Post on 04-Dec-2020
1
BAB II
TINJAUAN UMUM RETRIBUSI JASA PARKIR
DI KOTA PEKANBARU
A. Tinjauan Umum Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia
Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dapat dirunut
dari alinea ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sedangkan, alinea keempat memuat pernyataan bahwa setelah
menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah Pemerintah Negara
Indonesia yaitu pemerintah nasional yang bertanggung jawab mengatur dan
mengurus bangsa Indonesia. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah
Negara Indonesia adalah melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.27
Selanjutnya, Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan adalah
dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk
pertama kalinya dan kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian
membentuk daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian,
Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa pemerintahan daerah berwenang untuk mengatur
25 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), Hal. 51.
27
2
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan, dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.28
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui
otonomi luas dalam lingkungan strategis globalisasi, daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.29
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada daerah dilaksanakan
berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya
ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada
kedaulatan pada daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan
kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan
tetap ada di tangan Pemerintah Pusat. Untuk itu, pemerintahan daerah pada negara
kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Sejalan dengan
itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian
integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana
memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk
mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan
mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.30
Daerah sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai otonomi berwenang mengatur dan
26 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012), Hal. 52. 29
Ibid., Hal. 53. 30
Ibid., Hal. 55.
3
mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang
tidak bertentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan umum.
Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada daerah untuk mengatur
dan mengurus kehidupan warganya, maka Pemerintah Pusat dalam membentuk
kebijakan harus memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya daerah ketika
membentuk kebijakan daerah, baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun
kebijakan lainnya hendaknya juga memperhatikan kepentingan nasional. Dengan
demikian, akan tercipta keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis
dan tetap memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.31
Pada hakikatnya, otonomi daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan dibantu oleh perangkat
daerah. Urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada di tangan Presiden. Konsekuensi dari negara kesatuan
adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada di tangan Presiden. Agar
pelaksanaan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjalan sesuai
dengan kebijakan nasional, maka Presiden berkewajiban untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.32
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dibantu oleh
Menteri Negara dan setiap Menteri bertanggung jawab atas urusan pemerintahan
31 M. Busrizalti, Hukum Pemda; Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total
Media, 2013), Hal. 28. 32
Ibid., Hal. 29.
4
tertentu dalam pemerintahan. Sebagian urusan pemerintahan yang menjadi
tanggung jawab Menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke daerah.
Konsekuensi Menteri sebagai pembantu Presiden adalah kewajiban Menteri atas
nama Presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar
penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
berkewajiban membuat Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk
dijadikan pedoman bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang diserahkan ke daerah dan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
Presiden melimpahkan kewenangan kepada Menteri sebagai koordinator
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan dan pengawasan
yang bersifat teknis, sedangkan kementerian melaksanakan pembinaan dan
pengawasan yang bersifat umum. Mekanisme tersebut diharapkan mampu
menciptakan harmonisasi antarkementerian/lembaga pemerintah nonkementerian
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
daerah secara keseluruhan.33
Berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan di pusat yang terdiri atas
lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilaksanakan oleh DPRD dan Kepala Daerah. DPRD dan Kepala Daerah
33 M. Busrizalti, Hukum Pemda; Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total
Media, 2013), Hal. 30.
5
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang diberi
mandat oleh rakyat untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah. Dengan demikian, maka DPRD dan Kepala Daerah berkedudukan
sebagai mitra sejajar yang mempunyai fungsi yang berbeda. DPRD mempunyai
fungsi pembentukan Peraturan Daerah, anggaran, dan pengawasan, sedangkan
Kepala Daerah melaksanakan fungsi pelaksanaan atas Peraturan Daerah dan
kebijakan daerah. Dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, DPRD dan Kepala Daerah dibantu oleh
perangkat daerah.34
Sebagai konsekuensi posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah, maka susunan, kedudukan, peran, hak, kewajiban, tugas,
wewenang, dan fungsi DPRD tidak diatur dalam beberapa undang-undang, namun
cukup diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah secara keseluruhan guna memudahkan
pengaturannya secara terintegrasi.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah Urusan Pemerintahan
Absolut dan ada Urusan Pemerintahan Konkuren. Urusan Pemerintahan Konkuren
terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota.
Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang
terkait pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait
34 M. Busrizalti, Hukum Pemda; Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total
Media, 2013), Hal. 33.
6
pelayanan dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar
ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak
konstitusional masyarakat.35
Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara daerah provinsi
dengan daerah kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahan sama,
perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan
tersebut. Walaupun daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota mempunyai urusan
pemerintahan masing-masing yang sifatnya tidak hierarki, namun tetap akan
terdapat hubungan antara Pemerintah Pusat, daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dengan mengacu pada NSPK yang dibuat
oleh Pemerintah Pusat.36
Di samping Urusan Pemerintahan Absolut dan Urusan Pemerintahan
Konkuren, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dikenal adanya Urusan Pemerintahan Umum.
Urusan Pemerintahan Umum menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala
pemerintahan yang terkait pemeliharaan ideologi Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, menjamin
hubungan yang serasi berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sebagai
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, serta memfasilitasi kehidupan
demokratis. Presiden dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan Umum di daerah
melimpahkan kepada Gubernur sebagai kepala pemerintahan provinsi dan kepada
Bupati/Walikota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota.37
35
Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Total Media,
2008), Hal. 46. 36
Ibid., Hal. 47. 37
Ibid., Hal. 48.
7
Mengingat kondisi geografis yang sangat luas, maka untuk efektifitas dan
efisiensi pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota, Presiden sebagai penanggung
jawab akhir pemerintahan secara keseluruhan melimpahkan kewenangannya
kepada Gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan kepada daerah kabupaten/kota agar melaksanakan
otonominya dalam koridor NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Untuk
efektifitas pelaksanaan tugasnya selaku wakil Pemerintah Pusat, Gubernur dibantu
oleh perangkat Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Karena perannya
sebagai wakil Pemerintah Pusat, maka hubungan Gubernur dengan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota bersifat hierarkis.38
Salah satu aspek dalam penataan daerah adalah pembentukan daerah
baru. Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat
disamping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu, maka
pembentukan daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti
kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan
pertimbangan dari aspek sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan,
serta pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat
menyelenggarakan dan mewujudkan tujuan dibentuknya daerah.39
Pembentukan daerah didahului dengan masa persiapan selama 3 (tiga)
tahun dengan tujuan untuk penyiapan daerah tersebut menjadi daerah. Apabila
setelah tiga tahun hasil evaluasi menunjukkan daerah persiapan tersebut tidak
38Ibid., Hal. 50.
39 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Alumni, 2008), Hal. 113.
8
memenuhi syarat untuk menjadi daerah, statusnya dikembalikan ke daerah
induknya. Apabila daerah persiapan setelah melalui masa pembinaan selama tiga
tahun memenuhi syarat untuk menjadi daerah, maka daerah persiapan tersebut
dibentuk melalui undang-undang menjadi daerah.40
Setiap daerah sesuai karakter daerahnya akan mempunyai prioritas yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam upaya menyejahterakan
masyarakat. Ini merupakan pendekatan yang bersifat asimetris, artinya walaupun
daerah sama-sama diberikan otonomi yang seluas-luasnya, namun prioritas urusan
pemerintahan yang dikerjakan akan berbeda satu daerah dengan daerah lainnya.
Konsekuensi logis dari pendekatan asimetris tersebut maka daerah akan
mempunyai prioritas urusan pemerintahan dan kelembagaan yang berbeda satu
dengan lainnya sesuai dengan karakter daerah dan kebutuhan masyarakatnya.41
Besaran organisasi perangkat daerah, baik untuk mengakomodasikan
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, paling sedikit
mempertimbangkan faktor jumlah penduduk, luasan wilayah, beban kerja, dan
kemampuan keuangan daerah. Untuk mengakomodasi variasi beban kerja setiap
urusan pemerintahan yang berbeda-beda pada setiap daerah, maka besaran
organisasi perangkat daerah juga tidak sama antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Dari argumen tersebut dibentuk tipelogi dinas atau badan daerah sesuai
dengan besarannya agar terbentuk perangkat daerah yang efektif dan efisien.42
Untuk menciptakan sinergi dalam pengembangan potensi unggulan
antara organisasi perangkat daerah dengan kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian di pusat, diperlukan adanya pemetaan dari kementerian/lembaga
40 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Alumni, 2008), Hal. 114.
41 Ibid., Hal. 115.
42 Ibid., Hal. 117.
9
pemerintah nonkementerian di pusat untuk mengetahui daerah-daerah yang
mempunyai potensi unggulan atau prioritas sesuai dengan bidang tugas
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang kewenangannya
didesentralisasikan ke daerah. Dari hasil pemetaan tersebut kementerian/lembaga
pemerintah nonkementerian akan mengetahui daerah-daerah mana saja yang
mempunyai potensi unggulan yang sesuai dengan bidang tugas
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang bersangkutan. Daerah
tersebut yang kemudian akan menjadi stakeholder utama dari
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.43
Penyerahan sumber keuangan daerah, baik berupa pajak daerah dan
retribusi daerah maupun berupa dana perimbangan, merupakan konsekuensi dari
adanya penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah yang diselenggarakan
berdasarkan asas otonomi. Untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, daerah harus mempunyai sumber keuangan agar daerah tersebut
mampu memberikan pelayanan dan kesejahteraan kepada rakyat di daerahnya.
Pemberian sumber keuangan kepada daerah harus seimbang dengan beban atau
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Keseimbangan sumber
keuangan ini merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Ketika daerah mempunyai kemampuan keuangan yang
kurang mencukupi untuk membiayai urusan pemerintahan dan khususnya Urusan
Pemerintahan Wajib yang terkait pelayanan dasar, Pemerintah Pusat dapat
menggunakan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membantu daerah
sesuai dengan prioritas nasional yang ingin dicapai.
43 Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Total Media,
2008), Hal. 63.
10
Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah, Kepala Daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah
membuat Peraturan Daerah sebagai dasar hukum bagi daerah dalam
menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat
serta kekhasan dari daerah tersebut. Peraturan Daerah yang dibuat oleh daerah
hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi daerah yang bersangkutan. Walaupun
demikian, Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh daerah tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Di samping itu, Peraturan
Daerah sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah
penyusunan Peraturan Daerah.44
Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan
Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab
akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi
logisnya kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah ada di tangan
Presiden. Adalah tidak efisien apabila Presiden yang langsung membatalkan
Peraturan Daerah. Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan Peraturan
Daerah Provinsi kepada Menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggung
jawab atas otonomi daerah. Sedangkan, untuk pembatalan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota, Presiden melimpahkan kewenangannya kepada Gubernur selaku
wakil Pemerintah Pusat di daerah.45
44
Siswanto Sunarno, Hukum… Op. Cit., Hal. 140. 45
Ibid., Hal. 141.
11
Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam pembatalan
Peraturan Daerah, maka Pemerintah Daerah Provinsi dapat mengajukan keberatan
pembatalan Peraturan Daerah Provinsi yang dilakukan oleh Menteri kepada
Presiden. Sedangkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengajukan
keberatan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dilakukan
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada Menteri. Dari sisi
penyelenggaraan pemerintahan daerah, keputusan yang diambil oleh Presiden dan
Menteri bersifat final.46
Dalam rangka menciptakan tertib administrasi pelaporan Peraturan
Daerah, setiap Peraturan Daerah yang akan diundangkan harus mendapatkan
nomor register terlebih dahulu. Peraturan Daerah Provinsi harus mendapatkan
nomor register dari kementerian, sedangkan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
mendapatkan nomor register dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Dengan adanya pemberian nomor register tersebut, akan terhimpun informasi
mengenai keseluruhan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh daerah dan sekaligus
juga informasi Peraturan Daerah secara nasional.47
Majunya suatu bangsa sangat ditentukan oleh inovasi yang dilakukan
bangsa tersebut. Untuk itu, maka diperlukan adanya perlindungan terhadap
kegiatan yang bersifat inovatif yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di daerah
dalam memajukan daerahnya. Perlu adanya upaya memacu kreativitas daerah
untuk meningkatkan daya saing daerah. Untuk itu, perlu adanya kriteria yang
objektif yang dapat dijadikan pegangan bagi pejabat daerah untuk melakukan
kegiatan yang bersifat inovatif. Dengan cara tersebut, inovasi akan terpacu dan
46 Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Total Media,
2008), Hal. 75. 47
Ibid., Hal. 76.
12
berkembang tanpa ada kekhawatiran menjadi objek pelanggaran hukum.48
Pada
dasarnya, perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ditujukan untuk mendorong lebih terciptanya daya
guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam
menyejahterakan masyarakat, baik melalui peningkatan pelayanan publik maupun
melalui peningkatan daya saing daerah. Perubahan ini bertujuan untuk memacu
sinergi dalam berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan
Pemerintah Pusat.49
Melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dilakukan pengaturan yang bersifat afirmatif yang
dimulai dari pemetaan urusan pemerintahan yang akan menjadi prioritas daerah
dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya. Melalui pemetaan tersebut akan
tercipta sinergi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang urusan
pemerintahannya didesentralisasikan ke daerah. Sinergi urusan pemerintahan akan
melahirkan sinergi kelembagaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
karena setiap kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian akan tahu siapa
pemangku kepentingan (stakeholder) dari kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian tersebut di tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara nasional.
Sinergi urusan pemerintahan dan kelembagaan tersebut akan menciptakan sinergi
dalam perencanaan pembangunan antara kementerian/lembaga pemerintah
nonkementerian dengan daerah untuk mencapai target nasional. Manfaat
lanjutannya adalah akan tercipta penyaluran bantuan yang terarah dari
48 Victor Jusuf Sedubun, Pembentukan dan Pengawasan Peraturan Daerah yang Berciri
Khas Daerah, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), Hal. 21. 49
Ibid., Hal. 23.
13
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terhadap daerah-daerah yang
menjadi stakeholder utamanya untuk akselerasi realisasi target nasional tersebut.
Sinergi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan sulit tercapai
tanpa adanya dukungan personel yang memadai, baik dalam jumlah maupun
standar kompetensi, yang diperlukan untuk melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah. Dengan cara tersebut, Pemerintah Daerah akan
mempunyai birokrasi karir yang kuat dan memadai dalam aspek jumlah dan
kompetensinya.50
Langkah berikutnya adalah adanya jaminan pelayanan publik yang
disediakan Pemerintah Daerah kepada masyarakat. Untuk itu, setiap Pemerintah
Daerah wajib membuat maklumat pelayanan publik sehingga masyarakat di
daerah tersebut tahu jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana
mendapatkan aksesnya serta kejelasan dalam prosedur dan biaya untuk
memperoleh pelayanan publik tersebut, serta adanya saluran keluhan manakala
pelayanan publik yang didapat tidak sesuai dengan standar yang telah
ditentukan.51
Langkah akhir untuk memperkuat otonomi daerah adalah adanya
mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan
tegas. Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas
tersebut memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan dan pengawasan dari
kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta
kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan pembinaan
teknis. Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan pembinaan dan
50 M. Busrizalti, Hukum Pemda; Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total
Media, 2013), hlm. 107. 51
Ibid., Hal. 108.
14
pengawasan teknis akan memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah.52
Untuk pembinaan dan pengawasan terhadap daerah kabupaten/kota,
memerlukan peran dan kewenangan yang jelas dan tegas dari Gubernur sebagai
wakil Pemerintah Pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap daerah kabupaten/kota.53
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak
dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut,
daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pajak
dan Retribusi sebagai salah satu perwujudan kenegaraan.54
Pengaturan kewenangan Pajak dan Retribusi yang ada saat ini kurang
mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Pemberian kewenangan yang semakin
besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat seharusnya diikuti dengan pemberian kewenangan yang besar pula
dalam Pajak dan Retribusi. Basis pajak kabupaten dan kota yang sangat terbatas
dan tidak adanya kewenangan provinsi dalam penetapan tarif pajaknya
mengakibatkan daerah selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
52 M. Busrizalti, Hukum Pemda; Otonomi Daerah dan Implikasinya, (Yogyakarta: Total
Media, 2013), hlm. 125. 53
Ibid., Hal. 127. 54
Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), Hal. 90.
15
pengeluarannya. Ketergantungan daerah yang sangat besar terhadap pusat dalam
banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas daerah. Pemerintah daerah dan
masyarakat tidak mengontrol anggaran daerah karena merasa tidak dibebani
dengan Pajak dan Retribusi.55
B. Tinjauan Umum Retribusi Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting
guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah dijelaskan bahwa Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.56
Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa objek dan
golongan Retribusi yaitu sebagai berikut:
1. Jasa Umum
Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi yang dikenakan atas jasa umum.
2. Jasa Usaha
Retribusi Jasa Usaha adalah Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha.
3. Perizinan Tertentu
Retribusi Perizinan Tertentu adalah Retribusi yang dikenakan atas perizinan
tertentu.
55 Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), Hal. 91. 56
Pasal 1 Angka 64 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
16
Retribusi Jasa Umum
Retribusi Jasa Umum adalah retribusi yang dikenakan atas jasa umum.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dijelaskan bahwa kriteria Retribusi Jasa
Umum yaitu sebagai berikut:
1. Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa
Usaha atau Retribusi Perizinan Tertentu.
2. Jasa umum tersebut merupakan kewenangan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi.
3. Jasa umum tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan
yang diharuskan membayar Retribusi, disamping untuk melayani
kepentingan dan kemanfaatan umum.
4. Jasa umum tersebut hanya diberikan kepada orang pribadi atau badan yang
membayar Retribusi dengan memberikan keringanan bagi masyarakat yang
tidak mampu.
5. Retribusi Jasa Umum tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai
penyelenggaraannya.
6. Retribusi Jasa Umum dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta
merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial.
7. Pemungutan Retribusi Jasa Umum memungkinkan penyediaan jasa tersebut
dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.57
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau
diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum
57 Pasal 150 Huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
17
serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.58
Jenis Retribusi Jasa Umum
yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan.
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan.
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Akta
Catatan Sipil.
4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat. 5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum.
6. Retribusi Pelayanan Pasar. 7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor.
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran.
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta.
10. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus. 11. Retribusi Pengolahan Limbah Cair. 12. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang. 13. Retribusi Pelayanan Pendidikan.
14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.59
Jenis Retribusi Jasa Umum di atas dapat tidak dipungut apabila potensi
penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan
pelayanan tersebut secara cuma-cuma. Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang
pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan jasa umum yang
bersangkutan. Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau badan yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk
melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi
Jasa Umum.
Retribusi Jasa Usaha
58
Pasal 109 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
59 Pasal 110 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
18
Retribusi Jasa Usaha adalah Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dijelaskan bahwa kriteria Retribusi Jasa Usaha
yaitu sebagai berikut:
1. Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa
Umum atau Retribusi Perizinan Tertentu.
2. Jasa usaha adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogyanya disediakan
oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh
Pemerintah Daerah.60
Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi pelayanan
dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan
secara optimal dan/atau pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum
disediakan secara memadai oleh pihak swasta.61
Jenis Retribusi Jasa Usaha yang
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. 2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan.
3. Retribusi Tempat Pelelangan.
4. Retribusi Terminal.
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir. 6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa.
7. Retribusi Rumah Potong Hewan. 8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan.
60
Pasal 150 Huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
61 Pasal 126 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
19
9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga. 10. Retribusi Penyeberangan di Air.
11. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.62
Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang
menggunakan/menikmati pelayanan jasa usaha yang bersangkutan. Wajib
Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan
pembayaran Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Jasa Usaha.
Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi Perizinan Tertentu adalah Retribusi yang dikenakan atas
perizinan tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dijelaskan bahwa kriteria
Retribusi Perizinan Tertentu yaitu sebagai berikut:
1. Perizinan tertentu tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi.
2. Perizinan tertentu tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi
kepentingan umum.
3. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan
biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut
cukup besar sehingga layak dibiayai dari retribusi perizinan.63
Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu
oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan
62 Pasal 127 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
63 Pasal 150 Huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
20
untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan
sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna
melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.64
Jenis
Retribusi Perizinan Tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
adalah:
1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.
2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol.
3. Retribusi Izin Gangguan.
4. Retribusi Izin Trayek.
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan.65
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh izin tertentu dari Pemerintah Daerah. Wajib Retribusi Perizinan
Tertentu adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran
Retribusi, termasuk pemungut atau pemotong Retribusi Perizinan Tertentu.
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah tentang
Retribusi tidak dapat berlaku surut. Peraturan Daerah tentang Retribusi paling
sedikit mengatur ketentuan mengenai nama, objek, dan subjek Retribusi; golongan
Retribusi; cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan; prinsip
yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi; struktur
64
Pasal 140 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
65 Pasal 141 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
21
dan besarnya tarif Retribusi; wilayah pemungutan; penentuan pembayaran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran; sanksi administratif;
penagihan; penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa; serta tanggal mulai
berlakunya. Selain itu, Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat juga mengatur
ketentuan mengenai masa Retribusi; pemberian keringanan, pengurangan, dan
pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Retribusi dan/atau sanksinya;
dan/atau tata cara penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa.66
Rancangan Peraturan Daerah tingkat provinsi tentang Retribusi yang
telah disetujui bersama oleh Gubernur dan DPRD sebelum ditetapkan wajib
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat
3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud, sedangkan
Rancangan Peraturan Daerah tingkat kabupaten/kota tentang Retribusi yang telah
disetujui bersama oleh Bupati/Walikota dan DPRD sebelum ditetapkan wajib
disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud untuk dievaluasi. Hasil
evaluasi terhadap Peraturan Daerah tersebut dapat berupa persetujuan atau berupa
penolakan. Apabila Peraturan Daerah tentang Retribusi bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah tersebut
kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Penyampaian rekomendasi
pembatalan dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal
diterimanya Peraturan Daerah tersebut. Pemerintah Daerah yang menolak
keputusan pembatalan Peraturan Daerah tersebut dengan alasan-alasan yang dapat
66 Pasal 156 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
22
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dapat mengajukan keberatan
kepada Mahkamah Agung.67
C. Tinjauan Umum Peraturan Daerah Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa Peraturan Daerah adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah.68
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah
membentuk Peraturan Daerah. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah. Peraturan Daerah memuat materi muatan
mengenai penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta
penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Selain materi muatan tersebut, Peraturan Daerah dapat memuat materi
muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.69
Asas pembentukan dan materi muatan Peraturan Daerah berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembentukan Peraturan Daerah mencakup
67 Pasal 157 dan Pasal 158 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
68 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
69 Pasal 236 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
23
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan
yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan
Peraturan Daerah. Pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud di atas
dilakukan secara efektif dan efisien.70
Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya
paksaan penegakan/pelaksanaan Peraturan Daerah seluruhnya atau sebagian
kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Daerah juga dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah). Selain itu, Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan
atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud di atas sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.71
Selain sanksi sebagaimana dimaksud di atas, Peraturan Daerah dapat
memuat ancaman sanksi yang bersifat mengembalikan pada keadaan semula dan
sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut berupa:
1. Teguran lisan 2. Teguran tertulis
3. Penghentian sementara kegiatan
4. Penghentian tetap kegiatan 5. Pencabutan sementara izin
6. Pencabutan tetap izin
7. Denda administratif
70
Pasal 237 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
71 Pasal 238 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
24
8. Sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.72
Dalam pembentukan Peraturan Daerah, harus diperhatikan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun asas-asas dalam
pembentukan Peraturan Daerah yaitu sebagai berikut:73
1. Asas kejelasan tujuan. „Asas kejelasan tujuan‟ adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
2. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. „Asas kelembagaan
atau pejabat pembentuk yang tepat‟ adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
3. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. „Asas kesesuaian
antara jenis, hierarki, dan materi muatan‟ adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang- undangan.
4. Asas dapat dilaksanakan. „Asas dapat dilaksanakan‟ adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. „Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan‟ adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
6. Asas kejelasan rumusan. „Asas kejelasan rumusan‟ adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Asas keterbukaan. „Asas keterbukaan‟ adalah bahwa dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
72 Pasal 238 Ayat (4) dan Ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
73 Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.
25
D. Tinjauan Umum Kota Pekanbaru
Kota Pekanbaru dahulunya merupakan sebuah perkampungan kecil yang
berada di pinggir Sungai Siak, yang dikenal dengan nama Senapelan. Senapelan
pada saat itu dipimpin oleh seorang kepala suku yang disebut Batin. Senapelan
kemudian berkembang menjadi kawasan pemukiman baru bagi penduduk dan
seiring berjalannya waktu berganti nama menjadi Dusun Payung Sekaki. Pada 9
April 1689, diperbarui sebuah perjanjian antara Kerajaan Johor dengan
Vereenigne Oost-Indische Compagnie (VOC), yang intinya memberikan hak yang
lebih luas kepada VOC dalam berdagang. Kemudian, VOC mendirikan sebuah
„loji‟ di daerah yang bernama Petapahan, yang merupakan kawasan strategis.
Akan tetapi, kapal-kapal VOC tidak dapat masuk ke Petapahan. Oleh karena itu,
Senapelan dijadikan tempat perhentian kapal-kapal VOC. Selanjutnya, pelayaran
dari Senapelan ke Petapahan dilanjutkan dengan menggunakan perahu-perahu
kecil. Sejak saat itu, Senapelan dijadikan pelabuhan tempat penumpukan berbagai
komoditas perdagangan, baik yang di bawa dari luar negeri maupun yang dari
daerah pedalaman.74
Perkembangan Senapelan juga berkaitan erat dengan perkembangan
Kerajaan Siak Sri Inderapura. Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah yang menetap
di Senapelan membangun sebuah istana yang terletak di sekitar kompleks Masjid
Raya Pekanbaru sekarang. Sultan kemudian berinisiatif membuat sebuah pasar
(pekan) di Senapelan, namun tidak berkembang. Pembuatan pekan ini kemudian
dilanjutkan oleh putranya, yaitu Raja Muda Muhammad Ali yang bergelar Sultan
Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah, namun lokasinya dipindahkan dari
74 http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Jum‟at tanggal 9
Agustus 2019, jam 20.15 WIB.
26
lokasi awal ke lokasi Pelabuhan Pekanbaru sekarang. Pekan yang baru inilah yang
kemudian menjadi cikal bakal nama Kota Pekanbaru. Menurut catatan sejarah,
Senapelan, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pekanbaru, secara resmi
didirikan pada hari Selasa tanggal 21 Rajab 1204 H atau 23 Juni 1784 M oleh
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah. Tanggal inilah yang sampai hari
ini diperangati sebagai hari jadi Kota Pekanbaru. Sepeninggal Sultan Muhammad
Ali Abdul Jalil Muazamsyah, jalannya pemerintahan di Senapelan diserahkan
kepada Datuk Bandar yang dibantu oleh empat datuk besar, yaitu Datuk Lima
Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Pesisir, dan Datuk Kampar. Keempat datuk
tersebut bertanggung jawab kepada Raja di Siak Sri Inderapura.75
Saat ini, Kota Pekanbaru merupakan ibukota Provinsi Riau. Sebelum itu,
Kota Pekanbaru mengalami beberapa dinamika perubahan dalam perjalanannya,
antara lain yaitu:
1. Berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Siak Sri Inderapura Nomor 1 pada 19
Oktober 1919, Kota Pekanbaru merupakan sebuah distrik dari Kerajaan Siak
Sri Inderapura.
2. Pada tahun 1932, Kota Pekanbaru masuk ke dalam wilayah Kampar Kiri yang
dipimpin oleh seorang Controleor Belanda yang berkedudukan di Pekanbaru.
3. Pada tanggal 8 Maret 1942, Kota Pekanbaru diubah dari distrik menjadi
GUM oleh Jepang dan dikepalai oleh seorang Gunco, yaitu Gubernur Militer
Go Kung.
75
http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Jum‟at tanggal 9 Agustus 2019, jam 20.15 WIB.
27
4. Berdasarkan Ketetapan Gubernur Sumatera Nomor 103 pada 17 Mei 1956 di
Kota Medan, Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut harminte atau
kota baru dengan nama Kota Praja Pekanbaru.
5. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
54/1/44-25 pada 20 Januari 1959, Pekanbaru ditunjuk menjadi ibukota
Provinsi Riau menggantikan Tanjung Pinang, dan memperoleh kenaikan
status dengan nama Kota Madya Tingkat II Pekanbaru.76
Pada awalnya berdirinya Kota Pekanbaru hanya dibagi menjadi dua
kecamatan, yaitu Kecamatan Senapelan dan Kecamatan Limapuluh. Seiring
dengan perkembangan Kota Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau, maka saat
ini Kota Pekanbaru telah dimekarkan menjadi 12 kecamatan, yaitu sebagai
berikut:
1. Kecamatan Senapelan
2. Kecamatan Limapuluh
3. Kecamatan Pekanbaru Kota
4. Kecamatan Sukajadi
5. Kecamatan Sail
6. Kecamatan Rumbai
7. Kecamatan Bukit Raya
8. Kecamatan Tampan
9. Kecamatan Rumbai Pesisir
10. Kecamatan Tenayan Raya
11. Kecamatan Marpoyan Damai
12. Kecamatan Payung Sekaki.77
76 http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Jum‟at tanggal 9
Agustus 2019, jam 20.15 WIB. 77
http://www.pekanbaru.go.id/sejarah-pekanbaru, diakses pada hari Jum‟at tanggal 9
Agustus 2019, jam 20.15 WIB.
28
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 1 Tahun 2001,
Visi Pekanbaru 2021 adalah “Terwujudnya Kota Pekanbaru sebagai Pusat
Perdagangan dan Jasa, Pendidikan, serta Pusat Kebudayaan Melayu Menuju
Masyarakat Sejahtera Berlandaskan Iman dan Taqwa”.78
Dalam rangka mewujudkan Visi Pekanbaru 2021, maka Walikota
Pekanbaru Dr. H. Firdaus, S.T., M.T. dan Wakil Walikota Pekanbaru H. Ayat
Cahyadi, S.Si. menetapkan visi Kota Pekanbaru pada masa pemerintahannya
adalah “Terwujudnya Pekanbaru sebagai Kota Metropolitan yang Madani”.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka ditetapkan beberapa misi Kota Pekanbaru,
yaitu sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki
kompetensi tinggi, bermoral, beriman dan bertaqwa, serta mampu bersaing di
tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui peningkatan
kemampuan/keterampilan tenaga kerja, pembangunan kesehatan,
kependudukan, dan keluarga sejahtera.
3. Mewujudkan masyarakat berbudaya melayu, bermartabat, dan bermarwah
yang menjalankan kehidupan beragama, memiliki iman dan taqwa,
berkeadilan tanpa membedakan satu dengan yang lainnya, serta hidup dalam
rukun dan damai.
4. Meningkatkan infrastruktur daerah, baik prasarana jalan, air bersih, energi
listrik, penanganan limbah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, terutama
infrastruktur pada kawasan industri, pariwisata, serta daerah pinggiran kota.
78 http://www.pekanbaru.go.id/visi-pekanbaru-2021, diakses pada hari Jum‟at tanggal 9
Agustus 2019, jam 20.15 WIB.
29
5. Mewujudkan penataan ruang dan pemanfaatan lahan yang efektif dan
pelestarian lingkungan hidup dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan.
6. Meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat dengan meningkatkan
investasi bidang industri, perdagangan, jasa, dan pemberdayaan ekonomi
kerakyatan dengan dukungan fasilitas yang memadai dan iklim usaha yang
kondusif.79
Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian di Provinsi Riau, Kota
Pekanbaru telah mengalami perkembangan yang pesat. Perkembangan yang pesat
tersebut dapat dilihat dengan semakin menjamurnya gedung-gedung pencakar
langit seperti hotel dan pusat perbelanjaan modern. Salah satu dampak dari
perkembangan Kota Pekanbaru yang pesat adalah terjadinya lonjakan
pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Penduduk
Kota Pekanbaru tahun 2017 berjumlah 1.117.358 jiwa.
Tabel II.1
Data Jumlah Penduduk di Kota Pekanbaru Tahun 2017
No. Nama Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Kecamatan Senapelan 37.459 jiwa
2 Kecamatan Limapuluh 42.469 jiwa
3 Kecamatan Pekanbaru Kota 25.719 jiwa
4 Kecamatan Sukajadi 48.544 jiwa
5 Kecamatan Sail 22.015 jiwa
79
http://www.pekanbaru.go.id/visi-dan-misi-pekanbaru, diakses pada hari Jum‟at tanggal 9 Agustus 2019, jam 20.15 WIB.
30
6 Kecamatan Rumbai 67.570 jiwa
7 Kecamatan Bukit Raya 103.722 jiwa
8 Kecamatan Tampan 285.932 jiwa
9 Kecamatan Rumbai Pesisir 72.864 jiwa
10 Kecamatan Tenayan Raya 162.530 jiwa
11 Kecamatan Marpoyan Damai 131.362 jiwa
12 Kecamatan Payung Sekaki 90.902 jiwa
Sumber: https://pekanbarukota.bps.go.id/publication/kota-pekanbaru-dalam-angka
E. Tinjauan Umum Retribusi Jasa Parkir Menurut Peraturan Daerah Kota
Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan di Bidang
Perhubungan Darat
Retribusi pelayanan di bidang perhubungan darat merupakan salah satu
sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang penting untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kota Pekanbaru dalam
rangka otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Adapun
golongan dan jenis retribusi pada bidang perhubungan darat yaitu Retribusi Jasa
Umum, Retribusi Perizinan Tertentu, dan Retribusi Jasa Usaha.80
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009
tentang Retribusi Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat disebutkan bahwa
Retribusi Jasa Umum yang ada pada bidang perhubungan darat yaitu Retribusi
Parkir di Tepi Jalan Umum dan Retribusi Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor;
Retribusi Perizinan Tertentu yang ada pada bidang perhubungan darat yaitu
Retribusi Izin Angkutan Orang, Retribusi Izin Angkutan Barang, Retribusi Izin
80 Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi
Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat.
31
Usaha Mobil Derek, dan Izin Usaha Bengkel Umum Kendaraan Bermotor; serta
Retribusi Jasa Usaha yang ada pada bidang perhubungan darat yaitu Retribusi Jasa
Penderekan Kendaraan dan Retribusi Jasa Terminal.
Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum disebut dengan Retribusi Jasa
Parkir. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009
tentang Retribusi Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat dijelaskan bahwa
Retribusi Jasa Parkir adalah pembayaran atas pemanfaatan jasa pengaturan dan
penggunaan jalan-jalan umum di Kota Pekanbaru yang digunakan untuk tempat
parkir kendaraan.81
Retribusi Jasa Parkir bagi kendaraan dipungut terhadap
pelayanan penyediaan fasilitas parkir pada lokasi-lokasi parkir kendaraan yang
telah ditentukan dan disediakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru.82
Tingkat pelayanan jasa parkir kendaraan diukur melalui kawasan parkir
kendaraan dan jenis kendaraan. Kawasan parkir kendaraan terdiri atas kawasan
khusus dan di luar kawasan khusus, sedangkan jenis kendaraan terdiri atas mobil
barang truck gandengan, mobil truck tempelan, mobil barang truck (besar) sumbu
tiga atau lebih, mobil barang truck (besar) sumbu dua, mobil barang truck
(sedang) sumbu dua, mobil barang pick up, mobil bus (besar) dan/atau dilengkapi
lebih dari 27 tempat duduk, mobil bus (sedang) dan/atau dilengkapi 27 tempat
duduk, mobil bus (kecil) dan/atau dilengkapi kurang dari 27 tempat duduk, mobil
penumpang umum (oplet, taksi, bajaj, atau sejenisnya), mobil penumpang tidak
umum, sepeda motor, dan sepeda.83
81 Pasal 1 Angka 34 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Retribusi Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat. 82
Pasal 4 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat.
83 Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi
Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat.
32
Prinsip dalam penetapan kawasan parkir kendaraan didasarkan pada
aktivitas ekonomi masyarakat dan/atau tingkat pelayanan jalan, sedangkan prinsip
dalam penetapan struktur besaran tarif Retribusi Jasa Parkir didasarkan pada
tujuan untuk memperlancar lalu lintas jalan dengan memperhatikan biaya
penyelenggaraan pelayanan, kemampuan masyarakat, dan keadilan.84
Setiap kendaraan yang menggunakan jasa parkir di tepi jalan umum
dipungut retribusi parkir dengan bukti pembayaran berupa karcis yang telah
diporporasi. Tarif Retribusi Jasa Parkir yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah
Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi Pelayanan di Bidang
Perhubungan Darat disesuaikan dengan jenis kendaraan. Adapun tarif Retribusi
Jasa Parkir di Kota Pekanbaru dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel II.2
Tarif Retribusi Jasa Parkir di Kota Pekanbaru
No.
Jenis Kendaraan
Tarif Parkir
1 Sepeda motor Rp 1.000,-
2 Mobil penumpang Rp 2.000,-
3 Mobil bus kecil Rp 2.000,-
4 Mobil bus sedang Rp 3.000,-
5 Mobil bus besar Rp 4.000,-
6 Mobil barang pick up Rp. 2.000,-
7 Mobil barang sedang (sumbu dua) Rp 3.000,-
84 Pasal 8 Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang Retribusi
Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat.
33
8 Mobil barang besar (sumbu dua) Rp 3.000,-
9 Mobil barang besar (sumbu tiga atau lebih) Rp 3.000,-
10 Kereta tempelan Rp 3.000,-
11 Kereta gandengan Rp 3.000,-
Sumber: Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Retribusi Pelayanan di Bidang Perhubungan Darat
34