Post on 17-Mar-2020
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
1. Sem Paulus Silalahi (2014)
Judul penelitian ini adalah “Pengaruh Corporate Social Responsibility
(CSR) Disclosure, Beta dan Price to Book Value (PBV) terhadap Earnings
Response Coefficient (ERC) (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”.
Hasil penelitiannya mengatakan bahwa (1) tidak terdapat pengaruh yang
signifikan antara corporate social responsibility disclosure terhadap
earnings response coefficient karena investor kemungkinan masih
memberikan respon yang lebih besar terhadap informasi laba dari laporan
pertanggungjawaban sosial dalam pengambilan keputusan investasi. Hal
ini juga dimungkinkan karena rendahnya pengungkapan corporate social
responsibility dalam laporan tahunan yang dilakukan di perusahaan
Indonesia. (2) Beta juga tidak berpengaruh terhadap earnings response
coefficient karena rendahnya nilai variabel beta. Rendahnya variabel beta
menyebabkan investor lebih cenderung memperhatikan angka laba untuk
pengambilan keputusan dibandingkan dengan beta perusahaan. (3) Price to
book value memiliki pengaruh yang signifikan terhadap earnings response
10
coefficient karena perusahaan yang terus menerus tumbuh memiliki
kemudahan dalam menarik modal yang merupakan sumber pertumbuhan.
Perusahaan yang mempunyai kemungkinan bertumbuh tinggi akan
memberikan manfaat tinggi di masa depan untuk investor.
Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan tiga variabel
independen, yaitu corporate social responsibility disclosure, beta, dan
price to book value. Variabel dependen earnings response coefficient dan
menggunakan perusahaan manufaktur sebagai objek penelitian. Sedangkan
perbedaannya adalah terletak pada tahun penelitian, dimana penelitian
sekarang menggunakan tahun 2012-2014, sedangkan penelitian
sebelumnya menggunakan periode tahun 2011-2012.
2. Kadek Trisna Wulandari dan I Gede Ary Wirajaya (2014)
Judul penelitian ini adalah “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Responsibility terhadap Earnings Response Coefficient”.
Hasil penelitian mengatakan bahwa (1) pengaruh antara unexpected
earning menunjukkan besarnya nilai earnings response coefficient
sehingga ada hubungan yang signifikan antara perubahan harga saham
dengan pengumuman laba perusahaan. (2) Pengungkapan corporate social
responsibility dan unexpected earning tidak berpengaruh terhadap
cummulative abnormal return. Hal ini menunjukkan bahwa investor masih
kurang percaya dengan informasi corporate social responsibility yang
diungkapkan investor dan investor lebih berorientasi pada kinerja jangka
pendek, sedangkan corporate social responsibility berorientasi pada
11
kinerja jangka panjang dan masih relatif sedikit yang diungkapkan
perusahaan. (3) Variabel kontrol ukuran perusahaan menunjukkan adanya
pengaruh negatif ukuran perusahaan terhadap cummulative abnormal
return, sehingga dapat dikatakan bahwa semakin besar ukuran perusahaan
maka nilai earnings response coefficient semakin menurun.
Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan pengungkapan
corporate social responsibility sebagai variabel independen dan earnings
response coefficient sebagai variabel dependen. Perbedaannya adalah
penelitian sebelumnya menggunakan ukuran perusahaan sebagai variabel
kontrol dan menggunakan semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2011-2012, sedangkan penelitian sekarang menggunakan
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun
2012-2014. Penelitian sekarang juga menambah beta dan price to book
value sebagai variabel independen.
3. Riski Oktavia Lestari (2014)
Judul penelitian ini adalah ”Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Responsibility (CSR) terhadap Earnings Response Coefficient (ERC)
dengan Good Corporate Governance (GCG) sebagai Variabel Moderasi”.
Hasil penelitian mengatakan bahwa (1) pengungkapan corporate social
responsibility tidak berpengaruh terhadap earnings response coefficient.
Investor tidak terlalu melibatkan corporate social responsibility dalam
pengambilan keputusan meskipun perusahaan sudah melaksanakan dengan
baik dan sesuai peraturan pemerintah. (2) Kepemilikan manajerial tidak
12
berpengaruh terhadap earnings response coefficient karena persentase
kepemilikan oleh pihak manajemen cenderung rendah. (3) Kepemilikan
institusional berpengaruh terhadap earnings response coefficient yang
disebabkan pengawasan kepemilikan institusioanal dapat menjamin pihak
manajemen akan melaksanakan wewenang untuk mengelola perusahaan.
(4) Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap earnings
response coefficient, yang berarti bahwa earnings response coefficient
akan meningkat seiring dengan peningkatan proporsi dewan komisaris
independen. (5) Komite audit tidak berpengaruh terhadap earnings
response coefficient, karena komite audit tidak dapat meningkatkan
earnings response coefficient perusahaan tersebut. (6) Good corporate
governance tidak dapat memoderasi hubungan antara corporate social
responsibility dengan earnings response coefficient.
Persamaan dengan penelitian ini menggunakan variabel independen
pengungkapan corporate social responsibility dan earnings response
coefficient sebagai variabel dependen. Perbedaannya adalah penelitian
sebelumnya menggunakan good corporate governance sebagai variabel
moderasi dan menggunakan semua perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia tahun 2008-2012, sedangkan penelitian sekarang
menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia tahun 2012-2014. Penelitian sekarang juga menambah beta dan
price to book value sebagai variabel independen.
13
4. Ely Imroatussolihah (2013)
Judul penelitian ini adalah “Pengaruh Risiko, Leverage, Peluang
Pertumbuhan, Persistensi Laba dan Kualitas Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan terhadap Earnings Response Coefficient pada Perusahaan High
Profile”.
Hasil penelitian mengatakan bahwa (1) secara simultan risiko, debt equity
ratio, persistensi laba, dan kualitas tanggung jawab sosial berpengaruh
terhadap earnings response coefficient. (2) Risiko berpengaruh negatif
terhadap earnings response coefficient. (3) Debt equity ratio berpengaruh
negatif terhadap earnings response coefficient. (4) Peluang pertumbuhan
tidak berpengaruh terhadap earnings response coefficient karena objek
yang digunakan dalam penelitian ini perusahaan high profile dengan
karakteristik yang berbeda-beda. (5) Persistensi laba tidak berpengaruh
terhadap earnings response coefficient. (6) Kualitas tanggung jawab sosial
berpengaruh negatif terhadap earnings response coefficient.
Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan risiko (beta) sebagai
variabel independen dan earnings response coefficient sebagai variabel
dependen. Perbedaannya adalah penelitian sekarang menggunakan
corporate social responsibility disclosure sebagai variabel independen,
berbeda dengan penelitian sebelumnya menggunakan kualitas tanggung
jawab sosial. Penelitian sekarang juga menambah price to book value
sebagai variabel independen dan menggunakan perusahaan manufaktur
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014, berbeda dengan
14
penelitian sebelumnya yang menggunakan perusahaan high profile yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2009-2011.
5. Kazemzadeh Fariba (2013)
Judul penelitian ini adalah “Effect of The Social Accountability on
Incoming and Earnings Response Constant”.
Hasil penelitian mengatakan bahwa pengungkapan corporate social
responsibility berpengaruh terhadap earnings response coefficient
meskipun tingkat reaksi investor terhadap pengungkapan corporate social
responsibility lemah yaitu 13,3%.
Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan corporate social
responsibility sebagai variabel independen dan earnings response
coefficient sebagai variabel dependen. Perbedaannya adalah penelitian
sebelumnya menggunakan voluntary disclosure sebagai variabel moderasi,
ukuran perusahaan dan struktur modal sebagai variabel kontrol. Penelitian
sekarang menambah beta dan price to book value sebagai variabel
independen dan menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014 sebagai objek penelitian.
Penelitian sebelumnya menggunakan perusahaan yang terdaftar di Iranian
Stock Exchanges tahun 2012.
6. MI Mitha Dwi Restuti dan Cecilia Nathaniel (2012)
Judul penelitian ini adalah “Pengaruh Pengungkapan Corporate Social
Responsibility terhadap Earnings Response Coefficient”.
15
Hasil penelitian mengatakan bahwa pengungkapan corporate social
responsibility tidak berpengaruh terhadap earnings response coefficient
baik ketika tidak menggunakan variabel kontrol maupun ketika
menggunakan variabel kontrol yaitu beta dan price to book value. Hal ini
membuktikan bahwa informasi pengungkapan corporate social
responsibility yang dilakukan perusahaan masih kurang dipercaya oleh
investor untuk meningkatkan saham perusahaan pemegangnya.
Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan pengungkapan
corporate social responsibility sebagai variabel independen dan earnings
response coefficient sebagai variabel dependen. Perbedaannya adalah
penelitian sebelumnya menggunakan beta dan price to book value sebagai
variabel kontrol, namun pada penelitian sekarang kedua variabel tersebut
digunakan sebagai variabel independen. Penelitian sebelumnya
menggunakan seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
tahun 2010, sedangkan penelitian sekarang menggunakan perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2012-2014.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Signaling Theory
Menurut Wolk et al., (2000) signaling theory mengemukakan tentang
bagaimana perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan,
berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen. Manajer
16
memberikan informasi melalui laporan keuangan bahwa mereka menerapkan
kebijakan akuntansi konservatisme yang menghasilkan laba yang berkualitas.
Laba akuntansi yang diumumkan via statemen keuangan adalah salah satu
sinyal dari himpunan informasi yang tersedia bagi pasar modal. Penelitian empiris
menunjukkan bahwa laba (per saham) mempunyai dampak pada harga saham,
sehingga hal ini sangat diperlukan investor untuk memprediksi laba dan harga
masa mendatang. Informasi berupa kebijakan dan rencana manajemen,
pengembangan produk, strategi yang dirahasiakan akan tercermin dalam angka
laba yang dipublikasi melalui laporan keuangan.
Laba merupakan sarana untuk memberikan sinyal dari manajemen,
sehingga informasi laba sangat diharapkan para analis untuk mengetahui
informasi dan untuk mengkonfirmasi laba harapan investor. Apakah laba
mengandung informasi dapat ditunjukkan oleh reaksi pasar terhadap pengumuman
laba. Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan return saham
perusahaan yang mencolok saat pengumuman laba. Dan besaran yang
menunjukkan hubungan antara laba dan return saham disebut earnings response
coefficient.
2.2.2 Teori Legitimasi
Legitimasi adalah suatu kondisi dimana sistem nilai sebuah entitas sama
dengan sistem nilai dari sistem sosial masyarakat dimana suatu entitas menjadi
bagian dari masyarakat (Lang dan Lindholm, 1993 dalam Imroatussolihah, 2013).
Teori ini muncul karena adanya kontrak sosial antara perusahaan dan masyarakat
17
dalam menggunakan sumber ekonomi. Teori ini membahas bagaimana perusahaan
meyakinkan masyarakat untuk menerima aktivitas dan kinerjanya. Salah satu
upaya perusahaan adalah dengan melakukan corporate social responsibility. Maka
dari itu akan terjadi keselarasan antara sistem perusahaan dan tanggapan
masyarakat yang dapat diberikan untuk keberlangsungan perusahaan tersebut.
Perusahaan mengharapkan akan memperoleh legitimasi sosial dalam menjalankan
tanggung jawab sosial perusahaan dan memaksimalkan kekuatan keuangannya
untuk jangka panjang.
2.2.3 Laporan Keuangan
Menurut Kieso et al., (2014:6), laporan keuangan adalah informasi
keuangan yang diberikan perusahaan untuk membantu pengguna untuk membuat
keputusan mengenai perusahaan. Tujuan laporan keuangan menurut Dewi,
Almilia, dan Herlina (2012:18) yaitu dimaksudkan untuk memberikan informasi
mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan arus kas entitas yang bermanfaat
bagi sebagian besar pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi dan
menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen. Laporan keuangan
membantu pengguna untuk dapat memprediksi arus kas masa depan.
Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari laporan posisi keuangan
(neraca) akhir periode, laporan laba rugi komprehensif selama periode, laporan
perubahan ekuitas selama periode, laporan arus kas selama periode, catatan atas
laporan keuangan, dan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif
yang disajikan ketika entitas menerapkan suatu kebijakan akuntansi. Salah satu
18
unsur laporan keuangan yang paling banyak dinantikan informasinya adalah
laporan laba rugi yang dapat menjadi referensi bagi investor untuk berinvestasi.
2.2.4 Laba
Menurut Financial Accounting Standars Board (FASB) statement, laba
(rugi) adalah kelebihan penghasilan atas biaya selama satu periode akuntansi.
Laba juga merupakan total pendapatan dikurangi beban, tidak termasuk
komponen-komponen pendapatan komprehensif lain. Menurut Suwardjono
(2005:456) pengguna laporan mempunyai konsep laba dan model pengambilan
keputusan yang berbeda, maka dari itu apapun pengertian dan cara pengukurannya
laba akuntansi diharapkan dapat digunakan sebagai:
1. Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang
diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi
2. Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemen
3. Dasar penentuan besarnya pengenaan pajak
4. Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomik suatu negara
5. Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tarif dalam perusahaan publik
6. Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang
7. Dasar kompensasi dan pembagian bonus
8. Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan
9. Dasar pembagian dividen
Penelitian yang dilakukan Murwaningsari (2008) dalam Silalahi (2014)
menunjukkan bahwa laba memiliki kandungan informasi yang tercermin dalam
19
harga saham. Kebermanfaatan laba dapat diukur dari hubungan antara laba dan
harga saham, dimana laba merupakan prediktor aliran kas ke investor yang
menentukan harga saham (Suwardjono 2005:484). Aliran kas masa depan ke
investor digunakan untuk menentukan nilai intrinsik sekuritas atau saham. Nilai
intrinsik dapat menentukan harga pasar saham di dalam pasar modal pada saat
tertentu, sehingga investor atau analis dapat membandingkan nilai intrinsik saham
dan nilai pasar sekarang untuk melihat apakah terjadi salah harga (Suwardjono,
2005:484).
2.2.5 Return Saham
Apakah laba mengandung informasi dapat ditunjukkan oleh reaksi pasar
terhadap pengumuman laba sebagai suatu peristiwa (Suwardjono, 2005:490).
Reaksi pasar tersebut ditunjukkan dengan perubahan harga pasar (return saham)
perusahaan tertentu yang mencolok pada saat pengumuman laba. Mencolok disini
berarti terdapat perbedaan yang cukup besar antara return yang terjadi (actual
return) dengan return harapan (expected return) yang menunjukkan terjadinya
return kejutan atau abnormal (unexpected atau abnormal return) (Suwardjono,
2005:491).
Menurut Suwardjono (2005:491) return atau kembalian adalah apa yang
diperoleh investor dari investasinya dalam suatu periode yang dalam hal saham
dapat berupa dividen dan capital gain yaitu kenaikan nilai investasi. Return pada
umumnya dinyatakan dalam persen perubahan. Sedangkan menurut Silalahi
(2014) return merupakan hasil yang diperoleh dari sebuah investasi, yang dapat
20
berupa return realisasi yaitu return yang telah terjadi atau return ekspektasi yaitu
return yang diharapkan terjadi di masa mendatang dan return abnormal yang
merupakan selisih antara return ekspektasi dan return realisasi.
Return saham suatu perusahaan dapat dinyatakan sebagai berikut menurut
Van Horne (1998:26) dalam Suwardjono (2005:491) :
Return = 𝑅 =𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛𝑠 +(𝐸𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑟𝑖𝑐𝑒 −𝐵𝑒𝑔𝑖𝑛𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑟𝑖𝑐𝑒 )
𝐵𝑒𝑔𝑖𝑛𝑛𝑖𝑛𝑔 𝑝𝑟𝑖𝑐𝑒
Karena reaksi pasar tidak selalu terjadi bersamaan dengan saat pengumuman laba,
maka reaksi dapat diukur untuk periode beberapa hari sebelum dan sesudah
peristiwa tersebut. Dengan jendela peristiwa yang lebar, perbedaan kecepatan
reaksi antarpelaku pasar dapat diakomodasi dan reaksi kemudian dapat diukur
dengan apa yang disebut cummulative abnormal return (CAR).
2.2.6 Earnings Response Coefficient
Menurut Scott (2013:163) earnings response coefficient mengukur sejauh
mana return sekuritas abnormal pasar menanggapi komponen laba kejutan yang
dilaporkan oleh perusahaan yang menerbitkan sekuritas. Untuk menghitung
earnings response coefficient, maka harus membagi return saham abnormal
(untuk jendela sekitar tanggal rilis laba) terhadap laba kejutan untuk periode
tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengukur abnormal return per dolar dari laba
abnormal, yang memungkinkan perbandingan earnings response coefficient
perusahaan dari waktu ke waktu. Alasan untuk respon pasar yang berbeda adalah
(Scott, 2013:163) :
21
1. Beta
Semakin tinggi risiko suatu perusahaan maka semakin rendah nilai
perusahaan. Ukuran risiko yang relevan dari sekuritas adalah beta. Sejak
investor melihat laba sebagai indikator kinerja dan return saham masa
depan perusahaan, risiko return masa depan adalah reaksi yang rendah dari
investor terhadap jumlah tertentu dari unexpected earnings. Semakin
tinggi beta maka permintaan terhadap saham perusahaan itu semakin
menurun, sehingga permintaan yang rendah mengimplikasikan
peningkatan yang rendah dalam harga pasar dan return saham yang
menjadikan earnings response coefficient rendah.
2. Struktur Modal
Untuk perusahaan dengan leverage besar, peningkatan dalam hal laba
menambah kekuatan dan keamanan untuk obligasi dan hutang lainnya.
Jadi, kabar baik laba ini akan lebih berguna bagi debtholders dibandingkan
bagi shareholders. Dengan demikian, earnings response coefficient bagi
perusahaan yang sangat leverage harus menjadi rendah daripada
perusahaan dengan sedikit atau tanpa hutang.
3. Kualitas Laba
Kualitas laba didefinisikan dengan besarnya probabilitas diagonal utama
dari sistem informasi yang terkait. Semakin tinggi probabilitas, maka
semakin tinggi pula earnings response coefficient yang diharapkan terjadi,
22
karena investor lebih mampu menyimpulkan kinerja masa depan dari
kinerja saat ini.
4. Peluang Pertumbuhan
Ketika laba bersih saat ini mengungkapkan profitabilitas yang tinggi untuk
investasi proyek baru perusahaan, hal ini mengindikasikan pasar akan
menikmati pertumbuhan masa depan yang kuat. Salah satu alasannya,
sejauh profitabilitas tetap tinggi, keuntungan masa depan akan
meningkatkan asset perusahaan. Di samping itu, sukses dengan proyek
saat ini mungkin menyarankan pasar bahwa perusahaan mampu untuk
mengidentifikasi dan mengimplementasikan kesuksesan proyek di masa
depan, sehingga hal itu akan menjadikan perusahaan sebagai perusahaan
yang bertumbuh. Perusahaan tersebut dapat dengan mudah menarik modal
dan merupakan sumber tambahan dari pertumbuhan. Dengan demikian,
sejauh ketika kabar baik dari laba menunjukkan peluang pertumbuhan,
maka earnings response coefficient akan tinggi.
5. Kesamaan Harapan Investor
Investor yang berbeda akan memiliki harapan yang berbeda terhadap laba
perusahaan periode selanjutnya, tergantung dari sejauh mana kemampuan
mereka untuk mengevaluasi informasi laporan keuangan.
6. Keinformatifan Harga
Harga pasar mengumpulkan semua informasi perusahaan untuk publik.
Ketika suatu harga sangat informatif, maka semakin sedikit kandungan
23
informasi dalam laba akuntansi berjalan, sehingga earnings response
coefficient menjadi rendah.
Suwardjono (2005:493) menyatakan bahwa earnings response coefficient
adalah kepekaan return saham terhadap setiap rupiah laba atau laba kejutan
(unexpected earnings). Laba kejutan memberikan informasi yang belum
tertangkap oleh pasar sehingga pasar akan bereaksi pada saat pengumuman laba.
Hal ini menunjukkan bahwa koefisien respon laba adalah suatu reaksi yang datang
dari pengumuman laba perusahaan. Reaksi pasar kemudian diukur dengan apa
yang disebut return abnormal kumulatif atau cummulative abnormal return.
Reaksi pasar tidak selalu terjadi bersamaan dengan hari pengumuman laba,
sehingga reaksi dapat diukur untuk periode beberapa hari sebelum dan sesudah
terjadinya (disebut jendela peristiwa atau event window).
Earnings response coefficient sering disebut dengan studi asosiasi, dimana
bila semua variabel dapat ditentukan untuk sampel perusahaan, model-model
pengujian berikut dapat digunakan (Suwardjono, 2005:493) :
Ri,t = β0 + β1Li,t + ԑi,t (i = 1,2,3,…,n), atau
RAi,t = β0 + β1LKi,t + ԑi,t (i = 1,2,3,…,n), atau
RAKi,(t1,t2) = β0 + β1LKi,t + ԑi,t (i = 1,2,3,…,n)
Dalam model di atas, LK adalah laba kejutan dan β1 adalah koefisien
asosiasi. Untuk model terakhir, (t1, t2) adalah jendela peristiwa. Model tersebut
hanya secara sederhana menggambarkan hubungan laba dan pasar modal. Saat
sekarang, sudah banyak model yang dikembangkan .
24
Kartajumena (2010) dalam Imroatussolihah (2013), menyatakan kuatnya
reaksi pasar terhadap informasi laba akan tercermin dari tingginya koefisien
respon laba, sebaliknya lemahnya reaksi pasar terhadap informasi laba akan
mencerminkan nilai earnings response coefficient yang rendah. Menurut Silalahi
(2014) pengukuran earnings response coefficient dapat dilakukan dengan :
1. Mengukur abnormal return
Rit = Pit – Pit-1
Pit-1
Rmt = IHSGt – IHSGt-1
IHSGt-1
ARit = Rit – Rmt
CAR = ∑ ARit
Keterangan :
CARit : Cummulative Abnormal Return
ARit : Abnormal Return untuk perusahaan i pada periode (hari)
ke-t
Rit : Return harian perusahaan i pada hari ke-t
Rmt : Return indeks pasar pada periode (hari) ke-t
IHSGt : Indeksh Harga Saham Gabungan pada periode (hari) t
IHSGt-1 : Indeks Harga Saham Gabungan pada periode (hari) t-1
Pit : Harga Penutupan Saham perusahaan i pada periode t
Pit-1 : Harga Penutupan Saham perusahaan i pada periode t-1
25
2. Mengukur unexpected earnings
UEit = Eit – Et-1
Et-1
Keterangan :
UEit : Unexpected Earnings perusahaan i pada periode t
Eit : Laba akuntansi (laba komprehensif tahun berjalan) perusahaan i
pada periode t
Et-1 : Laba akuntansi (laba komprehensif tahun berjalan) perusahaan i
pada periode t-1
3. Menghitung earnings response coefficient
CARit = α + β UEit + ԑ
Keterangan :
CARit : Cummulative Abnormal Return perusahaan i pada waktu t
UEit : Unexpected Earnings perusahaan i pada waktu t
α : Konstanta
β : Koefisien yang menunjukkan ERC
ԑ : Error
2.2.7 Corporate Social Responsibility
Corporate social responsibility adalah komitmen perusahaan kepada
masyarakat atau lingkungan dalam menjalankan bisnisnya dengan lebih
memberikan perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk
dapat menciptakan lingkungan yang baik. Corporate social responsibility adalah
26
mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan
perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasinya dan interaksinya
dengan stakeholders yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum
(Rawi dan Muchlis, 2010 dalam Silalahi, 2014).
Elkington (1997) dalam Lako (2011:65) menyebut sistem pelaporan yang
menyertakan informasi corporate social responsibility sebagai triple bottom line
reporting, yaitu pelaporan yang menyajikan informasi tentang kinerja ekonomi
(profit), lingkungan, dan sosial dari suatu entitas korporasi. Tujuannya adalah agar
stakeholder bisa mendapat informasi yang lebih komprehensif untuk menilai
kinerja, risiko dan prospek bisnis, serta kelangsungan hidup suatu korporasi.
Konsep tanggung jawab sosial tidak terlepas dari konteks waktu saat ia
berkembang dan berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangannya. Terdapat
tiga periode penting dalam perkembangan corporate social responsibility, yaitu
(Solihin, 2008:15) :
1. Perkembangan awal era tahun 1950-1960-an
Konsep awal tanggung jawab sosial dikemukakan Carroll (1999) dalam
Solihin (2008:15), dimana tanggung jawab sosial memberi landasan bagi
pengenalan kewajiban pelaku bisnis untuk menetapkan tujuan bisnis yang
sejalan dengan tujuan dan nilai masyarakat. Selanjutnya tahun 1960,
adanya tanggung jawab sosial perusahaan di luar tanggung jawab ekonomi
karena pada masa itu pandangan mengenai tanggung jawab sosial masih
didominasi oleh para ekonom klasik.
2. Perkembangan periode tahun 1970-1980-an
27
Periode awal tahun 1970-an merupakan bagian penting perkembangan
tanggung jawab sosial ketika para pimpinan perusahaan besar di Amerika
dan para peneliti membentuk Committee for Economic Development.
Carroll (1979) dalam Solihin (2008:15) membagi komponen tanggung
jawab sosial perusahaan dalam empat kategori, yaitu economic
responsibilities, legal responsibilities, ethical responsibilities, dan
discretionary responsibilities. Aktivitas tanggung jawab sosial yang tidak
semata-mata bersifat derma (charity) adalah yang dilakukan oleh Unilever
dengan meraih 7 penghargaan dari 9 penghargaan dalam “Anugerah
Business Review 2007”.
3. Perkembangan era tahun 1990-an sampai sekarang
Pada tahun 1987, The World Commission on Environment and
Development mengeluarkan laporan yang dipublikasikan Oxford
University berjudul “Our Common Future”. Salah satu poin penting dalam
laporan tersebut adalah memperkenalkan konsep pembangunan
berkelanjutan (sustainability development). Pengenalan konsep ini
memberikan dampak besar terhadap perkembangan tanggung jawab sosial.
Sebagai adopsi dari sustainable development, perusahaan saat ini secara
sukarela menyusun laporan setiap tahun yaitu sustainability report yang
akan menjelaskan dampak organisasi perusahaan terhadap tiga aspek, yaitu
dampak operasi perusahaan terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Perumusan tujuan tanggung jawab sosial perusahaan bergantung pada
hasil analisis perusahaan mengenai lingkungan internal dan eksternal perusahaan.
28
Perusahaan dapat mengimplementasikan program tanggung jawab sosial untuk
meningkatkan legitimasi masyarakat terhadap perusahaan. Yang saat ini sedang
berjalan adalah bahwa perusahaan mencoba mengintegrasikan sejauh mungkin
pelaksanaan program tanggung jawab sosial yang mereka lakukan dengan strategi
perusahaan atau program tanggung jawab sosial yang dilaksanakan memiliki
keterkaitan dengan rantai pemasok perusahaan.
Terdapat enam kategori program tanggung jawab sosial yang akan dipilih
dan dilaksanakan sesuai tujuan pelaksanaan tanggung jawab sosial yang ingin
dicapai perusahaan, yaitu:
1. Cause promotion
Dalam program ini, perusahaan menyediakan dana atau sumber daya yang
dimiliki untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah
sosial.
2. Cause Related Marketing
Dalam program ini, perusahaan memiliki komitmen untuk
menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannya untuk suatu
kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk.
3. Corporate Social Marketing
Dalam program ini, perusahaan mengembangkan dan melaksanakan
kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat dengan tujuan
meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian
lingkungan hidup, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
29
4. Corporate Philanthropy
Dalam program ini, perusahaan memberikan sumbangan langsung dalam
bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu.
5. Community Volunteering
Dalam program ini, perusahaan mendukung serta mendorong karyawan,
pemegang franchise atau pedagang eceran untuk menyisihkan waktu
mereka secara sukarela guna membantu organisasi masyarakat lokal
maupun yang menjadi sasaran program.
6. Socially Responsible Business Practice (Community Development)
Dalam program ini, perusahaan melaksanakan aktivitas bisnis melampaui
aktivitas bisnis yang diwajibkan hukum serta berinvestasi untuk
mendukung kegiatan sosial dengan tujuan mensejahterakan komunitas dan
memelihara lingkungan hidup.
Saat ini perusahaan multinasional mengumumkan corporate governance
beserta dampak yang ditimbulkan terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan
dalam sustainability report yang dikembangkan oleh Global Reporting Initiative
(GRI). Perkembangan tanggung jawab sosial untuk Indonesia dapat dilihat dari
dua perspektif berbeda. Pertama, pelaksanaan tanggung jawab sosial merupakan
praktik bisnis secara sukarela daan kedua pelaksanaan tanggung jawab sosial
bukan lagi merupakan discretionary business practice, melainkan pelaksanaannya
sudah diatur dalam undang-undang (bersifat mandatory).
1. Pelaksanaan tanggung jawab sosial secara sukarela oleh perusahaan besar
30
Aktivitas tanggung jawab sosial sebagai discretionary business practice di
Indonesia dibagi dalam dua kategori. Pertama, pelaksanaannya sebagai
discretionary business practice oleh perusahaan multinasional sangat
dipengaruhi perkembangan pelaksanaan tanggung jawab sosial di negara
asal perusahaan multinasional. Kedua, pelaksanaan tanggung jawab sosial
oleh perusahaan domestik harus mengalami proses belajar lebih panjang
dalam merancang dan melaksanakan aktivitas tanggung jawab sosial,
karena perusahaan ini umumnya belum memiliki pengetahuan yang cukup.
2. Pelaksanaan tanggung jawab sosial secara mandatory oleh perusahaan
besar
Indonesia mengambil inisiatif melakukan regulasi pelaksanaan tanggung
jawab sosial dengan mencantumkannya pada Pasal 74 UU Nomor 40
tentang Perseoran terbatas. Regulasi ini dipandang sebagai langkah
preventif untuk mencegah terjadinya dampak negatif lebih besar yang
dapat ditimbulkan perusahaan tersebut.
2.2.8 Beta
Menurut Jogiyanto (2014:405), beta merupakan suatu pengukur volatilitas
return sekuritas atau return portofolio terhadap return pasar. Beta sekuritas ke-i
mengukur volatilitas return sekuritas ke-i dengan return pasar. Beta portofolio
mengukur volatilitas return portofolio dengan return pasar. Dengan demikian beta
merupakan pengukur risiko sistematik dari suatu sekuritas atau portofolio relatif
terhadap risiko pasar.
31
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2011:162) beta sering disebut
koefisien beta yang merupakan ukuran angka koefisien yang menggambarkan
sensitivitas atau kecenderungan respons suatu saham terhadap pasar. Saham
dengan beta satu merupakan saham yang bergerak searah pergerakan pasar.
Kemudian saham dengan beta kurang dari satu merupakan saham yang bergerak
lebih lambat dari pergerakan pasar, sementara yang memiliki beta lebih dari satu
menggambarkan harga saham bergerak lebih fluktuaktif dibanding pasar.
Mengetahui beta suatu sekruitas atau portofolio merupakan hal penting
untuk menganalisa sekuritas atau portofolio tersebut. Beta suatu sekuritas
menunjukkan risiko sistematik yang tidak dapat dihilangkan karena diversifikasi.
Untuk menghitung beta portofolio, maka beta masing-masing sekuritas perlu
dihitung terlebih dahulu. Beta portofolio merupakan rata-rata tertimbang dari beta
masing-masing sekuritas.
Beta suatu sekuritas dapat dihitung dengan teknik estimasi yang
menggunakan data historis. Dengan menggunakan data historis, selanjutnya dapat
digunakan untuk mengestimasi beta masa datang. Beta historis dapat
menggunakan data historis berupa data pasar, data akuntansi atau data
fundamental. Beta yang dihitung dengan data pasar disebut beta pasar. Beta yang
dihitung dengan data akuntansi disebut beta akuntansi dan beta yang dihitung
dengan data fundamental disebut beta fundamental (Jogiyanto, 2014:407).
1. Beta pasar
Beta pasar dapat diestimasi dengan mengumpulkan nilai historis return
dari sekuritas dan pasar selama periode tertentu. Beta juga dapat dihitung
32
dengan menggunakan teknik regresi yang dilakukan dengan menggunakan
return sekuritas sebagai variabel dependen dan return pasar sebagai
variabel independen. Beta dapat dihitung dengan persamaan (Jogiyanto,
2014:410) :
Ri = αi + βi . RM + ei
2. Beta akuntansi
Beta akuntansi dapat dihitung dengan cara yang sama seperti beta pasar,
namum mengganti data return dengan data laba akuntansi. Beta akuntansi
dapat dihitung dengan rumus (Jogiyanto, 2014:415) :
hi = σlaba,iM
σ2
laba,iM
3. Beta Fundamental
Beaver, Kettler dan Scholes (1970) dalam Jogiyanto (2014:410)
mengembangkan penelitian Ball dan Brown dengan menyajikan
perhitungan beta menggunakan variabel fundamental yang berhubungan
dengan risiko. Variabel tersebut adalah dividen payout, asset growth,
leverage, liquidity, asset size, earnings variability, dan accounting beta.
2.2.9 Price to Book Value
Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2011:157), price to book value
menggambarkan seberapa besar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan.
Makin tinggi rasio ini berarti pasar percaya akan prospek perusahaan tersebut.
Price to book value adalah rasio yang menunjukkan apakah harga saham
diperdagangkan di bawah (undervalued) atau di atas (overvalued) nilai buku
33
saham tersebut. Price to book value digunakan untuk memproksi growth
opportunities.
Price to book value dapat diterapkan pada perusahaan dengan laba atau
arus kas negatif. Perusahaan yang memiliki rasio price to book value memiliki
abnormal return lebih tinggi dari perusahaan yang memiliki rasio price to book
value yang tinggi. Begitu pun semakin tinggi ROE dan biaya modal, maka
semakin tinggi rasio price to book value. Untuk menghitung price to book value
dapat menggunakan rumus (Darmadji dan Fakhruddin, 2011:157) :
PBV = 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝐵𝑢𝑘𝑢 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
2.2.10 Pengaruh Corporate Social Responsibility Disclosure terhadap
Earnings Response Coefficient
Elkington (1997) dalam Lako (2011:65) menyebut sistem pelaporan yang
menyertakan informasi corporate social responsibility sebagai triple bottom line
reporting, yaitu pelaporan yang menyajikan informasi tentang kinerja ekonomi
(profit), lingkungan, dan sosial dari suatu entitas korporasi. Program corporate
social responsibility diharapkan dapat membantu perusahaan untuk dapat diterima
oleh masyarakat, baik aktivitas maupun kinerjanya dan juga untuk meningkatkan
keuangan dalam jangka panjang, seperti meningkatkan laba. Ketika terjadi
pengumuman laba, maka akan terjadi reaksi pasar (contohnya dari investor) yang
dapat diukur dengan earnings response coefficient. Namun, kebanyakan investor
masih belum terlalu menganggap bahwa informasi corporate social responsibility
34
itu penting dalam pengambilan keputusan investasi. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti.
Penelitian yang dilakukan Wulandari dan Wirajaya (2014) membuktikan
bahwa pengungkapan corporate social responsibility tidak berpengaruh terhadap
earnings response coefficient. Hal ini dikarenakan investor yang kurang percaya
dengan informasi tersebut. Hal yang sama diungkapkan oleh Silalahi (2014) yang
juga menemukan bahwa corporate social responsibility tidak berpengaruh
signifikan terhadap earnings response coefficient karena investor masih
memberikan respon lebih terhadap informasi laba dibandingkan laporan
pertanggungjawaban sosial dalam pengambilan keputusan investasi.
2.2.11 Pengaruh Beta terhadap Earnings Response Coefficient
Menurut Jogiyanto (2014:405) beta merupakan pengukur volatilitaitas
return sekuritas terhadap return pasar. Volatilitas dapat didefinisikan sebagai
fluktuasi return sekuritas dalam periode tertentu. Semakin tinggi risiko suatu
perusahaan maka semakin rendah nilai perusahaan. Ukuran risiko yang relevan
dari sekuritas adalah beta. Semakin tinggi beta maka permintaan terhadap saham
perusahaan itu semakin menurun, sehingga permintaan yang rendah
mengimplikasikan peningkatan yang rendah dalam harga pasar dan return saham
yang menjadikan earnins response coefficient rendah.
Penelitian yang dilakukan Silalahi (2014) membuktikan bahwa beta tidak
berpengaruh terhadap earnings response coefficient, karena rendahnya nilai
variabel beta. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan Restuti dan Nathaniel
35
(2012) yang mengatakan bahwa beta tidak berpengaruh terhadap earnings
response coefficient ketika digunakan sebagai variabel kontrol.
2.2.12 Pengaruh Price to Book Value terhadap Earnings Response Coefficient
Price to book value menggambarkan sebesar besar pasar menghargai nilai
buku saham suatu perusahaan. Makin tinggi rasio maka pasar semakin percaya
akan prospek perusahaan tersebut (Darmadji dan Fakhruddin, 2011:157). Ketika
profitabilitas suatu perusahaan meningkat, maka hal ini juga dapat meningkatkan
asset perusahaan. Hal ini menunjukkan kepada pasar bahwa perusahaan mampu
untuk bertumbuh dan dapat meningkatkan rasio price to book value. Peningkatan
laba yang menunjukkan peluang pertumbuhan dapat meningkatkan earnings
response coefficient.
Penelitian yang dilakukan Silalahi (2014) membuktikan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan antara price to book value terhadap earnings response coefficient.
Hal ini terjadi karena perusahaan yang terus menerus tumbuh memiliki
kemudahan dalam menarik modal yang merupakan sumber pertumbuhan. Investor
akan memberi respon yang tinggi kepada perusahaan dengan kemungkinan
bertumbuh yang tinggi.
36
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan sintesis dari tinjauan teori dan penelitian
terdahulu dan mencerminkan keterkaitan antar variabel yang diteliti. Kerangka
pemikiran juga merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian serta
merumuskan hipotesis. Berdasarkan latar belakang masalah, tinjauan teoritis, dan
tinjauan penelitian terdahulu, maka peneliti membuat kerangka pemikiran seperti
yang tertera pada gambar :
Sumber : diolah
Gambar 2.1
KERANGKA PEMIKIRAN
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusah masalah, dan tujuan
penelitian, maka hipotesis penelitian ini adalah:
H1 : Corporate Social Responsibility (CSR) disclosure berpengaruh negatif
terhadap Earnings Response Coefficient (ERC)
Corporate Social
Responsibility (CSR)
Disclosure (X1)
Beta (X2)
Price to Book Value
(PBV) (X3)
Earnings Response
Coefficient (ERC)
(Y)
37
H2 : Beta berpengaruh negatif terhadap Earnings Response Coefficient (ERC)
H3 : Price to Book Value (PBV) berpengaruh positif terhadap Earnings
Response Coefficient (ERC)