Post on 26-Mar-2019
47
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN INDIVIDU
3.1. Pengantar
Bab ini akan mengupas lebih mendalam tentang pokok permasalahan dan
tujuan yang hendak dijawab melalui penulisan, yakni bentuk pertanggungjawaban
negara dan individu dalam hal perusakan lingkungan hidup selama perang
berlangsung. Penulis berpendapat bahwa Draft Articles on Responsibility of States
for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law
Commission merupakan sumber utama yang relevan untuk menjawab bentuk
pertanggungjawaban negara. Meskipun Draft Articles tersebut hingga kini belum
menjadi konvensi yang bersifat mengikat, dokumen tersebut mengakomodasikan
hukum kebiasaan internasional dan pendapat-pendapat publicist yang otoritatif.
Sementara, bentuk pertanggungjawaban individu atas kerusakan lingkungan hidup
tetap mengacu pada Statuta Roma 1998, yakni tanggung jawab pidana secara
individual. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh individu secara bersamaan
dapat menarik pertanggungjawaban negara.
Ada tiga hal pokok dalam struktur argumentasi tesis ini. Hal yang pertama
adalah konsep umum pertanggungjawaban (responsibility) dalam hukum
internasional. Hal yang kedua unsur-unsur pertanggungjawaban negara dan
individu yang diatur dalam hukum internasional secara umum dan HHI secara
khusus, di mana prinsip atributalitas atau imputabilitas menjadi salah satu isu
48
sentral yang mendukung tesis penulis. Dan hal yang terakhir, perusakan
lingkungan hidup sebagai salah satu bentuk kejahatan perang dapat dikategorikan
sebagai internationally wrongful act.
3.2. Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Internasional
Konsep pertanggungjawaban karena perbuatan melanggar hukum, seringkali
diistilahkan dalam hukum internasional dengan menggunakan frasa responsibility
dan/atau liability, yang merujuk makna yang sama maupun berbeda. Sehingga
dapat dikatakan bahwa belum ada istilah baku untuk mengkonsepsikan
pertanggungjawaban dalam hukum internasional.1 Peter Malanczuk juga menilai
bahwa kedua terminologi tersebut kerapkali digunakan secara bergantian, ia
menyatakan bahwa “sometimes the term of ‘responsibility’ is used
interchangeably with the term ‘liability’, but the use of terminology in this respect
in the literature is by no means uniform...”2 Ketiadaan istilah baku terhadap
pertanggungjawaban dibuktikan pula dengan ambiguitas penggunaan istilah
dalam mendeskripsikan responsibility dan liability oleh Black’s Law Dictionary.
Frasa responsibility didefinisikan sebagai: “the obligation to answer for any act
done, and to repair any injury it may have caused; liable, legally accountable for
answerable.”3 Selain menunjukan bahwa responsibility mengakibatkan kewajiban
untuk reparasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan, definisi ini seakan-akan
mendeskripsikan ‘liability’ sebagai padanan kata atau istilah sinonimnya.
1 Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban Pelanggaran HAM di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,h. 177. 2Peter Malanczuk, Akehurt’s Modern Introduction to International Law 7th Rev. Ed.,
Routledge, London & New York, 1997, h. 254. 3Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1476.
49
Sedangkan, frasa liability dideskripsikan sebagai: “the word is a broad legal term.
It has been referred to as of the most comprehensive significance, including
almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent or likely;
condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense,
or burden.”4 Meskipun definisi tersebut menyimpulkan bahwa frasa “liability”
memiliki cakupan yang luas dan komprehensif, namun secara bersamaan, kedua
istilah tersebut mendeskripisikan satu sama lain. Sehingga, mengingat tidak ada
kesepakatan istilah yang baku dalam mendeskripsikan pertanggungjawaban, maka
secara konsep kesimpulan sementara dapat menyatakan bahwa dalam keadaan
tertentu, keduanya adalah padanan kata atau istilah sinonim yang dapat digunakan
secara bergantian.
L.F.Goldie rupanya memiliki pendapat yang berbeda, ia menegaskan
pemaknaan serta penggunaan terhadap dua frasa tersebut harus dibedakan secara
ketat, dimana responsibility menunjuk pada standar perilaku dan kegagalan
pemenuhan standar tersebut; sedangkan liability menyangkut pada kerusakan atau
kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu termasuk cara untuk
memulihkan kerusakan atau kerugian tersebut.5 Pada pratiknya, kedua istilah
tersebut memang telah digunakan dengan konteks yang berbeda-beda, misalnya
Pasal 139 The United Nations Convention on the Law of the Sea secara bersamaan
menggunakan istilah responsibility dan liability melalui judul artikelnya
“responsibility to ensure compliance and liability for damage”, untuk merujuk
pada pengertian yang berbeda.6 Dalam sebuah tulisan yang berjudul “State
Responsibility and International Liability for Injurious Consequences of Acts Not
4Ibid., h.1059-1060.
5Titon Slamet Kurnia,Op.Cit., h. 178.
6Ibid., h. 175-176.
50
Prohibited by International Law: A Necessary Distinction?”, Alan E. Boyle
membedakan antara terminologi responsibility dan juga liability. Responsibility
merupakan kewajiban negara yang timbul karena pelanggaran atas hukum
internasional, sedang liability adalah kewajiban utama negara sebagai akibat dari
kerugian yang timbul karena tindakan sah di bawah hukum internasional.
Terlepas dari ketidakseragaman istilah pertanggungjawaban dalam hukum
internasional, dalam penulisan ini, penulis tetap mengacu pada perjanjian
internasional serta putusan-putusan hakim pengadilan internasional terdahulu
yang mengandung norma dan prinsip hukum internasional, dengan kecenderungan
penggunaan frasa responsibility untuk merujuk pada pemaknaan
pertanggungjawaban.7 Oleh karenanya, sekalipun belum ada istilah baku untuk
itu, dalam penulisan ini, penulis memilih untuk menggunakan frasa
pertanggungjawaban sebagai padanan kata responsibility.
Pertanggungjawaban sebagai sebuah konsep hukum terjadi ketika adanya
pelanggaran terhadap norma dan prinsip yang mengikat dalam hukum, baik
nasional maupun internasional. Dalam konsep hukum internasional secara umum,
pertanggungjawaban yang dipadankan dengan responsibility dianggap sebagai
salah satu prinsip dasar dalam hukum internasional, dimana norma
pertanggungjawaban difokuskan pada sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan,
akibat dari perbuatan tidak sah secara hukum, dan khususnya pemberian
kompensasi untuk itu.8 Hal ini sejalan pula dengan pendapat Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) dalam kasus Chorzów Factory, yang
7Ibid., h.177, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford
dan ELBS, London, h.433. 8Ibid., h.178, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford
dan ELBS, London, h.431-432.
51
menyatakan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip hukum
internasional, bahkan konsepsi hukum yang lebih luas, bahwa setiap pelanggaran
atas suatu perjanjian akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan
perbaikan (duty of reparation).
Dua hal penting yang penulis garisbawahi adalah pertanggungjawaban
sebagai sebuah kewajiban yang timbul karena tindakan yang telah dilakukan, serta
pertanggungjawaban membutuhkan perbaikan (reparation) yang sah secara
hukum. Pada intinya, pertanggungjawaban adalah sebuah usaha yang dilakukan
oleh subyek hukum dengan tujuan untuk memperbaiki apa yang telah dirusak atau
mengembalikan sesuatu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi pelanggaran
hukum atasnya.
Pertanggungjawaban sebagai sebuah tindakan hukum, tentunya hanya bisa
dilaksanakan oleh subyek hukum yang berkedudukan sebagai pelaksana hak dan
kewajiban. Dewasa ini sudah muncul beberapa entitas yang diakui sebagai subyek
hukum internasional, namun dalam penulisan ini, penulis berfokus ada 2 (dua)
subyek hukum internasional, yakni negara dan individu.
52
3.2.1. Konsep pertanggungjawaban negara
Dalam berbagai sistem hukum, setiap entitas memiliki hak dan kewajiban
yang bersumber dari hukum yang berlaku.9 Status dari sebuah entitas menjadi
penentu kewajiban mana yang harus dijalankan dan hak apa yang patut diterima.10
Dalam perkembangannya, sistem hukum internasional secara bertahap
mulai mengakui subyek-subyek hukum internasional yang baru, meskipun negara
tetap dianggap sebagai entitas yang menjadi prioritas dalam hukum
internasional.11
Hal tersebut menjadi alasan kuat mengapa hukum internasional
mengutamakan perhatiannya terhadap hak dan kewajiban negara.12
Adapun hak
dan kewajiban negara tersebut dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum
internasional yang dimuat dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, yang adalah sebagai berikut: (a) international conventions, whether
general or particular, esthablishing rules expressly recognized by the contesting
states; (b) international custom, as evidence of a general practice accepted as
law; (c) the general principles of law recognized by civilized nations; (d) subject
to the provision of Article 59, judicial decisions and teachings of the most highly
qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.”
The 1970 Declaration on Principles of International Law sebagai salah satu
sumber hukum internasional yang memuat prinsip-prinsip yang diakui dan dianut
dalam hukum internasional menegaskan bahwa, “all states enjoy sovereign
equality. They have equal rights and duties and are equal members of the
9Malcolm N. Shaw, International Law Edisi Ke-6, Cambridge University Press, New
York, 2008, h. 195 (Selanjutnya disingkat Malcolm II). 10
Malcolm II., Ibid., h. 196. 11
Malcolm II, Ibid., h. 197. 12
Peter Malanczuk., Op.Cit., h.75.
53
international community, notwithstanding differences of an economic, social,
political, or other nature.” Meskipun konteksnya terkait dengan kedaulatan
sebuah negara, namun tidak menghilangkan esensi norma yang mau menjelaskan
bahwa di hadapan hukum internasional, setiap negara terikat akan hak maupun
kewajiban. Contoh lainnya tentang hak serta kewajiban negara termuat dalam the
Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations
and Co-operation among States adopted in October 1970 by the United Nations
General Assembly, yang menyebutkan bahwa:
“[n]o state or group of states has right to intervene, directly or
indirectly, for any reason whatever, in the internal or external
affairs of any other state. Consequently, armed intervention and
all other forms of interference or attempted threats against the
personality of the state or against its political, economic and
cultural elements, are in violation of international law.”
Norma ini menunjukan bahwa sebuah negara memiliki hak untuk tidak
diintervensi oleh negara lain, sementara disisi lainnya setiap negara dibebankan
kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dalam hal apapun sebagai bentuk
penghormatan terhadap hak yang dimiliki oleh negara lain, yang bersumber dari
hukum internasional.
HHI merupakan salah satu bidang ilmu yang juga mendistribusikan hak dan
kewajiban yang mengikat bagi negara baik berupa norma tertulis maupun
kebiasaan. Dalam bab sebelumnya (Supra 2.3.), penulis telah menguraikan
instrumen hukum yang melindungi lingkungan hidup selama perang, di mana
secara tidak langsung membebankan kewajiban kepada negara dan juga individu-
individu untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap ketentuan-
ketentuan tersebut dalam segala keadaan. Hal ini tercermin dari Pasal 1 Konvensi
Jenewa I 1949 “the High Contracting Parties undertake to respect and to ensure
54
respect the natural environment as civilian object is arranged in Protocol I,”
juncto Pasal 1 ayat (1) Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa “the High
Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this Protocol
in all circumstances.” Demikian pula dengan Konvensi ENMOD, Pasal 1 ayat (1)
dan (2) secara ekspilisit menyebutkan kewajiban negara (Supra 2.3.1.a), yakni:
“[1] each party to this Convention undertakes not to engage in
military or any other hostile use of environmental modification
techniques having widespread, long-lasting, or severe effects as
the means of destruction, damage or injury to any other State
Party.
[2] Each State Party to this Convention undertakes not to assist,
encourage, or induce any State, group of States or international
organization to engage in activities contrary to the provisions of
paragraph 1 of this article.”
Adapun yang dimaksudkan oleh frasa
‘the High Contracting Parties’ disini merupakan negara-negara sebagai pihak yang
menandatangani perjanjian atau kontrak dalam hukum internasional. Melalui instrumen hukum
internasional, setiap negara pihak dibebankan kewajiban untuk menghormati dan
menjamin penghormatan terhadap setiap norma dan prinsip yang diberlakukan di
dalamnya. Hal tersebut termasuk juga memastikan agar setiap tindakan yang
dilakukan mewakili negara sesuai dengan kewajiban yang dibebankan terhadap
negara.
Pada praktiknya, tindakan yang diambil oleh suatu negara seringkali
mengakibatkan luka atau penghinaan terhadap martabat negara lain.13
Bentuk
tindakan tersebut secara umum dapat berupa pelanggaran terhadap hak-hak yang
dimiliki oleh negara lain, atau tidak dipenuhinya kewajiban internasional yang
bersumber dari perjanjian-perjanjian atau kebiasaan masyarakat internasional
yang telah dianggap sebagai hukum. Tindakan negara yang dinyatakan salah
menurut hukum internasional maupun cabang-cabangnya (salah satunya HHI),
13 J.G. Starke, Op.Cit., h. 275.
55
secara otoritatif membebankan pertanggungjawaban terhadap negara.14
Dalam
memahami konsep hukum secara umum, logislah apabila suatu pelanggaran
menimbulkan efek pertanggungjawaban dari pihak yang melakukan untuk
mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum suatu tindakan pelanggaran
dilakukan.
Pertanggungjawaban negara merupakan salah satu prinsip hukum yang
mendasari hukum internasional. Konsep pertanggungjawaban negara yang diakui
dalam hukum internasional, terdiri atas 2 (dua), yakni prinsip
pertanggungjawaban obyektif dan prinsip pertanggungjawaban subyektif. Prinsip
pertanggungjawaban obyektif atau disebut juga teori “resiko”, menyatakan bahwa
pertanggungjawaban hukum negara bersifat mutlak.15
Artinya, ketika suatu
perbuatan melawan hukum terjadi, menimbulkan kerugian dan dilakukan oleh alat
negara, menurut hukum internasional, negara harus bertanggung jawab kepada
pihak (negara) lain yang dirugikan, dengan mengabaikan apakah tindakan tersebut
dilandasi oleh itikad baik atau itikad buruk.16
Sebaliknya, prinsip
pertanggungjawaban subyektif atau disebut juga teori “kesalahan” menegaskan
bahwa harus ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) di pihak
persona terkait sebelum negaranya dapat diputus bertanggung jawab secara
hukum atas kerugian yang ditimbulkan.17
Malcolm menambahkan pula bahwa
Mahkamah Internasional lebih condong terhadap teori kesalahan, dimana secara
14
Malcolm I, Op.Cit., h.773. 15
Malcolm I., Ibid., 775. 16
Malcolm I., Ibid. 17
Malcolm I., Ibid.
56
implisit dinyatakan oleh hakim Mahkamah Internasional melalui kasus Corfu
Channel:18
“dari fakta bahwa suatu negara menjalankan kontrol atas teritori
dan perairannya saja, tidak dapat disimpulkan bahwa negara itu
niscaya mengetahui, atau harus mengetahui setiap perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan di dalamnya, juga tidak dapat
disimpulkan bahwa negara niscaya mengethaui atau seharusnya
sudah mengetahui sumber-sumber pelanggaran. Fakta itu
sendiri, dan di luar keadaan-keadaan lain, tidak melibatkan
pertanggungjawaban prima facie tidak mengalihkan beban
pembuktian.”
Artinya bahwa negara tidak bisa dianggap secara serta merta bertanggung jawab
atas suatu tindakan, apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang secara rasional dan
logis (tidak menduga-duga) mampu menyimpulkan bahwa negara tidak
menjalankan kewajibannya atas dasar unsur kesalahan atau kesengajaan. Untuk
itu pula, Malcolm mengemukakan ciri-ciri esensial pertanggungjawaban negara
berhubungan dengan beberapa faktor dasar, di antaranya adalah sebagai berikut:19
(i) adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara
kedua negara yang bersangkutan. Kewajiban internasional yang
dimaksud disini mengikat negara, baik melalui perjanjian-perjanjian
internasional, hukum kebiasaan yang diterima oleh masyarakat dunia
secara umum serta yurisprudensi yang berasal dari pengadilan
internasional;
(ii) bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar
kewajiban dan mewajibkan negara tersebut bertanggung jawab.
Artinya bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara
18
Malcolm I., Ibid.776. 19
Malcolm I., Ibid., h.774
57
memenuhi elemen-elemen pembentuk kesalahan atau kelalaian yang
diatur melalui sebuah instrumen hukum;
(iii) bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut
menimbulkan kehilangan atau kerugian. Bentuk-bentuk kehilangan
atau kerugian yang dialami negara akibat pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh negara lain harus bersifat eksplisit atau dengan kata lain
harus secara nyata dapat dilihat.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekalipun setiap negara memiliki
kepentingan hukum dalam melindungi hak-hak dasarnya, namun negara juga tidak
bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Pengingkaran
terhadap kewajiban yang harus dijalankan oleh negara mengakibatkan
pertanggungjawaban negara untuk melakukan tindakan perbaikan.
Peter Malanczuk berpendapat bahwa ketika negara melakukan suatu
tindakan yang mengabaikan kewajibannya dalam sumber-sumber hukum yang
diakui, maka hal tersebut berarti negara melakukan pelanggaran terhadap hukum
internasional dan disebut sebagai ‘internationally wrongful act’.20
Terminologi
internationally wrongful act mulai dikenal luas sejak Agustus 2001, ketika
International Law Commission (ILC)21
sebagai sebuah badan di bawah
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengadopsi sebuah draft Articles on
Responsibility of State for Internationally Wrongful Act (selanjutnya disebut
20
Peter Malanczuk, Ibid., h.254. 21
ILC merupakan sebuah badan yang didirikan oleh Majelis PBB sejak tahun 1948,
terdiri atas sekelompok ahli hukum yang bertanggung jawab terhadap perkembangan hukum
internasional dan bertugas untuk mengupayakan kodifikasi terhadap hukum internasional.
58
draft)22
, yang walaupun belum disahkan sebagai sebuah konvensi internasional,
namun konten dari draft telah diterima dengan sangat baik bahkan telah dikutip
beberapa kali dalam putusan Mahkamah Internasional. Hal ini dikarenakan
kedudukan ILC yang dapat dianggap sebagai badan yang paling berkompeten
dalam memberikan pemahaman terkait intepretasi terhadap hukum internasional.
Draft juga disusun oleh pakar-pakar hukum internasional yang dilandaskan pada
teori dan doktrin-doktrin yang berlaku di lingkup hukum internasional. Ditambah
lagi, kedudukan draft di dalam hukum internasional telah semakin diakui dengan
dimasukkannya norma-norma yang diatur oleh draft ke dalam HHI Kebiasaan.23
3.2.2. Konsep pertanggungjawaban pidana secara individual
Pada masa yang lalu, doktrin positivisme ortodoks secara jelas menegaskan
bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.24
Dalam
perkembangannya melalui perjanjian-perjanjian internasional beberapa entitas
diberikan kapasitas oleh hukum sebagai international legal person, maka doktrin
ini tidak bisa dipertahankan lagi.25
Individu adalah salah satu subyek hukum yang
terbilang baru dalam hukum internasional, dimana isu mengenai status dan
kedudukannya muncul seiring dengan berkembangnya perlindungan hak asasi
manusia (HAM) secara global. Hal tersebut secara bersamaan mengakui bahwa
individu dapat bertanggung jawab atas tindakan tertentu. Dengan demikian, fiksi
22
Lihat draft articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang
diadopsi oleh ILC pada musim ke-53 (2001), Official Records on General Assembly Fifty-sixth
session Supplement No.10 A/56/1, cp IV.E.1) November, 2001. 23
Hal ini dibuktikan dengan referensi yang digunakan dalam Rule 149 dan Rule 150,
sebuah tulisan komprehensif tentang Customary International Law Volume I: Rules yang
dihimpun oleh Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald Beck dan dipublikasikan oleh oleh
International Cross Red Committee (ICRC). 24
Malcolm II, Op.Cit., h. 197 25
Malcolm II., Ibid.
59
hukum bahwa dalam skema internasional individu tidak dapat berpartisipasi,
sehingga ia tidak dapat bertanggung jawab atas tindakannya, telah dihapuskan.26
Terlebih khusus dalam HHI, individu dianggap memiliki hak dan kewajiban untuk
menjamin penghormatan terhadap norma-norma HHI.
Aturan-aturan yang termuat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949,
Protokol Tambahan I hingga Protokol Tambahan III, Konvensi ENMOD, serta
Statuta Roma bukan hanya mengikat negara sebagai pihak yang menandatangani,
tetapi juga mengikat tindakan yang dilakukan oleh individu, baik
mengatasnamakan negara atau kelompok tertentu yang terpisah dari negara. Bab
sebelumnya, penulis telah mendeskripsikan kewajiban individu melalui norma-
norma tertulis maupun prinsip-prinsip tidak tertulis yang mendasari sebuah
norma.27
Keberlakuan prinsip pertanggungjawaban yang berlaku bagi individu
sebagai subyek hukum sama halnya dengan negara yang juga adalah subyek
hukum, dimana setiap pelanggaran dan pengabaian akan kewajiban meminta
pertanggungjawaban. Fokus terhadap pembahasan kewajiban individu dalam
ranah HHI, tentu saja memunculkan pertanggungjawaban yang bersifat pidana.
Prinsip pertanggungjawaban pidana seorang individu atas kejahatan serius
(serious violation) merupakan hukum kebiasaan internasional yang sudah ada
sejak lama dan telah diakui melalui Lieber Code dan Oxford Manual, dan sejak itu
dicantumkan lagi dalam banyak perjanjian internasional.28
Awal mula pengakuan
26
Rebecca M.M.Wallace, International Law: Student Introduction, Sweet & Maxwell,
London, 1986, h. 65. 27
Supra 2.3. 28
Lihat Pasal 44 dan 47 (tercantum dalam Vol.II Ch.43) Lieber Code; Pasal 48 Oxford
Manual, Pasal 49 Konvensi Jenewa Pertama 1949; Pasal 50 Konvensi Jenewa Kedua 1949; Pasal
129 Konvensi Jenewa Ketiga 1949; Pasal 146 Konvensi Jenewa Keempat 1949; Pasal 28 Hague
60
pertanggungjawaban pidana internasional didasarkan pada berdirinya pengadilan
adhoc seperti, Pengadilan Pidana Nuremberg dan Pengadilan Pidana Tokyo, yang
kemudian diikuti oleh Pengadilan ICTY dan ICTR, hingga saat ini telah terbentuk
pengadilan permanen yakni Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court).29
Istilah individual criminal responsibility terbentuk dari dua frasa kata, yakni
“individual” dan “criminal responisbility”.30
Kata “individual” atau “individually”
digunakan untuk mendeskripsikan subyek yang disasar, yakni individu atau orang
perorangan (natural person), sedangkan frasa “criminal responsibility” terutama
digunakan untuk menjelaskan bahwa seorang individu harus bertanggung jawab
secara pidana atas tindakan tidak sah atau melawan hukum. 31
Sehingga, tanggung
jawab pidana secara individual (individual criminal responsibility) dapat berarti
suatu bentuk pertanggungjawaban oleh seorang individu sebagai akibat dari
perbuatan tidak sah atau melawan hukum pidana.
Jika mempelajari lebih lanjut tentang histori prinsip pertanggungjawaban
pidana seorang individu, dapat diketahui bahwa prinsip ini bahkan sudah dikenal
sejak masa Yunani Kuno pada Abad 5 sebelum Masehi.32
Sehingga, Arie
Siswanto menyimpulkan bahwa prinsip ini pada dasarnya hanya ditegaskan
kembali oleh Mahkamah Militer Nuremberg dan kemudian diikuti secara
Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 15 Second Protocol to the Hague
Convention for the Protection of Cultural Property; Pasal 85 Protokol Tambahan I; Pasal 14
Amanded Protocol II to the Convention on Certain Conventional Weapons; Pasal 9 Ottawa
Convention, etc. 29
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck,Op.Cit.,h. 551. 30
Ciara Damagaard, Individual Criminal Responsibility for Core International Crime,
Springer – Verlag, Berlin, 2008, h. 12. 31
Ciara Damagaard, Ibid. 32
Arie Siswanto, Hukum Pidana Internasional, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2015,h. 260.
61
konsisten hingga hari ini.33
Secara material, yuridiksi Mahkamah Militer
Nuremberg terdiri atas 3 (tiga) jenis kejahatan, yakni kejahatan terhadap
perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Melalui
prinsip pertanggungjawban pidana secara individual yang ditegaskan dalam Pasal
6 Statuta Mahkamah Militer Nuremberg beserta putusan-putusannya, dapat
disimpulkan bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana secara individual harus
diterapkan kepada masing-masing individu yang berkontribusi dalam
menjalankan suatu kejahatan, sekalipun kejahatan tersebut dilakukan secara
berkelompok. Dalih-dalih tentang jabatan formal individu dalam pemerintahan
atau negara, sehingga tindakannya dapat dinyatakan sebagai tindakan negara, serta
dapat dipertanggungkan kepada negara secara tegas ditolak oleh mahkamah.
Sama halnya dengan Mahkamah Militer Nuremberg, International Criminal
Tribunal for the Former of Yugoslavia (ICTY) juga menegaskan prinsip
pertanggungjawaban pidana secara individual dalam Statuta ICTY, yang
merupakan dasar hukum pendiriannya sebagai sebuah pengadilan pidana
internasional ad hoc. ICTY dianggap sebagai bentuk respon Dewan Keamanan
PBB terhadap situasi krisis kemanusiaan dan juga bertujuan untuk mengadili para
pelaku kejahatan internasional di Yugoslavia. Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY
merefklesikan prinsip hukum pidana, dimana tanggung jawab pidana yang berlaku
bagi seorang individu tidak mensyaratkan bahwa individu tersebut harus terlibat
secara fisik dalam melaksanakan suatu kejahatan, namun kontribusinya terhadap
kejahatan dapat dilakukan dalam berbagai cara, misalnya merencanakan,
memprakarsai, memerintahkan, atau membujuk orang lain untuk melakukan
33
Arie Siswanto, Ibid.
62
kejahatan.34
Berdasarkan ketentuan individual criminal responsibility yang
dimuat dalam Statuta ICTY, Arie Siswanto mengemukakan pula hubungan atasan
dan bawahan dalam hal pertanggungjawaban pidana, ia menyatakan bahwa:35
“fakta bahwa perbuatan yang dimaksud dalam artikel 2-5
dilakukan oleh bawahan tidak membebaskan atasannya dari
tanggung jawab pidana kalau ia tahu atau seharusnya tahu
bahwa bawahannya hendak melakukan perbuatan dimaksud dan
atasan itu gagal mengambil langkah-langkah yang perlu dan
masuk akal guna mencegah atau menghukum si pelaku. Fakta
bahwa si terdakwa bertindak berdasarkan perintah dari
pemerintahnya atau atasannya tidak dapat dijadikan dasar untuk
membebaskannya dari tanggung jawab pidana, namun dapat
dipertimbangkan untuk meringankan hukumannya.”
Prinsip serta mekanisme operasional pengadilan ad hoc yang hadir pasca Perang
Dunia II, seperti Pengadilan Nuremberg, ICTY maupun ICTR, mempunyai
peranan penting terhadap eksistensi Mahkamah Pidana Internasional sebagai
pengadilan yang permanen. Mahkamah Pidana Internasional memasukkan 4
(empat) jenis kejahatan dalam yuridiksi materialnya, yakni genosida, kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan agresi. Prinsip
pertanggungjawaban pidana secara individual merupakan salah satu prinsip dasar
dalam Statuta Roma 1998, yang tetap merefleksikan prinsip-prinsip hukum pidana
secara umum, namun dalam rumusan norma dan unsur-unsur pidana mengalami
perubahan yang cukup signifikan. Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma 1998 memuat
ketentuan bahwa seseorang harus memikul tanggung jawab pidana secara
individual apabila:
34
Pasal 7 ayat (1) Statuta ICTY : “A person who planned, instigated, ordered, committed
or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or execution of a crime referred to in
article 2 to 5 of the present Statute, shall be individually responsible for the crime.” 35
Arie Siswanto, Loc.Cit., h. 190.
63
(a) Melakukan suatu kejahatan, baik sendiri, bersama-sama dengan orang
lain, atau melalui orang lain, dimana ‘orang lain’ tersebut juga
bertanggung jawab secara pidana;
(b) Memerintahkan, membujuk, atau mendorong dilakukannya suatu
kejahatan, yang pada faktanya benar terjadi atau percobaan kejahatan;
(c) Bertujuan untuk mempermudah terjadinya kejahatan pada saat
dilakukannya kejahatan atau percobaan kejahatan dengan cara
memberikan bantuan serta mendorong, termasuk juga menyediakan
peralatan untuk melakukan kejahatan;
(d) Dengan jalan lain memberi kontribusi untuk dilakukannya kejahatan
atau percobaan suatu kejahatan oleh sekelompok orang yang bertindak
atas dasar tujuan yang sama. Kontribusi tersebut harus didasarkan
pada niat, dan:
- Dilakukan dengan maksud melanjutkan aktivitas kejahatan atau
tujuan kejahatan kelompok; atau
- Dilakukan berdasarkan pengetahuan tentang niat dari kelompok
untuk melakukan kejahatan.
3.3. Unsur-unsur Pertanggungjawaban
3.3.1. Unsur tanggung-jawab negara
Hingga saat ini, belum ada konvensi atau perjanjian internasional yang
secara khusus membahas pertanggungjawaban internasional negara. Sehingga,
acuan yang paling memungkinkan untuk digunakan adalah draft tentang
64
Internationally Wrongful Act yang dikeluarkan oleh ILC. Sebagaimana yang
sudah disebutkan di atas, bahwa saat ini draft sudah bisa diterima sebagai hukum
kebiasaan internasional.
Pasal 1 draft sebagai prinsip hukum yang mendasari keseluruhan norma di
dalamnya, menyatakan bahwa “every internationally wrongful act of a State
entails the international responsibility.” Pertanggungjawaban lahir karena adanya
internationally wrongful act, yang tidak hanya terbatas pada tindakan aktif atau
commission, tetapi juga tindakan pasif berupa pendiaman atau omission ataupun
kombinasi keduanya. Unsur-unsur (elements) pembentuk internationally wrongful
act termuat dalam Pasal 2 draft. Internationally wrongful act oleh suatu negara
terjadi ketika negara melakukan perbuatan yang terdiri atas tindakan atau
pendiaman dengan dasar 2 (dua) syarat berikut terpenuhi: (a) is attributable to the
State under international law; and (b) constitutes breach of an international
obligation of the State.
Berikut ini adalah uraian mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk
menyatakan negara melakukan international wrongful act berdasarkan Pasal 2
draft.
a. Atributabilitas/Imputabilitas
Pada dasarnya, istilah atributabilitas (attributability) atau imputabilitas
(imputability) memiliki makna yang sama dan dapat digunakan bergantian.
Dalam konteks memahami imputabilitas, Malanczuk menuliskan bahwa negara
bertanggung jawab atas tindakan pejabatnya, hanya apabila tindakan tersebut
“imputable” (atau disebut juga attributable) oleh negara.36
Imputabilitas adalah
36
Peter Malanczuk., Op.Cit., 254.
65
fiksi hukum yang mengasimilasi tindakan atau pendiaman pejabat negara dengan
menimbulkan tanggung jawab negara atas kerusakan properti atau orang yang
berasal dari negara lain.37
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara
bertanggung jawab hanya sejauh suatu perbuatan yang tidak sah (unlawful)
dilakukan oleh apartur pemerintahan, dan bukan oleh setiap individu dalam
masyarakat secara keseluruhan.38
Sebagai contoh, apabila polisi melakukan
penyerangan terhadap warga negara asing, maka negara ikut bertanggung jawab
untuk itu, sedangkan apabila penyerangan dilakukan oleh warga negara yang tidak
memiliki kapasitas sebagai aparatur pemerintahan, maka ia bertanggung jawab
sebagai seorang individu.39
Berkaitan dengan pertanggungjawaban negara, imputabilitas atau
atributabilitas adalah salah satu unsur yang disyaratkan untuk menyatakan negara
melakukan internationally wrongful act. Pasal 2 huruf a draft mencantumkan
bahwa “conduct consisting of an action or omission is attibutable to the State
under international law.” Selanjutnya untuk menentukan pihak mana saja yang
sesuai dengan hukum internasional, yang mana pihak tersebut yang mendapatkan
atribusi kekuasaan dari negara, maka draft telah menyusun dan mengelaborasi
pihak-pihak tersebut dalam Pasal 4 – 11 Bab II draft tentang Atribution of
Conduct to a State.
b. Pelanggaran terhadap kewajiban internasional
Unsur kedua yang membentuk internationally wrongful act suatu negara
adalah adanya pelanggaran terhadap kewajiban internasional.Pasal 12 draft secara
spesifik menyebutkan bahwa there is a breach of an international obligation by a
37
Malcolm II, Op.Cit., h.786. 38
Peter Malanczuk, Loc.Cit., h.258. 39
Peter Malanczuk, Ibid., h. 257.
66
State when an act of that State is not in conformity with what is regarded of it by
that obligation, regardless of its origin or character. Bagian Commentaries dari
draft menyatakan bahwa frasa “not in conformity with...”(tidak bersesuaian
dengan..) lazim digunakan dalam hukum internasional,40
meskipun Mahkamah
Internasional dalam beberapa kesempatan juga memberikan sebutan berbeda,
seperti “incompability with obligations” of a State; acts “contrary to”; atau
“inconsistent” with a given rule, namun dituliskan dalam bagian Commentaries
bahwa frasa “not in conformity with what is regarded of it by that obligations”
merupakan cara yang tepat untuk mengindikasikan hakekat sesungguhnya dari
pelanggaran terhadap kewajiban negara.41
Frasa tersebut memberikan ruang
kemungkinan adanya pelanggaran bahkan jika hanya sebagian tindakan negara
yang bertentangan dengan kewajiban internasional yang diperuntukkan baginya.
Dikatakan pula bahwa, frasa “not in conformity with...” cukup dinamis/fleksibel
untuk menjembatani berbagai cara berbeda dalam melaksanakan kewajiban,
maupun berbagai kemungkinan bentuk pelanggaran yang akan terjadi.
Sebuah pelanggaran atas kewajiban internasional terdiri atas tindakan (act
atau commission), pendiaman (ommission), dan gabungan antara tindakan dan
pendiaman. Dalam catatan yang dimuat oleh Black’s Law Dictionary, diketahui
bahwa act, in its most general sense, this noun signifies something done
voluntarily by a person; the exercise of an individual’s power; an effect produced
in the external world by an exercise of the power of a person objectively,
prompted by intention and proximately caused by a motion of the will.42
40
Bagian Komentar draft, h. 54-55 41
Bagian Komentar draf, h. 55. 42
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Rev Edisi ke-4, West Publishing Co.,
St.Paul Minn, 1968 (selanjutnya disingkat Henry C. Black II), h. 42.
67
Ditambahkan lagi bahwa in a more technical sense, it means something done
voluntarily by a person, that certain legal consequences attact to it.43
Commission
diartikan sebagai a warrant or authority or letters patent, issuing from the
government, or one of its departments, or a court, empowering a person or
persons named to do certain act, or to exercise jurisdiction, or to perform the
duties and exercise the authority of an office.44
Menghubungkan antara pengertian
act dan commission yang dipaparkan dalam Black’s Law Dictionary, penulis
mendapati bahwa keduanya dinyatakan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan
niat, keinginan pribadi dan kesadaran akan konsekuensi dari perbuatan tersebut.
Act merupakan istilah yang lebih umum digunakan, sementara commission erat
kaitannya dengan otoritas atau kapasitas yang dimiliki oleh seseorang, sehingga
tindakan atau perbuatan tersebut merupakan refleksi dari kewajiban yang
dimilikinya. Disisi lain omission berarti the neglect to perform what the law
requires.45
Omission merujuk pada pengabaian atau kegagalan untuk melakukan
sesuatu yang seharusnya dilakukan. Secara definitif, tidak diberikan pembedaan
apakah suatu tindakan pengabaian atau kelalaian dilakukan secara sengaja
maupun tidak sengaja.
3.3.2. Unsur pertanggungjawaban individu
Sekalipun ada banyak perjanjian-perjanjian internasional yang memberikan
perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam keadaan perang, namun banyak
juga diantaranya yang sama sekali tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban,
43
Henry C. Black II, Ibid., h.42 dikutip dari Jefferson Standard Life Ins. C. V. Myers,
Tex.Com.App., 284 S.W. 216, 218. 44
Henry C. Black II, Ibid., h. 339. 45
Henry C. Black II, Ibid., h.1238.
68
khususnya pertanggungjawaban oleh individu. Memahami unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana individu, penulis secara khusus mengacu ketentuan
dalam Statuta Roma 1998 sebagai instrumen hukum yang memberikan
kewenangan kepada Mahkamah Pidana Internasional untuk memeriksa, mengadili
dan memutus perkara tindak pidana hukum internasional, salah satunya kejahatan
perang.46
Seorang individu dapat dituntut untuk bertanggung jawab karena melakukan
pelanggaran di bawah hukum internasional, tanpa mempersoalkan status dan
hubungannya dengan sebuah negara.47
Pasal 26 ayat (4) Statuta Roma 1998
mengemukakan bahwa “no provision of this Statute relating to individual criminal
responsibility shall affect the responsibility of States under international law.”
Sebaliknya, Pasal 58 draft menyebutkan bahwa “these articles are without
prejudice to any question of the individual responsibility under international law
of any person acting on behalf of a State.” Hal ini berarti bahwa ada perbedaan
yang jelas antara pertanggungjawaban internasional yang dibebankan kepada
negara maupun yang dibebankan terhadap individu, sekalipun negara harus
bertanggung jawab karena individu tersebut melakukan tindakan mewakili negara.
Sementara itu, untuk menyatakan bahwa individu bertanggung jawab secara
pidana atas suatu kejahatan, maka tindakan yang dilakukan oleh individu tersebut
haruslah memenuhi unsur-unsur (elements) yang membentuk
pertanggungjawaban. Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana secara
individual terdiri atas 2 (dua) kategori, yakni sebagai berikut:
1) Unsur Subyektif (Mental Element)
46
Sebagaimana telah dibuktikan di atas bahwa kerusakan lingkungan hidup secara
sengaja adalah sebagai bentuk kejahatan perang, lihat Supra 2.4. 47
Afriansyah Arie, Op.Cit.,h. 134.
69
Unsur subyektif mengarah pada keadaan tertentu dimana niat kejahatan
sudah tercokol dalam pikiran seorang pelaku (actus non facit reum nisi mens sit
rea), atau yang lebih dikenal sebagai mens rea.48
Pasal 30 Statuta Roma 1998
mendeskripsikan unsur subyektif yang disyaratkan dalam tanggungjawab pidana
bagi individu: “unless otherwise provided, a person shall be criminally resposible
and liable for punishment for a crime within the jurisdiction of the Court only if
the material elements are committed with intent and knowledge.”
Menggarisbawahi dua hal penting yang membentuk mental element untuk
pertanggungjawaban pidana individu adalah niat (intent) dan pengetahuan
(knowledge). Demikian pula penegasan Majelis Hakim Mahkamah Pidana
Internasional, yang menyatakan bahwa Pasal 30 Statuta Roma 1998
mengkodifikasikan unsur mental (mental element) sebagai salah satu syarat dalam
memenuhi unsur-unsur kejahatan yang menjadi yuridiksinya.49
Hal tersebut
mendefinisikan bahwa keadaan pikiran seseorang menjadi syarat untuk
membangun pertanggungjawaban pidana atas semua kejahatan yang diatur dalam
Pasal 6 hingga Pasal 8 Statuta Roma 1998.50
Pasal 30 ayat (2) Statuta Roma 1998 mencantumkan dua ciri-ciri seseorang
disebut memiliki niat (intent). Yang pertama, dalam hubungannya dengan
kejahatan yang dilakukan, orang tersebut bermaksud untuk ikut serta dalam
bertindak. Maksud atau niat tersebut telah didahului dengan kesadaran untuk
48
Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo, (Pre-Trial) Kasus Mahkamah Pidana
Internasional No. ICC-01/05-01/08, para. 351. 49
Prosecutor v. Jean-Pierre Bemba Gombo, Ibid., para. 353. 50
Menjadikan Pasal 30 Statuta Roma 1998 sebagai referensi dalam membentuk unsur
subyektif terhadap tanggung jawab pidana individu, didasari juga pada paragraf 2 General
Introduction dari Elements of Crime, yang mencantumkan bahwa: “where no reference is made in
the Elements of Crime to a mental element for any particular conduct, consequences or
circumstances listed, it is understood that the relevant mental element, i.e., intent, knowledge, or
both set out in article 30 applies.”
70
memutuskan bahwa ia akan berkontribusi baik secara aktif maupun pasif dalam
melakukan suatu kejahatan. Yang kedua, dalam hubungannya dengan
konsekuensi, orang tersebut bermaksud untuk mengakibatkan terjadinya suatu hal
atau memiliki kesadaran bahwa tindakannya akan mengakibatkan terjadinya hal
tertentu. Artinya bahwa akibat dari kejahatan yang dilakukan sudah dapat
diprediksi sebelumnya.
“Pengetahuan” (knowledge) didefinisikan melalui Pasal 30 ayat (3) Statuta
Roma 1998: “awareness that a circumstance exists or a consequence will occur in
the ordinary course of events. ‘know’ and ‘knowingly’ shall be construed
accordingly.” Menurut pendapat penulis, frasa “awareness that a circumstance
exist ...” menyatakan pengetahuan seseorang tentang situasi dan kondisi yang
aktual atau terjadi pada saat itu, sedangkan pernyataan “consequence will occur
...” menggambarkan bahwa pada umumnya akan ada akibat yang mengikuti suatu
perbuatan tertentu.
Mahkamah menitikberatkan terminologi niat (intent) dan pengetahuan
(knowledge) yang tercantum dalam Pasal 30 ayat (2) dan (3) merupakan refleksi
dari konsep dolus atau kesengajaan, yang mana konsep ini mempersyaratkan
adanya kemauan diri sendiri atau yang dikenal sebagai unsur kognitif. Pada
umumnya, suatu keadaan dapat dikategorikan menjadi salah satu dari 3 (tiga)
bentuk dolus, tergantung pada seberapa kuat keinginan atau kemauan pribadi
tersebut – diantaranya adalah sebagai berikut:
i. dolus directus in the first degree (dolus tingkat pertama) atau niat secara
langsung: mempersyaratkan bahwa tersangka tahu bahwa ia bertindak
atau berdiam diri dengan keinginan atau niat akan mencapai tujuan
71
tertentu atau hasrat untuk melaksanakan unsur-unsur material dari sebuah
kejahatan; hal ini juga berarti bahwa tersangka berkeinginan penuh atau
berhasrat untuk memperoleh akibat yang tidak diperbolehkan.
ii. Dolus directus in the second degree (dolus tingkat kedua) – juga dikenal
sebagai niat tidak langsung; dolus ini mempersyaratkan bahwa tersangka
sadar akan unsur-unsur kejahatan sebagai hasil dari tindakan atau
pendiamannya akan menjadi tidak terelakkan (lihat Pasal 30 ayat (2) (b));
dalam konteks ini, unsur keinginan atau kehendak pribadi menurun
secara substansial dan digantikan oleh unsur kognitif, yaitu kesadaran
bahwa tindakannya atau kelalaiannya dapat menyebabkan konsekuensi
(terlarang) yang tidak diinginkan.
iii. Dolus eventualis – pada umumnya disebut sebagai subyektivitas atau
kecerobohan yang tidak disengaja; berkaitan dengan dolus eventualis
sebagai bentuk ketiga dari dolus, kecerobohan atau dengan kata lain
bentuk yang lebih rendah dari kesalahan, Mahkamah berpendapat bahwa
konsep tersebut tidak diatur dalam Pasal 30 Statuta Roma 1998.
Kesimpulan ini didukung dengan ekspresi bahasa yang digunakan, “will
occur in the ordinary course of events”, yang mana tidak
mengakomodasikan sebuah standar yang lebih rendah daripada yang
dipersyaratkan oleh dolus directus.
2) Unsur Obyektif (Physical Element)
Unsur obyektif dalam pertanggungjawaban pidana secara individual
mengharuskan adanya keterlibatan sebagai bentuk kontribusi dalam melakukan
suatu kejahatan. Gagasan tentang keterlibatan secara langsung harus dipahami
72
sebagai keterlibatan fisik atas terjadinya sebuah kejahatan.51
Oleh karenanya,
unsur obyektif dikenal juga sebagai physical element atau actus reus. Dalam
pengertian ini, keterlibatan secara langsung tersebut harus berpengaruh terhadap
pelaksanaan kejahatan ketika dikombinasikan dengan unsur niat dan
pengetahuan.52
Adapun bentuk-bentuk kontribusi yang bisa diberikan oleh individu dalam
kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana secara individual, Pasal 25 ayat (3)
(a) Statuta Roma 1998 menyebutkan bahwa seorang individu dapat dihukum
karena melakukan tindakan pidana, apabila ia melakukannya: (i) secara individu;
(ii) bersama-sama dengan orang lain; (iii) melalui orang lain. Kemudian,
berdasarkan Pasal 25 ayat (3) (b), (c), dan (d), bentuk tindakan individu yang
dianggap sebagai keterlibatan dalam kejahatan, yaitu: (i) memerintahkan,
membujuk, atau mendorong dilakukanya suatu kejahatan; (ii) bertindak untuk
membantu atau mempermudah terjadinya kejahatan dengan berbagai cara; (iii)
berkontribusi dalam kejahatan yang dilakukan secara berkelompok untuk
mencapai tujuan yang sama.53
Unsur obyektif erat kaitannya dengan tindakan yang berdasarkan pada fakta
serta unsur material yang terkandung dalam elements of crime setiap kejahatan.
Berikut ini adalah unsur bentuk tindakan yang apabila dilakukan oleh seorang
individu dapat memunculkan pertanggungjawaban pidana, berdasarkan Statuta
Roma 1998.
51
Yusuf Aksar, Implementing International Humanitarian Law: From the Ad Hoc
Tribunals to a Permanent International Criminal Court, Routledge, London & New York, 2004,
h. 86. 52
Ibid. 53
Prosecutor v. Thomas Lubanga Dyilo, (Trial Chamber I) Kasus Mahkamah Pidana
Internasional No. ICC-01/04-01/06-2842,para.976-977.
73
i. Actus reus dari ordering, telah didefinisikan sebagai orang dalam
posisi yang memiliki otoritas untuk memberikan instruksi bagi orang
lain dalam melakukan suatu kejahatan. Pemahaman tentang
"instruksi” (intruction) membutuhkan tindakan positif oleh orang
dalam posisi otoritas. Sebuah perintah tidak dapat diberikan tanpa
didahului oleh tindakan positif. Unsur memerintahkan tentu saja
menjadi bertolak belakang dengan pendiaman (omission) yang pada
dasarnya menitikberatkan pada ketiadaan suatu tindakan positif. Unsur
“memerintahkan” memang mempersyaratkan adanya hubungan
atasan-bawahan. Sekalipun hubungan tersebut tidak diharuskan
sebagai hubungan formal, namun sepanjang secara de jure atau de
facto seorang atasan memiliki otoritas untuk memerintahkan maka
sebuah perintah dianggap dapat dipertanggungjawabkan oleh kedua
belah pihak.54
ii. Actus reus dari committing. Seseorang dianggap melakukan suatu
kejahatan, apabila ia bertindak baik secara fisik maupun non-fisik,
langsung maupun tidak langsung. Keterlibatannya dalam suatu
kejahatan, tidak sebatas pada tindakan positif, tetapi juga kelalaian
yang berakibat sama dengan tindakan positif apabila tidak
dilaksanakan, dimana seseorang memiliki kewajiban untuk melakukan
sesuatu dan dibarengi dengan pengetahuan akan itu. Dari kumpulan
putusan hakim ICTY yang disusun dalam Case Law Digest of the
ICTY, diketahui bahwa “committing” terjadi ketika: (a) melibatkan
54
Human Right Watch, Case Law Digest of the ICTY, New York, 2006, h. 358 dikutip
dari Kordic and Cerkez, Appeals Chamber, December 17, 2004, para. 28
74
keterlibatan fisik atau non-fisik ataupun kelalaian yang dapat
dipersalahkan (culpable omission); atau (b) dimungkinkan adanya
beberapa pelaku atas suatu kejahatan disaat yang bersamaan; atau (c)
tersangka tidak diharuskan terlibat dalam semua aspek dari
kejahatan.55
iii. Actus reus dari aiding dan abetting, telah didefinisikan sebagai
tindakan yang memberikan bantuan praktis dan dukungan moral, yang
memiliki pengaruh secara substansial atas dilaksanakannya kejahatan
tertentu.56
Berbagai contoh actus reus aiding dan abetting, misalnya
sebagai berikut: (i) adanya bantuan praktikal, dorongan atau dukungan
moral; (ii) dapat terjadinya karena pendiaman (omission); (iii) adanya
hubungan sebab-akibat, namun harus berdampak secara subtansial
terhadap pelaksanaan suatu kejahatan; (iv) bantuan dapat diberikan
sebelum, selama atau setelah kejahatan dilaksanakan; (v) kehadiran
secara fisik tidak diharuskan; (vi) orang yang memberikan bantuan
ataupun dorongan tersebut harus bertanggung jawab atas semua akibat
yang terjadi secara natural (di luar perencanaannya) atas tindakannya;
(vii) kehadiran di tempat kejadian; (viii) orang yang memberikan
bantuan atau dorongan sudah dapat dipersangkakan, sekalipun pelaku
utama belum teridentifikasi, namun tindakan dari pelaku utama sudah
ditetapkan; (ix) bukti tentang rencana atau kesepakatan tidak
55
Human Right Watch, Ibid., h. 367-368. 56
Contoh dari efek ‘encourgement’ dimuat dalam Case Law Digest of ICTY, h. 376,
yang dikutip dari Kasus Mahkamah Pidana Internasional, Prosecutor v. Tadic (Trial Chamber,
1997), para.690 : “[W]hen an accused is present and participates in the beating of one person and
remains with the groups when it moves on to beat another person, his presence would have an
encouraging effect, even if he does not physically take part in this second beating, and he should
be viewed as participating in this second as well. This is assuming that the accused has not
actively withdrawn from the group or spoken out against the conduct of the group.”
75
dipersyaratkan; (x) pelaku utama tidak harus menyadari kontribusi
yang diberikan oleh orang yang memberi bantuan atau dorongan.
Pada akhirnya, baik unsur subyektif maupun unsur obyektif dapat
ditentukan berdasarkan pada fakta, keadaan, serta kemungkinan-kemungkinan
relevan yang muncul di hadapan pengadilan.
3.4. Pertanggungjawaban Negara dan Individu Terhadap Kerusakan
Lingkungan Hidup Selama Perang
3.4.1. Pertanggungjawaban Negara
Kesadaran masyarakat internasional, bahwa keberlangsungan lingkungan
hidup menentukan pula keberlangsungan kehidupan manusia, memunculkan
prinsip yang secara universal diakui, bahwa lingkungan hidup harus dilindungi
dalam keadaan apapun (baik keadaan damai maupun perang). Isu
pertanggungjawaban atas perusakan lingkungan hidup dalam keadaan damai,
bahkan sudah muncul lebih dahulu.57
Pertanggungjawaban dalam konteks perang
merupakan topik yang relatif baru namun sudah ditetapkan dengan cukup baik.
Umumnya, suatu pelanggaran selama perang berlangsung menghasilkan tanggung
jawab sebagai konsekuensi yang muncul dari tindakan tersebut.58
Tanggung jawab yang hendak dibebankan kepada suatu negara, dalam bentuk
apapun, harus memiliki dasar jelas, logis, dan mampu diterima secara universal,
mengingat bahwa tindakan perusakan lingkungan bukan hanya dianggap
mencederai negara tertentu tetapi juga masyarakat internasional secara
keseluruhan. Oleh karenanya, sebagai dasar untuk menyimpulkan kenapa dan
57
Michael N. Schmitt, Op.Cit., h. 141. 58
Michael N. Schmitt, Ibid.
76
bagaimana negara harus bertanggung jawab atas tindakan perusakan lingkungan
hidup, maka penulis menjadikan draft sebagai sumber hukum utama, mengingat
kontennya telah diterima sebagai hukum kebiasaan, tanpa harus ratifikasi oleh
negara-negara.
a. Kejahatan perang sebagai internationally wrongful act
Pada bagian ini penulis menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan hidup
yang dilakukan selama perang berlangsung, sebagai salah satu bentuk kejahatan
perang, merupakan internationally wrongful act suatu negara.
Pertama, HHI sebagai bagian dari hukum pidana internasional, bukan hanya
membebankan kewajiban kepada individu, tetapi juga kepada negara (Supra
3.2.1. dan 3.2.2.) untuk senantiasa menjaga dan menghormati ketentuan-
ketentuannya, baik tertulis maupun kebiasaan. Berkaitan dengan perlindungan
terhadap lingkungan hidup selama perang berlangsung, HHI mewajibkan untuk
tidak menggunakan metode atau alat perang yang dimaksudkan atau diperkirakan
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang luas, jangka panjang dan
dahsyat,59
atau melancarkan serangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan
hidup yang berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang
diperoleh.60
Ketentuan tersebut menjadi kewajiban bagi negara yang terlibat
dalam perang, untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok individu
yang bertindak atas nama negara menjalankan kewajibannya sesuai hukum yang
berlaku.
Pasal 8 ayat (2)(b)(iv) Statuta Roma 1998 mengklasifikasikan serangan
yang berlebihan (excessive) terhadap lingkungan hidup sebagai salah satu kategori
59
Lihat Pasal 35 Protokol Tambahan I. 60
Lihat Pasal 8 ayat (2) (b) (iv) Statuta Roma 1998.
77
kejahatan perang. Dalam tulisan Charles Garraway tentang kejahatan perang, ia
menggunakan definisi kuno yang menganggap bahwa kejahatan perang sebagai
bentuk pelanggaran terhadap hukum perang yang mengakibatkan
pertanggungjawaban pidana seorang individu. 61
Pendapat yang hampir serupa
dikemukakan oleh Malcolm yang mengatakan bahwa: “war crimes are a discrete
part of the principles of international humanitarian law, being those which have
become accepted as criminal offences for which there is individual responsibility
(in addition to state responsibility). Essentially, war crimes applies to individuals
and international humanitarian law to states.”62
Pendapat ini memperluas
pemahaman tentang kejahatan perang sebagai salah satu tindak pidana
internasional, dimana tidak hanya menarik pertanggungjawaban individu tetapi
juga negara.
Sependapat dengan pernyataan Malcolm bahwa sekalipun warga negaranya
telah bertanggung jawab sebagai seorang individu di bawah HHI, namun tidak
menghilangkan peran dan tanggung jawab negara, yang memang tidak diatur
secara komprehensif melalui HHI, melainkan hukum internasional secara umum.
Hal yang sama pun diatur dalam Pasal 25 ayat (5) Statuta Roma 1998 yang
menegaskan bahwa “no provision in this Statute relating to individual criminal
responsibility shall affect the responsibility of State under international law”.
Sehingga keduanya secara positif mendukung anggapan bahwa negara
bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukan oleh individu yang
mengatasnamakan negara. Dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi kejahatan
61
Charles Garrawey, “War Crimes”, dalam Elizabeth Wilmshurst dan Susan Breau, ed.,
Perspective on the ICRC Study on Customary International Humanitarian Law, Cambridge
University Press, New York, 2007,h.377. 62
Malcolm II, Op.Cit., h. 434.
78
perang, dalam hal ini perusakan lingkungan hidup maka negara melalui organnya
dianggap gagal menjalankan kewajibannya di bawah hukum internasional.
Prinsip umum dalam pertanggungjawaban negara disebutkan oleh Pasal 1
draft bahwa setiap pelanggaran negara terhadap hukum internasional meminta
pertanggungjawaban internasional pula. Selanjutnya untuk menentukan apakah
pelanggaran kewajiban yang dimaksud sebelumnya adalah bentuk internationally
wrongful act, maka acuan yang digunakan kembali lagi kepada unsur-unsur
internationally wrongful act yang dimuat dalam Pasal 2 draft (Supra 3.3.1.).
1) Unsur pertama63
mengharuskan kejahatan perang dilakukan oleh individu
maupun kelompok individu yang bertindak untuk dan atas nama negara
atau yang dikenal dengan atributabilitas atau imputabilitas (Supra
3.3.1.a). Pada kasus Nicaragua v. United State of America, Mahkamah
Internasional membedakan individu ke dalam 3 kategori, pertama
anggota dari pejabat administrasi pemerintah atau angkatan bersenjata;
kedua individu yang memperoleh status dari lembaga yang secara
langsung mendapatkan kekuasaan dari hukum nasional; dan yang
terakhir individu yang termasuk dalam entitas publik dan diberdayakan
oleh negara untuk melaksanakan otoritas pemerintahan tertentu.
Dalam konteks perang, berarti individu yang dimaksud adalah mereka
berstatus kombatan dari angkatan bersenjata (armed forces) salah satu
negara yang bertikai atau individu tersebut merupakan komandan militer
maupun pimpinan politik yang berkuasa. Terkait itu, Rules 149 HHI
Kebiasaan menyebutkan bahwa: “a state is responsible for violations of
63
Lihat Pasal 2 huruf a “... is attributable to the State under international law.”
79
international humanitarian law attributable to it, including violations
committed by its organs, including its armed forces.”64
Dalam HHI
Kebiasaan ketentuan ini sudah berlangsung cukup lama, serta dinyatakan
juga melalui Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1907 dan diulangi dalam Pasal
91 Protokol Tambahan I, yang menyatakan bahwa “a party to the conflict
which violates the provisions of the Conventions or of this Protocol shall,
if the case demands, be liable to pay compensation. It shall be
responsible for all acts committed by persons forming part of its armed
forces.”
Mahkamah Banding ICTY dalam kasus Prosecutor v. Tadic menegaskan
kembali kedua norma di atas sebagai lex specialis tentang
pertanggungjawaban negara. Bahkan, Makhamah Banding ICTY menilai
bahwa sekalipun seorang individu bertindak dalam kapasitasnya sebagai
pribadi, namun sepanjang individu tersebut adalah bagian dari angkatan
bersenjata suatu negara, maka prinsip atributabilitas juga berlaku
atasnya.65
Mahkamah juga menyatakan bahwa prinsip yang demikian
secara otoritatif sudah dianut oleh beberapa anggota dari ILC, salah
satunya Professor Reuter yang menuturkan bahwa: “[i]t was now a
principle of codified international law that State were responsible for all
acts of their armed forces.”66
Dengan kata lain, prinsip atributabilitas secara jelas berlaku pula dalam
keadaan perang, ketika individu melakukan tindakan perusakan
64
Jean-MarieHenckaerts dan Louise Doswald-Beck, Op.Cit., h. 530. 65
Putusan Mahkamah Banding (the Appeal Chamber) ICTY, Prosecutor v. DU [KO
TADI] Nomor IT-94-1-A, 15 Juli 1994, para. 98. 66
Appeals Chamber Prosecutor v. Tadic, dikutip dari Yearbook of the International Law
Commission, 1975,vol.I, para.5.
80
lingkungan hidup yang notabene bertentangan dengan prinsip dan norma
HHI.
2) Unsur yang kedua mengharuskan perbuatan merupakan sebuah
pelanggaran terhadap kewajiban dalam hukum internasional yang
mengikat negara pada saat perbuatan tersebut dilakukan.67
Dalam
kaitannya dengan kejahatan perang, telah jelas bahwa unsur kedua dapat
dengan mudah terpenuhi apabila unsur-unsur bentuk kejahatan perang
secara materiil telah terpenuhi, baik dilakukan dengan tindakan,
pengabaian maupun gabungan dari keduanya.
Dengan demikian, apabila tindakan perusakan lingkungan hidup sebagai
bentuk kejahatan perang dapat memenuhi unsur-unsur internationally wrongful
act, maka negara berkewajiban untuk turut bertanggung jawab dan melakukan
kewajiban perbaikan (duty of reparation).
b. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Negara
Konsekuensi hukum (legal consequences) merupakan sarana
pertanggungjawaban negara atas pelanggaran kewajiban internasional.68
Namun,
konsekuensi hukum yang harus dijalani tidak mempengaruhi kewajiban
internasional yang harus dilakukan oleh negara. Dengan kata lain, bahwa
sekalipun telah terjadi pelanggaran dan negara diwajibkan untuk menjalani
konskuensi hukum sebagai akibatnya, negara tetap diwajibkan untuk menjalankan
67
Lihat Pasal 13 draft “an act of a State does not constitute a breach of an international
obligation unless the State is bound by the obligation in question at the time the act occurs.” 68
Lihat Pasal 28 draft “legal consequences of an international wrongful act: the
international responsibility of a State which is entailed by an internationally wrongful act in
accordance with the provisions of Part One involves legal consequences as set out in this Part.”
81
kewajiban yang mengikatnya di bawah hukum internasional.69
Negara harus tetap
tunduk pada norma dan prinsip HHI, dimana salah satu bentuknya adalah dengan
menghentikan (to cease) setiap tindakan atau pengabaian yang membahayakan
lingkungan hidup. Selain menghentikan tindakannya yang melawan hukum
internasional, negara harus meyakinkan dan menjamin bahwa tindakan yang sama
tidak akan terulang (non-repitition), jika keadaan yang sama terjadi lagi.70
Bagian sebelumnya sudah menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pada
hakekatnya adalah kewajiban untuk melakukan perbaikan (duty of reparation).
Reparasi menimbulkan hubungan hukum baru antara negara yang melakukan
pelanggaran dengan negara “korban” dalam skema internasional.71
Reparasi
bersumber dari sebuah prinsip yang telah diakui dalam hukum internasional,
bahwa negara yang melakukan internationally wrongful act bertanggung jawab
untuk melakukan reparasi sebagai konsekuensi hukum atas pelanggaran yang
dilakukannya.72
Hal ini juga ditegaskan oleh Mahkamah Internasional, melalui
putusannya dalam kasus Chorzów Factory, yang menyatakan bahwa:73
“the essential principle contained in the actual notion of an
illegal act – a principle which seems to be established by
international practice and in particular by the decisions of
arbitral tribunals – is that reparation must, as far as possible,
wipe out all the consequences of the illegal act and re-establish
the situation which would, in all probability have existed if that
act had not been committed. Restitution in kind, or, if this is not
possible, payment of a sum corresponding to the value which a
restitution in kind would bear; the award, if need be, of damage
69
Lihat Pasal 29 draft “the legal consequences of an internationally wrongful act under
this Part do not affect the continued duty of the responsible State to perform the obligation
breached.” 70
Lihat Pasal 30 draft “The State responsible for the internationally wrongful act is
under an obligation: (a) to cease that act, if it is continuing; (b) to offer appropriate assurances
and guarantees of non-repitition, if circumstances so require.” 71
Afriansyah Arie,Op.Cit., h. 108. 72
Philippe Sands, Principles of Interntional of Environmental Law, Edisi Kedua,
Cambridge University Press, New York, 2003, h. 882. 73
Philippe Sands, Op.Cit., h. 882-883.
82
for loss sustained which would not be covered by restitution in
kind or payment in place of it – such are the principles which
should serve to determine the amount of compensation due for
an act contrary to international law.”
Pasal 31 draft menegaskan dua hal penting terkait dengan reparasi atau perbaikan;
pertama pertanggungjawaban negara adalah sebuah kewajiban untuk melakukan
perbaikan sepenuhnya (make full of reparation) terhadap luka (injury) yang
ditimbulkan karena internationally wrongful act, dan yang kedua luka (injury)
yang dimaksud disini, termasuk juga kerusakan dalam bentuk apapun, entah
secara materi maupun moral, yang diakibatkan internationally wrongful act oleh
suatu negara.74
Kewajiban untuk melakukan perbaikan sepenuhnya (full
reparation) telah ditegaskan pula oleh Mahkamah Internasional dalam kasus
Chorzów Factory:75
“It is a principle of international law that the breach of an
engagement involves an obligation to make reparation in an
adequate form. Reparation therefore is the indispensable
complement of a failure to apply a convention and there is no
necessity for this to be stated in the convention itself.
Differences relating to reparations, which may be due by reason
of failure to apply a convention, are consequently differences
relating to its application.”
Draft memuat tiga bentuk reparasi penuh yang bisa dilakukan sebagai bentuk
tanggung jawab negara atas internationally wrongful act, dalam hal ini perusakan
lingkungan hidup, diantaranya adalah restitution, compensation, dan satisfication.
Ketiga bentuk reparasi ini dapat dilakukan secara tunggal maupun dengan
kombinasi dua atau ketiganya.
74
Bagian Commentary Draft menjelaskan bahwa material damage yang dimaksud disini
adalah damage to property or other interests of the State and its nationals which is assessable in
financial terms. Sedangkan moral damage merujuk pada such items as individual pain and
suffering, loss of loved ones or personal affront associated with an instrusion on one’s home or
private life. 75
Lihat catatan kaki draft no. 34, dikutip dari Chrozów Factory, Jurisdiction, Judgement
no. 8, 1927, P.C.I.J., Series A, No.9, para. 2.
83
(1) Restitution
Berdasarkan konsep, tidak ada kesepahaman yang universal dalam
mendefinisikan restitution. Pada satu sisi, restitution didefinisikan sebagai
tindakan untuk membangun kembali the status quo ante, yaitu situasi yang
ada sebelum terjadinya pelanggaran. Namun di sisi lain, restitution berarti
membangun atau membangun kembali keadaan yang akan ada apabila
pelanggaran tidak dilakukan. Konsep restitution yang diadopsi draft,
merupakan konsep dengan arti sempit. Negara yang bertanggung jawab
atas internationally wrongful act, berkewajiban untuk melakukan
restitution dengan cara membangun kembali situasi yang ada sebelum
pelanggaran dilakukan, sejauh tindakan tersebut secara material bukanlah
hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan, dan tidak membebani negara
pelanggar untuk melaksanakan sesuatu yang bukan menjadi manfaat
restitution melainkan compensation.76
Tindakan reparasi yang diminta dalam konsep restitution kerap kali
bergantung pada konten kewajiban utama yang telah dilanggar. Oleh
karena itu, dalam konteks rusaknya lingkungan hidup selama perang
berlangsung sangat sulit untuk menerapkan bentuk reparasi berupa
restitution. Afriansyah Arie menyebutkan bahwa pada faktanya untuk
mengembalikan lingkungan hidup pada keadaan semula sebelum
terjadinya pelanggaran sangatlah sulit, meskipun bukan tidak
mungkin.77
Maka dari itu, apabila terjadi perusakan lingkungan hidup
selama perang, dan negara yang melakukan pelanggaran dimintai
76
Lihat Pasal 35 draft. 77
Afriansyah Arie, Op.Cit., h.109.
84
pertanggungjawaban, compensation adalah bentuk opsi reparasi yang
paling masuk akal untuk diterapkan.
(2) Compensation
Kewajiban untuk melakukan compensation muncul ketika restitution
hampir tidak mungkin untuk memenuhi upaya reparasi terhadap suatu
pelanggaran, dan bentuk ini mencakup kerusakan yang dapat dinilai secara
finansial.78
Compensation yang dimuat dalam Pasal 36 draft menegaskan
dua poin penting, yakni: (1) negara yang bertanggung jawab atas
internationally wrongful act berkewajiban untuk mengimbangi kerusakan
yang disebabkan olehnya, sejauh mana kerusakan tersebut tidak bisa
diatasi melalui restitution; (2) compensation harus meliputi kerusakan
yang dapat dinilai secara finansial, termasuk juga hilangnya keuntungan
(profits) sepanjang itu ditetapkan.
Compensation bertujuan untuk mengatasi kerugian aktual yang terjadi
sebagai akibat dari internationally wrongful act. Dalam hal kerusakan
lingkungan hidup selama perang, kompensasi finansial digunakan untuk
membiayai sumber daya manusia dan teknologi yang diperlukan untuk
mengurangi kerusakan dan memulihkan lingkungan, atau setidaknya untuk
mempertahankan kondisi sewajarnya yang dibutuhkan agar lingkungan
dapat bertahan.79
Meskipun demikian, compensation dirasa tidak cukup
apabila negara yang melakukan pelanggaran meneruskan tindakan yang
sama yang sebelumnya telah merusak lingkungan hidup. Oleh karenanya,
perlu adanya penetapan kewajiban untuk menghentikan segala tindakan
78
Afriansyah Arie, Op.Cit., h. 109. 79
Ibid., h.110.
85
yang dapat mencederai lingkungan hidup serta menjamin tidak akan ada
tindakan pengulangan yang sama pentingnya untuk menjaga lingkungan
hidup di masa yang akan datang.80
(3) Satisfication
Satisfication adalah bentuk ketiga dari reparasi yang mungkin dilakukan
oleh negara yang bertanggung jawab sebagai akibat dari internationally
wrongful act. Satisfaction bukanlah bentuk standar dari reparasi, dalam
artian untuk kasus-kasus tertentu kerusakan yang diderita akibat
pelanggaran dapat diperbaiki hanya melalui resitution dan/atau
compensation. Dalam hubungannya dengan prinsip to make full
reparation, pengecualian ditekankan melalui frasa “it cannot be made
good by restitution or compensation”. Satisfaction erat hubungannya
dengan kondisi emosional, baik bagi negara yang menjadi “korban”
pelanggaran, maupun negara yang melakukan pelanggaran. Oleh
karenanya, satisfaction dapat diwujudkan dengan cara-cara seperti
pernyataan resmi untuk mengakui pelanggaran, pengakuan atas
penyesalan, permintaan maaf resmi maupun bentuk lainnya yang sesuai.
Meskipun demikian, satisfaction tidak boleh keluar dalam bentuk untuk
melukai atau mempermalukan negara yang bertanggungjawab.
3.4.2. Pertanggungjawaban individu
Ketentuan-ketentuan yang secara spesifik melarang perusakan terhadap
lingkungan hidup selama perang berlangsung telah dibahas pada bab sebelumnya.
80
Ibid.
86
Berdasar pada berbagai sumber hukum tertulis maupun kebiasaan dalam HHI,
terutama Statuta Roma 1998, tidak ada keraguan mengenai pertanggungjawaban
pidana secara individual atas perusakan lingkungan hidup selama perang. Selain
itu, Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind81
yang
diadopsi oleh ILC juga menyatakan bahwa “an individual who willfully causes or
orders the causing of widespread, long-term and severe damage to the natural
environment”.82
Ketentuan ini berlaku baik dalam keadaan damai maupun perang,
meskipun sebagaimana yang tercantum, hanya terbatas kepada perusakan yang
dilakukan secara sengaja.83
Sekalipun masih berupa draft, namun tetap saja
ketentuan di dalamnya dapat mendukung argumentasi terkait tanggung jawab
pidana secara individual atas perusakan lingkungan hidup.84
Pada bab sebelumnya, dua isu penting yang muncul adalah rusaknya
lingkungan hidup sebagai akibat dari tindakan yang tidak sengaja dan tidak
proporsional serta rusaknya lingkungan hidup sebagai akibat dari collateral
damage (Supra 2.4.2.). Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan pembahasan di
atas adalah individu hanya bertanggungjawab atas tindakan perusakan lingkungan
hidup yang dilakukan berdasarkan niat dan pengetahuan untuk itu. Sedangkan
terkait collateral damage, penulis menyimpulkan 2 (dua) hal, sebagai berikut:
pertama collateral damage adalah konsep hukum karena tidak didasari oleh niat
81
The ILC has worked for many years both on the codification of state responsibility and
on a code of crimes entailing individual criminal liability. The ILC has been entrusted with the
task of studying and codifying separately state responsibility and individual criminal liability
under international law. Its work has led to the adoption of two separate proposal, one in 1996 as
Draft Code of Crimes against the Peace and Security of Mankind, and one in 2001 as Draft
Articles on State Responsibility. 82
Lihat Pasal 26 Draft Code of Crimes Against the Peace and Security of Mankind,
dalam Report of the International Law Commission on the Work of Its 43d Session, GAOR, 46th
Sess., Supp. 10, U.N. Doc. A/46/10, h.235, reprinted in 30 I.L.M. 1584 (1991). 83
Michael N. Schmitt, Op.Cit., h.145. 84
Michael N. Scmitt, Ibid.
87
dan pengetahuan, sehingga sepanjang kerusakan lingkungan hidup proporsional
dengan keuntungan militer untuk itu maka serangan dianggap sah.85
Yang kedua,
sekalipun tidak ditemukan unsur kesengajaan namun apabila kerusakan yang
dialami oleh lingkungan hidup tidak proporsional jika dibandingkan dengan
keuntungan militer, maka dianggap sebagai unlawful act.86
Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa individu dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana atas serangan secara sengaja maupun tidak sengaja yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan hidup (sebagai obyek sipil) yang meluas, berjangka panjang
dan dahsyat serta dianggap berlebihan jika dibandingkan dengan keuntungan
militer yang diperoleh saat itu.
Mayoritas instrumen hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap
lingkungan atau perang atau kombinasi keduanya, tidak mencantumkan materi
pertanggungjawaban, lebih khusus tanggung jawab pidana oleh individu. Dewasa
ini, Statuta Roma 1998 merupakan sumber hukum yang paling umum digunakan
terkait tanggung jawab pidana secara individual, termasuk dalam konteks
perlindungan terhadap lingkungan hidup. Namun sebagaimana yang dibahas
diatas, Statuta Roma 1998 hanya mengakui pertanggungjawaban pidana apabila
dilakukan secara sengaja dan memenuhi unsur mens rea. Sehingga, sekalipun
Protokol Tambahan I menetapkan standar yang lebih tinggi dalam melindungi
lingkungan hidup, namun belum berhasil mengemukakan norma
pertanggungjawaban atas tindakan perusakan lingkungan hidup yang tidak
proporsional dan tidak berdasar pada niat dan pengetahuan. Dengan berdasar pada
Pasal 25 ayat (2) Statuta Roma 1998, individu yang melakukan kejahatan
85
Supra 2.3.1.c dan 2.4.2. 86
Supra 2.3.1.b dan 2.4.2.
88
sebagaimana yang diatur dalam Statuta harus bertanggung jawab secara pidana di
hadapan Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam konteks perang pada penulisan ini, individu yang melakukan
kejahatan perang secara otomatis diasumsikan sebagai kombatan atau komandan
militer maupun politik yang bertindak atas nama suatu negara. Artinya, jika
dikaitkan dengan prinsip atributabilitas yang dibahas di atas, maka
pertanggungjawaban individu tidak akan mengeliminasi pertanggungjawaban dari
negara.87
Demikian pun sebaliknya, apabila negara bertanggung jawab atas
tindakan reparasi terhadap perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh
individu, hal tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab individu di hadapan
hukum pidana internasional.88
87
Beatrice I. Bonafie, The Relationship Between State & Individual Responsibility for
International Crimes, Martinus Nijhoff Publisher, Leiden & Boston, 2009, h. 33. 88
Lihat Pasal 58 draft “these articles are without prejudice to any question of the
individual responsibility under international law of any person acting on behalf of a state.”