Post on 22-Oct-2021
26
BAB IV
GAMBARAN UMUM PENELITIAN
Setelah melakukan penelitian di lapangan, dalam bab ini peneliti akan
menguraikan gambaran umum dan hasil penelitian yang meliputi penjelasan profil
narasumber utama, profil narasumber pendukung berikutlatar belakang dari narasumber-
narasumber yang dipilih, penjelasan profil Kecamatan Amarasi Barat serta data hasil
penelitian yang telah direduksi. Narasumber utama adalah orang-orang yang pernah
menjadi PMI ilegal, sedangkan narasumber pendukung terdiri dari para PMI legal sebagai
pembanding data serta Camat Amarasi Barat selaku kepala daerah yang memahami
kondisi masyarakat secara umum. Profil Kecamatan Amarasi Barat dipaparkan guna
menunjukkan gambaran kondisi sosial, budaya dan ekonomi yang ada dalam lingkup
hidup para narasumber. PMI ilegal adalah mereka yang bekerja di luar negeri namun
tidak mengikuti prosedur yang berlaku, yang umumnya di Kecamatan Amarasi Barat
adalah tidak memiliki dokumen keberangkatan, perizinan/persetujuan dari keluarga, tidak
mengikuti pelatihan, dan tidak direkrut oleh PJTKI resmi. Sedangkan PMI legal adalah
mereka yang berangkat sesuai prosedur perundang-undangan dan direkrut oleh PJTKI
resmi.
Guna melakukan penelitian ini, peneliti mendapatkan narasumber yang
berdomisili di Boibati – Desa Teunbaun, Tofa – Desa Merbaun, serta Naihenas – Desa
Niukbaun. PMI ilegal tersebut adalah perempuan-perempuan yang berasal dari pulau
Timor, Sumba dan Flores yang tinggal di Kecamatan Amarasi Barat. Mereka direkrut
oleh agen atau calo diluar PJTKI resmi dan mendapatkan informasi yang tidak
sepenuhnya benar tentang pekerjaan yang akan mereka lakoni. Mereka juga tidak
diberikan pengetahuan mengenai syarat-syarat menjadi PMI serta hak dan kewajiban apa
yang harus mereka perhatikan sebelum bekerja ke luar negeri. Namun, berdasarkan
kemauan pribadi, perintah orang tua dan faktor ekonomi, mereka akhirnya memutuskan
27
dengan sadar (risiko) untuk menjadi PMI walaupun secara non-prosedural sekalipun.
Tiga perempuan PMI ilegal ini bekerja di Malaysia sebagai pemilah biji kelapa sawit di
perkebunan kelapa sawit dan juga di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga.
Peneliti mendapatkan informasi mengenai narasumber dari orang tua, masyarakat
sekitar serta penggiat dan perangkat desa yang dulunya bekerjasama dan menjalin relasi
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rumah Perempuan yang bergerak dalam
bidang pendataan, pengawasan dan pendampingan terhadap korban human trafficking.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu meminta izin kepada orang tua,
mertua, serta suami dari para narasumber dan pihak-pihak tersebut menyetujui untuk
memberikan keterangan dan pengalamannya sewaktu menjadi PMI ilegal di Malaysia.
4.1 Profil Kecamatan Amarasi Barat
Kecamatan Amarasi Barat adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten
Kupang. Kecamatan Amarasi sendiri terdiri dari Amarasi, Amarasi Barat, Amarasi
Timur, dan Amarasi Selatan. Jarak dari Amarasi Barat ke Kota Kupang terbilang cukup
dekat karena hanya berjarak sekitar 25 km dan dapat ditempuh dengan jalur darat selama
kurang lebih 45 menit. Meski hanya berjarak 45 menit, namun perbedaannya cukup
signifikan baik dari aspek pendidikan, keadaan sosial-ekonomi, akses kesehatan, akses
kepada teknologi dan juga pendapatan masyarakat.
Gambar 4.1 Peta Administratif Kota & Kabupaten Kupang
(Sumber Kompasiana.com)1
1 Pellokila, Jappy. 2017. Lintasan Sejarah Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Diunduh pada Kamis, 15 Agustus 2019 pukul
08.44 WIB dalam https://www.kompasiana.com/opajappy/597ecbe1b881b61c686a6962/lintasan-sejarah-kabupaten-kupang-nusa-tenggara-timur
28
Amarasi Barat memiliki satu kelurahan yaitu kelurahan Teunbaun dan delapan
desa yaitu desa Niukbaun, Merbaun, Toobaun, Soba, Nekbaun, Erbaun, Tunbaun, dan
Teunbaun. Luas wilayah Amarasi Barat adalah 205,12 Km2
dengan jumlah penduduk
sebanyak 15.471 orang (presentase laki-laki sejumlah 7.906; presentase perempuan
sejumlah 7.565). Topografi Amarasi Barat adalah wilayah perbukitan dengan musim
panas yang berlangsung lebih lama dari musim penghujan. Oleh sebab itu pekerjaan
utama di wilayah ini adalah berkebun sayuran dan beternak. Mayoritas penduduknya
bekerja sebagai petani dan peternak, namun ada juga yang berprofesi sebagai PNS, TNI
dan Polri. Hasil kebun dan ternak biasanya akan dijual ketika hari pasar yang diadakan
seminggu sekali pada hari Sabtu. Sementara itu lapangan pekerjaan lain yang biasanya
dikerjakan oleh pemuda-pemudi adalah menjadi karyawan toko, koperasi, pelayanan
rumah makan, meubel, usaha pangkas rambut, pemasang tenda, supir kendaraan angkut,
tukang bangunan, dan merantau ke luar daerah seperti Jakarta dan Bali untuk menjadi
security maupun penarik hutang kredit motor.
Amarasi Barat memiliki akses yang cukup baik dalam hal pendidikan yaitu
dengan adanya fasilitas pendidikan berbagai tingkat mulai dari PAUD, TK, SD, SMP dan
SMA walaupun perguruan tinggi baru bisa ditemukan di Kota Kupang. Walau
keberadaan sarana pendidikan dikatakan cukup namun akses kepada sekolah cukup sulit
karena sulitnya akses jalan dan jauhnya jarak. Wilayah Amarasi Barat sendiri dihuni oleh
masyarakat dari berbagai daerah di seluruh NTT; hal ini dapat dilihat dari banyaknya
suku lain seperti suku Rote, Sabu, Flores, Alor, Sumba yang menetap di Amarasi Barat.
Meski dihuni banyak suku namun masyarakat Amarasi Barat tetap menjalani kehidupan
dengan damai, budaya gotong royong masih sangat kental yang dapat dilihat dari prosesi
adat saat perkawinan, gotong royong untuk membersihkan desa, membangun rabat jalan
ataupun saat ada upacara pemakaman.
29
Tabel 4.1Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk menurut
Desa di Kecamatan Amarasi Barat, 2017
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut
Desa dan Jenis Kelamin di Kecamatan Amarasi Barat, 2017
(Sumber: Data BPS 2018 Kecamatan Amarasi Barat dalam Angka)2
2 Badan Pusat Statistik. 2018. Kecamatan Amarasi Barat dalam Angka. Diunduh pada Kamis, 15 Agustus 2019 pukul 09.21 WIB dalam https://kupangkab.bps.go.id/publication/2018/09/26/d2b7d38dc019f232fe47a153/kecamatan-amarasi-barat-dalam-angka-2018.html
30
Keadaan masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani
sayur dan peternak membuat keadaan ekonomi dari mayoritas masyarakat berada pada
tingkat menengah dan menengah ke bawah. Dorongan untuk mencukupi kebutuhan
hidup, biaya pendidikan hingga biaya yang berkaitan dengan tradisi kebudayaan
(misalnya kumpul belis pada saat pernikahan) membuat beberapa orang memutuskan
untuk mencari pekerjaan di daerah Kota Kupang. Tak jarang pula yang memutuskan
untuk mencari pekerjaan hingga sampai ke luar pulau, paling banyak adalah ke daerah
ibukota Jakarta dan Bali. Terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih luas biasanya
menjadi alasan. Pilihan lainnya yang biasanya cukup digemari hingga saat ini adalah
menjadi tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri atau PMI. Malaysia menjadi tujuan
primadona. Disana mereka bisa bekerja di perkebunan kelapa sawit yang luas ataupun
menjadi pembantu rumah tangga. Corak pekerjaan yang tentu bisa dikerjakan oleh
mereka dengan pendidikan rendah dan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Pekerjaan
ini biasanya tidak jauh berbeda dengan ketika berada di kampung halaman sehingga lebih
mudah untuk beradaptasi, apalagi dengan iming-iming pendapatan yang bisa jauh lebih
besar karena nilai mata uang Malaysia pun lebih besar dari nilai mata uang Indonesia.
Keadaan ekonomi yang demikian seringkali menjadi celah yang digunakan oleh
pihak tak bertanggungjawab untuk kemudian mengumpan masyarakat agar mau bekerja
ke luar negeri. Diberikan kemudahan dengan tak perlu merasa diberatkan oleh
pengurusan banyak hal terkait administrasi migrasi juga menjadi cara pihak tak
bertanggungjawab untuk menarik minat masyarakat. Praktik-praktik mudah seperti inilah
yang membuat banyak masyarakat akhirnya menjadi kelompok pekerja yang tidak
mengikuti prosedur yang benar dan kemudian menjadi tenaga kerja ilegal. Terkait hal ini
penulis ingin menyoroti alasan dan faktor mengapa seseorang memutuskan untuk
menjadi tenaga kerja ilegal dilihat dari proses pembingkaian pesan oleh pihak tak
bertanggungjawab, penerimaan pesan dari masyarakat (tenaga kerja ilegal) sehingga
akhirnya melahirkan keputusan tersebut.
31
4.2 Sumber Informasi
1. Santi Lastri Makasar (20 tahun)
Santi Makasar adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang memutuskan untuk
menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) illegal atau non-prosedural selepas
menyelesaikan studi di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Amarasi Barat. Santi lahir di
Desa Merbaun, 23 Mei 1999 dan saat ini statusnya belum menikah. Santi bisa dibilang
tidak direkrut namun hanya mengikuti calon suaminya yang memutuskan untuk bekerja
di Malaysia. Calon suaminya sendiri direkrut oleh kerabat dekatnya yakni pamannya
yang telah lebih dulu bekerja di Malaysia. Santi masuk dalam kategori illegal karena
berangkat tidak sesuai prosedur yang berlaku sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan
tidak memenuhi kewajiban persyaratan dokumen.
Pada saat berangkat untuk bekerja, umurnya baru menginjak 18 tahun. Ayahnya
bekerja sebagai pegawai honor di Puskesmas Merbaun sementara ibunya adalah seorang
ibu rumah tangga. Selain itu, ayahnya juga merupakan aparat desa yang bertugas sebagai
Ketua rukun tetangga (RT). Santi mengaku, saat dirinya berangkat ia tidak mengantongi
izin dari orang tuanya. Meskipun begitu, hubungan degan orangtuanya masih terjalin erat.
Hal tersebut bisa dilihat dari tidak adanya rasa enggan atau malu ketika memberikan
infromasi kepada peneliti, bahwa putri mereka pernah menjadi seorang PMI Ilegal. Hal
tersebut juga didukung dengan keadaan lingkungan tempat tinggal mereka yang beberapa
masyarakatnya pun bekerja sebagai PMI ilegal di perkebunan kelapa sawit
Santi menjadi PMI yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit di Sabah,
Malaysia, sebagai pengumpul biji kelapa sawit. Santi bekerja selama kurang lebih dua
bulan, namun berada di Malaysia selama satu tahun. Alasannya hanya bekerja selama dua
bulan karena dirinya tengah mengandung dan akan melahirkan. Pendapatannya di
Malaysia ditentukan dari seberapa banyak tan kelapa sawit yang didapat per-harinya,
namun saat dimintai keterangan, Santi tidak dapat mengonfirmasi jumlah gajinya sendiri.
32
Setelah melahirkan putrinya, Meylin, Santi dan suaminya memutuskan untuk
mengambil cuti kerja agar bisa pulang ke Indonesia. Jatah cuti yang seharusnya
digunakan hanya untuk berlibur dijadikannya alibi agar bisa pulang dan tidak lagi bekerja
di Malaysia. Kepulangan mereka ke tanah air melewati proses yang sangat menantang
karena harus membawa serta anak mereka yang baru berusia delapan bulan. Menghindari
polisi yang berpatroli serta menjaga perbatasan membuat Santi harus meringkuk di
bawah kursi mobil dan membayar 600 ringgit untuk biaya membayar pengurus yang
membantu mereka menyebrangi perbatasan. Saat ditanya apakah ia bersedia jika ada
kesempatan untuk bekerja lagi sebagai PMI, ia hanya tertawa sambil menggeleng.
Berdasarkan pengakuannya, Santi memutuskan untuk pulang karena kondisi
disana tidak sesuai untuk pertumbuhan putrinya. Putrinya, Meylin, kerap mengalami
gatal-gatal dan sakit-sakitan karena pengaruh air yang kondisinya memang tidak terlalu
baik disana. Sedangkan karena kondisinya yang tidak memiliki dokumen resmi apapun,
ia tidak bisa mengakses pengobatan, tentunya selain biaya pemeriksaan dan pengobatan
yang juga dianggapnya mahal. Sejak kepulangannya, Santi dan putrinya tinggal bersama
dengan keluarga calon suaminya di Desa Tofa, kecamatan Amarasi Barat. Kini, Santi
tidak lagi bekerja dan fokus mengurus anaknya sembari melakukan pekerjaan rumah
tangga membantu ibu mertuanya. Sedang suaminya berkebun dan melakukan pekerjaan
serabutan. Rencananya dalam waktu dekat, Santi dan calon suaminya akan mengadakan
pesta pernikahan.
2. Maria Octavia Ona Ru’u (22 tahun)
Maria Octavia Ona Ru‟u adalah seorang pemudi asal Maumere, Flores yang
menjadi PMI ilegal atau non-prosedural semenjak ia berumur 18 tahun. Ovi lahir di
Maumere, 15 Juni 1997 dan kini sudah menikah. Dirinya pergi ke Malaysia untuk bekerja
sebagai pemilih biji kelapa sawit di Sabah. Ovi pergi ke Malaysia untuk mengikuti ayah,
ibu, dan kakak pertamanya yang juga sudah bekerja lama di Malaysia. Mereka pun
bekerja di perkebunan kelapa sawit. Ovi adalah anak kedua dari empat bersaudara.
Sebelumnya, kedua orangtuanya bermatapencaharian sebagai penenun kain sarung di
Desa Lete Ba‟I, Flores. Selama kedua orangtuanya bekerja di Malaysia, Ovi tinggal
33
bersama dengan neneknya di Maumere. Selepas menyelesaikan pendidikan SMA nya ia
pun berangkat ke Malaysia dengan bermodalkan surat permandian. Berdasarkan
pengakuannya, Ovi diminta oleh orangtuanya untuk berangkat ke Malaysia agar bisa
bekerja disana. Ovi pun berangkat dengan pamannya yang juga seorang TKI ke Malaysia.
Kebetulan, pamannya sedang pulang ke Maumere dan akan kembali lagi untuk bekerja di
Malaysia.
Ovi bekerja di Malaysia selama empat tahun mulai dari tahun 2016 hingga 2019.
Selama bekerja di daerah Lahad Datu, Sabah, ia bertemu dengan suaminya yang juga
sudah bekerja di perkebunan kelapa sawit sebagai penyabit. Setelah menikah dengan
suaminya, Ovi tinggal terpisah dengan orangtuanya dan mulai tinggal bersama suami.
Setiap harinya mereka bisa bekerja di lahan kelapa sawit yang luasnya 200 hektar. Ovi
bekerja mulai pukul 07.00 hingga pukul 14.00 dan jika ingin lembur maka ia akan
bekerja hingga pukul 18.00.Dari pekerjaannya itu, Ovi mendapatkan upah kira-kira 300
ringgit setiap bulannya. Gajinya tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari ia bersama suami dan juga diberikan kepada orangtuanya. Setelah merasa cukup
bekerja, keduanya kemudian pulang ke Timor dan kini tinggal di rumah hasil kerja
mereka berdua. Ovi kini bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Berdasarkan pengakuannya, di desa tempatnya tinggal di Maumere banyak juga
masyarakat yang bekerja sebagai PMI baik lewat jalur resmi maupun non-prosedural.
Namun jika dibandingkan, kebanyakan masyarakat desa tempatnya tinggal bekerja
dengan cara non-prosedural. Ia juga berbagi informasi bahwa setiap satu tahun sekali
selalu ada agen atau calon yang datang dan menawarkan pekerjaan ke luar negeri. Ovi
secara pribadi merasa sedikit takut, namun karena keluarganya telah bekerja lama di
Malaysia, ia berangkat bersama pamannya, dan ternyata setelah berada di tempat kerja, ia
mendapatkan mandor yang juga berasal dari Flores, maka ia merasa nyaman dan senang.
Tetapi ketika ditanya apakah jika ada kesempatan ia masih mau bekerja sebagai PMI,
dirinya mengatakan tidak ingin lagi karena sudah berkeluarga dan nyaman tinggal
bersama dengan suaminya di Amarasi Barat.
34
3. Carolina Kapitan (38 tahun)
Carolina Kapitan atau yang biasa dipanggil Lin adalah seorang PMI asal Sumba
yang bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Ia pergi untuk
bekerja di Malaysia pada tahun 2007. Saat itu usianya baru 20 tahun. Lin lahir di Sumba,
20 Oktober 1981 dan kini sudah menikah. Lin merupakan seorang PMI yang awalnya
berangkat sesuai prosedur, ia bahkan sempat menerima pelatihan di rumah penampungan
PMI yang ada di Kota Kupang selama satu bulan, sebelum akhirnya mendapat panggilan
untuk bekerja. Berdasarkan pengakuannya, ia diajak bekerja ke Malaysia oleh kerabatnya
yang juga seorang PMI. Kerabatnya adalah seorang janda yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan anaknya yang ada di Sumba. Lin berasal dari keluarga menengah ke bawah
yang bermatapencaharian sebagai petani. Ia adalah anak keenam dari tujuh bersaudara.
Berdasarkan ceritanya, statusnya yang kemudian berubah menjadi PMI illegal
karena dirinya melarikan diri dari majikannya yang seorang Melayu-Cina karena tidak
cocok. Waktu itu Lin sudah bekerja selama kurang lebih satu setengah tahun. Selepas itu,
ia bekerja sebagai pegawai restoran. Lin sempat ditangkap oleh polisi setempat karena
tidak memiliki berkas dan dokumen ketenagakerjaan apapun dan dipenjara di Batam.
Namun selepas bebas, ia kemudian masuk kembali ke Malaysia dengan menggunakan
visa pelancong dengan tenggat waktu 3 bulan. Lin bekerja selama 6 tahun sebelum
akhirnya kembali ke Indonesia bersama calon suami yang ditemuinya di sana.
Kini Lin menetap di Naihenas, Desa Niukbaun kecamatan Amarasi Barat bersama
dengan suami dan kedua anaknya yang berusia 6 tahun dan 3 tahun. Kini anak
pertamanya sedang mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar. Lin dan suaminya bekerja
sebagai petani sayur di kebun yang lumayan dekat dengan rumahnya. Ia mengaku
bahagia dengan kehidupannya yang sekarang walaupun penghasilan yang didapatnya
lebih kecil dari waktu ia menjadi PMI di Malaysia. Pendapatan dari berkebun sayur per
bedengnya dihargai dengan Rp 50.000, jadi besarnya pendapatan Lin kini tergantung dari
seberapa banyak ia dan suaminya mampu menghasilkan bedeng. Berdasarkan
pengakuannya, dari hasil yang didapatkannya ketika bekerja di Malaysia, Lin bisa
35
menyekolahkan keponakannya hingga Strata 1 dan membantu ibunya membangun rumah
di Sumba.
4.3 Narasumber Pendukung
1. John Tiran
John Tiran adalah seorang PMI yang bekerja di luar negeri secara prosedural.
Waktu itu dirinya direkrut langsung oleh Departemen Ketenagakerjaan (Depnaker) NTT.
John bersama 170 orang lainnya diberangkatkan ke Pahang, Malaysia untuk bekerja di
Boh Plantation SDN BHD yang merupakan perkebunan teh.John Tiran lahir di Niukbaun,
01 Januari 1966. Semenjak remaja ia menjalani kehidupan yang keras karena berada
dalam keluarga yang tidak terlalu perhatian. Harus membiayai sekolahnya sendiri sejak
dulu, membuat John belajar bekerja keras hingga bisa bersekolah hingga jenjang yang
setara dengan Sekolah Menengah Pertama, walaupun tak bisa menamatkan sekolahnya.
Bapak empat orang anak ini mulai bekerja sebagai PMI sejak tahun 2001 hingga 2006.
John menjadi narasumber untuk menunjukkan komparasi antara PMI ilegal dan legal
mulai dari aspek kesiapan saat berangkat, kemampuan kerja (kompatibel), pandangan
umum soal menjadi seorang PMI, dan keadaan kehidupan ketika seorang memutuskan
bekerja di luar negeri.
2. Meriyance Nepa
Meriyance Nepa adalah seorang warga Dusun 2 desa Niukbaun yang menjadi
PMI secara prosedural. Mery bekerja di Singapura sejak tahun 2012. Sebelum dirinya
bekerja ke Singapura, ia dulu bekerja di Jakarta sebagai seorang karyawan toko pakaian.
Gaji yang tak cukup membuatnya memilih untuk bekerja di luar negeri karena bisa
menerima gaji bersih dengan nominal yang lebih tinggi. Mery mengaku direkrut oleh PT
resmi yang waktu itu berlokasi di daerah Tangerang. Dirinya diperkenalkan oleh seorang
teman kala itu. Mery bekerja di Singapura sebagai seorang caregiver atau pengasuh
lansia, sebelumnya ia pernah beberapa kali berpindah tempat kerja karena merasa tidak
cocok. Setelah bekerja selama 7 tahun, Mery akhirnya akan pulang kembali ke Indonesia
di akhir tahun 2019. Merry harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan
anaknya serta membantu perekonomian keluarga. Merry adalah seorang janda.
36
3. Seprianus Tinenti
Seprianus Tinenti adalah seorang camat yang memimpin Kecamatan Amarasi
Barat. Warga desa Riumata ini telah menjadi camat sejak tahun 2014 dan akan pensiun
dari jabatannya pada Oktober 2019. Seprianus atau yang akrab dipanggil Adibu ini
memiliki tugas untuk menyelenggarakan dan mengkoordinasikan pemerintahan yang
berada di tingkat kecamatan maupun desa. Seprianus menjadi narasumber untuk
memberikan gambaran mengenai keadaan dan kondisi sosial, ekonomi serta budaya yang
berlaku di wilayah Amarasi Barat. Dirinya juga memberikan keterangan mengenai
masyarakat yang bekerja sebagai PMI baik secara legal maupun ilegal. Perannya dalam
upaya memerangi perekrutan PMI ilegal adalah menjalin kerjasama dengan berbagai
LSM yang ada di Kupang serta menjalin kerjasama dengan Depnaker untuk memberikan
sosialiasi dan pembinaan kepada masyarakat. Seprianus pun bercerita mengenai
pengalamannya menghadapi berbagai masalah terkait perekrutan PMI ilegal yang terjadi
di Amarasi Barat, termasuk peran aparat pemerintahan desa dalam upaya pelolosan izin
berkas, semenjak ia menjadi seorang camat dan bagaimana pandangannya terhadap isu
sosial seperti ini.
4.4 Hasil Penelitian
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan para narasumber,penulis akan
menguraikan data yang di dapat guna menjawab pertanyaan dalam penelitian ini
mengenai mengapa perempuan memutuskan untuk menjadi seorang PMI dengan jalur
non-prosedural dan bagaimana peran komunitas atau masyarakat dalam membentuk
keputusan tersebut.
Dari tiga narasumber yang diwawancarai latar belakang mereka akhirnya
memutuskan untuk bekerja ke luar negeri adalah mengikuti ajakan atau saran dari kerabat
dekat mereka yang sedang bekerja di luar negeri. Lin diajak oleh kakaknya yang bekerja
sebagai PRT, Santi mengikuti calon suaminya yang diajak oleh pamannya, sedangkan
Ovi berangkat bersama dengan pamannya atas suruhan orang tua.Ajakan yang datang
secara terus menerus dari kerabat dekat lantas membuat mereka yakin dan berani untuk
mengambil keputusan, sekaligus merasa aman karena mengetahui mereka akan berada di
37
lingkungan pekerjaan yang juga dipenuhi oleh orang-orang dengan asal daerah yang
sama. Seperti yang diceritakan oleh Lin, pada awalnya orang tua tidak memberikan izin
namun karena ajakan terus datang maka akhirnya ia berhasil meluluhkan hati orang tua
nya. Ovi dan Santi pun memberikan keterangan bahwa memang yang bekerja di
perkebunan kelapa sawit kebanyakan berasal dari Indonesia, bahkan mandor yang
mengawasi mereka berasal dari daerah asal mereka masing-masing.
“Saya sebenarnya orang tua tidak mendukung tapi karena ada kaka satu, dia pu laki
su meninggal, dia ajak saya bilang daripada saya tanganga (tidak tau mau berbuat
apa) di kampung dia ajak saya lebih baik ketong dua ke Malaysia saja. Setelah dia
sukses disana to makanya dia ajak saya. Akhirnya pas mo ijin keluarga, keluarga
tidak ada yang mau. Bilang ko mau pi kerja jau-jau sampe disana ko kira son ada
makan dirumah? Ma ini kaka ni dia datang terus bilang disana gaji bagus, mari
ketong dua pi. Nekat sa”(Orangtua saya sebenarnya tidak mendukung tetapi karena
ada satu kakak, suaminya sudah meninggal, dia mengajak saya daripada saya diam
saja di kampung dan tidak berbuat apa-apa lebih baik ke Malaysia saja. Setelah sukses
disana dia mengajak saya. Akhirnya waktu akan ijin ke keluarga, keluarga tidak ada
yang mau memberikan ijin. Katanya kenapa harus kerja jauh-jauh? Memangnya tidak
ada makanan di rumah ini? Tapi kakak ini datang terus-menerus katanya gaji disana
sangat bagus, mari pergi kesana, nekat saja.) (Wawancara dengan Carolina Kapitan
pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Kalau saya, saya ikut saya pu mama dong di Malaysia Disana yang kerja
masyarakat Indonesia semua. Mandornya ketong punya orang dari Flores. Orang
Flores terlalu banyak disana.”(Kalau saya, saya ikut mama saya di Malaysia sana.
Disana yang kerja masyarakat Indonesia semua. Mandornya orang kita dari Flores.
Banyak orang Flores disana.) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19
Juli pukul 20.00 WITA di kediaman mertuanya – Boibati)
“Ee ada suami pu om deng dia ju su pernah pisana, pi sam-sama. Dia pu laki deng
dong pu om kan su pernah pi, jadi pas dong datang andia bawa dia pi” (Ada
pamannya suami dan dia juga yang sudah pernah kesana, mereka pergi sama-sama.
Suami dan pamannya kan sudah pernah kesana jadi waktu mereka pulang, mereka
bawa juga pergi kerja kesana.) (Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19
Juli pukul 14.00 WITA di kediaman mertuanya – Tofa)
“Ko mandor dong dar ketong sini. Jadi kal ketong dar Timor nanti pilih mandor yang
daerah sama dar sini”(Mandornya berasal dari daerah asal kami. Jadi kalau yang
orang Timor nanti mandornya dari daerah yang sama juga disana.) (Wawancara
dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di kediaman
mertuanya – Tofa)
38
Jika pada umumnya sang perekrut adalah orang-orang dari luar kalangan
masyarakat, maka kini nampaknya pola perekrutan telah berubah. Orang-orang yang
memutuskan bekerja sebagai PMI cenderung direkrut oleh kerabat dekat. Dapat
dikatakan pola perekrutan seperti ini lebih efektif karena lebih mudah dipercaya. Tidak
perlu lagi ada politik uang (Oko Mama) untuk menghaluskan rencana. Orang tua juga
lebih tenang karena mengetahui bahwa anaknya berada dalam tangan orang terdekat,
tanpa tahu bahwa nantinya mereka akan mempertanggungjawabkan hidup masing-
masing.
Selain mengikuti ajakan dari kerabat dekat yang telah sukses bekerja di luar
negeri, alasan mereka untuk bekerja di luar dibandingkan di dalam diantaranya adalah
perbandingan mata uang yang nilainya lebih tinggi.Santi dan Ovi yang bekerja sebagai
pemilah biji kelapa sawit dengan 7 jam kerja setiap harinya mendapatkan rata-rata 200-
300 ringgit (Rp 700.000 – Rp 1.050.000) per bulannya. Sedangkan, Lin mendapatkan 30
ringgit (Rp 100.000) setiap hari dengan jam kerja mulai pukul 07.00 – 16.00, jika
dihitung maka per bulannya ia mendapatkan Rp 3.000.000. Walaupun setelah dihitung-
hitung pengahasilannya tidak jauh berbeda jika bekerja di Ibukota. Namun, kesuksesan
pekerja luar negeri terlihat lebih mentereng dibandingkan dengan pekerjaan lainnya di
dalam negeri. Kebanyakan PMI yang bekerja di luar telah mampu membangun rumah
pribadi sendiri dan ada juga yang dapat menyekolahkan anak. Selain persoalan ekonomi,
alasan lainnya adalah tidak semua orang bisa bekerja di luar negeri layaknya mereka.
Pengalaman tinggal di negeri seberang tentu memberikan kesenangan dan kebanggan
tersendiri. Aspek lainnya yang menyenangkan jika bekerja di luar negeri adalah
menambah pengetahuan dan keterampilan bahasa asing seperti bahasa Melayu dan
bahasa Inggris. Santi, Ovi dan Lin masih mengingat dan dengan penuh semangat
membagikan pengetahuan mereka mengenai istilah-istilah asing yang mereka tahu seperti
toke atau bos, ukuran tan yang merujuk pada ton, company atau perusahaan, barintik atau
rambut keriting dan juga cerita-cerita tentang tempat-tempat di Malaysia.
“Iya, pakai bangun rumah. Saya kasih sekolah anak satu sampe kuliah, itu kaka pu
anak.”( Iya dipakai untuk membangun rumah. Saya menyekolahkan satu anak kakak
39
saya sampai kuliah) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,
pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Macam sa pu kaka, 12 tahun dia di itu tempat yang sama, majikan tidak mau kasih
dia pulang. Mau kasih panjang dia pu permit biar nanti kerja lagi. Tapi karena
majikan masih mau dia, ini nanti Desember dia pulang untuk cuti supaya sekalian
urus kasih dia permit yang baru lagi. Dia pu gaji itu sudah 4 juta lebih, ada sambil
kas kuliah anak dua di Malang juga.” (Seperti kakak saya, 12 tahun dia di tempat
yang sama, majikannya tidak mau membiarkan dia pulang. Permitnya akan
diperpanjang biar nanti bisa kerja lagi. Majikan masih mau dengan dia, desember ini
dia cuti untuk pulang supaya sekalian mengurusi permit yang baru. Gajinya sudah 4
juta lebih, dia bekerja sambil menguliahkan dua anaknya di Malang.) (Wawancara
dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di
kediamannya - Naihenas)
“Iya senang karena sudah pernah ke Malaysia. Iya, makam Bung Karno mereka
(yang lain) belum tau, itu kebun apel dong ju mereka belum pernah liat. Kalo
sekarang kami fokus cari uang saja untuk anak, karena kami sudah pernah keliling
dua negara to, Indonesia-Malaysia.”( Iya senang karena sudah pernah ke Malaysia.
Iya, makam Bung Karno mereka –yang lain- belum tahu, itu kebun apel juga mereka
belum pernah lihat. Kalau sekarang kami fokus mencari uang saja untuk anak, karena
kami sudah pernah keliling dua negara kan, Indonesia dan Malaysia.) (Wawancara
dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di
kediamannya - Naihenas)
“kenapa rambutmu tidak barintik? (kenapa rambutmu tidak keriting?)” saya bilang
sa iya rambut saya memang tidak keriting(Wawancara dengan Carolina Kapitan
pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“di sana kalo bos bilang toke”( Di sana bos dipanggil dengan istilah toke)
(Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di
kediaman mertuanya – Tofa)
Jam kerja yang tergolong fleksibel juga menjadi salah satu alasan mengapa
bekerja di luar negeri, khususnya pada perkebunan kelapa sawit, masih menjadi
primadona. Pada umumnya jam bekerja adalah mulai pukul 07.00 hingga pukul 14.00
dan setelah itu akan dihitung sebagai lembur dan mendapat bayaran tambahan. Namun,
karena waktu bekerja menjadi tanggung jawab pekerja itu sendiri maka mereka bebas jika
ingin pergi lebih siang atau pulang lebih awal. Tidak ada keharusan untuk mengambil
lembur namun jika mengambil lembur tentunya pendapatan semakin bertambah.
Sedangkan bagi para pekerja yang legal mereka cenderung bekerja sesuai dengan
40
perjanjian kerja dan waktu yang ditetapkan. Bahkan untuk PRT terkadang mereka bekerja
dari pagi hingga tengah malam namun dengan gaji yang tidak dihitung lembur. Bisa kita
lihat bahwa taktik seperti inilah yang akhirnya membuat banyaknya kasus overtime yang
dialami oleh PMI ilegal. Namun disisi lain, mereka menganggap bahwa justru itulah
untungnya jika menjadi PMI ilegal. Semakin banyak lembur semakin banyak
mendapatkan uang. Bahkan gaji yang mereka dapatkan sebagai PMI ilegal juga ternyata
lebih memuaskan.
“Kerja legal itu hari-hari harus kerja tapi gaji tidak sama dengan yang illegal.
Kalo yang illegal terserah kita. Kita mo kerja ya kerja, tidak kerja juga ya
bisa.”(Kalau kerja legal tiap hari kita harus bekerja, tetapi gajinya tidak sama dengan
yang kerja ilegal. Kalau yang ilegal terserah kita. Kita mau kerja ya kerja, tidak mau
kerja juga ya bisa) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,
pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Lebih puas yang waktu illegal. Dapat gaji lebih bagus”(Lebih puas waktu kerja
secara ilegal. Dapat gaji lebih baik) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada
Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Kadang dari jam 6 sampe jam 2. Kadang berangkat dari rumah jam 7 pagi pulang
jam 6. Kalau jam kerja harian itu kan sampai jam 2, setelah itu su itung lembur yang
sampai jam 6 itu”(Kadang dari pukul 6 pagi sampai 2 siang. Kadang berangkat dari
rumah pukul 7 pagi lalu pulang pukul 6 sore. Kalau jam kerja setiap harinya itu hanya
sampai pukul 2 siang saja, setelah itu sudah dihitung lembur, yang sampai jam 6 sore
itu.) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA
di kediaman mertuanya – Boibati)
“Dari ketong sa kalau mau kerja begitu, kadang dari pagi sampai sore begitu, jam
tujuh pagi sampai jam tiga ka empat. Tapi kalo mo pulang siang juga sonde apa-apa,
dar ketong sa.”( Dari kita saja kalau mau bekerja begitu, kadang dari pagi sampai
sore,pukul 7 pagi sampai pukul 3 atau 4 sore. Tapi kalai mau pulang siang juga tidak
apa-apa, terserah kita saja.) (Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19
Juli pukul 14.00 WITA di kediaman mertuanya – Tofa)
Pola perekrutan yang lebih efektif dengan memanfaatkan testimoni dari kerabat
dan juga keberhasilan para pekerja migran lainnya tentunya didukung oleh pola
komunikasi yang baik antara perekrut dengan calon pekerja. Perekrut biasanya memiliki
rentan waktu untuk datang dan membujuk calon pekerja yaitu minimal satu tahun sekali
atau ketika mereka sedang mendapat cuti untuk liburan ke kampung halaman. Pesan atau
41
informasi akan dibingkai sedemikian rupa agar bisa menarik perhatian. Dimulai dari
iming-iming gaji yang bagus, (bagi PRT) rumah yang kecil dan nyaman sehingga
pekerjaan yang dikerjakan tidak terlalu menyusahkan dan melelahkan, bisa bekerja dan
menikmati luar negeri, hingga penipuan kotor dengan memperlihatkan gambar pohon
kelapa sawit yang pendek dan kecil sehingga tidak akan sulit untuk dikerjakan.
Informasi-informasi tersebut lahir dari pengalaman pribadi dan tentunya menjadi sangat
mudah dipercaya karena yang menyebarkannya adalah orang yang sudah berpengalaman
bekerja dalam bidang yang sama.
“Orang kal dong mau cari TKI itu nanti dong foto ini pohon kelapa sawit yang kecil-
kecil dong itu baru dong kasih tau di kita bilang disana pohon kecil-kecil, padahal
tinggi-tinggi.”( Biasanya mereka yang mau merekrut seseorang untuk jadi TKI, akan
mengambil foto pohon kelapa sawit yang kecil-kecil lalu mereka memberitahu kita
kalau disana pohonnya kecil-kecil, padahal pohonnya tinggi-tinggi) (Wawancara
dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman
mertuanya – Boibati)
“Dorang kasih tau kita bilang disana kerja enak padahal susah.”(Mereka
memberitahu kita kalau disana pekerjaannya mudah padahal susah) (Wawancara
dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman
mertuanya – Boibati)
“Iya gaji bagus, rumah kecil saja jadi tidak terlalu setengah mati disana.”(Iya gajinya
bagus, rumahnya kecil jadi tidak terlalu susah jika bekerja disana) (Wawancara
dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di
kediamannya - Naihenas)
Daratan Amarasi dengan kontur tanah yang gersang dan berbukit tentunya jauh
lebih sulit untuk dikerjakan daripada di daratan Sabah atau Malaysia yang subur dengan
perkebunan kelapa sawit beratus-ratus hektar. Jika rumah-rumah di Amarasi Barat hanya
beralaskan tanah, didinginkan angin, jika mau mencuci pun harus pergi ke kali, memasak
harus menggunakan tungku maka akan menjadi mudah sekali jika bekerja di rumah-
rumah Malaysia yang berkeramik, memiliki pendingin ruangan, mesin cuci dan kompor
gas yang tinggal diputar dengan satu jari. Ironisnya pesan-pesan seperti itu ditanggapi
dengan baik dan hanya dibalas dengan pertanyaan-pertanyaan seperti jumlah gaji dan
waktu libur.
42
Kekhawatiran akan hal-hal krusial seperti dokumen keberangkatan, syarat-syarat
menjadi PMI, hak dan kewajiban yang mengikutinya serta prosedur-prosedur penting
seperti perjanjian kerja, keabsahan penawaran kerja, perlindungan dan jaminan atas
kehidupan para pekerja dan risiko-risiko yang mungkin muncul jika berangkat tidak
sesuai dengan prosedur tidak pernah disinggung. Hal iu menyebabkan banyak dari para
calon pekerja yang tidak mengetahui peraturan dan prosedur yang tepat jika ingin bekerja
lintas negara. Mereka bahkan tidak tahu kalau mereka dikategorikan sebagai tenaga kerja
wanita (TKW) atau PMI. Dalam pandangan Santi dan Ovi ketika diwawancarai, mereka
yakin bahwa yang bisa disebut sebagai TKW adalah perempuan yang bekerja sebagai
PRT atau yang menjadi TKI, dan karena mereka bekerja sebagai pekerja di perkebunan
kelapa sawit maka mereka bukanlah TKW. Mereka menyebut pekerjaan itu sebagai
„kerja‟. Ironi seperti ini sungguh terjadi terutama bagi para calon pekerja yang baru saja
lepas dari masa sekolah.
“Kalau yang resmi kan TKI dong”(Kalau yang resmi kan mereka yang TKI
saja)(Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA
di kediaman mertuanya – Boibati)
“Iya tapi itu beta bukan jadi TKW hanya pi kerja saja disana, kalau TKW kan macam
kayak PRT dong”(Iya tapi kalau saya bukan jadi TKW, saya hanya pergi bekerja saja
disana, kalau TKW kan mereka yang bekerja sebagai PRT begitu) (Wawancara
dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di kediaman
mertuanya – Tofa)
Dapat kita lihat bahwa pengetahuan para calon pekerja terhadap pekerjaan mereka
sangatlah terbatas meskipun menurut aparat pemerintahan sosialisasi dan diseminasi
informasi mengenai prosedur menjadi PMI sudah gencar dilakukan oleh Depnaker
bahkan pemerintah sudah menyediakan fasilitas yang memuat segala informasi mengenai
prosedur ketenagakerjaan. Aparat membenarkan jika masyarakat tidak mengetahui alur
dan prosedur yang berlaku karena pengaruh „calo‟ yang selalu datang membujuk para
calon pekerja secara sepihak. Namun , aparat juga menilai “sangat salah” jika masyarakat
tidak mengetahui informasi terkait ketenagakerjaan karena sudah sering diadakan
sosialisasi bahkan pelatihan dan pemberdayaan terkait hal itu.
43
“Dari 24 kecamatan di Kabupaten Kupang, Amarasi Barat ini salah satu penyumbang
terbesar TKW/TKI ilegal, karena itu setiap tahunnya, hampir 3-4 kali dari
Depnakertrans selalu datang kesini dan kasih sosialisasi. Salah kalau masyarakat
tidak tahu informasi itu. Saya sudah 5 tahun menjabat dan hampir setiap tahunnya itu
saya yang buka acara-acara seperti itu.” (Wawancara dengan Camat Amarasi
Barat Seprianus Tinenti pada Kamis, 25 Juli pukul 11.00 WITA di Kantor
Camat Amarasi Barat)
Persoalan calo pun kian menjadi momok mengerikan sebab mereka terus
berimprovisasi dan inovatif. Bukan hanya berasal dari kalangan luar masyarakat, kini
calo berasal dari dalam lingkaran sosial masyarakat bahkan dari pihak keluarga. Aparat
pemerintah pun terkadang melenggangkan praktik calo. Salah satu contohnya adalah
yang berkaitan dengan pengurusan surat domisili atau kartu keluarga, juga surat izin dari
pemerintah. Aparat yang seharusnya dapat meminimalisir praktik-praktik seperti ini
justru kurang berhasil menanganinya. Pemberian tanda tangan yang terhitung legalitasnya
menjadikan para calon PMI dapat berangkat dengan dokumen palsu atau asal-asalan.
Aparat pemerintah yang seharusnya paham birokrasi dan pentingnya hal-hal prosedural
malah seakan-akan menutup mata akan hal ini. Padahal jika dilihat risiko yang akan
menimpa masyarakatnya akan menjadi tanggungan pemerintah juga. Bagaimana jika ada
yang menghilang karena tidak pernah terdaftar dalam pendataan Depnaker atau BP2TKI?
Bagaimana jika ada yang pulang tanpa nama? Bagaimana jika ada yang disiksa hingga
tewas atau gila? Risiko-risiko yang besar dan mengerikan seperti ini harusnya sudah
cukup meningkakan kewaspadaan dan kesiapan pemerintah dalam mengantisipasi
terjeratnya masyarakat lugu dari calo-calo tidak bertanggungjawab.
Di balik gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, jam kerja yang fleksibel,
pengalaman bekerja di luar negeri dan segala gengsi yang ditawarkannya, bekerja sebagai
PMI ilegal memberikan banyak sekali cerita menegangkan. Salah satunya cerita keluar
masuknya para PMI ilegal. Risiko yang akan dihadapi oleh para PMI ilegal adalah
tenggelam, ditangkap, diadili dan dijebloskan ke dalam penjara. Sebelum sampai di
Malaysia, para PMI harus menempuh perjalan selama satu minggu menggunakan kapal
laut untuk sampai ke Nunukan yang berbatasan dengan wilayah Malaysia. Di Nunukan
mereka akan „diurusi‟ oleh para pengurus agar bisa menyebrang ke Malaysia
44
menggunakan speedboat. Speedboat yang harusnya berkapasitas 10 orang dipakai untuk
menampung sekitar 32 orang dengan risiko akan tenggelam jika ada arus kencang. Belum
lagi untuk menghindari kecurigaan, mereka harus merunduk dan saling menindih agar
bisa ditutupi. Begitupun jika menggunakan mobil untuk menyebrang. Jika tertangkap,
seseorang harus membayar sesuai dengan keinginan polisi, biasanya sekitar 600 ringgit
atau lebih. Jika ditangkap dan diadili melalui mahkamah, maka para PMI ilegal akan
dijebloskan ke dalam penjara yang ada di Batam dan berakhir di kamp pengungsian
untuk PMI ilegal. Jika memiliki cukup uang, mereka bisa membayar mulai dari 300 -
2.500 ringgit agar bisa keluar. Kemudian, memiliki dua pilihan antara kembali ke daerah
asal atau membuat paspor melalui calo untuk masuk lagi ke Malaysia Jika tidak memiliki
uang maka mereka harus bekerja untuk mendapatkan tiket kembali ke daerah masing-
masing atau terlunta-lunta di kamp penampungan. Jika seorang PMI ilegal di tangkap itu
akan menjadi risiko sendiri, perusahaan tidak bertanggung jawab atas masalah itu karena
seringkali harus mengerluarkan biaya yang cukup mahal untuk menebus.
“macam kal lewat polisi begitu nanti dong kas sembunyi ketong dolo baru lewat.
Itu kayak oto pribadi dong begitu, jadi nanti ketong tidor sa dibawah, sembunyi di
bawah jok dong supaya keliatan kosong.”(Kalau melewati polisi biasanya mereka
akan sembunyikan kita dulu baru berani lewat. Iya pakai mobil pribadi, jadi nanti kita
tidur saja dibawah, sembunyi di bawah jok supaya jika dilihat kelihatan kosong)
(Wawancara dengan Santi Makasar pada Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di
kediaman mertuanya – Tofa)
“Kita naik speedboat itu 32 orang di dalam padahal sebenarnya harusnya tidak
sampai 10. Jadi kita bakutendes sa di dalam.”(Kita naik speedboat dengan 32 orang
lainnya di dalam, padahal sebenarnya speedboat hanya muat tidak lebih dari 10
penumpang. Jadi kita berdesak-desakan di dalam) (Wawancara dengan Maria
Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman mertuanya –
Boibati)
“Iya kami juga sama, harus sembunyi-sembunyi juga. Waktu mau naik oto saja dong
suruh cepat-cepat. Ada itu kami jalan untuk naik kapal itu di atas jembatan papan-
papan yang kalau jalan diatas nanti goyang-goyang. Itu kalau injak salah brarti
langsung jatuh di sungai di bawah.”(Iya kami juga sama, harus bersembunyi juga.
Waktu akan naik mobil saja mereka menyuruh kita untuk cepat-cepat. Kami harus
berjalan diatas jembatan papan yang bergoyang-goyang ketika dipijak untuk naik ke
kapal. Kalau kita salah menginjak berarti akan langsung jatuh ke
45
bawah)(Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00
WITA di kediaman mertuanya – Boibati)
“Ee ko saya kan pernah dapat tangkap polisi ju, karena su kosong na. Saya masuk
satu bulan, buang kembali di Batam trus saya masuk lagi.”(Kalau saya kan pernah
ditangkap oleh polisi juga. Saya masuk penjara satu bulan, dibuang di Batam lalu saya
masuk ke Malaysia lagi) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26
Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Sonde takut, saya sa masuk lagi. Banyak soalnya, bukan cuma saya sendiri saja.
Dibuang itu bisa sampe beribu-ribu orang. Nanti keluar kami ke imigrasi di Batam
untuk cari calo buat kasih kita paspor melancong baru kita masuk lagi ke
Malaysia.”(Tidak takut, saya saja masuk lagi. Banyak soalnya, bukan hanya saya
sendiri saja. Yang dibuang bisa sampai ribuan orang. Kalau sudah keluar kami ke
imigrasi di Batam untuk mencari calo agar dibuatkan paspor melancong, setelahnya
baru kita bisa masuk lagi ke Malaysia) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada
Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Nah sampe di Batam itu yang kita usaha sendiri, kita kal mau keluar dari
penampunganTKI illegal itu tinggal bayar kas dong 500 ringgit ko ketong keluar trus
pi cari orang ko buat paspor. Itu hari ketong sampe 1.000 lebih orang yang begitu.
Kalo yang punya uang masih bae tapi kalo yang tidak ada uang itu yang kasihan
sekali. Terlantar disitu.”(Sampai di Batam kita harus usaha sendiri, kalau mau keluar
dari penampungan TKI ilegal itu kita hanya perlu membayar 500 ringgit untuk mereka
lalu kita bisa keluar dan mencari orang untuk membuatkan kita paspor. Waktu itu
sampai ada sekitar 1000 orang. Kalau ada yang punya uang beruntung, tapi kalau yang
tidak punya uang kasihan sekali. Mereka terlantar disitu)(Wawancara dengan
Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya -
Naihenas)
Walaupun risiko yang dihadapi seperti itu, salah satu narasumber mengaku tetap
berani saja untuk menjadi seorang TKW ilegal. Alasan terbesarnya karena ada banyak
juga orang lain yang menjadi PMI secara ilegal. Walaupun ditangkap, ada banyak PMI
ilegal juga yang ditangkap. Apabila dibuang, ada banyak juga PMI ilegal yang dibuang.
Pada dasarnya, narasumber pun sadar jika risiko menjadi PMI ilegal bukan hanya itu saja,
masih ada kemungkinan besar mereka akan menerima kekerasan baik secara fisik
maupun mental. Sejauh ini para narasumber sadar dan pernah mendengar kasus-kasus
46
kekerasan yang dialami oleh rekan-rekan sekerja mereka. Namun, narasumber percaya
jika mengalami kekerasan atau tidak adalah persoalan nasib dan nasib tiap orang berbeda-
beda. Salah satu narasumber pendukung pun menyatakan bahwa seorang PMI yang
mengalami kekerasan biasanya memang atas kesalahan sendiri. Ketidaksiapan,
kurangnya kapabilitas dan pengetahuan serta tidak efektif nya komunikasi menjadi
beberapa penyebab majikan melakukan kekerasan. Berdasarkan penuturan narasumber,
sejauh ini mereka tidak pernah mengalami kekerasan secara fisik. Diteriaki atau dimarahi
adalah hal-hal yang kadang mereka terima.
“Mandornya pernah marah ju *tertawa*”(Mandornya pernah marah juga kok
*tertawa*) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00
WITA di kediaman mertuanya – Boibati)
“Ya, berani saja *tertawa* karena bukan hanya saya saja, ada banyak.
Malah lebih banyak yang illegal daripada yang legal.”(Ya berani saja *tertawa*
karena bukan hanya saya saja, ada banyak yang lainnya. Malah lebih banyak yang
ilegal daripada yang legal) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26
Juli, pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“masalahnya kalau dia su mabok ini nanti dia batreak ketong sonde ada dia pu ujung.
Dia ada tasalah disana nanti kita di rumah ini ju ikut jadi salah. Tapi dia masalah
makan minum bagus, pakian bagus ju. Hanya tasalah di mabok sa ini, kalo mabok dia
marah-marah.”(Masalahnya ketika dia mabuk maka dia akan berteriak kepada kita
terus-menerus. Jika ada yang salah disana nanti kita yang dirumah juga akan
disalahkan. Tapi dia untuk urusan makan dan minum bagus, pakaian juga bagus.
Hanya masalahnya di mabuknya saja, kalau mabuk suka marah-marah) (Wawancara
dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di
kediamannya - Naihenas)
“Saya tau, saya sadar juga tapi saya percaya nasib semua orang tidak sama.
Saya pu nasib tidak sama dengan mereka, saya punya nasib sendiri. Tapi memang
ada banyak yang begitu. Pernah ada yang melompat sampai lantai tiga,
waktu saya mau pulang gereja ko pas saya mo minta pindah majikan itu, saya dapat
satu anak yg se-agen dengan saya juga, dia pu tangan *menunjuk lengan atas tangan
sebelah kanan dan sebelah kiri* Bangka, mata ju bangka semua.”(saya tahu dan sadar
tapi saya percaya jika nasib semua orang tidak sama. Nasib saya tidak sama dengan
mereka. Saya punya nasib sendiri. Tapi memang ada banyak yang begitu, pernah ada
yang melompat sampai lantai 3 waktu saya pulang gereja dan hendak meminta pindah
ke majikan, saya melihat satu anak yang seagen dengan saya juga, tangan dan matanya
47
semua bengkak) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,
pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
Menariknya, para narasumber memutuskan untuk pulang karena ingin fokus pada
keluarga. Dua dari tiga narasumber bertemu dengan pasangannya ketika sedang bekerja
di Malaysia. Mereka pun memutuskan untuk pulang dan menikah. Santi, narasumber
yang sudah lebih dulu memiliki pasangan, memutuskan untuk pulang agar bisa
memberikan lingkungan hidup yang lebih sehat bagi anaknya. Setelah sampai di
Indonesia, mereka akhirnya membangun rumah dan bekerja sebagai petani maupun
pekerja bangunan. Para narasumber juga memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai
PMI walaupun masih ada sedikit keinginan. Pada saat wawancara, hambatan untuk pergi
adalah dari pihak keluarga, baik dari suami, mertua maupun anak.
“*tertawa* Tidak mengijinkan lagi, karena sudah ada anak, sedang sekolah lagi.
Kalo ada keinginan ya ada tapi tidak sampai lagi. Su ada kebun juga.”(Wawancara
dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli, pukul 18.00 WITA di
kediamannya - Naihenas)
“*tertawa* Disini saja sudah”(Disini saja) (Wawancara dengan Maria Octavia
pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di kediaman mertuanya – Boibati)
“Dong pi sana ko susah na ketong orangtua disini ju stengah mati, biar sa.”(Kalau
mereka kesana tapi jadi susah seperti itu, kita orangtua disini juga merasa susah sekali,
jadi biar saja) (Wawancara dengan Maria Octavia pada Jumat, 19 Juli pukul
20.00 WITA di kediaman mertuanya – Boibati)
“Sonde tau *tertawa*”(Tidak tahu) (Wawancara dengan Santi Makasar pada
Jumat, 19 Juli pukul 14.00 WITA di kediaman mertuanya – Tofa)
Jika dilihat dari pandangan masyarakat mengenai PMI, masyarakat sebenarnya
berterima saja dengan status pekerjaan ini, entah itu sesuai prosedural atau tidak. Resmi
atau tidak resminya proses menjadi PMI tidak terlalu diperhatikan karena masyarakat
menilai pekerjaan dengan jalur yang berbeda ini berada pada tingkat yang sama. Apalagi
kesuksesan antara keduanya dianggap sama saja, yang resmi atau tak resmi sama-sama
bisa membangun rumah, menyekolahkan anak maupun membantu ekonomi keluarga.
Bahkan, masyarakat pun terkesan tidak canggung saat membicarakan perihal PMI karena
cukup banyak orang yang terjun dalam pekerjaan tersebut. Menjadi PMI menjadi suatu
48
ajang pembuktikan akan rasa keberanian dan perwujudan tidak takut mengambil risiko
yang menjadi watak atau ciri khas masyarakat Amarasi Barat. Berdasarkan penuturan
sumber informasi, masyarakat juga menilai positif pekerjaan sebagai PMI, ada pula yang
merasa bangga jika melihat sesama anggota masyarakat berhasil dalam pekerjaannya
entah itu dilihat dari berhasil dibangunnya rumah atau berhasil membantu perekonomian
keluarga. Berdasarkan penuturan narasumber pendukung, masyarakat Timor khususnya
yang berada di Amarasi Barat, juga memiliki kebanggaan dan gengsi tersendiri jika
berhasil memiliki pekerjaan di luar desa, apalagi di luar pulau dan luar negeri. dapat
dilihat bahwa pekerjaan menjadi seorang PMI dinilai cukup berhasil dalam sisi ekonomis.
Orang tua pun ada yang senang ketika mendengar bahwa anaknya ditahan untuk pulang
dengan alasan anaknya bekerja dengan rajin dan disenangi oleh mandornya disana.
“Dia ini paling rajin disana jadi dia pu mandor itu sebenarnya tidak mau kasih dia
pulang. Pake bermacam-macam alasan baru akhirnya bisa pulang.”(Dia ini yang
paling rajin disana jadi mandornya tidak membiarkan dia pulang. Harus dengan
bermacam-macam alasan hingga dia bisa pulang kembali kesini) (Wawancara
dengan Maria Octavia dan keluarga pada Jumat, 19 Juli pukul 20.00 WITA di
kediaman mertuanya – Boibati)
“*mengangguk* apalagi kalau kita misalnya tiap bulan kirim kasih mama, itu kan
dong jadi bangga. Dong kayak “ee dia pi kerja tapi dia ingat dia pu orang tua”.
Orang tua bangga, tetangga ju bangga.”(Apalagi jika kita setiap bulannya mengirim
uang ke mama, mereka jadi bangga jika melihat itu. Mereka seperti berpikir bahwa
kita pergi bekerja keluar tapi tetap mengingat orangtua di kampung. Orangtua bangga,
tetangga juga bangga) (Wawancara dengan Carolina Kapitan pada Jumat, 26 Juli,
pukul 18.00 WITA di kediamannya - Naihenas)
“Masyarakat Amarasi Barat itu beda dari yang lain, sangat berani dan tidak takut
untuk ambil risiko to.Mereka berani saja,walau tahu ada yang pernah jadi TKI
datang ko cerita soal buruk-buruknya dan susahnya jadi TKI tapi begitu calo datang
bujuk, hilang sudah semua. Mereka berani sekali.”(Masyarakat Amarasi Barat itu
beda dari yang lain, sangat berani dan tidak takut untuk mengambil resiko. Mereka
berani saja walau tahu ada yang pernah jadi TKI datang lalu menceritakan cerita yang
buruk-buruk dan susahnya menjadi TKI, tapi begitu calo datang dan membujuk,
hilang sudah semua ketakutan. Mereka berani sekali) (Wawancara dengan Camat
Amarasi Barat Seprianus Tinenti pada Kamis, 25 Juli pukul 11.00 WITA di
Kantor Camat Amarasi Barat)
49
“Iya pasti masyarakat juga punya persepsi seperti itu. Dong kalau ada yang kerja di
Jakarta saja pulang datang bangganya minta ampun. Padahal kerja di Jakarta yang
sesak begitu, macet dimana-mana. Apalagi kalau mereka sudah ke luar negeri. betul
itu memang.”(Wawancara dengan Camat Amarasi Barat Seprianus Tinenti pada
Kamis, 25 Juli pukul 11.00 WITA di Kantor Camat Amarasi Barat)