Post on 06-Feb-2018
36
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DAN
PERJANJIAN UTANG PIUTANG DENGAN JAMINAN TANAH
2.1 Lembaga Perkreditan desa di Bali
2.1.1 Sejarah Lembaga Perkreditan Desa
Sebelum adanya LPD di Bali telah banyak terbentuk kelompok sekeha-sekeha
yang menghimpun warga masyarakat sebagai anggotanya. Dengan sistem
kebersamaan gotong royong segilik seguluk paras paros sarpanaya sesuai dengan
landasan hidup masyarakat Bali. Masing-masing kelompok tersebut secara aktif
melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu kesejahteraan hidup. Salah satu
kegiatan yang sering dilakukan oleh sekeha tersebut adalah menghimpun dan
meminjam dana diantara para anggota skeha, aktifitas menghimpun dana tersebut
berupa pepeson atau pacingkreman, baik berupa uang maupun barang setiap
bulannya. Uang yang didapat dari pepeson setiap bulanya di distribusikan lagi kepada
anggotanya melalui rapat. Anggota yang berkesempatan meminjam dana tersebut
ditentukan melalui rapat termasuk besarnya bunga yang dikenakan kepada yang
bersangkutan. Pada akhirnya semua anggota skehe akan mendapat jatah yang sama
setiap bulannya untuk menikmati dana yang mereka himpun, untuk membangun
perekonomian yang pada akhirnya untuk mensejahterakan kehidupan mereka.
Kegiatan yang dilakukan sekeha tersebut mengispirasi Gubernur Bali pada
saat itu Bapak Prof.Dr. Ida Bagus Mantra. Putra Bali asli yang berasal dari Denpasar
37
itu memang sangat konsen memperhatikan adat dan budaya Bali. Pada saat itu beliau
memiliki ide yang sangat cemerlang khususnya untuk mempertahankan sekaligus
melestarikan adat dan budaya Bali, salah satunya dengan membentuk lembaga
keuangan sebagai salah satu wadah bagi masyarakat desa adat dalam mengelola
keuangan yaitu Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Lembaga ini terinspirasi dan
terbentuk setelah mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam
Negeri yang bertajuk seminar kredit pedesaan di Semarang pada tanggal 20 sampai
21 Februari 1984.34
Dengan mengadopsi konsep sekehe yang sudah tumbuh di dalam masyarakat
Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra menggagas pendirian suatu lembaga keuangan yang
berlandaskan adat. Dengan konsep sedemikian rupa maka terbentuklah Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) sebagai suatu lembaga keuangan komunitas adat yang
bertujuan untuk membantu desa pakraman dalam menjalankan fungsi kulturalnya.
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) merupakan lembaga keuangan milik Desa
Pekraman, yang menjalankan fungsi keuangan dan mengelola sumber daya keuangan
milik Desa Pakraman, dalam bentuk simpan pinjam. Untuk keperluan pembiayaan
kehidupan anggota masyarakat Desa Pakraman, baik secara sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama, dalam rangka pengembangan fungsi-fungsi sosio-kultural dan
keagamaan masyarakat Desa Pakraman.
34 I Nyoman Nurjaya et. al, 2011, Landasan Teoritik Pengaturan LPD (Sebagai Lembaga
Keuangan Komunitas Masyarakat Hukum Adat Bali), Udayana University Press, Denpasar hal.23
38
Dari landasan tersebut maka Pemerintah Daerah Bali menindak lanjuti dengan
menetapkan Keputusan Gubernur Nomor: 972 Tahun 1984, tanggal 01 November
1984 tentang Pendirian LPD. Untuk operasional pertama kalinya didirikan satu LPD
di setiap Kabupaten di Bali. Keputusan tersebut dilaksanakan pada tahun 1985
dengan Keputusan Gubernur Nomor: 1A Tahun 1985, tanggal 02 Januari 1985
berdasarkan anggaran 1984/1986 dibentuk sebanyak 8 LPD di seluruh Kabupaten di
Bali yakni:
1. LPD Lukluk Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, 2. LPD Buahan Kecamatan Tabanan Kabupaten Tabanan, 3. LPD Ekasari Kecamatan Melaya Kabupaten Negara, 4. LPD Julah Kecamatan Tejakula Kabupaten Buleleng, 5. LPD Selulung Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem, 6. LPD Penasan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung, 7. LPD Kubu Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli, dan 8. LPD Manukaya Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar
Dengan didirikanya delapan LPD di setiap kabupaten sebagai percobaan
untuk merangsang perekonomian di setiap desa, LPD diterapkan mengunakan metode
berbasis komunitas dengan berlandaskan nilai-nilai kekeluargaan dan kegotong-
royongan dalam bingkai adat dan budaya Bali. Dengan berlandaskan pedoman itu
masyarakat secara tidak langsung akan menjadi pemilik maupun pengawas
pengelolaan LPD itu sendiri untuk kemajuan LPD dan kesejahteraan warganya.
Dilihat dari Tahun pendirian LPD tersebut menunjukan bahwa LPD didirikan dalam
periode Orde Baru dan dalam periode berlaku Undang-Undang Nomor 05 Tahun
1974 tentang Pemerintahan Desa. Periode ini menerapkan dekonsentrasi lebih kuat
dari pada desentralisasi. Melalui dekonsentrasi tersebut mengarahkan hubungan pusat
39
dan daerah pada corak sentralisasi. Dalam hubungan pusat dan daerah yang
sentralisai itulah berdiri Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali.
Pembentukan LPD bertujuan untuk menunjang peran desa adat dalam
menopang kehidupan sosial, budaya, adat dan agama agar desa adat mempunyai
sumber pembiayaan yang mandiri dan berkelanjutan untuk membiayai kegiatan yang
terkait dengan urusan adat atau urusan kemasyarakatan lainnya, seperti; biaya upacara
keagamaan, upacara kemanusiaan, pemeliharaan instrumen-instrumen budaya,
pemelihaan warisan budaya, pembangunan dan perbaikan pura.35
2.1.2 Pengaturan Lembaga Perkreditan Desa.
Dalam sejarah perkembangan Lembaga Perkreditan Desa di Bali ada beberapa
Peraturan Daerah yang menjadi acuan dasar dalam pembentukan Lembaga
Perkreditan Desa yaitu;
A. Keputusan Kepala Daerah Tingkat I Bali (Gubernur) Nomor 972 Tahun 1984
mencetuskan gagasan pembentukan LPD pada setiap desa adat, secara garis
besar Keputusan tersebut memuat;
a. LPD adalah alat desa dan merupakan unit operasional. Serta berfungsi
sebagai wadah kekayaan desa yang berupa uang atau surat-surat
berharga lainya.
35 Ida Bagus Darsana, loc.cit.
40
b. Tujuan didirikan LPD ;
1. Memberantas ijon, gadai gelap dan lain-lain yang dapat dengan itu.
2. Meningkatkan daya beli masyarakat desa.
3. Melancarkan lalu lintas pembayaran dan pertukaran di desa.36
B. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 02 Tahun 1988
Tentang Lembaga Perkreditan Desa, secara garis besar Perda ini memuat ;
a. Ditiap-tiap desa didirikan LPD. Beberapa desa dapat bergabung untuk
mendirikan satu LPD.
b. Tujuan LPD ;
1. Mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui tabungan
yang terarah serta menyalurkan modal yang efektif.
2. Membrantas ijon, gadai gelap, dan lain-lain yang dipersamakan
dengan itu.
3. Menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi warga desa
dan tenaga kerja di pedesaan.
4. Meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang di desa.
36 I Nyoman Nurjaya (et. al), op.cit., hal 94
41
C. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 04 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang
Lembaga Perkreditan Desa. Peraturan Daerah ini ditindak lanjuti dengan 5
(lima) Keputusan Gubernur yaitu;
1. Keputusan Gubernur Nomor 03 Tahun 2003 tentang Status dan tugas-
tugas Pembina Lembaga Perkreditan Desa Kabupaten/Kota.
2. Keputusan Gubernur Nomor 04 Tahun 2003 tentang Penyetoran dan
Penggunaan Keuntungan Bersih Lembaga Perkreditan Desa,
3. Keputusan Gubernur Nomor 07 Tahun 2003 tentang Dana Perlindungan
Lembaga Perkreditan Desa.
4. Keputusan Gubernur Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pembentukan Badan
Pembina Lembaga Perkreditan Desa Provinsi Bali.
5. Keputusan Gubernur Nomor 12 Tahun 2003 tentang Prinsip Kehati-hatian
Dalam Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa.
D. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2007 tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 08 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa. Perda ini ditindak lanjuti dengan diterbitkanya ;
a. Peraturan Gubernur Nomor 16 Tahun 2008 tentang Pengurus dan
Pengawas Internal Lembaga Perkreditan Desa.
b. Keputusan Gubernur Bali Nomor 11/01-C/HK/2008 tentang Pembentukan
Badan Pembina Umum LPD Provinsi Bali.
c. Keputusan Gubernur Bali Nomor 1499/01-C/HK/2008 tentang Status dan
42
Tugas-tugas Pembina Lembaga Perkreditan Desa Provinsi (PLPDP) Bali
dan PLPDK.37
2.2 Tinjauan Umum tentang Perjanjian.
2.2.1 Pengertian Perjanjian kredit
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hidup saling berdampingan, saling
membantu satu sama lain, akan tetapi dalam kenyataanya terkadang ada bantuan yang
dibutuhkan memerlukan suatu jaminan, maka dibuatlah suatu perjanjian agar dapat
mengikat kedua belah pihak. Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan.
Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada kreditor dalam
perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari
perjanjian tersebut.38
Perjanjian adalah suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan
(vermogenscrechtlijke bettrecking) antara dua pihak. Dimana pihak yang satu
berkewajiban memberikan suatu prestasi kepada pihak lain yang mempunyai hak atas
prestasi tersebut. 39
Perjanjian menurut Abdul Kadir Muhammad adalah hal yang mengikat antar
orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat tersebut yaitu pristiwa
37 Ibid., hal . 101
38 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2010, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 91
39 H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, 2001, Pengertian-Pengertian Elementer HUkum Perjanjian Perdata. II CV. MAndar Maju, Bandung, hal 35
43
hukum yang berupa perbuatan misalnya jual beli, berupa kejadian seperti kelahiran
dan dapat juga berupa suatu keadaan misalnya pekarangan yang berdampingan, hal
tersebut yang berupa peristiwa hukum akan menciptakan suatu hubungan hukum.40
Perjanjian juga telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata) Pasal 1313 yaitu bahwa : “perjanjian atau
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Kata persetujuan tersebut merupakan
terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst
tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam
Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disebutkan
bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua belah pihak atau lebih yang
dimana pihak satu berjanji untuk melakukan suatu hal dan pihak yang lain menuntut
suatu prestasi. Perjanjian itu berlaku sebagai suatu undang-undang bagi pihak yang
saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara dua
orang atau dua pihak tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangakaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian pinjam-meminjam uang menurut KUHPerdata Pasal 1754 yang
menyebutkan bahwa: "Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang
40 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cet III, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2000 hal. 198 (selanjutnya disebut Abdul Kadir Muhammad II)
44
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
habis karena pemakaian. Dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Kegiatan usaha keuangan yang dilakukan LPD sangat erat kaitanya dengan
tabungan, deposito dan kredit. Dalam pengertianya Istilah kredit berasal dari
bahasa Yunani “Credere” yang berarti kepercayaan, oleh karena itu dasar
dari kredit adalah kepercayaan. Seseorang atau semua badan yang memberikan
kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur) di masa mendatang
akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan itu dapat berupa
barang, uang atau jasa.
Menurut O.P Simorangkir, kredit merupakan pemberian prestasi dengan
kontra prestasi yang akan terjadi pada waktu mendatang. Prestasi yang dimaksud
adalah uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit
berfungsi sebagai koperatif antara pemberi kredit dan penerima kredit. Kredit dalam
arti luas didasari oleh komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran
ekonomi di masa depan.41 Kredit menurut Undang-Undang Perbankan disebutkan
dalam Pasal 1 angka 11 bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
41 O.P Simorangkir, 1986, Seluk Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta
hal.91
45
Berdasarkan pengertian kredit diatas, kredit adalah pemberian pinjaman dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh kreditur maupun debitur untuk melunasi
pinjamanya kepada kreditur, dengan cara mengembalikan uang pinjaman berdasarkan
kesepakatan. Dalam pemberian kredit diperlukan kepercayaan. Tanpa adanya
keyakinan suatu lembaga kredit tidak akan ada pemberian kredit kepada debitur,
dengan keyakinan bahwa debitur dapat melunasi kreditnya kepada kreditur sesuai
dengan jangka waktu yang telah disepakati. Perjanjian kredit pada umumnya dibuat
dalam dua jenis yaitu :
1. Perjanjian kredit dibawah tangan.
Perjanjian kredit di bawah tangan adalah perjanjian kredit yang sengaja dibuat
oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta
dengan kata lain perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang dimasukan oleh
para pihak sebagai alat pembuktian, tetapi tidak di hadapan pejabat umum pembuat
akta.42 Hal ini semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan saja.
Bentuk akta di bawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-
undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang
pengaturan akta di bawah tangan ini diatur dalam Pasal 1874 sampai dengan
Pasal 1984 KUHPerdata, Pasal 286 sampai pasal 305 RBg dan dalam Stbl. 1867
No. 29
42 Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 2004, Grosse Akta Dalam Pembuktian
dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 36
46
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta
dibawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang terhadap pembuatan akta itu maka
akta tersebut akan tetap dianggap akta dibawah tangan, dan hanya mempunyai
kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1869 KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau
tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam
bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.”
Kekuatan/nilai pembuktian dari akta dibawah tangan mempunyai pembuktian
sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak.
Jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak
yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tesebut
diserahkan kepada hakim.
2. Perjanjian kredit dengan akta notariil.
Akta notarill merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu
notaris. Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) menyebutkan bahwa: “akta notaris
adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata
cara yang ditetapkan di dalam undang- undang ini.” Berdasarkan pengertian diatas
dapat di simpulkan bahwa tentang penggolongan akta otentik terbagi menjadi
beberapa macam yaitu:
47
1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum disebut juga akta relaas acten,
yaitu akta yang berisikan berupa uraian notaris yang dilihat, disaksikan, dan
dibuat notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan
para pihak dilakukan dan dituangkan kedalam bentuk akta notaris. Kebenaran
akta ini tidak dapat di ganggu gugat kecuali dengan menuduh bahwa akta itu
palsu.
2. Akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum disebut juga akta partij
acten atau akta para pihak, yaitu akta yang berisikan keterangan yang
dikehendaki oleh para pihak yang membuatnya atau menyuruh membuat akta
itu, yang kebenaran isi akta tersebut oleh para pihak dapat diganggu gugat
tanpa menuduh kepalsuan akta tersebut.
Menurut Subekti dan Tjitrosudibio bahwa kata acta merupakan bentuk jamak kata
Actum yang berasal dari bahasa latin dan memiliki arti sebagai perbuatan.43 Menurut
S. J. Fockema Andreae, dalam buku “Rechts geleerd Handwoorddenboek” Kata akta
berasal dari Bahasa latin “acta” yang memiliki arti geschrift yaitu berarti sebagai
surat.44 Akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR, dan 285 Rbg, yang sama bunyinya
yaitu : “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli
warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di
43 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.9
44 S. J. Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij j. B. Wolter uitgeversmaat schappij, N. V. Gronogen, Jakarta, hal.9
48
dalamnya dan bahkan sebagai peraturan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya
diberitahukan itu berhubungan langsung dengan prihal pada akta itu.45
Akta autentik juga diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi :
“suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat
akta itu dibuat.” Berdasarkan pengertian Pasal 1868 KUHPerdata dapat di simpulkan
bahwa akta autentik harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dan harus
dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pembuktian akta itu dapat dibedakan
menjadi tiga, antara lain :
1. Kekuatan Pembuktian Formil
Pembuktian formil akta berasal dari keterangan-keterangan yang terdapat
dalam akta memang benar adanya. Kekuatan pembuktian formil didasarkan pada
pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu, bahwa ada yang dinyatakan
dalam akta itu sebagaimana yang telah tercantum didalamnya.46 Dalam Akta Relaas
(ambtelijke akten) Pejabat berwenang yang membuat akta menerangkan apa yang
dikonstatir dan ditulis dalam suatu akta, oleh pejabat tersebut merupakan suatu
kepastian untuk siapapun dalam hal tanggal pembuatan, tempat pembuatan dan
keterangan dalam akta tersebut. Sedangkan dalam Akta Pernyataan Keputusan
Rapat (partij akten) menyatakan apapun yang tertulis dan ditandatangani para pihak
45 G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal.42
46 Viktor M. Situmorang, op.cit., hal.111
49
bagi siapapun, sudah pasti sesuai dengan yang tertulis dan ditandatangani oleh para
pihak tersebut.47 Kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak pada
hakikatnya keterangan itu pasti antara kedua belah pihak tersebut, dan akta dibawah
tangan baru memiliki kekuatan pembuktian formil, jika tanda tangan di dalam akta
perjanjian diakui, atau tidak disangkal kebenaranya. Dengan diakuinya keaslian dari
tanda tangan pada akta dibawah tangan tersebut, maka kekuatan pembuktian formal
dari akta di bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta
otentik.
2. Kekuatan pembuktian materiil.
Kekuatan pembuktian materiil dalam akta yaitu pembuktian mengenai
kepastian tentang pristiwa, bahwa pejabat dan para pihak melakukan seperti apa yang
diterangkan dalam akta. Pembuktian materiil ini lebih menyangkut pada pembuktian
materi pada suatu akta.48 Akta yang dibuat pejabat hanya akan membuktikan apa
yang disaksikan, yang didengar dan yang dilihat serta yang dilakukan sendiri oleh
pejabat itu dalam menjalankan jabatanya. Menurut undang-undang, akta yang dibuat
oleh para pihak sebagai bukti yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya dan
pihak ketiga yang memperoleh hak darinya.
47 Ibid., hal. 112
48 Ibid., hal.119
50
3. Kekuatan pembuktian lahiriah.
Kekuatan pembuktian lahiriah adalah suatu surat yang terlihat seperti akta,
harus diperlakukan sebagai akta hingga dibuktikan sebaliknya. Akta otentik memiliki
kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, yaitu
suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhu syarat-syarat
yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta yang otentik, terkecuali
dapat dibuktikan sebaliknya.
Akta dibawah tangan berbeda dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, tanda tangan dari pejabat tersebut merupakan sebagai jaminan otentisitas
dari akta yang dibuatnya, oleh karena itu memiliki pembuktian lahir, sedangkan
perjanjian dibawah tangan baru akan berlaku sah, apabila orang yang menanda
tangani akta itu mengakui kebenaran dari tandatangannya. Apabila tanda tanganya
telah diakui kebenaranya oleh para pihak, barulah perjanjian tersebut berlaku sebagai
alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 1875
KUHPerdata.
Perjanjian kredit yang dilakukan oleh LPD biasanya adalah perjanjian berbentuk
baku, karena ketentuan tersebut telah di tentukan oleh LPD sendiri. Perjanjian
kontrak baku adalah kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak saja dan dalam bentuk
formulir yang berisikan kalusula-klausula yang telah ditentukan oleh pihak LPD, dan
pada umumnya para pihak hanya mengisi data-data informatif saja. Pihak yang
diberikan kontrak baku hanya dalam posisi menerima atau tidak menerima perjanjian
51
tersebut, karena tidak ada kesempatan untuk bernegosiasi. Adapun ciri-ciri dari
kontrak baku menurut sudaryatmo adalah sebagai berikut :49
a. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatif lebih
kuat dari konsumen;
b. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian;
c. Dibuat dalam bentuk tertulis dan massal;
d. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.
Dalam asas kebebasan berkontrak, para pihak dengan leluasa dapat mengatur isi
perjanjian yang mereka inginkan selama tidak bertentangan dengan undang-undang,
kepatutan dan yurisprudensi, dalam kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Memenuhi syarat sebagai kontrak
Suatu kontrak untuk dapat mengikat kedua belah pihak ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi antara lain :
a. Syarat sah umum terdiri dari
1. Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sah umum
2. Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata
b. Syarat sah khusus yang terdiri dari:
1. Untuk kontraktertentu diperlukan syarat akta pejabat tertentu
(bukan dari notaris).
49 Sudaryatmo, 1999, Hukum dan Advokasi Konsumen, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung. hal. 93
52
2. Syarat izin dari yang berwenang.
3. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu.
4. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu.
2. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku.
Dalam Pasal 1339 menentukan bahwa suatu kontrak tidak hanya
mengikat isi dari kontrak tersebut, akan tetapi mengikat dengan hal-hal yang
merupakan suatu kebiasaan.
3. Tidak dilarang oleh undang-undang yaitu tidak bertentangan dengan
ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Sepanjang Kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik. Unsur itikad baik dalam Pasal 1338
KUHPerdata bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak akan tetapi syarat
dalam pelaksanaan suatu kontrak, dengan adanya unsur itikad baik dalam
suatu kontrak maka dapat dikatakan unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
tentang klausa yang legal telah dipenuhi. Dengan demikian suatu kontrak
dapat dikatakan telah dibuat dengan sah yaitu memenuhi syarat sahnya
kontrak sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Jika dalam pembuatan
kontrak telah dibuat dengan itikad baik oleh para pihak akan tetapi dalam
pelaksanaan kontrak tersebut merugikan salah satu pihak yang berkepentingan
maka dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah bertentangan dengan
itikad baik.
53
Seperti halnya dengan perjanjian pinjaman yang bersifat konsensoil,
perjanjian tersebut lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak
yaitu pihak kreditur (LPD) dan debitur (peminjam dana). Dengan adanya kata
sepakat maka perjanjian pinjaman telah mengikat kedua belah pihak, dan
tidak dapat dibatalkan sepihak tanpa adanya persetujuan dari pihak lainya.
Apabila perjanjian pinjaman tersebut dibatalkan atau diputus secara sepihak
maka pihak yang dirugikan dapat menuntut. Debitur yang meminjam uang
pada kreditur memiliki kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tepat
dengan waktunya sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Selain
bersifat konsensoil perjanjian pinjaman juga bersifat riil karena perjanjian
tersebut baru dikatakan mengikat apabila telah dilakukan kesepakatan
kehendak dan telah melakukan penyerahan antara kedua belah pihak yang
membuat perjanjian tersebut.50
Menurut mariam darus badrulsalam mengatakan : “asas konsensoil;
yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata memiliki arti adanya kemauan
untuk saling mengikatkan diri antara para pihak. Kemauan ini membangkitkan
kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu telah dipenuhi”. Asas
kebebasan berkontrak dan asas konsensoil mempunyai hubungan yang erat,
asas kekuatan mengikat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa: “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
50 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Buku Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 33-
34
54
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan kata lain
asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan kebebasan menentukan apa
dan dengan siapa perjanjiantersebut dibuat. Perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hendaknya haruslah sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata agar
memiliki kekuatan mengikat bagi pihak-pihak yang saling berjanji.
2.2.2 Syarat sahnya perjanjian kredit
Suatu perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan
pihak lain berhak menuntut pelaksanaannya. Supaya perjanjian mempunyai kekuatan
hukum, haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yakni;
1. Adanya sepakat dari mereka yang mengikatkan diri.
Kesepakan mereka mengikatkan diri (agreement/consensus) yang
maksudnya adalah penyesuaian kehendak antara pihak-pihak yang berjanji.
Timbulnya kehendak atau keinginan tidak di dasari atas paksaan, kekhilafan,
atau penipuan dari salah satu pihak.
2. Adanya kecakapan untuk membuat perjanjian
Setiap orang cakap dalam membuat suatu perjanjian, kecuali Undang-
Undang menentukan seseorang tersebut tidak cakap dalam membuat
perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata. Orang yang
tidak cakap dalam membuat suatu perjanjian sesuai dengan ketentuan pasal
1330 KUHPerdata adalah :
55
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang perempuan yang sudah kawin.
Mengenai orang perempuan yang sudah kawin sebagai mana berdasarkan
surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1963, telah dicabut dan
dengan sesuai Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan, perempuan yang sudah kawin
berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Dapat diartikann tidak cakap menurut
pasal 1330 KUHPerdata yaitu : Orang yang belum dewasa.
Orang yang belum dewasa dan yang ditaruh dibawah pengampuan apabila
melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka. Menurut ketentuan
Pasal 1330 juncto Pasal 330 KUHPerdata bahwa usia dewasa adalah 21 tahun.
Sebaliknya dalam UU perkawinan, usia dewasa adalah 18 tahun berdasarkan
rumusan Pasal 47 juncto pasal 50 UU Perkawinan yaitu bahwa:
1. Anak yang belum mancapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan dan dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka selama mereka tidak dicabut kekuasaanya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan. Dalam pasal 50 UU Perkawinan menyebutkan bahwa:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, uang tidak ada berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada dibawah kekuasan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
56
3. Adanya suatu hal/obyek tertentu dan
Dalam perjanjian yang akan menjadi objek perjanjian haruslah jelas
atau paling tidak dapat ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya dapat tidak
ditentukan pada waktu dibuatnya perjanjian dengan ketentuan bahwa
mengenai jumlahnya dapat dihitung atau ditentukan pada saat nanti (Pasal
1333 KUHPerdata). Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek
perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban para
pihak.
4. Adanya suatu sebab yang halal.
Dalam membuat perjanjian, isi dari perjanjian tersebut yang
mengambarkan suatu tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak itu. harus
dibenarkan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum
dan kesusilaan.51
Keempat syarat perjanjian diatas, merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, apabila salah satu syarat tersebut tidak
dipenuhi maka perjanjian tersebut dengan sendirinya batal (nietig). Bilamana
kesepakatan terjadi disebabkan karena adanya kesesatan (dwaling), paksaan (dwang)
dan penipuan (bedrog) maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan
(vernieteg verbaar) kepada hakim dan apabila kesepakatan diberikan dengan secara
tidak bebas, sehingg salah satu pihak dianggap tidak cakap untuk melakukan
51 Zul Afdi Ardian dan An Chandrawulan, 1998, Hukum Perdata dan Dagang. CV. Amrico,
Bandung hal.42
57
perbuatan hukum sendiri, maka perjanjian itu adalah cacat dan karenanya dapat
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang telah memberikan kesepakatannya
dengan secara tidak bebas atau oleh orang yang tidak cakap membuat perjanjian
tersebut.
Dari empat syarat perjanjian diatas, dua syarat yang pertama yakni mengenai
sepakat dan kecakapan dari para pihak yang mengadakan perjanjian dinamakan syarat
subyektif, dinamakan demikian karena berhubungan dengan orang-orangnya atau
subyek hukum yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat berikutnya yakni
mengenai hal tertentu dan suatu sebab yang halal dinamakan syarat obyektif, oleh
karena mengenai isi dari perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan para pihak dalam perjanjian.
Unsur subyektif mencakup adanya kesepakatan dari para pihak dan kecakapan
dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. sedangkan unsur objektif meliputi
keberadaan dari objek yang diperjanjikan dan causa dari objek berupa prestasi yang
disepakati untuk dilaksanakan tersebut harus sesuatu yang tidak dilarang oleh
undang-undang.52 Perbedaan unsur-unsur atas syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut
digunakan untuk mengetahui apakah perjanjian tersebut batal demi huklum(vib ab
initio) atau merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalanya (voidable).53
52 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,2003, Seri Hukum Perikatan Yang Lahir Dari
Perjanjian, Cetakan I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 91
53 Hardijan Rusli, 1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal 132
58
Dalam hal unsur subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat
dimohon pembatalannya (voidable). Perjanjian akan sah dan mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim oleh karena adanya permohonan pembatalan oleh para pihak
yang berkepentingan dengan perjanjian tersebut. Dalam hal syarat objektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi
hukum merupakan perjanjian yang dari awal sudah batal, hal ini berarti tidak pernah
ada perjanjian tersebut. Sedangkan perjanjian yang dimohonkan pembatalanya
(voidable) yaitu perjanjian yang dari awal sudah berlaku akan tetapi perjanjian itu
dimohonkan pembatalannya dan apabila tidak dimohonkan pembatalan maka
perjanjian tersebut akan tetap berlaku.
Dari syarat sahnya perjanjian kredit yang telah dikemukakan diatas maka
dapat disimpulkan unsur-unsur dari perjanjian kredit yakni essensialia, unsur
naturalia, dan unsur accidentalia. Unsur essensialia adalah unsur dalam perjanjian
yang harus ada dalam perjanjian, tanpa adanya unsur itu maka suatu perjanjian tidak
akan lahir atau mungkin tidak akan pernah ada. Seperti kecakapan para pihak yang
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. unsur naturalia adalah unsur didalam
perjanjian yang oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat digantikan.
Misalnya pembuatan perjanjian kredit dengan akta notarial tetapi mengunakan akta
dibawah tangan. Sedangkan unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang
ditambahkan oleh para pihak, hal ini tidak diatur oleh Undang-Undang tetapi para
pihak dapat menambahkan dalam perjanjianya contohnya dalam penyelesaian
59
permasalahan yang timbul akibat perjanjian teresbut diselesaikan di pengadilan negeri
tertentu.54
Menurut Gatot Supramono, kredit perbankan dapat dilihat dari beberapa segi
antara lain :55
1. Segi jangka waktu, terdapat tiga jenis kredit yaitu :
a. Kredit jangka pendek (short term loan).
Kredit jangka pendek merupakan kredit yang berjangka lama minimal
satu tahun, bentuknya dapat berupa rekening koran atau kredit modal
kerja.
b. Kredit jangka menengah (medium term loan).
Kredit jangka menengah merupakan kredit yang diberikan bank untuk
jangka waktu antara satu tahun hingga tiga tahun. Bentuknya dapat
berupa kredit investasi jangka menengah.
c. Kredit jangka panjang (long term loan).
Kredit jangka panjang merupakan kredit yang mempunyai jangka
waktu melebihi dari jangka waktu menengah. Biasanya dalam jangka
waktu 5 tahun sampai 10 tahun, berupa kredit investasi untuk
menambah modal perusahaan atau pembangunan.
54 J. Satrio, 2000, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 57
55 Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 154
60
2. Berdasarkan penggunaanya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
a. Kredit modal kerja.
Kredit modal kerja merupakan kredit jangka pendek yang diberikan
untuk membiayai kebutuhan modal kerja dari suatu perusahaan, yang
disediakan dalam bentuk kredit rekening koran.
b. Kredit investasi.
Kredit investasi merupakan kredit jangka menengah dan panjang
dalam rangka membiayai pengadaan aktiva tetap suatuperusahaan
untuk kepentingan penanaman modal yang bersifat ekspansi
modernisasi dan rehabilitasi prusahaan.
c. Kredit konsumsi.
Kredit konsumsi merupakan kredit yang pengembaqlianya tidak
berdasarkan pada barang yang di beli melainkan penghasilan debitor.56
3. Berdasarkan sector perekonomian, dapat digolongkan menjadi enam antara
lain:
a. Kredit pertanian
b. Kredit perindustrian
c. Kredit pertambangan
56 Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, hal.5
61
d. Kredit ekspor import
e. Kredit koprasi
f. Kredit profesi
4. Berdasarkan penarikan dan pelunasan dapat digolongkan menjadi dua antara
lain:
a. Kredit rekening koran yaitu kredit yang dapat ditarik dan dilunasi
setiap saat dan kapan saja, besarnya sesuai dengan kebutuhan. Bunga
dihitung dari penggunaan kredit dan tidak dapat melebihi dari plafond
kredit.
b. Kredit berjangka yaitu kredit yang sekaligus sebesar plafondnya,
pelunasannya dapat dilakukan setelah jangka waktu berakhir dengan
cara mengangsur atau mencicil sesuai dengan kesepakatan.
5. Segi keberadaan benda jaminan.
a. Secured loan, Kredit yang dijamin dengan jaminan yang diikat secara
preferen.
b. Unsecured loan,kredit yang tidak dijamin dengan jaminan yang diikat
secara preferen.
6. Bentuk Kredit.
a. Cash Loan, bentuk kredit dengan berupa uang tunai.
b. Non cash loan, bentuk kredit tidak berupa uang tunai tetapi jaminan.
c. Kombinasi, bentuk kredit berupa cash loan maupun non cash loan.
62
7. Mekanisme penandatanganan perjanjian kredit, dibagi menjadi empat antara
lain:
a. Sindikasi, yaitu pemberian kredit yang dilandasi perjanjian kredit
antara beberapa kreditur dengan satu debitur.
b. Cessie, yaitu pemberian kredit yang berdasarkan pengambilalihan
salah satu piutang ileh debitur baru.
c. Club deal, yaitu perjanjian kredit antara satu atau lebih kreditur
dengan satu debitur, yang dimana masing-masing kreditur dan debitur
menandatangani satu perjanjian kredit.
d. Bilateral, yaitu pemberian kredit yang dilakukan dengan perjanjian
kredit antara satu debitur dengan satu kreditur.
8. Golongan ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua antara lain yaitu:
a. Kredit golongan ekonomi lemah, kredit usaha yang diberikan kepada
usaha kecil.
b. Kredit dengan golongan ekonomi menengah dan konglomerat, kredit
yang diberikan kepada jenis usaha menengah dan usaha besar.
9. Dari segi penerimanya dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Perorangan
b. Korporat
Pemberian fasilitas kredit oleh LPD hendaknya harus dipertimbangkan
terlebih dahulu seluk beluk tentang nasabahnya. Pertimbangan tersebut didasarkan
atas penilaian yang dilakukan oleh LPD agar memperoleh kepercayaan tentang
63
nasabahnya. Penilaian ini penting untuk dilakukan karena pemberian kredit
merupakan salah satu kegiatan usaha yang memiliki tingkat resiko yang sangat tinggi
terhadap kesehatan LPD.
Pihak debitur yang mengajukan kredit kepada LPD, hendaknya menyiapkan
benda yang akan dijadikan jaminan kredit. Selain sebagai pengaman kredit yang akan
diberikan, barang yang akan digunakan sebagai jaminan kredit oleh pihak debitur
akan dapat membantu LPD untuk menentukan besarnya kredit yang akan dikeluarkan
oleh pihak LPD. Jaminan kredit yang disetujui dan diterima oleh LPD selanjutnya
akan mempunyai beberapa fungsi dan salah satunya adalah untuk mengamankan
pelunasan kredit bila pihak nasabah cidera janji. Jaminan kredit mempunyai peranan
penting bagi pengamanan pengembalian dana LPD yang disalurkan kepada pihak
peminjam melalui pemberian kredit.
3.2.3 Asas-Asas Dalam Perjanjian Kredit.
Dalam hukum perjanjian dikenal dengan beberapa asas penting yang
merupakan asas dasar dalam suatu perjanjian. Asas tersebut merupakan dasar
kehendak masing-masing pihak dalam mencapai tujuanya.
a. Asas Obligator
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak baru dalam tahap menimbulkan
hak dan kewajiban saja antara para pihak dan belum memindahkan hak milik.
Hak milik baru akan berpindah setelah dilakukan dengan perjanjian
64
kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui upaya penyerahan benda
(levering)57
b. Asas Konsensualitas
Suatu perjanjian akan dianggap telah terjadi pada saat diperolehnya
kata sepakat antara pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya, sejak saat itu
perjanjian akan dianggap telah mengikat dan memiliki akibat hukum. Dalam
asas konsensoil suatu perjanjian walaupun hanya di buat secara lisan antara
dua orang atau lebih, maka perjanjian itu telah mengikat para pihak dan telah
melahirkan suatu kewajiban bagi salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian
yang telah dibuatnya. Segera setelah para pihak mencapai kesepakatan
(consensus), maka perjanjian yang telah mengikat dan berlaku diantara para
pihak tidak lagi memerlukan formalitas. Untuk menjaga kepentingan pihak
debitur dibuat dalam bentuk-bentuk formal atau dipersyaratkan adanya suatu
tindakan nyata tertentu.
c. Asas kebebasan berkontrak.
Asas kebebasan berkontrak disebut juga asas (freedom of
contrak/laissez faire) yaitu setiap orang memiliki kebebasan untuk membuat
suatu perjanjian baik yang sudah diatur maupun belum diatur oleh undang-
undang, namun kebebasan itu dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
57 Abdul Kadir Muhammad, op.cit., hal..226
65
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa “semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Ketentuan undang-undang dapat tidak diikuti apabila para
pihak mengkehendaki cara-cara tersendiri, tetapi apabila tidak ditentukan lain
maka ketentuan undang-undanglah yang berlaku.
d. Asas personalia
Asas personalia diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang
menyatakan ”pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas
nama sendiri atau meminta ditetapkanya suatu janji selain untuk dirinya
sendiri”. Pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam
kapasitasnya sebagai individu, hanya akan berlaku dan mengikat untuk
dirinya sendiri.58
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ketentuan Pasal 1315
KUHPerdata menunjuk pada asas personalia namun lebih jauh dari itu,
ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata juga menunjuk kewenangan untuk
bertindak dari seseorang yang membuat atau mengadakan suatu perjanjian.
Dengan kapasitas yang didapat dapat dari kewenangan tersebut maka setiap
tindakan, dan perbuatan yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagai
subjek hukum yang mandiri, akan mengikatkan diri pribadi tersebut, dan
58 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja 2009, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia,
Rajawali, Jakarta, hal.15 (selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II)
66
dalam lapangan perikatan , mengikat seluruh harta kekayaan yang dimiliki
olehnya secara pribadi.
2.3 Tanah Sebagai Jaminan Utang
2.3.1 Pengertian Hukum Jaminan.
Mendengar kata Jaminan umumnya selalu dihubungkan dengan pemberian
suatu kredit, dengan kata lain dimana ada kredit disitu pasti ada jaminan. Kredit
biasanya diperoleh dari suatu lembaga keuangan baik bank maupun lembaga
keuangan bukan bank, termasuk lembaga pembiayaan, didalam memberikan kredit
atau pembiayaan umumnya meminta suatu jaminan kepada debitur. Jaminan yang
dimaksud disini bisa jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan.
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu
“Zekerheid” atau “Cautie”. Zekerheid atau Cautie mencakup secara umum
cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya suatu tagihan, disamping pertanggung
jawaban umum debitur terhadap hutang-hutang yang dimilikinya
Dalam perkembangan jaminan sampai saat ini, telah banyak ketentuan hukum
tentang jaminan disahkan menjadi undang-undang. Perkembangan hukum jaminan
dilihat dari zaman kemerdekaan sampai saat ini, dapat dibagi menjadi 2 (dua) era,
yaitu pada masa orde lama dan pada masa orde baru.
Pada era orde lama, ketentuan hukum yang mengatur tentang jaminan adalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria. Hal ini terlihat pada konsideran UUPA yang mencabut berlakunya ketentuan
Buku II KUH Perdata mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di
67
dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik yang masih berlaku sejak
berlakunya Undang-Undang ini.59 Dari bunyi konsideran tersebut, maka pada saat
mulai berlakunya UUPA, ketentuan-ketentuan tentang hipotik masih berlaku. Pada
saat berlakunya UUPA, terjadi dualisme hukum dalam pembebanan jaminan terutama
hak atas tanah dengan benda-benda lainya.
Secara formal pembebanan jaminan hak atas tanah berlaku ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam UUPA, sedangkan secara materiil yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban para pihak berlaku ketentuan yang terdapat dalam Buku II
KUHPerdata dan Crediet Verband. Semenjak diundangkannya Undang-Undang No.
4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan, maka dualisme dalam pembebanan hak atas
tanah tidak berlaku lagi, karena secara formal dan materiil berlaku ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Pada era orde baru diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang jaminan fidusia . Undang-undang tersebut mengatur tentang benda bergerak
dan benda tidak bergerak, khususnya rumah-rumah susun Walaupun sudah banyak
pemerintah menetapkan Undang-Undang yang berkaitan dengan jaminan, namun
ketentuan-ketentuan hukum yang tercantum dalam Buku II KUHPerdata masih
berlaku yang berkaitan dengan gadai (pand) dan hipotik, terutama yang berkaitan
dengan pembebanan atas hipotek kapal laut yang beratnya 20 m3 dan pesawat udara.
59 Salim, HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 2
68
Hukum jaminan di Indonesia ruang lingkupnya mencakup berbagai ketentuan
peraturan perundang-undangan, yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
penjaminan hutang yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Hukum jaminan
dalam ketentuan KUH Perdata terdapat pada Buku II yang mengatur tentang prinsip-
prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan (gadai dan hipotik), dan pada
buku ini yang mengatur tentang penanggungan hutang.60
Dari apa yang dipaparkan di atas ini, hukum jaminan seolah-olah hanya
difokuskan pada pengaturan hak-hak kreditur saja, dan tidak memperhatikan hak-hak
debitur. Padahal subyek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditur saja,
akan tetapi erat kaitannya dengan debitur juga. Karena yang menjadi obyek kajian
hukum jaminan adalah benda jaminan dari debitur. Menurut J. Satrio mengartikan
hukum jaminan sebagai peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang
seorang kreditur terhadap debitur.61 Selanjutnya menurut H. Salim hukum jaminan
adalah merupakan "keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan
jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit".62
60 M. Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Raja
Grafindo, Jakarta, hal. 9.
61 J. Satrio, op.cit., hal. 3
62 Salim, HS, op.cit., hal. 6.
69
Dari apa yang disebutkan sebagai hukum jaminan itu, maka di dalamnya
tercantum unsur-unsur hukum jaminan yaitu:63
1. Adanya kaidah hukum dalam bidang jaminan yaitu:
a. Kaidah hukum jaminan tertulis, adalah kaidah-kaidah hukum yang
terdapat dalam peraturan perundangundangan, traktat dan
yurisprudensi.
b. Kaidah hukum jaminan tidak tertulis, adalah kaidah-kaidah hukum
jaminan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Hal
ini terlihat pada gadai tanah dalam masyarakat yang dilakukan secara
lisan.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan, yang dimaksud pemberi jaminan
adalah orang atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada
penerima jaminan, yang membutuhkan fasilitas kredit yang lazim disebut
debitur. Sedangkan yang dimaksud penerima jaminan adalah orang atau badan
hukum yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Badan hukum
sebagai penerima jaminan adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit,
dapat berupa lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan non bank
3. Adanya fasilitas kredit, dalam pembebanan jaminan yang dilakukan oleh
pemberi jaminan bertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau
lembaga keuangan non bank. Pemberian kredit merapakan pemberian uang
63 Ibid., hal. 7-8
70
berdasarkan kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank
percaya bahwa debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan
bunganya. Begitu juga debitur percaya bahwa bank atau lembaga keuangan
non bank dapat memberikan kredit kepadanya.
4. Adanya jaminan, pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepada kreditur
adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan
yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan jaminan non kebendaan.
Peran Hukum jaminan di Indonesia sangatlah besar terkait dengan kegiatan
pinjam meminjam uang. Berbagai lembaga keuangan sangat berperan dalam
membantu pemenuhan kebutuhan dana bagi kegiatan perekonomian dengan memberi
pinjaman uang baik dalam bentuk kredit maupun gadai. Peran ini sangat bermanfaat
bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya.
Dalam kegiatan pinjam-meminjam uang pada umumnya dipersyaratkan
adanya penyerahan jaminan oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi jaminan.
Jaminan ini dapat berupa barang (benda), dapat berupa jaminan perorangan. Dalam
jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan,
sedangkan jaminan perorangan berupa janji penanggungan hutang.64
64 M.Bahsan,. op.cit., hal. 2.
71
2.3.2 Subyek dan Objek Jaminan.
a. Subyek Jaminan
Salah satu prinsip yang dipegang oleh lembaga keuangan bank atau lembaga
keuangan bukan bank dan lembaga pembiayaan yang memberikan kredit adalah
mensyaratkan adanya suatu jaminan yang harus diserahkan oleh debitur. Jaminan
yang dimaksud dalam hal ini adalah baik jaminan kebendaan dan jaminan
perorangan.65
Dalam suatu jaminan yang menjadi subyek dari jaminan adalah perseorangan
dan objek dari jaminan tersebut adalah benda yaitu benda yang bergerak maupun
benda tidak bergerak. Menurut jenisnya jaminan dibagi atas 2 (dua) golongan, yaitu
jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan (zakelijke
zekerheid /security right in rem) adalah jaminan berupa harta benda dengan cara
pemisahan bagian dari harta kekayaan, baik dari debitur maupun pihak ketiga, guna
menjamin pemenuhan kewajiban debitur yang bersangkutan dari cidera janji.
Jaminan kebendaan- kebendaan ini menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu :66
1. jaminan dengan benda berwujud, berupa benda bergerak dan benda tidak
bergerak dan ;
2. jaminan dengan benda tidak berwujud yang dapat berupa hak tagih.
65 Y. Sogar Simamora, 2000, Tanggung Gugat Penanggung Dalam Lembaga Personal
Guarantiee dan Corporate Guarantiee, Karya Abditama, Surabaya, hal. 67
66 Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan. Laks Bang Pressindo, Yogyakarta. hal. 34
72
Sedangkan yang dimaksud jaminan perorangan (Borgtoch/Personal
guarantiee) adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh
seorang pihak ketiga untuk menjamin pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur,
apabila debitur yang bersangkutan wanprestasi.
Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang diatur
dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Pada perkembangannya,
jaminan perorangan juga dipraktekkan oleh perusahaa yang menjamin utang
perusahaan lainnya. Lembaga keuangan dalam hal ini sering menerima jaminan
serupa, yang sering disebut corporate guarantee.67 Perbedaan antara jaminan
kebendaan dan jaminan perorangan adalah :
1) Jaminan perorangan terdapat pihak ketiga yang menyanggupi untuk
memenuhi perikatan debitur bila debitur melakukan wanprestasi.
2) Dalam jaminan kebendaan harta kekayaan debitur sajalah yang dapat
dijadikan jaminan bagi pelunasan kredit apabila debitur wanprestasi.
Fungsi dari jaminan sebagaimana telah dikemukakan bahwa, lembaga
keuangan yang memberi fasilitas kredit kepada debitur. Pihak kreditur wajib
meminta jaminan sebagai pengamanan, agar kredit tersebut dapat dilunasi oleh
debitur yang bersangkutan. Selain itu juga jaminan berfungsi sebagai pendorong
motivasi debitur, tentunya debitur juga takut kehilangan hartanya yang menjadi
jaminan. Hal ini otomatis akan mendorong debitur berupaya untuk melunasi
67 Ibid., hal. 33
73
kreditnya, agar harta yang dijadikan jaminan tersebut tidak hilang karena harus
dieksekusi oleh kreditur.68 Namun selain itu fungsi jaminan juga untuk melindungi
kepentingan kreditur agar dia mendapat hak preferen dalam pengembalian utang dan
sebagai alat bukti yang sah, maka terhadap jaminan yang diberikan debitur haruslah
dilakukan pengikatan atau pembebanan hak.
b. Objek jaminan.
Obyek jaminan hutang yang lazim digunakan dalam suatu perjanjian hutang
piutang adalah benda bergerak, benda tidak bergerak dan jaminan perorangan. Benda
bergerak biasanya berbentuk barang, perhiasan, surat berharga, kendaraan bermotor,
dan benda tidak bergerak biasanya berupa tanah, rumah, gedung kantor dan jaminan
perseorangan biasanya berupa jaminan pribadi dan jaminan perusahaan. Namun
lazimnya jaminan yang digunakan pada umumnya biasanya berupa benda yang
dimiliki oleh calon debitur.
Benda atau barang yang dijadikan objek jaminan hutang, akan dapat
diketahui apakah benda tersebut milik si debitur atau pihak lain, dengan cara melihat
bukti kepemilikanya. Apabila benda atau barang yang dijadikan sebagai obyek
jaminan hutang bukan milik debitur, dan jaminan tersebut milik pihak lain maka
Lembaga keuangan yang mengeluarkan kredit perlu meneliti keabsahan pengunaanya
sebagai jaminan kredit oleh pihak lain sebagai pemohon kredit.
68 M. Bahsan, loc.cit., hal 104
74
Sebelum menetapkan suatu benda sebagai obyek jaminan, haruslah dilakukan
penilaian terhadap kelayakan sebagai obyek jaminan. Perlu diperhatikan beberapa
aspek yang penting tentang obyek jaminan tersebut, apakah jaminan tersebut
mempunyai nilai atau harga secara ekonomis. Bila dijadikan jaminan Hutang.
Penelitian tersebut dapat dilakukan dengan cara :69
1) Jenis dan bentuk jaminan , apakah merupakan barang yang bergerak dan apa
jenisnya, barang tidak bergerak dan apa jenisnya, penanggungan hutang dan
apa jenisnya, karena menurut jenisnya mempunyai nilai ekonomis yang
berbeda
2) Kondisi obyek jaminan, akan sangat berpengaruh terhadap nilai ekonomisnya,
karena kondisi obyek jaminan sering berkaitan dengan keadaan fisiknya,
persyaratan teknisnya dan kelengkapan lainnya, yang terkait dengan
kesempurnaanya yang berpengaruh terhadap pemanfaatanya.
3) Kemudahan pengalihan kepemilikan obyek jaminan, hal ini sangat
berpengaruh pada suatu obyek jaminan yang mudah dapat dialihkan atau
dipindahtangankan kepada pihak lain akan mempunyai nilai ekonomi yang
relatif baik. Dan obyek yang bermasalah akan sulit untuk di alihkan dan
mempengaruhi nilai ekonominya.
4) Tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran, suatu barang yang dijadikan
sebagai obyek jaminan. tingkat harga tidak hanya didasarkan kepada
69 Ibid., hal 124-126
75
permintaan dan penawaran, tetapi juga kepada kestabilan dan prospek
perkembangan harganya, tingkat harga ini merujuk kepada harga pasar yang
berlaku.
5) Penggunaan obyek jaminan, dapat mempengaruhi tingkat harga atau nilai
ekonominya dari pemanfaatan obyek jaminan tersebut.
Adapun ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hukum jaminan di
Indonesia, antara lain terdapat dalam KUHPerdata , KUH Dagang yang mengatur
mengenai penjaminan hutang. Di samping itu terdapat Undang-Undang tersendiri
yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkatian dengan tanah dan Undang-Undang No. 42 tahun 1999
tentang jaminan fidusia, yang masing-masing mengatur tentang lembaga jaminan
dalam rangka penjaminan hutang.
2.3.3 Hak Atas Tanah Sebagai Jaminan.
Tanah merupakan suatu harta yang berharga bagi setiap orang saat ini, karena
tanah memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. orang-orang rela melakukan apa
saja demi mendapatkan sebidang tanah yang diinginkan baik itu dengan cara
menabung atau dengan cara meminjam uang pada bank maupun lembaga keuangan,
untuk dapat memperoleh uang dan membeli tanah tersebut. Selain itu tanah juga
sering dijadikan sebagai jaminan dalam peminjaman sejumlah uang yang biasanya
uang tersebut digunakan untuk keperluan ekonominya. Menurut Paul Stepen Latimer
tanah adalah : in everyday language “land” means the solid parts of the earth’s
surface and includes houses, farms, and bush. Land is permanent and it cannot be
76
hidden or moved. It can be improved or degraded but I cannot be destroyed. Land is
the opposite of sea, water, and air.70 Dapat diterjemahkan dalam sehari-hari tanah
merupakan bagian padat dari bumi dan termasuk rumah, peternakan dan semak-
semak. Tanah adalah permanen dan tidak dapat disembunyikan atau
dipindahtangankan. Tanah dapat ditingkatkan atau diturunkan tetapi tidak dapat
dihancurkan. Tanah adalah kebalikan dari, laut, air, dan udara.
Berdasarkan UUPA tanah yang dikuasai oleh perseorangan maupun badan
hukum haruslah memiliki sertipikat hak milik, sertipikat itu merupakan bukti otentik
yang menyatakan suatu bukti kepemilikan atas sebidang tanah, sesuai dengan
keterangan yang tercantum dalam sertipikat. Dalam UUPA disebut juga hak milik
merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki dengan
mengikat fungsi sosial yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain
berdasarkan ketentuan pasal 20 UUPA “hak milik adalah hak turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan
Pasal 6 UUPA. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain” adapun
jenis jenis hak milik sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UUPA adalah :
a) Hak milik. b) Hak guna usaha. c) Hak guna bangunan. d) Hak pakai e) Hak sewa f) Hak membuka tanah. g) Hak memungut hasil hutan
70 Paul Stepen Latimer, 2001, Australian Bussiness Law, CHH Australia Limited, hal.70
77
h) Hak-hak yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Dari ketentuan diatas, hak yang dapat dijadikan sebagai jaminan adalah, hak
milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan sesuai dengan Pasal 4 UUHT. Dengan
demikian, pada dasarnya yang dijadikan jaminan bukanlah fisik dan objek dari benda
tersebut melainkan hak atas penguasaan benda yang dijadikan jaminan.
Hak atas tanah yang dapat dinilai dengan uang dan mempunyai nilai ekonomis
serta dapat diperalihkan. Untuk menjamin pelunasan dari debitur maka hak atas tanah
itulah yang digunakan sebagai jaminan. Sebagai jaminan kredit tanah mempunyai
kelebihan antara lain adalah harganya yang tidak pernah turun.
2.4 Bentuk Bentuk Akta Jaminan dan Eksekusi jaminan
2.4.1 Tugas dan Wewenang Notaris.
Dalam menjalankan tugasnya notaris sebagai pejabat umum memiliki
kewenangan atau kekuasaan umum yang pada hakekatnya merupakan sifat dari
fungsi publik yang ada pada penguasa yang mengikat masyarakat umum. Dengan
demikian dapat dikatakan tugas notaris adalah menjalankan pelayanan umum
dibidang pembuatan akta dan tugas lain yang dibebankan kepadanya sebagai pejabat
umum dalam ruang lingkup keperdataan.
Berdasarkan prinsip tersebut dapat disimpulakan bahwa notaris merupakan
jabatan kepercayaan yang berasal dari penguasa dan dari masyarakat yang
dilayaninya. Notaris akan menjalankan jabatannya sesuai ketentuan yang berlaku dan
masyarakat juga mempercayakan segala sesuatunya kepada notaris untuk dituangkan
78
kedalam akta-akta dan notaris tidak akan melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari suatu jabatan kepercayaan, maka diperlukan adanya
pengawasan terhadap notaris agar dalam pelaksanaan tugasnya berjalan sesuai dengan
hukum yang berlaku dan terhindar dari penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan
kepadanya. Pengawasan tersebut bertujuan agar segala hak, kewenangan, dan
kewajiban yang melekat pada notaris dijalankan menurut undang-undang.
Pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris dengan
mendasarkan pada UUJN dan Kode Etik Notaris.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disebut UUJN), menyatakan bahwa : “Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”.
Kewenangan Notaris yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 tersebut
diuraikan secara jelas dalam Pasal 15 UUJN, yang menyebutkan bahwa :
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
79
c. membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang.
3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain miliki kewenangan seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 15 UUJN
tersebut, seorang Notaris dalam melaksanakan tugas memiliki kewajiban untuk
mempertanggung jawabkan setiap tindakan maupun perbuatan yang dilakukannya.
Hal tersebut harus dilaksanakan untuk menjaga nama baik dan juga menjaga
kehormatan dari profesi sebagai notaris. Berdasarkan hal-hal tersebut maka
kewajiban dari seorang Notaris telah diatur dalam Pasal 16 UUJN yang menyatakan
bahwa :
1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban : a. bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris; c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta; d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta; e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan,kecuali undang-undang menentukan lain;
g. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (limapuluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi
80
lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, Bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
h. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
i. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
j. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
k. mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
l. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi,dan notaris;
n. menerima magang calon Notaris; 2. Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat(1)
huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan akta in originali. 3. Akta originali sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2) meliputi :
a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b. Akta penawaran pembayaran tunai; c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat
berharga; d. Akta kuasa; e. Akta keterangan kepemilikan; atau f. Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
4. Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap kata tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”.
5. Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan peraturan Menteri.
7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tesebut dinyatakan dalam penutup akta serta dalam setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
81
8. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap pembacaan kepala akta, komparasi, penjelasan pokok akta secara singkat dan jelas, serta penutup akta.
9. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak terpenuhi, maka akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
10. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.
11. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurf a sampai dengan huruf l dapat dikenakan sanksi berupa: a. Peringatan tertulis b. Pemberhentian sementara c. Pemberhentian dengan terhormat d. Pemberhentian dengan tidak terhormat
12. Selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud ayat (11), pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
13. Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf n dapat dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis. Berdasarkan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Pasal 16 UUJN di
atas, dapat dilihat bahwa dasar dari pelaksanaan jabatan notaris tidak terlepas dengan
ketentuan dasar dalam pasal tersebut. Apabila salah satu dari ketentuan pasal tersebut
dilanggar atau tidak diterapkan dalam pelaksanaan jabatannya, maka dapat disebut
sebagai salah satu pelanggaran yang dapat menyebabkan akta otentik produk hukum
dari seorang Notaris kehilangan otentitasnya sebagai akta otentik serta notaris dapat
dikenakan sanksi terhadap apa yang dibuatnya sebagai salah satu implikasi dari
adanya suatu pelanggaran.
Berdasarkan ketentuan diatas dapat dilihat bahwa seorang Notaris adalah
pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik. Mengenai
semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
82
umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta
otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse, atau salinan nya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan
umum dan tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.71
Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran
merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidak
jujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan masyarakat.72
2.4.2 Pengertian dan dasar Hukum Eksekusi
Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van ge wijsde) yang dijalankan secara
paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan
acara putusan pengadilan. Eksekusi dalam Bahasa belanda disebut uitvoering, dan
dalam Bahasa inggris adalah executie. Menurut M. Yahya harahap eksekusi adalah
merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah
dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.73 Sedangkan
menurut sudikno, eksekusi adalah pelaksanaan dari kewajiban pihak yang
bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.
71 G.H.S. Lumbun Tobing, op.cit., hal.32.
72 Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta, hal. 41.
73 M. Yahya Harahap, 1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet.3, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 1
83
Eksekusi sama dengan menjalankan isi putusan, istilah putusan memiliki arti
melaksanakan keputusan pengadilan, yaitu tindakan paksa dengan kekuatan umum
yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan
keputusan yang telah memiliki kekuatan tetap. Pengadilan tidak cukup hanya
menjatuhkan putusan, melainkan putusan itu harus dapat dijalankan sehingga
tercapailah realisasi prestasi sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam
putusan.74
Keputusan yang sudah memiliki kekuatan tetap, yaitu keputusan yang tidak bisa
dilawan lagi dengan upaya hukum banding maupun kasasi.75 Begitu juga dalam
pelaksanaanya harus menunggu sampai semua putusan memiliki hukum yang pasti,
meskipun salah satu pihak tidak melakukan banding ataupun kasasi. Selain keputusan
hakim, akta notarial memiliki pengertian yang sama dengan eksekusi, dalam
pengertian putusan hakim memiliki kekuatan sama dengan akta tersebut, dengan
adanya irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”
Pelaksanaan eksekusi diatur dalam HIR dan RBG, tata cara pelaksanaan
eksekusi harus sesuai dengan undang-undang. Eksekusi diatur dalam Pasal 195
sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR, atau Pasal 206 sampai Pasal 258 HIR, selain
pasal-pasal tersebut terdapat juga pasal lainya yang mengatur tentang putusan yaitu
74 Djamanat Simosir, 2011, Hukum Acara Perdata Tahap Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, Nuansa Aulia, Bandung hal. 325
75 R. Soeroso, 1994, Praktek Hukum Acara Perdata Tatacara Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 133
84
Pasal 225 HIR atau Pasal 259 HIR yang memiliki ketentuan pengadilan menghukum
tergugat untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Pasal 180 HIR atau Pasal 1919
HIR mengatur mengenai pelaksanaan putusan secara serta merta, meskipun putusan
tersebut belum memiliki kekuatan hukum yang tetap.
2.4.3 Pengertian dasar Hak Tanggungan.
Akta pemberian hak tanggungan yang disingkat APHT merupakan akta
produk buatan PPAT yaitu pejabat pembuat akta tanah. Pengertian APHT menurut
UUHT pasal 1 ayat 1 adalah: " Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak
jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain." berdasarkan
ketentuan tersebut PPAT sebagai pejabat umum yang diberigan tugas/wewenang
untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pemberian hak tanggungan dan
akta kuasa membebankan hak tanggungan.
Adapun pengertian APHT menurut ketentuan Pasal 14 UUHT adalah:
1) Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan menerbitkan sertipikat hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Sertipikat hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
3) Sertipikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetapdan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypoteeksepanjang mengenai ha katas tanah
85
4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
5) Sertifikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan. Menurut Salim H.S dalam bukunya yang mengartikan hak tanggungan
sebagai penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat
sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara
fisik dan digunakan sepenuhnya, akan tetapi untuk menjualnya jika debitur cidera
janji dan mengambil dari hasil seluruhnya atau sebagai pelunasan hutang
debiturnya.76 Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian dan pendaftaran hak
tanggungan diatur dalam bab IV UUHT dengan sub yang mengatur mengenai cara
pemberian, pendaftaran, peralihan dan hapusnya hak tanggungan.
Tata cara pemberian hak tanggungan diatur dalam Pasal 10 UUHT dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
76 Salim HS, 2011, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta,
hal.97 (Selanjutnya disebut Salim HS II)
86
Ciri-ciri hak tanggungan adalah memberikan kepastian pada pihak-pihak yang
terkait dalam suatu perjanjian kredit, khususnya bagi bank dan lembaga keuangan
non bank yangmengelola dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut dalam
bentuk kredit. Dengan demikian memberikan suatu kepastian hukum kepada kreditur
karena hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutama dibanding pihak lain.
Kehadiran lembaga hak tanggungan ini dimaksud sebagai pengganti hipotik
sebagaimana diatur dalam buku II KUHPerdata. Menurut H.L.A Hart “the most
prominentgeneral feature of the law at all time and places is that its existence means
that certain kinddy of human conduct are no longger option, but in some sense
obligatory”. (sifat mengatur hukum yang harus dipatuhi menyebabkan tuntutan
berprilaku manusia pada situasi tertentu bukan lagi merupakan pilihan melainkan
menjadi suatu keharusan).77
APHT mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian hak
tanggungan dari kreditor kepada debitor sehubungan hutang yang dijaminkan dengan
hak tanggungan. Pasal 1 angka 5 UUHT mendifinisikan bahwa APHT adalah akta
PPAT yang berisi pemberian hak tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai
jaminan untuk melunasi utangnya. Pemberian hak ini dimaksud untuk memberi
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur yang bersangkutan (kreditor preferent)
dari pada kreditor-kreditor lainya (kreditor konkuren). Pembebanan hak tanggungan
wajib memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam UUHT antara lain :
77 H.L.A Hart, 1972, The Concept of law, Claredon Press Oxford, hal. 6
87
a. Pasal 10 ayat (1) UUHT, pemberian hak tanggungan harus didahului dengan
janji untuk memberi hak tanggungan. Sebagai penjaminan atas pelunasan
utang tertentu yang dituangkan dalam perjanjian dan merupakan bagian tak
terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian
lain yang menimbulkan utang itu.
b. Pasal 11 ayat 1 UUHT mencantumkan bahwa dalam APHT wajib
mencantumkan:
h. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; i. domisili pihak-pihak apabila di antara mereka ada yang berdomisili di
luar Indonesia, baginya harus dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan jika tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih;
j. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin k. nilai tanggungan; l. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Dalam pemasangan hak tanggungan ada beberapa hal yang sangat penting dan
harus dicermati dalam proses pemberian hak tanggungan diantaranya adalah subyek
hak tanggungan, obyek hak tanggungan, pemberian hak tanggungan, surat nkuasa
membebankan hak tanggungan , hapusnya hak tanggungan dan eksekusi hak
tanggungan.