Post on 31-Jul-2018
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 64
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA
Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang
dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara yang
dianalisis diambil di lapangan untuk Seam JR, BE, E2, ML dan L1, masing-masing seam
diambil beberapa lokasi sampel dari inti bor yang mewakili dengan menggunakan metode
channel sampling.
Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara dilakukan dengan
menganalisis komposisi maseral batubara. Parameter yang digunakan dalam
menginterpretasikan lingkungan pengendapan batubara adalah dengan menggunakan
parameter berdasarkan model lingkungan batubara dari Diessel (1986) yaitu nilai TPI
(Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index) yang kemudian diplot pada
Diagram TPI – GI. Penentuan lingkungan pengendapan batubara dengan metode analisis
komposisi maseral didasarkan pada konsep bahwa komposisi maseral di dalam suatu
lapisan batubara erat kaitannya dengan jenis tumbuhan asal dan kondisi lingkungan
pengendapan pada saat pembentukan batubara, atau dengan kata lain adanya perubahan
lingkungan pengendapan akan menyebabkan perbedaan tipe maseral batubara, sehingga
analisis komposisi maseral dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan
batubara (Daranin, 1995).
5.1.1 Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi
Fasies dan lingkungan pengendapan batubara salah satunya dapat ditunjukkan
dengan diagram pengawetan struktur jaringan (TPI) terhadap derajat gelifikasi (GI). Nilai
TPI menunjukkan perbandingan struktur jaringan yang masih terjaga terhadap struktur
jaringan yang sudah terdekomposisi. Nilai GI merupakan perbandingan komponen yang
tergelifikasi terhadap komponen yang terfusinitkan (Anggayana dan Widayat, 2007).
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 65
Harga TPI juga dapat menunjukkan tingkat humifikasi gambut dalam proses
pembatubaraan, sementara itu GI berhubungan dengan kontinuitas kondisi gambut di
bawah air. Dalam penelitian ini penulis akan melakukan interpretasi lingkungan
pengendapan batubara untuk masing-masing seam batubara di daerah penelitian
menggunakan parameter TPI dan GI.
5.1.1.1 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam JR
Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam JR diperlihatkan pada Tabel 5.1.
Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai antara 0,38 – 1,54. Harga TPI
yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi tumbuhan dan
tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan lingkungan
pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran tumbuhan kayu
(ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah) sehingga struktur
jaringan lebih banyak yang terawetkan dengan baik, sedangkan nilai TPI < 1 menandakan
maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya muka air tanah yang
dapat meningkatkan kadar pH. Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam JR menunjukkan
nilai yang bervariasi, nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak
berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit. Harga GI
akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi.
Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Nilai TPI – GI Seam JR.
Seam Kode
Sampel TPI GI
JR-M1 0,52 50,8
JR-M2 0,98 22,3
JR-M3 0,38 68,8
JR-M4 1,33 16,7
JR-M5 1,26 16,0
JR
JR-M6 1,54 10,5
Untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapan batubara Seam JR, nilai TPI
dan GI diplot pada Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986) yang diperlihatkan pada
Gambar 5.1. Dari hasil plot nilai TPI dan GI ini, menunjukkan kisaran lingkungan
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 66
pengendapan lower-upper delta plain. Untuk lingkungan lower delta plain terbentuk pada
stadium limno-telmatic (titik sampel JR-M1, JR-M2 dan JR-M3), sedangkan lingkungan
upper delta plain pada stadium telmatic (titik sampel JR-M4, JR-M5 dan JR-M6).
Gambar 5.1 Hasil Plot Nilai TPI – GI Seam JR pada Diagram Diessel (1986).
Lingkungan pengendapan upper delta plain menunjukkan nilai TPI yang relatif
tinggi dan didominasi subgrup maseral telovitrinit, sedangkan lingkungan lower delta
plain menunjukkan nilai GI yang relatif tinggi dan nilai TPI yang rendah serta didominasi
maseral yang berasal dari tumbuhan perdu.
5.1.1.2 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam BE
Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam BE diperlihatkan pada Tabel 5.2.
Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 0,56 – 2,32.
Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi
tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan
lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 67
tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah), serta
menjadi indikasi bahwa jaringan tumbuhan terawetkan dengan baik, sedangkan nilai TPI <
1 menandakan maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya
muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar pH. Sedangkan untuk nilai GI batubara
Seam BE menunjukkan nilai yang bervariasi, nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan
bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya
kandungan inertinit. Harga GI ini akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi,
semakin besar nilai GI mengindikasikan tingkat oksidasi pada lingkungan tersebut
semakin kecil.
Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Nilai TPI – GI Seam BE.
Seam Kode
Sampel TPI GI
BE-M1 1,26 9,9
BE-M2 2,32 15,5
BE-M3 1,82 8,2
BE-M4 1,51 26,9
BE-M5 1,03 20,5
BE
BE-M6 0,56 17,7
Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.2 selanjutnya diplot pada Diagram TPI-GI Batubara
Diessel (1986) untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot
Diagram Diessel untuk batubara Seam BE diperlihatkan pada Gambar 5.2, dari diagram ini
menunjukkan bahwa batubara BE terbentuk dalam kisaran lingkungan lower-upper delta
plain.
Untuk lingkungan lower delta plain terbentuk pada stadium marsh (titik BE-M5, BE-
M6) yang didominasi maseral dari tumbuhan perdu. Pada lingkungan upper delta plain
tersebar pada stadium telmatik (titik BE-M2, BE-M4), fen (BE-M1), dan wet forest swamp
(BE-M3).
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 68
Gambar 5.2 Hasil Plot Nilai TPI – GI Seam BE pada Diagram Diessel (1986).
5.1.1.3 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam E2
Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam E2 diperlihatkan pada Tabel 5.3.
Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 0,36 – 1,63.
Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi
tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan
lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran
tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah),
sedangkan nilai TPI < 1, ini menandakan maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan
mengindikasikan tingginya muka air tanah yang dapat meningkatkan kadar pH dan dalam
hal ini dibuktikan dengan tingginya maseral dari tumbuhan perdu dibandingkan dari
tumbuhan kayu (sampel E2-M1 dan E2-M5). Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam E2
menunjukkan nilai yang bervariasi, nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses
oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 69
yang menandakan selalu terjaganya kelembaban gambut atu gambut tersebut selalu
tergenang air sehingga menghalangi berlangsungnya proses oksidasi.
Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Nilai TPI – GI Seam E2.
Seam Kode
Sampel TPI GI
E2-M1 0,36 63,6
E2-M2 1,63 14,2
E2-M3 1,40 10,0
E2-M4 1,35 22,8
E2
E2-M5 0,46 78,4
Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.3 selanjutnya diplot pada Diagram Diessel untuk
menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot Diagram Diessel untuk
batubara Seam E2 diperlihatkan pada Gambar 5.3, dari diagram ini menunjukkan bahwa
batubara E2 terbentuk dalam kisaran lingkungan lower-upper delta plain.
Gambar 5.3 Hasil Plot Nilai TPI – GI Seam E2 pada Diagram Diessel (1986).
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 70
Pada lingkungan lower delta plain tersebar pada stadium limno-telmatic (sampel E2-
M1 dan E2-M5) yang didominasi tumbuhan perdu, sedangkan lingkungan upper delta
plain terbentuk pada stadium telmatic (sampel E2-M2 dan E2-M4) dan stadium fen (E2-
M3). Lingkungan upper delta plain memiliki nilai TPI yang relatif tinggi serta didominasi
oleh subgrup maseral telovitrinit, sedangkan lingkungan lower delta plain menunjukkan
nilai TPI yang relatif rendah dan GI relatif tinggi serta didominasi subgrup maseral
detrovitrinit yang secara langsung masih terpengaruh oleh air laut.
5.1.1.4 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam ML
Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam ML diperlihatkan pada Tabel 5.4.
Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 0,83 – 2,36.
Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi
tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan
lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran
tumbuhan kayu (ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah),
sedangkan pada sampel ML-M2 dan ML-M4 mempunyai nilai TPI < 1, ini menandakan
maseral tumbuhan perdu lebih banyak dan mengindikasikan tingginya muka air tanah yang
dapat meningkatkan kadar pH. Sedangkan untuk nilai GI batubara Seam ML menunjukkan
nilai yang bervariasi berkisar antara 8,0 – 17,7. Nilai GI yang cukup tinggi menunjukkan
bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang ditunjukkan oleh rendahnya
kandungan inertinit dan gambut terjaga kelembabannya karena selalu tergenang oleh air.
Harga GI berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, semakin besar nilai GI maka
oksidasi di lingkungan tersebut rendah.
Tabel 5.4 Hasil Perhitungan Nilai TPI – GI Seam ML.
Seam Kode
Sampel TPI GI
ML-M1 1,88 17,7
ML-M2 0,71 8,0
ML-M3 2,31 8,5
ML-M4 0,83 9,4
ML-M5 1,97 11,8
ML
ML-M6 2,36 9,4
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 71
Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.4 selanjutnya diplot pada Diagram Diessel untuk
menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot Diagram Diessel untuk
batubara Seam ML diperlihatkan pada Gambar 5.4, dari diagram ini menunjukkan bahwa
batubara ML terbentuk dalam kisaran lingkungan lower-upper delta plain.
Pada lingkungan lower delta plain tersebar pada stadium fen (ML-M2 dan ML-M4)
yang didominasi oleh tumbuhan perdu, sedangkan pada lingkungan upper delta plain
terbentuk pada stadium telmatic (ML-M1, ML-M3, ML-M5 dan ML-M6).
Lingkungan pengendapan upper delta plain menunjukkan nilai TPI yang relatif
tinggi dan didominasi subgrup maseral telovitrinit, sedangkan lingkungan lower delta
plain menunjukkan nilai GI yang relatif tinggi dan nilai TPI yang rendah serta didominasi
maseral yang berasal dari tumbuhan perdu.
Gambar 5.4 Hasil Plot Nilai TPI – GI Seam ML pada Diagram Diessel (1986).
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 72
5.1.1.5 Lingkungan Pengendapan Batubara Seam L1
Hasil perhitungan TPI dan GI pada batubara Seam L1 ditunjukkan pada Tabel 5.5.
Nilai TPI menunjukkan nilai yang bervariasi dengan nilai berkisar antara 1,26 – 2,76.
Harga TPI yang bervariasi tersebut mengindikasikan terjadinya perubahan komposisi
tumbuhan dan tipe gambut di daerah penelitian yang kemungkinan disebabkan perubahan
lingkungan pengendapan. Nilai TPI > 1 menunjukkan tingginya persentase kehadiran
tumbuhan kayu yang ditunjukkan dengan hadirnya maseral telovitrinit yang melimpah dan
menunjukkan jaringan tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Sedangkan nilai GI
batubara Seam L1 menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar antara 6,1 – 30,3. Nilai GI
yang cukup tinggi menunjukkan bahwa proses oksidasi tidak berlangsung dominan yang
ditunjukkan oleh rendahnya kandungan inertinit. Harga GI berbanding terbalik dengan
tingkat oksidasi, semakin besar nilai GI maka oksidasi di lingkungan tersebut rendah.
Tabel 5.5 Hasil Perhitungan Nilai TPI – GI Seam L1.
Seam Kode
Sampel TPI GI
L1-M1 1,26 15,6
L1-M2 1,70 19,1
L1-M3 2,10 11,2
L1-M4 2,76 30,3
L1-M5 1,62 6,1
L1
L1-M6 2,76 7,4
Nilai TPI dan GI pada Tabel 5.5 selanjutnya diplot pada Diagram TPI-GI Batubara
Diessel (1986) untuk menginterpretasikan lingkungan pengendapannya. Hasil plot
Diagram Diessel untuk batubara Seam L1 diperlihatkan pada Gambar 5.5, dari diagram ini
menunjukkan bahwa batubara L1 terbentuk dalam kisaran lingkungan upper delta plain
yang tersebar pada stadium telmatic (L1-M1, L1-M2, L1-M3, L1-M4 dan L1-M6) serta
stadium wet forest swamp (L1-M5).
Lingkungan upper delta plain memiliki nilai TPI dan GI yang relatif tinggi serta
didominasi oleh subgrup maseral telovitrinit.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 73
Gambar 5.5 Hasil Plot Nilai TPI – GI Seam L1 pada Diagram Diessel (1986).
5.1.1.6 Lingkungan Pengendapan Batubara Daerah Penelitian
Berdasarkan analisis lingkungan pengendapan batubara menggunakan parameter
Diagram TPI-GI Diessel (1986), lingkungan pengendapan batubara di daerah penelitian
secara umum diinterpretasikan dalam kisaran lingkungan lower delta plain hingga upper
delta plain. Untuk lingkungan lower delta plain terbentuk pada stadium yang menyebar di
limno-telmatic, marsh, dan fen, sedangkan pada lingkungan upper delta plain pada fasies
telmatic dan wet forest swamp.
Lingkungan pengendapan lower delta plain menunjukkan nilai TPI yang rendah dan
nilai GI yang relatif tinggi dengan didominasi oleh sub-grup maseral berupa detrovitrinit,
sedangkan lingkungan pengendapan upper delta plain menunjukkan nilai TPI dan nilai GI
yang relatif tinggi dengan didominasi oleh sub-grup maseral berupa telovitrinit.
Pada lingkungan lower delta plain tumbuhan perdu lebih dominan daripada
tumbuhan kayu, sehingga menyebabkan nilai TPI yang cenderung rendah, sedangkan pada
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 74
lingkungan pengendapan upper delta plain dicirikan oleh jenis tumbuhan yang bervariasi
dengan dominasi oleh tumbuhan kayu, sehingga akan lebih banyak struktur jaringan
tumbuhan yang terawetkan (nilai TPI cenderung tinggi).
Lingkungan pengendapan batubara di lingkungan telmatic atau terrestrial
merupakan lingkungan yang berada pada daerah pasang surut ini menghasilkan gambut
yang tidak terganggu dan tumbuh insitu, ditunjukkan oleh nilai GI dan TPI yang tinggi.
Lingkungan pengendapan batubara di sekitar wet forest swamp ke arah fen,
ditunjukkan oleh nilai GI yang sedang dan nilai TPI yang relatif tinggi (> 1),
mengindikasikan bahwa lingkungan pengendapan batubara relatif lembab/basah atau
selalu tergenang air dengan kondisi tumbuhan pembentuk batubara berkembang dengan
baik (increased tree density).
Adanya mineral pirit pada conto batubara menandakan bahwa lingkungan
pengendapan batubara di daerah penelitian dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sehingga
dapat mendukung penafsiran lingkungan pengendapan di lower delta plain yang
merupakan lingkungan dengan pengaruh air laut. Pada saat pasang naik, air laut akan
membawa nutrisi ke dalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman
yang lebih baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan
sedimen klastik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Di samping itu,
pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari
reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut.
Menurut model lingkungan pengendapan batubara Diessel (1986) tersebut ternyata
lapisan-lapisan batubara di daerah penelitian tidak memiliki karakteristik lingkungan
pengendapan tertentu yang membedakan antara satu lapisan batubara dengan lapisan
batubara lainnya, dengan kata lain lapisan-lapisan batubara tersebut mempunyai
lingkungan pengendapan yang relatif sama.
Meskipun penentuan lingkungan pengendapan batubara menggunakan model
lingkungan pengendapan batubara Diessel (1986) telah digunakan oleh beberapa peneliti
untuk menafsirkan lingkungan pengendapan batubara di daerah lain, tetapi metode ini
hanyalah sebuah interpretasi, sehingga perlu didukung data-data yang lain untuk
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 75
mendukung metode analisis ini. Salah satu data pendukung untuk menentukan lingkungan
pengendapan adalah berdasarkan ciri litologi batuan pembawa batubara atau struktur
sedimen dalam suatu urutan stratigrafi. Gambar 5.6 merupakan pembandingan antara
model lingkungan pengendapan batubara pada lingkungan lower delta plain dari Horne
(1986) dengan profil litologi dari salah satu sumur pemboran (R20471), yang
menunjukkan kesebandingan litologi penyusunnya sehingga dapat mendukung interpretasi
lingkungan pengendapan batubara. Berdasarkan model ini lingkungan lower delta plain
disusun atas perulangan litologi berupa (dari bawah ke atas) batubara, batulempung,
lapisan tubuh batupasir, batulempung-batulanau, batupasir dan batubara.
Gambar 5.6 Kesebandingan Model Lingkungan Lower Delta Plain (Horne, 1986) dengan Profil Litologi Sumur Bor R20471.
Berdasarkan litologi di daerah penelitian yang terdiri atas perselingan batupasir dan
batulanau / batulempung yang merupakan ciri endapan sedimen lingkungan upper delta
plain. Di beberapa titik bor juga ditemukan ciri endapan sedimen lingkungan lower delta
plain berupa batulanau dan batulempung yang diselingi oleh batupasir halus. Dari data
litologi menunjukkan kisaran lingkungan pengendapan lower-upper delta plain. Dengan
demikian data ini dapat mendukung interpretasi lingkungan pengendapan batubara melalui
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 76
metode analisis maseral berdasarkan model lingkungan pengendapan batubara Diessel
(1986).
Adanya lingkungan pengendapan batubara yang berbeda pada daerah yang sama
kemungkinan dipengaruhi oleh kondisi geologi daerah tersebut. Perubahan lingkungan dari
lower delta plain ke upper delta plain bisa disebabkan akibat episode pasang-surut air laut
secara bergantian atau proses tektonik berupa pengangkatan atau penurunan di daerah
tersebut.
Dalam penelitian ini penentuan lingkungan pengendapan batubara melalui analisis
komposisi maseral didasarkan pada model lingkungan pengendapan batubara Diessel
(1986), yang telah diaplikasikan di beberapa lapangan batubara, juga telah digunakan oleh
beberapa peneliti terdahulu salah satunya yang dilakukan oleh Anggayana dan Widayat
(2007) yang mengeluarkan publikasi hasil penelitian lingkungan pengendapan batubara di
daerah Lati, Sub-Cekungan Berau, yang penulis gunakan sebagai bahan perbandingan
dalam penafsiran lingkungan pengendapan batubara.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 77
5.2 ANALISIS KUALITAS BATUBARA
Kualitas batubara yang akan dianalisis adalah kadar abu (ash), kandungan sulfur
(total sulfur), dan nilai kalori (calorific value). Analisis kualitas dilakukan untuk batubara
Seam JR, BE, ML dan L1, sedangkan untuk Seam E2 tidak dilakukan analisis karena tidak
ada data kualitas untuk batubara Seam E2 di blok utara, sehingga tidak dapat dilakukan
pembandingan kualitas. Dalam melakukan analisis kualitas batubara, sampel batubara
diambil dari lokasi blok utara dan blok selatan untuk masing-masing seam, kemudian
dilakukan analisis proksimat, kandungan sulfur dan nilai kalori.
Perbedaan kualitas batubara di daerah penelitian dipengaruhi oleh perbedaan
lingkungan pengendapannya, seperti telah dibahas sebelumnya bahwa lingkungan
pengendapan batubara terbentuk pada kisaran lingkungan lower delta plain hingga upper
delta plain.
5.2.1 Kualitas Batubara Daerah Penelitian
Tabel 5.6 di bawah ini menunjukkan nilai kualitas batubara untuk masing-masing
seam batubara di blok utara. Data tersebut diperoleh dari hasil rata-rata nilai kualitas dari
beberapa sampel batubara untuk masing-masing seam, yang digunakan untuk
pembandingan.
Tabel 5.6 Nilai Rata-rata Kualitas Batubara Blok Utara.
Seam Ash (adb) % Sulfur (adb) % CV (adb)
kcal/kg
L1 6.40 1,88 7183,00
ML 6,76 1,92 7105,17
BE 6,35 2,69 6939,50
JR 7,18 2,56 6875,00
Kandungan abu dan sulfur batubara blok utara relatif tinggi. Kadar abu di blok utara
mencapai lebih dari 6 %. Untuk kandungan sulfur batubara blok utara termasuk high
sulfur, dengan kadar sulfur yang lebih dari 2 %.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 78
Tabel 5.7 Nilai Rata-rata Kualitas Batubara Blok Selatan.
Seam Ash (adb) % Sulfur (adb) % CV (adb)
kcal/kg
L1 1,77 0,49 7562,17
ML 2,59 0,69 7354,00
BE 2,60 0,88 7486,83
JR 1,86 0,39 7299,50
Data kualitas batubara blok selatan ditunjukkan pada Tabel 5.7. Data kualitas ini
merupakan hasil rata-rata nilai kualitas dari beberapa sampel batubara untuk masing-
masing seam batubara di blok selatan.
Kandungan abu batubara blok selatan relatif rendah, dengan kadar abu di bawah 3%
dengan kisaran nilai antara 1,77 – 2,60%. Untuk kadar sulfur juga sangat rendah termasuk
low sulfur, karena kandungan sulfur sulfur di blok selatan kurang dari 1%.
Gambar 5.7 Grafik Perbandingan Kadar Abu Blok Utara dengan Blok Selatan.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 79
Gambar 5.8 Grafik Perbandingan Kadar Sulfur Blok Utara dan Blok Selatan.
Gambar 5.9 Grafik Perbandingan Nilai Kalori Blok Utara dengan Blok Selatan.
5.2.2 Analisis Kualitas Batubara di Pit J
Dari keempat seam batubara yang dianalisis dapat disimpulkan beberapa hal yaitu,
secara umum untuk kandungan sulfur dalam batubara blok batubara utara tergolong high
sulfur, sedangkan batubara blok selatan tergolong low sulfur. Untuk kandungan abu
batubara di blok utara cenderung lebih tinggi daripada abu batubara di blok selatan,
sedangkan untuk nilai kalori batubara di blok utara memiliki nilai kalori lebih rendah
daripada kalori batubara di blok selatan.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 80
5.2.2.1 Analisis Kandungan Abu (Ash)
Gambar 5.7 merupakan grafik yang menunjukkan perbandingan kadar abu batubara
rata-rata antara blok utara dengan blok selatan untuk masing-masing seam. Sebaran nilai
kadar abu (Ash) batubara Pit J diperlihatkan pada Peta Sebaran Kadar Abu (Lampiran D).
Dari data tersebut menunjukkan batubara untuk semua seam JR, BE, ML dan L1 di blok
utara memiliki kadar abu yang lebih tinggi daripada batubara blok selatan.
Abu batubara (ash) merupakan residu bahan anorganik yang tertinggal atau tidak
terbakar sewaktu batubara dibakar. Kandungan abu batubara ini dapat berasal dari material
anorganik dari tumbuhan pembentuk batubara itu sendiri atau merupakan material detritus
halus yang ikut terendapkan sewaktu batubara terbentuk.
Kandungan abu (ash) dapat juga terbentuk setelah batubara diendapkan yang berasal
dari material selain batubara yang biasanya merupakan material pengotor yang mengisi
cleat batubara. Rekahan atau cleat pada batubara ini terbentuk karena retakan hasil dari
gerakan, yang merupakan sisi pemecahan batubara akibat oksidasi atau pelapukan, bisa
juga karena gaya struktur geologi yang mengakibatkan tekanan pada batubara tersebut.
Adanya variasi kandungan abu dalam batubara salah satunya dapat dipengaruhi oleh
lingkungan pengendapannya. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa lingkungan
pengendapan batubara di daerah penelitian berada pada kisaran lower – upper delta plain.
Perbedaan lingkungan pengendapan akan menyebabkan perbedaan suplai material detrital
halus yang diendapkan. Menurut Diessel (1992), pada lingkungan lower delta plain akan
menghasilkan batubara dengan kandungan abu lebih tinggi daripada kandungan abu
batubara dari lingkungan upper delta plain.
Pada lingkungan lower delta plain umumnya suplai material detrital halus akan lebih
banyak daripada lingkungan upper delta plain. Adanya suplai material detrital halus
berupa endapan anorganik, akan ikut terendapkan bersama dengan tumbuhan pembentuk
batubara, sehingga batubara yang terbentuk akan mengandung banyak pengotor. Kadar
pengotor batubara inilah yang akan menyebabkan tingginya kadar abu batubara sewaktu
dibakar nantinya. Sedangkan batubara yang diendapkan pada lingkungan upper delta plain
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 81
umumnya kadar abunya rendah, sebab pada lingkungan ini suplai material detrital halus
tidak sebanyak daripada lingkungan lower delta plain.
Batubara yang diendapkan pada lingkungan upper delta plain, umumnya merupakan
batubara yang insitu, dengan kata lain batubara pada lingkungan ini terbentuk dari
tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh dan terendapkan di lingkungan yang sama, sehingga
tidak mengalami proses transportasi yang berarti. Karena batubara ini tidak mengalami
proses transportasi yang berarti maka kemungkinan tidak akan mengalami penambahan
material detrital sewaktu proses transportasi, sehingga umumnya batubara di lingkungan
upper delta plain akan lebih sedikit mengandung pengotor batubara dan menyebabkan
kadar abunya rendah.
5.2.2.2 Analisis Kandungan Sulfur
Kandungan sulfur dalam batubara, umumnya disebabkan oleh kehadiran mineral pirit
dalam batubara tersebut. Terdapat dua jenis mineral pirit dalam batubara, yaitu mineral
pirit epigenetik dan syngenetik. Mineral pirit epigenetik terbentuk sesudah proses
pembatubaraan, pirit epigenetik memiliki bentuk kristal umumnya anhedral sampai
subhedral dan fambroidal yang umumnya mengisi rekahan cleat atau terlepas dari butir
maseral. Mineral syngenetik terbentuk selama proses penggambutan, umumnya berbentuk
kristal euhedral sampai subhedral dan tertanam di dalam maseral batubara (Anggayana dan
Widayat, 2007).
Gambar 5.8 menunjukkan grafik perbandingan kandungan sulfur rata-rata antara blok
utara dengan blok selatan. Sebaran nilai kadar sulfur batubara diperlihatkan pada peta
sebaran kadar sulfur (Lampiran D). Berdasarkan data tersebut kandungan sulfur untuk
Seam JR, BE, ML dan L1 di blok utara cenderung lebih tinggi daripada kandungan sulfur
batubara di blok selatan. Batubara blok utara tergolong high sulfur, sedangkan batubara
blok selatan tergolong low sulfur.
Adanya perbedaan kandungan sulfur untuk lapisan batubara yang sama di daerah
penelitian kemungkinan terdapat dua faktor yang mempengaruhinya, yang pertama adalah
hubungan struktur geologi daerah penelitian dengan penyebaran sulfur dan yang kedua
adalah hubungan lingkungan pengendapan batubara dengan kandungan sulfur.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 82
� Hubungan Struktur Geologi dan Penyebaran Sulfur
Penyebaran kandungan sulfur dalam batubara dapat dipengaruhi oleh kondisi geologi
terutama dikontrol oleh struktur geologi yang berkembang. Struktur geologi yang bekerja
pada suatu lapisan batubara akan mempengaruhi penyebaran kadar sulfur terutama dalam
bentuk sulfur epigenetik, yaitu sulfur yang terbentuk setelah batubara diendapkan yang
merupakan materi pengisi kekar, rekahan atau cleat pada batubara serta bersifat masif
berupa mineral pirit.
Di daerah penelitian berkembang struktur geologi, yaitu Sesar Naik Villa yang
berarah hampir barat-timur di bagian tengah daerah penelitian yang membagi daerah
penelitian menjadi blok utara dan blok selatan. Secara umum, diduga setelah batubara
diendapkan terjadi proses perlipatan pada lapisan batubara di daerah penelitian. Akibat
pengaruh gaya (tegasan) yang masih bekerja atau kondisi cekungan yang kurang stabil,
kemudian terjadi pensesaran pada lapisan batubara di daerah penelitian. Proses pensesaran
atau perlipatan akan menimbulkan bidang-bidang rekahan pada lapisan batubara atau yang
disebut cleat, yang akan terisi mineral-mineral sulfur (mineral pirit epigentik) yang berasal
dari sulfur yang terkandung dalam batuan penutup, khususnya batuan penutup yang
diendapkan di lingkungan laut. Sulfur yang terkandung dalam batuan penutup dapat
bereaksi dengan air tanah. Apabila komposisi kimia air tanah mengandung besi reaktif
maka akan bereaksi dengan sulfur dan terjadi presipitasi pirit yang kemudian mengisi
rongga cleat batubara, sehingga kandungan sulfur akan meningkat (Suits & Arthur, 2000;
op.cit. Anggayana, 2007).
Pirit epigenetik terbentuk karena adanya pengaruh lapisan overburden yang
membawa material pembentuk pirit ke dalam batubara. Umumnya pirit epigenetik akan
banyak pada lapisan batubara bagian atas karena pengaruh overburden dan semakin sedikit
dengan bertambahnya kedalaman (Anggayana dan Widayat, 2007). Lapisan overburden
tersebut biasanya diendapkan di lingkungan laut yang mengandung banyak mineral pirit.
Kontrol struktur geologi pada lapisan batubara di daerah penelitian dalam hal ini
dicerminkan oleh kehadiran cleat pada batubara dapat memberikan pengaruh terhadap
penyebaran kandungan sulfur dalam batubara khususnya dalam bentuk sulfur epigenetik,
namun demikian data yang mendukung kurang. Dari data hasil analisis petrografi batubara
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 83
yang didapatkan penulis, tidak dibedakan antara mineral pirit epigenetik dengan mineral
pirit syngenetik, sehingga tidak diketahui tipe mineral pirit yang lebih banyak pada sampel
batubara. Apabila mineral pirit epigenetik lebih dominan maka asumsi bahwa kandungan
sulfur meningkat setelah batubara diendapkan akibat pengaruh struktur geologi dapat
diterima, sedangkan apabila mineral pirit syngenetik lebih dominan maka kandungan
sulfur yang tinggi tersebut sudah ada sejak batubara diendapkan. Berdasarkan fakta ini,
hubungan struktur geologi daerah penelitian dengan kandungan sulfur tidak signifikan
mengontrol variasi kandungan sulfur batubara, sehingga ada kemungkinan lain yang
menyebabkan perbedaan penyebaran kandungan sulfur di daerah penelitian yaitu
hubungan lingkungan pengendapan dengan kandungan sulfur.
� Hubungan Lingkungan Pengendapan Batubara dan Kandungan Sulfur
Menurut Diessel (1992), batubara yang mempunyai kandungan sulfur tinggi (lebih
besar dari 2%) umumnya berasal dari tipe rawa topogenik dengan muka air tinggi dan pH
yang tinggi. Tipe rawa tersebut merupakan rawa yang berkembang dalam lingkungan delta
yang banyak mengalami invasi air laut, lingkungan yang cocok adalah lingkungan lower
delta plain. Sedangkan batubara dengan kandungan sulfur yang rendah (kurang dari 2%)
umumnya berasal dari gambut topogenik dengan muka air tinggi dan pH yang rendah.
Tipe rawa ini merupakan rawa yang berkembang di lingkungan terestrial, lingkungan yang
cocok adalah lingkungan upper delta plain.
Dengan demikian dilihat dari kandungan sulfur maka ada kesesuaian antara hasil
interpretasi lingkungan pengendapan batubara daerah penelitian terhadap kriteria yang
dinyatakan oleh Diessel (1992) tentang hubungan lingkungan pengendapan dengan
kandungan sulfurnya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya hasil analisis lingkungan
pengendapan batubara berdasarkan Diagram TPI-GI Batubara Diessel (1986), batubara di
daerah penelitian diinterpretasikan diendapkan pada kisaran lingkungan lower – upper
delta plain.
Berdasarkan fakta di atas dapat dijelaskan mengenai perbedaan kandungan sulfur di
daerah penelitian, kandungan sulfur pada batubara berhubungan dengan lingkungan
pengendapannya. Di daerah penelitian diduga terjadi perubahan lingkungan pengendapan
dari lingkungan upper delta plain ke lingkungan lower delta plain yang bisa disebabkan
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 84
akibat episode pasang-surut air laut secara bergantian atau proses tektonik berupa
pengangkatan atau penurunan di daerah tersebut, akibat perbedaan lingkungan
pengendapan ini yang menyebabkan perbedaan kandungan sulfur pada batubara.
Lingkungan lower delta plain akan menghasilkan batubara dengan kandungan sulfur
yang tinggi, tingginya kandungan sulfur karena lingkungan lower delta plain dipengaruhi
oleh pasang-surut air laut. Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam
rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di
sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang
akan menjadi pengotor dalam batubara. Di samping itu, pengaruh air laut akan
meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang
terdapat dalam air laut.
Sedangkan lingkungan upper delta plain akan menghasilkan batubara dengan
kandungan sulfur yang relatif rendah, karena lingkungan ini lebih berkembang di
lingkungan terestrial (darat). Batubara dengan kandungan sulfur yang rendah biasanya
terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan
lapisan bawahnya berupa sedimen klasik yang terendapkan pada lingkungan darat juga.
Dengan demikian kandungan sulfur yang tinggi pada batubara di blok utara dapat
disebabkan karena diendapkan di lingkungan lower delta plain, sehingga kadar sulfurnya
memang sudah tinggi sejak batubara diendapkan, sedangkan batubara di blok selatan dapat
diinterpretasikan diendapkan di lingkungan upper delta plain dengan kadar sulfur yang
relatif rendah.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan kandungan sulfur pada batubara di daerah
penelitian lebih disebabkan hubungan lingkungan pengendapan batubara dengan
kandungan sulfur. Asumsi ini sesuai dengan hasil interpretasi lingkungan pengendapan di
daerah penelitian, batubara diendapkan pada lingkungan lower delta plain – upper delta
plain, perubahan lingkungan pengendapan inilah yang menyebabkan perbedaan kandungan
sulfur dalam batubara antara blok utara dengan blok selatan.
Bab V Pembahasan
Analisis Lingkungan Pengendapan dan Kualitas Batubara di Pit J,
Daerah Pinang, Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur 85
5.2.2.3 Analisis Nilai Kalori (Calorific Value)
Gambar 5.9 menunjukkan grafik perbandingan antara nilai kalori batubara rata-rata
blok utara dengan blok selatan. Sebaran nilai kalori batubara Pit J diperlihatkan pada peta
sebaran nilai kalori batubara (Lampiran D). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan
bahwa untuk semua seam batubara nilai kalori batubara di blok utara cenderung lebih
rendah daripada nilai kalori batubara di blok selatan.
Penurunan nilai kalori di blok utara ini berhubungan dengan peningkatan kadar abu
dan sulfur (high sulfur), yang menyebabkan rendahnya nilai kalori batubara blok utara,
karena kadar sulfur dan nilai kalori mempunyai hubungan yang linear, semakin meningkat
kadar sulfur, maka nilai kalori akan semakin menurun.
Perbedaan lingkungan pengendapan batubara juga akan mempengaruhi tipe
tumbuhan asal batubaranya yang juga akan menyebabkan perbedaan nilai kalori batubara
yang dihasilkan. Seperti diketahui batubara di daerah penelitian diinterpretasikan
diendapkan pada lingkungan lower – upper delta plain. Kedua lingkungan ini pasti
mempunyai tipe tumbuhan yang berbeda. Untuk lingkungan lower delta plain yang dekat
laut umumnya didominasi oleh tumbuhan perdu, sehingga apabila terendapkan membentuk
batubara akan menghasilkan batubara dengan kalori yang rendah. Sedangkan pada
lingkungan upper delta plain yang lebih dekat ke darat didominasi tumbuhan-tumbuhan
kayu yang apabila terendapkan secara insitu membentuk endapan batubara, maka akan
lebih cenderung membentuk batubara dengan kalori yang tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan nilai kalori batubara di daerah penelitian lebih
disebabkan oleh pengaruh lingkungan pengendapan batubara. Asumsi ini sesuai dengan
hasil interpretasi lingkungan pengendapan di daerah penelitian, Batubara diendapkan pada
lingkungan lower delta plain – upper delta plain. Batubara yang diendapkan pada
lingkungan lower delta plain akan menghasilkan batubara dengan nilai kalori yang lebih
rendah daripada nilai kalori batubara yang diendapkan pada lingkungan upper delta plain.