Post on 18-Nov-2020
10
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pengungkapan ISR pada perbankan syariah
telah banyak dilakukan. Pengungkapan ISR menarik untuk diteliti karena
menyangkut ketaatan dan kepatuhan perbankan syariah terhadap prinsip
Islam. Beberapa penelitian terdahulu telah mencoba memaparkan pengaruh
ukuran perusahaan, umur perusahaan, profitabilitas, dan islamic governance
score terhadap pengungkapan islamic social reporting pada perbankan syariah
di Indonesia. Adapun penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Savira (2015) meneliti tentang faktor yang dapat mempengaruhi
pengungkapan ISR. Variabel independen yang digunakan yaitu ukuran
perusahaan, ukuran dewan komisaris, ukuran Dewan Pengawas Syariah,
kepemilikan manajerial, dan kepemiikan institusional. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan, ukuran Dewan Pengawas
Syariah, dan kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap pengungkapan
ISR. Sedangkan ukuran dewan komisaris dan kepemiikan institusional
tidak berpengaruh terhadap pengungkapan ISR.
2. Rosiana et al. (2015) juga meneliti tentang faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pengungkapan ISR. Penelitian ini menggunakan variabel
independen ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage, dan Islamic
governance score. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan ISR. Sedangkan
11
profitabilitas, leverage, dan Islamic governance score tidak memiliki
pengaruh terhadap pengungkapan ISR.
3. Penelitian yang dilakukan Setiawan et al. (2016) meneliti tentang ukuran
perusahaan, profitabilitas, dan praktik manajemen laba dapat
mempengaruhi tingkat pelaksanaan dan pengungkapan ISR pada
perbankan syariah. Hasil dari penelitaian ini menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan memberikan pengaruh positif yang sigifikan terhadap
pengungkapan ISR. Sedangkan profitabilitas dan praktik manajemen laba
tidak berpengaruh terhadap pengungkapan ISR.
4. Anggraeni (2017) meneliti tentang faktor yang dapat mempengaruhi
pengungkapan ISR. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan, komposisi dewan komisaris, dan umur perusahaan dapat
berpengaruh terhadap pegungkapan ISR. Sedangkan profitabiitas dan
Islamic governance tidak berpengaruh terhadap pengungkapan ISR.
5. Penelitian terkait faktor yang mempengaruhi pengungkapan ISR juga
dilakukan oleh Halida (2017). Dengan hasil penelitian yaitu ukuran
perusahaan dapat mempengaruhi pengungkapan ISR. Sedangkan
profitabilitas, umur perusahaan, dan leverage tidak berpengaruh terhadap
pengungkapan ISR.
B. Tinjauan Pustaka
1. Landasan Teori
a. Teori Legitimasi
Legitimasi merupakan hal yang penting bagi organisasi terhadap
batasan-batasan berupa norma-norma dan nilai-nilai sosial serta
12
reaksinya sehingga mendorong organisasi agar berperilaku dengan
memperhatikan nilai-nilai sosial di lingkungan perusahaan (Widiawati,
2012). Legitimasi masyarakat merupakan salah satu faktor strategis
bagi perusahaan dalam rangka mengembangkan perusahaan ke depan.
Hal itu dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengonstruksi strategi
perusahaan, terutama terkait dengan upaya memposisikan diri di
tengah lingkungan masyarakat semakin maju. Legitimasi organisasi
dapat dilihat sebagai sesuatu yang diinginkan atau dicari perusahaan
dari masyarakat.
Teori legitimasi mengandung pengertian bahwa aktivitas berupa
tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu usaha yang
berkenaan dengan tekanan dari lingkungan sekitar, misalnya tekanan
politik, sosial ataupun ekonomi. Teori legitimasi didasarkan pada
pengertian kontrak sosial yang diimplikasikan antara institusi sosial
dan masyarakat (Ahmad & Sulaiman dalam Widiawati, 2012).
Legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi
perusahaan untuk bertahan hidup (going concern).
Suatu organisasi mungkin menerapkan empat strategi legitimasi
ketika menghadapi berbagai ancaman legitimasi. Oleh karena itu,
untuk menghadapi kegagalan kinerja perusahaan seperti kecelakaan
serius atau skandal keuangan maka upaya organisasi yang dapat
dilakukan yaitu mencoba untuk mendidik stakeholder tentang tujuan
organisasi untuk meningkatkan kinerja, mencoba untuk merubah
13
persepsi stakeholder terhadap suatu kejadian (tetapi tidak merubah
kinerja aktual organisasi), mengalihkan perhatian dengan
mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif yang tidak
berhubungan dengan kegagalan, dan mencoba untuk merubah
ekspektasi eksternal tentang kinerja.
Teori legitimasi dalam bentuk umum memberikan pandangan
penting terhadap praktek pengungkapan sosial perusahaan.
Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial perusahaan dapat
ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi. Sebagai contoh,
kecenderungan umum bagi pengungkapan sosial perusahaan untuk
menekankan pada poin positif bagi perilaku organisasi dibandingkan
dengan elemen negatif.
Adapun upaya yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam rangka
mengelola legitimasi agar efektif (Pattern dalam Hadi, 2011), yaitu
dengan cara :
1) Melakukan identifikasi dan komunikasi dialog dengan publik.
2) Melakukan komunikasi dialog tentang masalah nilai sosial
kemasyarakatan.
3) Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan, terutama terkait
dengan masalah tanggung jawab sosial.
Laporan keuangan adalah bentuk tanggung jawab perusahaan
kepada stakeholders termasuk lingkungan dan masyarakat.
Pengungkapan informasi didalam laporan keungan adalah tugas
14
perusahaan untuk menjelaskan kepada masyarakat mengenai aktivitas
yang dilakukan perusahaan. Berkaitan dengan teori ini, pengakuan atau
legitimasi perusahaan adalah faktor yang sangat ingin didapatkan oleh
perusahaan melalui pengungkapan informasi di dalam laporan
keuangan.
Dalam penelitian ini menggunakan teori legitimasi karena ingin
mengetahui pengungkapan informasi lingkungan seperti apa yang
sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat. Dengan mengetahui
apakah telah sesuai antara nilai-nilai masyarakat dengan aktivitas
perbankan syariah, maka dapat diketahui tingkat penerimaan
perbankan syariah di dalam masyarakat. Sehingga perbankan syariah
dapat mengetahui bagaimana citra ke-syar’i-annya pebankan syariah di
masyarakat sekitar.
b. Teori Stakeholders
Pengungkapan sosial mulai menjadi bahan pertimbangan bagi para
investor untuk berinvestasi di suatu perusahaan. Investor perlu
mengetahui tanggung jawab sosial perusahaan guna menghindari
dampak yang timbul di kemudian hari sebagai akibat kurangnya
tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan di sekitarnya.
Teori stakeholders menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas
yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun juga harus
memberi manfaat bagi para stakeholders (pemegang saham, kreditur,
konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain)
(Widiawati, 2012). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan
15
bahwa teori stakeholders menjelaskan tentang perusahaan sebagai
sebuah entitas yang dalam menjalankan aktivitasnya tidak hanya untuk
kepentingan perusahaannya saja melainkan juga harus memberikan
manfaat kepada para pemangku kepentingan perusahaan tersebut,
seperti: manajer, karyawan, konsumen, pemasok, investor, kreditor,
pemerintah, shareholders, serta masyarakat sekitar perusahaan.
Adapun kategori stakeholders menurut Rhenald Kasali dalam Putri
(2014), yaitu sebagai berikut :
1) Stakeholders internal dan stakeholders external. Stakeholders
internal adalah para pemangku kepentingan yang berada di dalam
lingkungan organisasi (manajer, karyawan, pemegang saham).
Sedangkan stakeholders external ialah para pemangku kepentingan
yang berada di luar lingkungan (supplier, kreditor, investor,
konsumen, analis, pemerintah, pers, masyarakat dan sebagainya).
2) Stakeholders primer, stakeholders sekunder, dan stakeholders
marjinal. Stakeholders primer ialah stakeholders yang paling
mampu, selanjutnya stakeholders yang kurang mampu adalah
stakeholders sekunder. Sedangkan stakeholders marjinal adalah
stakeholders yang biasa diabaikan. Urutan prioritas ini bagi setiap
perusahaan berbeda-beda, meskipun produk atau jasanya sama dan
dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu.
3) Stakeholders tradisional dan stakeholders masa depan.
Stakeholders tradisional dapat diartikan stakeholders yang sudah
16
berhubungan dengan organisasi saat ini. Stakeholders tradisional
ini meliputi karyawan dan konsumen. Sedangkan stakeholders
masa depan merupakan stakeholders pada masa depan yang
diperkiran dapat memberikan pengaruhnya bagi organisasi seperti
konsumen potensial, peneliti.
4) Proponents, opponents, dan uncommitted (pendukung, penentang,
dan yang tidak peduli). Di antara stakeholders ada kelompok yang
memihak organisasi (proponents), menentang organisasi
(opponents) dan yang tidak peduli atau abai (uncommitted).
Organisasi perlu untuk mengenal stakeholders yang berbeda-beda
ini, agar dengan jernih dapat melihat permasalahan, menyusun
rencana dan strategi untuk melakukan tindakan yang proporsional.
5) Silent majority dan vocal minority (pasif dan aktif). Aktivitas
stakeholders dalam melakukan komplain atau mendukung
perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau
dukungannya secara vocal (aktif) namun ada juga pihak yang
menyatakan secara silent (pasif).
Selain kategori stakeholders tersebut, stakeholders dapat
dikelompokkan berdasarkan karakteristik pengorganisasiannya
(Azheri, 2011 dalam Savira, 2015), yaitu :
1) Stakeholders publik yang tidak terorganisasi, yaitu stakeholders
individu yang tidak dapat diwakili oleh pihak lain, masyarakat,
tokoh masyarakat, pengamat, dan sebagainya.
17
2) Stakeholders publik yang terorganisasi, yaitu stakeholders yang
terhimpun dalam suatu organisasi atau kelompok tertentu, dimana
pimpinan atau anggota yang ditunjuk dapat mewakili organisasinya
memberi pandangan dan sikap dalam proses pengambilan dan
implementasi suatu keputusan.
3) Stakeholders yang terorganisasi secara semu, yaitu stakeholders
yang memiliki organisasi atau kelompok tertentu, tetapi tidak
memiliki perwakilan dalam pengambilan keputusan. Pimpinan dan
anggota diberi kebebasan bersikap dan berpandangan sehingga
biasanya anggotanya tidak bisa bertindak atas nama organisasi.
Misalnya, beberapa organisasi informal di masyarakat, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), dan sebagainya.
Teori Stakeholders umumnya berkaitan dengan cara-cara
perusahaan dalam mengatur stakeholders-nya. Sehingga pertanggung
jawaban perusahaan juga melihat sisi strategis pada stakeholders. Hal
ini dikarenakan teori stakeholders adalah sebuah prespektif dunia luar
yang dilihat oleh manajemen perusahaan (Gray et al., 1995 dalam
Zanjabil, 2015).
c. Sharia Enterprise Theory
Shariah enterprise theory merupakan enterprise theory yang perlu
diinternalisasikan dengan nilai Tauhid. Slamet dalam Triyuwono
(2006), menyatakan bahwa dalam shariah enterprise theory aksioma
terpenting yang harus mendasari dalam setiap penetapan konsepnya
adalah Allah sebagai Pencipta dan Pemilik Tunggal dari seluruh
18
sumber daya yang ada di dunia ini. Maka yang berlaku dalam shariah
enterprise theory adalah Allah sebagai sumber amanah utama, karena
Dia adalah pemilik yang tunggal dan mutlak. Sedangkan sumber daya
yang dimiliki oleh para stakeholders pada prinsipnya adalah amanah
dari Allah yang di dalamnya melekat sebuah tanggung jawab untuk
menggunakan dengan dengan cara dan tujuan yang ditetapkan oleh
Sang Pemberi Amanah.
Triyuwono (2006), menyatakan bahwa dalam pandangan shariah
enterprise theory, distribusi kekayaan atau nilai tambah (value-added)
tidak hanya berlaku pada para partisipan yang terkait langsung dalam
operasi perusahaan atau partisipan yang memberikan kontribusi
kepada operasi perusahaan, seperti : pemegang saham, kreditur,
karyawan, dan pemerintah, tetapi pihak lain yang tidak terkait
langsung dengan bisnis yang dilakukan perusahaan, atau pihak yang
tidak memberikan kontribusi keuangan dan skill. Pada dasarnya
manusia adalah Khalifatullah fil Ardh yang membawa misi
menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan bagi seluruh manusia
dan alam. Oleh karena itu, untuk mewujudkan nilai keadilan terhadap
manusia dan lingkungan alam, maka shariah enterprise theory akan
membawa kemaslahatan bagi stockholders, stakeholders, masyarakat
(yang tidak memberikan kontribusi keuangan atau ketrampilan) dan
lingkungan alam tanpa meninggalkan kewajiban penting menunaikan
19
zakat sebagai manifestasi ibadah kepada Allah (Slamet dalam
Triyuwono, 2006).
Menurut shariah enterprise theory, stakeholders meliputi Tuhan,
manusia, dan alam. Tuhan merupakan pihak paling tinggi dan menjadi
satu-satunya tujuan hidup manusia. Oleh karena itu, akuntansi syariah
hanya dibangun berdasarkan ketentuan atau hukum-hukum Allah.
Stakeholders yang kedua adalah manusia. Dalam hal ini dibedakan
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yaitu pihak yang terkait
langsung dengan bisnis perusahaan (direct stakeholders) yang terdiri
dari : pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok,
pemerintah, dan lain-lain. Kelompok kedua yaitu pihak yang tidak
terkait langsung dengan bisnis perusahaan (indirect stakeholders),
yang terdiri dari : masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan
shadaqah) dan lingkungan alam. Stakeholders yang ketiga adalah alam.
Alam merupakan pihak yang cukup penting dalam suatu perusahaan.
Hal ini dikarenakan perusahaan berada di atas bumi, menggunakan
energi dari alam, dan mengambil bahan baku juga dari alam. Namun,
sebagai feedback atas hal tersebut alam tidak menginginkan imbalan
materi seperti halnya manusia. Alam hanya ingin mendapatkan wujud
distribusi kesejahteraan berupa kepeduliaan terhadap lingkungan dan
kelestarian alam.
Penjelasan tersebut berarti bahwa shariah enterprise theory
menempatkan Allah sebagai pusat segala sesuatu. Manusia merupakan
20
pihak yang dituntut untuk patuh terhadap semua hukum-hukum Allah.
Hal ini dikarenakan Allah menjadi pusat tempat kembalinya manusia
dan alam semesta. Dalam penelitian ini, Islamic Social Reporting yang
dilakukan oleh perbankan syariah merupakan amanah dan wujud
kepatuhan manusia terhadap hukum-hukum Allah yang tidak terlepas
dari tujuan Islam.
2. Islamic Social Reporting (ISR)
CSR dalam perspektif Islam menurut AAOIFI (Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yaitu segala
kegiatan yang dilakukan institusi finansial Islam untuk memenuhi
kepentingan religius, ekonomi, hukum, etika dan discresionary
responsibilities sebagai lembaga finansial intermediasi baik itu untuk
individu ataupun untuk institusi (Othman, 2009). CSR dalam Islam disebut
dengan Islamic Social Reporting (ISR). ISR adalah perpanjangan
pelaporan sosial yang meliputi tidak hanya harapan dewan pengurus atas
pandangan masyarakat terhadap peran perusahaan dalam ekonomi tetapi
juga pemenuhan perspektif spiritual untuk pengguna laporan yang muslim
(Haniffa, 2002). Praktek pengungkapan tanggung jawab sosial Islam akan
berbeda dengan pelaporan sosial konvensional karena prinsip yang
mendasari berbeda meskipun konsep dasarnya yaitu tanggung jawab sosial
dan akuntabilitas ditunjukkan oleh keduanya (Haniffa, 2002).
Pengungkapan tanggung jawab sosial menurut perspektif Islam adalah
sebuah usaha untuk memastikan pemangku kepentingan berhati-hati
mengenai kesesuaian dan ketidaksesuaian prinsip syariah pada suatu
21
aktivitas bisnis untuk membantu mereka dalam membuat keputusan
ekonomi dan keputusan religius untuk memcapai falah (kesuksesan di
dunia dan di akhirat) (Haniffa, 2002).
Dalam pandangan Islam terdapat dua ketentuan umum tentang
pengungkapan yaitu pengungkapan penuh dan sosial akuntabilitas. Konsep
sosial akuntabilitas berhubungan dengan prinsip pengungkapan penuh
dengan tujuan untuk melayani kepentingan pubik. Di dalam konteks
syariah, masyarakat berhak menegetahui efek operasional suatu
perusahaan terhadap kesejahteraan, hal ini telah dianjurkan dalam
ketentuan syariah untuk mengetahui apakah perusahaan tersebut telah
melakukan kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah atau tidak dan
mengetahui apakah tujuan yang telah direncanakan oleh perusahaan
tersebut telah tercapai atau belum (Reni, 2015).
AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions) merupakan organisasi yang mengembangkan
akuntansi dan auditing bagi lembaga keuangan syariah di tingkat dunia.
AAOIFI telah mengeluarkan aturan umum mengenai pengungkapan
laporan keuangan bagi bank Islam dan institusi keuangan, tetapi aturan
tersebut belum dapat dijadikan sebagai standar pengungkapan tanggung
jawab sosial secara syariah kerena belum terdapat penjelasan mengenai
item-item terkait pelaporan tanggung jawab sosial yang harus diungkapkan
oleh perusahaan. Tetapi peraturan tersebut belum sepenuhnya mencakup
aspek-aspek syariah atau kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan prinsip
22
syariah (Maghfur, 2018). Oleh karenanya salah satu cara yang dapat
digunakan untuk menilai pengungkapan sosial dalam perusahaan Islam
yaitu dengan menggunakan Islamic Sosial Reporting.
Menurut Maali (2006), ada beberapa hal yang penting dalam social
reporting dalam perspektif Islam yaitu pemahaman mengenai
akuntabilitas, keadilan sosial, dan kepemilikan sosial. Akuntabilitas sangat
dipengaruhi oleh hubungan antara individu perusahaan dengan Allah. Hal
ini berdasarkan tauhid (keesaan Allah SWT) dari konsep dasar Islam.
Menurut konsep ini penciptaan atas segala sesuatu itu hanya Allah SWT
semata dan segala sesuatu berasal dari Allah. Adanya konsep keesaan
Allah ini menegaskan bahwa dalam Islam segala sesuatu harus
dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT dan segala sesuatu yang
dilakukan harus sesuai dengan perintah-Nya. Oleh sebab itu, seorang
muslim melakukan kegiatan sosial dan membuat laporannya bukan untuk
finansial semata akan tetapi untuk tujuan yang lebih utama yaitu
mendapatkan ridho Allah SWT.
Keadilan sosial juga merupakan hal yang penting dalam Islamic
Social Reporting. Keadilan sosial yang dimaksud Maali (2006) adalah
berlaku adil kepada siapapun, karena sesama muslim adalah saudara.
Selain itu, seorang muslim tidak boleh melakukan eksploitasi dan tindakan
yang dapat merugikan sesama. Sehingga konsep keadilan sosial dalam
bisnis Islam ini meliputi keadilan kepada karyawan, pelanggan, dan
seluruh anggota masyarakat dimana perusahaan beroperasi. Kemudian
23
yang penting dalam ISR adalah konsep kepemilikan. Islam mengakui
adanya kepemilikan individu, namun perlu diketahui bahwa kepemilikan
tersebut bukan bersifat kepemilikan yang absolut, karena pada hakekatnya
segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah milik Allah SWT. Dalam al-
quran juga dijelaskan bahwa keutamaan dari kepemilikan adalah untuk
mencapai kesejahteraan bersama bukan hanya kepentingan pribadi.
Sehingga pemilik bertanggung jawab menggunakan sumber daya yang
dimilikinya sesuai perintah Allah SWT dan bertujuan memberikan
manfaat bagi ummat.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Islam menginginkan adanya keselarasan antara kegiatan ekonomi dengan
spiritual dalam melakukan kegiatan bisnisnya. Dalam syariah Islam juga
memiliki tiga dimensi yang saling berhubungan, yaitu mencari ridho Allah
sebagai tujuan utama dalam membangun keadilan sosial-ekonomi,
memberikan manfaat bagi masyarakat, dan menciptakan kesejahteraan
(Haniffa, 2002). Sehingga dalam menciptakan laporan pertanggung
jawaban tersebut harus sesuai dengan prinsip syariah Islam yang
berdasarkan atas tiga dimensi tersebut. Selain itu dengan adanya
pengungkapan pelaporan sosial ini berarti sebuah perusahaan yang dalam
hal ini Bank Umum Syariah telah melaksanakan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, dan responsibility yang sesuai berdasarkan
konsep corporate governance (Maghfur, 2018).
24
Penelitian ini menggunakan kerangka Islamic Social Reporting
dengan rujukan utama Haniffa (2002) yang dimodifikasi dengan item-item
yang terdapat pada penelitian Othman et.al. (2009). Berikut kelima tema
pengungkapan dalam Islamic Social Reporting yang digunakan dalam
penelitian ini, antara lain :
1. Investasi dan Keuangan
Item yang termasuk dalam indikator investasi dan keuangan adalah
mengenai sumber dana untuk aktivitas investasi dan pembiayaan yang
terbebas dari unsur riba, gharar, dan transaksi yang diharamkan oleh
Islam, serta item mengenai kebijakan organisasi untuk menangani
nasabah yang bermasalah.
2. Produk dan Jasa
Indikator kedua pada indeks ISR yaitu mengenai produk dan jasa.
Item-item pada indikator ini antara lain pengungkapan terhadap
komplain/keluhan nasabah, kualitas dan keamanan produk, dan status
kehalalan produk.
3. Tenaga Kerja
Pada indeks ISR item-item indikator ini tetap menekankan pada
prinsip-prinsip Islam yang meliputi karakteristik pekerja, pendidikan
dan pelatihan, dan persamaan kesempatan.
4. Sosial
Indikator sosial merupakan indikator yang sangat erat hubungannya
dengan konsep tanggung jawab sosial. Indikator sosial pada indeks
25
ISR sebagian besar difokuskan pada pengungkapan terkait dengan
prinsip-prinsip Islam seperti item saddaqah, waqaf, qard hassan, serta
kegiatan amal lainnya.
5. Lingkungan
Indikator lingkungan pada indeks ISR memiliki item yang berkaitan
dalam menekankan pengungkapan terhadap aktivitas dan besarnya
dana yang dikeluarkan organisasi untuk aktivitas lingkungannya.
3. Perbankan Syariah
Perbankan adalah sebuah lembaga yang bertugas untuk
menghimpun dana dari masyarakat dan memutar dana tersebut. Tempat
yang aman untuk menyimpan uang adalah perbankan. Di dalam
perkembangannya, perbankan telah mentransformasikan diri menjadi
lembaga yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dalam menjalankan
aktivitas ekonominya. Perbankan menjadi harapan masyarakat dalam
peminjaman uang dan pengembangan usaha masyarakat.
Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980
melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi
Islam. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam
skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil
Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Tahun 1990, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan
Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18—20 Agustus 1990, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan
perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut
26
kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di
Jakarta 22—25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi
pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.
Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi
tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak
yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah
berdirilah bank syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1
Nopember 1991 yang resmi beroperasi sejak tanggal 1 Mei 1992 (Sumber:
www.ojk.go.id).
UU No. 21 Tahun 2008, menjelaskan bahwa Perbankan Syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan
proses dalam melakukan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah Bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas BUS dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan penetapan fatwa di bidang syariah. Pasal 1 ayat 13 UU No.
10 tahun 1998 menjelaskan, prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan
27
prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan
memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya
pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank
oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) (Faizah & Hartiyah, 2018).
Dalam paradigma akuntansi Islam bank syariah memiliki fungsi
sebagai berikut (Muhammad, 2005:195-196 dalam Fauziah & Yudho,
2013) :
a. Manajemen Investasi. Bank syariah dapat melaksanakan fungsi ini
berdasarkan kontrak mudharabah atau kontrak perwakilan. Menurut
kontrak mudharabah, bank (dalam kapastitasnya sebagai mudharib,
yaitu pihak yang melaksanakan investasi dana dari pihak lain)
menerima persentase keuntungan hanya dalam kasus untung. Dalam
hal terjadi kerugian, sepenuhnya menjadi resiko penyedia dana
(shahibul maal), sementara bank tidak ikut menanggungnya.
b. Investasi. Bank syariah menginvestasikan dana yang ditempatkan pada
dunia usaha (baik dana modal maupun dana rekening investasi) dengan
menggunakan alat-alat investasi yang konsisten dengan syariah.
Rekening investasi dapat dibagi menjadi tidak terbatas (unrestricted
mudharabah) atau terbatas (restricted mudharabah).
28
c. Jasa-jasa keuangan. Bank syariah dapat juga menawarkan berbagai
jasa keuangan lainnya berdasarkan upah (fee based) dalam sebuah
kontrak perwakilan atau penyewaan.
d. Jasa sosial. Konsep bank syariah mengharuskan bank tersebut
melaksanakan jasa sosial, bisa melalui dana pinjaman kebijakan
(qardh), zakat, atau dana sosial yang sesuai yang sesuai dengan ajaran
Islam. Lebih jauh lagi, konsep perbankan Islam juga mengharuskan
bank Islam memainkan peran dalam pengembangan sumber daya
insani dan menyumbang dana bagi pemeliharaan serta pengembangan
lingkungan hidup.
4. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan tingkat identifikasi besar atau
kecilnya suatu perusahaan. Perusahaan yang lebih besar melakukan
aktivitas yang lebih banyak, menyebabkan dampak yang lebih besar
terhadap lingkungan dan harus menginformasikan kegiatan sosialnya.
Sehingga semakin besar ukuran perusahaan serta dana yang besar dalam
perusahaan cenderung memiliki permintaan yang lebih luas mengenai
informasi pelaporan perusahaannya (Maulida et al., 2014).
Brigham & Houston (2010) dalam Maghfur (2018),
mendefinisikan ukuran perusahaan sebagai rata-rata total penjualan bersih
untuk tahun yang bersangkutan. Ukuran perusahaan merupakan
karakteristik suatu perusahaan dalam hubungannya dengan stuktur
perusahaan. Ukuran perusahaan dalam penelitian ini diukur dengan nilai
total aset perusahaan. Total aset adalah total sumber daya yang dimiliki
29
oleh perusahaan, sehingga perusahaan yang ukurannya besar pasti
memerlukan total aset (sumber daya) yang banyak untuk menjalankan
kegiatan usahanya. Maka dari itu, dalam penelitian ini total aset digunakan
untuk mengukur ukuran perusahaan. Data total aset akan didapatkan dari
laporan keuangan perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
Total aset akan dibentuk menjadi logaritma natural (ln) agar bentuk data
variabel total aset sama dengan bentuk variabel data yang lainnya.
5. Umur Perusahaan
Haniffa (2002), mengungkapkan bahwa perusahaan dengan umur
yang lebih lama diprediksi akan melakukan penyebaran informasi yang
lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan baru dengan tujuan untuk
mengurangi ketidakpastian risiko operasi dan untuk meningkatkan
kepercayaan investor terhadap perusahaan. Menurut Untari (2010) dalam
Dewi & Keni (2013), umur perusahaan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi kinerja perusahaan dalam mengungkapkan tanggung jawab
sosialnya. Umur perusahaan dapat menunjukkan kemampuan dalam
mengatasi kesulitan dan hambatan yang dapat mengancam kehidupan
perusahaan serta menunjukkan kemampuan perusahaan mengambil
kesempatan dalam lingkungannya untuk mengembangkan usaha.
Disamping itu, perusahaan menunjukkan kemampuan keunggulan dalam
berkompetensi. Dengan demikian semakin lama perusahaan berdiri,
perusahaan tersebut semakin dapat menunjukkan eksistensi dalam
lingkungannya dan semakin bisa meningkatkan kepercayaan investor.
30
6. Profitabilitas
Profitabilitas adalah kemampuan untuk mendapatkan laba dari
seluruh kegiatan perusahaan dalam periode tertentu. Perusahaan yang
memiliki tingkat profit lebih tinggi akan menarik para investor, sehingga
upaya perusahaan untuk memberikan informasi yang lebih baik kepada
masyarakat serta calon investornya, yaitu dengan meningkatkan
pengungkapan tanggung jawab sosialnya, sehingga semakin tinggi
profitabilitas maka semakin besar pengungkapan informasi sosial
(Widiawati, 2012). Rasio profitabilitas merupakan rasio yang bertujuan
untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
selama periode tertentu dan juga memberikan gambaran tentang tingkat
efektifitas manajemen dalam melaksanakan kegiatan operasinya.
Efektifitas manajemen disini dilihat dari laba yang dihasilkan terhadap
penjualan dan investasi perusahaan (Maghfur, 2018).
Penelitian ini akan menggunakan komponen yang ada pada laporan
keuangan yaitu laporan laba rugi untuk mengukur profitabilitas.
Komponen laporan laba rugi yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah return on assets (ROA). Return On Assets (ROA) adalah pengukur
kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan laba
dengan jumlah aktiva di perusahaan, semakin tinggi rasio ini maka
semakin baik keadaan suatu perusahaan. Return on asset (ROA) mampu
merefleksikan seberapa banyak perusahaan telah memperoleh hasil atas
seluruh sumber daya keuangan yang ditanamkan pada perusahaan. ROA
31
sering digunakan oleh top manajemen untuk mengevaluasi unit-unit usaha
dalam perusahaan yang multi-divisional.
Return On Assets (ROA) merupakan penilaian profitabilitas atas
total assets, dengan cara membandingkan laba setelah pajak dengan total
aktiva. Return On Assets (ROA) menunjukkan efektivitas perusahaan
dalam mengelola aktiva baik dari modal sendiri maupun dari modal
pinjaman investor, yang akan dilihat seberapa efektif suatu perusahaan
dalam mengelola assets. Semakin tinggi tingkat Return On Assets (ROA)
maka akan memberikan efek terhadap volume penjualan yang nantinya
akan mendapatkan keuntungan, artinya tinggi rendahnya Return On Assets
(ROA) akan mempengaruhi perusahaan dalam melakukan pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan begitu pula sebaliknya.
7. Islamic Governance Score
Pelaksanaan kegiatan bank syariah harus berdasarkan tata kelola
perusahaan yang baik (Good corporate Governance) dan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah atau yang disebut dengan Islamic corporate
governance. Bank syariah dalam menjalankan aktivitasnya harus
berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Untuk menjamin terpenuhinya
prinsip-prinsip syariah maka diperlukan adanya pengawasan syariah yang
diperankan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) (Rahmayani &
Rahmawaty, 2017).
DPS bertugas dan bertanggung jawab untuk memberikan nasehat
dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank syariah agar
sesuai dengan prinsip syariah. Semakin kompeten seorang Dewan
32
Pengawas Syariah pada perusahaan akan menentukan pada meningkatnya
kesehatan perusahaan. Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009
menyatakan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam di bidang
perbankan syariah yang tertuang dalam bentuk fatwa Dewan Syariah
Nasional – Majelis Ulama Indonesia. Oleh sebab itu, pengelolaan bank
syariah dengan berdasarkan prinsip-prinsip Islam akan berjalan dengan
baik dengan adanya pengawasan DPS. Menurut Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) No. 30/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan
yang Baik Bagi Perusahaan Pembiayaan menyebutkan bahwa ―Dewan
Pengawas Syariah merupakan bagian dari organ perusahaan yang
mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan
kegiatan perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah‖. Dalam peraturan
tersebut pada pasal 40 juga menjelaskan bahwa Dewan Pengawas Syariah
wajib menyelenggarakan rapat DPS secara berkala paling sedikit 6 (enam)
kali dalam 1 (satu) tahun (Nabilah et al., 2018).
Islamic Governance Score (IGS) merupakan proksi dari
karakteristik Dewan Pengawas Syariah yang diukur dari jumlah DPS,
cross membership, latar belakang pendidikan serta pengalaman/reputasi
(Farook & Lanis, 2005). Menurut Faizah & Hartiyah (2018), adanya
Dewan Pengawas Syariah ini merupakan sebuah upaya untuk
meningkatkan tata kelola perusahaan pada institusi Islam. DPS harus
terdiri dari ulama yang mengerti akan hukum Islam. Namun dalam
prakteknya terkadang juga didukung oleh ahli perbankan Islam yang juga
33
mengerti akan hukum Islam karena kedua hal tersebut berhubungan dalam
institusi finansial Islam. Fungsi utama dewan ini adalah untuk
mengarahkan, meninjau dan mengawasi kegiatan bank syariah. Dengan
kata lain, mereka harus memastikan bahwa bank syariah telah sesuai
dengan hukum Islam seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
Sama halnya dengan Dewan direksi, fungsi dan tugas Dewan
Pengawas Syariah dapat dibagi diantara anggota, sehingga memungkinkan
anggota-anggota tertentu fokus pada pelaporan perusahaan. Dewan
Pengawas Syariah dalam jumlah yang cukup banyak dengan beragam
perspektif dan pengalaman dapat mengakibatkan review pada pelaporan
perusahaan yang lebih baik terutama dalam hal tata kelola perusahaan dan
pelaporan sosial perusahaan (Abdullah et al., 2011 dalam Anggraeni,
2017).
C. Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir merupakan sintesa tentang hubungan antar
variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan.
Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan tersebut, selanjutnya
dianalisis secara kritis dan sistematis, sehingga menghasilkan sintesa tentang
hubungan antar variabel yang diteliti. Sintesa tentang hubungan variabel
tersebut selanjutnya digunakan untuk merumuskan hipotesis (Sugiyono, 2011
dalam Maghfur 2018).
Model kerangka berfikir dalam penelitian ini digambarkan pada
gambar 2.1 sebagai berikut :
34
H₁
H₂
H₃
H₄
Sumber: Hasil olah peneliti
Gambar 2.1. Kerangka berfikir
Berdasarkan gambar di atas dapat diketahui bahwa model
penelitian ini terjadi secara satu arah untuk menjelaskan pengaruh ukuran
perusahaan, umur perusahaan, profitabilitas, dan Islamic governance score
terhadap Islamic social reporting pada bank umum syariah.
D. Perumusan Hipotesis
1. Ukuran Perusahaan dan Islamic Social Reporting
Ukuran perusahaan merupakan besar kecilnya perusahaan yang
diproksikan dengan total aset perusahaan (Maulida et al., 2014). Total aset
perusahaan diperoleh dari laporan keuangan akhir tahun dalam laporan
tahunan perusahaan. Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya
informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan
sehubungan dengan investasi dalam perusahaan tersebut semakin banyak,
serta adanya dugaan bahwa perusahaan kecil memiliki kualitas
pengungkapan yang lebih rendah.
Ukuran Perusahaan
(X₁)
Umur Perusahaan
(X₂)
Profitabilitas
(X₃)
Islamic Governance
Score (X₄)
Islamic Social Reporting (Y)
35
Penelitian yang terkait antara ukuran perusahaan dan ISR pernah
dilakukan oleh Othman et al. (2009) dan Raditya (2012). Hasil penelitian
keduanya selaras dengan kebanyakan penelitian-penelitian terdahulu,
yakni ukuran perusahaan secara positif signifikan mempengaruhi tingkat
ISR. Berdasarkan penelitian Othman et al. (2009), penelitian ini menduga
bahwa perusahaan yang lebih besar akan cenderung melakukan
pengungkapan ISR secara lebih luas. Berdasarkan uraian diatas dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
H₁ : Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan Islamic Social
Reporting.
2. Umur Perusahaan dan Islamic Social Reporting
Haniffah (2002) menyebutkan bahwa perusahaan dengan umur
yang lebih lama kemungkinan akan melakukan pengungkapan yang lebih
luas untuk menunjukkan kepatuhan mereka terhadap aturan. Berdasarkan
dari hasil penelitian tersebut perusahaan dengan umur yang lebih lama,
maka perusahaan mengungkapan tanggung jawab sosial lebih luas
dibandingkan dengan perusahaan baru.
Lestari (2013) menyatakan umur perusahaan mencerminkan
pengalaman perusahaan dalam melakukan laporan tahunannya, sehingga
dengan pengalaman tersebut diharapkan perusahaan dapat melakukan
pengungkapan sosial secara lengkap. Umur perusahaan berkorelasi dengan
kualitas informasi akuntansi dan pelaporan sukarela. Hal ini dikarenakan
perusahaan yang lebih lama beroperasi semakin banyak pengalaman dalam
pelaporan keuangan dan lebih banyak mengetahui kebutuhan informasi
36
khalayak tentang perusahaan. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :
H₂ : Umur perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan Islamic Social
Reporting.
3. Profitabilitas dan Islamic Social Reporting
Profitabilitas adalah suatu kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba (Maghfur, 2018). Semakin tinggi profitabilitas suatu
perusahaan berarti semakin tinggi pula kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba, sehingga mempengaruhi tingkat pengungkapan yang
dilakukan oleh perusahaan agar dapat menarik minat investor untuk
menanamkan modal pada perusahaan.
Menurut Widiawati (2012) perusahaan dengan profit yang lebih
tinggi memiliki kecenderungan untuk melakukan intervensi kebijakan.
Oleh karena itu, perusahaan tersebut akan terdorong untuk
mengungkapkan informasi yang lebih rinci dalam laporan tahunan mereka
dalam rangka mengurangi biaya politik dan menunjukkan kinerja
keuangan kepada publik.
Hasil Penelitian Lestari (2013), Eksandy & Hakim (2017), dan
Othman (2009) menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh signifikan
positif terhadap islamic social reporting. Oleh karena itu, semakin tinggi
profitabilitas maka semakin luas dalam mengungkapkan Islamic Social
Reporting. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
37
H₃ : Profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan Islamic Social
Reporting.
4. Islamic Governance Score dan Islamic Social Reporting
Islamic Governance Score (IGS) merupakan proksi dari karakteristik
Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang diukur dari jumlah Dewan Pengawas
Syariah, cross membership, latar belakang pendidikan serta
pengalaman/reputasi (Farook & Lanis, 2005). Lembaga keuangan dengan
Islamic Governance Score yang tinggi akan memiliki beragam perspektif
dan pengalaman yang mengakibatkan review pada pelaporan perusahaan
yang lebih baik terutama dalam hal tata kelola perusahaan dan pelaporan
sosial perusahaan (Abdullah et al., 2011 dalam Anggraeni, 2017). Hal
tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Farook & Lanis
(2005) dan Haniffa & Cooke (2000), membuktikan bahwa Islamic
governance score berpengaruh positif terhadap pengungkapan Islamic soial
reporting. Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
H₄ : Islamic Governance Score berpengaruh terhadap pengungkapan
Islamic Social Reporting.