Post on 12-Mar-2019
59
BAB IV
ANALISIS DAN REFLEKSI
TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN
DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH
4.1.Ritual Masyarakat Trunyan
Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi
yang beraneka ragam, salah satunya adalah tradisi perlakuan terhadap orang meninggal dalam
upacara kematian masyarakat Trunyan yang berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Disini
kita akan melihat pembagian wilayah sakral dan profan dalam suatu tradisi lebih khusus dalam
tradisi perlakuan terhadap orang meninggal di Desa Trunyan Bali.
Upacara kematian di desa Trunyan merupakan serangkaian upacara yang dilakukan sejak
seorang warga Trunyan lahir. Bahkan proses ini sudah dimulai sejak seseorang masih dalam
kandungan. Proses ini nampak dari serentetan upacara dan larangan-larangan yang harus
dilakukan oleh ibu yang mengandung dan bayinya. Tidak hanya kelahiran proses kehidupan
seorang Tarumenyan juga merupakan bagian dalam rangkaian yang sama dengan upacara
kematian. Jika selama hidup seorang warga Trunyan memiliki moral yang baik selama hidupnya,
maka akan sangat berpengaruh pada bagaimana dia akan diupacarakan pada saat ia meninggal.
Hal ini menunjukan bahwa proses kelahiran dan kehidupan tidak kalah penting dengan kematian.
Proses yang rumit yang harus dilalui ibu dan bayi sejak mengandung hingga bayi
bertumbuh, jika dilihat dari kacamata Turner hal tersebut merupakan upaya untuk menjaga dan
mentransformasi kehidupan serta struktur sosial1. Ritus merupakan cara manusia untuk
1 Turner, ibid., 3.
60
menanggapi masalah-masalah kehidupan maupun kematian2. Berdasarkan kaca mata ini, cukup
jelas bahwa larangan-larangan yang harus dipatuhi sang ibu serta upacara-upacara yang harus
dilalui oleh bayi untuk mengatasi permasalahan kehidupan, seperti cacat fisik dan kehidupan
yang aman dan sejahtera. Kerumitan proses yang harus dilalui menurut Turner adalah sesuatu
yang wajar, karena sudah pada dasarnya manusia adalah makhluk yang kompleks.3
Bahkan lebih jauh lagi, Dhavamony melihat ritus sebagai suatu usaha untuk membangun
hubungan dengan kekuatan Ilahi4. Bahkan Preusz menegaskan bahwa ritus sama sekali tidak
akan berguna jika hanya bergantung pada rasional dan logika5. Dengan demikian, tidaklah
mengherankan jika dalam ritus kelahiran masyarakat Trunyan mereka mempercayai sesuatu
yang tidak sesuai dengan logika berpikir modern, seperti ibu hamil yang dilarang mendekat
dengan orang cacat, agar anak yang dikandungnya tidak cacat, atau bayi yang dilahirkan dengan
empat roh.
Terlepas dari apakah tidakan tersebut rasional atau tidak, Geertz berpendapat bahwa
tindakan-tindakan tersebut merupakan resitasi sebuah mitos, konsultasi sebuah ramalan, atau
dekorasi sebuah makam- suasana-suasana hati atau motifasi-motifasi yang ditimbulkan oleh
simbol-simbol sakral dalam diri manusia dan konsep-konsep umum tentang tata eksistensi yang
dirumuskan oleh simbol-simbol bagi manusia bertemu dan saling memperkuat satu dengan yang
lain6. Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Turner.
Lalu bagaimana kesungguhan tiap pemeluk dalam melaksanakan ritual? Menurut Robert
Smith, walaupun setiap orang dituntun untuk bersungguh-sungguh, tapi tetap saja ada saja yang
tidak bersungguh-sungguh. Menurut Smith mereka melakukan hal tersebut bukan untuk Tuhan
2 Ibid., 4.
3 Ibid., 3.
4 Dhavamony, ibid., 203.
5 Koentjaraninggrat, ibid,. 70.
6 Geertz, ibid., 32-33.
61
atau dewa, melainkan untuk kewajiban sosial7. Akan tetapi jika melihat pandangan Durkheim,
semua tindakan yang bersifat sakral adalah tindakan yang berkaitan dengan tidakan komunal.
Jadi, kewajiban sosial pun masih dapat dikatakan sebagai tindakan sakral jika dilihat dari sudut
pandang Durkheim. Apalagi jika melihat situasi Desa Trunyan, di mana kewajiban agama
menjadi sama dengan kewajiban sosial.
4.2 Ritual Penguburan Masyarakat Trunyan
Lebih khusus membahas mengenai upacara kematian, menurut Dhavamony ritus yang
menyangkut kematian merupakan ritus peralihan yang terakhir dalam kehidupan manusia8.
Dalam masyarakat Trunyan hal yang sama juga berlaku. Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, upacara kematian masyakarat Trunyan berada dalam satu rangkaian dengan upacara
kelahiran, dan kehidupan masyarakat Trunyan.
Lebih lanjut upacara kematian sebagai suatu proses transisi, maka upacara kematian
dimaksudkan agar orang yang meninggal bisa sampai di dunia orang mati. Hal ini membuat
ritual pemakaman masyarakat Trunyan menjadi menarik. Bagi masyarakat Trunyan bagaimana
mayat diritualkan tergantung bagaimana ia hidup, bahkan bagaimana ia dikandung. Jika mayat
yang akan diritualkan adalah orang yang cacat, atau orang hidup dengan tidak benar harus
melalui upacara penyucian dosa dan tidak bisa disemayamkan di pemakaman utama. Hal yang
berbeda akan dialami oleh orang yang hidup bersih dan tidak bercacat cela.
Orang yang tidak bercacat cela akan dimakamkan di Sema Wayah. Sema Wayah menjadi
tempat yang menarik karena mayat yang akan disemayamkan pertama-tama tidak dikuburkan
melainkan hanya diletakan di atas tanah. Kedua adalah mayat yang disemayamkan di Sema
7 Koentjaraninggrat, ibid., 63
8 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Ibid 178-179
62
Wayah tidak akan berbau busuk. Seandainya mayat yang disemayamkan tersebut mengeluarkan
aroma busuk, berarti ia dahulunya tidak hidup dengan benar. Menjadi pertanyaan adalah, apakah
timbul perdebatan mengenai keputusan tempat menguburkan mayat?
Menurut Geertz, upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat
dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Dengan
demikian menurutnya, upacara kematian itu harus lepas dari segala perasaan pribadi dari orang
yang meninggal tersebut, kepada orang-orang yang terlibat dalam upacara kematian itu, dan
harus dipandang dari sudut gagasan kolektif masyarakat tadi.9 Jika mempertimbangkan pendapat
Geertz, maka akan sangat kecil kemungkinan untuk menggugat keputusan mengenai tempat
jenazah akan disemayamkan. Bahkan lebih jauh lagi menurut Turner hal tersebut bisa merupakan
upaya menjaga struktur sosial suatu masyarakat10
. Jadi, upacara pemakaman ini telah menjadi
sebagai suatu tatanan norma yang mengarahkan setiap masyarakat Trunyan untuk bisa hidup
bersih.
Lain lagi menurut Koentjaraninggrat, upacara kematian merupakan suatu peralihan dari
status sosial selama masih hidup, ke status sosial di dunia sana. Tapi menjadi pertanyaan ketika
masyarakat Trunyan tidak mengenal status sosial atau kasta. Orang-orang dimakamkan bukan
berdasarkan setinggi apa status sosialnya, melainkan seberapa bersih ia hidup di dunia ini.
Mungkin upacara kematian ini lebih cocok disebut dengan upacara inisiasi seperti yang
dikemukakan oleh Geertz11
. Sementara menurut Turner, suatu upacara simbolis dibutuhkan
untuk kepergian yang aman dan kedatangan kembali yang membahagiakan. Menurutnya
disinilah ritual memegang peranannya. Ritual berfungsi sebagai pembatas antara ruang dan
waktu.
9 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Ibid 69-77.
10 Turner, ibid. 3
11 Koentjaraninggrat, ibid.,
63
Tapi jika melihat proses pemakanan masyarakat Trunyan, tidak hanya berfungsi sebagai
inisiasi. Pembedaan perlakuan terhadap jenazah juga berfungsi bentuk penyucian. Jenazah dari
orang yang selama hidupnya tidak hidup bersih harus melalui proses penyucian terlebih dahulu,
sehinga ia menjadi suci kembali. Nampak bahwa pembedaan terhadap jenazah tidak menunjukan
suatu bentuk pembedaan secara sosial, melainkan suatu proses agar menjadi setara. Upacara ini
juga dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kontrol sosial. Sebagai contoh adalah orang yang tidak
hidup bersih dapat disemayamkan tanpa harus melalui proses penyucian. Juga orang yang
menikah dengan orang di luar Trunyan tidak berhak mendapatkan upacara pemakanan Trunyan.
Tapi diatas semua hal tersebut dasar dari upacara kematian adalah beragamnya misteri
setelah kematian. Semua orang menginginkan kehidupan yang baru dan jelas setelah kematian12
.
Dalam sebuah upacara kematian terdapat pengharapan suatu masyarakat13
. Dibalik ritual
masyarakat Trunyan terdapat pengharapan mereka, yakni jika hidup bersih tanpa cela maka akan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian.
Bagi masyarakat Trunyan upacara pemakaman merupakan sesuatu yang sakral. Tempat
persemayaman jenazah, Sema Wayah pun dianggap sebagai suatu yang sakral. Mungkin benar
pendapat Preusz yang mengatakan bahwa kematian merupakan puncak dari religi manusia.
Untuk pergi ke Sema Wayah seseorang harus dianggap suci, bahkan segala peralatan dianggap
suci.
Menurut Eliade, sesuatu menjadi sakral ketika terdapat peristiwa hierofani, yaitu ketika
peristiwa sakral memanifestasi dalam suatu tempat. Dalam Sema Wayah terdapat fenomena yang
oleh masyarakat Trunyan dianggap sebagai suatu peristiwa hierofani. Mayat yang disemayamkan
di Sema Wayah tidak akan mengeluarkan bau busuk walaupun tidak dikuburkan. Hal ini konon
12
Tri Widiarto, ibid., 12-14. 13
Alex Jebadu, ibid, 117-119.
64
disebabkan karena pohon Taru Menyan yang dulu ada di Trunyan. Jika ada pihak yang berniat
jahat maka akan tercium bau yang busuk yang menyengat. Tapi jika ada orang yang datang
dengan niat baik, maka orang tersebut datang dengan bermaksud baik.
Jika mengikuti alur berpikir Eliade Sema Wayah bisa dikatakan sebagai ruang sakral.
Sema Wayah menjadi tempat untuk menyegarkan kembali dunia profan dari orang Trunyan.
Dengan adanya Sema Wayah masyarakat Trunyan menjadi memiliki kepekaan terhadap kosmik.
Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia non religious, jika menggunakan
pengelompokan Eliade.
Akan tetapi terdapat perbedaan mencolok dengan konsep sakral Eliade. Kesakralan
dalam mayarakat Trunyan selalu berkaitan dengan moral. Hal ini nampak dalam
pengelompokkan kepada orang yang meninggal. Sedangkan menurut Eliade sakral adalah sakral
non moral, yang menguasai segala kenyataan14
. Perbedaan terhadap perlakuan jenazah
menunjukan konsep sakral dari masyarakat Trunyan juga hampir sama dengan konsep yang
ditawarkan oleh Durkheim. Bagi masyarakat Trunyan kesakralan mereka merupakan refleksi
dari kehidupan sehari-hari. Ritus yang dilakukan bertujuan mengatur bagaimana seseorang
menempatkan diri dalam masyarakat Trunyan15
.
4.3.Dimensi Sakral dan Profan dalam Upacara Kematian Masyarakat Trunyan
Sakral dan Profan bagi Emile Durkheim adalah suatu konstruksi manusia akan sesuatu.
Bagi Emile Durkheim dalam mengusung yang sakral dan profan, pemikirannya selalu dalam
konteks masyarakat dan kebutuhannya. Durkheim mengatakan: Yang Sakral: masalah sosial
yang berkait dengan kepentingan bersama ditengah-tengah masyarakat. Yang Profan: segala
14
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane, ibid., 8-11. 15
Durkheim, The Elemtary form of Religius Life,.ibid., 41.
65
sesuatu yang hanya berkait dengan unsur-unsur individu. Ide sebagai yang sakral selain dikaitkan
sebagai jiwa kolektif sakral juga merupakan sesuatu yang sama sekali berada di luar masyarakat,
misalnya dalam ritual upacara kematian khususnya dalam masyarakat Trunyan. Dalam
kehidupan masyarakat Trunyan lebih khusus dalam tradisi upacara kematian ada hal-hal yang
disakralkan oleh masyarakat seperti yang telah diuraikan dalam Bab III, dalam tradisi
masyarakat Trunyan ada yang dikenal dengan orang suci, pohon yang disakralkan, waktu baik
atau waktu suci dan benda-benda suci yang dipergunakan untuk suatu upacara.
Sesuatu yang sakral bagi Durkehim adalah masalah sosial yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat, begitu juga dengan hal-hal yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan.
Semua hal-hal yang dinilai sakral oleh masyarakat sehingga mendapatkan perlakuan yang khusus
berkaitan dengan kepentingan masyarakat demi terciptanya suatu kehidupan kebersamaan yang
selaras. Setiap upacara yang adalah bagian dari tradisi masyarakat Trunyan mempunyai nilai
sakral dan profannya. Tiga upacara penting dalam kehidupan masyarakat Trunyan yaitu: upacara
kelahiran, upacara perkawinan dan upacara kematian. Upacara kelahiran dan perkawinan
menjadi penting dikarenakan untuk menentukan status seseorang dalam kehidupannya ketika
orang tersebut meninggal nanti. Dalam mengadakan upacara kematian masyarakat Trunyan,
mengatur suatu tatacara khusus untuk mereka yang meninggal dalam status bercacat-cela dan
bagi mereka yang meninggal dalam status sebagai orang suci. Kesucian seseorang dinilai dan
dilihat dari perjalanan kehidupan orang tersebut dari masa kelahirannya, di mana lahir dengan
mengikuti semua tradisi kelahiran masyarakat Trunyan, menikah dengan baik, dan meninggal
dalam keadaan yang baik pula. Meninggal dalam keadaaan baik di sini dalam artian kondisi fisik
tubuh tidak bercacat, moral hidup baik, dan jiwa yang baik. Semua yang sakral bagi masyarakat
Trunyan hadir dari latar belakang suatu kepercayaan yang khusus yaitu Hindu Trunyan, dimana
66
dalam melaksanakan suatu upacara pemakaman masyarakat Trunyan tidak mengenal adanya
pembakaran mayat seperti kepercayaan agama Hindu Bali pada umumnya. Untuk itu di Trunyan
tidak mengenal adanya Ngaben bakar.
Sesuatu itu sacral ditentukan oleh masyarakat demi kepentingan masyarakat. Jadi
masyarakatlah yang sacral untuk itu masyarakat menentukan nasib dan perjalanan setiap
individu. Perjalanan setiap individu dalam menapaki jalan hidup: kelahiran, perkawinan dan
kematian.
Dalam suatu kepercayaan masyarakat Hindu Trunyan mereka membedakan wilayah yang
sakral dan yang profan, ini merupakan sesuatu hal yang penting karena sesuatu yang sakral bagi
kehidupan orang Trunyan memberikan suatu pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka.
Untuk itu sesuatu yang profan bagi masyarakat Trunyan merupakan hal yang biasa. Contohnya
dalam hal perkawinan, dua orang yang saling mencintai diperbolehkan untuk melakukan
persetubuhan terlebih dahulu sebelum menikah, hal ini diperbolehkan karena ini merupakan
sesuatu kepentingan individu, untuk itu tidak ada larangan bagi mereka. Pembedaan antara yang
sakral dan profan dalam tradisi masyarakat Trunyan lebih khusus dalam upacara kematian sangat
kelihatan. Dengan adanya pembagian tiga macam kubur di desa tersebut, demikian juga ada
pembedaan perlakuan terhadap orang yang sudah meninggal. Orang yang meninggal dalam
masyarakat Trunyan dibedakan dalam dua kelompok yaitu orang yang meninggal sebagai orang
suci dan mereka tidak suci. Itu semua dilihat dari tiga macam penguburan yang ada di desa
tersebut. Selain pembedaan perlakuan sesuai tradisi ada upacara-upacara khusus yang dilakukan
bagi mereka yang meninggal tidak sebagai orang suci, itu ditandai dengan adanya upacara
penghapusan dosa.
67
Seseorang mendapatkan perlakuan atau pembedaan bukan karena keinginan individual,
namun karena kesepakatan dan ketentuan masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas sacral
sangat berdaulat. Individu tunduk kepada masyarakat sebagai kelompok yang mengatur
kehidupan individu secara bersama.
Segala yang sakral dibedakan dari yang profan dalam tradisi masyarakat Trunyan bukan
semata-mata untuk membedakan yang baik dan yang buruk, tetapi lebih kepada apa yang akan
dipersembahkan kepada yang dianggap kudus yang mempunyai kekuatan yang besar yang
mampu untuk memberikan hal baik dalam kehidupan bersama para penyembahnya.
Sesuatu yang disakralkan oleh masyarakat Trunyan diperuntukkan untuk penyembahan
dan untuk itu ada pohon yang disakralkan yaitu Pohon Tarumenyan, yang dipercaya oleh
masyarakat Trunyan sebagai sesuatu yang hadir karena kehendak yang mempunyai kekuatan
dan kuasa di luar manusia dengan maksud dan tujuan untuk menciptakan suatu keselarasan
dalam kehidupan masyarakat atau umat penyembah yang ada, dan sebagai sesuatu yang
menyatukan umat dalam hal penyembahan kepada dewa yang dipercaya. Untuk itu sekalipun
keberadaan pohon Tarumenyan telah tumbang, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam data
lapangan Bab III, masyarakat tetap menjaga kesakralan pohon tersebut, dan agar fungsi dari
pohon tersebut tetap ada maka ditempat tersebut dibangun Pura sebagai tempat beribadah para
umat dan tempat umat berkumpul untuk suatu pemujaan kepada yang Roh-roh dan Dewa-dewa
yang dipercayai. Dan untuk itu dalam pemujaan kepada yang dianggap mempunyai kekuatan
yang besar masyarakat Trunyan tidak sembarangan dalam menentukan waktu atau hari yang
dikenal dengan hari baik. Pemilihan dan penentuan hari baik dlakukan karena pada waktu/hari
tersebut masyarakat berkumpul untuk suatu pemujaan kepada dewa, disisi lain dapat dilihat suatu
hari yang dikuduskan oleh masyarakat sebagai hari baik mempunyai fungsi untuk
68
mempertemukan dan mempererat tali kebersamaan masyarakat yang ada. Inilah fungsi sakral
yang dimaksudkan oleh Durkheim yaitu untuk kepentingan bersama.
Semua ketentuan yang ada pada bermacam-macam ritus kematian yang ada di desa
Trunyan seperti: pemahaman terhadap pohon Tarumenyan, pembagian tempat penguburan,
pembangunan tempat ibadah ditempat pohon Tarumenyan, ada waktu pemakaman yang
ditetapkan oleh masyarakat. Ketetapan masyarakat mengatur anggota masyarakat dengan muara
kesatuan masyarakat atau lebih tepat keteraturan masyarakat. Masyarakat sebagai komunitas
yang sacral begitu berwibawa dihadapan anggota dalam praktek ritual kematian.
Inilah yang dimaksudkan oleh Durkehim dalam pemahamannya tentang yang sakral.
Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan, baik yang sederhana maupun yang
kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara ”yang sakral” dan
”yang profan”. Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada ”yang sakral”,
karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota
masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan
refleksi keseharian dari setiap individu.
Dalam melaksanakan suatu upacara kematian, ada perlakuan yang berbeda bagi setiap
orang yang meninggal dibedakan dalam hal orang yang mati dalam keadaan suci dalam arti baik
secara jasmani, moral dan jiwa, dan mati dalam keadaan bercacat-cela. Orang yang meninggal
dalam keadaan yang suci orang tersebut akan dikuburkan di kuburan utama atau sema wayah.
Tempat kuburan sema wayah diyakini oleh masyarakat adalah tempat yang disanalah telah
terjadi peristiwa hierophany sebagaimana yang dikatakan oleh Eliade yang diartikan sebagai
tempat di mana yang suci itu hadir, dan untuk itu tempat tersebut disakralkan oleh masyarakat
69
setempat sebagai kuburan yang suci. Untuk menentukan seorang itu moral dan jiwanya baik
maka masyarakat lewat seorang pemangku yang dipercaya sebagai wakil dari para dewa dan roh-
roh, serta leluhur yang bersemayam di desa tersebut lewat dialah para dewa, dan leluhur
memberitahukan keadaan orang yang meninggal tersebut, dengan demikian peristiwa hierophany
yang dimaksudkan oleh Eliade terjadi dalam diri seorang pemangku. Selanjutnya peristiwa yang
bisa dikaitkan dengan peristiwa hierophany menurut Eliade dalam Tradisi kematian masyarakat
Trunyan adalah dalam hal menentukan hari baik untuk suatu upacara penguburan yaitu Ngaben.
Dalam hal menentukan waktu/hari para pemangku harus mengadakan suatu meditasi sebagai
jalan untuk bertemu dengan dewa, leluhur yang dipercaya oleh masyarakat. Hal lain lagi
peristiwa Hierophany terjadi dalam kehidupan masyarakat Trunyan adalah pemilihan seorang
untuk dapat menjadi pemangku adat, diadakan suatu upacara sakral yang mereka yakini akan
menghadirkan para dewa-dewa dan leluhur mereka, kehadiran dewa-dewa dan leluhur ditandai
dengan bersinarnya seorang dari anggota masyarakat lainnya, dan dari situlah mereka
mengetahui bahwa orang tersebut telah menjadi seorang pemangku sebagai perantara antara
masyarakat dengan dewa-dewa mereka.
Menurut Durkheim segala kegiatan dan segala sesuatu yang bertujuan untuk kepentingan
kolektif, semua itu adalah sakral itu berarti semua unsur upacara adalah sakral. Masalahnya
secara teoritis upacara atau ritus hanya bisa berjalan bila memiliki sifat sakral. Dan menurut teori
Durkheim upacara atau ritus itu tidak akan dijalankan lagi apabila dipandang sudah tidak
berfungsi lagi, hal ini disebabkan karena menurut Durkheim bukan binatangnya, bukan
orangnya, bukan bendanya yang sakral melainkan prinsip yang ada di dalamnya itulah yang
dipandang sakral, dan prinsip inilah yang sebenarnya fungsional di dalam masyarakat. Kalau
bertitik tolak dari prinsip itu maka dapat juga dikatakan bahwa berdasarakan teori ini dapatlah
70
dimengerti kalaulah sesuatu yang pada mulanya sakral, kemudian dipandang tidak sakral lagi
oleh karena dipandang sudah tidak fungsional lagi. Durkheim juga menunjukkan bahwa yang
sakral itu unggul dalam kemuliaan, kekuatan, keluhuran, khususnya dalam kaitan dengan
manusia. Sekalipun manusia menghormati dan takut pada yang sakral tetapi itu tidak berat
bahwa manusia merasa inferior dihadapannya, melainkan karena ada sesuatu yang dimilikinya
dan itu dibutuhkan manusia yaitu yang sakral. Oleh karena itu manusia tidak akan menyembah
dan menghormatinya apabila ternyata sudah tidak berfungsi lagi atau sudah tidak sakral lagi.
Tapi bagi Eliade yang sacral itu adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.
Dalam hubungan dengan itu manusia hanya menerima saja apa yang dikehendaki Tuhan untuk
dilaksanakan. Memang bisa saja dikatakan bahwa manusia berusaha memenuhi kehendak dan
perintah penguasa itu karena manusia menginginkan sesuatu, tetapi keputusan terakhir
ditentukan olehnya. Maka sekalipun sulit menemukan alat-alat, bahan-bahan dan tenaga yang
dibutuhkan, tetapi manusia akan berusaha untuk memenuhinya. Dengan alat, bahan dan tenaga
yang ada dan yang dapat diusahakannya. Kalau hal itu menimbulkan masalah baik dari segi
tenaga, waktu, dan financial, maka manusia memilih efesiensi, dengan cara demikian diharapkan
nilai sakralnya tetap terpenuhi. Dalam tulisan Durkheim menggunakan istilah quasi divini16
artinya quasi Ilahi, Karena pada uraian selanjutnya diuraikan bahwa yang Ilahi itu ada dalam
agama, tetapi agama berasal dari masyarakat. Jadi yang empiris (masyarakat) yang ditingkatkan
menjadi transenden (dalam agama dirumuskan yang Ilahi) bukan dari wahyu (menurut Eliade).
Kalau dilihat dari pandangan Eliade, maka seluruh rangkaian upacara dapat dipilah atas
pembagian yang sakral dan yang profan. Sakral yaitu yang menyangkut Tuhan, dunia
16
Robert N Bella, (ed), Durkehim, On Morality and Society, (Chicago and London: The University of Chicago
Press, 1973), 168.
71
transenden, dunia rohani, dunia dewa-dewa dan dewa-dewa itu sendiri. Maka semua kegiatan
yang berhubungan dengan sajian, binatang yang dikorbankan, alat-alat yang dipakai pada saat
itu, orang yang melaksanakan upacara, benda-benda pelengkap upacara , dan waktu yang sudah
ditentukan untuk melaksanakan upacara adalah sakral. Karena semua itu sudah mengalami
inisiasi terlebih dahulu. Semua binatang, alat-alat kegiatan yang lain adalah profan karena semua
itu adalah untuk kepentingan hubungan antar individu dan kepentingan hidup individu itu.
Kesakralan tidak terletak pada ritual kematian naming pada masyarakat yang
menciptakan ritual kematian tersebut. Sampai sekarang ritual kematian itu masih terus
dilaksankan karena masyarakat masih membuatnya fungsional, dank arena anggota-anggota
melaksanakannya demi keutuhan masyarakat. Jadi ritual kematian sebagai kegiatan religious
mengintegrasikan masyarakat.