Post on 16-Oct-2021
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepemimpinan Klinis Perawat
2.1.1 Kepemimpinan
Penggunaan pendekatan atau perspektif yang beragam atas kepemimpinan,
selain melahirkan definisi kepemimpinan yang beragam juga melahirkan teori
kepemimpinan yang beragam pula. Setiap pendekatan yang digunakan melahirkan
berbagai macam teori kepemimpinan. Kepemimpinan sebagai sekelompok proses,
kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapaian tujuan,
interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari
hal-hal tersebut (Milkhatun, 2016).
a. Definisi Kepemimpinan
Seorang pemimpin adalah orang yang orang lain ikuti secara sukarela dan rela.
Menurut Bennis (1959 dalam Nasar, 2017) mendefinisikan bahwa kepemimpinan
sebagai proses dimana seseorang mempengaruhi seorang pengikut untuk bersikap
sesuai cara. Sedangkan menurut Kouzes & Posner (1995 dalam Nasar, 2017)
mendefinisikan kepemimpinan sebagai, seni memobilisasi orang lain untuk
menginginkannya untuk memperjuangkan aspirasi bersama. Kepemimpinan
didefinisikan sebagai pengaruh dan mencakup penggunaan keterampilan
interpersonal untuk mendorong orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Selanjutnya, kepemimpinan didefinisikan sebagai seni untuk mempengaruhi orang
lain untuk berjuang sukarela dan antusias menuju pencapaian tujuan. Seorang
13
pemimpin harus menjadi advokat terpercaya yang efektif yang mengilhami tindakan
berani dengan menggunakan komunikasi 2 arah. Kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi sikap dan perilaku orang lain. Kepemimpinan terutama tentang
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan telah
diselidiki oleh banyak ilmuwan, seperti yang dibuktikan oleh kebanyakan orang
(Nassar, 2017).
Menurut Nassar (2017) bahwa tidak ada satu definisi kepemimpinan yang
akurat. Namun, definisi ini dapat membantu untuk mendapatkan pemahaman
kepemimpinan yang lebih baik fenomena dan menawarkan berbagai sudut pandang
konsep dan faktor yang mungkin berpengaruh kepemimpinan.
b. Teori Kepemimpinan
Semua teori mengenai kepemimpinan menekankan pada tiga gagasan yang
dibangun baik secara bersama-sama maupun terpisah yaitu: (1) rasionalitas, perilaku,
dan kepribadian pemimpin; (2) rasionalitas, perilaku, dan kepribadian pengikut; dan
(3) faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas, iklim organisasi, dan
budaya. Kepemimpinan pada dasarnya melibatkan orang lain, melibatkan distribusi
kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota kelompok, menggerakkan
kemampuan dengan menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi
tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai. Empat sifat umum yang mempunyai
pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu: (1) kecerdasan, (2)
kedewasaan, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap hubungan
kemanusiaan. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun
spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi
pemimpin itu tidak mudah dan tidak setiap orang mempunyai kesamaan di dalam
14
menjalankan kepemimpinannya (Milkhatun, 2016). Kepemimpinan yang dijalankan
seseorang dapat mengacu kepada teori kepemimpinan tertentu. Kepemimpinan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga pendekatan, yaitu:
1. Teori Sifat (Trait Approach)
Teori sifat memandang bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan
oleh sifat/karakter yang dimiliki pemimpin itu. Pendekatan sifat memandang bahwa
pemimpin yang efektif atau tidak efektif memiliki sifat-sifat atau karakteristik-
karakteristik yang berbeda. Teori ini lebih bersifat genetik dalam memandang asal
mula pemimpin. Para penganut teori ini mengemukakan bahwa leaders are burned not
built (Milkhatun, 2016).
2. Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach)
Pendekatan perilaku memandang bahwa kepemimpinan dapat dipelajari dari
pola perilaku, bukan dari sifat-sifat (traits) pemimpin. Alasannya sifat seseorang relatif
sukar untuk diidentifikasikan. Para penganut teori ini berpendapat bahwa leaders are
built not borned (Milkhatun, 2016).
3. Pendekatan Situasional (Situational Approach)
Pendekatan situasional memandang bahwa keefektifan kepemimpinan
tergantung pada kecocokkan antara pribadi, tugas, kekuasaan, persepsi dan sikap.
Para penganut teori ini berkeyakinan bahwa pemimpin yang efektif itu dipengaruhi
oleh faktor genetik dan faktor lingkungan (Milkhatun, 2016).
15
2.1.2 Kepemimpinan Dalam Keperawatan
Kepemimpinan telah diilustrasikan dalam literatur keperawatan sebagai
proses yang sulit dan multifaset. Ini termasuk memberikan arahan dan dukungan,
memotivasi, mengkoordinasikan, berkolaborasi, komunikasi efektif, dan advokasi
pasien untuk mencapai hasil pasien yang optimal. Di keperawatan, kepemimpinan
menunjukkan kepada para pengikut bagaimana hal-hal dilakukan, membimbing jalan
mereka, dan tindakannya. Selain itu, perawat sebagai bagian dari tim intra disiplin
kesehatan harus mampu memimpin era ketajaman pasien yang tinggi, serba cepat,
dan lingkungan yang sangat kompleks (Nassar, 2017).
IOM(Institute of Medicine) menyatakan bahwa perawat harus dapat memimpin
tim inter professional dan sistem kesehatan selanjutnya, penelitian yang dilakukan
pada kepemimpinan keperawatan telah menunjukkan efektivitas kepemimpinan
dalam peran keperawatan pada hasil pasien seperti keselamatan
pasien. Kepemimpinan keperawatan didefinisikan sebagai pengaruh orang lain untuk
memperbaiki kualitas perawatan bersama dengan partisipasi langsung dalam
perawatan klinis. Kepemimpinan dalam keperawatan melibatkan lingkungan yang
memiliki visi yang jelas, dan dimana staf berada termotivasi dan
diberdayakan. Pemimpin keperawatan adalah agen yang memiliki pengikut di tim
kesehatan (Nassar, 2017).
Menurut Cook & Holt (2006 dalam Nassar, 2017) kepemimpinan
keperawatan adalah tentang memiliki sebuah visi dan pemberdayaan staf. Mereka juga
menambahkan bahwa pemimpin perawat harus memiliki keterampilan, seperti
kepercayaan diri, menghargai orang lain, dan mampu membangun tim secara efektif.
Kepemimpinan keperawatan paling sering dikaitkan dengan eksekutif
perawat dan kurang sering dihubungkan dengan praktik keperawatan di samping
16
tempat tidur. Dalam literatur keperawatan, sampai saat ini, fenomena kepemimpinan
telah mencerminkan umum kepemimpinan. Itulah kepemimpinan didefinisikan
dalam hal proses interaktif dimana pengikut berada termotivasi dan diberdayakan
untuk mencapai tujuan tertentu. Meski demikian, kepemimpinan tidak semata terkait
dengan tingkat manajemen puncak, namun dapat dikembangkan dan diterapkan di
tempat tidur perawat. Dengan demikian, memperoleh keterampilan kepemimpinan
klinis sangat penting bagi perawat yang memberikan pasien langsung peduli. Hal ini
memungkinkan perawat untuk mengarahkan dan mendukung pasien dan tim
kesehatan saat memberikannya perawatan (Nassar, 2017).
2.1.3 Kepemimpinan Klinis dalam Keperawatan
Kepemimpinan klinis adalah suatu kemampuan perawat pelaksana untuk
meningkatkan kualitas dan keselamatan selama perawatan dengan cara inovasi dan
kreativitas baik dalam proses organisasi maupun praktek keperawatan (Simon, 2014).
National Health Service (NHS) Leadership Academy (2012), mengembangkan suatu
kerangka kepemimpinan klinis yang menggambarkan kualitas pribadi seseorang
dalam memimpin di setiap tingkatan. Kerangka kepemimpinan klinis tersebut dikenal
dengan Clinical Leadership Competency Framework (CLCF), CLCF berlaku untuk setiap
klinisi di semua tahap perjalanan profesional sampai sejak mereka memasuki
pelatihan formal, menjadi berkualitas sebagai praktisi dan seluruh pengembangan
profesional yang berkelanjutan sebagai praktisi berpengalaman yaitu lima domain
dibutuhkan oleh semua perawat (Yusnaini, 2016).
17
a. Menunjukan Kualitas Pribadi (Demonstrating Personal Qualities)
Kepemimpinan efektif mensyaratkan individu-individu untuk bertindak di
atas nilai-nilai, kekuatan dan kemampuan untuk menyampaikan pelayanan dengan
standar tinggi. Untuk dapat melakukan itu, mereka harus menunjukkan efektivitas
dalam:
1. Pengembangan Kesadaran Diri
Kesadaran diri dikembangkan dengan menyadari nilai-nilai, prinsip dan
asumsi pribadi dan mampu untuk belajar dari pengalaman. Perawat yang kompeten
akan mengakui dan mengartikulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sendiri,
memahami bagaimana perbedaan dari individu dan kelompok, mengidentifikasi
kekuatan keterbatasan, dampak dari perilaku sendiri pada orang lain dan efek stres
pada tingkah laku, mengidentifikasi emosi dan prasangka sendiri dan memahami
bagaimana mempengaruhi penilaian dan perilaku sendiri, mendapatkan, menganalisis
dan bertindak dari berbagai sumber umpan balik (NHS, 2012). Menurut Jack &
Smith (2007), pengembangan kesadaran diri berpeluang untuk menerima masukan
dari rekan kerja sebagai individu maupun tingkat profesional keperawatan.
2. Mengelola Diri Sendiri
Manajemen diri dimulai dengan mengatur dan melakukan manajemen diri
sendiri sambil memperhitungkan kebutuhan dan prioritas hal lain. Perawat yang
kompeten akan mengelola dampak emosi dari perilaku mereka dengan pertimbangan
dampak pada orang lain, memenuhi tanggung jawab dan komitmen dengan standar
tinggi secara konsisten, memastikan rencana dan tindakan fleksibel dari pola kerja
orang lain, merencanakan beban kerja dan kegiatan untuk memenuhi persyaratan
kerja dan komitmen tanpa mengorbankan kesehatan (NHS, 2012).
18
3. Pengembangan Pribadi Berkelanjutan
Pengembangan diri berkelanjutan dilakukan dengan belajar melalui partisipasi
dalam pengembangan profesionalisme berkelanjutan dan pengalaman serta umpan
balik. Perawat yang kompeten akan secara aktif mencari peluang dan tantangan untuk
pembelajaran dan pengembangan diri, mengakui kesalahan dan memperlakukan
mereka sebagai kesempatan pembelajaran, berpartisipasi dalam kegiatan
pengembangan profesional, mengubah perilaku dari hasil umpan balik (NHS, 2012).
4. Bertindak Dengan Integritas
Tindakan yang berintegritas diidentifikasi dengan berperilaku dalam sikap
terbuka, jujur dan beretika. Perawat yang kompeten akan menjunjung etika dan nilai-
nilai pribadi dan profesional, memperhitungkan nilai-nilai organisasi dan
menghormati budaya, keyakinan dan kemampuan individu, berkomunikasi secara
efektif dengan individu, menghargai latar belakang sosial, budaya, agama, etnis, usia,
jenis kelamin dan kemampuan, menghormati dan mempromosikan kesetaraan dan
keragaman serta bertindak sesuai etika dan nilai-nilai yang disepakati (NHS, 2012).
Menurut Butts (2007) perawat yang mempunyai integritas moral akan
bertindak secara konsisten dengan nilai-nilai pribadi dan profesional. Perawat akan
menolak bila diminta atau dipaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan nilai-nilai pribadi dan profesional, seperti untuk memalsukan catatan, menipu
pasien, atau menerima pelecehan verbal dari orang lain. Perawat dengan integritas
moral akan menunjukkan karakter diri seperti kejujuran, kebenaran dan keberanian.
Memarian et, al (2007) menunjukkan bahwa perawat yang menerapkan etika dalam
praktek keperawatan bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap pekerjaannya.
19
b. Kerjasama Dengan Orang Lain (Working With Others)
Kepemimpinan yang efektif membutuhkan individu-individu yang dapat
bekerja sama dengan orang lain dalam konteks tim dan jejaring untuk memberikan
dan meningkatkan pelayanan. Agar dapat melakukannya, mereka harus menunjukkan
efektivitas dalam:
1. Mengembangkan Jaringan
Mengembangkan jejaring berarti cara bekerja sama dengan pasien, perawat,
pengguna layanan dan perwakilannya serta kolega di dalam dan diseluruh sistem.
Perawat yang kompeten akan mengidentifikasi peluang bekerja sama dengan orang
lain, menciptakan peluang untuk bekerjasama individu dan kelompok bersama-sama
mencapai tujuan, mempromosikan berbagi informasi dan sumber daya dan secara
aktif mencari pendapat/pandangan orang lain (NHS, 2012). Menurut Kieft et, al
(2014), hubungan kerja dalam bentuk kolaborasi termasuk salah satu unsur penting
perawat pelaksana dalam meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Menurut
Netherlands Institute for Health Services Research (NIVEL) (2013), jejaring sosial yang
dibangun oleh perawat pelaksana mempengaruhi proses perawatan di unit demensia
melalui pertukaran informasi, dukungan sosial, reputasi dan identifikasi organnisasi
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.
2. Membangun dan Mempertahankan Hubungan
Membangun dan mempertahankan hubungan dilakukan dengan saling
mendengarkan, mendukung, mengumpulkan kepercayaan dan menunjukkan
kesepahaman. Perawat yang kompeten akan mendengarkan orang lain dan mengakui
perspektif yang berbeda, memperhitungkan kebutuhan dan perasaan orang lain,
berkomunikasi secara efektif dengan individu dan kelompok dan menjadi role model
20
yang positif, mendapatkan/menjaga kepercayaan dan dukungan dari rekan (NHS,
2012).
Menurut Rortveit et al (2015), didapatkan kepercayaan dalam hubungan
perawat dengan pasien merupakan suatu fundamental dan eksistensi. Dimana pasien
menyatakan pengalamannya tentang bagaimana kepercayaan dapat dirasakan,
mengungkapkan kualitas dari perawat yang menciptakan kepercayaan dan situasi yang
menimbulkan kepercayaan terjadi.
3. Mendorong Kontribusi
Mendorong kontribusi dilakukan dengan cara menciptakan lingkungan yang
membuat semua orang terdorong untuk berkontribusi. Perawat yang kompeten akan
memberikan dorongan dan kesempatan bagi rekan kerjanya untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan, menghormati nilai dan mengakui peran, mengelola konflik
dan memfokuskan kontribusi dalam meningkatkan pelayanan kepada pasien (NHS,
2012).
Perawat yang kompeten memiliki rasa yang jelas tentang peran mereka,
tanggung jawab dan tujuan dalam tim, mengadopsi pendekatan tim, mengakui dan
menghargai upaya, kontribusi dan kompromi, mengakui tujuan umum dari tim dan
menghormati keputusan, bersedia untuk memimpin sebuah tim yang melibatkan
orang-orang yang tepat pada waktu yang tepat (NHS, 2012).
4. Bekerja Dalam Tim
Tim adalah suatu kelompok kerja yang terdiri dari dau orang atau lebih yang
bekerja bersama-sama dalam saling ketergantungan untuk mencapai tujuan (Badeni,
2013). Berkerja dalam tim bertujuan untuk menyampaikan dan meningkatkan
21
layanan. Perawat yang kompeten memiliki rasa yang jelas tentang peran mereka,
tanggung jawab dan tujuan dalam tim, mengadopsi pendekatan tim, mengakui dan
menghargai upaya, kontribusi dan kompromi, mengakui tujuan umum dari tim dan
menghormati keputusan, bersedia untuk memimpin sebuah tim yang melibatkan
orang-orang yang tepat pada waktu yang tepat (NHS, 2012).
c. Meningkatkan Layanan (Managing Service)
Kepemimpinan yang efektif menuntut individu-individu untuk fokus pada
keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Untuk dapat melakukan itu, mereka harus
efektif di dalam:
1. Perencanaan Dengan Aktif Memberikan Kontribusi
Merencanakan dimulai dengan secara aktif berkontribusi untuk melakukan
perencanaan dalam upaya pencapaian tujuan. Perawat yang kompeten akan
merencanakan memberikan dukungan untuk layanan yang merupakan bagian strategi
untuk sistem kesehatan yang lebih luas, menerima umpan balik dari pasien, pengguna
jasa dan rekan untuk membantu mengembangkan rencana, berkontribusi untuk
proses perencanaan dan menilai manfaat dan risiko dari berbagai alternatif (NHS,
2012). Menurut Rafery (2013) menyatakan bahwa kesuksesan pemenuhan
kekurangan praktisi perawat terampil memerlukan perencanaan dan pertimbangan
jangka pendek dan jangka panjang.
2. Manajemen Sumber Daya
Manajemen sumber daya dimulai dengan mengetahui sumber daya yang
tersedia dan menjamin bahwa sumber daya tersebut digunakan secara efisien, aman
dan sesuai untuk berbagai macam kebutuhan. Perawat yang kompeten akan
22
mengidentifikasi jenis dan tingkat sumber daya yang sesuai secara akurat yang
diperlukan untuk memberikan layanan yang aman dan efektif, memastikan layanan
sumber daya, meminimalkan kesalahan dan memberikan arahan ketika sumber daya
tidak digunakan secara efektif dan efisien (NHS, 2012). Menurut Rafery (2013)
menyatakan bahwa manajemen sumber daya perawat pelaksana yang terampil
memerlukan perencanaan jangka pendek dan jangka panjang.
3. Manajemen Manusia
Manajemen personalia dengan menyediakan arahan, meninjau kinerja,
memotivasi dan mempromosikan kesetaraan dan keberagaman. Perawat yang
kompeten akan memberikan bimbingan dan arahan bagi orang lain menggunakan
keterampilan anggota tim secara efektif, meninjau kinerja anggota tim untuk
memastikan bahwa hasil layanan yang direncanakan terpenuhi, memberi dukungan
anggota tim untuk mengembangkan peran dan tanggung jawab, memberikan
dukungan lain untuk perawatan dan layanan pasien lebih baik (NHS, 2012).
4. Mengelola Kinerja
Manajemen kinerja dengan memastikan pola kerja yang dapat mengukur
keluaran layanan dengan memegang tanggung jawab terhadap hasil layanan. Perawat
yang kompeten akan menganalisa informasi dari berbagai sumber tentang prestasi,
mengambil tindakan untuk meningkatkan kinerja, bertanggung jawab untuk
mengatasi masalah yang sulit, membangun belajar dari pengalaman dalam rencana
masa depan (NHS, 2012).
Perawat pelaksana memberikan perawatan berkualitas dengan pengelolaan
yang baik.. Dengan demikian, pengaturan kinerja perawat harus sesuai dengan
23
standar kinerja profesional profesi perawat. Adapun standar kinerja profesional
profesi perawat terdiri dari delapan kriteria, yaitu jaminan mutu, pendidikan, penilaian
kerja, kesejawatan, etika, kolaborasi, riset dan pemanfaatan sumber-sumber.
d. Mengatur Arah (Improving Service)
Kepemimpinan yang efektif mensyaratkan individu-individu untuk membuat
perbedaan terhadap kesehatan seseorang dengan memberikan pelayanan kualitas
tinggi dan melakukan mengembangkan perbaikan layanan. Untuk dapat melakukan
hal ini, mereka harus dapat:
1. Memastikan Keselamatan Pasien
Menjamin keselamatan pasien dengan menilai dan mengelola resiko pada
pasien yang terkait pengembangan layanan, menyeimbangkan pertimbangan ekonomi
dengan kebutuhan keselamatan pasien. Perawat yang kompeten akan mengidentifikasi
dan mengukur risiko untuk pasien yang menggunakan informasi dari berbagai
sumber, mengunakan bukti baik positif maupun negatif untuk mengidentifikasi
pilihan, mengunakan cara yang sistematis untuk menilai dan meminimalkan risiko
serta memantau efek dan hasil perubahan (NHS, 2012).
2. Mengevaluasi Kritis
Evaluasi kritis berarti mampu berfikir secara analitik, konseptual dan mampu
mengidentifikasi pada aspek mana sebuah layanan dapat ditingkatkan serta dapat
bekerja secara individual sebagai bagian dari tim. Perawat yang kompeten akan
mendapatkan umpan balik pengguna dan pengalaman dari hasil pelayanan yang
diberikan atas pasien, menilai dan menganalisis proses menggunakan metode
perbaikan up-to-date, mengidentifikasi perbaikan kesehatan dan menciptakan solusi
24
melalui kolaboratif, menilai pilihan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk
menerapkan dan mengevaluasi perbaikan (NHS, 2012). Menurut hasil penelitian
Haryanto (2015) di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Islam Surabaya
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara berpikir kritis dan waktu tanggap
perawat dengan kualitas asuhan keperawatan dan perawat yang berpikir kritis
berpeluang 6 kali menunjukkan kualitas asuhan keperawatan yang baik.
3. Mendorong Perbaikan dan Inovasi
Mendorong perbaikan dan inovasi dengan menciptakan iklim perbaikan
layanan secara terus menerus. Perawat yang kompeten akan mempertanyakan status
quo, menjadi role model positif untuk inovasi, mendorong dialog dan debat dengan
semua orang yang terlibat, mengembangkan solusi kreatif untuk mengubah layanan
dan perawatan (NHS, 2012).
4. Memfasilitasi Transformasi
Memfasilitasi transformasi berarti berkontribusi secara aktif untuk mengubah
proses-proses yang memicu perbaikan layanan. Perawat yang kompeten akan
merubah model yang diharapkan, mengartikulasikan perlunya perubahan dan
dampak terhadap masyarakat dan layanan, mempromosikan perubahan yang
mengarah ke sistem redesign, memotivasi dan memfokuskan kelompok untuk
mencapai perubahan (NHS, 2012).
e. Mengelola Layanan (Setting Direction)
Kepemimpinan yang efektif mensyaratkan masing-masing individu untuk
berkontribusi terhadap strategi dan aspirasi organisasi dan bertindak dengan perilaku
25
yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Untuk dapat melakukan ini, masing-masing
individu harus menunjukkan efektivitas dalam:
1. Mengidentifikasi Konteks Untuk Perubahan
Mengidentifikasi perubahan dengan menyadari faktor-faktor yang perlu
diperhitungkan. Perawat yang kompeten akan menunjukkan kesadaran (politik, sosial,
teknis, lingkungan ekonomi, organisasi dan profesional), memahami dan menafsirkan
kerangka undang-undang dan akuntabilitas yang relevan, mengantisipasi dan
mempersiapkan diri untuk masa depan dengan scanning ide-ide, praktek terbaik dan
tren yang akan berdampak pada hasil kesehatan dan mengembangkan dan
mengkomunikasikan aspirasi (NHS, 2012).
Perawat manager dianggap sebagai agen pembaharu dalam mengembangkan
profesionalisme para perawat dalam meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan.
2. Menerapkan Pengetahuan dan Bukti
Mengaplikasikan pengetahuan dan bukti ilmiah dengan mengumpulkan
informasi untuk menciptakan perubahan berbasis bukti pada sistem dan pada proses
dalam upaya mengidentifikasi kesempatan untuk perbaikan layanan. Perawat yang
kompeten akan mengunakan metode yang tepat untuk mengumpulkan data dan
informasi, melakukan analisis terhadap berbasis bukti kriteria yang ditetapkan,
mengunakan informasi untuk menantang praktek dan proses yang ada,
mempengaruh orang lain untuk menggunakan pengetahuan dan bukti untuk
mencapai praktek yang terbaik (NHS, 2012). Menurut Retsas (2000), bukti ilmiah
hasil penelitian dapat diaplikasi dalam praktek keperawatan dengan adanya dukungan
organisasi untuk menggunakan penelitian dan melakukan penelitian.
26
3. Membuat Keputusan
Membuat keputusan dengan menggunakan nilai-nilai yang mereka pegang
dan berbagai bukti ilmiah. Perawat yang kompeten akan berpartisipasi dan
berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan organisasi, konsisten bertindak
dengan nilai-nilai dan prioritas organisasi dan profesi, mendidik dan
menginformasikan oranf yang mempengaruhi dan membuat keputusan,
berkontribusi untuk tim, departemen, sistem dan keputusan organisasi (NHS, 2012).
Adapun menurut Toren (2010), pengambilan keputusan menggunakan model etika
mengidentifikasi alternatif tindakan, memilih tindakan dan diskusi tentang isu-isu
yang belum terselesaikan serta menggeneralisasi solusi.
4. Mengevaluasi Dampak
Mengevaluasi dampak dilakukan dengan melakukan pengukuran dan evaluasi
keluaran, membuat tindakan korektif ketika dibutuhkan dan bertanggung jawab
untuk memperhitungkan keputusan mereka. Perawat yang kompeten akan mencoba
dan mengevaluasi pilihan layanan baru, membakukan dan mempromosikan
pendekatan baru, mengatasi hambatan untuk pelaksanaan dan secara formal dan
informal menyebarkan praktik yang baik (NHS, 2012).
f. Menciptakan Visi (Creating The Vision)
Kepemimpinan yang efektif melibatkan diri menciptakan visi untuk masa
depan dan berkomunikasi baik dalam maupun di luar organisasi. Untuk dapat
melakukan ini, masing-masing individu harus menunjukkan efektivitas dalam,: 1)
mengembangkan visi organisasi, dengan melihat ke masa depan untuk menentukan
arah bagi organisasi; 2) mensosialisasikan visi dalam sistem kesehatan yang lebih luas
27
dengan bekerja sama dengan mitra di seluruh organisasi; 3) mengkomunikasikan visi
dan memotivasi orang lain untuk bekerja untuk mencapainya; 4) mewujudkan visi
dalam berperilaku secara konsisten sesuai dengan visi dan nilai-nilai organisasi (NHS,
2012).
g. Merancang Strategi (Delevering Strategy)
Kepemimpinan yang efektif merancang strategi dengan mengembangkan dan
menyetujui rencana strategis yang menempatkan perawatan berpusat pada pasien dan
memastikan rencana operasional dicapai. Untuk dapat melakukan ini, masingmasing
individu harus menunjukkan efektivitas dalam; 1) membentuk strategi dengan
mengidentifikasi strategi alternatif bagi organisasi dan menggambar pada berbagai
informasi, pengetahuan dan pengalaman; 2) mengembangkan strategi dengan terlibat
bersama rekan-rekan dan para pemangku kepentingan utama; 3) pengorganisasian
strategi dengan mengelola dan asumsi risiko organisasi; 4) menanamkan strategi
dengan memastikan bahwa rencana strategis tercapai dan berkelanjutan (NHS, 2012).
2.1.4 Intrumen Penilaian Kepemimpinan Klinis Perawat
Untuk mengukur kemampuan kepemimpinan klinis perawat dengan
menggunakan instrumen CLCF Clinical Leadership Competency Framework Self-assasment
tolls yang dikembagkan oleh NHS Institude for Inovation and Improvement 2012. Ada 5
domain 1) Menunjukan Kualitas Pribadi, 2) Bekerja Dengan Orang Lain, 3)
Mengelola Layanan, 4) Meningkatkan Layanan, dan 5) Mengatur Langkah. Ada 20
sub domain dengan 40 pernyataan. Pilihan jawaban dengan 3 kolom Merah = Tidak
Setuju : 1, Kuning = Setuju : 2, Hijau = Setuju : 3.(NHS, 2012)
28
2.1.5 Dampak Kepemimpinan Klinis Keperawatan
Keperawatan kepemimpinan klinis sangat penting karena berbagai
alasan. Pertama, pemimpin perawat klinis memainkan peran penting dalam
mempertahankan efisiensi, produksi, dan efektivitas biaya layanan
keperawatan. Keterampilan kepemimpinan klinis yang efektif memberdayakan
perawat sambil memberikan perawatan dengan kemampuan untuk mengarahkan dan
mendukung pasien dan tim perawatan kesehatan. Ini juga memperbaiki perawatan
yang diberikan untuk pasien, yang pada gilirannya meningkatkan hasil pasien. Selain
itu, kepemimpinan keperawatan klinis memberikan dampak keselamatan dan kualitas
asuhan yang diberikan. Memang penting untuk menonjolkan pengaruhnya
kepemimpinan klinis keperawatan memiliki pada hasil pasien. Pemimpin perawat
menganggap keamanan pasien sebagai prioritas saat melakukan asuhan keperawatan
seperti manajemen pengobatan, perawatan luka, pengendalian infeksi, dan
pendidikan pasien untuk mencapai hasil pasien yang optimal(Nassar, 2017).
Dalam tinjauan sistematis, Wong et al (2013) menemukan hubungan antara
kepemimpinan keperawatan praktik dan hasil pasien. Temuan menunjukkan bahwa
kepemimpinan yang efektif telah dilakukan terkait dengan penurunan lama tinggal,
menurunkan tingkat kesalahan pengobatan, pasien jatuh, infeksi saluran kencing, dan
pneumonia. Selain itu, literatur keperawatan mengusulkan bahwa kepemimpinan
klinis meningkatkan kualitas asuhan yang diberikan, hasil pasien, dan kematian pasien
yang rendah. Perawat yang memiliki keterampilan kepemimpinan klinis
mempengaruhi seting klinis dan meningkatkan keamanan pasien. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa kepemimpinan klinis berfungsi untuk mencapainya perawatan
yang aman dan hasil pasien yang optimal, penting penekananya.
29
2.1.6 Karakteristik Kepemimpinan Klinis Perawat
Pemimpin klinis perawat yang sukses adalah orang yang merupakan pemikir
kritis, pelajar seumur hidup, dan terbuka terhadap ide baru. Pemimpin klinis perawat
harus memiliki pengetahuan, mempertahankan pertumbuhan profesional, dan tetap
mengikuti profesi ini. Padahal harus kompeten secara klinis dan berpengetahuan
klinis. Pemimpin harus memiliki visi, seni untuk mengetahui caranya memilih yang
terbaik dari orang lain, para pemimpin yang berkembang membuat orang lain
melakukan yang terbaik untuk mereka capai hasil yang diinginkan pemimpin yang
efektif menunjukkan kepercayaan diri, karena kepemimpinan kunci ketrampilan
(Nassar, 2017).
Pentingnya kepemimpinan klinis dalam sistem perawatan kesehatan saat ini
tidak bisa dilebih-lebihkan atau diremehkan. Efektif kepemimpinan klinis secara
konsisten telah diidentifikasi sebagai komponen penting untuk memastikan kualitas
perawatan dan tempat kerja yang sehat. Pada kepemimpinan yang efektif oleh
organisasi profesi dan pemerintah mempunyai kesulitan dalam masalah
kepemimpinan klinis yang tidak efektif. Di era praktik berbasis bukti efektif
kepemimpinan klinis harus dikemukakan sebagai obat mujarab untuk penyakit dalam
sistem kesehatan. Perlu ditempatkan estetika atribut kepemimpinan, baik dalam
keperawatan dan program kepemimpinan yang ditawarkan untuk perawat.
Diperlukan untuk memperluas dan menginformasikan pemahaman dari konsep
kepemimpinan klinis(Mannix, J et al, 2013).
Karakteristik sangat penting bagi pemimpin klinis perawat, karena ini akan
membantu untuk menjadi sukses dan memberikan perawatan berkualitas
tinggi. Perawat harus menerapkan karakteristik ini pada profesi agar mendapatkan
kepercayaan dan rasa hormat dari anggota perawatan kesehatan dan pasien, yang
30
pada waktunya akan mengarahkan pengembangan praktik klinis keperawatan (Nassar,
2017).
Kemampuan kepemimpinan klinis sangat dibutuhkan oleh perawat pelaksana
untuk meningkatkan pelayanan keperawatan yang berkualitas. Kemampuan
kepemimpinan klinis sebagai respon perawat pelaksana untuk meningkatkan
kemandirian dan kepercayaan diri dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan keilmuannya serta pengelolaan layanan keperawatan yang aman dan efisien.
Dukungan manajemen memegang peranan sangat penting dalam mendukung
kepemimpinan klinis (Yusnaini, 2016).
2.1.7 Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Kepemimpinan Klinis Perawat
Faktor yang menunjukkan bahwa ada berbagai faktor, yang berkontribusi
terhadap keperawatan klinis keterampilan kepemimpinan, seperti karakteristik
perawat, pendidikan, dan pengalaman. Usia mempengaruhi keterampilan
kepemimpinan antara usia dan keterampilan kepemimpinan klinis. Dalam literatur
keperawatan mengenai hubungan antar usia dan keterampilan kepemimpinan klinis,
menunjukkan bahwa peningkatan keterampilan kepemimpinan klinis dikaitkan
dengan perawat yang lebih tua. Dari direksi menyatakan bahwa ada perbedaan praktik
antara baccalaureate-prepared perawat dibandingkan perawat dengan gelar diploma,
karena yang pertama memiliki ketrampilan kepemimpinan klinis lebih tinggi. Diyakini
bahwa perawat yang berpengalaman dengan baccalaureate dapat memiliki ketrampilam
kepemimpinan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan perawat yang dipersiapkan
diploma, seperti yang dibutuhkan (Nassar, 2017).
Teori Self-Efficacy Bandura, di mana pengalaman kepemimpinan yang sukses
dapat diterjemahkan ke pengaturan yang berbeda. Faktor-faktornya yang
31
mempengaruhi keterampilan kepemimpinan dan bagaimana mereka berinteraksi
untuk memfasilitasi pengembangan pemimpin sampai keterampilan dan keahlian
kapal di kalangan perawat. Faktor kehidupan pribadi seperti status pernikahan
berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan kepemimpinan perawat. Sebuah
studi review ditemukan bahwa data demografi (status perkawinan, ras, dan jenis
derajat keperawatan) secara signifikan mempengaruhi kepemimpinan perawat.
Dintinjau literatur integratif ini menemukan bahwa disana adalah celah yang
berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan kepemimpinan
perawat (Nassar, 2017).
2.2 Tim Dinamis Resusitasi
2.2.1 Tim Dinamis
Kerja sebagai bagian dari tim adalah bagian dari lingkungan kerja yang
normal, hanya sedikit orang yang bekerja sendiri secara eksklusif. Menjadi bagian dari
sebuah tim bisa menjadi bagian indah dari kehidupan kerja dapat membuat
persahabatan seumur hidup dan memiliki rekan-rekan inspirasional yang memberikan
dukungan, pengetahuan dan keterampilan yang dapat dibagi. Namun, bekerja dalam
tim atau grup selalu lebih rumit. Tak pelak lagi, cita-cita sulit untuk dicapai karena ada
begitu banyak dinamika yang mempengaruhi kerja tim dan dapat mengganggu
manfaatnya. Dalam memahami pentingnya bagaimana tim bereaksi dan berperilaku
satu sama lain, bisa di bawah berdiri, bagaimana mendorong staf untuk memainkan
kekuatan mereka, membentuk hubungan yang sehat, terbuka, sesuai, dan untuk
merasakan anggota tim yang berharga (Yardley, 2014).
32
a. Definisi
Dinamika tim adalah kekuatan psikologis dan ketidaksadaran yang
mempengaruhi arah perilaku dan kinerja tim. Dinamika tim diciptakan oleh sifat
kerja tim, kepribadian di dalam tim, hubungan kerja mereka dengan orang lain, dan
lingkungan (Myers, 2013).
Lewin (1947 dalam Yardley, 2014), seorang ahli psikologi sosial dan ahli
manajemen perubahan, dikreditkan untuk menciptakan istilah 'dinamika
kelompok'. Dia mencatat bahwa orang sering mengambil peran dan perilaku yang
berbeda saat mereka bekerja dalam kelompok. Dinamika kelompok menggambarkan
efek dari peran dan perilaku ini pada anggota kelompok lainnya, dan pada kelompok
secara keseluruhan.
b. Model Tim Dinamis
Ada banyak model yang digunakan untuk menggambarkan dinamika
tim. Banyak dari mereka menggambarkan aspek psikologis dinamika kelompok,
seperti:
1. Dinamika kelompok mempertimbangkan bagaimana orang berinteraksi dan persepsi
umum yang muncul dalam kelompok (Lewin, 1947).
2. Psikoanalisis berkaitan dengan perilaku defensif (anggota) anggota tim (Freud, 1885;
Bion, 1980)
3. Fundamental Interpersonal Realation Orientation (FIRO) atau elemen manusia
menganggap kompatibilitas antara orang-orang yang menggunakan perilaku inklusi,
kontrol dan keterbukaan, dan bagaimana perilaku tersebut berkaitan dengan perasaan
penting, kompetensi dan kesukaan (Schutz, 1958)
33
4. Model Tuckman mempertimbangkan empat tahap pengembangan untuk membentuk
tim, menyerbu, menormalkan dan melakukan (Tuckman, 1965)
5. Team Roles seperti indikator peran tim manajemen (MTR-i) atau Belbin, memeriksa
bagaimana kinerja tim terkait dengan sembilan peran psikologis yang diambil oleh
anggota tim yang berbeda (Belbin, 1981)
6. Teori tipe kepribadian, seperti indikator tipe Myers-Briggs, profil DISC dan dominasi
otak Herrmann, pertimbangkan bagaimana perbedaan preferensi anggota tim
mempengaruhi interaksi dan kinerja tim mereka (Myers dan Briggs, 1962)
7. Team Island an In/Out Groups menunjukkan bagaimana sub-tim dapat terbentuk
sebagai hasil dari anggota yang memiliki karakteristik berbeda atau dipisahkan oleh
batas geografis.
Memiliki pemahaman tentang beberapa model ini dan bagaimana hal itu
dimainkan di tempat kerja menggambarkan kekuatan argumen yang mendukung
kebutuhan untuk melihat secara dekat bagaimana membangun tim yang efektif
secara positif (Yardley, 2014).
c. Dampak Tim Dinamis Yang Buruk
Tim dinamis dapat membuat perbedaan yang signifikan terhadap kinerja tim
melalui konflik, ketidakpercayaan, dan penurunan motivasi yang tidak produktif.
Memastikan hal ini tidak menjadi masalah dalam lingkungan kerja yang seringkali
penuh tekanan sangat penting. Benturan kepribadian, masalah ketidakamanan baik
dalam peran maupun pribadi, kontrol dan intimidasi semua atribut efektivitas tim
yang buruk. bisa menghancurkan budaya dan staf pada dampak jangka panjang
(Yardley, 2014).
34
d. Budaya dan Nilai
Budaya di lingkungan kerja berhubungan dengan jalannya berfikir melakukan
hal-hal di sekitar. Budaya dibentuk oleh warisan, reputasi dan nilai. Itu adalah orang-
orang yang membuat naiknya tim, yang dipimpin dan dipengaruhi oleh struktur
manajemen yang bertanggung jawab atas pelestarian dari budaya itu. Semua
organisasi berusaha untuk memastikannya lingkungan kerja dan nilai-nilai pada
intinya agar tercermin melalui orang-orang sekitar. Bila ini salah, tim bisa dipandang
oleh orang lain sebagai 'sulit', 'susah didapat dengan', atau bahwa mereka 'tidak gel'.
Mengatasi masalah seperti itu bisa jadi sulit dan membutuhkan banyak waktu dan
ketekunan dipimpin di tingkat manajemen (Yardley, 2014).
e. Sebuah Kelompok Positif
Kelompok dengan dinamika positif mudah dikenali. Anggota tim saling
percaya satu sama lain, mereka bekerja menuju keputusan kolektif, dan mereka saling
bertanggung jawab untuk membuat sesuatu terjadi. Selain itu, para periset telah
menemukan bahwa ketika sebuah tim memiliki dinamika yang positif, anggotanya
hampir dua kali lebih kreatif seperti kelompok rata-rata (Manktelow & Thompson,
2013). Tim yang bekerja sama dengan cara ini adalah motivasi diri, suportif dan
cerdas secara emosional. Mendapatkan kinerja tim melalui dinamika sama pentingnya
dengan layanan yang diberikannya (Yardley, 2014).
f. Analisis Transaksional: Dinamika Interaksi
Setiap kali seorang individu berbicara kepada anggota tim yang lain, ada
interaksi dinamis yang terjadi. Analisis transaksional adalah cara yang populer untuk
melihat mampu menciptakan hubungan yang sehat, terbuka dan penuh rasa hormat
35
di antara anggota tim ide ini dikembangkan oleh Dr Eric Berne (1964), penulis Games
People Play, buku tanah-melanggar di mana ia memperkenalkan game dan analisis
transaksional. Menurut Berne, permainan adalah transaksi ritual atau pola perilaku
antar individu yang bisa menunjukkan perasaan atau emosi tersembunyi.
Ada tiga keadaan ego yang dimainkan: orang tua, orang dewasa dan
anak. Bergantung pada 'peran' seseorang yang dimainkan yang mempengaruhi
respon dari lawan bicara. Untuk pujian “Ya”, seseorang dalam tim yang memerankan
keadaan ego orang tua negatif dapat menimbulkan respons negatif seperti anak kecil
terhadap orang yang mereka ajak bicara. Hal ini dapat menyebabkan dinamika yang
tidak sehat. Bertujuan untuk mencapai hubungan orang dewasa-ke-orang dewasa
adalah keadaan yang diinginkan untuk sebuah tim yang akan masuk, dengan beberapa
pengecualian (Yardley, 2014).
g. Kecerdasan Emosional dan Performa Tim
Goleman (1998) mengacu pada kecerdasan emosi sebagai: 'Kemampuan
untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, untuk memotivasi diri
kita sendiri, dan untuk manajemen memiliki emosi baik dalam diri kita dan dalam
hubungan kita'. Menjelajahi beberapa inti kecerdasan emosional inti Untuk
pengembangan ketahanan meliputi; 1 )Kesadaran diri, 2 )Mengelola emosi, 3 )
Kesadaran sosial dan, 4 ) Kemampuan berkomunikasi.
Tim yang secara aktif melihat untuk mengembangkan kecerdasan emosi
dalam tim mereka menjadi lebih sadar akan kebutuhan lingkungan kelompok yang
mendukung dan memelihara. Mereka jauh lebih sadar akan dampak perilaku, sikap
dan kepribadian mereka terhadap budaya tim dan berusaha memaksimalkan fungsi
tim, yang pada akhirnya memungkinkan pemberian layanan yang lebih baik. Sebuah
36
program perubahan budaya untuk mengenalkan tipe perilaku dan perilaku baru
terhadap norma-norma organisasi proses baru, alat atau teknologi, misal untuk
memudahkan komunikasi yang lebih baik (Yardley, 2014).
2.2.2 Resusitasi
a. Definisi Resusitasi Jantung Paru
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi dalam jangka waktu 8
sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung. Kondisi tersebut
dapat dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defribilasi dengan segera
(sebelum melebihi batas maksimal waktu terjadinya kerusakan otak), untuk secepat
mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan
defribilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari pasien mengalami henti
jantung, hal tersebut akan memberikan kesempatan pasien untuk hidup rata-rata
sebesar 30% sampai 40% (American Heart Assosiation, 2010).
b. Prosedur Resusitasi Jantung Paru
Pada penanganan pasien dengan henti jantung dikenal dengan istilah rantai
untuk bertahan hidup (chain of survival), cara untuk menggambarkan penanganan
secara ideal yang harus diberikan ketika terjadi henti jantung. Rantai kehidupan (chain
of survival) terdiri dari beberapa tahap (American Heart Assosiation, 2015)
37
Gambar 2.1 In Hospital Cardiac Arrest (American Heart Assosiation, 2016).
Gambar 2.2 Out Hospital Cardiac Arrest (American Heart Assosiation, 2016).
Menurut American Heart Assosiation (2015), untuk pendekatan secara
menyeluruh pada pasien dengan henti jantung ada beberapa hal, yaitu the basic life
support (BLS) assessment, the primary assessment, dan secondary assesment.
1. The Basic Life Support (BLS) Assessment
a. Cek respon
b. Meminta bantuan
c. Cek nadi dan pernafasan
d. Defribilasi atau resusitasi jantung paru.
38
2. The Primary Assessment
a. Airway (Jalan Nafas)
Prioritas intervensi tertinggi adalah mempertahankan kepatenan jalan nafas.
Dalam hitungan menit tanpa adekuatnya suplai oksigen dapat menyebabkan trauma
serebral yang akan berkembang menjadi kematian otak (anoxic brain death). Jalan nafas
harus bersih dari secret atau debris dengan menggunakan kateter suction atau secara
manual jika diperlukan. Spinal servikal harus diproteksi pada klien trauma dengan
kemungkinan trauma spinal secara manual alignment leher pada posisi netral, posisi in-
line dan menggunakan maneuver jaw thrust ketika mempertahakan jalan nafas (Krisanty
et al, 2016).
Secara umum, masker non-rebreather adalah yang paling baik untuk pasien
dengan nafas spontan. Ventilasi bag-valve-mask (BVM) merupakan alat bantu
pernafasan yang tepat dengan oksigen 100% diindikasikan untuk pasien yang
memerlukan bantuan ventilasi selama dilakukan resusitasi. Pasien dengan gangguan
kesadaran, diindikasikan dengan GCS(Glagow Coma Scale) kurang dari sama dengan 8,
membutuhkan airway definitive seperti endotracheal tube (ETT) (Krisanty et al, 2016).
b. Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas tertangani, prioritas berikutnya adalah breathing.Untuk
mengetahui apakah usaha ventilasi efektif atau tidak pada saat pasien bernafas.
Penanganan ini fokus pada auskultasi suara nafas dan evaluasi ekspansi dada, usaha
respirasi, dan adanya bukti trauma pada dinding dada atau abnormalitas fisik. Saat
dilakukan resusitasi jantung paru maka ventilasi mekanik harus dihentikan dan
diganti dengan ventilasi secara manual menggunakan bag-valve-mask (Krisanty et al,
2016). Setelah ventilasi efektif, pemberian oksigen 100% pada pasien dengan henti
39
jantung hingga saturasi oksigen mencapai 94% atau lebih menggunakan pulse oximetry
(American Heart Assosiation, 2015).
c. Circulation
Menurut Kristanty et al (2016) penanganan selanjutnya yaitu circulation,
diharapkan menghasilkan sirkulasi yang efektif melalui resusitasi jantung paru. Dalam
kondisi resusitasi tekanan darah sistolik pada nadi radialis dapat diperkirakan
sedikitnya 80 mmHg melalui tensimeter. Monitor atau defribillator digunakan untuk
mengetahui adanya ritme aritmia atau henti jantung. Akses tambahan dapat dicapai
melalui intravena atau intraosseus, cairan resusitasi yang diberikan adalah ringer’s lactate
dan normal saline 0,9%. Setelah pemberian cairan teratasi berikan terapi farmakologi
sesuai permintaan dokter, lakukan pemeriksaan kadar glukosa dalam darah, dan
pengukuran suhu tubuh untuk memeriksa adanya hipotermia atau tidak (American
Heart Assosiation, 2015).
d. Disability
Menurut American Heart Assosiation (2015) pemeriksaan disability meliputi
pemeriksaan fungsi neurologis dan pemeriksaan tingkat kesadaran. Untuk
pemeriksaan tingkat kesadaran dapat diukur menggunakan pengukuran Gaslow Coma
Scale (GCS) dan menggunakan AVPU. Pengukuran tingkat kesadaran Gaslow Coma
Scale merupakan penilaian yang mengukur melalui respon buka mata, respon verbal,
dan respon motorik. Namun, untuk evaluasi pengukuran AVPU dinilai melalui alert
(waspada), responsive to voice (berespon pada suara), responsive to pain (berespon terhadap
nyeri), dan unresponsive (tidak ada respon) (Krisanty et al, 2016).
40
e. Exposure
Komponen terakhir yaitu exposure. Seluruh pakaian pasien harus dibuka untuk
memudahkan pemeriksaan secara fisik dan melihat adanya tanda trauma, perdarahan,
luka bakar, tanda yang patologis American Heart Assosiation (2015). Saat akan dilakukan
resusitasi pakaian harus dibuka untuk mencapai bagian tubuh dengan cepat dan tepat.
Pada saat pakaian dibuka risiko hipotermia dapat terjadi. Secara umum, hipotermia
merupakan komplikasi pada klien trauma dikarenakan terjadinya vasokonstriksi
pembuluh darah, kesulitan akses intravena dan arteri, gangguan oksigenasi dan
ventilasi, koagulopati, peningkatan perdarahan, dan metabolisme terapi yang
melambat di hepar Sedlak (1995, dalam Krisanty et al, 2016).
3. The Secondary Assessment
Penilaian sekunder melibatkan diagnosa, termasuk fokus terhadap riwayat
medis dan mencari serta mengobati yang menjadi penyebab henti jantung (H’s dan
T’s). Untuk menemukan diagnosa yang akan ditegakkan, maka diperlukan
pertimbangan untuk menggunakan SAMPLE (Signs and Symptoms, Allergies, Medications
(termasuk dosis obat yang terakhir diberikan), Past medical history, Last meal consumed,
Events) penilaian sekunder melibatkan diagnosa, termasuk fokus terhadap riwayat
medis dan mencari serta mengobati yang menjadi penyebab henti jantung (H’s dan
T’s). Untuk menemukan diagnosa yang akan ditegakkan, maka diperlukan
pertimbangan untuk menggunakan SAMPLE (Signs and Symptoms, Allergies,
Medications) termasuk dosis obat yang terakhir diberikan), Past medical history, Last meal
consumed, Events) (American Heart Assosiation, 2015).
Terdapat beberapa potensi yang menyebabkan terjadinya henti jantung serta
kondisi darurat cardiopulmonary yang disebut dengan H’s (Hypovolemia, Hypoxia,
Hydrogen ion (acidosis), Hypo-/Hyperkalemia, Hypothermia) dan T’s (Tension pneumothorax,
41
Tamponade (cardiac), Toxins, Thrombosis (pulmonary), Thrombosis (coronary)) (American Heart
Assosiation, 2015).
Gambar 2.3 Adult Cardiac Arrest Algorithm (American Heart Assosiation, 2015)
42
4. Terapi Resusitasi Jantung Paru
Menurut American Heart Assosiation (2015), terdapat beberapa terapi
farmakologi yang diberikan pada pasien henti jantung dengan Rhythm Shockable
ataupun tanpa Rhythm Shockable pada saat dilakukan resusitasi jantung paru. Terapi
farmakologi pasien henti jantung dengan Rhythm Shockable:
a. Pemberian epinephrine setiap 3 sampai 5 menit melalui intravena atau bolus dengan
dosis 1mg.
b. Pemberian amiodarone melalui intravena atau bolus, pemberian pertama dengan dosis
300 mg melalui bolus dan pemberian kedua dengan dosis 150 mg.
c. Terapi farmakologi pasien henti jantung tanpa Rhythm Shockable, diberikan epinephrine
setiap 3 sampai 5 menit melalui intravena atau bolus dengan dosis 1 mg.
5. Penatalaksanaan Post Cardiac Arrest
Pasien yang telah mendapatkan kembali sirkulasi secara spontan (ROSC)
setelah terjadinya henti jantung dalam semua kondisi memiliki kombinasi
patofisiologi yang kompleks yang disebut post-cardiac arrest syndrom, yang mana
termasuk postarrest brain injury, postarrest myocardial dysfunction, iskemia sistemik atau
respon perfusi dan patologi akut dan kronis permanen yang mungkin menjadi faktor
awal penyebab henti jantung (American Heart Assosiation, 2016).
43
Gambar 2.4 Adult Immediate Post Cardiac Arrest Care Algorithm(American Heart Assosiation, 2015).
2.2.3 Efektifitas Tim Dinamis Resusitasi
Upaya tim dinamis resusitasi yang sukses sering kali membutuhkan penyedia
layanan kesehatan untuk secara bersama melakukan berbagai intervensi. Meskipun
seorang yang terlatih dengan CPR bekerja sendiri dapat menyadarkan pasien saat-saat
pertama jatuh, sebagian besar upaya memerlukan usaha terpadu dari beberapa
44
penyedia layanan kesehatan. Kerjasama tim yang efektif membagi tugas sambil
memberikan peluang hasil yang sukses (American Heart Association, 2016).
Kesuksesan tim berkinerja tinggi tidak hanya memiliki keahlian medis dan
penguasaan keterampilan resusitasi, namun juga menunjukan komunikasi dan tim
dinamis yang efektif. Pentingnya peran tim dan anggota tim yang efektif dalam tim
dinamis berkinerja tinggi. Peran tim leader memimpin tim adalah multi-faceted.
Pemimpin tim mengatur kelompok, memonitor kinerja individu anggota tim,
melindungi atas anggota tim, model perilaku tim yang sangat baik, kereta api dan
pelatih, memfasilitasi pemahaman dan berfokus pada perawatan pasien yang
komprehensif (American Heart Association, 2016).
Tim dinamis (fleksibel, mudah beradaptasi, terkoordinasi, kooperatif,dll), jauh
lebih mungkin untuk melakukan tugas resusitasi lebih cepat, pada saat yang tepatdan
dengan sedikit kesalahan. Tim ini adalah lebih berpengalaman, tapi mereka juga
dipimpin oleh tim pemimpin yang telah membangun struktur untuk tim yang efektif.
Kepemimpinan dan kinerja tim adalah ditandai dengan sistem one way verbal dan
komunikasi non verbal, pemimpin ke tim, biasanya dengan perintah langsung. Tentu
saja ada saat tim diberi umpan kembali kepemimpin, tapi ini lebih cenderung non-
verbal (Cooper. S & Wakelam, A, 1999).
Koordinasi tim - perencanaan, kepemimpinan dan komunikasi - dipelajari
dengan baik dan faktor yang sangat relevan yang memprediksi CPR kualitas kinerja
juga menjadi dasar untuk pengembangan model integratif berdasarkan elemen
perencanaan prosedur darurat-alokasi peran dan distribusi tugas melalui
kepemimpinan efektif yang diterapkan melalui komunikasi verbal yang jelas dan
dipahami sangat penting persyaratan koordinasi dalam perawatan CPR (Castelao, E. F
et al, 2013)
45
a. Elemen Efektif Tim Dinamis Resusitasi
Roles (Peran)
1. Peran dan Tanggung Jawab Yang Jelas
Setiap tim harus mengetahui peran dan tanggung jawabnya. Bila kurang dari 6
orang yang hadir, tugas harus di prioritaskan dan di tugaskan ke penyedia layanan
kesehatan saat itu (American Heart Association, 2016).
Gambar 2.5 Position for 6-Person High Performance Team (American Heart Assosiation,2016)
Ketika peran tidak jelas menggangu kinerja tim, tanda-tanda peran yang tidak
jelas adalah melakukan tugas yang sama lebih dari satu kali, kehilangan tugas, anggota
tim yang memiliki banyak peran banhkan banyak anggota.
Untuk menghindari inefisiesnsi, pemimpin tim harus secara jelas
mendelegasikan tanggung jawab. Anggota tim harus berkomunikasi kapan dan jika
46
mereka dapat menangani tambahan hanya mengikuti pemimpin harus mendorong
anggota tim untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan dan petunjuk secara
bersamaan (American Heart Association, 2016).
2. Mengetahui Keterbatasan Anda
Tidak hanya semua orang di tim tahu keterbatasan dan kemampuannya
sendiri, namum pemimpin juga harus tahu. Hal ini memukinkan pemimpin tim untuk
mengevaluasi sumber daya tim dan meminta cadangan bila diperlukan. Anggota
kinerja tim yang tinggi harus mengantisipasi situasi dimana mereka mungkin
memerlukan bantuan dan informasikan pada pemimpin. Selama kondisi stres dari
usaha resusitasi, jangan beralih atau jelajahi kemampuan baru. Jika memerlukan
bantuan ekstra, mintalah lebih awal. Ini bukan pertanda kelemahan atau
ketidakmampuan meminta bantuan, lebih baik mendapat lebih banyak bantuan dari
pada yang dibutuhkan daripada tidak cukup membantu, yang akan berdampak
negatif pada hasil pasien (American Heart Association, 2016).
3. Intervensi Konstruktif
Selama usaha resusitasi, pemimpin atau anggota tim berkinerja tinggi perlu
melakukan intervensi jika tindakan yang akan terjadi tidak tepat waktu. Diperlukan
adanya intervensi konstruktif, tindakan itu harus bijaksana. Pemimpin tim harus
menghindari konfrontasi dengan anggota tim. Sebagai gantinya, lakukan pembekalan
sesudahnya jika kritik kritis diperlukan (American Heart Association, 2016).
47
What to Comunicate (Bagaimana Berkomunikasi)
1. Berbagi Pengetahuan
Berbagi informasi merupakan komponen penting pada kinerja tim yang
tinggi. Tim pengarah dapat terperaangkap dalam pendekatan diagnostik khusus,
kesalahan umum manusia disebut kesalahan fiksasi. Bila usaha resusitasi tidak efektif,
kembali ke dasar dan berkomunikasi dengan tim dengan percakapan. Anggota tim
berkinerja tinggi harus memberi tahu pemimpin tentang setiap perubahan kondisi
pasien untuk memastikan bahwa keputusan di buat dengan informasi yang ada
(American Heart Association, 2016).
2. Meringkas dan Mengevaluasi Ulang
Peran pemimpin tim adalah memantau dan menilai ulang (status pasien,
Intervensi yang telah dilakukan, temuan penilaian secara periodik. Praktik yang baik
adalah pemimpin dan tim meringkas informasi ini dengan ladang pembaharuan
rencana tim. Tinjaulah status upaya realisasi dan umumkan flesksibel untuk beberapa
langkah berikutnya. Ingatlah kondisi pasien bisa berubah. Tetap mengubah rencana
pengobatan dan meninjau ulang diagnosis awal yang berbeda. Mintalah informasi dari
timer/perekam juga (American Heart Association, 2016).
How To Communicate (Bagaimana Cara Komunikasi)
1. Komunikasi Tertutup
Ketika berkomunikasi dengan anggota tim resusitasi, pemimpin tim harus
menggunakan komunikasi loop tertutup dengan mengambil langkah-langkah ini:
a. Pemimpin tim memberikan pesan, pesanan, atau tugas untuk anggota tim.
48
b. Pemimpin tim menegaskan bahwa pesan itu didengar dan dipahami oleh penerima
respon yang jelas dan kontak mata yang baik dari anggota tim.
c. Pemimpin tim mendengarkan konfirmasi dari anggota tim yang tugas itu dilakukan
sebelum menugaskan tugas lain (American Heart Association, 2016).
2. Pesan Yang Jelas
Pesan yang jelas terdiri dari komunikasi yang di ucapkan dengan ucapan yang
khas dengan nada dan suara yang terkontrol. Semua petugas kesehatan harus
menyampaikan pesan dan perintah secara tenang dan langsung tanpa teriak atau
berteriak. Komunikasi yang tidak jelas dapat menyebabkan penundaan perawatan
yang tidak perlu atau kesalahan pengobatan karena teriakan dapat menggangu
interaksi tim yang efektif dengan kinerja tinggi. Hanya satu per orang yang berbicara
kapanpun (American Heart Association, 2016).
3. Saling Menghormati
Tim terbaik terdiri dari anggota yang berbagi saling menghormati satu sama
lain dan bekerja sama dengan cara yang mendukung kolegial. Untuk memiliki
berkinerja tinggi resusitasi tim setiap orang harus meninggalkan egonya di pintu dan
menghormati satu sama lain selama upaya resusitasi, terlepas dari pelatihan tambahan
atau pengalaman bahwa pemimpin tim atau anggota tim tertentu mungkin memiliki
(American Heart Association, 2016).
2.2.4 Indikator Penilaian Tim Dinamis Resusitasi
Untuk mengukur kemampuan tim dinamis resusitasi dengan menggunakan
instrumen TEAM (Team Emergency Assassment Measure) yang terdiri dari 4 domain
49
yaitu, 1)Kepemimpinan, 2)Kerja Tim, 3) Task Management, dan 4) Penilaian
keseluruhan kerja tim saat resusitasi. Kuesioner yang digunakan berbentuk skala likert
dengan 12 item pernyataan dan semua item pernyataan favorabel. Adapun penilaian
pernyataan tersebut terdiri dari 1 = tidak sama sekali terkait, untuk 5 = paling relevan
(Copper, 2010).
2.3 Pengaruh Kepemimpinan Klinis Perawat Gawat Darurat Terhadap Tim
Dinamis Resusitasi
Pentingnya kepemimpinan klinis dalam sistem perawatan kesehatan saat ini
tidak bisa dilebih-lebihkan atau diremehkan. Efektif kepemimpinan klinis secara
konsisten telah diidentifikasi sebagai komponen penting untuk memastikan kualitas
perawatan dan tempat kerja yang sehat. Pada kepemimpinan yang efektif oleh
organisasi profesi dan pemerintah mempunyai kesulitan dan masalah kepemimpinan
klinis yang tidak efektif. Di era praktik berbasis bukti efektif kepemimpinan klinis
harus dikemukakan sebagai terapi efektif untuk penyakit sistem kesehatan. Perlu
ditempatkan estetika atribut kepemimpinan, baik dalam keperawatan dan program
kepemimpinan yang ditawarkan untuk perawat. Diperlukan untuk memperluas dan
menginformasikan pemahaman dari konsep kepemimpinan klinis (Mannix, J et al,
2013).
Upaya tim dinamis resusitasi yang sukses sering kali membutuhkan penyedia
layanan kesehatan untuk secara bersama melakukan berbagai intervensi. Meskipun
seorang yang terlatih dengan CPR bekerja sendri dapat menyadarkan pasien saat-saat
pertama jatuh, sebagian besar upaya memerlukan usaha terpadu dari beberapa
penyedia layanan kesehatan. Kerjasama tim yang efektif membagi tugas sambil
memberikan peluang hasil yang sukses (American Heart Association, 2016).
50
Perawat respon cepat adalah anggota tim yang menanggapi memburuknya
pasien di lingkungan Emergency Departemen atau Intensif Care Unit telah terbukti efektif
dalam kepemimpinan, memperbaiki diri dalam tim dinamis, identifikasi kemunduran
pasien, membaiknya hasil dan komunikasi pasien (Gilligan et al., 2005; Jolleyet al.,
2007)