Post on 22-Oct-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. JUDUL
KAJIAN TEKNIS GEOMETRI PEMBORAN DAN PELEDAKAN
PADA OPERASI CAST BLASTING UNTUK MEMAKSIMALKAN
PROSENTASE PRIME DI TAMBANG BATUBARA PT.BERAU COAL
1.2. ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Penambangan Batubara dengan mengupas terlebih dahulu overburden
diatasnya adalah system yang lebih disukai saat ini. Lapisan overburden biasanya
terdiri dari lapisan batupasir (sandstone), batulanau (siltstone) dan jenis batuan
sediment lain yang secara fisik cukup keras. Melihat sifat fisik overburden yang
demikian, tidak mungkin pengupasannya dilakukan langsung dengan oleh peratan
mekanis, seperti dragline, excavator atau shovel. Peledakan adalah cara pertama yang
harus ditempuh, kemudian fragmentasinya dipindahkan oleh dragline kelokasi
tumpukan yang telah direncanakan, sehingga lapisan batubara dapat tersingkap.
Masalah yang kemudian muncul adalah bagaimana pengupasan overburden itu dapat
berlangsung cepat, ekonomis, effisien dan ramah lingkungan.
Apabila pada operasi peledakan jenjang lemparan fragmen batuan diusahakan
berkumpul tidak jauh dari bidang bebas, tetapi pada peledakan overburden diatas
lapisan batubara justru sebaliknya, hasil peledakan diusahakan terlempar jauh
daribidang bebas dan jatuh diluar batas lapisan batubara. Cast Blasting merupakan
suatu metoda peledakan lapisan overburden dengan memperhitungkan lemparan
projektil sejauh mungkin, sehingga prosentase prime dapat diraih. Prime adalah
tumpukan hasil peledakan yang terpisah dari lapisan batubara dan tidak memerlukan
pemindahan kembali oleh dragline. Dengan demikian makin besar prime akan
meringankan pekerjaan dragline untuk memindahkan hasil peledakan yang tersisa
diatas lapisan batubara.
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melakukan kajian secara
teknis terhadap rancangan geometri pemboran dan peledakan pada opersi cast
blasting agar hasil lemparan projektil dapat sejauh mungkin, sehingga prosentase
prime dapat diraih.
1.4. RUMUSAN MASALAH
Dengan pola pemboran dan peledakan yang diterapkan pada perusahaan saat
ini, akan dikaji secara teknis sehingga dapat diketahui sejauh mana keefektifan dari
pola tersebut terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada area kerja. Sehingga
dari sini diharapkan dapat menghasilkan pola pemboran dan peledakan yang optimal
untuk pengupasan overburden, dengan memperhatikan parameter-parameter pada
cast blasting.
BAB II
ANALISIS MASALAH
2.1. DASAR TEORI
Cast Blasting merupakan suatu metode peledakan lapisan overburden dengan
memperhitungkan lemparan projektil sejauh mungkin, sehingga prosentase prime
dapat diraih. Prime adalah tumpukan hasil peledakan yang terpisah dari lapisan
batubara dan tidak memerlukan pemindahan kembali oleh dragline. Dengan
demikian, makin besar prime maka akan meringankan pekerjaan dragline untuk
memindahkan hasil peledakan yang tersisa diatas lapisan batubara.
2.1.1. PARAMETER TETAP PADA CAST BLASTING
Parameter tetap adalah parameter yang dipengaruhi oleh kondisi alamiah
batuan, misalnya struktu geologi, sifat fisik dan mekanik mbatuan, tinggi jenjang dan
ketebalan serta kemiringan lapisan batubara.
2.1.1.1 Karakteristik Batuan
Terdapat tiga faktor geologi yang penting untuk diperhitungkan, yaitu spasi
retakan vertical (retakan yang tidak tersemen), Modulus elastisitas atau Young’s
Modulus dan density batuan.
1. Spasi Retakan Vertikal
Pengaruh spasi retakan vertical karena dapat menahan pergerakan awal
batuan setelah terdetonasi akibat pengurangan energi kinetic dalam proses gesekan
antar partikel. Efek ini akan bertambah bila spasi retakan relative sama dengan pola
pemboran, sehingga jarak lemparan fragmentasi tidak jauh. Untuk mempermudah
estimasi intensitas spasi retakan vertical, maka spasi tersebut dibandingkan dengan
rancangan burden. Berikut ini tabel pengaruh spasi retakan terhadap kondisi
lemparan fragmentasi :
Tabel 2.1
Pengaruh Spasi Retakan Terhadap Kondisi Lemparan Fragmentasi
Spasi retakan horizontal tidak begitu kritis terhadap jarak lemparan
fragmentasi, tetapi pengaruhnya terhadap pelepasan energi gas premature dari kolom
lubang tembak yang dapat mengurangi daya dorong fragmen batuan.
Pada massa batuan yang kompeten (kompak) sangat penting untuk
mempertahankan ukuran burden yang sama pada deret lubang tembak bagiandepan.
Massa batuan yang tidak kompak sangat mudah terjadeinya fragmentasi yang besar
atau berbentuk lembaran, sehingga jarak lemparan akan dekat dengan bidang bebas.
Disamping itu pada kondisi batuan yang kompak besar kemungkinan juga terjadi toe,
yang akan memperlebar burden dibagian bawah bidang bebas. Apabila hal ini terjadi,
perlu dilakukan prespliting terlebih dahulu agar bagian muka (front) bidang bebas
relative rata, sehingga ukuran burden akan sama disepanjang front.
2. Modulus Elastisitas
Harga Modulus Elastisitassebagai salah satu indicator sempurna tidaknya
energi bahan peledak digunakan untuk menghancurkan dan mendorong fragmentasi.
Energi kejut akan menghancurkan batuan sehingga terjadi fragmentasi dan energi gas
akan mendorong fragmentasi tersebut terlempar keudara bebas.
Spasi Retakan Batas Lemparan
< 0,5 x burden Tidak terkontrol
0,5 – 1,5 x burden Cukup berarti
> 1,5 x burden Minimal
Modulus Elastisitas rendah berarti massa batuan lunak akan banyak menyerap
energi kejut yang berakibat ukuran fragmentasi besar-besar. Hal ini jelas akan
memperberat energi gas untuk melemparkan hasil peledakan tersebut. Sebaliknya
pada harga Modulus Elastisitas tinggi, batuan akan lebih elastis dan cenderung
menahan tekanan bahan peledak. Hasilnya tekanan energi akan optimal dan
fragmentasi pun akan terlempar jauh. Berikut ini tabel pengaruh Modulus Elastisitas
terhadap kondisi lemparan fragmentasi.
Tabel 2.2
Pengaruh Modulus Elastisitas Terhadap Kondisi Lemparan Fragmentasi
3. Density Batuan
Density adalah berat batuan per volume artinya makin besar density akan
semakin berat batuan tersebut dibandingkan density yang rendah untuk volume yang
sama. Sehingga dapat diekuivalensikan bahwa kecepatan permukaan proposional
dengan density batuan. Batuan dengan density tinggi cenderung memiliki powder
factor yang tinggi untuk melemparkan fragmentasi hasil peledakan.
2.1.1.2 Tinggi Jenjang
Parameter ini biasanya dikontrol oleh faktor geologi atau pertimbangan
keselamatan kerja. Sebenarnya makin tinggi jenjang akan memberikan lemparan
fragmentasi yang lebih baik, alasannya sebagai berikut :
1. Tinggi jenjang akan menambah jarak lempar projektil batuan
Modulus Elastisitas Batas Lemparan
< 8 Gpa Lemparan terbatas
8 – 30 Gpa Lemparan masih dapat diterima
> 30 Gpa Lemparan memuaskan
2. Kenyataanya efek tahanan dari bagian dasar terhadap seluruh kolom
lubang tembak relative kecil
3. Jenjang yang tinggi sudah mempunyai porsi yang cukup berarti terhadap gaya
tarik karena kurangnya tahanan lateral, sehingga memungkinkan tekanan
peledakan seolah-olah bekerja secara alami
Pengertian jenjang yang mampu meraih jarak lemparan yang baik dinyatakan
dengan ratio yinggi jenjang/ burden (L/B), diberikan oleh tabel 3.
Tabel 2.3
Less of bench height charged Greater effect of toe drag Reduced trajectory
Ground in partial tension Greater trajectory
(b) jenjang yang rendah
(a) jenjang yang tinggi
Gambar 2.1
Efek Tinggi Jenjang Terhadap Lemparan Fragmentasi
Ratio L/B Lemparan Relatif
< 1,5 Jelek
1,5 – 2,5 Sedang
> 2,5 Baik
2.1.2. PARAMETER BERUBAH PADA CAST BLASTING
Parameter berubah maksudnya adalah parameter parameter teknis dari
rancangan geometri pemboran dan peledakan.
2.1.2.1. Geometri Pemboran
Geometri pemboran meliputi diameter lubang bor, kedalaman lubang
tembak, kemiringan lubang tembak, tinggi jenjang, dan juga pola pemboran.
1. Diameter lubang tembak.
Di dalam menentukan diameter lubang tembak tergantung dari volume massa
batuan yang akan dibongkar, tinggi jenjang, tingkat fragmentasi yang diinginkan,
mesin bor yang dipergunakan, dan kapasitas alat muat yang akan dipergunakan untuk
kegiatan pemuatan material hasil pembongkaran..
Untuk diameter lubang tembak yang terlalu kecil, maka faktor energi yang
dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup besar untuk membongkar batuan
yang akan diledakkan, sedang jika lubang tembak terlalu besar maka lubang tembak
tidak cukup untuk menghasilkan fragmentasi yang baik, terutama pada batuan yang
banyak terdapat kekar dengan jarak kerapatan yang tinggi. Ketika kekar membagi
burden dalam blok-blok yang besar, maka fragmentasi yang akan terjadi bila masing-
masing terjangkau oleh suatu lubang tembak. Hal seperti ini menghendaki diameter
lubang tembak yang kecil.
Diameter lubang tembak yang kecil juga memberikan patahan atau hancuran
yang lebih baik pada bagian atap jenjang. Hal ini berhubungan dengan stemming, di
mana lubang tembak yang besar maka panjang stemming juga akan semakin besar
dikarenakan untuk menghindari getaran dan batuan terbang, sedangkan jika
menggunakan lubang tembak yang kecil maka panjang stemming dapat dikurangi.
2. Kedalaman lubang tembak
Kedalaman lubang tembak biasanya disesuaikan dengan tinggi jenjang yang
diterapkan. Dan untuk mendapatkan lantai jenjang yang rata maka hendaknya
kedalaman lubang tembak harus lebih besar dari tinggi jenjang, yang mana kelebihan
daripada kedalaman ini disebut dengan sub drilling.
3. Kemiringan lubang tembak (Arah pemboran)
Arah pemboran yang kita pelajari ada dua, yaitu arah pemboran tegak dan
arah pemboran miring. Arah penjajaran lubang bor pada jenjang harus sejajar untuk
menjamin keseragaman burden yang ingin didapatkan dan spasi dalam geometri
peledakan. Lubang tembak yang dibuat tegak, maka pada bagian lantai jenjang akan
menerima gelombang tekan yang besar, sehingga menimbulkan tonjolan pada lantai
jenjang, hal ini dikarenakan gelombang tekan sebagian akan dipantulkan pada bidang
bebas dan sebagian lagi akan diteruskan pada bagian bawah lantai jenjang.
Sedangkan dalam pemakaian lubang tembak miring akan membentuk bidang
bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan karena
gelombang tekan yang dipantulkan lebih besar dan gelombang tekan yang diteruskan
pada lantai jenjang lebih kecil (Gambar 3.1)
Adapun keuntungan dan kerugian dari masing-masing lubang adalah :
Untuk lubang tembak tegak (vertikal) adalah :
Keuntungannya :
Untuk tinggi jenjang yang sama panjang lubang ledak lebih pendek jika
dibandingkan dengan lubang ledak miring.
Kemungkinan terjadinya lontaran batuan lebih sedikit.
Lebih mudah dalam pengerjaannya.
Kerugiannya :
Penghancuran sepanjang lubang tidak merata
Fragmentasi yang dihasilkan kurang bagus terutama di daerah stemming.
Menimbulkan tonjolan-tonjolan pada lantai jenjang ( toe ).
Dapat menyebabkan retakan ke belakang jenjang ( backbreak ) dan getaran
tanah.
Untuk lubang tembak miring adalah :
Keuntungannya :
Bidang bebas yang terbentuk semakin besar
Fragmentasi yang dihasilkan lebih bagus
Dapat mengurangi terjadinya backbreak dan permukaan jenjang yang dihasilkan
lebih rata.
Dapat mengurangi bahaya kelongsoran pada jenjang.
Kerugiannya :
Kesulitan untuk menempatkan sudut kemiringan yang sama antar lubang.
Biaya operasi semakin meningkat.
Gambar 2.2
Pengaruh Arah Lubang Tembak
4. Pola pemboran
Pola pemboran yang biasa diterapkan pada tambang terbuka biasanya
menggunakan dua macam pola pemboran yaitu :
Pola pemboran segi empat (square pattern)
Pola pemboran selang-seling (staggered)
Pola pemboran segi empat adalah pola pemboran dengan penempatan lubang-lubang
tembak antara baris satu dengan baris berikutnya sejajar dan membentuk segi empat
( Gambar 3.2). Pola pemboran segi empat yang mana panjang burden dengan
panjang spasi tidak sama besar disebut square rectangular pattern (Gambar3.3).
Sedangkan pola pemboran selang-seling adalah pola pemboran yang penempatan
lubang ledak pada baris yang berurutan tidak saling sejajar (Gambar 3.4), dan untuk
pola pemboran selang-seling yang mana panjang burden tidak sama dengan panjang
spasi disebut staggered rectangular pattern (Gambar 3.5).
Dalam penerapannya, pola pemboran sejajar adalah pola yang umum, karena
lebih mudah dalam pengerjaannya tetapi kurang bagus untuk meningkatkan mutu
fragmentasi yang diinginkan, maka penggunaan pola pemboran selang-seling lebih
efektif.
Bidang Bebas
B
● S ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4
S = B
Gambar 2.3.
Pola Pemboran Segiempat (Square Pattern)
Bidang Bebas
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4
S ≠ B
Gambar 2.4. Pola Pemboran Segi Empat (Square Rectanguler Pattern)
Bidang Bebas
B
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
S
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4
S = B
Gambar 2.5.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Square Pattern)
Bidang Bebas
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 1
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 2
● ● ● ● ● ● ● ● ● Baris 3
● ● ● ● ● ● ● ● Baris 4
S ≠ B
Gambar 2.6.
Pola Pemboran Selang-seling (Staggered Rectanguler Pattern)
2.1.2.2.Geometri Peledakan
Geometri peledakan yang akan mempengaruhi tingkat fragmentasi batuan
dapat dinyatakan seperti pada (gambar 3.6). Sedangkan geometri peledakan terdiri
dari :
1. Burden (B)
Burden adalah jarak dari lubang tembak dengan bidang bebas yang terdekat,
dan arah di mana perpindahan akan terjadi. Pada daerah ini energi ledakan adalah
yang terkuat dan yang pertama kali bereaksi pada bidang bebas. Jarak burden yang
baik adalah jarak yang memungkinkan energi secara maksimal dapat bergerak keluar
dari kolom isian menuju bidang bebas dan dipantulkan kembali dengan kekuatan
yang cukup untuk melampaui kuat tarik batuan sehingga akan terjadi penghancuran.
Nilai burden yang optimum akan menghasilkan fragmentasi yang sesuai dan
perpindahan dari pecahan batuan sesuai dengan yang diinginkan. Jarak burden yang
terlalu kecil dapat menyebabkan terjadinya batuan terbang dan suara yang keras.
Sedangkan jarak burden yang terlalu besar akan menghasilkan fragmentasi yang
kurang baik, dan akan menyebabkan batuan di sekitar burden tidak akan hancur.
Menurut R.L. Ash, harga burden tergantung pada harga burden ratio dan diameter
lubang bor. Besarnya burden ratio antara 20 – 40 dengan harga Ks standard adalah
30. Sedangkan harga Ks standard sebesar 30 terjadi pada kondisi sebagai berikut :
Densitas batuan = 160 lb/cuft
Specific gravity bahan peledak = 1,20
Kecepatan detonasi bahan peledak = 12.000 fps
Pada kondisi batuan yang berbeda dan penggunaan bahan peledak yang berbeda,
maka harga Ks turut berubah. Untuk mengatasi perubahan angka Ks perlu dihitung
terlebih dahulu harga faktor penyesuaian pada kondisi batuan dan bahan peledak
yang berbeda
a. Faktor penyesuaian terhadap bahan peledak (AF1) adalah :
Af1 =
Di mana :
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan
Ve = kecepatan detonasi bahan peledak yang digunakan
SGstd = berat jenis bahan peledak standard, 1,20.
Vestd = kecepatan detonasi bahan peledak standard, 12.000 fps.
b. Faktor penyesuaian terhadap batuan (AF2) adalah :
Af2 =
Di mana
Dstd = kerapatan batuan standard, 160 lb/cuft
D = kerapatan batuan yang diledakkan
Sehingga harga Kb yang terkoreksi adalah :
Kb = Kbstandard x Af1 x Af2
Di mana :
Kb = burden ratio yang telah dikoreksi
Kbstd = burden ratio standard
Untuk menentukan burden, maka menggunakan rumus :
Kb x DeB = meter
39,3
Di mana :
B = burden
Kb = burden ratio
De = diameter lubang tembak, inchi
39,3 = faktor perubah kedalam satuan meter
2. Spasi (S)
Spasi dapat diartikan sebagai jarak terdekat antara antara dua lubang tembak
yang berdekatan dalam satu baris. Yang perlu diperhatikan dalam memperkirakan
spasi adalah apakah ada interaksi di antara isian yang saling berdekatan. Besar spasi
dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
S = B x Ks
Di mana :
S = spasi, meter.
B = burden, meter.
Ks = spacing ratio
Hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan spasi yaitu apakah ada interaksi antar
muatan yang berdekatan. Bila masing-masing lubang tembak diledakkan sendiri-
sendiri, dengan interval waktu yang panjang, maka tidak akan terjadi interaksi
gelombang energi antar muatan yang berdekatan sehingga memungkinkan setiap
lubang tembak akan meledak dengan sempurna. Jika interval waktu diperpendek atau
lubang tembak diledakkan secara serentak akan terjadi efek ledakan yang kompleks.
Besar Ks menurut interval waktu yang dipergunakan adalah :
long interval delay Ks = 1
short interval delay Ks = 1 – 2
normal Ks = 1,2 – 1,8
Berdasarkan cara urutan peledakannya penentuan spasi adalah sebagai berikut 6) :
Untuk pola peledakan serentak maka S = 2B
Untuk pola peledakan beruntun dengan delay interval lama maka S = B
Untuk pola peledakan dengan ms delay, maka S antara 1B sampai 2B
Jika terdapat kekar yang tidak saling tegak lurus, maka S antara 1,2B sampai
1,8B
3. stemming (T)
Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang bor di atas kolom
isian bahan peledak. Fungsi stemming adalah agar terjadi stress balance dan untuk
mengurung gas-gas hasil ledakan agar dapat menekan batuan dengan kekuatan yang
besar. Sedangkan di dalam penggunaan stemming yang perlu diperhatikan adalah
panjang stemming dan ukuran material stemming.
Panjang stemming
Stemming yang pendek dapat menyebabkan pecahnya batuan pada bagian atas,
tapi mengurangi fragmentasi keseluruhan karena gas hasil ledakan menuju
atmosfir dengan mudah dan cepat, juga akan menyebabkan terjadinya flyrock,
overbreak pada bagian permukaan dan juga akan menimbulkan airblast. Panjang
stemming dapat ditentukan dengan menggunakan rumus :
T = B x Kt
dimana :
T = stemming, meter
Kt = stemming ratio (0,75 – 1,00)
Ukuran material stemming
Ukuran material stemming sangat berpengaruh terhadap hasil peledakan, apabila
bahan stemming terdiri dari butiran-butiran halus hasil pemboran, kurang
memiliki gaya gesek terhadap lubang tembak sehingga udara yang bertekanan
tinggi akan dengan mudah mendorong material stemming tersebut, sehingga
energi yang seharusnya untuk menghancurkan batuan, banyak yang hilang keluar
melalui lubang stemming.
Untuk mencegahnya maka digunakan bahan yang berbutir kasar 15remature.
Bahan ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
o Mempunyai bentuk susunan butir yang saling berkait dengan kuat.
o Membentuk sambungan pasak dengan dinding lubang tembak, sehingga
mencegah keluarnya gas secara 15remature.
Adapun persamaan yang digunakan untuk menentukan ukuran material stemming
optimum7) adalah sebagai berikut :
Sz = 0,05 Dh
dimana :
Sz = ukuran material stemming optimum
Dh = diameter lubang tembak
4. Sub drilling (J)
Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari lubang bor di bawah lantai
jenjang yang dibuat agar jenjang yang dihasilkan sebatas dengan lantainya dan lantai
yang dihasilkan rata. Bila jarak subdrilling terlalu besar maka akan menghasilkan
efek getaran tanah, sebaliknya bila subdrilling terlalu kecil maka akan
mengakibatkan problem tonjolan pada lantai jenjang (toe) karena batuan tidak akan
terpotong sebatas lantai jenjangnya. Panjang subdrilling dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
J = B x Kj
di mana :
J = subdrilling, meter
Kj = subdrilling ratio (0,2 – 0,3)
5. Tinggi jenjang (L)
Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang
bor dan alat muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan
alat bor dan diameter lubang. Lebih tepatnya, jenjang yang rendah dipakai diameter
lubang yang kecil, dan sebaliknya. Secara praktis hubungan diantara lubang bor
dengan tinggi jenjang diformulasikan sebagai berikut :
K = 0,1 – 0,2 d
Dimana : K = tinggi jenjang (m)
d = diameter lubang bor (mm)
6. Kedalaman lubang tembak (H)
Kedalaman lubang tembak biasanya ditentukan berdasarkan kapasitas
produksi yang diinginkan dan kapasitas dari alat muat. Sedangkan untuk menentukan
kedalaman lubang tembak dapat digunakan rumus sebagai berikut :
H = Kh x B
dimana :
H = kedalaman lubang tembak, meter
Kh = Hole depth ratio (1,5 – 4,0)
7. Kolom isian (PC)
Panjang kolom isian dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
PC = H – T
dimana :
PC = panjang kolom isian, meter
H = kedalaman lubang tembak, meter
T = stemming, meter
Keterangan :
B = Burden
S • S = Spasi
T = Stemming
B T PC = Kolom isian
J = Sub Drilling
L PC H = Kedalaman
H lubang tembak
L = Tinggi jenjang
J P = Primer
P
Gambar 2.7.
Geometri Peledakan Menurut R.L.Ash
8. Pola peledakan
Pola peledakan merupakan urut-urutan waktu peledakan antara lubang
tembak dalam satu baris dan antara satu dengan yang lainnya. Pola peledakan
ditentukan tergantung arah mana pergerakan material yang diharapkan. (Gambar 3.7)
Setiap baris lubang tembak yang akan diledakkan harus memiliki ruang yang
cukup di muka bidang bebas yang sejajar dengan lubang tembak untuk terdesak,
pecah, mengembang dan tidak terlontar keatas. Adapun macam-macam pola
peledakan adalah sebagai berikut :
a. Pola peledakan di mana lubang-lubang tembak diledakkan dengan waktu
penundaan atau beruntun dalam satu baris.
b. Pola peledakan serentak dalam satu baris dan beruntun antara baris satu
dengan baris yang lain.
Menurut R.L. Ash dengan adanya tiga bidang bebas, kuat tarik batuan dapat
dikurangi sehingga akan dapat meningkatkan jumlah retakan dengan syarat lokasi
dua bidang bebasnya mempunyai jarak yang sama terhadap lubang tembak.
Bidang bebas
1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2
3 3 3 3
Pola peledakan tunda antar baris dan serentak dalam satu baris
Bidang bebas
3 2 1 0 1 2 3
4 3 2 1 2 3 4
5 4 3 2 3 4 5
Pola peledakan tunda dalam satu baris
Gambar 2.8.
Pola Peledakan
9. Waktu tunda
Pemakaian delay detonator sebagai waktu tunda untuk peledakan secara
beruntun. Keuntungan dari peledakan dengan memakai delay detonator adalah :
- Dapat menghasilkan fragmentasi yang lebih baik
- Dapat mengurangi timbulnya getaran tanah
- Dapat menyediakan bidang bebas untuk baris berikutnya.
Bila waktu tunda antar baris terlalu pendek maka beban muatan pada baris depan
menghalangi pergeseran baris berikutnya, material pada baris kedua akan tersembur
kearah 19ertical dan membentuk tumpukan. Tetapi bila waktu tundanya terlalu lama,
maka produk hasil bongkaran akan terlempar jauh kedepan serta kemungkinan besar
akan mengakibatkan flyrock. Hal ini disebabkan karena tidak ada dinding batuan
yang berfungsi sebagai penahan lemparan batuan di belakangnya.
Untuk menentukan interval tunda antar baris tidak kurang dari 2 ms/ft dan
tidak lebih dari 6 ms/ft dari ukuran burden. Persamaan di bawah ini dapat digunakan
untuk menentukan besarnya interval waktu antar baris.
Tr = Tr x B
Di mana :
tr = interval waktu antar baris, ms
Tr = konstanta waktu antar baris (Tabel 3.1)
B = burden, m
Tabel 2.4.Interval Waktu Antar Baris
Tr Constant (ms / m ) Result
7 Violent excessive airblast, backbreak, etc.7 – 10 High pile close to face, moderate airblast, backbreak
10 – 20 Average pile height, average airblast and backbreak.
20 – 23 Scattered pile with minimum backbreak.
23 – 42 Blast casting
10. Pengisian bahan peledak
Fragmentasi batuan sangat tergantung pada jumlah bahan peledak yang
digunakan. Powder factor adalah suatu bilangan yang menyatakan berat bahan
peledak yang digunakan untuk menghancurkan batuan (kg/m3). Nilai powder factor
sangat dipengaruhi oleh jumlah bidang bebas, geometri peledakan, pola peledakan,
dan struktur geologi.
Bila pengisian ANFO terlalu banyak maka jarak stemming semakin kecil
sehingga akan mengakibatkan terjadinya flyrock dan airblast, sedang bila pengisian
ANFO kurang maka jarak stemming semakin besar sehingga akan menyebabkan
boulder dan backbreak di sekitar dinding jenjang.
Untuk mendapatkan powder factor, lebih dulu mengetahui jumlah bahan
peledak yang akan digunakan untuk setiap lubang tembak.
a. Loading density dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
de = 0,508 De2 (SG)
dimana :
de = loading density, kg/m
De = diameter lubang tembak, inchi.
SG = berat jenis bahan peledak yang digunakan.
b. Jumlah bahan peledak yang digunakan dihitung menggunakan rumus :
E = de Pc N
Di mana :
de = loading density, kg / m.
Pc = panjang muatan/ panjang kolom isian lubang tembak, m.
N = jumlah lubang tembak.
E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.
11. Powder Factor dan Volume Setara
Powder factor (Pf) adalah suatu bilangan untuk menyatakan jumlah material
yang diledakkan atau dibongkar oleh bahan peledak dalam jumlah tertentu, dapat
dinyatakan dalam ton/kg atau kg/ton. Untuk menghitung powder factor harus
diketahui luas daerah yang diledakkan (A), tinggi jenjang (L), panjang muatan dari
seluruh lubang ledak (Pc), loading density (de), dan densitas batuan (dr).
Rumus untuk menentukan powder factor adalah :
Pf = W / E
dimana :
Pf = powder factor, ton / kg.
W = jumlah batuan yang diledakkan, ton.
E = jumlah bahan peledak yang digunakan, kg.
Sedangkan jumlah batuan yang diledakkan dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
W = A L dr
Di mana :
A = luas batuan yang akan diledakkan, m3.
L = tinggi jenjang, meter.
dr = densitas batuan, ton / m3.
Volume setara adalah suatu angka yang menyatakan setiap meter atau feet
pemboran setara dengan sejumlah volume material atau batuan yang diledakkan,
yang dinyatakan dalam m3/meter, cuft/ft, atau ton.meter, ton/ft. Volume setara sangat
berguna untuk memperkirakan kemampuan dari alat bor yang digunakan untuk
membuat lubang tembak. Volume setara dihitung dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
Veq =
dimana :
Veq = volume setara, m3/m
A = luas daerah yang akan diledakkan, m2
L = tinggi jenjang, m
n = jumlah lubang tembak dalam pola peledakan
H = kedalaman lubang tembak, m
W = batuan yang akan diledakkan
Tabel 2.5.
Harga Powder Factor untuk beberapa jenis batuan
Type of Rock Powder Factor (kg/m3)
Massive high strength rocks 0,6 – 1,5
Medium strength rock 0,3 – 0,6
Highly fissured rocks, weathered or soft 0,1 – 0,3
12. Arah peledakan
Dalam suatu operasi peledakan, maka fragmentasi batuan yang dihasilkan
akan dipengaruhi oleh arah peledakannya. Sedangkan arah peledakan dipengaruhi
oleh struktur batuan yang ada. Struktur batuan yang banyak dijumpai di lapangan
biasanya adalah kekar.
Perambatan gelombang energi pada struktur batuan yang mengandung kekar
sebagian dipantulkan dan sebagian diteruskan. Dengan demikian energi yang
digunakan untuk memecah batuan akan berkurang sehingga fragmentasi batuan akan
menjadi tidak seragam.
Menurut R.L. Ash arah peledakan yang baik untuk menghasilkan fragmentasi
yang seragam yaitu arah peledakan menuju sudut tumpul yang merupakan
perpotongan antara arah umum, dengan demikian penggunaan energi bahan peledak
akan lebih baik karena tidak terjadi penerobosan energi. (Gambar 3.8)
Apabila arah penerobosan menuju kearah sudut runcing maka akan terjadi
penerobosan energi peledakan dari bahan peledak yang melalui rekahan-rekahan
yang ada. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pengurangan energi peledakan
untuk menghancurkan batuan, sebagai akibatnya akan terbentuk fragmentasi yang
berbentuk blok-blok
Arah Peledakan
Free face
• • • •• • • • •
• • • •• • • • • = Arah peledakan menuju sudut tumpul
Gambar 2.9.
Arah peledakan menuju sudut tumpul
2.1.3 ESTIMASI BENTUK TUMPUKAN (MUCK PILE)
Tumpukan fragmentasi pada cast blasting diharapkan serendah mungkin
dengan memperhitungkan prosentase prime yang memungkinkan. Umumnya
berkisar antara 20 – 35 % sudah cukup memuaskan, sebab saat ini masih sangat sulit
diharapkan prime lebih besar dari 35 % dengan sekali peledakan. Beberapa faktor
harus diperhatikan untuk mendapatkan prosentase hasil peledakan sebagai prime,
yaitu :
1. Volume material hasil peledakan
2. Jarak terdekat antara dinding permukaan bidang bebas dengan tumpukan
yang sudah terbentuk sebelumnya (spoil pile)
3. Kecepatan permukaan awal dari projektil untuk meraih jarak optimum
2.1.4 KECEPATAN LEMPARAN PERMUKAAN
Lemparan permukaan sangan menentukan keberhasilan operasi cast blasting,
oleh sebab itu harus diperhitungkan lemparan maksimum projektil batuan.
Uraian secara vektoris akan membantu perhitungan tersebut, sehingga dapat
diestimasi kecepatan lemparan projektil batuan dan jarak titik jatuh yang terpanjang.
Ilustrasi pola lemparan projectile dari titik 0 (diujung atas permukaan bidang bebas)
sampai lemparan terjauh P terlihat pada gambar 2.10. Sedangkan persamaan umum
untuk menghitung kecepatan lemparan projectile adalah sebagai berikut :
Vy = (Vy)0 + a.t
Y = (Vy)0.t + ½ a.t
X = (Vx)0.t
Dimana : Vy = kecepatan ke arah vertical
(Vy)0 = kecepatan vertical pada titik awal (0)
(Vx)0 = kecepatan horizontal pada titik awal (0)
Y = jarak vertical dari titik 0 ke titik P
X = jarak horizontal dari titik 0 ke titik P
a = percepatan gravitasi 9,8 m/s2
t = waktu yang diperlukan lemparan dari titik 0 ke titik P
= sudut tangensial lemparan pada titik 0
(Vy) 0 V0 (m/s) V0 (m/s)
a a
0 0 (Vx) 0
Y
P P
X
(a) komponen vektoris (b) komponen vektoris gerakan vertical gerakan horizontal
Gambar 2.10.
Ilustrasi pola gerakan projektil dari titik awal 0 ketitik akhir P
2.1.4.1 Gerakan Vertikal dan Horizontal
Gerakan vertical dan horizontal dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan sudut
tangensial lemparan. Kecepatan gerakan pada titik mawal, baik yang kearah vertical
(Vy)0, maupun horizontal (Vx)0, dapat dihitung melalui gambar 2.10.a dan 2.10.b
sebagai berikut :
(Vy) 0 = V0. Sin
(Vx) 0 = V0. Cos
Dengan mengkombinasikan kedua persamaan diatas dapat diketahui kecepatan
maksimum lemparan projektil batuan.
2.1.4.2 Perhitungan Burden Berdasarkan Kecepatan Awal Projektil
Terdapat korelasi antara muatan bahan peledak di dalam kolom lubang
tembak dengan, kecepatan permukaan awal, burden dan kekerasan batuan. Larson
(1987) melakukan hipotesa tentang korelasi tersebut dan hasilnya seperti pada
persamaan berikut :
K Vo = x L 0,39
B 1,17
Di mana : Vo = Kecepatan permukaan awal, m/ s
K = Konstanta tergantung kekerasan batuan, yaitu :
15 untuk batuan yang lunak
33 untuk batuan yang keras
L = Muatan bahan peledak, Kg/ m
B = Burden, m
Untuk mengetahui jumlah muatan bahan peledak di dalam kolom lubang tembak
tergantung pada density bahan peledak itu sendiri. Tabel 2.6. dapat digunakan untuk
mengetahui muatan bahan peledak per meter kolom berdasarkan diameter lubang
tembak dan density bahan peledak.
Tabel 2.6.
Muatan bahan peledak per meter kolom
DIAMETER MASS PER METRE (Kg/ m) OF COLUMN FOR GIVEN DENSITIES (g/ cm3)
(mm) (in) .7 .8 .85 .90 1 1.1 1.15 1.2 1.25 1.3 1.35 1.4
323845
1 ¼1 ½1 ¾
0.560.791.11
0.640.911.27
0.680.961.35
0.721.021.43
0.801.131.59
0.881.251.75
0.921.361.91
0.971.361.91
1.011.421.99
1.051.472.07
1.091.522.15
1.131.592.23
515764
22 ¼2 ½
1.431.792.25
1.632.042.57
1.742.172.73
1.842.302.90
2.042.553.22
2.252.813.54
2.352.933.70
2.453.063.86
2.553.194.02
2.663.324.18
2.763.444.34
2.863.574.50
7689102
33 ½4
3.184.355.72
3.634.986.54
3.865.296.95
4.085.607.35
4.546.228.17
4.996.848.99
5.227.159.40
5.447.479.81
5.677.7810.21
5.908.0910.62
6.128.4011.03
6.358.7111.44
108114121
4 ¼4 ½4 ¾
6.417.148.05
7.338.179.20
7.798.689.77
8.249.1910.35
9.1610.2111.50
10.0811.2312.65
10.5411.7413.22
10.9912.2513.80
11.4512.7614.37
11.9113.2714.95
12.3713.7815.52
12.8314.2916.10
127130152
55 ½6
8.879.2912.70
10.1310.6214.52
10.7711.2815.42
11.4011.9516.33
12.6713.2718.15
13.9314.6019.96
14.5715.2620.87
15.2015.9321.78
15.8316.5922.68
16.4717.2623.59
17.1017.9224.50
17.7318.5825.40
159165187
6 ¼6 ½
7 3/8
13.9014.9719.23
15.8817.1121.97
16.8818.1823.34
17.8719.2424.72
19.8621.3827.46
21.8423.5230.21
22.8324.5931.58
23.8325.6632.96
24.8226.7334.33
25.8127.8035.70
26.8128.8737.08
27.8029.9438.45
203210229
88 ¼9
22.6624.2528.83
25.8927.7132.95
27.5129.4435.01
29.1331.1737.07
32.3734.6441.19
35.6038.1045.31
37.2239.8347.37
38.8441.5649.42
40.4643.3051.48
42.0845.0353.54
43.6946.7655.60
45.3148.4957.66
251267270
9 7/810 ½
10 5/8
34.6439.1940.08
39.5844.7945.80
42.0647.5948.67
44.5350.3951.53
49.4855.9957.26
54.4361.5962.98
56.9064.3965.84
59.3867.1968.71
61.8569.9971.57
64.3372.7974.43
66.8075.5077.30
69.2778.3980.16
279286311381432
1111 ¼12 ¼1517
42.8044.9753.1879.81102.60
48.9151.3960.7791.21117.26
51.9754.6164.5796.91124.59
55.0257.8268.37102.61131.92
61.1464.2475.96114.01146.57
67.2570.6783.56125.41161.23
70.3173.8887.36131.11168.56
73.3677.0991.16136.81175.89
76.4280.3094.96142.51183.22
79.4883.5298.75148.21190.55
82.5386.73102.55153.91197.88
85.5989.94106.35159.61205.20
2.2. DATA PENDUKUNG
Yang dimaksud dengan data pendukung adalah data-data yang dapat
mendukung data-data dari lapangan guna menganalisa permasalahan yang ada untuk
mencari alternatif penyelesaian masalah.
Data pendukung dapat diambil antara lain dari data hasil pengamatan di
lapangan, laporan penelitian terdahulu dari perusahaan, brosur--brosur dari
perusahaan, data dari instansi yang terkait dan dari literatur-literatur.
2.3. URUTAN KERJA PENELITIAN
Dalam melakukan penelitian, dilakukan dengan menggabungkan antara teori
dengan data-data dilapangan, sehingga dari keduanya didapatkan pendekatan
penyelesaian masalah.
Adapun urutan pekerjaan penelitian :
1. Observasi terhadap kegiatan penambangan.
2. Penentuan tempat pengamatan langsung untuk pengambilan data.
3. Pengambilan data primer (langsung dari lapangan) dan data sekunder dari
laporan bulanan perusahaan.
4. Pengelompokan data, pengujian data.
5. Pengolahan data penelitian.
6. Analisa hasil penelitian dan memberikan alternatif pemecahan masalah.
2.4. ANALISA PENYELESAIAN MASALAH
Permasalahan yang ada di lapangan selanjutnya dipelajari dan dikaji
berdasarkan data yang ada, baik data yang dikumpulkan dari hasil penyelidikan
maupun data penunjang dan didukung berbagai teori yang menunjang permasalahan
tersebut, selanjutnya dicarikan alternatif penyelesaiannnya.
Adapun rincian dari analisa penyelesaian masalah adalah :
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data-data, geometri dari pola pemboran
dan peledakan yang dipakai pada saat ini dan dasar-dasar teknis penyusunan
perancangan yang digunakan.
2. Tahap Penyelidikan pendahuluan
Pengumpulan data-data geologis area kerja yang mempengaruhi dalam
perancangan seperti struktur batuan, kekuatan batuan (rock strength), berat jenis
dan parameter lainnya.
3. Tahap Penyelidikan Terinci
Tahap penyelidikan terinci dimaksudkan untuk mendapatkan data-data yang
diperlukan untuk penyelesaian masalah , adapun data yang akan diambil, yaitu :
i. Pengukuran terhadap geometri pemboran dan peledakan, berat primer per
lubang, berat muatan column
ii. Fragmentasi yang dihasilkan serta jarak lemparan hasil peledakan dari
dinding permukaan bidang bebasdengan tumpukan yang sudah terbentuk
sebelumnya.
iii. Pengukuran terhadap volume hasil peledakan
iv. Pengukuran sudut tangensial dari pergerakan fragmentasi
Sehingga dengan mengetahui parameter-parameter diatas diharapkan didapatkan
alternative penyelesain masalah
Setelah melalui tahap ini maka dilanjutkan dengan :
a. Analisis secara teknis terhadap rancangan pola pemboran yang ada saat
ini
Disini dilakukan perhitungan teoritis hasil yang akan dicapai serta
pemaparan prosentase prime hasil peledakan serta kecepatan lemparan dari
projektil.
b. Perencanaan perubahan terhadap pola pemboran yang perlu dilakukan
Penentuan rancangan yang paling sesuai serta perbandingannya terhadap
rancangan semula dikaitkan dengan keefektifan pemboran dan hasil
peledakan.
BAB III
PENELITIAN DI LAPANGAN
3.1. METODOLOGI PENELITIAN
Didalam melaksanakan penelitian permasalahan ini, penulis menggabungkan
antara teori dengan data-data lapangan, sehingga dari keduanya didapat pendekatan
penyelesaian masalah. Adapun urutan pekerjaan penelitian yaitu :
1. Study literatur, brosur-brosur, laporan penelitian terdahulu dari perusahaan.
2. Pengamatan langsung di lapangan, dilakukan dengan cara peninjauan lapangan
untuk melakukan pengamatan langsung terhadap semua kegiatan di daerah
yang akan diteliti
3. Pengambilan Data, dengan pengukuran langsung di lapangan maupun
penelitian di laboratorium.
4. Akuisisi Data
a. Pengelompokan data
b. Jumlah data
3.2. RENCANA JADWAL PENELITIAN
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
1. STUDI LITERATUR
2. PENGAMATAN
3. PENGAMBILAN DATA
4. PENGOLAHAN DAN
ANALISIS DATA
5.PEMBUATAN
LAPORAN
3.3. RENCANA DAFTAR ISI
RINGKASAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Tinjauan Masalah
1.2 Perumusan dan Penyelesaian Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
II TINJAUAN UMUM
2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah
2.2 Keadaan Geologi dan Topografi
2.3 Iklim dan Curah Hujan
2.4 Peralatan yang digunakan
2.5 Kegiatan Penambangan
III DASAR TEORI
3.1 Parameter Tetap Pada Cast Blasting
3.1.1 Karakteristik Batuan
3.1.2 Tinggi Jenjang
3.2 Parameter Berubah Pada Cast Blasting
3.2.1 Geometri Pemboran
3.2.2 Geometri Peledakan
3.3 Estimasi Bentuk Tumpukan (Muckpile)
3.4 Kecepatan Lemparan Permukaan
IV KONDISI LAPANGAN
4.1 Kegiatan Pemboran
4.2 Kegiatan Peledakan
4.3 Jarak Lemparan Hasil Peledakan
4.4 Prosentase Prime serta Bentuk Tumpukan Fragmentasi
V PEMBAHASAN
5.1 Upaya untuk peningkatan Prime
5.2 Memaksimalkan Kecepatan Lemparan Permukaan
5.3 Penilaian Terhadap Geometri Pemboran Dan Peledakan Yang Diterapkan
Oleh Perusahaan saat ini
VI KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
3.4. RENCANA DAFTAR PUSTAKA
1. Hemphill b., Gary, “Blasting Operation”, First Edition, Mc. Graw Hill Inc.,
New York
2. Langefors U., and Kihlstrom, B., “The Modern Technique of Rock Blasting”,
Second Edition, A Heelsted Press Book John Willey & Sons, New York,1973
3. Moelhim Karthodharmo, Irwandy Arif, Suseno Kramadibrata., “Teknik
Peledakan”, Diktat Kuliah Jilid I, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas
Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, 1984
4. Koesnaryo, S., “Bahan Peledak dan Metode Peledakan”, Jurusan Teknik
Pertambangan, UPN “Veteran” Yogyakarta, 1985
5. Samhudi, “ Teknik Peledakan “, Departemen Pertambangan dan Energi,
Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Tenaga
Pertambangan, 1994.
6. Ir. Edy Purwanto ME. (2002), Diktat Kursus Perencanaan Tambang Terbuka,
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.