahasa Sansekerta “Craddha” yang artinya keyakinan,
percaya dan kepercayaan. Masyarakat Jawa Kuno meyakini bahwa leluhur yang
telah meninggal dunia sebelumnya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak
cucu atau keturunannya (Budi Puspo Priyadi dalam situs www. Kompas Co).
Tradisi ini tidak menganut pada agama tertentu, tetapi pada jaman sekarang selalu
dipengaruhi oleh kepercayaan agama. Kenyataan yang ada kalau Nyadran
sekarang ini dilakukan oleh semua orang yang beragama. Tradisi Nyadran tidak
hanya terbatas pada agama Islam saja. Namun tradisi Nyadran juga dilakukan
orang-orang penganut agama Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain, maka mereka
berdo’a menurut kepercayaan mereka masing-masing.
Kenyataan seperti itu menunjukan kalau tradisi kebudayaan Jawa itu
mempunyai sifat mudah menyatu dengan kebudayaan lain. Hal seperti ini juga
berhubungan dengan sifat orang Jawa yang selalu mengusahakan “Hamemayu
Hayuning Bawana”, yaitu keadaan yang serba harmonis pada lingkungan tempat
tinggalnya khusus mengenai laku Nyadran sendiri menurut beberapa Ahli
Kebudayaan kalau dilihat dari antropologi, teologi, sosial, agama, dan sejarah
agama tentu nakan ditempatkan sebagai “agama kerakyatan”. Tradisi Nyadran
sebagai “agama kerakyatan” di dalam kitab agama dinilai sebagai laku agama
yang sangat simpel dan sinkretis. Kemudian dianggap menyimpang dari ajaran
agama yang resmi, selanjutnya bacaan agama rakyat ini akan selalu berlawanan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
dengan bacaan agama yang dianut oleh para ulama, para ahli teologi dan orang-
orang yang merasa dan menganggap dirinya menguasai, menganut ajaran agama
yang benar dan kemudian tumbuh penilaian kalau ziarah untuk Nyadran dan
tradisi spiritual ziarah lainnya dianggap bukan suatu ajaran agama bahkan
dianggap mengotori ajaran agama yang sebenarnya.
Tradisi Nyadran merupakan sebuah simbol adanya hubungan dengan para
leluhur, sesama, dan Tuhan Yang Maha Esa atas segala ciptaan-Nya. Nyadran
merupakan sebuah ritual yang mencampurkan budaya lokal dengan nilai-nilai
Islam, sehingga nampak adanya lokalitas yang masih Islam. Nyadran adalah
semacam kenduri yang biasanya masyarakat datang ke makam leluhur,
masyarakat Berjo tiap bulan Ruwah selalu datang berkunjung ke makam yang
berada di Desa Berjo, yang masyarakat yakini bahwa makam tersebut.
Apa yang terjadi di Desa Berjo tradisi Nyadran yang merupakan tradisi
peninggalan para leluhur masih lestari dijalankan. Pada setiap bulan Ruwah warga
bersama-sama membersihkan makam para leluhur yang ada di Desa Berjo, ini
adalah ajaran yang mengandung persaudaraan dan gotong royong untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Kemudian pada tanggal 15 Ruwah sampai akhir bulan
warga melakukan ziarah kubur biasanya satu keluarga bersama-sama ziarah ke
makam leluhur di desanya. Bahkan beberapa warga yang sudah tidak berdomisili
di desa tersebut atau merantau ke daerah lain masih sangat antusias untuk
menyempatkan diri pulang ke kampung halaman guna dapat bersama-sama
keluarga lainnya, untuk berziarah kubur di makam para leluhur.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
a) Penyelengaraan
Tempat penyelengaraan upacara Nyadran ini berlangsung di komplek
Telaga Madirda Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar.
Biasanya dalam tradisi Nyadran ini dimulai dengan adanya tumpeng-tumpeng
dari masyarakat Berjo dan peziarah lain yang dikumpulkan pada beberapa
Nampan gedhe (tempat sesaji selamatan). Setelah undangan dan sesaji sudah siap
semua pengunjung dan masyarakat membawa sesaji yang sudah disiapkan menuju
komplek Telaga Madirda.
b) Waktu upacara
Upacara Nyadran dilaksanakan oleh masyarakat Desa Berjo setahun sekali
tepatnya pada tanggal 15 Ruwah (bulan Jawa), atau tanggal 1 Agustus 2010 dua
minggu sebelum bulan Ramadan. Ritual ini dilaksanakan sekitar jam 10.00
sampai selesai.
c) Pelaksanaan upacara
Pelaksanaan upacara Nyadran dilaksanakan oleh masyarakat Desa Berjo
dan para peziarah yang lain. Adapun susunan acara upacara Nyadran sebagai
berikut:
1. Pembukaan
Berisikan ucapan basmalah semoga acara dalam upacara Nyadran bisa
berjalan lancar.
2. Ucapan selamat datang
Berisikan ucapan kepada seluruh tamu undangan yang di antaranya
petinggi-petinggi daerah seperti: Bapak Kepala Desa, peziarah dan
masyarakat setempat juga meramaikan acara Nyadran di Telaga Madirda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
3. Sambutan Kepala Desa Berjo
Sambutan ini diisi oleh Kepala Desa Berjo yaitu bapak Dwi Haryanto.
Sambutan oleh Kepala Desa Berjo berisikan tentang rasa syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang selama ini telah diberi keselamatan dan
berkah.
4. Istirahat (doa bersama)
Berisikan doa dan permohonan dari masyarakat Desa Bejo dan para
pengunjung yang datang untuk diberi keselamatan dan keberkahan rezeki di
dalam hidup.
5. Upacara Nyadran
Acara puncak ini biasanya dilaksanakan para masyarakat dan peziarah yang
sudah Ngrubungi (mengepung) tumpeng yang berada di dekat telaga yang
nantinya dimakan bersama. Kadang juga ada yang membawanya pulang
untuk sebagai berkah.
d) Perlengkapan Upacara
Dalam perlengkapan tradisi Nyadran Tradisi ini memiliki makna simbolik
dalam perlengkapannya. Semua ini sangat diperlukan agar makna yang
terkandung bisa dihayati oleh mayarakat Berjo khususnya dan masyarakat umum
pada umumnya.
Dari pemaknaannya akan menghasilkan fungsi-fungsi tanda yang
disepakati secara konvensional oleh masyarakat Desa Berjo. Sedangkan, tata
upacara digunakan peneliti untuk mendukung pengungkapan maksud-maksud
tertentu secara fisik dalam prosesi upacara dalam Nyadran. Dari makna-makna
nantinya akan menjelaskan akan simbol yang tersimpan di dalamnya. Hasil dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
penelitian berupa deskripsi data makna simbolis upacara Nyadran di Desa Berjo
Kabupaten Karanganyar.
Secara garis besar perlengkapan dalam tradisi Nyadran adalah sebagai
berikut:
1. Tumpeng
Tumpeng yaitu nasi yang terbuat dari beras yang ditaruh dalam Nampan
gedhe yang di dalamnya berisi banyak hasil pertanian dan laut. Nasi tumpeng.
Kata “tumpeng” berasal dari kata Tumungkula Sing Mempeng, artinya kalau ingin
selamat, hendaknya selalu rajin beribadah.
Tumpeng yang berbentuk kerucut dalam tradisi Nyadran mengartikan
bahwa semakin hari manusia harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Tumpeng juga
sebagai penjelmaan alam semesta, dimana nasi berwujud gunung dikelilingi oleh
hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan darat/air. Tumpeng tadi berisi
banyak aneka hasil pertanian dan laut. Berbeda dengan tumpeng yang biasanya
tumpeng yang berada dalam tradisi Nyadran ini hanya berupa nasi yang berbentuk
kerucut dan hasil-hasil pertaniannya berada semua di atasnya. Hal ini bermakna
dalam bentuk dari kerucut dan hasil pertanian berada di bawah yang mengelilingi
tersebut bahwa sebagai manusia hendaknya selalu berikhtiar dan doa dihadapan
Tuhan Yang Maha Esa atau dalam peribahasa Jawa adalah Ngelmu iku kalakone
kanthi laku.
2. Sajen Jajan Pasar
Sajen kedua diwujudkan dalam bentuk pisang raja dan pulut, kendi
umpluk-umpluk di atas daun dadap srep, kremukan, cerutu, sambel gepeng, nasi
putih, jenang abang putih, jajan pasar (srabi setangkep, getuk, wajik, jadah, arem-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
arem, geplak, lempeng, rengginang, alen-alen, jambu, jeruk, salak, kacang
godhog, nangka, blimbing, ketela pohon, dan ketela rambat)
Menggambarkan akan kegigihan dalam berusaha agar setiap apa yang
diupayakan selalu berhasil dan tercapai. Simbolik ini membuktikan bahwa dalam
mencapai sesuatu harus selalu berusaha dan doa agar semua keinginan bisa
terkabul. Peribahasa Jawa juga menyatakan bahwa “Sapa temen bakale tekan”
siapa bersungguh-sungguh kelak akan berhasil.
3. Kuluban
Kuluban (sayuran) yaitu sayuran hasil pertanian masyarakat Berjo dan
para peziarah lain di antaranya: kacang, tomat, cabai, jagung, dan lain-lain. Sayur-
sayuran ini melambangkan tentang urip, urup, dan urap. Urip artinya harus selalu
sadar dari mana seseorang hidup, apa yang dikerjakan selama hidup, dan
kemanakah tujuan setelah mati, Urup artinya selama hidup harus mempunyai arti
bagi sesama, lingkungan, agama, bangsa dan Negara, Urap artinya dalam
bermasyarakat harus bisa berbaur dengan siapa saja
4. Pisang susu
Pisang susu yaitu pisang yang digunakan sebagai pelengkap. Masyarakat
biasanya menyebutnya pisang susu karena rasa dan warnanya seperti susu. Pisang
adalah sesaji yang tidak akan lepas dalam semua tradisi. Masyarakat Desa Berjo
mempercayai upacara masih kurang lengkap apabila tidak ada pisang beserta
buah-buah dan hasil sayur-mayur. Pisang ini merupakan sebuah simbol dari
ketulusan suci hati seseorang yang sedang berdoa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
5. Kembang setaman
Kembang setaman adalah beberapa macam bunga, yaitu bunga melati,
kanthil, mawar merah dan putih, serta kenanga. Kembang setaman ini merupakan
lambang nafas manusia, karena semua yang dihadapkan manusia merupakan guru
bagi perjalanan hidupnya. Seperti taman bunga sebaiknya manusia belajar dari hal
yang baik sehingga kehidupannya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang
lain serta menghasilkan hal yang baik pula.
6. Dupa dan kemenyan
Dupa dan kemenyan adalah sejenis alat pengharum yang berupa bubuk
atau lidi yang cara pengunaannya dibakar. Dupa atau kemenyan dari jaman
dahulu kala sampai sekarang masih digunakan sebagai barang wewangian
biasanya digunakan untuk mengiringi suatu do’a, permohonan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Bau-bau yang harum merupakan lambang indra penciuman yang
jujur. Jika mencium wewangian akan dikatakan harum dan sebaliknya jika
mencium bau busuk akan dikatakan busuk. Hal ini dimaksudkan agar dalam
berdoa/ memohon seharusnya dengan setulus hati dan kesungguhan hati disertai
kejujuran seperti wewangian dupa atau kemenyan yang dibakar.
e) Tujuan dan manfaat penyelengaraan tradisi upacara Nyadran
1. Tujuan:
a. Mempererat tali persaudaraan di antara penduduk Berjo dan peziarah
pendatang.
b. Sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang selalu diberi rizki kepada
masyarakat Berjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
2. Manfaat
a. Tradisi Nyadran ini bisa menjadi aset pendapatan penduduk sekitar
dengan adanya orang berjualan maupun menjadi tukang ojek.
b. Bagi Dinas Pariwisata bisa dijadikan sebagai objek wisata ziarah dan
menambah pendapatan daerah.
b. Bersih Dusun
Dusun Tlogo pada umumnya masyarakat Agraris dimana selalu
menggantungkan hidup pada kesuburan tanah sebagai media bercocok tanam.
Oleh karena itu alamlah yang menjadi pusat perhatian pandangan hidupnya.
Segala sesuatu akan diupayakan demi kesuburan tanah yang menjadi pusat
perhatian pandangan hidupnya. Setiap bulan suro pada hari Kamis Kliwon
masyarakat dusun Tlogo selalu mengadakan slametan (punden) Eyang Jaya
Negara yang masih berada satu komplek dengan Telaga Madirda
Semua masyarakat meliburkan diri untuk tidak bekerja (tak ada aktivitas
sama sekali) ditakutkan mengikuti upacara adat istiadat selamatan yang dipimpin
oleh sesepuh yang bernama Mbah Wiro dengan membawa sesajen berupa
tumpeng sega gurih, pitik ingkung, gedhang setangkep, apem, dan kembang yang
diujubkan dengan menggunakan Bahasa Jawa doa “Mugi-mugi ingkang pangajab
badan wadakipun dipun tampi ibu pertiwi, badan sukmanipun dipun tampi
panjenengan gusti pinaringan kaswargan ingkang minulya dipun sepuraa
sakabehe dosane sawah kosok wangsulipun swargi Eyang Jaya Negara anak
putune ingkang sami manggen wonten dusun Tlogo ngriki pinarengan slamet
sedayanipun lan mugi-mugi gampila anggenipun luruh sandang teda siang patara
ratri kenging nyekapi brayatipun sedaya”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Sampai generasi sekarang ini masih dilestarikan karena dirasa masih ada
nilai-nilai yang memang urgen dan esensi, adapun tujuannya adalah sebagai
berikut:
1. Ucapan rasa syukur pada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mengenang dan mendoakan arwah para leluhur
3. Sebagai tolak balak suatu acara atau kepercayaan untuk mengusir
segala macam musibah terhindar dari segala penyakit yang datang
secara tiba-tiba dan selalu memberikan ketentraman hidup.
4. Untuk sesaji sekaligus pelengkap upacara yang tidak boleh
ditinggalkan.
Secara garis besar makna simbolik dari perlengkapan sesaji dalam
tradisi Bersih Dusun adalah sebagai berikut:
1. Tumpeng Sega Gurih
Tumpeng yaitu nasi yang terbuat dari beras yang ditaruh dalam Nampan
gedhe yang di dalamnya berisi banyak hasil pertanian dan laut. Pengertian
tumpeng pada tradisi Bersih Dusun sama dengan nasi tumpeng pada Nyadran
hanya saja yang menjadi ciri khas dalam tumpeng ini akan selalu ada ikan asin
yang ada di dalamnya. Kata “tumpeng” berasal dari kata Tumungkulo Sing
Mempeng, artinya kalau ingin selamat, hendaknya selalu rajin beribadah.
Tumpeng yang berbentuk tidak kerucut dalam tradisi Bersih Dusun
mengartikan bahwa semakin hari manusia harus senantiasa berserah diri kepada
Tuhan dan tumpeng juga sebagai penjelmaan alam semesta, dimana nasi berwujud
gunung dikelilingi oleh hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan darat/air.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Tumpeng tadi berisi banyak aneka hasil pertanian dan laut. Berbeda dengan
tumpeng yang biasanya tumpeng yang berada dalam tradisi Bersih Dusun ini
hanya berupa nasi yang tidak berbentuk kerucut dan hasil-hasil pertaniannya
berada semua di atasnya. Hal ini bermakna dalam bentuk kerucut tersebut bahwa
sebagai manusia hendaknya sama/ sederajat di hadapan Tuhan Yang Maha Esa
atau dalam peribahasa Jawa adalah andhap asor.
2. Pitik Ingkung
Pitik Ingkung (Ayam ingkung), ayam yang digunakan adalah ayam jago
yang disembelih dan diingkung menggunakan direbus dengan menggunakan
santan. Ingkung melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai
kesalahan atau banyak orang yang mengatakan masih suci. Ingkung juga
melambnagkan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Gedhang Raja
Gedhang Raja (Pisang Raja) melambangkan suatu kekuatan yang tinggi,
kewibawaan, keluhuran dan juga kemuliaan. Pisang adalah sesaji yang tidak akan
lepas dalam semua tradisi. Masyarakat mempercayai upacara masih kurang
lengkap apabila tidak ada pisang beserta buah-buah dan hasil sayur-mayur. Pisang
ini merupakan sebuah simbol dari ketulusan suci hati seseorang yang sedang
berdoa.
4. Apem
Apem adalah makanan yang terbuat dari tepung gandum yang dibentuk
bulat seperti uang logam yang melambangkan permintaan maaf dari manusia yang
memiliki banyak kesalahan, karena tidak mungkin manusia itu tidak mempunyai
salah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
5. Kembang setaman
Kembang setaman adalah beberapa macam bunga, yaitu bunga melati,
kanthil, mawar merah dan putih, serta kenanga. Kembang setaman ini merupakan
lambang nafas manusia, karena semua yang dihadapkan manusia merupakan guru
bagi perjalanan hidupnya. Seperti taman bunga sebaiknya manusia belajar dari hal
yang baik sehingga kehidupannya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang
lain serta menghasilkan hal yang baik pula.
6. Dupa dan Kemenyan
Dupa dan kemenyan adalah sejenis alat pengharum yang berupa bubuk
atau lidi yang cara pengunaannya dibakar. Dupa atau kemenyan dari jaman
dahulu kala sampai sekarang masih digunakan sebagai barang wewangian
biasanya digunakan untuk mengiringi suatu doa, permohonan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Bau-bau yang harum merupakan lambang indra penciuman yang jujur.
Jika mencium wewangian akan dikatakan harum dan sebaliknya jika mencium
bau busuk akan dikatakan busuk. Hal ini dimaksudkan agar dalam berdoa/
memohon seharusnya dengan setulus hati dan kesungguhan hati disertai kejujuran
seperti wewangian dupa atau kemenyan yang dibakar.
c. Padusan
Rangkaian berbagai adat tradisi yang dijalani orang Jawa punya tujuan,
yaitu mempersiapkan diri agar bisa memasuki dan menjalani semua kewajiban di
Bulan Puasa yang penuh berkah itu dengan baik. Rangkaian tradisi itu dimulai
dari padusan. Bila dilihat dari aturan agama Islam, rangkaian tradisi seperti itu
sepertinya tidak Islami, karena dalam ajaran agama Islam tidak ada mengenai
tradisi padusan juga megengan. Tetapi pengertian sebagian masyarakat Jawa,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
meskipun bukan ajaran agama Islam, tradisi tersebut merupakan “kearifan lokal”
yang mengandung bermacam-macam tafsiran yang mendorong agar pribadi
manusia menjadi lebih baik.
Padusan berasal dari kata pa + adus + an, pa berarti tempat, adus berarti
mandi, an berarti akhiran. Padusan diartikan sebagai sarana menyucikan diri atau
badan secara lahir batin untuk menyambut datangnya Bulan Puasa. Lokasi
Padusan dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan. Caranya dengan mandi
keramas untuk membersihkan badan. Biasanya dilakukan sehari sebelum masuk
Bulan Puasa. Lokasi Padusan biasanya dilakukan ditempat khusus, seperti di
sungai, sendang, belik, umbul atau sumber air lainya. Dan kebetulan yang ada di
Desa Berjo adalah Telaga maka masyrakat setempat melaksanakan Tradisi
Padusan di Telaga Madirda. Bagi masyrakat Jawa yang masih mengikuti tradisi
Laku Padusan akan lebih memberi berkah apabila dilakukan di sendang, belik,
sungai, atau sumber air alami lainnya yang berhubungan dengan tempat untuk
bertapa pada jaman dahulu serta mempunyai nilai mistik yang tinggi dan keramat.
Dengan melakukan Padusan diharapkan secara lahir dan batin bisa bersih dari
kotoran, maka akan mudah untuk menjalani semua kewajiban pada Bulan Puasa.
Menurut penjelasan Winarso Kalinggo ketika wawancara dengan Solopos,
bagi masyrakat Jawa yang menjalani ajaran agama Islam, masih sebatas Islam
Abangan memang banyak masalah yang menarik perhatian ketika dipadukan
dengan tradisi yang masih hidup. Seperti tradisi Padusan yang berupa mandi
keramas, bagi orang Jawa diartikan sebagai laku menyiapkan fisik dan batin
ketika memasuki bulan puasa hatinya sudah bersih dan suci (Jagad Jawa no 36
September 2007)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Bulan puasa adalah bulan yang mengandung banyak harapan, laku batin
seperti itu, sampai sekarang masih banyak masyarakat Jawa memilih melakukan
tradisi Padusan di telaga atau sumber air yang dipercaya mengandung sejarah
seperti Telaga Madirda, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar.
Kegiatan Padusan yang diadakan warga Desa Berjo merupakan bentuk
kesiapan mereka untuk menyambut datangnya Bulan Puasa. Mereka mandi di
telaga sehari sebelum puasa, salah satu warga (Warno Hartopo, 34 tahun)
mengungkapkan bahwa tradisi ini sudah dia jalani ketika dia masih SD sampai
sekarang ini, karena begitu menyenangkan dapat berkumpul mandi bersama
dengan semua warga dan tetangga. Kegiatan padusan juga dimanfaatkan untuk
minta maaf sebelum menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
D. Unsur-Unsur Mitos dan Fungsi Sosial serta Dampak Sosial Ekonomi
Cerita Rakyat Telaga Madirda
1. Unsur-Unsur Mitos
Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dengan mitos, meskipun
kebenaran suatu mitos belum tentu memberikan jaminan dan bisa
dipertanggungjawabkan. Kebenaran suatu mitos diperoleh tanpa suatu penelitian,
tetapi hanya berdasarkan anggapan dan kepercayaan semata. Mitos bukan suatu
pembuktian kebenaran, tetapi yang lebih diperhatikan dan terpenting adalah hasil
akhirnya atau akibat dari adanya mitos. Mitos tidak dianggap sebagai hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
irasional, tetapi mitos adalah suatu realitas atau kenyataan. Pada umumnya cerita
rakyat mengandung beberapa unsur mitos.
Mitos ada dua jenis yaitu:
1. Mitos pembebasan : adalah mitos pendobrak, yang dapat diterobos oleh
masyarakat yang sifatnya bebas, tidak perlu adanya suatu aturan-aturan yang
harus dikerjakan oleh masyarakat. Mitos pembebasan ini memberikan
kebebasan sepenuhnya untuk mengeluarkan argumen dan pendapat,
masyarakat tidak harus terkekang oleh larangan-larangan yang diciptakan
masyarakat dahulu.
2. Mitos pengukuhan : mitos yang masih dipercaya masyarakat dan sampai
sekarang diyakini dan dilestarikan keberadaanya serta dikukuhkan oleh
pendukungnya. Karena sifatnya masih dipercaya olah generasi ke generasi
maka tidak diragukan lagi dan tidak perlu pembuktiaan lagi.
Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan salah satu contoh mitos
pengukuhan, masyarakat Berjo masih mempercayai hari-hari tertentu seperti
Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon Telaga Madirda ramai dikunjungi orang-orang
dari daerah asal maupun dari luar kota, mereka yang datang ke Telaga biasanya
melakukan upacara Nyadran, Ngalap Berkah, sebagai suatu tradisi yang sudah
ada dari dahulu, tradisi ini hingga sekarang masih dilakukan masyarakat. Karena
masyarakat percaya jika mereka Ngalap Berkah di Telaga Madirda mereka bisa
mewujudkan atau mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. Banyak dari
para pengunjung yang datang ke Telaga Madirda untuk mencari berkah. Karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Telaga Madirda mengandung nilai mistik sampai saat ini selalu di agung-
agungkan dan dipercaya oleh masyarakat Berjo.
Dalam Cerita Rakyat Telaga Madirda Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso
kabupaten Karanganyar memiliki unsur-unsur mitos yang sangat dipercayai oleh
masyarakat sekitar menghargai dan menghormati air Telaga Madirda.
Air yang ada di Telaga Madirda dianggap oleh warga sebagai air yang
memiliki kemujaraban dari berbagai segi. Misalnya untuk pertanian dapat
menyuburkan tanaman mereka bagi yang bercocok tanam. Bahkan bagi yang
mempercayainya ada yang menggunakannya sebagai obat peneyembuhan
penyakit dan hasilnya juga sesuai dengan apa yang diharapkan.
1. Air Telaga Madirda Mengandung Kekuatan Gaib
Mitos memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan gaib,
serta membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya gaib sebagai suatu
kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam kehidupan. Dalam upacara
tradisi laku pelaku dapat merasakan bersatu dengan alam, yang dimaksud disini
bahwa kekuatan-kekuatan gaib atau ajaib dari tokoh-tokoh yang diagung-
agungkan oleh masyarakat Berjo yaitu Sugriwa, Subali dan Anjani. Saat
malakukan ritual Ngalap Berkah seluruh tubuh ini merasakan bersatu padu
dengan alam dan tokoh yang disakralkan ditempat ini atau Telaga Madirda akan
memasuki sukma tubuh dan jiwa. Pada saat ritual Ngalap Berkah atau tradisi
berlangsung kekuatan-kekuatan gaib itu muncul dalam tubuh. Masyarakat Berjo
sebagai empunya cerita sangat mensakralkan tempat tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Air di Telaga Madirda dipercaya dapat memberikan keberuntungan atau
juga dapat menyembuhkan penyakit. Penulis mendapat cerita dari Juru Kunci
bahwa ada seorang bapak yang masih berasal dari Ngargoyoso mengadukan
bahwa anakanya yang masih balita belum bisa jalan padahal umurnya hampir 2
tahun maka bapak tadi meminta bantuan kepada Juru Kunci untuk memberikan
kesembuhan pada anakanya. Maka bapak tadi di suruh bertapa semalam suntuk
dan membawa air dari telaga untuk dibawa pulang dan diusapkan ke kaki
anaknya. Dua bulan kemudian bapak tadi kembali menemui Juru Kunci dan
mengucapkan terima kasih karena berkat bantuannya dan air telaga anaknya kini
sudah bisa berjalan.
2. Air Dapat Memberikan Jaminan Kehidupan Manusia
Cerita-cerita dan simbol-simbol mitologis membuka kesempatan untuk
kehidupan dan kesuburan, yang bertepatan dengan aneka peristiwa. Usaha
masyarakat Berjo yaitu dengan :
a) Mensakralkan sumber air Telaga Madirda, yang sampai sekarang masih
dilakukan diantaranya : sebelum menanam dan memanen padi atau
palawija warga masyarakat Berjo masih melakukan do’a dan memberikan
sesajen di Telaga Madirda pada hari Selasa Kliwon dan Jum’at Kliwon.
b) Membangun mitologi yang berkaitan dengan pemeliharaan akosistem
sedemikian rupa sehingga melahirkan larangan-larangan untuk membabat
pohon-pohon atau membunuh binatang-binatang tertentu, dalam hal ini
fungsi utama telaga adalah sebagai pemasok air untuk kehidupan
masyarakat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Masyarakat Berjo benar-benar menjaga alam di sekitar telaga dan
memanfaatkan air telaga sebagimana mestinya, karena mereka tahu semua
itu merupakan kewajiban sebagai manusia untuk mensyukuri nikmat yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia berkewajiban untuk
menjaga serta melestarikannya. Air telaga digunakan untuk pengairan
sawah ladang mereka, mandi, dan kebutuhan lainnya.
c) Menanam dan memelihara pohon yang disakralkan, penanaman pohon
yang disakralkan di sumber mata air Telaga Madirda karena fungsi dari
pohon beringin itu sebagai pusat ekosistem yang mampu mengambil unsur
hara dari dalam tanah menjadikan air yang keluar ke permukaan bumi
terbebas dari toksin unsur hara (zat yang baik untuk kesuburan tumbuhan
tetapi berbahaya untuk manusia) sehingga bisa dikonsumsi manusia dan
jenis hewan. Dengan masyarakat Berjo menjaga mitologi yang sudah ada,
berupa mitos terhadap mata air Telaga Madirda dapat memberikan
jaminan kehidupan untuk masa kini.
Mitos mengajarkan pada manusia bahwa alam yang dipijak selama ini
perlu adanya perawatan, mitos yang beredar dalam kehidupan masyarakat. Sikap
hidup yang masih terjaga dan terawat dalam lingkungan Desa Berjo adalah sikap
yang masih menganggap bahwa alam adalah tempat manusia dalam memenuhi
kebutuhan.
Mitos menceritakan tentang kejadian, bumi, langit, manusia, dewa dan
upacara-upacara yang berkaitan erat dengan kepercayaan dan keagamaan manusia
di dunia ini. Mitos tidak hanya sekedar laporan dari peristiwa yang terjadi saja,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
tetapi juga mengenai upacara-upacara tentang dunia gaib sekitar, tentang dewa
bahkan mitos memberikan arah kepada manusia. Mitos memberi kesadaran pada
manusia bahkan dalam alam semesta ini ada kekuatan-kekuatan gaib. Dimana
manusia ikut berpartisipasi dan ikut menghayati kekuatan gaib. Mitos juga
berusaha membuat seolah-olah menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa yang
dahulu pernah terjadi sedemikian rupa sehingga mampu memberikan tentang
dunia.
Kekuatan bahwa dunia itu kaya akan cerita-cerita yang mengandung suatu
filsafat yang dalam, gambaran-gambaran yang ajaib dan adat istiadat yang
beraneka warna, namun dunia penuh dengan cerita-cerita mistis dan upacara-
upacara mistis, cerita-cerita mistis berfungsi untuk menangkis mara bahaya dan
menahan kesukaran-kesukaran hidup yang terjadi di dunia ini.
Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan bagian dari cerita dunia,
mengandung gambaran gaib yang dibuktikan dengan asal muasal Telaga Madirda
itu ada, bahwa Cupu manik Astagina yang dibuang menjadi sebuah telaga. Mitos
ini diyakini masyarakat Berjo bahwa pernah terjadi dan mempengaruhi kehidupan
mereka. Adat istiadat yang dilakukan masyarakat sekitar Telaga Madirda untuk
mempertahankan keberadaan Telaga Madirda yaitu masyarakat selalu
memberikan persembahan guna penghormatan terhadap Cupu Manik Astagina.
sedangkan upacara-upacara mistis yang masih dijalankan masyarakat Berjo adalah
untuk mengikis mara bahaya dan menahan kesukaran-kesukaran hidup yang
terjadi di dunia. Contohnya: dengan mengadakan upacara Nyadran setiap
tahunnya masyarakat Berjo percaya dapat terhindar dari bencana alam dan juga
memiliki tujuan untuk menjaga keselamatan hidup seluruh warganya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Masih terpeliharanya kesakralan suatu tempat, maka membuat orang Jawa
memahami apa makna dari larangan-larangan yang dahulunya dituturkan oleh
nenek moyang. Larangan-larangan yang diamksud adalah seperti kencing di
sumber air itu tidak baik seperti sumur, sendang atau telaga, yang merupakan
suatu larangan yang begitu nyata karena itu adalah merupakan sumber air, airnya
dibutuhkan oleh banyak umat manusia, begitu juga dengan air Telaga Madirda
yang dibutuhkan oleh masyarakat Berjo. Dengan banyaknya air maka masyarakat
dumanjakan dengan limpahan air sehingga pengaruhnya begitu banyak sekali.
Dalam kaitannya dengan Telaga Madirda masyarakat begitu dimanjakan dengan
limpahan air, meskipun datangnya musim kemarau sekalipun. Mitos tentang air
yang begitu sakral memberitahukan bahwa air merupakan sumber kehidupan,
sehingga keberadaan air perlu diselamatkan. Manfaat yang terdapat dari
penyelamatan air mengandung ajaran tentang usaha menjaga keselamtan dunia,
yang sudah sejak jaman dahulu dan sampai sekarang ditakdirkan sebagai tujuan,
sekaligus juga seabagi cita-cita hidup orang Jawa.
Cerita Rakyat Telaga Madirda masih adanya kekuatan-keuatan yang
kurang bisa diterima oleh akal sehat manusia, namun sebagian besar masyarakat
mempercayainya bahkan masyarakat manca. Dalam hal ini masyarakat sekarang
diharapkan masih mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan mistis, karena
dunia yang dipijak manusia juga perlu adanya penghormatan dengan melakukan
pensakralan terhadap apapun yang berada di alam.
Mitos juga merupakan suatu hal yang penting bagi kehidupan manusia,
walaupun belum tentu diyakini kebenarannya, mitos adalah sesuatu makna atau
petuah kehidupan yang dapat dijadikan pedoman hidup. Cerita Rakyat Telaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Madirda memberi keyakinan bahwa air yang ada didalamnya memberi kekuatan
batin untuk hidup lebih baik.
3. Mitos Bahwa Air Telaga Madirda Memberi Tuah
Permintaan/permohonan jika telah terkabul, yang bersangkutan biasanya
kembali ke Telaga Madirda Desa Berjo untuk melakukan selametan sebagai
wujud rasa syukur setelah terkabulnya permohonan/permintaan. Apabila hal
tersebut tidak dilakukan maka yang bersangkutan akan mengalami hal yang sama
dengan apa yang dialami sebelum datang ke Telaga Madirda.
Menurut pernyataan juru kunci ada orang yang ngalap berkah di Telaga
berasal dari perbatasan Sragen-Karanganyar, merasakan bahwa hidupnya merasa
lebih baik. Usaha perdagangan sayurannnya lebih laku, lebih lancar sehingga
perekonomian keluarganya menjadi lebih layak. Sehingga dia menjadi rutin
melakukan do’a di telaga karena sudah merasakan sendiri bagaimana tuah dari
telaga ataupun air telaga.
4. Mitos Larangan Mencicipi Makanan Apabila Memasak Buat Kenduri Yang
Hubungannya Untuk Upacara Nyadran Telaga Madirda
Warga Dusun Tlogo jika memasak untuk acara kendurian tidak pernah
dicicipi. Hal ini dikarenakan jika masakan dicicipi terlebih dahulu masyarkat
percaya bahwa sesajen yang mereka gunakan untuk upacara nyadran tidak akan
diterima oleh danyang penunggu telaga.
Kebiasaan semacam ini sampai sekarang masih dipercaya masyarakat
Dusun Tlogo dan mereka percaya jika dilanggar akan mendapatkan hal yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
diinginkan seperti halnya masakan yang digunakan akan menjadi basi. Maka
biasanya ketika memasak untuk upacara Nyadran anak-anak dijauhakn dari
kegiatan memasak ibu-ibunya karena dikhawatirkan akan menggganggu dan
mengambil makanan untuk Nyadran.
5. Mitos Larangan Tidak Boleh Memasak Bagi Ibu-Ibu Harus Dengan Keadaan
Suci Tidak Boleh Memasak Dalam Keadaan Kotor Apabila Memasak Untuk
Acara Nyadran
Ibu-ibu khususnya Dusun Tlogo jika memasak makanan untuk Nyadran
harus dengan keadaan bersih atau suci tidak berhalangan (haid) atau dalam
keadaan kotor. Hal ini mempunyai alasan karena Nyadran adalah suatu ritual yang
sakral dan do’a untuk para leluhurnya. Masyarakat menganggap hal tersebut
merupakan ibadah jadi mereka mengibratakan apabila melakukan ibadah keadaan
bersih dan suci.
6. Mitos Bahwa Hanya Juru Kunci Yang Bisa Memiliki Bunga Kanthil
Ada kepercayaan yang menyatakan bahwa hanya Juru Kunci saja yang
bisa memiliki bunga kanthil, karena bunga itu akan tumbuh dengan sendirinya
dirumah seseorang yang terpilih melalui tumbuhnya bunga kanthil tanpa harus
sengaja menanam dan merawatnya.
2. Fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda
Cerita rakyat lisan, yaitu disebarkan dari mulut kemulut dengan tutur kata
yang mempunyai kelemahan, karena apa saja yang diteruskan melalui lisan
dengan mudah sekali dapat mengalami perubahan yang tidak disengaja maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
yang disengaja, karena kemungkinan daya ingat seseorang berbeda-beda atau
karena orang sengaja menambahi cerita dalam penceritaannya kepada orang lain.
Cerita rakyat bukan hanya pemikiran dengan intelektual dan bukan pula
dengan logika manusia, tetapi lebih dari itu merupakan orientasi spiritual
supranatural untuk berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Bagi masyarakat
awam sebagai masyarakat tradisional, dalam menghayati cerita rakyat, mereka
menganggap merupakan realitas bahkan cerita tersebut merupakan barang yang
berharga. karena mempunyai sesuatu yang sakral, bermakna, menjadikan teladan
dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat sekitarnya. Masyarakat percaya apa
yang ada dalam cerita (khususnya cerita rakyat) dengan memelihara dan
menghayati cerita itu supaya tidak lekas punah begitu saja tanpa ada pelestarian
dan pengembangan.
Cerita rakyat diartikan sebagai salah satu karya sastra (cerita) yang lahir
dan berkembang pada beberapa generasi dalam masyarakat tradisional, baik
masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum, disebarkan secara lisan, dan
disebarkan antara kolektif tertentu dalam kurun waktu yang cukup lama dan
memiliki fungsi tertentu di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Adapun
fungsi-fungsi Cerita Rakyat Telaga Madirda adalah sebagai berikut.
a. Sebagai Sarana Sistem Proyeksi (projective system), Yaitu Alat Pencerminan
Angan-Angan Kelompok Masyarakat Tertentu (suatu kolektif).
Mengenai fungsi cerita rakyat sebagai sistem proyeksi, untuk mengulasnya
harus dengan cara berhati-hati. Karena bila mempergunakan cerita rakyat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
berbentuk prosa akan timbul suatu pemuasan seseorang yang diproyeksikan dalam
bentuk cerita.
Cerita rakyat lisan mempunyai fungsi sebagai sarana sistem proyeksi.
Cerita Rakyat Telaga Madirda sebagai milik masyarakat berfungsi sebagai alat
untuk memproyeksikan alam pikiran masyarakat di Desa Berjo atas pengakuan
petilasan Sugriwa, Subali, Anjani sebagai tempat keramat atau sakral. Masyarakat
mempercayai adanya kekuatan-kekuatan supranatural, dimana tidak dapat dilihat
dengan panca indra. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena masyarakat di desa
Berjo masih menghormati leluhurnya dan percaya terhadap makhluk halus,
kekuatan gaib, kekuatan sakti dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan nyata, kita sering sekali mendengar atau bahkan
mengetahui tentang hal-hal yang dikeramatkan sebagai contoh: barang-barang
yang dianggap keramat misalnya keris, dan benda-benda pusaka lainnya yang
dianggap memiliki kekuatan-kekuatan magis, demikian juga dengan telaga yang
dianggap memiliki kekuatan gaib, sehingga banyak orang yang ke tempat tersebut
dengan tujuan ngalap berkah yaitu ingin mendapatkan berkah, baik mendapatkan
rejeki yang banyak ataupun naik drajat pangkat (tingkat kedudukan).
Berdasarkan kisah tokoh-tokoh dalam Cerita Rakyat Telaga Madirda.
Sugriwa, Subali dan Anjani, maka masyarakat umum dan masyarakat Desa Berjo
khususnya menganggap Telaga Madirda merupakan tempat yang keramat dan
layak untuk dipertahankan keberadaannya. Dengan kepercayaan tersebut, mereka
berharap mendapat berkah dari kekuatan gaib yang ditimbulkannya, karena
kekuatan gaib ini dipercaya mampu membantu di dalam kehidupan mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Peninggalan leluhur yang dikeramatkan yaitu beruapa Telaga Madirda,
banyak didatangi orang yang ingin ngalap berkah supaya apa yang diinginkan
tercapai atau terkabulkan. Biasanya masyarakat yang datang untuk ngalap berkah
pada hari Kamis malam Jum’at. Menurut kepercayaan orang Jawa pada hari
Kamis malam Jum’at adalah hari istimewa karena merupakan hari penuh berkah
terutama pada hari Kamis Malam Jum’at Kliwon.
Masyarakat datang ke Telaga Madirda adalah masyarakat yang ingin
permohonannya tercapai dan terkabulkan, dengan cara Ngalap Berkah. Telaga
Madirda yang dikeramatkan oleh masyarakat di Desa Berjo melestarikan
peninggalan dari Cerita Rakyat Telaga Madirda. Sedangkan sebagai
pelestariannya dilakukan oleh generasi muda dan generasi tua. Yaitu dengan acara
mempersembahkan sesaji, dengan upacara Nyadran sebagai ungkapan rasa
syukur yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, dapat diketahui bahwa pengunjung Telaga Madirda masih menganggap
bahwa telaga tersebut keramat dan sakral, sehinggga mereka berusaha untuk
melestarikan, menjaga dan merawat Telaga Madirda agar tidak terjadi kepunahan.
Masyarakat Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar
pada khususnya masih mempercayai bahwa kesaktian orang-orang terdahulu akan
selalu melekat pada ruh-ruh tertentu, sehingga perkembangannya sangat
mempengaruhi kehidupan manusia. Daya magis dan kekuatan alam yang
ditimbulkan oleh ruh-ruh yang dipercaya memiliki kekuatan gaib. Dengan
demikian, antara cerita rakyat dengan Telaga Madirda selalu mempunyai
hubungan, sebab adanya Telaga Madirda akan semakin memperkuat keberadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
cerita rakyat terlebih lagi Telaga Madirda dikenal sebagai tempat yang memiliki
kekuatan linuwih.
Angan-angan kelompok (alam pikiran) menggambarkan bahwa leluhur
mereka, yaitu tentang Sugriwa, Subali, Anjani memiliki kekuatan supranatural
dan memang perlu didukung keberadaannya. Walaupun masyarakat di Desa Berjo
mayoritas beragama Islam, namun mereka tetap memelihara dengan baik
peninggalan berupa Telaga Madirda maupun tradisi yang menyertai keberadaan
cerita.
b. Sebagai Alat Pendidikan
Pembicaraan masalah dasar pendidikan tidak akan lepas dari pemahaman
sebagai sistem pengendalian ketegangan sosial. Pendidikan dapat dipergunakan
sebagai sarana mempertebal keyakianan kepada masyarakat akan kebaikan adat-
istiadat kelompoknya. Sama halnya dengan filsafat, ilmu pengetahuan serta agama
atau kepercayaan sebagai hubungan yang saling terkait dan melengkapi.
Filsafat dan ilmu pengetahuan dapat membantu menyampaikan kelanjutan
ajaran agama kepada manusia. Sebaliknya agama maupun kepercayaan dapat
memberi jawaban terhadap masalah yang tidak dapat dijawab oleh filsafat dan
ilmu pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan mencari kebenaran berdasarkan
akal dan pikir, sedangkan agama mengajarkan kebenaran berdasarkan moral yang
bersumber pada wahyu.
Adapun cara pendidikan digunakan sebagai alat untuk mempertebal
keyakinan kepada anggota masyrakat, tentang kebaikan adat-istiadat adalah
dengan sugesti sosial (social suggestion). Dalam hal ini, biasanya kebaikan adat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
istiadat ditunjukkan pada masyarakat melalui cerita rakyat, dongeng, legenda,
cerita tentang karya orang-orang besar, cerita tentang paahlawan yang dikisahkan
dengan menarik melalui lisan.
Sebagian cerita rakyat juga menyertakan adat-istiadat sebagai pakem yang
secara otomatis dipatuhi dan dihormati oleh setiap pendukung dan generasinya
dimana cerita rakyat itu tumbuh dan berkembang. Cara semacam ini memang
lazim digunakan oleh hampir semua masyarakat, karena dengan cara ini akan
menyebabkan adanya suatu kompleks cerita tentang tokoh-tokoh dan pahlawan
besar merupakan suatu kebutuhan universal dalam kehidupan masyarakat.
Dilihat dari segi pendidikan, dapat dilihat semua cerita rakyat dituturkan
oleh orang-orang tua mengandung unsur-unsur pendidikan. Yaitu meliputi
pendidikan moral, pendidikan agama, pendidikan cinta, baik cinta terhadap tanah
air maupun cinta terhadap apapun, pendidikan kekeluargaan, adat-istiadat, sifat
kepemimpinan dan lain sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam cerita rakyat tersimpan gejala-gejala
kejiwaan pada pelakunya atau tokoh-tokohnya apabila dilihat dari segi psikologis
misalnya seperti kebahagiaan, kesediahan, kesengsaraan, kepintaran dan
kebodohan, kemunafikan, kecerdikan, kebencian, rasa kasih sayang, kesetiaan,
pengkhianatan, kejujuran, dan lain sebagainya. Latar belakang cerita rakyat juga
untuk mempertebal rasa taat dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, hormat
kepada orang tua, hormat pada sesama manusia dan lain-lain
Cerita Rakyat yang berada di Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar dapat diambil hikmah dan manfaatnya bagi generasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
penerus pada khususnya sebagai alat pendidikan, dan bagi masyarakat yang
mengenal cerita rakyat. Cerita Rakyat Telaga Madirda sebenarnya juga dapat
bermanfaat dalam pendidikan yang pantas untuk ditiru dan direalisasikan dalam
kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat. Unsur-unsur pendidikan yang
terdapat dalam Cerita Rakyat Telaga Madirda adalah sebagai berikut :
1. Sebagai Alat Pendidikan Anak (pedagogical device)
Cerita Rakyat Telaga Madirda adalah salah satu dari sekian banyak hasil
kebudayaan warisan dari nenek moyang kita. Dan secara umum kebudayaan
tersebut dapat dikelompokan kedalam dua unsur besar, yaitu kebudayaan fisik dan
non fisik. Kebudayaan fisik berupa wujud dari telaga itu sendiri. Sedangkan
kebudayaan non fisik yaitu berupa pranata, norma, dan sistem nilai yang berlaku
ditengah-tengah masyarakat. Dengan adanya eksistensi kebudayaan non fisik,
dimana Telaga Madirda memiliki cerita rakyat berfungsi sebagai alat pendidikan
anak (pedagogical device) digunakan oleh para orang tau, agar anak-anak mereka
mendapat pesan moral yang dititipkan melalui cerita rakyat.
Pesan-pesan moral yang dilahirkan dari Cerita rakyat Telaga Madirda
anatar lain berbuat baik kepada sesama dan saling berbagi kepada sesama. Di
dalamnya juga terdapat pendidikan moral, menganjurkan agar kita tidak sombong
jika memiliki benda/barang yang orang lain tidak memilikinya. Karena dapat
menimbulkan kecemburan dan iri hati. Jika kita menjadi seorang laki-laki agar
memiliki jiwa kepemimpinan, sifat tanggung jawab dan bijaksana.
Bagi warga Desa Berjo cerita mengenai Sugriwa, Subali dan Anjani selain
dapat menghibur anak-anak, juga dapat memberikan suatu pendidikan moral
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
kepada anak mereka. Anak-anak mereka menjadi lebih peduli kepada lingkungan
sosial dan alam sekitaranya.
2. Mendidik Agar Manusia Tidak Sombong
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk yang
paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lainnya.
Namun pada kenyataannya manusia banyak memiliki kelemahan-kelemahan sifat
di dalam masing-masing dirinya sendiri. Salah satu unsur yang penting di dalam
Cerita Rakyat Telaga Madirda yaitu unsur pendidikan untuk mendidik manusia
agar berlaku tidak sombong, karena dengan kesombongan akan menyebabkan
kebinasaan
Seorang manusia hendaknya menyadari bahwa sebenarnya adalah
makhluk lemah, walaupun dengan segala kelebihan yang ia punya. Seperti
pepatah mengatakan “di atas langit masih ada langit” yang mencerminkan bahwa
dengan segala kelebihan yang dimikinya, namun pasti masih ada yang
melebihinya lagi. Oleh karena itu kita harus bersifat rendah hati, dan tidak boleh
takabur seperti dalam Cerita Rakyat Telaga Madirda yaitu Anajani yang di
anugrahi kecantikan dan memiliki Cupu Manik Astagiana merasa sombong dan
bangga dengan apa yang ia miliki tetapi akhirnya dengan apa yang ia miliki malah
membawa petaka bagi kedua saudaranya, bahkan kecantikannnya juga hilang
karena kesombongan yang dimiliknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
3. Sebagai Pengawas Norma-norma Masyrakat Yang Harus Dipatuhi oleh
Kolektifnya
Dalam masyarakat Jawa keberadaan alam mistis tidak dapat dilepaskan.
Mereka percaya bahwa gejala-gejala alam yang ada disekelilingnya dapat
mempengaruhi dalam pikiran secara mendalam, kekuatan-kekuatan gaib selalu
mengelilinginya. Hubungan manusia dengan kekuatan gaib ini diwujudkan dalam
bentuk ritual. Rangkaian ritual pada dasarntya merupakan wujud riil pelaksanaan
norma-norma kelakuan dalam religi mereka. Peringatan ritual dijadikan cermin
kepercayaan masyarakat terhadap kejadian disekelilingnya, terutama kejadian
yang berkaiatan dengan tokoh yang ada dalam Cerita Rakyat Telaga Madirda.
Melalui kepercayaan tersebut, maka Cerita Rakyat Telaga Madirda dipakai
sebagai pedoman tingkah laku atau norma-norma masyarakat yang harus dipatuhi.
Sedangkan upacara ritual dijadiak pengawas norma-norma yang berlaku pada
masyarakat. Pada akhirnya diharapkan keserasian dan ketentraman hidup dapat
terwujud.
Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan salah satu aspek kebudayaan
nasional yang patut dipertahankan. Dengan pelestaraian dan pemeliharaan saja
dapat menyelamatkan salah satu aset budaya nasional. Cerita rakyat merupakan
salah satu bentuk warisan kebudayaan, di dalamnya terkandung ajaran-ajaran
yang dapat membentuk pola tingkah laku manusia dan kebudayaan. Cerita rakyat
merupakan alat pengesahan pranata-pranata. Yaitu berupa tradisi
mempersembahkan sesajen, upacara yang dianggap sebagai suatu masyarakat
suatu penghormatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap dhanyang yang ada
di Telaga Madirda. Tradisi mempersembahakan sesajen merupakan tradisi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
dilakukan masyarakat Desa Berjo dan sekitarnya pada hari-hari tertentu seperti
hari Jum,at Kliwon. Tradisi ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat
Dusun Tlogo, Desa Berjo dan para pendatang baik dari golongan tua maupun dari
golongan muda.
Prosesi-prosesi ritual yang ada pada masyrakat mempunyai maksud dan
tujuan. Tujuan mengadakan ritual dengan menggunakan sesaji adalah untuk
mendapatkan sesuatu yang berharga dan dapat berkomunikasi dengan ruh atau
makhluk yang diharapkan memberikan pertolongan dan berkah dalam hidupnya.
Pranata kebudayaan masih dipegang teguh, norma-norma yang ada dalam
masyarakat sifatnya mengikat dan mengatur. Maka norma-norma harus
dilaksanakan dalam pergaulan dengan masyarakat yang lain, supaya berlangsung
dengan baik. Sehingga tidak terjadi pertengkaran atau perselisihan, maka
dilakukan musyawarah mufakat semua warga masyarakat.
Warga masyarakat terutama masyarakat perkotaan semakin lama semakin
meninggalkan norma-norma masyarkat. Sedangkan untuk masyarakat pedesaan
masih memegang teguh norma-norma yang telah disepakati, baik dosa sengaja
maupun tidak disengaja akan mendapatkan sanksi atau hukuman yang sesuai
dengan tingkat kesalahannya yang diperbuat. Dalam memberikan sanksi
masyarakat selalu membuat yang bersangkutan menjadi jera antara lain dengan
mengucilkan dari masyarakat.
c. Sebagai Hiburan
Cerita Rakyat sebagai salah satu bentuk kebudayaan non fisik dapat
dipakai sebagai sarana hiburan, yaitu Cerita Rakyat Telaga Madirda melahirkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
upacara tradisional Nyadran dan acara bersih dusun. Pada malam harinya
terdapat acara yaitu ringgit purwa atau perunjukan wayang sehingga dengan
menyaksikan pertunjukan wayang, maka masyarakat Desa Berjo merasa terhibur.
Di samping sebagai suatu pertunjukan yang menyenangkan wayang juga
memberikan pesan moral secara tersirat kepada masyarakat Berjo.
Masyarakat Desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar
juga mempergunakan Cerita Rakyat Telaga Madirda sebagai sarana hiburan.
Yaitu dengan cara menceritakan Cerita Rakyat Telaga Madirda kepada anak cucu
mereka pada waktu mereka beristirahat, sebagai media pengantar tidur. Sehingga
anak cucu mereka akan merasa terhibur jika mendengarkan Cerita Rakyat Telaga
Madirda. Dengan cerita yang disampaikan mereka akan mendapat suatu pesan
moral dan mengenal bagaimana Cerita Rakyat Telaga Madirda yang selama ini
dikenal sebagai legenda
Cerita rakyat khususnya Cerita Rakyat Telaga Madirda banyak sekali
manfaatnya di dalam kehidupan. Misalnya sebagai pendidikan untuk
mengenalkan mengenai cerita yang berasal dari daerah sendiri agar tidak punah
dimakan oleh waktu. Sebenarnya cerita rakyat dari daerah tidak kalah baiknya
dengan cerita yang berasal dari luar negeri
d. Sebagai Sarana Menambah Pendapatan Masyarakat
Telaga Madirda memberi berkah tersendiri bagi masyarakat Desa Berjo
yang menjadikannya tempat untuk mencari nafkah. Dengan banyakanya
pengunjung yang datang untuk ngalap berkah terutama pada bulan suro akan
memeberi peluang kepada masyarakat di desa Berjo untuk menambah pendapatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Mereka memanfaatkan situasi itu dengan melakukan kegiatan positif,
misalnya bagi mereka yang ingin berdagang dapat menjajakan dagangannya, bagi
yang memiliki sepeda motor dapat memberi pelayanan jasa antar jemput kepada
pengunjung, karena moda transportasi untuk menuju telaga belum ada angkutan
seperti mobil atau bus. Karena hal itu menyebabkan khususnya masyarakat Desa
Berjo sebagai pendukung Cerita Rakayat Telaga Madirda, menjaga agar lokasi
Telaga Madirda dapat terpelihara dengan, baik karena maerupakan aset yang
berharaga karena bermanfaat dalam aspek ekonomi.
E. Tangggapan dan Penghayatan Masyrakat
Cerita rakyat diciptakan oleh suatu kolektif tertentu bukanlah sebagai
karya sastra kosong belaka, tetapi mempunyai tujuan tertentu. Yaitu memberikan
kegunaan, fungsi, dan pelajaran yang baik untuk menambah wawasan masyarakat
ataupun generasi pada saat sekarang ini. Cerita rakyat yang pewarisannya secara
lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya mempunyai kelemahan, karena
tidak mempunyai dokumen tertulis atau rekaman. Kondisi tersebut ada proses
lupa diri manusia sehingga dapat menjadikan cerita rakyat dengan mudahnya
mengalami perubahan, bahkan menjadi versi atau varian-varian yang berbeda.
Cerita rakyat bersifat tradisional yaitu disebarkan dalam bentuk relatif
tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam
waktu yang cukup lama, paling sedikit dua generasi. Keberadaan cerita rakyat
menjadi milik bersama, yaitu masyarakat yang mempercayai adanya cerita dan
masyarakat yang mendukung keberadaannya. Disini menjadikan cerita rakyat
mempunyai kegunaan bersama dalam kehidupan masyarakat. Tanggapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
masyarakat terhadap penghayatan mengenai cerita rakyat merupakan suatu
penilaian atau penafsiran tentang masalah masing-masing. Bahkan pengahayatan
yang dilakukan oleh setiap masyarakat akan berbeda-beda pula. Masyarakat bebas
dalam menghayati keberadaan cerita rakyat, dan merupakan bagaian dari fungsi
sosial yang ada.
Penghayatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Cerita Rakyat
Telaga Madirda, dapat berguna bagi generasi muda pada masa sekarang ini dan
generasi muda yang akan datang. Dengan mencontoh sebagai ajaran dalam
kehidupan. Pengungkapan dan penilaian suatu karya tidaklah semudah yang kita
pikirkan, bila karya tidak mempunyai fungsi, makna, dan arti bagi masyarakat
pembaca tentu tidak ada yang menanggapi. Karya sastra merupakan ungkapan
imajinasi seorang pengarang dan pembaca menentukan makna nilai-nilai yang
terkandung dalam karya sastra. Kesanggupan seseorang dalam memahami
penafsiran pertama kali dapat terlihat pada kesanggupan untuk meringkas isi
karya sastra. Jadi karya sastra dapat dipakai sebagai salah satu jembatan untuk
memahami kenyataan sosial dalam masyarakat. (Umar Yunus, 1993: 81).
Pembaca dan karya sastra merupakan satu kesatuan, pembicaraan tentang
kesusasteraan tidak akan ada apabila tidak ada sebuah karya sastra. Jadi dalam hal
ini kedudukan karya sastra penting sebagai produk budaya yang dinikmati serta
dihayati oleh masyarakat. Karya sastra dapat dibagi menjadi dua yaitu karya sastra
tulis dan karya sastra lisan. Karya sastra yang berbentuk lisan, contohnya cerita
rakyat, cerita rakyat tidak mempunyai pencipta atau pengarangnya. Cerita rakyat
pengarangnya anonim dan pemilik cerita rakyat itu adalah masyarakat sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Pengahayatan masyarakat yang dimaksud adalah pembaca atau masyarakat
yang memberikan makna terhadap karya satsra yang dihayatinya, sehingga dapat
memberikan reaksi atau tanggapan. Tanggapan yang diambil itu mungkin pasif
dan aktif. Tanggapan pasif merupakan tanggapan bagaimana seseorang dapat
memahami karya sastra itu, atau tanggapan aktif yaitu bagaimana seseorang
merealisasikan dalam karya sastra.
Cerita Rakyat Telaga Madirda di Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar merupakan cerita rakyat bersifat anonima,
yaitu tidak ada pengarangnya. Cerita rakyat merupakan karya sastra masyarakat
Dusun Tlogo, Desa Berjo sebagai masyarakat pendukungnya. Cerita Rakyat
Telaga Madirda adalah karya sastra yang berbentuk lisan, disebarkan dari mulut
ke mulut dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga warisan lama yang
berbentuk cerita rakyat itu dalam penghayatan masyarakat akan berbeda-beda
pula. Hal itu disebabkan adanya perbedaan kondisi sosial budaya masyarakat yang
beraneka ragam, seperti status sosial dalam masyarakat, faktor usia dan religi.
Maka dari itu dalam memberikan penilaian terhadap karya sastra yang berbentuk
lisan akan berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Dengan
keikutsertaan pembaca atau penikmat, maka cerita rakyat tersebut dapat hidup dan
bertahan lama. Selama masyarakat pembaca menghayati nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita rakyat itu. Karena masyarakat pembaca sudah
mengetahui apakah nilai-nilai itu dapat dapat diterapkan atau tidak dalam
lingkungan kehidupan bermasayarakat.
Penghayatan pembaca dalam sastra lisan Cerita Rakyat Telaga Madirda,
digambarkan dalam wujud sebagai masyarakat Dusun Tlogo Desa Berjo yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
memberikan tanggapan. Tanggapan mengenai pengahayatan terhadap isi Cerita
Rakyat Telaga Madirda. Di mana di dalam cerita terdapat beberapa ajaran yang
dapat dijadikan panutan atau dapat dicontoh yang kemudian ditiru untuk dijadikan
pedoman hidup. Meskipun dalam kenyataannnya golongan tua dan golongan
muda mempunyai cara pandang yang berbeda dalam menghayati inti pokok dari
cerita tersebut, namun kenyataannnya mereka mempunyai tujuan yang sama yaitu
mempertahankan tradisi yang telah ada seperti ritual/upacara Nyadran dan Bersih
Dusun supaya tidak punah. Selain itu, juga sebagai perwujudan ungkapan rasa
syukur mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Secara umum penghayatan masyarakat dapat tercermin dangan adanya
perbedaan yang cukup jelas antara golongan tua dengan golongan muda. Antara
lain tercermin dalam pandangan masyarakat Desa Berjo pada masa kini yang
terkadang tidak lagi melaksanakan tradisi berkunjung ke Telaga Madirda
meskipun mereka masih percaya dengan keberdaan Cerita Rakyat Telaga
Madirda dan tokoh dalam cerita. Hal ini dimugkinkan dengan lokasi telaga yang
begitu dekat. Sehingga mereka mengesampingkan kekuatan-kekuatan yang
dipercaya dapat memberi berkah oleh generasi pendahulunya. Masyarakat
golongan muda sekitar Telaga Madirda masih sering berkunjung ke Telaga
Madirda untuk sekedar bermaian-main air di sana. Hal ini membuktikan bahwa
golongan muda masih ikut serta dalam menjaga dan melestarikan tradisi dari
leluhurnya, meskipun dengan cara mereka sendiri.
Pengahayatan masyarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar dalam menanggapai Cerita Rakyat Telaga
Madirda berbeda-beda. Perbedaan itu adalah sejauh mana penghayatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
masyarakat terhadap Cerita Rakyat Telaga Madirda, apabila cerita hanya sebuah
khayalan belaka yang dibuat oleh masyarakat. Apakah Cerita rakyat Telaga
Madirda mempunyai hubungan dengan tempat yang dikeramatkan. Dengan
adanya penghayatan yang berbeda-beda, dapat dipengaruhi oleh hal-hal tertentu.
Salah satunya adalah respendon sendiri masih dibagi menjadi beberapa bagian,
antara lain berdasarkan kelompok dan kelompok profesi.
1. Berdasarkan Kelompok Usia
Penghayatan dan pandangan masyarakat terhadap Ceita Rakyat Telaga
Madirda mengalami perbedaan dan perubahan. Perbedaan itu dapat dilihat dari
segi usia antara lain sebagai berikut
a. Usia 14-30 (Golongan Muda)
Penghayatan terhadap Cerita Rakyat Telaga Madirda oleh golongan muda
mengalami sedikit perubahan. Hampir semua golongan muda masyarakat Berjo
sudah tidak mempercayai bahwa cerita tersebut pernah ada dan mempunyai
kekuatan gaib, tetapi untuk kekuatan yang ditimbulkan tetap berasal dari Tuhan
Yang maha Kuasa. Karena golongan muda termasuk masyarakat modern.
Kebanyakan dari golongan muda tidak mempercayai hal-hal yang tidak masuk
akal. Dikarenakan pola pikir yang sudah maju dan modern. Sebagian golongan
muda menganggap kalau Telaga Madirda adalah tempat untuk rekreasi karena
tempatnya yang sejuk serta sangat cocok untuk memadu kasih. Bagi golongan
muda tradisi padusan di Telaga Madirda sebelum puasa masih mereka lakukan
namun tradisi Ngalap Berkah sudah tidak mereka lakukan. Hanya sebagaian kecil
golongan muda yang masih melakukan ritual Ngalap Berkah. Namun mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
masih percaya bahwa Cerita Rakyat Telaga Madirda tersebut benar-benar ada
karena terdapatnya bukti-bukti peninggalan yang masih ada hingga sekarang ini.
Ketika penulis beberapa kali berkunjung ke Telaga Madirda di sana
penulis mendapati beberapa pemuda. Kemudian melakukan wawancara
kebanyakan dari jawaban mereka hampir sama, yaitu percaya tempat ini memiliki
kekuatan ghaib dan angker tetapi mereka berkunjung ke Telaga Madirda untuk
menghabiskan waktu bersama untuk sekedar nongkrong, ngobrol dan menikmati
pemandangan alam yang indah karena ada bukit-bukit disekeliling telaga.
b. Usia 30 tahun keatas (Golongan Tua)
Pengahayatan golongan tua terhadap Cerita Rakyat Telaga Madirda masih
banyak dan percaya bahwa Cerita Rakyat Telaga Madirda benar-benar terjadi
pada golongan tua mengahayati dengan cara melakukan tradisi yang masih
berlangsung hingga saat ini, seperti masih dilakukannya tradisi Nyadran.
Penghayatan golongan tua terhadap tempat keramat senantiasa dilakukan dengan
cara mengunjungi dan melakukan tirakat pada malam harinya. Melakukan tirakat
atau nyepi mencari hari baik dilakukan pada Selasa Pahing dan malam Jum’at
Kliwon. Hal itu dilakukan untuk mnendapatkan berkah dan apa yang dimintanya
akan terkabul.
Golongan tua sangat mempercayai dan menganggap tempat keramat
merupakan tempat angker. Oleh karena itu masyarakat percaya untuk
menghormati ruh-ruh penunggu dan dhanyang tempat tersebut supaya tidak
murka, maka masyarakat harus menjaga tempat tersebut. Tempat-tempat yang
dikeramatkan oleh masyarakat setempat misalnya Telaga Madirda yang terletak di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar.
Telaga tersebut dipercaya dapat membawa berkah bagi masyarakat yang menjaga
serta melestarikannya. Golongan tua dalam pengahayatan Cerita Rakyat Telaga
Madirda masih banyak dan percaya akan adanya kekuatan yang timbul dari telaga
itu.
Menurut juru kunci, konon ada lelaki paruh baya yang berasal dari lereng
Gunung Merapi, Boyolali. Dia bertapa selama 7 hari 7 malam, di bebatuan
komplek telaga. Ia sangat percaya kekuatan dhanyang penunggu telaga untuk
mewujudkan keinginannya. Ia ingin menjadi orang kaya dengan berjualan ayam
potong. Dan sekarang, dia tidak hanya sekedar pedagang ayam potong biasa. Juru
Kunci mengatakan dia mulai mengembangkan usahanya dengan mendirikan
rumah makan menu yang utamanya ayam goreng.
2. Berdasar Kelompok Profesi
Cerita Rakyat Telaga madirda, di Dukuh Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan
Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar merupakan cerita rakyat yang diwariskan
secara turun-temurun dari dahulu hingga saat sekarang. Cerita rakyat Telaga
Madirda sangat dipercaya oleh sebagian besar warga masyarakat sekitar Telaga
Madirda. Cara menanggapi dan menghayati Cerita Rakyat Telaga Madirda juga
berbeda-beda pula, misalnya berdasarkan kelompok profesi diantaranya petani
dan swasta.
a. Petani
Masyarakat Dukuh Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso,
Kabupaten Karanganyar hampir sebagian besar bermata pencaharian sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
petani. Tanggapan serta pengahayatan masyarakat Dukuh Tlogo yang bermata
pencaharian sebagai petani kebanyakan sama. Mereka percaya dan yakin akan
adanya Telaga Madirda, meraka beranggapan air dari Telaga Madirda merupakan
air pembawa berkah. Karena air dari Telaga Madirda dapat dipergunakan sebagai
sarana pengairan para petani dalam menggarap ladang atau sawahnya, sekalipun
dimusim kemarau. Oleh sebab itulah para petani begitu antusias dalam upacara
ritual Nyadran. Bahkan setiap masa panen tiba mereka melakukan upacara
Kondangan sebagai rasa syukur kerena air telaga tersebut sangat membantu dalam
pengairan sawah dan ladang mereka.
Petani di sekitar telaga juga melakukan ritual membawa sesajen ke
komplek telaga sebelum mereka memulai musim baru karena dengan membawa
sesajen ke telaga kemudian memanjatkan do’a di telaga para petani percaya akan
mendapatkan hasil panen yang maksimal.
b. Swasta
Tanggapan dan penghayatan masyrakat Desa Berjo yang bermata
pencaharian sebagai pegawai swasta ataupun karyawan, mereka percaya dan
yakin akan keberadaan Telaga Madirda, anggapan bahwa air Telaga Madirda
memberikan berkah dan mendatangkan keberuntungan. Banyak dari masyarakat
Desa Berjo yang merantau diluar daerah Ngargoyoso atau bahkan keluar pulau,
mereka sebelum berangkat merantau mengambil sedikit air dari telaga untuk
dibawa ke tempat mereka bekerja dengan tujuan agar selalu memperoleh rejeki
yang cukup sehingga mampu untuk menghadapi tantangan hidup, bahkan ada pula
yang selalu memohon doa agar diberi keselamatan ketika mereka bekerja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Dua anak dari tetangga Juru Kunci yang bekerja di Jakarta juga dibekali
air dari Telaga Madirda dan menurut penuturannya disana mereka hidup aman,
nyaman dengan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Air Telaga
Madirda diyakini memberikan berkah serta keselamatan. Namun itu semua bukan
kekuatan air itu tetapi niat serta kekhusyu’an dalam berdoa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian
ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Masyrakat Desa Berjo merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang
mempunyai karakeristik unik yaitu: sederhana, menjujung tinggi
kesopanan(unggah-ungguh), kekeluargaan (guyub), tertutup dalam hal
keuangan, selalu mengingat janji, menghargai orang lain (ngajeni), dan suka
gotong royong. Meskipun mayoritas mereka beragama Islam (muslim), akan
tetapi sebagai orang Jawa mereka tidak meninggalkan sifat Jawa yang sudah
mendarah daging dan melekat pada diri mereka sejak mereka dalam kandungan
sampai mereka meninggal nanatinya. Tradisi-tradisi tersebut berupa mitoni,
sepasaran, selapanan, khitanan, perkawinan dan seterusnya. Sampai pada saat
upacara kematian dan peringatannya seperti telung dinanan, pitung dinanan,
patang puluh dina, satus dina, mendhak pisan, mendhak pindho dan nyewu
dina. Keberadaan Cerita Rakyat Telaga Madirda di Dukuh Tlogo, Desa Berjo,
Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganayar masih banyak peminatnya,
hal itu terbukti masih banyak orang yang berkunjung ke Telaga Madirda untuk
ngalap berkah. Mereka yang ngalap berkah menganggap Telaga Madirda
mempunyai kekutan mistik ataupun kekuatan gaib.
2. Cerita Rakyat Telaga Madirda merupakan salah satu cerita yang termasuk
cerita prosa rakyat yang berbentuk Legenda. Hal ini dibuktikan dengan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
tempat yang berkaitan dengan adanya cerita tersebut, seperti keberadaan
Telaga Madirda. Selain itu Cerita Rakyat Telaga Madirda, cerita tentang asal
usul Dukuh Tlogo diambil dari kata ‘telaga’ yang menjadi Tlogo oleh
masyarakat setempat. Tokoh-tokoh seperti Sugriwa, Subali dan Anjani
dianggap sebagai tokoh yang linuwih yang disegani oleh masyarakat Desa
Berjo. Mereka dipercaya memiliki kekuatan magis yang disakralkan oleh
masyarakat pendukungnya karena meninggalakan sebuah telaga sampai
sekarang yang sampai sekarang masih dipercaya dapat mengabulkan
permintaan dan permohonan.
3. Cerita Rakyat Telaga Madirda mempunyai unsur-unsaur mitos didalamnya
menganai 1) tata cara pengambilan air, 2) cara membawa air, 3) proses
permohonan setalah dikabulkan, 4) peraturan ketika memasak sesajen atau
kenduri, 5) tidak boleh mencicipi sesajen atau kenduri, 6) bunga kanthil yang
hanya dimiliki juru kunci. Dan juga mempunyai fungsi yaitu : a) sebagai sarana
sistem proyeksi, yaitu alat pencerminan angan-angan kelompok masyarakat
tertentu (suatu kolektif), b) sebagai alat pendidikan, c) sebagai pengawas
norma-norma masyarakat yang harus dipatuhi oleh kolektifnya, d) sebagai
sarana hiburan. Dampak sosial ekonomi yang timbul pada masyarakat sekitar
dengan adanya Telaga Madirda maupun acara ritual Nyadran dan Bersih
Dusun yang ada di dalamnya yang paling menonjol sebagai sarana menambah
pendapatan dan menjadikannya tempat untuk menacari tambahan nafkah bagi
masyarakat Dukuh Tlogo, Desa Berjo.
4. Tanggapan dan penghayatan masyarakat dapat ditarik kesimpulan bahwa
masyarakat Dusun Tlogo, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
Karanganyar masih banyak yang mengakui keberadaan Cerita Rakyat Telaga
Madirda lengkap dengan peninggalannya berupa telaga. Masyarakat yang
memegang teguh tradisi leluhurnya menganggap bahwa Cerita Rakyat Telaga
Madirda merupakan warisan budaya dari leluhur harus tetap dijaga dan
dilestarikan secara turun temurun sampai anak cucunya nanti. Bagi golongan
muda mereka percaya bahwa cerita tersebut pernah ada, tetapi kekuatan yang
ditimbulkan tetap berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Golongan muda kurang
begitu mempercayai dan menganggap tempat keramat bukan merupkan tempat
yang angker. Namun mereka masih percaya bahwa cerita tersebut benar-benar
ada karena terdapatnya bukti yaitu telaga yang masih ada hingga sekarang.
Sedangkan golongan tua sangat mempercayai dan menganggap tempat keramat
merupakan tempat yang angker, oleh karena itu golongan tua percaya untuk
menghormati ruh-ruh penunggu tempat tersebut supaya tidak murka. Tradisi
mempersembahkan sesaji dengan diadakan/diselenggarakan dengan wujud
Nyadran oleh masyarakat Dukuh Tlogo, Desa Berjo setiap tahun sekali.
B. SARAN
1. Penulis memberikan saran kepada pembaca bahwa masih banyak cerita rakyat
yang ada dalam masyarakat tetapi belum tersentuh dan tergarap. Oleh karena
itu perlu adanya perhatian, kepedulian dan penelitian terhadap cerita rakyat
tersebut sehingga akan diketahui keberadaannya dan dilestarikan supaya
warisan yang mempunyai nilai tinggi dan sangat berguna bagi generasi
sekarang maupun mendatang. Cerita rakyat ini merupakan sebuah aset
Kebudayaan Nasional yang harus dibanggakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
2. Penanaman dalam diri mengenai arti pentingnya budaya dalam masyarakat
terhadap unsur-unsur tradisi. Atau masyarakat semakin mengejar kemajuan
dunia teknologi dengan tidak menggunakan kontrol diri yang baik,
sesungguhnya dapat diatasi dengan kemauan untuk meninggalkan kesalahan
tersebut dengan mengimbangi antara kemajuan teknologi dengan nilai-nilai
tradisi yang ada.
3. Masyarakat Desa Berjo harus mempunyai semboyan atau janji untuk berusaha
menjaga keselamatan alam lingkungan Cerita Rakyat Telaga Madirda yang
ternyata merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang berguna sekali dalam
upaya memelihara alam, memelihara bumi dan menjaga lingkungan.
4. Untuk masyarakat Kabupaten Karanganyar agar lebih mengenal kebudayaan
sendiri, masyarakat juga diharapkan untuk ikut berperan serta menjaga dan
melestarikan peninggalan Cerita Rakyat Telaga Madirda, agar generasi muda
selanjutnya masih bisa menikmati kekayaan intelektual para pendahulu
mereka.