Post on 29-Nov-2020
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Merokok
1. Pengertian perilaku merokok
Pada awalnya kebanyakan orang menghisap tembakau dengan
menggunakan pipa. Pada tahun 1840-an barulah dikenal rokok, tetapi belum
memiliki dampak dalam pemasaran tembakau. Mendekati tahun 1881 mulai
terjadi produksi rokok secara besar-besaran dengan bantuan mesin, dan melalui
reklame rokok menjadi terkenal, pada tahun 1920 sudah tersebar ke seluruh
dunia. Pada saat ini, merokok merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh
banyak orang, bahkan sampai kecanduan, sehingga sulit menghentikannya
(Perwitasari, 2006).
Pada hakekatnya merokok adalah menghisap rokok, sedangkan rokok
adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun nipah atau kertas
(Poerwadarminta, dalam Perwitasari, 2006). Aritonang (1997), merokok adalah
perilaku kompleks, karena merupakan hasil interaksi dari aspek kognitif, kondisi
psikologis dan keadaan fisiologis dalam konteks rokok. Menurut Kartono (2003),
perilaku adalah setiap tindakan manusia yang dapat dilihat.
Perilaku merokok seseorang secara keseluruhan dapat dilihat dari jumlah
rokok yang dihisapnya. Seberapa banyak seseorang merokok dapat diketahui
melalui intensi merokoknya. Intensi merokok dapat diartikan sebagai besaran
atau kekuatan untuk suatu tingkah laku. Berdasarkan hal tersebut perilaku
merokok seseorang dapat dikatakan tinggi maupun rendah yang dapat diketahui
dari intensi merokoknya yaitu banyaknya seseorang dalam merokok (Kartono,
2003). Menurut Sitepoe (2000), perilaku merokok adalah membakar tembakau
kemudian dihisap asapnya baik menggunakan rokok maupun menggunakan
pipa. Asap rokok yang dihisap atau asap rokok yang dihirup mempunyai dua
komponen yaitu komponen yang cepat menguap berbentuk gas sebanyak 85%,
dan komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikulat
sebanyak 15%. Menurut Komalasari & Helmi (2000), perilaku merokok adalah
aktivitas seseorang yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur
melalui intensi merokok, tempat merokok, situasi merokok, dan fungsi merokok
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok,
kemudian menghisap dan menghembuskannya keluar, serta dapat menimbulkan
asap yang dapat terhisap oleh diri sendiri maupun orang-orang di sekitarnya, dan
apabila dilihat dari berat sampai ringannya perilaku merokok dapat diukur dengan
melihat intensi merokok, tempat merokok, situasi merokok, dan fungsi merokok
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Tahapan menjadi Merokok
Merokok tidak terjadi dalam sekali waktu, hal ini karena adanya proses
yang dilalui, yaitu: periode eksperimen awal (mencoba-coba), tekanan teman
sebaya dan akhirnya mengembangkan sikap mengenai seperti apa seorang
perokok. Ada 4 tahapan yang merupakan proses menjadi perokok (Leventhal &
Clearly, dalam Cahyani, 1995), yaitu:
a. Tahap preparatory (persiapan). Seseorang mendapatkan gambaran yang
menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau
dari hasil bacaan. Hal-hal ini menimbulkan minat untuk merokok.
b. Tahap initiation (inisiasi). Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah
seseorang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku merokok.
c. Tahap becoming a smoker (menjadi perokok). Apabila seseorang telah
mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari maka mempunyai
kecenderungan menjadi perokok.
d. Tahap maintenance of smoking (pemeliharaan). Tahap ini merokok sudah
menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self-regulating).
Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.
Dari beberapa tahapan menjadi perokok, dalam penelitian ini dipilih salah
satu tahapan menjadi perokok yaitu tahap initiation (inisiasi) dan tahap becoming
a smoker. Alasan pemilihan kedua tahap ini adalah tahap initiation merupakan
tahap seorang perokok ada suatu kebimbangan antara berhenti merokok atau
melanjutkan perilaku merokoknya, sedangkan tahap becoming a smoker
merupakan tahap seseorang sudah menjadi perokok. Kedua tahapan ini sesuai
dengan teknik intervensi yang akan digunakan dalam penelitian ini.
3. Pengukuran perilaku merokok
Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua
cara, yaitu secara langsung dengan pengamatan (obsevasi), melalui
pengamatan tindakan atau perilaku dari subjek terhadap obyek tertentu,
sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali
(recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek
tentang apa yang telah dilakukan berhubungan dengan obyek tertentu
(Notoatmodjo, 2010).
Menurut Aritonang (1997), pengukuran perilaku merokok disusun
berdasarkan faktor-faktor perilaku merokok antara lain: fungsi merokok dalam
kehidupan sehari-hari, intensi merokok, tempat merokok, dan situasi merokok.
1. Fungsi merokok. Fungsi merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami
perokok, seperti perasaan yang positif maupun perasaan negatif. Seseorang
menjadikan merokok sebagai penghibur dan memiliki fungsi yang penting bagi
kehidupannya, pekerjaan individu, serta memberikan ketidakpuasan
psikologis yang dialami individu yang akan mempengaruhi kehidupan pribadi
orang tersebut.
2. Intensi merokok. Klasifikasi perokok berdasarkan banyaknya rokok yang
dihisap yaitu:
a. Perokok berat yang menghisap lebih dari 15 batang rokok sehari
b. Perokok sedang yang menghisap 5-14 batang rokok sehari
c. Perokok ringan yang menghisap 1-4 batang rokok sehari
3. Tempat merokok
a. Merokok di tempat-tempat umum/ruang publik
b. Merokok di tempat-tempat yang bersifat pribadi
4. Situasi merokok. Perilaku merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya
pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca yang
dingin, setelah dimarahi orang seseorang. Seseorang merokok sangat tinggi
ketika merokok di segala situasi dan dipengaruhi oleh keadaan yang dialami
saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca dingin, dan
setelah dimahari seseorang.
Menurut Komalasari & Helmi (2000), perilaku merokok merupakan
aktivitas seseorang yang berhubungan dengan perilaku merokoknya yang dapat
diukur menggunakan alat bantu empat (4) faktor yaitu: intensi merokok, tempat
merokok, situasi merokok, dan fungsi merokok.
(1) Intensi merokok yaitu seberapa sering individu melakukan aktivitas merokok.
Intensi merokok dapat diukur dengan menggunakan tipe perokok adalah
perokok ringan (1-10 batang sehari), perokok sedang (11-20 batang sehari),
dan perokok berat (lebih dari 24 batang sehari) (Sitepoe, 2000), sedangkan
menurut Smet (1994), ada tiga tipe yaitu (1) perokok berat (lebih dari 15
batas rokok dalam sehari), (2) perokok sedang (5-14 batang rokok dalam
sehari), dan (3) perokok ringan (1-4 batang rokok dalam sehari).
(2) Tempat merokok yaitu tempat individu melakukan aktivitas merokok. Tempat
merokok menurut Mu’tadin (2002) adalah tempat seseorang merokok, yaitu
merokok di tempat-tempat umum atau ruang publik dan tempat-tempat yang
bersifat pribadi.
a. Tempat umum atau publik
1) Kelompok homogen (sama-sama perokok), secara bergerombol
menikmati kebiasaan merokoknya. Umumnya masih menghargai
orang lain, karena perokok masih menempatkan diri di smoking
area.
2) Kelompok heterogen (merokok di tengah-tengah orang lain yang
tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit dan lain-lain).
b. Tempat pribadi
1) Kantor atau di kamar tidur pribadi. Perokok yang memilih tempat-
tempat seperti ini sebagai tempat merokok digolongkan kepada
individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh rasa gelisah
yang mencekam.
2) Toilet. Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka
berfantasi.
(3) Situasi merokok yaitu kapan individu merokok. Menurut Mu’tadin (2002),
situasi merokok adalah perilaku merokok yang dipengaruhi oleh keadaan
yang dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan
teman, cuaca dingin, setelah dimarahi orangtua dan lain sebagainya.
(4) Fungsi merokok yaitu seberapa penting aktivitas merokok bagi seorang
individu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nasution (2007), fungsi
merokok ditunjukkan dengan perasaan yang dialami perokok, seperti
perasaan positif maupun perasaan negatif.
Pengukuran penurunan perilaku merokok dapat dilakukan dengan melihat
intensi berhenti merokok. Menurut Ajzen & Fishbein (dalam Indrawani dkk, 2014),
intensi berhenti merokok diartikan sebagai keinginan yang kuat dari individu
untuk menghentikan kebiasaan merokok dan dilakukan secara sadar. Mowen &
Minor (dalam Indrawani dkk, 2014) mengatakan bahwa intensi perilaku berkaitan
dengan keinginan konsumen rokok untuk berperilaku menurut cara tertentu guna
untuk tetap mengkonsumsi atau menghentikan kebiasaan merokok.
Dari beberapa pengukuran penurunan perilaku merokok peneliti
menggunakan pengukuran yang telah digunakan dalam penelitian Aritonang
(1997) dan Komalasari & Helmi (2000) yang menggunakan empat (4) faktor
yaitu: (1) Intensi merokok, seberapa sering individu melakukan aktivitas merokok.
(2) Tempat merokok, tempat individu melakukan aktivitas merokok. (3) Situasi
merokok yaitu perilaku merokok yang dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya
pada saat itu. 4) Fungsi merokok, seberapa penting aktivitas merokok bagi
seorang individu dalam kehidupan sehari-hari.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok
Ada dua bidang keilmuan yang dapat menjelaskan sebab-sebab
seseorang menjadi perokok. Dua bidang tersebut adalah bidang kesehatan yang
menerangkan dengan konsep fisik atau sakit, dan bidang psikologi yang
menjelaskan dengan beberapa teori. Sementara itu, kebiasaan merokok dapat
pula dijelaskan dengan kontribusi sosial dan lingkungan. Di bawah ini akan
dijelaskan masing-masing dari bidang keilmuan tersebut.
a. Konsep fisik atau sakit
1) Keadaan fisik sebelumnya abnormal (pre-existing pshycal abnormality).
Penelitian menunjukkan adanya kontribusi genetik terhadap kebiasaan
merokok, meskipun hasil penelitiannya masih kontroversi, antara
adanya hubungan atau tidak adanya hubungan (Levinthal, 2002).
2) Keadaan kejiwaan atau perilaku abnormal (pre-existing psychological
abnormalities). Adanya masalah-masalah dalam perjalanan hidup dapat
menjadi seseorang merokok (Kaplan dkk, 1993), sedangkan Batra dkk.
(2003) melaporkan bahwa nikotin yang terdapat di dalam rokok melepas
dopamine yang memberikan penguatan perilaku dan ketergantungan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepribadian mempunyai
hubungan dengan perilaku merokok. Salah satunya adalah ketahanan
terhadap tekanan-tekanan kehidupan. Pada penelitian yang dilakukan di
Indonesia diperoleh bukti bahwa perilaku merokok berhubungan dengan
neurosis. Hasil penelitian pada beberapa tempat di Indonesia juga
menunjukkan bahwa salah satu alasan remaja mulai merokok adalah
karena tekanan kehidupan atau stress (Prawitasari, 2012).
3) Teori ketergantungan (Acquired dependency theory). Keadaan fisik
manusia, yaitu toleransi jaringan tubuh, dan adaptasi metabolism sel
menyebabkan seseorang yang tadinya hanya coba-coba merokok
menjadi kecanduan. Rokok mempunyai beberapa bahan kimia yang
dampaknya pada tubuh manusia menyebabkan keinginan untuk terus
melakukan dan bahkan semakin lama meminta dosis atau takaran yang
lebih banyak. Nikotin merupakan zat dalam rokok yang bertanggung-
jawab terhadap timbulnya kecanduan. Efek nikotin pada rokok adalah
menstimulasi reseptor sistem saraf pusat yang disebut “nicotinic
receptor” (disebut demikian karena reseptor tersebut mudah terpicu oleh
nikotin). Segera reseptor tersebut aktif, adrenalin akan dilepaskan.
Kondisi tersebut dialami perokok sebagai faktor relaksasi (Levinthal,
2002). Semakin lama zat kimia di dalam rokok berada di tubuh, semakin
sulit seseorang untuk mengontrol perilaku merokoknya. Pada salah satu
konferensi tembakau atau kesehatan (Tobacco or Health) dipaparkan
bahwa industri rokok juga menambahkan zat yang membuat efek
ketagihan semakin cepat. Sementara itu, temuan pada kajian kualitatif di
Yogyakarta justru menarik, karena jarang perokok menyebutkan dirinya
kecanduan. Bagi seseorang yang merokok di bawah 1 bungkus sehari
jarang menyebut dirinya pecandu rokok, melainkan hanya menyebutkan
sebagai perokok teratur. Sebagian besar perokok yang diwawancarai
tidak mau disebut bahwa mereka “ketagihan” rokok (Prawitasari, 2012).
b. Teori perilaku
Teori perilaku atau behaviorisme dalam psikologi menjelaskan terjadinya
kebiasaan merokok dari beberapa pendekatan antara lain:
1) Teori belajar klasik (Classical conditioning). Prawitasari (2012)
menjelaskan bahwa pada teori ini seseorang yang melakukan kegiatan
tertentu seperti misalnya seorang remaja yang pergi ke pesta karena
diajak temannya merasa bahwa ke pesta dapat memberikan perasaan
santai dan rileks. Menurut teori ini, pergi ke pesta merupakan
rangsangan yang tidak dikondisikan (bukan kebiasaan, karena diajak
teman) atau yang disebut dengan unconditioned stimulus/US
(rangsangan yang tak terkondisi), dan merasa santai merupakan respon
yang tidak terkondisikan juga atau unconditioned response/UR (reaksi
yang tidak dikondisikan), karena remaja tersebut secara tak disengaja
merasa santai. Di pesta, remaja tersebut ditawari rokok dan mencoba.
Pergi ke pesta yang tidak dikondisikan akhirnya dapat menyebabkan
tingkah laku yang sengaja dikondisikan terjadi. Perilaku yang
dikondisikan di sini adalah merokok, yang dianggap sebagai conditioned
stimulus (CS). Akibat dari tingkah laku yang dikondisikan ini
menimbulkan reaksi yang dikondisikan (yang tadinya sebetulnya berasal
dari yang tidak dikondisikan), yaitu merasa santai. Kejadian ini dapat
terjadi secara berulang, sehingga tanpa pergi ke pesta, remaja tadi
dapat menjadi santai bila merokok. Hasil dari beberapa kajian yang
dilakukan pada remaja di Indonesia dilaporkan bahwa remaja mulai
merokok dari coba-coba dan demi pergaulan. Temuan ini diperoleh
pada saat melakukan penelitian pada remaja di SMA di Kodaya
Yogyakarta (Prabandari, 1994). Ketidakenakan bila tidak merokok pada
saat bersama-sama teman menyebabkan remaja mencoba rokok.
2) Pengkondisian operan (Operant conditioning). Pengkondisian operan
menjelaskan bahwa seorang remaja merokok karena ada semacam
penguatan (yang membuat perilaku merokok semakin sering diulang).
Bila remaja tersebut merokok, kelompok sebayanya mau menerima dia
sebagai anggotanya. Bagi seorang remaja, penerimaan di dalam
kelompok sebaya sangat diharapkan dan merupakan hal penting dalam
kehidupannya. Remaja yang belum mempunyai pendirian kuat akan
mudah terjerat dalam kebiasaan merokok, karena merokok adalah satu-
satunya cara untuk dapat diterima dalam kelompoknya. Banyak yang
tidak menyadari ada kelompok lain yang tidak mensyaratkan merokok
sebagai tanda penerimaan sebagai anggota kelompok. Bila remaja tidak
mampu menolak, dan apabila remaja tadi tidak dapat masuk ke
kelompok lain tanpa harus merokok, maka perilaku merokok ini diterima
sebagai syarat. Satu sampai dua kali remaja merokok, lama kelamaan
merokok akan menjadi kebiasaan (Prawitasari, 2012). Kajian yang telah
dilakukan terhadap remaja SMP di Kodya Yogyakarta menunjukkan
bahwa perilaku merokok remaja berhubungan dengan ketidakmampuan
menolak tawaran merokok (Prabandari, 1994). Pada kajian kualitatif
yang dilakukan di Yogyakarta, remaja juga mengatakan bahwa dengan
merokok akan mudah masuk ke kelompok sebaya (Prabandari &
Higginbotham, 2000).
3) Belajar pengamatan/contoh (Social learning theory/modeling). Konsep
ini menerangkan bahwa seseorang merokok karena ada contoh di
sekitarnya yang juga merokok. Salah satunya perilaku merokok
orangtua akan dicontoh anaknya. Penelitian di Indonesia menunjukkan
bahwa lebih dari 50% (antara 47%-65%) remaja perokok mempunyai
ayah perokok (Prawitasari, 2012). Dari kajian yang dilakukan didapatkan
bukti bahwa 67% remaja laki-laki perokok di Yogyakarta mempunyai
ayah perokok, demikian pula 36% remaja putri mempunyai ibu perokok
(Prabandari, 1994). Selain contoh dari keluarga, iklan rokok atau artis
sinetron yang merokok menggambarkan bahwa seorang remaja “sudah
selayaknya” merokok merupakan contoh untuk perilaku merokok. Iklan
dan bintang yang merokok dibuat menarik, gagah, bersama wanita
cantik, tampak modern dan dari kalangan eksekutif. Penggambaran
seperti ini sangat berkesan bagi remaja, sehingga menelan mentah-
mentah iklan dan contoh tersebut. Akibatnya, perilaku merokok
menjadikan remaja merasa gagah, tampil menarik di depan wanita dan
tampak modern, menjadi eksklusif dan terlihat dewasa (Prawitasari,
2012). Kajian di Indonesia menyebutkan alasan remaja merokok adalah
agar terlihat jantan dan dewasa. Kajian lainnya membuktikan adanya
hubungan antara paparan iklan rokok dengan perilaku merokok pada
remaja di Yogyakarya (Prabandari & Supriyati, 2007).
4) Teori kognitif. Menurut teori ini seseorang merokok karena berpikir,
mempertimbangkan, dan akhirnya merasa bahwa merokok dapat
meningkatkan citra dirinya. Erat kaitan antara konsep belajar
pengamatan dengan konsep kognitif. Setelah seorang remaja melihat
artis sinetron merokok, remaja mencoba merokok dan pemikiran yang
ada adalah ada perasaan gagah dan menarik seperti bintang sinetron.
Pendapat terhadap dirinya dan citra dirinya menjadi meningkat dengan
perilaku merokoknya. Salah satu kegiatan edukasi pengendalian
merokok, pernah ditemukan seorang mahasiswa yang mengakui bahwa
kebiasaan merokoknya diinspirasi oleh foto seorang ahli dalam bidang
yang ditekuni oleh mahasiswa tersebut yaitu ahli tersebut sedang
merokok. Menurut mahasiswa tersebut foto ahli yang sedang merokok
sangat berkesan mendalam, sehingga membuat mahasiswa tersebut
ingin merokok agar menjadi seperti ahli tersebut (Prawitasari, 2012).
c. Lingkungan sosial yang menyebabkan remaja merokok
Dari lingkungan sosial dapat dijelaskan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan remaja merokok yaitu:
1) Teman, saudara, dan orang-orang di sekitar yang merokok. Hasil
penelitian di Indonesia maupun di luar negeri menunjukkan bahwa
remaja perokok mempunyai teman dekat atau saudara yang merokok.
Kajian yang dilakukan pada remaja SMP di Kodya Yogyakarta
menunjukkan bahwa teman merupakan predictor utama mulainya
seseorang merokok (Prabandari, 1994). Selain teman, saudara, bapak,
kakek, dan guru yang merokok juga berhubungan dengan kebiasaan
merokok remaja (Prawitasari, 2012).
2) Status Sosial Ekonomi (SSE) dan prestasi rendah. Penelitian
menunjukkan bahwa banyak remaja merokok yang berasal dari keluarga
kurang mampu, sehingga sebagai pelarian ketidakmampuan tersebut
pada akhirnya merokok. Rokok di Indonesia termasuk barang murah,
beli satu batang juga dapat, dan dihutang pun juga dapat. Selain
ketidakmampuan secara ekonomi, prestasi belajar rendah juga berisiko
tinggi untuk memicu seseorang untuk mulai merokok. Seperti dijelaskan
di atas bahwa salah satu penyebab merokok adalah teori kognitif, yaitu
merokok dianggap dapat meningkatkan citra diri, karena itu remaja yang
prestasinya rendah kurang mempunyai citra diri positif terhadap dirinya,
karena merasa berada “di bawah” teman-temannya yang mampu secara
akademis. Akibatnya remaja tersebut mencari cara agar dapat
meningkatkan “citra diri”, yaitu dengan jalan merokok. Setelah merokok,
remaja tersebut merasa gagah, jantan, sehingga meskipun prestasi
akademisnya rendah, remaja tersebut tetap percaya diri. Kajian
penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 di Kodya Yogyakarta
melaporkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang signifikan
antara SSE dan prestasi rendah dengan kebiasaan merokok, namun 62-
67% remaja pria merokok berasal dari SSE rendah dan sedang
(berdasarkan uang saku yang diperoleh setiap hari dan indeks
ekonomi), dan 63-64% remaja pria perokok berasal dari remaja yang
mempunyai prestasi belajar rendah dan sedang (Prawitasari, 2012).
3) Citra positif terhadap perokok. Remaja yang merokok menganggap
bahwa orang lain yang merokok adalah gagah, betul-betul lelaki,
sehingga remaja ingin menirunya. Beberapa kajian di Indonesia
melaporkan bahwa remaja menganggap perilaku merokok membuat
remaja merasa jantan dan betul-betul pria. Pada sosialisasi KTR di
salah satu universitas, dijumpai seorang mahasiswa yang menyatakan
bahwa kebiasaan merokoknya karena terkesan dengan salah satu iklan
rokok yang menyiratkan bahwa merokok merupakan perlambang pria
sejati. Mahasiswa tersebut menyatakan bahwa dirinya ingin seperti pria
yang berada dalam iklan tersebut (Prawitasari, 2012).
4) Kepercayaan bahwa merokok adalah norma remaja pada umumnya dan
keterampilan menolak merokok yang rendah. Seorang yang merokok
mengatakan bahwa merokok (terutama di Indonesia) adalah hal yang
biasa, karena sebagian besar laki-laki di Indonesia merokok, bahkan di
tempat-tempat umum akan sangat mudah menjumpai orang merokok. Di
dalam kajian kualitatif yang dilakukan pada remaja SMP di Yogyakarta
ditemukan hal yang sama. Remaja berpendapat bahwa merokok
merupakan hal yang umum dilakukan oleh remaja di Indonesia
(Prabandari dkk, 2001).
5) Pengetahuan yang rendah dan sikap positif terhadap merokok.
Pengetahuan tentang akibat merokok yang rendah dan sikap positif
(yang mendukung merokok) dapat memicu remaja untuk merokok.
Sebuah kajian yang dilakukan di Jakarta pada anak SD dan remaja
SMP didapatkan hasil bahwa remaja umumnya tahu akibat merokok
pada kesehatan, tetapi tidak tahu secara detail (Santoso, 1993).
Pengetahuan yang rendah pada remaja dan anak termasuk
pemahaman tentang rokok tidak menyebabkan adiksi atau kecanduan
(Prabandari dkk, 2001). Di dalam kajian kualitatif dilaporkan bahwa
remaja mengatakan kalau hanya mencoba tidak apa-apa, nanti kalau
ingin berhenti yang berhenti. Remaja tidak tahu jika berhenti merokok
merupakan usaha yang sulit dilakukan. Hubungan antara sikap positif
terhadap kebiasaan merokok dan perilaku merokok remaja banyak
dibuktikan dalam beberapa kajian di Indonesia (Prawitasari, 2012).
6) Lingkungan yang permisif. Salah satu temuan menarik di Yogyakarta
adalah beberapa orang tua remaja yang merokok ternyata tidak
melarang anaknya untuk merokok. Para orangtua mengatakan bahwa
ada kebebasan untuk merokok, hal ini karena hak anak dan orangtua,
sehingga sekolah juga tidak berhak mengaturnya (Prabandari dkk,
2001).
7) Peraturan dan kebijakan pengendalian rokok yang minimal di Indonesia.
Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pacific yang belum
meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) atau
traktat pengendalian rokok, sehingga aturan dan kebijakan
pengendalian rokok di Indonesia masih minimal (Prabandari &
Padmawati, 2010). Remaja, bahkan anak kecil, dapat membeli rokok.
Rokok dijual murah dan dapat dibeli batangan serta orang merokok di
segala tempat. Harga murah dan mudahnya akses terhadap rokok dapat
mendorong remaja untuk mencoba rokok.
8) Masih banyaknya iklan rokok. Penelitian membuktikan bahwa iklan
rokok berhubungan dengan mulainya kebiasaan merokok pada remaja
(Sargent dkk, 2000). Penelitian di Yogyakarta pada remaja SMP dan
SMA menunjukkan bahwa remaja perokok teratur adalah remaja yang
mendapatkan paparan iklan rokok yang tinggi (Prabandari & Supriyati,
2007). Sementara itu hampir di setiap jalan ataupun di setiap kota di
Indonesia dapat dijumpai dengan mudah iklan rokok.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku merokok antara lain adalah (1) bidang kesehatan dengan
konsep fisik atau sakit yang meliputi: keadaan fisik sebelumnya abnormal,
keadaan kejiwaan atau perilaku abnormal, dan ketergantungan; (b) bidang
psikologi dengan teori perilaku yang meliputi teori belajar klasik, pengkondisian
operan, dan belajar pengamatan (modelling), serta teori kognitif; dan (c)
kontribusi sosial dan lingkungan yang meliputi: pengaruh dari teman, saudara,
dan orang-orang di sekitar yang merokok, status sosial ekonomi dan prestasi
rendah, citra positif terhadap rokok, kepercayaan bahwa merokok adalah norma
remaja pada umumnya dan keterampilan menolak merokok yang rendah,
pengetahuan yang rendah dan sikap positif terhadap merokok, lingkungan yang
permisif, peraturan dan kebijakan pengendalian rokok yang minimal, dan masih
banyaknya iklan rokok.
5. Intervensi Pengendalian Perilaku Merokok
Beberapa cara atau metode intervensi berhenti merokok atau penurunan
perilaku merokok telah dilakukan dalam beberapa penelitian. Menurut Jacken
(2002), ada dua metode yang dapat menghentikan kecanduan terhadap rokok
yang selama ini dikembangkan oleh para ahli yaitu:
1. Metode perubahan perilaku
Metode yang mengandalkan perubahan perilaku yang dimaksud adalah
perokok berhenti merokok tanpa bantuan obat-obatan. Metode tersebut di
antaranya:
a. Metode cold turkey. Metode ini adalah metode yang paling sederhana
dan paling mudah dimengerti tetapi juga paling banyak terjadi kegagalan.
Caranya berhenti merokok yang intinya adalah menentukan kapan akan
berhenti merokok.
b. Cognitive behavioral therapy. Inti dari pendekatan ini adalah
pengetahuan atau kesadaran akan perilaku menjadi dasar untuk
merubah perilaku ke arah yang diinginkan. Perokok hanya akan merubah
perilaku buruk merokok jika tahu bahwa merokok itu buruk. Berdasar
pengetahuan, perokok tersebut berusaha merubah perilaku dari suka
merokok.
c. Aversive conditioning. Inti dari pendekatan ini adalah memasangkan
(pairing) sebuah stimulus atau memasukkan hal yang negative (dapat
perilaku atau pikiran) dengan perilaku yang diinginkan dirubah merokok.
2. Metode dengan terapi obat-obatan. Metode terapi ini dengan memberikan
obat-obatan. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk terapi upaya
berhenti merokok antara lain: bupropion, klonidin, dan yang terbaru
vareniklin. Tidak ada kriteria khusus untuk klien yang akan memulai
farmakoterapi, semua perokok dengan ketergantungan berat yang ingin
berhenti merokok dapat memulai farmakoterapi, kecuali jika terdapat
kontraindikasi, pada ibu hamil, dan perokok remaja. Penggunaan obat ini
segera dimulai ketika tahap action dimulai (Sadikin & Louisa, 2008).
a. Vareniklin. Vareniklin adalah suatu agonis parsial pada reseptor nikotik
α4β2. Reseptor α4β2 ini ditemukan pada neuron dopaminergik dan pada
sel yang mengandung GABA (g-aminobutyric acid). Bila perokok
menghentikan kebiasaannya akan terjadi putus nikotin (nictine
withdrawal) sehingga terjadi penurunan dompamin secara tiba-tiba, ini
yang menyebabkan gejala putus nikotin. Menurut reviw Cochrane,
vareniklin meningkatkan keberhasilan smoking cessatton hingga tiga kali
lipat jika dibandingkan dengan tanpa obat. Selain itu lebih banyak
partisipan yang berhasil berhenti merokok pada kelompok vareniklin
dibanding dengan kelompok bupropion. Efek samping dari vareniklin
adalah gejala gastrointestinal (mual, konstipasi, dispepsia, muntah, sakit
kepala, insomnia, dan mimpi buruk. Penyesuaian dosis dan meminum
obatnya setelah makan dengan segelas air dapat penurunan kejadian
efek samping (Sadikin & Louisa, 2008).
b. Bupropion. Sebelumnya obat ini sebagai antidepresi. Mekanisme kerjanya
dalam meningkatkan abstinensia pada klien yang berhenti merokok belum
diketahui, diduga ada hubungannya dengan hambatan ambilan dopamin
atau noradrenalin, namun kerja ini tentu tidak sedemikian sederhana.
Sampai saat ini belum ada bukti bahwa efikasi (kasiat) bupropion sebagai
farmakoterapi smoking cessation berhubungan dengan aktivitas
antidepresinya. Obat ini tidak anjurkan untuk klien dengan riwayat
epilepsi.
c. Klonidin. Klonidin dikenal sebagai antihipertensi, namun dapat penurunan
gejala putus obat pada klien yang berhenti merokok atau berhenti minum
alkohol. Efek samping utama klonidi adalah mulut kering dan sedasi.
Klonidin bukan pilihan farmakoterapi terbaik bagi klien yang hendak
berhenti merokok, namun dapat berguna bagi klien yang memiliki
kontraindikasi dengan farmakoterapi lainnya.
Selain dua metode yang dipaparkan di atas ada beberapa metode yang
juga dapat digunakan dalam upaya berhenti merokok, antara lain:
1. Penyuluhan dan psikoedukasi. Penyuluhan berasal dari kata suluh yang
berarti pelita atau pemberi terang. Harapan dari pemberian penyuluhan
adalah terjadi peningkatan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan niat untuk
berhenti merokok. Pengetahuan dikatakan meningkat jika terjadi perubahan
dari tidak tahu menjadi tahu. Ketrampilan dikatakan meningkat jika terjadi
perubahan dari tidak mampu menjadi mampu. Sikap dikatakan berubah jika
terjadi perubahan dari tidak mau menjadi mau, dan niat dapat perubahan
apabila dari menggunakan menjadi mengurangi atau berhenti (Ibrahim,
2003). Materi standar yang digunakan dalam penyuluhan berhenti merokok
adalah pengertian rokok dan merokok, kandungan rokok, jenis rokok,
bahaya merokok, dan upaya pencegahan.
2. Konseling dengan Metode 5A. Metode 5A merupakan metode yang dipakai
untuk mengatasi perokok kronis, biasanya datang pada tempat pelayanan
kesehatan karena sakit yang diakibatkan rokok (Fiore dkk, 2008).
Ask adalah menanyakan pada klien berapa banyak menghisap rokok
dalam sehari baik frekuensi maupun intensi merokoknya. Kemudian
melakukan pencatatan di kartu status khusus pada klien tersebut. Hal-hal
yang perlu ditanyakan misalnya: “apakah anda pernah/sedang merokok?”,
apakah anda merokok karena ada hal penting?”, apakah keluarga anda ada
yang sakit akibat merokok?”.
Advice dengan memberi nasehat pada klien tentang pentingnya
berhenti merokok, manfaat yang akan diperoleh dan akibat yang ditimbulkan
jika terus merokok baik bagi klien maupun terhadap anak dan anggota
keluarga yang lain. Dijelaskan juga manfaat secara sosial ekonomi yang
dijelaskan dengan angka-angka yang menarik klien untuk berhenti merokok.
Pada tahap ini juga ditunjukkan menggunakan leaflet. Misalnya: “sangat
penting bagi anda untuk berhenti merokok. Lebih cepat lebih baik. Dan saya
dapat membantu anda!”, “hanya mengurangi jumlah rokok di saat anda
sedang sakit, tidak cukup membantu”, “perokok ringan sekalipun tetap
berbahaya bagi kesehatan”, “saya menyadari bahwa berhenti merokok itu
tidak mudah. Tapi ini adalah langkah paling penting untuk kesehatan anda
sekarang dan nanti. Saya dapat membantu anda untuk merencanakan
program berhenti merokok”.
Asess, dengan membuat skala antara 0-10, dimana 0 tanpa motivasi
berhenti merokok, 10 sangat termotivasi berhenti merokok. Jika klien dalam
skala 0 perlu digali mengapa tidak ada motivasi dan apa yang disukai dan
tidak disukai tentang rokok. Jika klien sangat termotivasi beri konseling atau
pendampingan serta jadwal untuk datang lagi.
Assist, dengan mendampingi klien untuk membuat program berhenti
merokok yang idealnya selama dua minggu. Membantu klien dengan
membuat perubahan di lingkungan sosialnya, keluarga maupun tempat kerja
yang mendukung program ini. Merekomendasikan untuk menggabungkan
metode lain pada tahap ini misalnya dengan obat ataupun behavior therapy.
Arrange, dengan memberikan jadwal kunjungan satu minggu
kemudian untuk terus memberikan motivasi pada klien dan
direkomendasikan untuk dilakukan selama satu bulan. Sesudah itu di
evaluasi hasilnya.
3. Konseling Singkat. Konseling yang dilakukan adalah konseling singkat
menggunakan ask (identifikasi perokok), advise (nasehat untuk berhenti),
dan refer (ke rujukan lain) misalnya: klinik berhenti merokok di rumah sakit
atau puskesmas, atau layanan konseling telefon (quitline). Konseling singkat
dapat dilakukan hanya 1 menit. Strategi konseling yang dapat dilakukan
adalah sebagai berikut: lakukan nasehat yang tegas untuk berhenti, berikan
informasi dengan leaflet, bertanya tapi tidak mengintrograsi, identifikasi
alasan merokok, ciptakan perhatian klien tentang kesehatan, tunjukkan
empati, ajak berkomunikasi, dan pada akhirnya keputusan ada pada klien.
Hal yang tidak diajurkan dalam konseling ini adalah: membujuk, mengajak
bercanda, mengatakan bahwa rokok itu buruk, dengan sikap sinis, dan
menawarkan terapi (Fiore dkk, 2008).
4. Hipnoterapi. Terapi ini ditawarkan untuk mengatasi masalah yang terkait
dengan pikiran, perasaan (emosi) dan perilaku. Konsep penting dari
hipnoterapi adalah hipnosis. Ranah kerja dari hipnoterapi adalah domain
bawah sadar (Rafael, 2006). Domain ini tunduk pada pengaruh sugesti
hipnosis secara langsung (Yager, 2011). Dari penelitian ditemukan satu fakta
menarik yaitu sekitar 75% dari semua penyakit fisik diderita banyak orang
sebenarnya bersumber dari masalah mental dan emosi. Namun kebanyakan
pengobatan atau terapi sulit menjangkau sumber masalah ini, yaitu pikiran
atau lebih tepatnya pikiran bawah sadar. Pengaruh pikiran bawah sadar 9
kali lebih kuat dibandingkan pikiran sadar. Hal ini mengakibatkan orang sulit
berubah meskipun secara sadar sangat ingin berubah, karena terjadi
pertentangan keinginan antara pikiran sadar dan bawah sadar, maka pikiran
bawah sadar selalu menjadi pemenangnya. Misalnya, sebagian besar
perokok tahu bahwa merokok itu merugikan. Bahkan tidak sedikit yang ingin
berhenti merokok. Namun perokok seolah tidak dapat lepas dari rokok,
meskipun segala usaha telah dilakukan. Hal ini terjadi karena pikiran bawah
sadarnya selalu menginginkan rokok. Tidak peduli sekuat apapun pikiran
sadar berusaha menolak rokok, selama pikiran bawah sadarnya masih suka
rokok, maka berhenti merokok adalah hal yang mustahil (Prihantanto, tt).
Hipnoterapi menawarkan terapi yang dapat membawa ke arah perubahan,
salah satunya adalah perubahan perilaku merokok (Gunawan, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa intervensi yang dapat
dilakukan untuk penurunan perilaku merokok. Dari beberapa intervensi yang ada,
peneliti memilih hipnoterapi untuk penurunan perilaku merokok. Alasan pemilihan
intervensi tersebut karena selama ini terapi untuk berhenti merokok atau
penurunan perilaku merokok ada pada domain pikiran sadar atau alam sadar,
sehingga pesan dalam intervensi berhenti merokok atau penurunan perilaku
merokok kurang berhasil, malah kadang-kadang menimbulkan resistensi, hal ini
disebabkan karena pesan disadari. Adapun hipnoterapi ada pada domain alam
bawah sadar atau lebih tepatnya pikiran bawah sadar, sehingga diyakini dapat
menjadi salah satu alternatif intervensi untuk penurunan perilaku merokok.
B. Hipnoterapi dengan Part Therapy
1. Pengertian hipnoterapi dengan part therapy
Hipnoterapi merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang
mempelajari manfaat sugesti untuk mengatasi masalah pikiran, perasaan dan
perilaku. Hipnoterapi dapat juga dikatakan sebagai suatu teknik terapi pikiran dan
penyembuhan yang menggunakan metode hipnotis untuk memberi sugesti atau
perintah positif kepada pikiran bawah sadar untuk penyembuhkan suatu
gangguan psikologis atau untuk mengubah pikiran, perasaan, dan perilaku
menjadi lebih baik (Kahija, 2007).
Kata hipnoterapi terdiri dari dua kata yaitu ‘hipno atau hipnosis’ dan
‘terapi’. Rafael (2006) mendefinisikan hipnosis dengan keadaan alami dari
relaksasi total tubuh, pada kondisi ini kesadaran pikiran meningkat lebih tinggi
dari biasanya. Adapun hipnoterapi merupakan terapi yang menggunakan
hipnosis untuk memfasilitasi suatu perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah
perubahan pola pikir dan perilaku yang diinginkan seseorang sebelum menjalani
proses hipnoterapi. Ada beberapa pendekatan dalam hipnoterapi, menurut
Hakim (2010), pendekatan hipnoterapi antara lain adalah regression therapy,
reverse metaphor, secondary gains, part therapy dan sebagainya. Dari beberapa
pendekatan tersebut part therapy yang digunakan dalam penelitian ini.
Menurut Hakim (2010) part therapy adalah salah satu teknik yang
digunakan dalam hipnoterapi untuk penanganan masalah-masalah yang
berkaitan dengan kebimbangan dan atau pertentangan dalam diri klien. Sering
kali, seseorang mengalami kebimbangan dalam menentukan sebuah keputusan.
Salah satu contohnya adalah seorang perokok yang mengalami kebimbangan
untuk berhenti merokok atau melanjutkan perilaku merokoknya.
Hunter (2015) menjelaskan part therapy adalah proses dalam hipnoterapi
dengan cara memanggil dan berkomunikasi langsung dengan bagian manapun
dari bawah sadar yang terlibat ketika membantu klien mencapai hasil yang
diinginkan. Penggunaan part therapy untuk meredakan pertentangan atau
kebimbiangan batin, biasanya melibatkan mediasi antara dua bagian utama
dalam pertentangan, yang disebut bagian yang bertentangan (conflicting parts)
dan bagian pemotivasi (motivating parts) atau bagian yang menjadi tujuan dari
perubahan perilaku klien.
Part therapy adalah teknik hipnoterapi dengan cara memisahkan dua
bagian permasalahan yang bertentangan dalam diri manusia. Kemudian
mengintegrasikannya agar selaras dan dapat mendukung untuk mencapai target
yang telah ditetapkan (Assen dalam Muqodas, 2011). Part therapy memfasilitasi
klien untuk menangani permasalahan tersebut. Pada pendekatan ini seorang
hipnoterapis dibutuhkan untuk bersikap netral. Hipnoterapis juga berfungsi
sebagai fasilitator atau mediator yang dapat membimbing klien menuju ke
sebuah pencerahan atau solusi terbaik dalam mengatasi konflik batin atau
pertentangan di dalam diri klien tersebut. Berkomunikasi dengan part atau bagian
dari klien layaknya berkomunikasi dengan seseorang. Artinya, ada dua pihak
yang akan diajak bernegosiasi dan berkomunikasi oleh hipnoterapis (Hakim,
2010). Setiap part atau bagian yang ada perlu diperlakukan dengan hormat,
seolah-olah bagian ini adalah orang. Setiap bagian memiliki emosi dan logika
sendiri-sendiri, dan dapat mengungkapkan pendapat sendiri-sendiri mengenai
terapis (Hunter, 2015).
Pendekatan part therapy sangat bermanfaat untuk setiap permasalahan
yang berkaitan dengan ketidaksinkronan dalam diri klien. Teknik ini dapat
digunakan dalam berbagai situasi berikut ini: (1) Kebimbangan dalam mengambil
suatu keputusan; (2) konflik batin; (3) sabotase diri; (4) mendengarkan suara-
suara diri yang saling bertentangan; (5) kebiasaan yang tidak diinginkan; (6) post
traumatic stress disorder; (7) ada blok dalam berkreasi, penyembuhan, dan
perubahan; (8) rasa sakit kronis; dan (9) kebimbangan dalam menjalani
pengobatan/penyembuhan. Sebaiknya, pendekatan part therapy ini
dikomunikasikan terlebih dahulu kepada klien, sehingga hipnoterapis dapat
memberikan pemahaman bahwa permasalahan klien akan dipisahkan dalam part
atau bagian yang saling bertentangan. Hal ini dilakukan agar terjadi sebuah
kesepakatan yang bermanfaat untuk memecahkan permasalahan yang sedang
dihadapi oleh klien (Hakim, 2010). Perlu diingat bahwa apabila part therapy
digunakan untuk terapi, sebaiknya menjelasan kepada klien dilakukan sebelum
memulai hipnosis. Penjelasan dilakukan sesederhana mungkin supaya klien tidak
bingung (Hunter, 2015).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hipnoterapi
dengan part therapy adalah suatu terapi yang menggunakan metode hipnosis
dengan pendekatan part therapy yang dilakukan dengan proses penurunan
kesadaran dan peningkatan sugestibilitas menggunakan cara berkomunikasi,
negosiasi dan memediasi terhadap bagian-bagian atau parts yang mengalami
pertentangan atau mengalami kebimbangan dalam diri seseorang yang dilakukan
oleh hipnoterapis yang dimanfaatkan untuk proses perubahan atau
penyembuhan.
2. Tahap-tahap hipnoterapi dengan part therapy
Penjelasan tahap-tahap hipnoterapi dengan part therapy mengacu dari
tahapan Hakim (2010) dan Hunter (2015), antara lain adalah: tahap persiapan,
tahap pelaksanaan dan tahap penutup.
a. Tahap persiapan
Persiapan hipnoterapi dengan part therapy dapat dilakukan dengan
memulai pra-induksi, induksi, deepening (pendalaman trance), dan uji kedalaman
hipnosis (Hakim, 2010). Persiapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pre-induksi (interview)
Di dalam tahap pre-induksi ada beberapa tahapan yang dapat
dilakukan yaitu:
a) Building rapport. Membangun relasi dengan klien melalui teknik Neuro
Linguistic Programming (NLP) dan empati. Building rapport dapat
dilakukan dengan beberapa strategi yaitu:
(1) Mirroring (kesamaan). Strategi ini dapat meningkatkan hubungan
kedekatan antara hipnoterapis dan klien. Contohnya: makanan
kesukaan yang sama, hobi yang sama dan sebagainya.
(2) Eye contact (kontak mata). Tatapan mata menentukan kualitas
perhatian hipnoterapis dengan klien. Perhatian setiap curahan kata
demi kata yang terlontar dari ucapan klien secara antusias sehingga
membuat klien menjadi jauh lebih tenang dan nyaman
mengeluarkan segala permasalahannya.
(3) Eye alignment (pandangan mata). Pandangan mata sangat
menentukan kenyamanan klien, khususnya pada saat sesi
hipnoterapi berlangsung. Kebiasaan sering menatap ke arah kanan
dijadikan potensi untuk menciptakan suasana yang lebih nyaman
bagi klien sehingga dalam sesi hipnoterapi, biasanya klien berada di
samping kiri hipnoterapis. Namun, bagi klien yang masuk ke dalam
kategori kidal, usahakan posisinya berada di sebelah kanan
hipnoterapis.
(4) Verbal agreement (kesepakatan lisan). Pada strategi ini diharapkan
hipnoterapis tidak memberikan komentar-komentar yang seakan-
akan mengatur atau menyudutkan klien. Berikanlah keleluasaan
bagi klien untuk dapat mengungkapkan permasalahannya.
b) Intake interview. Wawancara untuk memperoleh latar belakang klien dan
permasalahan klien secara lebih benar. Ada beberapa strategi yang harus
dilakukan dan dihindari dalam intake interview.
Strategi yang dapat dilakukan dalam intake interview, adalah
dengan mencari informasi dasar tentang hal-hal sebagai berikut.
(1) Umur, status, kondisi perkawinan, jumlah dan kondisi anak, status
dan kondisi orangtua, jumlah dan kondisi saudara kandung,
pekerjaan, hobi, dan permasalahan yang dirasakan.
(2) Bagaimana pandangan klien tentang metode hipnoterapi?
(3) Berapa besar harapan klien dengan menjalani sesi hipnoterapi?
(4) Seberapa besar keinginan klien untuk menuntaskan permasalahan
dengan hipnoterapi.
(5) Dan lain sebagainya
Informasi yang perlu dihindari dalam intake interview, adalah
sebagai berikut: (a) Menunjukkan keprihatinan yang berlebih; (b)
Mengkritik klien; (c) Memberikan harapan yang berlebihan; (d) Menakuti
klien (e) Berdebat dengan klien; (f) Menyalahkan klien tentang
kegagalannya; (g) Menunjukkan keheranan; (h) Menilai secara
moralistic; (i) Membebankan klien dengan kesukaran hipnoterapi; (j)
Memberikan contoh dirinya sendiri; (k) Menenteramkan hati klien secara
berlebihan; (l) Melemparkan ucapan-ucapan tentu/pasti; dan (m)
Mempermalukan klien.
c) Exploring client modalities. Eksplorasi kemampuan klien (kedalaman,
pengetahuan, komunikasi dan lain sebagainya). Setiap manusia
mempunyai tiga modalitas dalam proses komunikasi berbahasa yaitu
modalitas visual (penglihatan), modaliatas audio (pendengaran), dan
modalitas kinestetik (perabaan). Modalitas klien perlu diketahui oleh
seorang hipnoterapis, hal ini membantu proses terapi. Apabila seorang
klien lebih memiliki modalitas visual, maka seorang hipnoterapis hanya
mengarahkan klien secara visual, begitu pula apabila audio maupun
kinestetik. Contoh mengali modalitasi klien adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Penggunaan bahasa sesuai dengan modalitas yang dimiliki seseorang
No. Tipe
Modalitas
Kata yang
digunakan Penggunaan dalam kalimat
1. Visual Melihat; memba-
yangkan;
memperha-tikan;
bersih; jernih;
cerah; kotor; kilau;
cemerlang; gelap;
terang; berkabut; cantik; jelek, dll.
Awasi napas anda
Perhatikan suara saya
Gambarkan cerita Anda
Pandanglah ke sebuah
tempat yang indah
2. Audio Mendengar; suara;
berisik; berbisik;
mengalun; nada;
heboh; resonansi; gegap gempita, dll.
Dengarlah suara saya
perlahan-lahan
Ceritakan secara detail
Katakan sekali lagi
Ungkapkan dengan nada
3. Kinestetik Merasa; sentuhan;
dingin; kasar;
genggam; tangkap;
keras; lembut;
basah; lengket;
tebal; tipis; dll
Rasakan bagaimana suara
saya masuk ke dalam pikiran
bawa sadar anda.
Sentuhlah dengan
kelembutan hati anda.
Lakukan dengan lembut.
Rasakan bagaimana sejuknya
ruangan di sekitar anda.
Nikmatilah bagaimana em-
puknya kursi relaksasi anda.
4. Gustatory
(pengecapan)
Manis; asam; asin;
payau; anta; pedas; dll.
Sekarang anda dapat menik-
mati manisnya buah-buahan yang ada di depan Anda
5. Olfactory (penciuman)
Harum; bau; sangit; dll
Nikmatilah bagaimana
harumnya saat anda
menghirup udara di sekitar
anda.
d) Hypnotherapy training atau hipnosis explanation. Konsep hipnosis dan
hipnoterapi. Sebelum dilakukan hipnoterapi dipastikan klien mengetahui
secara jelas metode hipnoterapi. Hal ini dimaksudkan agar terjadi
proses kerjasama antara klien dengan hipnoterapis. Hal-hal yang perlu
diketahui antara lain adalah:
(1) Apa yang dimaksud dengan kondisi hipnosis?
(2) Bagaimana seseorang memasuki kondisi hipnosis?
(3) Bagaimana perbedaan antara hipnoterapi dan hipnosis panggung?
(4) Apakah saat diterapi saya tertidur?
(5) Apakah seseorang tidak sadarkah diri dalam kondisi hipnosis?
(6) Siapa yang mengontrol pada saat sesi hipnoterapi dilakukan?
e) Sugestivity test. Berbagai tes untuk meningkatkan sugesti klien. Tes
sugesti bermanfaat untuk mengetahui “level sugestivitas” seorang klien,
dari level sugesti rendah, sugesti sedang, hingga sugesti dalam. Ada
beberapa teknik yang dapat dilakukan dalam tes sugesti, yaitu:
(1) Teknik catalepsy of the eyes. Teknik ini merupakan teknik yang
sangat mudah dilakukan terhadap klien. Indra penglihatan
merupakan bagian tubuh yang paling sensitive dibandingkan dengan
bagian tubuh yang lain. Mata mudah dikendalikan oleh setiap orang,
baik dalam membuka maupun menutup mata.
Catalepsy of the eyes dapat digunakan untuk melihat sejauh
mana klien mau berinteraksi atau mematuhi saran-saran dari
hipnoterapis. Contoh catalepsy of the eyes adalah sebagai berikut:
Baiklah, setiap manusia memiliki kemampuan untuk membuka dan menutup mata, termasuk saat anda menutup dan juga membukanya. Nanti, anda dapat memprogram diri anda, termasuk
kedua kelopak mata anda sehingga saat anda menutup
mata maka dengan keinginan anda, kedua mata anda
secara perlahan-lahan memilih untuk menutup rapat
walaupun anda ingin membukanya kembali. Ingat,
semuanya tergantung kepada Anda
Saat klien menutup mata, lakukan tes sugesti terhadap matanya,
Sekarang, saya minta anda untuk menutup mata secara
perlahan-lahan. Bayangkan di antara kedua kelopak mata
anda, saya memberikan lem yang paling kuat di dunia
sehingga kedua kelopak mata anda sekarang benar-
benar telah terekat oleh lem yang sangat kuat. Semakin
anda ingin membuka mata, mata menjadi sulit untuk
dibuka. Sekarang, katakana dalam hati anda, mata
terkunci, mata terkunci, mata terkunci. Terus katakana
mata terkunci, mata terkunci...
Berikan instruksi ini sambil mengarahkan klien untuk mencoba
membuka mata. Setelah itu bimbing klien sehingga tercipta efek
catalepsy of the eyes. Setelah selesai kembalikan klien ke keadaan
semula, yaitu dengan meminta klien membuka kedua matanya
kembali.
(2) Chevreul’s pendulum. Hipnoterapi membutuhkan sebuah pendulum
atau bandul sebagai alat bantu untuk membimbing klien
berkomunikasi dengan pikiran bawah sadarnya. Hipnoterapis dapat
mengarahkan klien untuk berkonsentrasi terhadap setiap pergerakan
bandul sesuai dengan perintah yang diinginkan oleh klien yang
bersangkutan. Berikut adalah variasi gerakan yang dapat dilakukan
dalam teknik ini.
(a) ke arah kiri dan ke kanan
(b) Gerakan ke atas dan ke bawah
(c) Gerakan melingkar searah jarum jam.
(d) Gerakan melingkar berlawanan arah jarum jam.
Contoh instruksi menggunakan teknik Chevreul’s pendulum adalah
sebagai berikut.
Baiklah, sekarang, di tangan kanan anda, ada sebuah pendulum atau bandul. Sebenarnya, tanpa anda menggerakkan tangan kanan anda, bandul atau pendulum yang ada di tangan kanan anda dapat anda perintahkan untuk bergerak sesuai dengan apa yang anda perintahkan. Hal ini terjadi karena perintah yang anda lakukan langsung diteruskan kepada pikiran anda dan secara otomatis saraf sensorik anda menggerakkan tali bandul tersebut.
Pandu klien untuk menggerakkan bandul dengan saraf sensorik,
Sekarang, silahkan anda perintahkan bandul untuk bergerak sesuka kehendak anda, misalnya perintahkan bandul untuk bergerak ke kiri dan ke kanan. Bagus, (lihat pergerakan bandul klien, jika masih belum bergerak, tetap katakana bagus), lebih keras lagi, lebih kuat lagi. Baik, sekarang katakan kepada. Bandul, “Bandul, diam,” (saat bandul yang tadinya bergerak kencang perlahan-lahan bergerak lambat dan diam) bagus sekali (hipnoterapis dapat menyarankan kepada klien untuk mencoba variasi gerakan bandul).
(3) Teknik locking elbow test. Teknik ini lebih menekankan pada klien
yang lebih suka diperintah secara langsung. Mintalah klien untuk
mengangkat tangan kanannya ke depan sejajar dengan bahu
kanannya. Pastikan siku tidak bengkok.
Contoh teknik locking elbow test yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
Dengan pikiran bawah sadar, sebenarnya tangan kanan anda dapat anda perintah, asalkan anda benar-benar mau melakukannya, misalnya menjadikan tangan anda sulit untuk dibengkokkan. Baiklah, sekarang saya minta anda untuk mengangkat tangan kanan anda ke depan, pastikan tangan kanan beserta jemari anda lurus sejajar dengan bahu anda. Sekarang, dengar, rasakan, dan imajinasikan tangan kanan anda sulit sekali untuk dibengkokkan. Bayangkan siku tangan kanan anda seperti dikunci sehingga tangan anda sulit untuk dibengkokkan. Dan, sekarang, katakana dalam hati, siku tangan terkunci, siku tangan terkunci, siku tangan terkunci....semakin anda mencoba untuk membengkokkan tangan anda, tangan anda memilih untuk tetap lurus dan siku anda terkunci.
Hipnoterapis membimbing klien untuk membayangkan tangannya
menjadi kaku, terkunci, dan sulit dibengkok-kan. Saat membimbing
klien untuk membayangkan tangannya kaku, hipnoterapis mencoba
untuk membengkokan tangan klien.
Bagus, sekarang, anda dapat rasakan tangan kanan anda kembali dalam keadaan normal seperti sediakala, dan rasakan tangan kanan anda dapat dibengkokkan kembali.
Kembalikan klien ke kondisi semula, yaitu siku tangan depan
dibengkokkan dan tangan kembali lentur.
f) Hypnotherapy contract and strategy.
Teknik menyusun strategi dan kontrak dengan klien. Kontrak dalam
hipnoterapi dapat dilakukan secara lisan, yaitu dengan mengatakan
kepada klien, “Apakah anda benar-benar ingin menjalani proses
hipnoterapi bersama saya?” sebuah jawaban yang tegas dari klien
merupakan sebuah persetujuan kontrak secara bawah sadar yang sangat
mempengaruhi kesuksesan proses hipnoterapi. Hipnoterapis dan klien
dapat berjabat tangan untuk memberikan sinyal pikiran bawah sadar klien
bahwa proses hipnoterapis akan segera di mulai.
2) Induction (Induksi)
Induksi merupakan cara yang digunakan hipnoterapis untuk
membawa pikiran klien berpindah dari pikiran sadar ke pikiran bawah sadar
dengan menembus critical area. Ketika tubuh klien rileks, otak juga akan
menjadi rileks, sehingga frekuensi gelombang otak akan turun dari betha,
alpha, kemudian tetha. Semakin turun gelombang otak, klien akan semakin
rileks sehingga berada dalam kondisi trance (dari conscious mind ke
subconscious mind). Ahli hipnoterapis akan mengetahui kedalaman trance
klien dengan melakukan depth level test trance klien dengan melakukan
depth level test.
Ada beberapa teknik yang digunakan dalam membantu induksi,
antara lain adalah:
a) Arm-Drop: membuat tubuh fisik klien lelah. Pada teknik ini klien diminta
untuk menaikkan salah satu tangan kanan atau kirinya hingga posisi
tangannya sedikit di atas kepala. Tangan yang terangkat ke atas
tersebut dimaksudkan agar klien merasakan sebuah efek kelelahan,
sehingga dengan durasi waktu tertentu, tangan klien turun secara
alami. Hipnoterapis dapat mengarahkan sugestinya sebagai berikut:
Semakin tangan anda bergerak turun ke bawah, anda semakin memasuki kondisi yang sangat dalam
Apabila klien masih tetap bersemangat dalam kondisinya (posisi
tangan terangkat di atas kepala), hipnoterapis cukup mengatakan,
Semakin anda mempertahankan posisi tangan anda di atas kepala anda, anda tidak akan masuk dalam kondisi relaks total sampai tangan anda secara perlahan-lahan turun ke bawah
Setelah tangan kanan klien turun ke bawah, hipnoterapis dapat
melanjutkannya dengan tahapan deepening (pendalaman).
b) Hand shake: merelaksasikan otot-otot klien. Pada teknik ini klien diminta
untuk duduk di kursi yang nyaman. Hipnoterapis dapat memulai
pertanyaan, yaitu: “Apakah anda ingin mengalami kondisi hipnosis?”
Setelah klien merespon: “Ya”, hipnoterapis dapat melanjutkan “Boleh
saya pinjam tangan kanan anda?” Setelah klien merespon “Ya”, lakukan
jabat tangan, tetapi pastikan lengan tangan kanan klien agar lurus ke
depan.
Hipnoterapis dapat mengatakan;
Saya ingin anda menatap saya sesaat, ketika anda
menatap saya, perhatikan baik-baik kedua mata saya,
dan dengarkan baik-baik suara saya, dan saya minta
anda untuk melakukannya secara alami
Perlahan-lahan, mulai naikkan dan turunkan tangan klien dengan
gerakan atas dan bawah (gerakan jangan terlalu tinggi atau rendah).
Lalu, katakana:
Saat saya mulai menaikkan dan penurunan tangan anda,
dengar, perhatikan, dan rasakan bagaimana tangan
kanan anda mengikuti irama gerakan naik dan turun. Dan,
luar biasanya, gerakan tersebut membuat anda semakin
nyaman sehingga tanpa saya jabat pun, tangan kanan
anda tetap membuat gerakan ke atas dan ke bawah,
rasakan, nikmati gerakan tersebut. Bagus, sekarang
perlahan-lahan, tangan kanan anda berhenti bergerak
dan rasakan tangan kanan anda makin lama semakin
turun ke pangkuan anda.
Setelah tangan klien berada di atas pangkuan, lanjutkan dengan
proses deepening.
c) Misdirection: manipulasi keyakinan klien. Teknik ini cocok bagi klien
yang memang tidak dapat merasa relaks atau klien berada dalam
kondisi tegang dan bawah sadarnya tidak ingin dihipnosis. Pada
konsep ini hipnoterapis sebenarnya perlahan-lahan mempengaruhi
pikiran bawah sadar klien dan pada saat yang tepat, hipnoterapis
langsung mengarahkan klien menuju kondisi lebih relaks dan lebih
nyaman. Upaya yang dapat dilakukan hipnoterapis dalam teknik ini
adalah sebagai berikut.
(1) Mulailah dengan memberikan keyakinan kepada klien bahwa
semua adalah imajinasi.
(2) Bimbing klien untuk berimajinasi secara fisik, contohnya
mengendarai mobil.
(3) Bimbing klien hingga memasuki kondisi hipnosis.
Setelah kondisi hipnosis tampak lanjutkan dengan proses deepening.
d) Mental confusion: membingungkan pikiran sadar klien. Pada teknik ini
hipnoterapis mengarahkan klien untuk menganalisis sesuatu yang
semakin lama, semakin membuat critical area menjadi sibuk dan
bingung sehingga saran yang disisipkan oleh hipnoterapis dapat lolos
ke pikiran bawah sadar klien. Pada intinya, induksi adalah proses
untuk mengubah gelombang pikiran klien dari gelombang pikir beta ke
gelombang pikir alpha dan theta, dengan membuka critical area klien,
gelombang pikir klien secara otomatis dalam kondisi hipnosis.
Teknik ini mengarahkan pikiran sadar untuk keluar dari sebuah
rutinitas dan perhatian pikiran bawah sadar dipertahankan dengan
sebuah saran, jeda waktu, dan kelelahan secara mental. Langkah
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
(1) Mintalah klien untuk berjabat tangan
(2) Gerakkan dan ayunkan tangan klien seperti berjabat tangan
berkali-kali.
(3) Lepaskan tangan klien, bimbing klien agar tangannya terus
diayunkan seperti berjabat tangan.
(4) Pada saat itulah pikiran sadar agar kebingungan lalu pandu klien
untuk beristirahat,
(5) Ketika klien duduk dengan kondisi santai dan mata tertutup
lakukan skrip ini secara perlahan-lahan dan berirama;
Manusia memiliki dua kategori pikiran kesadaran, ada
yang disebut dengan pikiran sadar dan ada yang disebut
dengan pikiran bawah sadar. Pikiran sadar sering kali
penuh dengan hal-hal yang membebani kehidupan
dengan berbagai aturan dan analisis, sedangkan pikiran
bawah sadar dihiasi dengan hal-hal yang menyamankan
dan bersifat netral tanpa dibebani aturan-aturan dan
kerumitan analisis.
Lanjutkan, Fokuskan diri anda di kedua mata anda, biarkan pikiran
anda melayang jauh bagaimana burung yang terbang
tinggi sesuai dengan keinginannya, anda menyadari
semuanya. Walaupun nanti anda kurang mendengar
suara saya lagi, itu disebabkan pikiran sadar anda
memang tidak lagi mendengar suara saya, semuanya
terjadi karena pikiran bawah sadar andalah yang
sebenarnya mendengarkan apa yang patut untuk
didengar... dan sebagainya
Setelah kondisi hipnosis tampak lanjutkan dengan proses
deepening.
3) Deepening dan Depth level test.
Tahapan dalam hipnoterapi untuk memperdalam dan
mempertahankan kondisi klien dalam keadaan alpha dan delta. Pada saat
hipnoterapis melakukan induksi terhadap klien, kondisi kesadaran klien
berpindah dari kondisi beta ke kondisi alpha maupun theta. Namun, untuk
lebih memperdalam kesadaran klien serta mempertahankan kondisi
alpa/theta tersebut, diperlukan teknik deepening.
Gambaran level kesadaran seseorang dan indikator secara fisik dan
mental pada saat seseorang telah berada dalam keadaan trance dan tanda-
tanda perubahan klien pada kondisi trance dapat dilihat pada tabel 2 dan
tabel 3 berikut.
Tabel 2. Gambaran level kesadaran dan indikator secara fisik dan mental
No. Level
pikiran Frekuensi
gelombang Trance level
Tanda-tanda fisik dan mental
1. Beta 30-14 Hz Hypoidal Relaksasi secara fsik dan mental
Mata mulai terasa berat
2. Alpha 14-8 Hz Ligh trance Kekakuan pada otot sekunder
Merasa lebih ringan atau lebih
berat
3. Deep
alpha
8-6 Hz Medium
trance Kekakuan pada otot primer
Ilusi penciuman atau penghirupan
Amnesia secara parsial
4. Theta 6-5 Hz Deep trance Amnesia total
Analgesia (kebal terhadap sentukan, tetapi masih dapat merasakan.
Halusinasi positif
5. Deep
theta
5-3,8 Hz Deep
somnam-bulism
Amnesia
Anestesi (efek bius)
Halusinasi visual dan audio positif
6. Delta 3,9-0,1 Hz Normal sleep Tidak ada respons
Tabel 3. Tanda perubahan klien pada kondisi trance
No. Trance level Tanda-tanda fisik dan mental
1. Perhatian klien Mulai fokus terhadap kata-kata hipnoterapis.
Mulai fokus menatap hipnoterapis.
2. Perubahan pola
tubuh klien Perubahan pola nafas yang mulai stabil dan relaks.
Denyut nadi yang lebih stabil.
Perubahan warna kulit yang lebih cerah.
Perubahan suhu tubuh dari kondisi dingin ke kondisi agak hangat.
3. Sensasi tubuh Merasa lebih ringan.
Merasa tenggelam.
Merasa lebih berat.
4. Sensasi pada
mata Mata mulai terasa berat.
Mata mulai bergetar.
5. Sensasi nyaman Terlihat lebih damai.
Terkadang tersenyum bahagia
6. Respons terhadap sugesti
Mampu berkomunikasi secara sempurna.
Mengganggukkan kepala atau menggelengkannya.
7. Refleks menelan Sensasi klien pada saat membayangkan memakan
jeruk.
8. Respon yang
tidak diinginkan Abreaksi (dengan mengingat kembali trauma psikis).
Histeria.
Faktor-faktor yang mempengaruhi trance dan kedalaman klien adalah
sebagai berikut.
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi trance dan kedalaman klien
No Trance level Tanda-tanda fisik dan mental
1. Kondisi psikologis klien
Klien yang mengalami fobia atau traumatic akan lebih mudah memasuki kondisi alpha/theta.
2. Tingkat keaktifan berpikir klien
Semakin klien berpikir aktif, semakin aktif juga pikiran sadarnya. Hipnoterapis harus dapat penurunan tingkat
keaktifan berpikir klien dengan teknik-teknik missdirection.
3. Suasana dan kon-disi lingkungan
Hipnoterapis harus mampu mempersiapkan kondisi ling-kungan sekitar; seperti pengaturan pencahayaan, kebi-singan, suhu udara, agar membuat klien lebih nyaman.
4. Keterampilan hipnoterapis
Hipnoterapis harus mampu melakukan strategis secara tepat dengan menggabungkan berbagai teknik untuk mempertahankan kondisi alpha atau theta klien.
5. Waktu Pengaturan waktu perlu dipertimbangkan, tidak terlalu lama (membosankan) dan tidak terlalu cepat (klien belum
memasuki kondisi gelombang pikiran yang diinginkan).
6. Tingkat keperca-yaan klien terha-dap hipnoterapis
Semakin mempercayai hipnoterapisnya, semakin mudah klien memasuki gelombang pikir alpha maupun theta.
b. Pelaksanaan
Menurut (Hakim, 2010) dan Hunter (2015), pelaksanaan hipnoterapi
dengan part therapy dapat dijelaskan sebagai berikut.
(1) Identifikasi dua atau lebih bagian yang bertentangan
Komunikasi pemisahan ini perlu dilakukan agar klien benar-benar
paham dan tidak kebingungan terhadap maksud dari pemisahan part
atau bagian dalam diri klien. Jangan sampai klien merasa bahwa ia
memiliki kepribadian ganda.
Skrip:
Apakah anda bagian dari diri anda yang ingin berhenti merokok? Apakah anda bagian lain dari diri anda yang selalu menghambat usaha-usaha anda untuk berhenti merokok?
Perhatikan jawaban dari klien. Jangan dilanjutkan sebelum klien
mengkonfirmasikan hasil identifikasi bahwa ada hal yang bertentangan
dalam usahanya untuk berhenti merokok tersebut.
(2) Mendapatkan kesesuaian bagian-bagian terhadap bagian yang hadir
(beri pujian kepada bagian)
Hubungan dan kesesuaian harus didapatkan dengan bagian diri klien,
agar bagian ini merasa nyaman dan diterima. Pemberian pujian
terhadap bagian walaupun klien mengkritiknya merupakan salah satu
bentuk penerimaan pada bagian tersebut.
Misalnya: bagus....hebat.....dan sebagainya.
(3) Pemanggilan bagian-bagian untuk mengenalkan tentang bagian-
bagian yang akan dipisahkan
Skrip:
Sekarang, perhatikan, bayangkan, dan rasakan bahwa salah satu telapak tangan anda mewakili bagian dari diri anda yang ingin berhenti merokok, sedangkan telapak tangan lainnya anda rasakan sebagai hal dari diri anda yang selalu menghambat pencapaian tujuan anda untuk berhenti merokok.
Bayangkan dan rasakan bahwa kedua bagian ini benar-benar saling
bertolak belakang, berbeda, dan terpisah. Rasakanlah, rasakan.
Apakah anda kini sudah benar-benar dapat merasakannya?
(4) Mengucapkan terima kasih terhadap bagian yang telah hadir
Berterima kasih kepada bagian karena telah muncul akan menjaga
rapport dan memudahkan komunikasi dengan bagian atau part.
(5) Penemuan tujuan dengan membimbing klien dan mengekspresikan
setiap bagian
Pengekspresikan bagian sangat diperlukan agar klien dapat
merasakan perbedaan antara bagian yang ingin berhenti merokok dan
bagian yang ingin tidak berhenti merokok. Dengan demikian, klien
dapat mencurahkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh setiap
bagian itu.
Untuk mengetahui maksud dan keinginan setiap bagian,
hipnoterapis perlu menanyakannya berulang-ulang dengan pertanyaan
yang serupa, tetapi tidak sama.
Skrip:
Rasakan telapak tangan kiri anda, bagus, rasakan dengan baik, dapatkan anda menceritakan apa yang ingin disam-paikan oleh bagian tersebut? Kemudian, kini, rasakan telapak tangan anda, apakah ada pesan khusus yang ingin anda sampaikan?
(6) Pemanggilan bagian lain yang sesuai tujuan
Pemanggilan bagian yang menginginkan perubahan. Seringkali bagian
ini akan memberikan nama kecil klien ketika ditanya ingin dipanggil
dengan nama apa. Walaupun hal ini terjadi, part therapy masih dapat
dilanjutkan secara efektif dengan cara biasa.
(7) Melakukan negosiasi dan mediasi terhadap setiap bagian
Setelah setiap bagian dapat mengekspresikan dirinya,
hipnoterapis perlu memandu bagian tersebut untuk dapat terus
menerus mengekspresikan dirinya. Saat terjadi komunikasi
antarbagian, terjadilah sebuah pertentangan sehingga hipnoterapis
harus hati-hati dalam menengahi situasi tersebut. Hindari melakukan
dukungan ke salah satu bagian atau memberi arahan-arahan yang
menguatkan salah satu bagian.
Mediasi yang dilakukan oleh hipnoterapis dimaksudkan agar
masing-masing bagian benar-benar dapat mencurahkan setiap
keinginan dan permasalahannya. Hal ini dilakukan sampai kedua
bagian tersebut mulai saling menemukan titik terang dan sepakat
untuk memandang permasalahan dengan “pandangan baru” atau “cara
yang baru”. Pada umumnya, bagian yang lebih bersifat negatif serta
merugikan dirinya dan orang lain akan “melemah”, lalu akhirnya
“mendukung” bagian yang lebih positif, bermanfaat bagi dirinya.
(8) Memfasilitasi bagian-bagian yang hadir untuk bersepakat
Setelah salah satu bagian melemah dan bagian lainnya menguat,
bagian yang lebih kuat dapat melakukan sebuah kesepakatan atau
negosiasi terhadap bagian yang lebih lemah.
Skrip:
Apakah bagian dari diri anda yang menginginkan untuk
berhenti merokok dan bagian dari diri anda yang tidak
menginginkan untuk berhenti merokok sudah saling sepakat
untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan Anda...?
Tunggu sampai ada jawaban “Ya” dari klien. Jika masih belum terjadi
kesepakatan, teruskan dialog sampai hal ini tercapai.
(9) Mengkonfirmasikan dan merangkum kesepakatan
Setelah kedua bagian tersebut telah bersepakat, hipnoterapi memandu
untuk dapat menyatukan bagian tersebut dan mengintegrasikannya
agar selaras. Hasil kesepakatan tersebut perlu didukung oleh
hipnoterapis sebagai mediator guna mencapai tujuan terbaik.
Skrip:
Baiklah, sekarang rapatkan kedua tangan anda dalam satu
kesepakatan secara perlahan. Biarkan kedua bagian dari diri
anda berjabat tangan, saling selaras dan sepakat untuk
suatu tujuan terbaik bagi kehidupan anda sekarang.
Rasakan kenyamanan dan kedamaian tercipta dalam diri
anda, rasakanlah bahwa kini semuanya telah selaras,
harmonis, dan menyatu serta mendukung tujuan hidup
terbaik anda.
(10) Memberikan sugesti langsung yang sesuai
Sugesti langsung sebaiknya diselaraskan secara ketat dengan
kesepakatan yang telah dicapai, bersama kepercayaan diri untuk
melakukannya. Sugesti tambahan dapat diberikan setelah langkah
penggabungan sebagai bagian dari penutupan part therapy.
(11) Memadukan bagian-bagian yang telah bersepakat (proses part therapy
selesai)
Setelah setiap bagian saling bersinergi dan telah menyatukan sesuai
dengan tujuan hidup klien, hipnoterapis perlu mengkonfirmasikan
kembali kepada bagian yang telah menyatu tersebut. Klien harus dapat
menyatakan hal-hal yang dirasakannya setelah kedua bagian ini
menyatu. Biasanya, klien memiliki sebuah solusi terbaik dan bijaksana
yang benar-benar dapat bermanfaat terhadap kehidupannya.
Skrip:
Bagaimana perasaan anda sekarang? Apakah anda sudah dapat merasakan solusi terbaik? Apakah anda dapat menggambarkan perasaan anda?
c. Penutup (Terminasi)
(1) Beri sugesti dan/atau pembayangan terpadu tambahan
(2) Bangunkan klien
(3) Diskusikan terapi secara singkat dengan klien dan buat janji
pertemuan berikutnya yang sesuai.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap hipnoterapi
dengan part therapy adalah tahap persiapan, tahap tahap hipnoterapi dengan
part therapy dan tahap penutup atau terminasi.
C. Hipnoterapi dengan Part Therapy untuk Penurunan Perilaku Merokok
Sumber stressor yang sering terjadi pada seorang perokok adalah rasa
takut, cemas dan kompulsif dalam menjalani permasalahan hidupnya. Awal mula
seseorang merokok adalah untuk menenangkan dan mendinginkan
permasalahan hidupnya. Namun setelah menjadi perokok, ada kebimbangan
antara berhenti atau melanjutkan perilaku merokok (tahap initiation), hal ini
disebabkan karena terjadinya disonansi kognitif dalam diri seorang perokok. Di
satu sisi seorang perokok meyakini bahwa merokok dapat menyebabkan rileks,
menjernihkan pikiran, membuat bahagia, membuat tenang dan sebagainya
(Gibson & Benthin dalam Thomas & Suci, 2010), namun disisi lain seorang
perokok juga memahami dan meyakini risiko yang timbul dari perilaku merokok
baik dari segi kesehatan (menyebabkan penyakit paru-paru, kanker, jantung,
gangguan janin dan sebagainya) maupun dari segi sosial ekonomi (dapat
menghabiskan uang, polusi udara, aktivitas sosial terganggu dan sebagainya)
baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain di sekitarnya. Ketidaksesuaian apa
yang dipikirkan (area sadar) oleh seorang perokok akan menimbulkan
ketidaknyamanan secara psikologis (Eliot & Devine, dalam Allahyani, 2012),
sehingga perokok termotivasi untuk melakukan upaya mengurangi atau
menghentikan perilakunya.
Keberhasilan perokok dalam upaya berhenti merokok pada individu satu
dengan lainnya ada perbedaan, hal ini tergantung dari penyebab awal merokok,
rentang waktu menjadi perokok, dosis rokok yang dihisap, dan kuatnya gejolak
yang dialami. Meskipun telah memiliki keinginan berhenti merokok bukanlah hal
yang mudah, terutama bagi perokok berat yang mempunyai rentang waktu
merokok yang lama dan dosis yang tinggi. Oleh karena itu akan dibutuhkan suatu
usaha yang lebih keras untuk dapat berhenti merokok (Syafie, 2009). Selain itu,
secara psikis perokok yang sudah terbiasa sering mengambil batang rokok dan
korek api dari dalam sakunya, maka ketika perokok meninggalkan kebiasaan itu
akan merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Hal ini juga menjadi
salah satu sebab semakin sulitnya meninggalkan kebiasaan merokoknya. Oleh
karena itu keberhasilan berhenti merokok dapat diprediksi melalui faktor
frekuensi merokoknya (Abdullah dkk., 2014).
Walaupun sulit untuk menghentikan perilaku merokok, namun masih ada
upaya yang dapat dilakukan untuk perubahan perilaku tersebut. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan hipnoterapi dengan part
therapy. Menurut Hakim (2010), hipnoterapi dengan pendekatan part therapy
cocok digunakan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan adanya
pertentangan atau kebimbangan dalam diri klien dalam upaya berhenti merokok.
Adapun menurut IACH (2015), pendekatan part therapy digunakan untuk
masalah dengan konflik internal yang terjadi dalam diri seseorang karena
terdapatnya sisi-sisi kepribadian yang saling bertolak belakang. Kedua sisi
tersebut memiliki tujuan “baik” menurut sudut pandang masing-masing bagian
(part), sehingga menimbulkan pertentangan yang terus menerus. Untuk
memenangkan salah satu bagian tersebut perlu pelemahan salah satu bagian,
sehingga dapat membantu seseorang untuk mencapai langkah yang diinginkan.
Untuk memperbaiki kondisi ke arah yang diinginkan klien, pelaksanaan
hipnoterapi dengan part therapy dapat dilakukan kurang lebih satu jam dan 4-10
pertemuan (Susilo & Kemala, 2010), namun pendapat lain menyatakan bahwa
dua kali pertemuan dengan teknik kombinasi yaitu hipnosis, kognitif dan perilaku
dapat mencapai penghentian perilaku merokok (Mariot & Brice, dalam Veronica
dkk, 2006).
Melalui tahapan-tahapan hipnoterapis dengan part therapy dapat dilihat
pengaruhnya terhadap penurunan perilaku merokok. Tahapan-tahapan yang
mengacu pada penelitian Hunter (2015), yang terdiri dari 11 tahapan menjadi
satu kesatuan yang dapat memfasilitasi terjadi perubahan perilaku merokok.
Pendekatan part therapy merujuk pada pendekatan client centered yaitu
pendekatan yang berpusat pada klien. Menurut Durbin (2001) pendekatan yang
berpusat pada klien mempunyai tujuan memberdayakan klien, hal ini karena
penyebab dan penyelesaian masalah berasal dari pikiran bawah sadar klien,
bukan dari pikiran fasilitator. Di dalam hipnoterapi dengan part therapy, seorang
fasilitator hanya dapat memberitahu apa yang harus dilakukan lewat bentuk
saran hipnotis, sedangkan kekuatan keputusan ada pada klien. Klien
menemukan resolusi terbaik dengan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
fasilitator pada waktu yang tepat. Bawah sadar tampaknya mengandung
kebijaksanaan mendalam yang seringkali mengejutkan bagi klien dan terapi,
karena bagian dari bawah sadar mengamati hal-hal yang terjadi bahkan selama
masa trance.
Sebagai contoh permasalahan pada seorang perokok yang menginginkan
perilaku merokoknya berkurang atau berhenti seringkali terkendala dengan
integritasnya yang terpecah. Hal ini dapat dilihat dari alasan-alasan seorang
perokok yang seringkali merasakan yakin bahwa perilaku merokoknya dapat
meningkatkan pergaulan dan persahabatan (Prawitasari, 2012), memberikan
kenikmatan, kenyamanan dan dapat mengurangi stress (Parrot dalam Nasution,
2007), dapat menimbulkan perasaan dewasa, serta dapat terlihat matang dan
jantan (Prawitasari, 2012), namun pada waktu yang lain seorang perokok juga
mempunyai keyakinan bahwa perilaku merokoknya dapat membuat kecanduan
dan mengganggu kesehatan. Berdasarkan penelitian Rosita dkk. (2012)
dijelaskan bahwa 72% mahasiswa perokok mempunyai keinginan berhenti
merokok karena meyakini bahaya rokok bagi kesehatan, selain itu juga
menjadikan perilaku boros, diremehkan wanita dan haram hukumnya.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat bagian-bagian yang berkonflik pada
seorang perokok. Oleh sebab itu seorang hipnoterapis dapat memberikan
fasilitasi dalam hipnoterapi dengan part therapy melalui pemanggilan bagian-
bagian yang terpecah untuk diselaraskan sehingga dapat diredakan oleh klien
sendiri (IACH, 2015). Melalui proses pemberian pernyataan dari seorang
hipnoterapis dalam kondisi trance, klien di fasilitasi untuk melakukan pelepasan
antar bagian-bagian (parts) yang diikuti pembelajaran secara berulang-ulang
untuk mencapai kompromi, penerimaan dan pemecahan masalah. Karena
semua bagian yang ada pada diri klien memiliki tujuan “baik” menurut sudut
pandang masing-masing bagian (part), maka untuk memenangkan salah satu
bagian untuk dilepaskan perlu pelemahan salah satu bagian tersebut, sehingga
dapat membantu seseorang untuk mencapai langkah yang diinginkan. Pada
kasus seorang perokok hal yang diinginkan adalah mengurangi atau berhenti
perilaku merokoknya (Hunter, 2015). Gunawan (2007) menjelaskan bahwa pada
kondisi trance seseorang berada pada pikiran normal yang dicirikan dengan: (a)
relaksasi yang dalam; (b) keinginan mengikuti sugesti yang sejalan dengan
sistem kepercayaannya; (c) pengaturan diri dan normalisasi sistem syaraf pusat;
(d) sensitivitas yang meningkat dan selektif terhadap stimuli eksternal; dan (e)
mekanisme pertahanan psikis yang lemah. Berdasarkan ciri tersebut, seorang
hipnoterapis dapat memberikan fasilitas menggunakan pernyataan-pernyataan
penguat yang berkaitan dengan keinginan berhenti merokok pada saat kondisi
trance, sehingga akan terjadi pelemahan pada bagian yang ingin tetap merokok.
Akibat dari melemahnya bagian yang ingin tetap merokok akan berdampak pada
penurunan perilaku merokok yang terdiri dari beberapa faktor yaitu intensi
merokok, tempat merokok, situasi merokok dan fungsi merokok dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebelum terjadinya pelepasan salah satu bagian, dalam hipnoterapi
dengan part therapy terlebih dahulu klien difasilitasi untuk merasakan
kenyamanan dan kepercayaan untuk berkomunikasi antar bagian-bagian yang
ada pada diri klien. Pemberian rasa nyaman dan kepercayaan sangat
bermanfaat untuk membangun kepercayaan klien terhadap hipnoterapis.
Menurut James (dalam Veronika dkk, 2006) salah satu hal yang dapat membawa
keberhasilan hipnoterapi adalah kepercayaan terhadap hipnoterapis, sehingga
seorang hipnoterapis akan mudah memfasilitasi solusi-solusi dalam
permasalahan, dan klien segera merespon hal tersebut. Hal ini dapat terjadi
karena ada kecenderungan seorang klien untuk mengambil peran pasif dalam
menjalankan hipnoterapi dengan part therapy. Capafons (dalam Veronika dkk,
2006) menambahkan bahwa kepercayaan terhadap hipnoterapis bermanfaat
untuk klien-klien yang memiliki pemahaman yang tidak baik dan tidak akurat
tentang bagaimana hipnoterapi dengan part therapy bekerja, sehingga
kepercayaan tersebut mempunyai peran yang menguntungkan, serta dapat
mempertahankan keyakinan dan keinginan klien untuk mengubah perilaku
merokoknya.
Pemanggilan bagian-bagian dalam tahapan hipnoterapi dengan part
therapy merupakan suatu dukungan otonomi yang dilakukan oleh seorang
hipnoterapis terhadap seorang klien. Dukungan otonomi merupakan pemberian
hak yang berimbang pada bagian-bagian yang bertentangan untuk hadir
mengungkapkan apa yang diinginkan. Klien yang mempunyai dukungan otonomi
lebih mengetahui informasi yang dapat menghilangkan kesalahpahaman dan
dapat mempertahankan motif kontrol yang dirasakan terhadap hipnoterapi
dengan part therapy. Artinya bahwa hipnoterapi dengan part therapy berhasil
mengoyahkan ‘internalisasi’ klien yaitu sebuah proses tentang motif ekstrinsik
yang mengatur inisiasi (initiation) (Veronika dkk, 2006). Menurut Leventhal &
Clearly (dalam Cahyani, 1995), inisiasi adalah tahap perintisan merokok yaitu
tahap apakah seseorang akan meneruskan ataukah tidak terhadap perilaku
merokoknya. Menurut Ryan & Deci (2000) bahwa dukungan otonomi tinggi
menghasilkan perilaku yang lebih tahan lama karena perilaku yang dimaksud
kongruen dengan rasa diri. Dari uraian ini dapat dikatakan bahwa adanya
dukungan otonomi yang tinggi pada seorang perokok, maka akan memberikan
pengaruh pada penurunan perilaku merokoknya baik itu intensi merokok, tempat
merokok, situasi merokok maupun fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari.
Pada tahapan hipnoterapi dengan part therapy ada pelibatan faktor
empati. Hal ini dilakukan saat hipnoterapis melakukan “leading” untuk memotivasi
agar sisi bagian yang “menghambat” dapat menuju ke sisi bagian yang ingin
“berubah”. Hipnoterapis memfasilitasi dengan memberikan pertanyaan-
pertanyaan untuk mencari alternatif-alternatif baru dalam menuju ke perubahan
perilaku merokoknya. Menurut Taufik (2012), empati merupakan suatu aktivitas
untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa
yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan (klien) terhadap
kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan
kontrol dirinya. Lebih lanjut Golemen (2000) menjelaskan bahwa empati
dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang kepada emosi
diri sendiri, semakin terampil pula dalam membaca perasaan. Empati adalah
memahami hati, pikiran dan jiwa orang lain termasuk motif, latar belakang, dan
perasaan. Terkait dengan perokok, empati dibangun untuk saling memahami
bagian-bagian yang bertentangan agar dapat ditemukan solusi terbaik untuk
suatu perubahan dalam perilaku merokoknya. Melalui empati seorang perokok
akan dapat mengontrol tempat merokok, hal ini karena adanya hubungannya
dengan orang lain.
Apabila dalam tahapan pencarian alternatif-alternatif solusi, salah satu
bagian tidak dapat diajak bekerjasama, hal yang dapat dilakukan adalah
memanggil bagian apapun yang memiliki kearifan tinggi dan meminta
bantuannya, misalnya saja klien mempercayai adanya Tuhan (Kekuasaan yang
Lebih Tinggi), maka hipnoterapis dapat memanggil “bagian yang paling dekat
dengan Tuhan” supaya dapat membantu dalam negosiasi dan mediasi, sehingga
dapat terjadi pelemahan hal-hal yang dianggap negatif (yang tidak ingin
perubahan). Setelah salah satu bagian melemah dan bagian lainnya menguat,
bagian yang lebih kuat dapat melakukan sebuah kesepakatan atau negosiasi
terhadap bagian yang lebih lemah (Hunter, 2015), dengan melemahnya bagian-
bagian yang tidak ingin berhenti merokok, sehingga terjadi perubahan perilaku
merokok pada diri klien.
Hipnoterapis sebagai mediator melakukan konfirmasi terhadap bagian-
bagian yang telah bersepakatan dan memfasilitasi bagian-bagian untuk
mematuhi kesepakatan yang telah dibuat oleh semua bagian, sehingga dapat
memperkuat hal-hal yang telah dipilih oleh klien dalam mencapai perubahan atau
kesembuhan (Hunter, 2015). Menurut Baron & Byrne (2005) taktik untuk
memperoleh kesepakatan melibatkan usaha yang menempatkan orang lain
dalam suasana hati yang baik sebelum mengajukan permintaan. Hal yang
dilakukan untuk membuat suasana hati baik dalam kasus perilaku merokok
adalah dengan mengkonfirmasikan terlebih dahulu hal-hal yang telah dipilih oleh
klien untuk memecahkan masalah. Misalnya: orang-orang yang dicintai, orang-
orang specsal, dan lain sebagainya. Melalui penghadiran orang-orang tersebut,
akan terjadi pelemahan pada bagian yang tetap ingin merokok, sehingga akan
berpengaruh dengan perilaku merokoknya.
Pemberian sugesti positif oleh seorang hipnoterapis dimaksudkan untuk
memperkuat suatu perubahan atau kesembuhan. Namun sugesti tersebut tetap
diselaraskan dengan kesepakatan yang telah dibuat sendiri oleh klien. Menurut
Chaplin (2008) sugesti adalah proses yang menyebabkan orang lain bertingkah
laku sesuai dengan keinginan sendiri atau secara tidak kritis mau menerima ide
seseorang tanpa penggunaan kekuatan atau paksaan.
Setelah semua bagian saling bersinergi dan menyatu untuk mencapai
tujuan yang diinginkan, klien sudah dapat menemukan solusi terbaik dari
permasalahan yang dihadapinya. Peran hipnoterapis adalah meyakinkan bahwa
bagian-bagian tersebut sudah dapat bersepakat dengan cara memberikan simbol
dengan kesepakatan, biasanya dapat dilakukan dengan menyatukan kedua
tangan (berjabat tangan). Melalui jabat tangan saat kondisi trance diyakini bahwa
klien telah bersepakat untuk berubah ke arah yang diinginkan yaitu menurunkan
perilaku merokoknya.
Bukti keberhasilan hipnoterapi dengan part therapy untuk penurunan
perilaku merokok dapat dijelaskan dalam salah satu contoh penanganan kasus
perilaku merokok oleh Hunter tahun 2015. Pada penanganan kasus tersebut
Hunter terlebih dahulu menggunakan hipnoterapi dengan pendekatan manfaat
untuk penurunan perilaku merokok. Namun pendekatan manfaat ini dirasakan
gagal, sehingga digunakanlah pendekatan lain yaitu pendekatan part therapy, hal
ini karena perokok mempunyai bagian-bagian yang terpecah karena
kebimbingan atau pertentangan dalam dirinya. Pada salah satu kasus berhenti
merokok yang ditangani oleh Hunter (2015), dijelaskan bahwa klien mengalami
pertentangan batin tentang merokok – satu bagian dari dirinya ingin terus
merokok, sedangkan bagian lain ingin benar-benar berhenti. Ketika klien gagal
merespon part therapy, saat itu digunakanlah respons ideomotor, namun
akhirnya hanya mendapati kalau klien merokok karena menyenanginya. Ketika
memasuki teknik melisankan, klien berkata, “ia tidak benar-benar ingin berhenti
secara total, dan hanya dipengaruhi supaya berhenti”. Klien menambahkan,
bawah sadarnya bersedia bekerjasama sebagai perokok terkendali yang hanya
sesekali menyalakan rokok. Setelah keluar dari hipnosis dan berdiskusi, klien
dikuatkan dengan beberapa pedoman mengenai cara menjaga kendali sadar
supaya tindakan merokoknya minimum – termasuk menjauhkan rokok dari
jangkauan tangan sehingga klien dapat mengambil keputusan secara sadar
sebelum menyalakannya. Bawah sadar klien menegaskan bahwa klien menerima
kesepakatan tersebut saat dilakukan hipnosis kembali. Sesi hipnoterapi diakhiri
dengan pembayangan terprogram dan sugesti langsung supaya klien menarik
satu kali nafas dalam setiap klien menyalakan rokok secara otomatis. Klien puas
dengan hasil yang dicapainya, sehingga klien dapat mengurangi jumlah rokok
lebih dari satu lusin setiap harinya, dan klien berkata bahwa ia seharusnya
benar-benar berhenti satu atau dua tahun lagi.
Pada kasus lain yang ditangani Hunter (2015) terhadap seorang perokok
yang mengalami kegagalan menggunakan pendekatan manfaat, selanjutnya
dilakukan hipnoterapi dengan part therapy, hal ini karena salah satu bagian dari
diri klien mempunyai keinginan “hidup lama dan sejahtera”, sementara bagian
yang lain merasa terpaksa mengeluarkan pernyataan mengenai pemberontakan
melawan masyarakat yang mempengaruhinya untuk berhenti merokok. Bagian
yang sama ini benar-benar ingin memilih, tetapi ketika bagian yang lain
meyakinkan klien bahwa sebenarnya klien dipengaruhi oleh perokok lain karena
prasangka masyarakat, klien menyadari, bahwa klien menyerahkan kekuatannya
untuk memilih dan membakar uangnya dengan sia-sia. Ketika hipnoterapis
menggunakan teknik pelisanan (untuk pembelajaran ulang), klien memutuskan
sekaranglah saatnya mengambil keputusan sendiri, bukan diatur oleh kebiasaan
merokoknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok
merupakan suatu kebiasaan yang dapat dirubah, hal ini dapat terjadi apabila
seorang perokok mempunyai keinginan dan keyakinan untuk berhenti atau
mengurangi perilaku merokoknya. Upaya yang dapat dilakukan untuk berhenti
dan mengurangi perilaku merokok adalah menggunakan hipnoterapi dengan
pendekatan part therapy. Pendekatan hipnoterapi dengan part therapy dipilih
karena penggunaan hipnoterapi diyakini mempunyai keefektifan antara 0-75%
(Elkins & Rajab, 2004; Abbot dkk, 2006). Bukti lainnya ditunjukkan dari kasus
merokok yang ditangani Hunter (2015), bahwa klien pada tahap pelisanan
memutuskan sekaranglah saatnya mengambil keputusan sendiri, bukan diatur
oleh kebiasaan merokoknya, dan pada kasus lainnya, klien dapat menjauhkan
rokok dari jangkauan tangan sehingga klien dapat mengambil keputusan secara
sadar sebelum menyalakannya.
D. Landasan Teori
Perilaku merokok adalah suatu kegiatan atau aktivitas membakar rokok,
kemudian menghisap dan menghembuskannya keluar, serta dapat menimbulkan
asap yang dapat terhisap oleh diri sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.
Untuk mengukur perilaku merokok dibutuhkan beberapa faktor antara lain intensi
merokok, tempat merokok, situasi merokok, dan fungsi merokok dalam
kehidupan sehari-hari (Aritonang, 1997; Poerwadarminta dalam Perwitasari,
2006; Komalasari & Helmi, 2000). Ada beberapa sebab seseorang menjadi
perokok, di antaranya pengetahuan yang rendah tentang bahaya rokok bagi
kesehatan, adanya contoh dari orangtua (perokok), iklan rokok, harga rokok yang
masih terjangkau, dan tidak adanya kebijakan publik yang membatasi kebebasan
merokok (Anatchkova dkk, dalam Sadikin & Louisa, 2008). Selain faktor-faktor
tersebut ada faktor lain dari diri seorang perokok yaitu adanya pembenaran diri
dengan mengubah pola pikir dan percaya bahwa sebenarnya merokok tidak
berbahaya, merokok dapat menyebab rileks, menjernihkan pikiran, membuat
bahagia, membuat tenang dan sebagainya (Gibson & Benthin dalam Thomas &
Suci, 2010).
Namun tidak dapat dipungkiri, walaupun perokok melakukan pembenaran
diri tentang perilaku merokoknya, adakalanya perokok memahami dan meyakini
risiko yang timbul dari perilaku merokok baik bagi diri sendiri maupun bagi orang
lain. Ketidaksesuaian apa yang dipikirkan oleh seorang perokok akan
menimbulkan ketidaknyamanan secara psikologis (Eliot & Devine, dalam
Allahyani, 2012), sehingga perokok termotivasi untuk mengatasi permasalahan
tersebut.
Sebenarnya akar dari kecanduan adalah rasa takut, cemas, dan
kompulsif dalam menjalani permasalahan dalam hidup. Biasanya seseorang awal
mula mengkonsumsi obat, rokok, alkohol untuk menenangkan dan mendinginkan
permasalahan hidupnya. Seringkali orang cenderung tidak mengetahui
permasalahan yang dihadapinya, hal ini karena permasalahan lebih banyak
berada di bawah kesadaran (Yager, 2011). Selama ini upaya-upaya yang sering
dilakukan untuk mengatasi permasalahan perilaku merokok lebih menggunakan
upaya persuasi dan pola tradisional, sehingga justru menimbulkan resistensi
karena pesan yang disampaikan disadari.
Hipnoterapi merupakan salah satu terapi yang ditawarkan untuk
penurunan atau menghentikan perilaku merokok. Menurut Hakim (2010) dan
IACH (2015) proses melakukan hipnoterapi antara lain adalah pre-induksi,
induksi, deepening dan depth level test, hipnoterapi, post hypnotic, dan terminasi.
Di dalam hipnoterapi terdapat beberapa pendekatan. Menurut Hunter (2015)
pendekatan dalam hipnoterapi adalah suggestion therapy, regression therapy,
reverse therapy, secondary therapy, parts therapy, object therapy, ideo
sensory/motor signals, inner child work, anchors, reframing, the role model, dan
lain-lain. Dari beberapa pendekatan tersebut parts therapy merupakan salah satu
pendekatan dalam hipnoterapi yang dapat digunakan untuk penurunan perilaku
merokok.
Hipnoterapi dengan pendekatan part therapy merujuk pada pendekatan
client centered, hal ini dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam proses
pelaksanaan hipnoterapi dengan part therapty. Menurut Corey (2010), konsep
dasar dari pendekatan client centered adalah (1) menekankan pada dorongan
dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu yang berkembang, untuk
hidup sehat dan menyesuaikan diri; (2) menekankan pada unsur atau aspek
emosional dan tidak pada aspek intelektual; (3) menekankan pada situasi yang
langsung dihadapi individu, dan tidak pada masa lampau; dan (4) menekankan
pada hubungan teraputik sebagai pengalaman dalam perkembangan individu
yang bersangkutan.
Sasaran hipnoterapi dengan part therapy adalah alam bawah sadar, hal
ini karena alam bawah sadar identik dengan kreatif, intuitif, rasional, dan
emosional, sedangkan alam sadar identik dengan logis dan analitik. Alam bawah
sadar mempunyai sifat tidak dapat memilih-milih, tidak pernah menolak apa yang
ditanamkan, sekali seseorang menerima, maka hal tersebut akan diwujudkan
dan diterimanya. Di alam bawah sadar, apabila diberikan sugesti positif maka
yang diterima positif, apabila diberikan sugesti negatif maka yang diterima negatif
(Mustajib, 2010).
Gunawan (2007) mengatakan bahwa 75% penyakit fisik diakibatkan oleh
masalah mental dan emosi. Beberapa pengobatan atau terapi lain sulit
menjangkau sumber masalah ini, hal ini disebabkan masalah mental dan emosi
berada pada pikiran bawah sadar. Namun pikiran bawah sadar dapat
dikendalikan. Hipnoterapi salah satu cara yang efektif dan efisien dalam
menjangkau alam bawah sadar tersebut, dengan menggunakan re-edukasi dan
menyembutkan pikiran yang sakit.
Salah satu kasus perilaku merokok telah ditangani oleh Hunter (2015).
Hasil dari terapi tersebut dinyatakan berhasil dengan salah satu pendekatan part
therapy. Pendekatan ini biasa digunakan untuk kasus-kasus klien yang berkaitan
dengan adanya pertentangan dalam diri klien. Seringkali seseorang mengalami
kebimbangan dalam menentukan sebuah keputusan, misalnya: perokok dalam
salah satu dirinya menginginkan “hidup lama dan sejahtera”, sementara bagian
yang lain merasa terpaksa mengeluarkan pernyataan mengenai pemberontakan
melawan masyarakat yang mempengaruhinya untuk berhenti merokok karena
rokok diyakini membuat rileks, nyaman dan sebagainya. Bagian yang sama ini
benar-benar ingin memilih; tetapi ketika bagian lain meyakinkan bahwa klien
sebenarnya dipengaruhi oleh perokok lain, maka klien menyadari dan
menyerahkan kekuatan keyakinannya untuk memilih, bahwa klien meyakini
bahwa telah membakar uangnya sia-sia. Pada kasus ini klien dapat memilih
sendiri pilihannya tanpa mengikuti keinginan dari orang lain.
Pengaruh hipnoterapi dengan part therapy untuk penurunan perilaku
merokok dapat digambarkan dalam kerangka pikir sebagai berikut.
Keterangan:
= Diteliti
= Tidak diteliti
Gambar 1. Kerangka Pikir
PERILAKU MEROKOK
Intensi merokok
Tempat merokok
Situasi merokok
Fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari
Yakin bahwa merokok tidak menganggu kesehatan,
malah membuat rileks, tenang, nyaman dan sebagainya
Yakin bahwa merokok dapat menyebabkan terganggunya kesehatan,
terganggunya sosial ekonomi baik bagi diri
sendiri maupun orang disekitarnya
Tetap Merokok
Berhenti
Merokok
Ada keinginan penurunan/ berhenti
merokok
HIPNOTERAPI DENGAN PART THERAPY
Pre-induksi
Suggestibility test
Induksi
Deepening
Sugesti: Part therapy a. Identifikasi bagian b. Beri pujian pada bagian yang
datang c. Panggil bagian lain d. Ucapan terima kasih bagian
yang muncul e. Temukan tujuan f. Panggil bagian yang sesuai g. Negosiasi dan meditasi h. Minta bagian-bagian untuk
bersepakat i. Konfirmasi dan rangkum
kesepakatan j. Beri sugesti yang sesuai k. Padukan bagian-bagian (part
therapy selesai) Terminasi
Perilaku Merokok
atau berhenti merokok
Terjadi disonansi kognitif ada
ketidaknyamanan
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian teoritis di atas dapat disusun hipotesis penelitian
sebagai berikut: ada pengaruh hipnoterapi dengan part therapy untuk penurunan
perilaku merokok. Artinya bahwa ada perbedaan perilaku merokok subjek
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi hipnoterapi dengan part therapy,
perilaku merokok subjek mengalami penurunan sesudah diberikan perlakuan
hipnoterapi dengan part therapy.