Post on 14-Apr-2022
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN PUSTAKA
1. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berhubungan dengan financial disress ini telah
dilakukan oleh peneliti terdahulu. Sehingga hasil penelitian itu dapat
dijadikan sebagai landasan untuk penelitian. Adapun beberapa penelitian
terdahulu terkait dengan financial distress.
Penelitian yang dilakukan oleh Mastuti (2013) pada perusahaan
plastik dan kemasan dengan data tahun 2010-2012 menunjukkan bahwa
terhadap 5 sampel ini menunjukkan 1 perusahaan dinyatakan dalam estimasi
kebangkrutan yaitu PT. Titan Kimia Nusantara Tbk. Kemudian 2 perusahaan
diantaranya dalam kondisi rawan yaitu PT. Sekawan Intipratama Tbk dan
PT. Trias Sentosa Tbk, dan 2 perusahaan lainnya yaitu PT. Yanaprima
Hastapersada Tbk dan PT. Champion Pacific Indonesia Tbk dalam kondisi
sehat. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan
terhadap 11 perusahaan plastik dan kemasannya yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia.
Perusahaan yang terdapat indikasi-indikasi kebangkrutan maupun
yang sehat perlu meningkatkan daya saing, baik dalam hal sumber daya
manusia maupun kualitas produk yang dihasilkan dengan harga yang juga
bersaing di pasar. Selain itu, perusahaan yang mengambil keputusan dalam
10
pengelolaan keuangan untuk menjalankan usahanya perlu memperhatikan
likuiditas perusahaan, proporsi hutang dan efisiensi penggunaan modal kerja
dengan cara menyeimbangkan aset lancar dan hutang lancar, karena
merupakan faktor penting dalam menghasilkan modal kerja guna
menciptakan dan meningkatkan laba yang akan berdampak pada kenaikan
harga saham.
Penelitian yang dilakukan oleh Kneefel & Mandagie (2015),
penelitian ini dilakukan pada perusahaan Food & Beverages dengan data
tahun 2011-2013 menunjukkan bahwa perusahaan yang kemungkinan
terindikasi akan mengalami kebangkrutan seperti ADES,STTP. Perusahaan
yang kemungkinan terindikasi mengalami kebangkrutan dalam 2 tahun ke
depan yaitu AISA, INDF, MYOR, PSDN.
Perusahaan yang berdasarkan laporan keuangan perusahaan berada
pada kondisi aman dan sehat terhindar dari kebangkrutan yaitu DLTA,
MLBI, ALTO, SKBM. Perusahaan yang berada pada daerah abu-abu atau
grey area untuk terindikasi kebangkrutan, dimana perusahaan terdapat
kondisi keuangan di suatu bagian yang membutuhkan perhatian khusus
yaitu ULTJ. Perusahaan yang diestimasi terindikasi akan bangkrut
sebaiknya segera memperbaiki kinerja keuangannya seperti meningkatkan
penjualan, mempertahankan likuiditas, juga lebih memahami permintaan
pasar saat ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Sago & Merkusiwati (2015) bahwa
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa
11
Efek Indonesia tahun 2011-2013 dengan menggunakan metode Altman Z-
score modifikasi. Perbankan yang diteliti berjumlah 11 bank yang
melakukan merger dan akuisisi. Disimpulkan bahwa semua bank yang
diteliti dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2013 menghasilkan nilai Z-
Score lebih besar dari 2,60 atau dengan kata lain 11 bank tersebut tidak
terindikasi adanya gejala kebangkrutan bahkan sebaliknya semua bank yang
diteliti diprediksi tidak akan mengalami kebangkrutan dalam jangka waktu
1 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Prihatin & Saur (2019) bahwa
Penelitian ini dilakukan pada perusahaan perdagangan ritel dengan data
tahun 2014-2017 menunjukkan bahwa analisis altman Z-Score menjelaskan
secara konsisten bahwa 3 perusahaan yang mengalami kondisi kesulitan
keuangan dan 4 perusahaan yang dalam area abu-abu.
Tinjauan Teori
1. Financial Distress
a. Definisi Financial Distress
Financial distress adalah suatu keadaan ketika sebuah perusahaan
lebih banyak hutang dari pada ukuran perusahaannya, profitabilitas serta
komposisi asset yang dapat dipertahankan. Dimana perusahaan dalam
keadaan yang tidak baik atau krisis. Financial distress ini terjadi sebelum
kebangkrutan dan saat perusahaan mengalami kerugian selama beberapa
tahun. Financial distress adalah sustu kondisi perusahaan yang
12
mengalami kesulitan keuangan dan terancam untuk bangkrut (Sjahrial,
2014:272).
Financial distress pun tentu membawa perusahaan guna
meninggalkan suatu konrak, dan hal ini mungkin melibatkan
restrukturisasi financial disress diantara perusahaan, bagi para investor
ekuitasnya dan para kreditor, hal ini biasaya suatu perusahaan dipaksa
untuk mengambil sebuah tindakan yang mana ia tidak akan ambil apabila
ia telah mempunyai aliran kas yang cukup (Sjahrial, 2014:584).
Informasi financial distress bisa bermanfaat bagi beberapa pihak
seperti berikut ini (Rudianto, 2013:253) :
1) Pemberi Pinjaman (Seperti Pihak Bank)
Informasi kebangkrutan bisa bermanfaat untuk mengambil
keputusan bagi pihak-pihak yang akan memberi pinjaman, dan
kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang
ada.
2) Investor
Informasi kebangkrutan perusahaan bisa bermanfaat bagi sebuah
badan usaha yang berposisi sebagai investor perusahaan lain.
Apabila perusahaan investor berniat membeli saham atau obligasi
yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan yang teah dideteksi
kemungkinan bangkrutnya, maka perusahaan calon investor itu
dapat memutuskan membeli atau tidak surat berharga yang
dikeluarkan perusahaan tersebut.
13
3) Pihak Pemerintah
Pada beberapa sektor usaha, lembaga pemerintahan mempunyai
tanggung jawab untuk mengawasi jalannya usaha tersebut (misal
sektor perbankan). Selain itu pemerintah juga mempunyai
kepentingan untuk melihat tanda- tanda kebangkrutan lebih awal
supaya tindakan-tindakan yang perlu bisa dilakukan lebih awal.
4) Akuntan
Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi
kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan
going concern suatu perusahaan.
5) Manajemen
Kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang berkaitan
dengan kebangkrutan dan biaya ini cukup besar. Suatu penelitian
menunjukkanbiaya kebangkrutan bisa mencapai 11-17% dari nilai
perusahaan. Apabila manajemen bisa mendeteksi kebangkrutan ini
lebih awal, maka tindakan- tindakan penghematan bisa dilakukan,
misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan
sehingga biaya kebangkrutan bisa dihindari.
Financial distress digolongkan kedalam empat kategori Menurut
Altman (1968) yaitu:
1) Economic failure
Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana
perusahaan tidak dapat menutup total biaya termasuk biaya modal atau cost
14
of capital, sebagai akibat dari kondisi perekonomian yang tidak stabil.
Perusahaan dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditur berkeinginan
untuk menyediakan tambahan modal dan pemiliknya berkenan menerima
tingkat pengembalian (rate of return) dibawah tingkat uang pasar. Meskipun
tidak ada suntikan modal baru saat aset tua sudah harus diganti, perusahaan
dapat juga menjadi sehat secara ekonomi.
2) Business failure
Business failure atau kegagalan bisnis adalah bisnis yang
menghentikan operasi karena ketidakmampuannya untuk menghasilkan
keuntungan atau kreditur. Disebabkan oleh kegagalan manajemen
perusahaan (faktor internal). Sebuah bisnis yang menguntungkan dapat
gagal jika tidak menghasilkan arus kas yang cukup untuk pengeluaran.
3) Insolvency
Insolvency terbagi menjadi dua, yaitu technical insolvency dan insolvency
inbankruptcy.
a) Technical insolvency atau insolvesi teknis, terjadi apabila perusahaan
tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total
aktivanya sudah melebihi total hutangnya. Technical insolvency bersifat
sementara, jika diberikan waktu perusahaan mungkin dapat membayar
hutangnya dan terhindar dari kemungkinan terjadinya financial distress.
Technical insolvency adalah gejala awal kegagalan ekonomi, maka
kemungkinan selanjutnya dapat terjadi bencana keuangan atau financial
distress.
15
b) Insolvency in bankruptcy
Kondisi insolvency in bankruptcy lebih serius dibandingkan dengan
technical insolvency. Perusahaan dikatakan mengalami insolvency in
bankruptcy jika nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset yang dapat
mengarah kepada likuiditas bisnis.
4) Legal bankruptcy
Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah dianjurkan
tuntutan secara resmi oleh undang-undang.
b. Faktor penyebab terjadinya financial distress
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya financial distress pada
perusahaan menurut Jauch dan Glueck dalam Peter dan Yoseph (2011) adalah
sebagai berikut:
1) Faktor Umum
a) Sektor Ekonomi
Faktor-faktor penyebab financial distress dari sektor ekonomi adalah
gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan
keuangan, suku bunga dan devaluasi atau revaluasi uang dalam
hubungannya dengan uang asing serta neraca pembayaran, surplus atau
defisit dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri.
b) Sektor Sosial
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap financial distress cenderung
pada perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan
terhadap produk dan jasa ataupun cara perusahaan berhubungan dengan
16
karyawan. Faktor sosial yang lain yaitu kerusuhan atau kekacauan yang
terjadi di masyarakat.
c) Teknologi
Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang
ditanggung perusahaan membengkak terutama untuk pemeliharaan dan
implementasi. Pembengkakan terjadi, jika penggunaan teknologi
informasi tersebut kurang terencana oleh pihak manajemen, sistemnya
tidak terpadu dan para manajer pengguna kurang profesional.
d) Sektor Pemerintah
Pengaruh dari sektor pemerintah berasal dari kebijakan pemerintah
terhadap pencabutan subtansi pada perusahaan dan industri, pengenaan
tarif ekspor dan impor barang berubah, kebijakan undang-undang baru
bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain.
Financial distress dapat disebabkan oleh faktor internal maupun faktor
eksternal (Hery, 2014:35). Faktor penyebab financial distress antara lain:
1) Faktor Internal
Faktor Internal merupakan faktor yang timbul dari dalam perusahaan, yang
biasanya bersifat mikro. Faktor internal tersebut adalah:
a) Kredit yang diberikan kepada pelanggan terlalu besar.
Kebijakan perusahaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan volume
penjualan adalah dengan melakukan penjualan kredit, baik melalui
saluran distribusi maupun langsung kepada pelanggan dengan
persyaratan mudah. Dalam jangka pendek, likuiditas akan terganggu
17
karena tingginya investasi pada piutang yang bisa berdampak kurang
baik terhadap tujuan jangka panjang perusahaan.
b) Lemahnya kualifikasi sumber daya manusia
Lemahnya kualifikasi sumber daya manusia dalam hal keterampilan,
keahlian, pengalaman, responsif, dan inisiatif dapat menghambat
tercapainya tujuan perusahaan. Terlebih jika fungsi pengendalian
manajemen lemah, maka akan mempercepat proses kesulitan keuangan.
c) Kekurangan modal kerja
Hasil penjualan yang tidak memadai atau tidak dapat menutup harga
pokok penjualan dan beban operasional, secara terus- menerus akan
menyebabkan kekurangan modal kerja dan lebih lanjut mengarah pada
kebangkrutan.
d) Penyalahgunaan wewenang dan kecurangan
Rendahnya kualitas individu dari pelaku di perusahaan dan kurangnya
pengawasan yang baik memudahkan terjadinya penyalahgunaan
wewenang dan timbulnya kecurangan-kecurangan sehingga
menimbulkan suasana kerja yang tidak sehat dan dapat mempengaruhi
kinerja perusahaan.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal penyebab financial distress merupakan faktor yang
timbul dari luar perusahaan yang biasanya bersifat makro. Faktor eksternal
dapat berupa:
a) Persaingan bisnis yang ketat
18
b) Berkurangnya permintaan terhadap produk atau jasa yang dihasilkan
c) Turunnya harga jual secara terus-menerus
d) Kecelakaan atau bencana alam yang menimpa dan merugikan perusahaan
sehingga mempengaruhi jalannya aktivitas perusahaan.
c. Model pengukuran dalam memprediksi kebangkrutan (financial
distress).
Berikut adalah beberapa model pengukuran dalam memprediksi
kebangkrutan, diantaranya sebagai berikut:
1) Altman’s Z - Score (1968)
Metode ini salah satu dari metode yang dapat digunakan dalam
memprediksi kebangkrutan disuatu perusahaan. Model Altman Z-Score
dikeluarkan oleh Edward Altman pada tahun 1968, yang kemudian
berkembang menjadi model untuk memprediksi yang paling banyak
digunakan hingga saat ini. Model ini merupakan model statistikal yang
mengkombinasikan lima rasio keuangan untuk menghasilkan Z-Score.
Model ini telah terbukti menjadi instrumen untuk memprediksi
kebangkrutan berbagai perusahaan (Anjum,2012). Altman melakukan
pengembangan model sebelumnya pada tahun 1983 untuk digunakan
pada perusahaan pribadi. Model Z-Score ini nilai pasar modal perusahaan
pada X4 digantikan dengan nilai buku. Altman kembali melakukan
pengembangan modelnya pada tahun 1993. Model ini digunakan untuk
memprediksi kebangkrutan pada perusahaan selain perusahaan
manufaktur (Anjum, 2012). Model ini dikembangkan menjadi:
19
Z = 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 + 1.05X4
Dengan keterangan sebagai berikut:
Z = over all index
X1 = Rasio modal kerja terhadap total aktiva
X2 = Rasio laba ditahan terhadap total aktiva
X3 = Rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aktiva
X4 = Rasio nilai buku modal terhadap total hutang
Indikator yang digunakan pun diubah menjadi:
1) Jika Z-Score > 2,60 dikategorikan sebagai perusahaan yang sangat
sehat.
2) Jika 1,10 < Z-Score < 2,60 dikategorikan sebagai perusahaan dalam
keadaan abu-abu dimana perusahaan memiliki masalah keuangan
yang kemungkinan untuk selamat dan bangkrutnya sama besar.
3) Jika Z-Score < 1,10 dikategorikan sebagai perusahaan yang memiliki
resiko besar untuk bangkrut.
2) Springate’s Model
Model ini mengikuti prosedur model Altman yang dibangun di Amerika
Serikat. Springate mengunakan step-wise multiple discriminate analysis
untuk memilih 4 rasio terbaik dari 19 rasio keuangan yang paling sering
digunakan. 4 rasio ini merupakan rasio terbaik yang akan membedakan antara
perusahaan gagal dan tidak gagal. Bentuk model Springate sebagai berikut:
Z = 1.03A + 3.07B + 0.66C + 0.4D.
Z < 0.862; perusahaan diklasifikasikan gagal
A = Working Capital/Total Assets
B = Net Profit before Interest and Taxes/Total Assets
20
C = Net Profit before Taxes/Current Liabilities
D = Sales/Total Assets
Model ini memiliki tingkat keakuratan 92,5%, menggunakan sampel 40
perusahaan yang diuji dengan model Springate. Botheras (1979) menguji
model Springate dengan menggunakan sampel 50 perusahaan rata-rata nilai
aktiva $2.5 juta dan mendapatkan keakuratan 88%. Sands (1980) menguji
model Springate pada 24 perusahaan dengan rata-rata nilai aktiva $63.4 juta
dan mendapatkan tingkat akurasi 83,3%.
3) Zmijewski
Metode kebangkrutan Zmijewski rasio keuangan yang dipilih adalah
rasio-rasio keuangan terdahulu dan diambil sampel sebanyak 75 perusahaan
yan bangkrut, serta 73 perusahaan yang sehat selama tahun 1972 sampai
dengan 1978, indikator F-test terhadap rasio-rasio kelompok rate of
return,liquidity, leverage, turnover, fixed payment coverage, trends, firm
size, dan stockreturn volatility, menunjukan adanya perbedaan yang
signifikan antara perusahaan yang sehat dan yang tidak sehat. Kriteria
penilaian metodeZmijewski jika Z<0,5 maka perusahaan dinyatakan sehat.
Rumus yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut (Yoseph, 2011)
Z = -4,3 – 4,5 X1 + 5,7 X2 + 0,004 X3
Dimana :
X1 = Laba Setelah Pajak Terhadap Total Aktiva
X2 = Total Hutang Terhadap Total Aktiva
X3 = Aktiva Lancar Terhadap Kewajiban Lancar
21
B. Kerangka Pikir
Sub sektor perdagangan eceran ini merupakan perusahaan yang mengalami
pertumbuhan secera terus menerus. Meningkatnya perdagangan eceran ini
menimbulkan persaingan antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya.
Perusahaan yang tidak dapat bersaing serta meningkatkan kinerja perusahaan
maka lambat laun akan tergeser bahkan bisa saja tidak dapat beroperasi kembali
dan akan mengalami kesulitan keuangan yang mana akan menyebabkan
kebangkrutan. kesulitan keuangan (financial distress) pada perusahaan bisa
diukur serta dilihat pada laporan keuangan masing-masing perusahaan.
Laporan keuangan perusahaan digunakan untuk menggambarkan ataupun
menilai kondisi keuangan yang ada pada perusahaan. Akan tetapi setelah
mengetahui kondisi keuangan perusahaan ini melalui laporan keuangan maka
selanjutnya adalah menganalisis laporan keuangan. Laporan keuangan yang
telah dianalisis ini bisa dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut.
Teknis analisis yang digunakan didalam analisis laporan keuangan
perusahaan yaitu analisis rasio keuangan. Analisis rasio keuangan adalah suatu
kegiatan yang membanding-bandingkan angka-angka yang terdapat didalam
laporan keuangan kemudian dengan cara membagi angka yang satu dengan
angka yang lain kasmir (2016:104). Alat analisis ini menggunakan rasio
keuangan untuk menprediksi potensi kebangkrutan pada suatu perusahaan yaitu
dengan alat analisis model Altman Z-Score. Model ini menggunakan 4 rasio
yang dikombinasikan guna melihat kemungkianan yang akan terjadi dalam suatu
22
perusahaan tersebut apakah berpotensi bangkrut. Adapun dari ke 4 rasio tersebut
lalu dimasukkan ke dalam model altman yaitu :
𝑍 = 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 + 1.05X4
Interprestasi nilai Z-Score ini yaitu perusahaan yang memiliki skor Z >2,60
maka dapat disebut sebagai perusahaan yang dalam kondisi sehat (zona aman)
yaitu perusahaan yang dalam kondisi sehat sehingga kemungkinana mengalami
kebangkrutan sangatlah kecil. Perusahaan yang memiliki skor Z < 2,60 maka
dapat disebut sebagai perusahaan yang berada dalam kondisi sehat, dimana
dalam kondisi ini perusahaan dalam kesulitan keuangan namun kemungkinan
bisa terselamatkan dan kemungkinan bangkrut sama besarnya hal ini tergantung
dari keputusan yang diambil oleh manajemen perusahaan.
Perusahaan yang memiliki skor Z < 1,10 dapat disebut sebagai perusahaan
yang berpotensi bangkrut, hal ini dikarenakan perusahaan yang memiliki
kesulitan keuangan berisiko tinggi sehingga berpotensi bangkrut. Berdasarkan
uraian diatas maka peneliti menyimpulkan kerangka pikir penelitian ini dapat
dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut:
23
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
Laporan Keuangan
Perusahaan
Rasio Keuangan Model Altman
Altman Z Score
𝑍 = 6.56X1 + 3.26X2 + 6.72X3 + 1.05X4
Z-Score < 1,10 1,10 < Z-Score < 2,60 Z-Score > 2,60
Berpotensi bangkrut Rawan bangkrut (Abu-
abu) Tidak bangkrut (aman)
Rasio Modal
Kerja Terhadap
Total Aktiva
(X1)
Rasio Laba
ditahan
Terhadap Total
Aktiva (X2)
Rasio laba
sebelum bunga
dan pajak terhadap
total aktiva (X3)
Rasio nilai buku
modal terhadap
total hutang
(X4)