Post on 29-Jul-2015
Batas-batas Perbuatan Melawan Hukum
Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana
Kaitannya dengan Hukum Pidana Korupsi
Oleh : Hisar Tambunan, SH.,MH
Pendahuluan
Sejarah bangsa ini dalam usaha untuk memberantas perbuatan korupsi boleh dibilang
telah cukup panjang. Secara formal setidak-tidaknya telah lahir empat generasi undang-undang
yakni undang-undang No. 24 Prp tahun 1960, Undang-undang No.3 tahun 1971, undang-
undang No.31 tahun 1999, dan terakhir undang-undang No.20 tahun 2001. Semua produk
undang-undang itu merupakan kebijakan formulatif dalam rangka pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Kesadaran terhadap pemberantasan korupsi juga dijiwai oleh nilai-nilai yang berubah
dari masa ke masa.Kalau pada awal-awal aksi pemberantasan korupsi nilai yang dianut adalah
bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan
keuangan/perekonomian Negara dan menghambat pembangunan nasional.Dalam
perkembangannya perbuatan korupsi dipandang sebagai penghambat bagi terwujudnya
masyarakat yang adil dan makmur, menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, dan pada akhirnya perbuatan korupsi
dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas sehingga
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Menyadari hal itu maka lembaga Negara tertinggi, MPR, sampai-sampai mengeluarkan
produk berupa Tap No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Keseluruhan usaha diatas harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dalam arti bahwa
telah tumbuh kesadaran bersama sedemikian rupa guna melakukan reformasi terhadap
substansi perundang-undangan agar legalitas pemberantasan korupsi makin lengkap dan
kokoh.Lengkap karena perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan sebagai legalitas bagi
pengadilan untuk mengadili terdakwa korupsi makin lengkap.Di samping itu dukungan dari sisi
hukum acara, penegak hukum dan masyarakat luas baik nasional maupun internasional serta
seluruh sistem yang terkait tidak kalah penting dalam turut memberantas tindak pidana korupsi.
Dari sekian aspek penting yang dapat dibaca dalam pengantar, saya akan melihat bagian
tertentu dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi dalam penegakan hukum khususnya
proses kriminalisasi yakni perihal aspek perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)dalam
hukum perdata atau perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hukum pidana.
Wederrechtelijk
Bagian itu menjadi penting utamanya dalam konteks kriminalisasi karena sejak
keluarnya Undang-undang No.3 Tahun 1971, kata “melawan hukum” yang tujuannya untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menjadi semacam ‘bestanddeel delict’
atau delik inti dari suatu perbuatan korupsi {Pasal 1 ayat (1) huruf a}. Undang-undang No. 31
Tahun 1999 mengulanginya lagi dalam Pasal 2 ayat (1)-nya.
Saya akan mulai dari ‘wederrechtelijk’ dalam hukum pidana. Telah diketahui secara luas
bahwa suatu perbuatan pidana (strafbaarfeit) intinya adalah feit yang ‘wederrechtelijk’ atau
perbuatan yang melawan hukum.Ukuran normatif untuk menentukan dapat dipidananya
perbuatan dalam hukum pidana sudahlah jelas karena Hukum Pidana memiliki asas umum yang
harus dijunjung tinggi yakni asas legalitas (legality principle), Nullum delictum nulla poena
sinepraevia legi poenali –tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang
mendahuluinya-. Sering juga dipakai istilah ‘Nullum crimen sine lege stricta’ -tidak ada delik
tanpa ketentuan yang tegas- yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Jadi jelas bahwa untuk
adanya pidana (straf) harus didahului oleh kriminalisasi perbuatan dalam peraturan perundang-
undangan.
Hukum Pidana Korupsi adalah hukum pidana khusus. Sebagai hukum pidana khusus
maka asas-asasumum (algemene beginselen) yang terdapat dalam Buku I KUHP berdasar Pasal
103 KUHP dapat berlaku untuk tindak pidana khusus diluar KUHP kecuali ia menentukan lain.
Dengan demikian langkah pemberantasan korupsi harus dimulai dan selalu didasarkan pada
formulasi perundang-undangan.Hal itu –seperti saya katakana di atas- telah dimulai secara
formal pada tahun 1964-.
Kembali kepada persoalan ‘melawan hukum ‘. Diketahui pula bahwa dalam hukum
pidana –seperti juga dalam hukum perdata yang akan saya uraikan kemudian- telah terjadi
pergeseran pengertian mengenai ajaran sifat melawan hukum. Doktrin yang kemudian terkristal
dalam Arrest Hoograad pertama-tama mengartikan melawan hukum sebagai ‘melawan undang-
undang’ (wet). Ini harus dimengerti karena apabila kita menengok pada sejarah lahirnya asas
legalitas, antara lain karena pertimbangan adanya asas politik agar rakyat mendapat jaminan
pemerintah tidak sewenang-wenang, sehingga dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et
DuCitoyen tahun 1789 dinyatakan :‘Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan
undang-undang yang sudah ada sebelumnya’. Mr.Simons adalah salah seorang yang menganut
ajaran formil ini.
Ajaran itu mulai bergeser kea rah pendirian melawan hukum yang materiil yang di
negeri Belanda pertama-tama ditandai dengan keluarnya Arrest Hoograad Nederland 31 januari
Tahun 1919 yaitu LindenbaumCohen Arrest. Dalam Arrest itu H.R Belanda menyatakan bahwa :
“Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) adalah bukan saja perbuatan yang
bertentangan dengan wet, tetapi juga perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat
tidak patut”. Mr.Vost adalah salah satu penganut ajaran ini.
Namun demikian, dalam menentukan dapat tidaknya suatu perbuatan diancam dengan
pidana (tentu di lapangan hukum pidana) seperti sudah saya katakan di atas harus tunduk pada
asas legalitas (formil) yang tersebut dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.Dengan demikian ajaran sifat
melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif, tidak dianut dalam hukum pidana.Sebaliknya
hukum pidana (termasuk Hukum Pidana Indonesia) berpendirian untuk mengikuti ajaran sifat
melawan hukum materiil dalam fungsi yang negatif. Di negeri Belanda sendiri fungsi negatif ini
telah dianut tersebut dalam Arrest Dokter Hewan dari kota Huizen (Putusan H.R. 20 Februari
1933)
Onrechtmatige daad
Telah diketahui dalam lapangan hukum perdata perbuatan melawan hukum biasa di
sebut dengan terminology ‘onrechtmatige daad’.Biasanya mendengar kata perbuatan melawan
hukum, orang langsung tertuju pada Pasal 1365 BW sebagai aturan yang bersifat genus yang
menjadi referensi bagi peraturan-peraturan khusus yang juga mengatur mengenai perbuatan
melawan hukum.
Pasal 1365 BW juga biasa disebut sebagai ketentuan all catches atau pasal keranjang
sampah. Namun demikian ketentuan tersebut justru merupakan pemicu dan pemacu untuk
terjadinya penemuan hukum (rechtsvinding).Melalui pasal ini, hukum yang tidak tertulis menjadi
diperhatikan oleh undang-undang.Ini terbukti baik dalam doktrin maupun yurisprudensi di mana
telah terjadi pergeseran arti (dari sempit ke arti yang luas). Setidak-tidaknya ada dua putusan
H.R. Belanda yang mengartikan perbuatan melawan hukumdalam arti sempit (formil) yakni
Arrest 6 Januari 1905 yakni Arrest Mesin Jahit Singer dan Arrest 10 juni 1910 mengenai De
Zutphense Juffrouw Arrest.
Pergeseran ke arti yang luas, seperti saya telah jelaskan di atas terlihat dalam Arrest
Hoograad Nederland 31 januari Tahun 1919 yaitu Lindenbaum Cohen Arrest. Melawan hukum
dipandang sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak
subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaedah kesusilaan, dan kepatutan dalam
masyarakat.
Saya sendiri menganut ajaran yang luas itu. Saya mengartikan perbuatan melawan
hukum sebagai perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang saja tetapi
juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan
kewajiban hukum, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana
patutnya dalam lalu lintas masyarakat.
WederrechtelijkdanOnrechtmatig dalam Hukum Pidana Korupsi
Kiranya batas-batas wederrechtelijk dan onrechtmatige daad sudah jelas seperti apa
yang telah saya uraikan di depan. Seperti telah saya katakan bahwa ajaran wederrechtelijk
dalam lapangan hukum pidana memiliki dua fungsi yakni fungsi positif dan fungsi negatif.
Hukum pidana korupsi nampaknya menganut kedua fungsi ajaran sifat melawan hukum
tersebut di atas. Penjelasan Umum Undang-undang No. 3 tahun 1971 menyiratkan
digunakannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif dengan menyebut
‘sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formil dan materiil’. Namun demikian
dalam praktik peradilan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam arti negatiflah yang telah
digunakan. Yurisprudensi mengenai tindak pidana korupsi menyatakan bahwa apabila terdapat
keadaan antara lain Negara tidak dirugikan, terdakwa tidak mendapat untung dan kepentingan
umum terlayani, maka hapuslah sifat melawan hukumnya perbuatan.
Sedangkan Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 tahun 1999 tegas-tegas menganut
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif.Pengertian melawan hukum
dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut
perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Hal yang sama juga dijumpai dalam
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang jelas-jelas menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan ‘secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini (Pasal 2-pen-) mencakup perbuatan melawan hukum dalam
arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena
tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.
Seperti telah saya nyatakan di depan bahwa perkataan melawan hukum adalah sesuatu
yang masih umum (genus) sehingga dengan demikian harus diberi arti yang nyata. Benturan
dengan asas legalitas (formil) dalam hukum pidana (positif-KUHP-) dan penghormatan terhadap
HAM maka menurut Prof.Indriyanto, penggunaaan ajaran ini (sifat melawan hukum dalam
fungsi yang positif) harus digunakan dengan sangat selektif, hati-hati dan ketat.
Menarik untuk dikaji karena RUU-KUHP telah tidak lagi sepenuhnya menganut ajaran
legalitas formil melainkan asas legalitas yang materiil, artinya dalam menentukan suatu tindak
pidana, tidak lagi semata-mata menyandarkan pada peraturan perundang-undangan melainkan
juga pada hukum yang hidup dimasyarakat (living law). Secara ratio legisbisa diterima
mengingat kata Prof.Moeljatno bahwa hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum yang
tidak tertulis.
Variabel lain yang barangkali perlu dikaji pula adalah kenyataan bahwa secara formal,
sejak tahun 1999, kita telah memasuki era otonomi daerah. Daerah memiliki kewenangan yang
relatif besar dan ini bisa juga termasuk dalam menggali nilai-nilai budaya termasuk hukum
setempat yang selama ini tidak terpelihara.
Kedua variable di atas secara paralel akan sangat mendukung bagi pertumbuhan ajaran
sifat melawan hukum materiil dalam fungsi yang positif disatu sisi- juga sekaligus fungsi yang
negatif- (walaupun harus diingat bahwa harus digunakan secara sangat hati-hati dan ketat).
Pada sisi yang lain, hal itu juga bermanfaat dalam mendorong hakim untuk melakukan
penggalian dan penemuan hukum (rechtsvinding), yang akhirnya tentu sangat bermanfaat bagi
kepentingan legal reform, utamanya dalam kebijakan formulasi dan aplikasi dalam penegakan
hukum (pidana korupsi).
Berbeda dengan ajaran sifat melawan hukum materiil (utamanya dalam fungsi yang
positif) dalam lapangan hukum pidana, ajaran yang sama dalam hukum perdata lebih leluasa
berkembang ditandai dengan banyaknya yurisprudensi MA yang telah menganut ajaran sifat
melawan hukum dalam arti yang luas.
Kaitannya dengan problem yang sedang kita bicarakan adalah, adakah peran ajaran
melawan hukum dalam hukum perdata kaitannya dengan hukum pidana korupsi?
Perlu diketahui bahwa sesungguhnya secara normatif, secara umum peran Hukum
Perdata dalam turut menegakkan hukum pidana korupsi telah ada antara lain telah tercermin
dalam proses kriminalisasi atau pada kebijakan penegakan hukum pada fase formulasi peraturan
perundang-undangan. Pasal 1 ayat 1(a) Undang-undang No. 3 tahun 1971, Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 31 tahun 1999 telah mencantumkan ‘melawan hukum’. Keduanya diberi
arti yang luas, arti mana secara historis merupakan produk dari pergulatan asas dalam lapangan
Hukum Perdata.
Kontribusi Hukum Perdata dalam Hukum Pidana Korupsi lebih banyak terletak pada
hukum acaranya. Seperti diketahui bahwa Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-undang No.
31 tahun 1999 membuka ruang bagi Negara untuk menggugat secara perdata apabila terjadi
hal-hal:
a. Penyidik berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana tidak terdapat cukup
bukti sedang secara nyata telah terjadi kerugian keuangan Negara;
b. Tersangka meninggal dunia saat penyidikan padahal nyata-nyata telah ada kerugian
keuangan negara, gugatannya ditujukan kepada ahli warisnya, dan
c. Terdakwa meninggal dunia saat persidangan padahal nyata-nyata terjadi kerugian
negara, gugatan ditujukan kepada ahli warisnya.
Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hukum perdata memang memungkinkan
berdasar “Titel Umum” di mana segala hak berikut segala kewajiban dari pewaris, sejak ia
meninggal dunia jatuh/beralih sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban ahli warisnya.
Lebih jauh, bahkan Undang-undang No.20 Tahun 2001, dalam Pasal 38 dinyatakan
bahwa : “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga
berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara maka
negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya”.
Selain dari hal di atas oleh karena Undang-undang anti korupsi menempatkan badan
hukum (rechtspersonen) sebagai subyek hukum maka pola pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) yang tersebut dalam Pasal 1367 BW juga berlaku bagi gugatan perdata dalam
tindak pidana korupsi.
Penutup
Akhirnya kita harus sama-sama menyadari bahwa tindak pidana korupsi telah
berkembang begitu pesat, sistemik dan merambah ke seluruh lini dalam seluruh aspek
kehidupan, sehingga upaya pemberantasannyapun memerlukan upaya yang sistemik dan luar
biasa pula.
Masyarakat internasional sangat menaruh perhatian akan upaya tersebut. United
Nations Convention against Corruption pada tataran international dan terakhir masih segar
dalam ingatan kita, dalam Forum Law Summit III yang diselenggarakan di Mahkamah Agung
pada tataran nasional, tanggal 16 April lalu, kita semua menyadari perlunya langkah strategis
pembenahan sistem dan pembaruan hukum merupakan salah satu prasyarat pencegahan
perbuatan korupsi.
Dalam tataran formulasi dan aplikasi, peran serta hukum perdata baik hukum perdata
formil maupun materiil telah Nampak disana.Namun demikian berhasil/tidaknya penegakan
ketentuan normatif akhirnya semua berpulang pada kesungguhan dan profesionalitas para
penegak hukum yang berada pada tataran kebijakan aplikasi.