Post on 17-Oct-2021
16
BAB II
RITUAL DAN
PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS BUDAYA
Bagian ini akan membahas tentang dua teori besar yang akan digunakan
sebagai pendukung dalam menganalisa data yang ditemukan. Teori tersebut
adalah teori ritual dan pendampingan berbasis budaya. Pembahasan teori ritual
akan di mulai dengan paham ritual dan teori ritual pernikahan menurut Arnold
Van Gennep, sedangkan pembahasan pendampingan pastoral berbasis budaya
diawali dengan kajian pendampingan pastoral berbasis budaya, tahapan
pendampingan pastoral, dan fungsi pendampingan pastoral.
II.1. RITUAL
II.1.1. Pemahaman Ritual
Ritual pada umumnya dianggap sebagai tindakan yang secara otomatis
dapat membedakannya dari aspek konseptual agama, seperti keyakinan, simbol,
dan mitos.1 Ritual dalam suatu daerah merupakan perwujudan yang nyata dari
sebuah kebudayaan masyarakat dalam negeri tertentu yang dapat menguatkan
ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok, hal ini
dapat menjadi proses integrasi yang dikuatkan dan diabdikan melalui simbolisasi
ritual.2 Dalam konteks ritual yang menjadi penguatan secara alamiah kepada
masyarakat tidak dapat begitu saja tersampaikan tanpa ada sebuah penghargaan
dan pemaknaan dari manusia untuk ritual itu sendiri.
1 Chatrine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice (New York: Oxford University Press,
1992), 19. 2
Indah Ayu P Patikawa, “Oma Panggel Pulang”Penguatan Identitas Sosial Bagi
Masyarakat Diaspora di Negeri Oma, Pulau Haruku, Maluku Tengah” (Tesis Magister Sosiologi
Agama, 2014), 11.
17
Meskipun begitu, Chatrine Bell berpendapat ritual memiliki rangkaian
kegiatan yang otonom dan berbeda sebagai aspek dari semua aktivitas manusia.3
Ritual juga merupakan sebuah pernyataan simbolik yang teratur dan memiliki
fungsi sendiri yaitu fungsi sosial yang tetap apabila, dan sejauh mana, ritual itu
memiliki kesan dalam mengatur, mengekalkan, dan diturunkan dari generasi ke
generasi.4
Sementara itu, David I. Kertzer juga menjelaskan bahwa ritual
merupakan salah satu bagian terpenting dari aktivitas simbol dan struktur dalam
kehidupan manusia.5 Hal ini terjadi karena ritual merupakan ungkapan yang lebih
bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Artinya, ritual memperlihatkan
tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan
perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari para pemuja yang
mengikuti model masing-masing, sehingga penting untuk kelanjutan dan
kebersamaan dalam kelompok.6
Dengan kata lain, objek-objek itu akan
membentuk pikiran dan tindakan setiap individu.
Sementara itu, Peter Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa
kehidupan masyarakat dalam keseharian tidak terlepas dari pikiran dan tindakan
yang di pelihara sebagai “yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu. Kesadaran
akan tindakan tersebut selalu berpusat pada objek tertentu. Objek-objek yang
berbeda itu kemudian menampilkan diri dalam kesadaran sebagai unsur-unsur
pembentuk.7 Namun harus selalu diingat bahwa pengobjekan yang seperti ini
harus dengan benar dilakukan, karena jika terlalu biasa dilakukan maka akan
3 Bell, Ritual Theory, Ritual Practice,70.
4Suwardi, “Mistisisme dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan Penghayat
Kepercayaan” Kejawen, Jurnal Kebudayaan Jawa, (Volume 1, No 2, Bulan Agustsus, Tahun
2006). 5 David I Kertze, Ritual Politic and Power, (New Heaven and London; Yale University
Press, 1988), 84. 6 Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogjakarta: Kanisius, 2002), 174.
7 Berger & Luckamnn, Tafsir Sosial Atas Kenyataan, 28-30.
18
menggeserkan dan menghilangkan resonansi antara makna dengan perilaku dan
perasaan-perasaan darimana pengobjekan itu berasal.8 Dari beberapa pandangan
ini dapat disimpulkan bahwa umumnya ritual merupakan rangkaian kegiatan dan
nilai-nilai yang disimbolkan untuk mengatur masyarakat dari generasi ke generasi.
Nilai-nilai menjadi sebuah objek nyata yang darinya individu dalam masyarakat
membentuk pola pikir dan tindakan. Dengan kata lain, serangkaian simbol yang
mengandung nilai dalam ritual dapat dijadikan sebagai unsur-unsur pembentuk.
Ritual oleh Dhavamony digolongkan menjadi empat jenis. (1) Tindakan
magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-
daya misitis; (2) Tindakan religius, kultus pada leluhur, juga bekerja dengan cara
ini; (3) Ritual konstitutif yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial
dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-
upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) Ritual faktitif yang meningkatkan
produktivitas atau kekuatan, pemurnian dan perlindungan. Jenis ritual ini
merupakan cara lain untuk meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
Tujuan ritual faktitif melebihi pengungkapan dan perubahan hubungan sosial yang
tidak terbatas pada aktivitas pemberikan kurban untuk para leluhur dan
melaksanaan magi, melainkan juga pelaksanaan tindakan yang diwajibkan oleh
anggota-anggota dalam peranan sekuler mereka.9 Dari keempat jenis ritual ini,
ritual faktitif dilihat sebagai jenis ritual yang sangat berguna karena setiap
individu diajak untuk meningkatkan produktivitas hakekat mereka sebagai
manusia yang memanusiakan. Karena itu, tak heran Dhavamony melihat jenis
8 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174-175.
9 Dhavamony, Fenomenologi Agama, 174-175.
19
ritual ini dapat menciptakan perubahan sosial yang positif dan meningkatkan
kesejahteraan materi suatu kelompok.
Pandangan Dhavamony tentang ritual berkaitan dengan kehidupan sosial
individu tidak berbeda dengan pandangan Van Gennep tentang ritual secara
umum. Menurutnya, ritual tidak dapat dipisahkan dalam kelompok masyarakat
karena akan berdampak dan merambat ke dalam kehidupan sosial masyarakat.10
Ia
berpendapat bahwa manusia membuat sebuah ceremony atau ritual untuk
merayakan perpindahan hidup dari satu fase ke fase yang lain seperti kelahiran,
kanak-kanak, pubertas, pernikahan, kehamilan, peran sebagai orang tua, pekerjaan
dan agama, juga kematian kematian. Hal ini merupakan esensi alam yang tidak
bisa berdiri sendiri dan saling bergantung satu sama lain. Sistem kerja alam
bersifat berulang dan saling berinteraksi satu sama lain, dengan tahapan-tahapan
peralihan, pergerakan ke depan, dan periode ketidakaktifan yang relatif dan ini
identik dengan siklus hidup manusia yang terbingkai dalam upacara-upacara
tertentu dengan latar belakang adanya perubahan.11
Dalam pandangan ini,
individu bersama-sama dengan masyarakat membangun ritual tertentu untuk
memperingati setiap fase atau tahapan dalam hidupnya yang berkaitan satu sama
lain sehingga secara tidak langsung dapat memberikan dampak dalam kehidupan
sosial masyarakat.
Berkaitan dengan hal diatas, Van Gennep menyebutnya ritual peralihan
dan membaginya dalam tiga fase ritual yakni; ritual pemisahan, transisi, dan
inkorporasi. Ketiga fase ini mengandung unsur tertemtu sehingga tidak semua
fase berada dalam satu ritual yang dilakukan. Menurutnya fase pemisahan
10
Van Gennep, The Rites of Passage., 10. 11
Van Gennep, The Rites of Passage, 3.
20
umumnya menonjol dalam upacara pemakaman, kategori ritual inkorporasi ada
pada pernikahan, sedangkan ritual transisi biasanya memainkan peranan penting
dalam kehamilan, pertunangan, dan lain-lain yang bersifat transisi. Van Gennep
berpendapat bahwa meskipun skema fase ritual peralihan secara teoritis dapat
dikatakan lengkap karena meliputi ritual awal (ritual perpisahan), ritual liminal
(ritual transisi) dan ritual inkorporasi, dalam beberapa kasus ketiganya tidak dapat
dielaborasi.12
Artinya jika ingin mengambil kesimpulan dalam suatu ritual yang
mengadung ketiga kategori ini harus melihat sifat dari setiap ritual yang dianalisa.
Selanjutnya, dalam setiap ritual peralihan mengandung beberapa faktor
yang menjadi indikator penilaian bagi setiap tahapan ritual peralihan. Penilaian ini
dilakukan Van Gennep dengan menggunakan dua tahapan; Tahapan pertama, ia
membagi ritual menjadi dua jenis yaitu simpatik dan meluas. Jenis simpatik pada
umumnya bersifat animistik. Ritual jenis ini didasarkan pada keyakinan akan
tindakan timbal balik dari sesuatu yang sejalan, berlawanan dengan sesuatu,
wadah yang terkandung, bagian dan keseluruhan, gambar atau objek yang nyata,
juga kata dan sikap. Sementara itu, ritual berjenis meluas umumnya bersifat
dinamis dan berkarakteristik alami yang diperolah dan dapat ditularkan. Artinya
ritual jenis ini didasarkan pada keyakinan bahwa sifat-sifat alamiah atau sesuatu
yang diperoleh adalah sesuatu yang ada (keberadaan) yang dapat menjangkit atau
ditularkan bahkan melalui kontak fisik. Meskipun kedua jenis ini berbeda jenis
dan sifat namun Van Gennep juga menegaskan bahwa ritual jenis simpatik tidak
selalu bersifat animistik dan ritual menular tidak selalu bersifat dinamis karena
ritual selalu bersifat independen.13
Pandangan ini mengisyaratkan bahwa setiap
12
Van Gennep, The Rites of Passage, 10 13
Van Gennep, The Rites of Passage, 4-8.
21
ritual peralihan memiliki nilai-nilai tertentu yang menunjang fungsi dan tujuan
pelaksanaannya, karenanya masyarakat tidak bisa menilai bentuk ritual hanya dari
satu sudut pandang.
Tahapan kedua yang dilakukan Van Gennep adalah membedakan ritual
sesuai dengan tindakan dan dampak yang dihasilkan dari ritual yaitu; secara
langsung dan tidak langsung. Secara langsung artinya, pengaruh ritual ini terjadi
secara langsung. Seperti kutukan atau mantra yang dirancang untuk segera
menghasilkan tanpa intervensi dari agen luar. Sedangkan tidak langsung
dijelaskan sebagai bentuk pancingan yang menggerakan beberapa kekuatan
otonom dan biasanya di personifikasikan dengan jin atau dewaa yang dipercaya
punya campur tangan atas ritual dan pelaku upacara. Namun perlu diingat bahwa
apa yang dibagi dalam tahapan ini belum tentu bersifat animistik. Setiap ritual
yang dilakukan bisa mengandung empat jenis sekaligus dan bisa juga tidak karena
hal ini bergantung pada bantuan orang-orang dalam ritual itu dan disesuaikan
dengan tujuan-tujuan tertentu dalam setiap ritual.14
Kedua cara yang
disumbangkan Van Gennep merupakan sebuah kompleksitas tolak ukur bagi
masyarakat agar dapat mengerti dan memaknai setiap esensi dari ritual yang
dilakukan.
II.1.2. Ritual Pernikahan
Ritual pernikahan merupakan jenis ritual peralihan atau masa yang
penting dalam fase kehidupan manusia, karena melibatkan perubahan keluarga,
klan, desa atau suku, dan lingkungan tempat tinggal. Pernikahan juga membawa
pengaruh terhadap jumlah dan kepentingan kelompok yang di pengaruhi oleh
14
Van Gennep, The Rites of Passage, 8
22
pernikahan tersebut. Penggabungan kelompok-kelonpok mendapat tempat khusus
dalam pengaturan acara perkawinan. Oleh karena itu, bagi Van Gennep
pernikahan juga harus melalui sebuah fase yang tertuang dalam konsep ritual
transisi yang identik dengan pertunangan yang otonom dan kemudian menjurus
pada ritual inkorporasi awal yang berarti penggabungan antara beberapa
kelompok. Setelah itu, diikuti oleh ritual inkorporasi sesungguhnya (permanen)
yang tidak hanya menggabungkan lingkungan lama dan baru namun juga
penggabungan dua individu.15
Dalam hal ini Van Gennep menegaskan bahwa
salah satu tujuan ritual adalah untuk memperoleh penyatuan kembali, yang
menurut Dhavamony berlanjut juga pada penetapan keseimbangan dari dalam
hubungan-hubungan yang berubah.16
Pandangan Van Gennep dan Dhavamony ini
terbangun dari fakta pernikahan yang memasukan seorang individu dalam
kolektivitas yang namun juga diikuti oleh beberapa aspek penting yang
menunjang keseimbangan beberapa hubungan yang telah berubah.
Alasan penggabungan penting dalam pernikahan adalah karena adanya
suatu kolektivitas yang tertarik pada persatuan dua individu. Kolektivitas yang
dimaksud adalah: (1) kelompok keturunan patrilineal atau matrilineal; (2)
keluarga dari masing-masing pasangan dalam pengertian kata biasa, dan kadang-
kadang keluarga secara umum, termasuk saudara sepupu, ipar, dll; (3) kelompok-
kelompok seperti klan totem, persaudaraan, kelompok usia, komunitas orang
beriman, asosiasi kerja, atau kasta, kolega dan ibu dan ayah mereka atau semua
anggota keluarga mereka; (4) kelompok lokal (dusun, desa, seperempat kota,
15
Van Gennep, The Rites of Passage,116. 16
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176.
23
perkebunan, dll.).17
Kolektivitas ini-lah yang selalu mengambill bagian juga
dalam ritual-ritual pernikahan.
Alasan pentingnya penggabungan dalam pernikahan adalah kolekivitas
diatas sarat dengan emosional terhadap individu yang menjalankan ritual (dalam
banyak kasus hal ini dilihat dari sisi mempelai perepuan). Hal ini terjadi karena
konteks pemisahan sangat kental didalamnya. Konteks ini yang maksud Van
Gennep mengandung unsur ritual pemisahan. Ketika pernikahan masuk dalam
golongan pemisahan berarti ada indikasi melemahkan dan menguatkan dalam
masing-masing komunitas (termasuk faktor ekonomi). Ia melihat emosi dari sisi
komunitas dari mempelai perempuan.18
Dalam pernikahan juga terjadi perubahan
kondisi dan status individu, seperti lulus dari kelompok anak-anak atau remaja ke
dalam kelompok orang dewasa dan masuk dalam lingkungan yang baru berpisah
dengan lingkungannya yang lama makin memperkuat pandangan Van Gennep.
Mempelai perempuan dipisahkan dari lingkungan lamanya dan masuk dalam
lingkungan baru. Lingkungan baru yang dimaksudkan adalah kolektivitas
mempelai laki-laki, artinya mempelai perempuan keluar dari kolektivitasnya dan
masuk menjadi bagian dari kolektivitas mempelai laki-laki, karenanya Van
Gennep menyimpulkan hal ini sebagai bentuk pemisahan yang bersifat teritorial.19
Dalam beberapa ritual yang ditelitinya, ritual pemisahan juga identik dengan
tindakan mengganti baju, memotong atau membuang sesuatu yang berhubungan
dengan masa kecil, menghapus perhiasan, ritual melakukan atau melewati sesuatu
dan lain-lain.20
Meskipun bentuk pemisahan masing-masing ritual berbeda-beda
17
Van Gennep, The Rites of Passage, 118 . 18
Van Gennep, The Rites of Passage, 121. 19
Van Gennep, The Rites of Passage, 116. 20
Van Gennep, The Rites of Passage, 130.
24
tergantung konteks adat dan budaya masyarakat, namun pemisahan tetap ada,
karenanya unsur penggabungan perlu juga dilihat sebagai bentuk positiif dari
sebuah ritual pernikahan.
Unsur pemisahan dan penggabungan dapat berada dalam satu ritual
pernikahan. Jika yang pertama nampak adalah unsur pemisahan, maka akan
diikuti oleh unsur inkorporasi, setelah itu akan ada unsur transisi, pemisahan, dan
kembali pada unsur inkorporasi. Karena itu pada beberapa daerah, pemisahan
yang berujung pada inkorporasi mempelai perempuan ke dalam mempelai laki-
laki diikuti dengan pemberian “kompensasi” kepada keluarga yang telah
“kekurangan anggota”.21
Di beberapa tempat menurut Van Gennep, kompensasi
atau yang disebutnya sebagai “tebusan” berlaku atas diri mempelai perempuan
dan dijalankan dalam serangkaian ritual upacara tertentu. Karenanya dalam
memberikan pemberian kompensasi ini tidak hanya bersifat ekonimis tetapi juga
ritualistik, dan pernikahan dilihat sebagai tindakan sosial yang tidak berakhir
setelah unsur ekonomi terpenuhi.22
Artinya faktor ekonomi sangat kental dalam
sebuah ritual pernikahan mulai dari konsumsi, kelancaran ritualistik, sampai pada
kompensasi yang dijelaskan diatas.
Setelah pemberian kompensasi yang lazimnya disebut “negosiasi”, akan
ada unsur inkorporasi (penggabungan dan penyatuan) dalam rangkaian ritual
pernikahan. Unsur ini dilakukan secara simbolik oleh mempelai perempuan dan
orang-orang yang punya hubungan dengan kedua mempelai. Tindakan itu seperti
memberikan ikat pinggang, gelang, cincin, atau pakaian untuk dikenakan,
mengikat pakaian masing-masing bersama-sama, menawarkan sesuatu untuk
21
Van Gennep, The Rites of Passage, 128. 22
Van Gennep, The Rites of Passage, 118.
25
dimakan dan diminum, makan bersama, duduk di kursi yang sama, makan dari
makanan atau hidangan yang sama, dan lain-lain. Selain itu, unsur inkorporasi ini
juga memberikan signifikansi kolektiv baik dari satu mempelai ke dalam
kelompok baru dan atau kedua kelompok atau totem. Ritual pernikahan juga
mengandung unsur inisiasi karena terjadi proses penggabungan ke dalam klan
keluarga tertentu. Proses inisiasi ini juga terjadi lewat ritual yang bersifat “fiktif”,
dimana dalam ritual itu ada tindakan-tindakan yang sangat fiktif namun sakral.
Tindakan-tindakan ini dilihat sebagai sebuah simbol inisiasi.23
Karenanya,
menurut Van Gennep simbol-simbol tersebut sangat penting untuk dipahami
secara detail.
Keseluruhan pandangan Van Gennep ini juga sejalan dengan pandangan
Cooley yang melihat tiga tahap sebuah adat pernikahan yang perhatian masing-
masing tahapan itu dipusatkan pada suatu kepentingan yang khusus: pertama,
proses terwujudnya perkaiwnan dengan tiga kemungkinan yakni menikah dengan
melamar (kawin minta), melarikan pacar (kawin lari), dan pengantin laki-laki
memasuki rumah tangga pengantin perempuan (kawin masuk); kedua, proses
pemenuhan kewajiban-kewajiban terhadap keluarga pengantin perempuan dan
pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, yang terpusatkan pada masalah mas
kawin; ketiga, pemanduan anggota baru (sang istri) itu ke dalam kelompok yang
dimasuki melalui pernikahan, yang pada masa lampau dilakukan dalam suatu
upacara tertentu.24
Fokus ketiga yang dijelaskan oleh Cooley merupakan bentuk
dan simbol inisiasi. Adanya simbol inisiasi yang terjadi memberikan penegasan
bahwa ritual pernikahan bersifat positif.
23
Van Gennep, The Rites of Passage, 133. 24
Cooley, Mimbar dan Takhta, 123-124 .
26
Disisi lain, mempelai tidak menjadi satu-satunya perhatian Van Gennep
dalam ritual pernikahan namun juga masyarakat. Menurutnya ritual pernikahan ini
juga dapat menyebabkan gangguan sosial yang tidak hanya melibatkan dua
individu tetapi beberapa kelompok dengan kapasitas anggota yang berbeda. Hal
ini memberikan modifikasi baru bagi masyarakat dalam hubungan mereka satu
sama lain, terjadi perubahan-perubahan, dan dapat menyebabkan gangguang
keseimbangan, seperti jumlah kelompok.25
Karenanya, ritual pernikahan biasanya
dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan mempertimbangkan
dampaknya dalam bidang pekerjaan individu dan masyarakat.
Pada akhirnya dapat dijelaskan bahwa ritual pernikahan merupakan
sebuah kesatuan sehingga bisa jadi ritus peralihan bisa bersifat inkorporasi dan
sebaliknya.26
Tindakan yang dilakukan dalam ritual ini memiliki arti sosial umum
yang menjurus pada sebuah sifat ritual pemisahan, transisi dan inkorporasi yang
identik dengan tindakan inisiasi. Karenanya ritual pernikahan sangat identik
dengan aspek-aspek penobatan yang bersifat simbolis,27
yang dalam konteks
tertentu Van Gennep menejermahkannya sebagai benda-benda suci atau mahkota
raja.
25
Van Gennep, The Rites of Passage, 139. 26
Van Gennep, The Rites of Passage, 131-134. 27
Van Gennep, The Rites of Passage., 141.
27
II.2. PENDAMPINGAN PASTORAL BERBASIS BUDAYA
II.2.1. Makna Pendampingan Pastoral Berbasis Budaya
Pendampingan berbasis budaya akan dilihat dari sudut pandang
pendampingan pastoral yang berbasis budaya. Pastoral secara tradisional berlaku
dalam kehidupan gerejawi dan merupakan tugas “pendeta” sebagai gembala bagi
jemaat atau “dombanya” dengan mengacu pada model pelayanan Yesus sebagai
“pastor sejati” yang tanpa pamrih bersedia memberikan pertolongan dan
pengasuhan kepada pengikutnya, turut serta mencerminkan tugas dan tanggung
jawab sebagai sesama manusia.28
Karena itu, tugas pastoral dalam rangka
pendampingan dan konseling tidak hanya dapat dilakukan oleh pendeta saja,
melainkan dapat dilakukan oleh setiap individu.
Dalam bingkai pastoral, pendampingan dapat menjadi dasar bagi
pengertian konseling dan menjadi landasan yang kukuh bagi
konseling.Pendampingan dapat dilakukan tanpa konseling namun konseling tidak
dapat dilakukan tanpa pendampingan.29
Hal ini terbukti dari fakta di abad XX
bahwa konseling pastoral yang terbentuk sesungguhnya mewarisi dua aliran
tradisi. Pertama, tradisi peradaban “mutual caring” (saling memedulikan dan
mendampingi) keluarga manusia universal. Artinya bahwa pendampingan pastoral
ini mewarisi hakikat keberadaan manusia universal yang saling mengasihi,
mencintai, memedulikan, memperhatikan, mendampingi, mengubah dan
menumbuhkan.30
Pendampingan dilihat sebagai cara manusia untuk
memberdayakan dan memberadabkan. Tanpa pendampingan manusia tidak
28
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 10 . 29
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 63. 30
Totok S. Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Konseling Pastoral (Jakarta:
Asosiasi Konselor Pastoral Indonesia, 2003), 20.
28
beradab dan berbudaya. Karenanya, dengan cara ini individu mampu
mempertahankan haekatnya sebagai manusia.
Kedua, berakar pada pendampingan atau pastoral care komunitas kristiani.
Komunitas kristiani sebagai bagian dari keluarga manusia universal
mengembangkan mutual caring sesuai iman, keyakinan, dan nilai yang dimiliki
imannya.31
Di sisi lain, meskipun berakar pada pendampingan dalam komunitas
kristen, namun pendampingan pastoral pada dasarnya berhubungan dengan
manusia tidak peduli kepercayaannya, kedudukan sosialnya atau prestisenya.
Pendampingan pastoral memang ditujukan pada kebutuhan-kebutuhan manusia
dalam perjalanan hidup, jadi selalu ada saja kemungkinan bahwa layanan pastoral
selalu di butuhkan.32
Dua aliran tradisi yang telah dijelaskan diatas menarasikan
proses pendampingan sesungguhnya merupakan dasar dan cara individu
memberadakan dirinya sebagai manusia yang saling menolong dan memedulikan
tanpa pandang bulu.
Dalam pastoral sebuah tindakan konseling mempunyai konotasi pada
pemberian nasihat atau bimbingan, sementara pendampingan memiliki aspek yang
lebih luas, yang dapat mencakup pula pemberian nasihat dan bimbingan.33
Pendampingan berasal dari kata kerja “mendampingi” yang merupakan suatu
kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi. Antara
pendamping dan orang yang didampingi terjadi suatu interaksi sejajar dan atau
relasi timbal balik. Karena itu pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan,
bahu-membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling
31
Wiryasaoutra & Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, 26. 32
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2 &3. 33
Van Beek, Pendampingan Pastoral 9 .
29
menumbuhkan dan mengutuhkan.34
Engel juga menyatakan bahwa pendampingan
merupakan sebuah proses pendidikan seumur hidup kepada tiap individu agar
mencapai tingkai kemandirian dan perkembangan secara hayat (lifelong
education).35
Karenanya pendampingan dapat dilihat sebagai bantuan untuk
memfasilitasi individu untuk mengembangkan kemampuan sesuai potensi dan
sistem nilai yang dianut, melakukan pilihan dan pengambilan keputusan atas
tanggung jawab secara mandiri. Dengan kata lain, pendampingan dilakukan agar
memampukan orang yang didampingi mampu menjalani hidupnya secara mandiri.
Ada beberapa anggapan dasar tentang pendampingan. Anggapan dasar
adalah pikiran, prinsip, ide utama atau paradigma yang dipakai sebagai acuan
dalam praktik pendampingan36
;
a. Sebagian praktisi memandang proses pendampingan sebagai
“percakapan” dimana sebuah tindakan pendampingan ataupun
konseling yang berorientasi pada percakapan. Pendampingan dianggap
sama dengan percakapan antara pendamping dan orang yang
didampingi. Percakapan sesungguhnya hanya merupakan salah satu
bagian dari pendampingan namun bukan satu-satunya bagian yang
terpenting karena sesungguhnya percakapan hanya mengacu pada
hubungan verbal dan tidak memperhatikan hal-hal yang nonverbal.37
b. Sebagian praktisi menganggap pendampingan sebagai proses
wawancara (interview). Bila pendampingan dianggap sebagai
34
Van Beek, Pendampingan Pastoral,10. 35
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 1. 36
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 51. 37
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 51-52.
30
wawancara maka pasti membutuhkan relasi verbal, dan agenda-
agenda yang susun sertabersifat informasi.38
c. Sebagian praktisi melihat pendampingan sebagai wawan wuruk.
Wawan berarti percakapan, wuruk dalam bahasa Jawa berarti
mengajar, mendidik, menasihati. Orientasi pendampingan adalah
pendidikan dan pengajaranyang cenderung sama dengan bimbingan
dan penyuluhan konseling di sekolah sedangkan dalam proses
pendampingan segala yang bersifat mengajari dan menggurui sangat
dihindari. Dalam hal ini, orang yang didampingi dianggap sebagai
orang yang tidak berpengalaman dan berpengetahuan, sehingga tak
jarang orang yang didampingi dilihat sebagai objek dan pendamping
kadang terpeleset menjadi penasehat legalistik dan moralistik.39
d. Ada praktisi yang menganggap pendampingan sebagai proses
konsultasi. Orientasi ini mengarahkan pendampingan sebagai sebuah
hubungan antara seorang ahli dan bukan ahli. Artinya orang yang
didampingi tidak mempunyai pengetahuan dan kemampuan apa-apa,
sedangkan pendamping dipandang sebagai seorang ahli yang
mengetahui segala sesuatu, khususnya seluk beluk persoalan yang
dialami oleh yang didampingi.40
e. Praktisi dengan kelompok ini memandang pendampingan sebagai
proses terapi. Pendampingan diarahkan pada penyembuhan penyakit
atau ketidaknormalan. Namun jika pendampingan hanya merupakan
orientasi terapi maka kualitas hubungan pendamping dengan orang
38
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 52-53. 39
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 53-54. 40
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi 55.
31
yang didampingi kurang mendapat perhatian dan pendamping akan
lebih menekankan pada metode dan teknik lebih utama daripada
kualitas hubungan kedua belah pihak.41
Kelima anggapan diatas mencerimkan berbagai tindakan pendampingan yang
“timpang” dan tidak disarankan, karena pendamping dan orang yang didampingi
harus berada dalam kedudukan yang seimbang dengan relasi timbal balik.42
Relasi
timbal balik ini tentu harus dilakukan ketika orang yang didampingi dan
mendampingi berjumpa atas kesepakatan bersama. Dalam paham ini,
Wiryasaputra berpendapat bahwa pendampingan dapat dipahami juga sebagai
sebuah perjumpaan pertolongan antara pendamping dan orang yang didampingi.43
Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong yang didampingi agar dapat
menghayati keberadaannya dan mengalami pengalamannya secara penuh dan
utuh, sehingga dapat menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah,
bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Proses
perjumpaan ini bersifat dinamis yang mempunyai banyak irama dan warna, yang
berasal dari interelasi dan interaksi antara pendampingan dan orang yang
didampingi.44
Artinya proses berjumpa yang terjadi harus berdasarkan keinginan
kedua pihak dalam relasi yang sangat seimbang, sehingga antara pendamping dan
orang yang didampingi bisa sama-sama belajar atau mendapat keuntungan.
Perjumpaan yang dilakukan oleh kedua belah pihak tentu dilakukan secara
sukarela dengan harapan pendamping menjadi pendamping dan orang yang
41
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 56-57. 42
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 9-10. 43
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 57-58 44
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 57-58.
32
didampingi makin menjadi yang didampingi. Artinya, pihak yang didampingi
makin mampu menghayati keberadaannya pada masa kini secara penuh dan utuh
serta tahap demi tahap dalam proses perjumpaan dan mengalami perubahan dan
pertumbuhan. Melalui proses pendampingan orang yang didampingi diharapkan
dapat menolong diri sendiri pada masa kini dan masa yang akan datang bila
menghadapi hal yang sama atau berbeda. Bahkan, orang yang didampingi
nantinya diharapkan mampu menolong orang lain di lingkungannya yang
membutuhkan. Dalam pendampingan, pendamping bersedia memasuki
pengalaman orang yang didampingin namun tidak akan menjadi sama dengan
orang yang didampingi. Dia tetap berasal dari dunia lain, namun bersedia
memasuki dan dimasuki oleh dunia orang yang didampingi seutuhnya.45
Proses
seperti ini-lah yang dinamakan pendampingan karena terjadi dalam sebuah
kesejajaran.
Wiryasaputra mendeskripsikan tiga jenis pendampingan yaitu; (a)
Pendampingan eksistensial oleh pendamping eksistensial. Pendamping jenis ini
dilakukan oleh semua anggota keluarga manusia secara universal, dimana pun
mereka tinggal sebagai perwujudan dari hakikat dasar keberadaan manusia;
holistik dan keperjumpaan; (b) Pendampingan fungsional oleh pendamping
fungsional. Pendampingan yang dilakukan oleh para pelaku profesi nonpsikologi
yang ingin menggunakan konseling sebagai nilai tambah bagi profesinya sendiri.
Artinya mereka tidak perlu berubah profesi, namun secara fungsional mereka
dapat melaksanakan pendampingan; (c) Pendampingan profesional oleh
pendamping profesional. Jenis ini dilakukan oleh kaum profesional secara penuh
45
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi,59.
33
waktu. Pendampingan dan konseling yang dilakukan oleh orang yang
dipersiapkan, didik, dan dilatih untuk melakukan pendampingan secara purna
waktu sebagai jalan hidup. Kelompok ini juga berkewajiban untuk membantu dan
melengkapi anggota masyarakat agar saling mendampingi. Tiga jenis
pendampingan ini mempunyai tugas yang sama yaitu tindakan membantu orang
yang didampingi untuk mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh.
Pendamping membantu orang yang didampingi merayakan suka dan duka
kehidupan secara penuh dan utuh.46
Pendamping adalah pengiring, pengantar
yang ikut serta dalam perayaan suka dan duka kehidupan orang yang
didampingi.47
Deskripsi tentang tiga jenis pendamping ini kembali menegaskan
bahwa tugas pendampingan tidak hanya dilakukan oleh kaum profesional seperti
psikolog dan kaum fungsional seperti tokoh agama, melainkan semua idnividu
mampu melakukan tindakan pendampingan.
Sebuah tindakan pendampingan menurut Clinbell48
harus bersifat holistik
(menyeluruh) yang berarti tindakan pendampingan harus beroritentasi pada
sistem-sistem yang berarti keutuhan orang dilihat dalam keterlibatannya di segala
hubungan-hubungannya yang penting dan saling ketergantungan dengan orang-
orang, kelompok-kelompok, dan institusi-institusi. Hal ini berarti lingkungan
individu harus lebih diperhatikan oleh pendamping, karena keuntuhan individu
tidak terlepas pisah dari lingkungan dan berbagai pengalaman hidupnya.
46
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 59. 47
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 59. 48
Clinbell berbicara dalam konsep pastoral yang didalamnya terdapat tindakan
pendampingan (penggembalaan) dan tindakan konseling. Howard Clinebell,Tipe-Tipe Dasar
Pendampingan Pastoral dan Konseling (Yogjakarta: Kanisius, 2006), 33.
34
Pandangan Clinebell dijelaskan oleh Engel49
bahwa hakekat manusia
sebagai mahkluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan
hubuungan dengan orang lain secara timbal-balik, karenanya setiap individu
saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Ada yang tidak berasal dari latar
belakang budaya yang sama tetapi ada juga yang tidak. Biasanya, individu yang
berlatar belakang ras dan etnis yang sama diartikan mempunyai budaya yang
sama namun pada tataran subculture bisa saja berbeda dalam hal pandangan
hidup, pola pikir, kesadaran, tanggung jawab, dan integritas diri sehingga pada
akhirnya mengantar individu pada sebuah interkasi lintas budaya. Tataran
subculture yang dilihat oleh Engel merujuk pada pengertian budaya sebagai
bentuk pola pikir masing-masing individu yang dapat tercipta dari latar belakang
keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Budaya dalam bentuk ini tidak bisa
disamaratakan pada setiap individu karena informasi atau konstruk yang terbentuk
dalam individu berbeda-beda walaupun individu-individu tersebut berasal dari
etnis atau ras yang sama. Karena alasan ini, tindakan pendampingan harus dengan
jeli melihat konstruk budaya yang terbangun dalam masing-masing individu.
Matsumoto berpendapat bahwa budaya dilihat sebagai sekumpulan sikap,
nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau
sarana komunikasi lain. Namun komunikasi yang dilakukan dari satu generasi ke
generasi lain pun tidak bisa disamakan karena satu kumpulan ide, sikap,
keyakinan, dan perilaku yang dimiliki berpotensi berubah karena mengalami
49
J. D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016), 1.
35
proses atau kontak dengan budaya-budaya yang lain.50
Van Beek mengungkapkan
bahwa hal ini juga terjadi dengan manusia yang memiliki budaya itu, ia
mencontohkan seorang manusia yang berasal dari Sumatera lalu berpindah ke
Jakarta akan disentuh ataupun akan dikejutkan oleh banyak aspek dari kelompok
kebudayaan-kebudayaan lain, sehingga dia menjadi orang baru walaupun
identitasnya sebagai orang dari sumatera.51
Contoh ini merupakan realitas
kekinian individu dalam masyarakat sehingga tidak logis jika menyimpulkan dan
menggambarkan budaya seseorang dari ras atau asalnya.
Dari pandangan diatas dapat dipahami bahwa budaya adalah sebuah pola
pikir dan tindakan individu yang juga berasal dari lingkungannya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Matsumoto bahwa budaya dapat merupakan konstruk
sosiopsikologis, yaitu suatu kesamaan dalam kelompok individu dengan
fenomena psikologis seperti nilai, sikap, keyakinan, dan perilaku. Anggota-
anggota suatu budaya tertentu punya persamaan sedangkan yang lain tidak.52
Hal
senada juga dilihat oleh Dayaksini dan Yuniardi yang menggambarkan budaya di
suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu, karenanya ada dua hal penting
yang menjadi penekanan yaitu; (1) Adanya penyebaran kepemilikan (sharing)
dari aspek-aspek kehidupan dan perilaku. Artinya ada sebuah ketegasan derajat
kepemilikan bersama dari individu-individu yang menjadi anggota dalam
meyakini dan memegang nilai, sikap, kepercayaan, norma, ataupun perilaku yang
sama. Kepemilikan bersama atas hal-hal yang fisik (sharing in the phisical sence)
dan psikologis (sharing in the psychological consiousnes); dan (2) Adanya hal-hal
50
David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Yogjakarta; Pustaka Pelajar,
2004), 6. 51
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 57-58. 52
Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, 6.
36
yang dibagikan kepemilikannya (things are shared). Artinya “apa yang dibagi”
bukanlah kesamaan atribut fisik, morfologi wajah, kebangsaan atau wilayah
hidup, melainkan ide, sikap, nilai, dan keyakinan isi kepala dari setiap individu
yang hidup tersebut.53
Dari kedua pandangan diatas dapat diketahui bahwa budaya
bukan tentang sebuah ras atau kebiasaan yang dalam satu kelompok yang
diturunkan terus-menerus. Melainkan pola pikir masing-masing individu yang
merasa memiliki dan menghayati melalui interkasinya bersama dengan individu
lain. Masing-masing individu juga dapat membagi keyakinan dan pola pikirnya
sehingga dapat mempengaruhi individu yang lain.
Matsumoto dan Juang berpendapat bahwa budaya punya kontribusi
mempengaruhi kehidupan manusia. Budaya itu sendiri akan menyentuh,
menggambarkan dan menjelaskan berbagai perilaku, peristiwa, karakteristik
umum, sandang pangan, perumahan dan teknologi, ekonomi dan transportasi,
kegiatan individu dan keluarga, komunitas dan pemerintah, kesejahteraan, agama
dan sains, seks dan siklus kehidupan. Pandangan ini merujuk pada pemahaman
budaya yang dilihat sebagai sistem aturan yang dinamis, eksplisit, implisit yang
dibentuk oleh kelompok untuk memastikan kelangsungan hidup individu dalam
kelompok itu. Hal ini relatif stabil namun berpotensi untuk berubah sepanjang
waktu. Menurut mereka budaya tidak hanya mengacu pada satu bentuk perilaku,
aturan, sikap, atau nilai tunggal, melainkan pada keseluruhan sistem dalam
konsturksi ini.54
Budaya tidak harus berakar dari biologi atau ras. Seorang
individu yang dilahirkan dengan karakteristik fisik dan biologis tertentu dapat
didefinisikan sebagai bentuk ras tertentu, namun tidak berarti bahwa individu
53
Tri Dayaksini & Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, (Malang; UPT
Muhammadiyah Malang, 2008), 8. 54
Matsumoto & Juang, Culture and Psychology, 9-11
37
mewarisi budaya dari ras itu. Singkatnya, budaya merupakan perilaku yang
dipelajari sedangan ras tidak,55
sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya
merupakan suatu konstruk individual-psikologis sekaligus konstruk sosial makro
yang berarti sampai batas tertentu, budaya ada di dalam setiap dan masing-masing
individu secara individual sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global.56
Dalam paham ini, poin penting Matsumoto dan Juang dalam melihat budaya
adalah sebuah komposisi berfikir dari seorang individu yang dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dan pengalaman pribadi setiap individu.
Kajian budaya juga mengenal konsep ethic dan emic. Istilah ini berasal
dari sebuah studi bahasa oleh Pike (1954), yaitu phonetics atau studi yang
mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa
yang universal pada semua budaya, sedangkan phonemic atau studi yang
mempelajari suara-suara yang unik pada suatu bahasa tertentu.57
Selanjutnya Pike
menggunakan istilah emic dan ethic untuk menjelaskan sudut pandang (point of
view) dalam mempelajari perilaku dalam kajian budaya. Ethic dillihat sebagai titik
pandang dalam mempelajari budaya dari luar sistem budaya tersebut, dan
merupakan pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem yang asing.
Sedangkan emic sebagai titik pandang merupakan studi perilaku dari dalam sistem
budaya tersebut atau berasal dari budaya itu sendiri.58
Matsumoto dan Juang
berpendapat bahwa konsep ethic mengacu pada aspek-aspek kehidupan yang
tampak konsisten di berbagai budaya atau dengan kata lain ethic mengacu pada
55
Matsumoto & Juang, Culture and Psychology,16. 56
Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, 6 57
Matsumoto & Juang, Culture and Psychology,20. 58
Dayakisni & Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya, 13.
38
aspek-aspek kehidupan yang tampak berbeda dengan budaya secara umum, yang
berarti emic mengacu pada kebenaran atau prinsip khusus dalam suatu budaya.
Dari kedua konsep ini, pendekatan pendampingan budaya sangat cocok
dengan konsep emic karena titik pandang konsep ini berasal dari dalam budaya itu
sendiri. Pendampingan harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek sosial
dan budaya aspek sosial dan budaya secara umum yang berlaku dalam masyarakat
dimana individu berada karena dapat mempengaruhi cara pandang dan pola pikir.
Latar belakang budaya dari klien harus lebih diperhatikan. Menurut Engel, setiap
individu dan kelompok tertentu merupakan mahkluk sosial dan berbudaya
sehingga pasti memiliki falsafah hidup dan nilai spiritual yang berkembang
dalamnya. Ia melihat hal ini setara dengan konsep indegenous counseling yang
merupakan suatu pendekatan pada konteks keluarga, sosial budaya, dan ekologi
yang memiliki sistem nilai, makna dan keyakinan.59
Artinya sebuah tindakan
pendampingan pastoral harus berbasis budaya atau pola pikir individu yang pasti
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, pengalaman pribadi, dan keluarga.
Dengan demikian, sebuah pendampingan berbasis budaya harus selalu
mengacu pada satu prinsip bahwa individu sebagai mahkluk yang berbudaya dan
budaya yang dimiliki individu diliat sebagai konstruk individual-psikologis
sekaligus konstruk sosial makro. Dengan kata lain, pendamping harus melihat
dengan jeli budaya atau pola pikir klien dengan turut melihat lingkungan dimana
si klien berada. Budaya yang ditunjukan oleh individu menjadi sangat penting
ketika melihat budaya itu sendiri, karena dari budaya itu muncul sebuah
kebenaran dan dasar individu bertindak dan berfikir.
59
Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, 15.
39
II.2.2. Tahapan Pendampingan Pastoral
Wiryasaputra berpendapat bahwa tahapan-tahapan pendampingan pastoral
harus dapat dipahami dengan baik mulai dari awal, pertengahan, dan akhir yang
jelas. Tiga tahapan proses pendampingan yakni, awal (menciptakan hubungan
kepercayaan), tengah (anamnesis, sintesis, dan diagnosis, treatment planning,
treatment execution, review, dan evaluasi), dan akhir (pemutusan hubungan)
proses yang utuh dan sempurna. Tahap pertama menurut Wiryasaputra adalah
menciptakan hubungan kepercayaan. Pendamping berusaha menciptakan
kepercayaan, karena pendampingan berdasar pada hubungan kepercayaan. Tahap
kedua adalah mengumpulkan data atau anamnesis. Dalam tahap ini pendamping
berusaha mengumpulkan informasi, data atau fakta namun tidak boleh bersifat
interogatif. Tahap ketiga adalah menyimpulkan atau sintesis dan diagnosis.
Pendamping melakukan analisis data, mencari kaitan antara satu gejala dan gejala
yang menjadi permasalahan utama atau keprihatinan batin pokok yang sedang
digumuli oleh orang yang didampingi. Tahap ini sering disebut pula sebagai tahap
pembuatan diagnosis. Tahap keempat adalah pembuatan rencana tindakan
(treatment planning). Pendamping diharapkan membuat rencana pertolongan,
tindakan apa yang akan dilakukan, sarana apa yang akan digunakan, pendamping
juga menentukan kapan rencana itu akan dilakukan. Tahap kelima adalah tindakan
portolongan (treatment execution). Dalam tahap ini pendamping melakukan
tindakan pertolongan yang telah direncanakanyang telah direncanakan. Tahap
keenam, review dan evaluasi (review and evaluationi). Evaluasi dipakai sebagai
alat untuk mengambil pelajaran bagi pendaming dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelayanan pendampingan. Tahap ketujuh adalah pemutusan
40
hubungan (termination). Setelah tahap review dan evaluasi, pendamping perlu
mengatur pemutusan hubungan pendampingannya.60
Hal penting yang harus
digarisbawahi dalam konsep tahapan pendampingan ini yakni, setiap tahapan ini
adalah yang umum dipraktekan oleh seorang professional, sedangkan teknik
pendekatan pendampingan dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan orang yang
diampingi.
Sementara itu, Engel dalam bukunya mengungkapkan beberapa teknik
pendampingan yang umumnya dilakukan oleh seorang pendamping atau konselor
dalam suatu tindakan pastoral. Teknik pertama yakni, self exploration (eksplorasi
diri) yang membantu orang yang didampingi menyingkapkan masalah low
spiritual self-esteem. Self-estem sendiri merupakan persepsi tentang citra diri
individu yang dikembangkan dari waktu ke waktu.61
Dalam teknik ini terjadi
eksplorasi hubungan, kebiasaan, pola pikir, perasaan, perilaku, pilihan, dan
pengalaman yang mungkin menjadi sumber low self esteem. Tindakan ini
dilakukan agar dapat meningkatkan kesadaran klien.62
Artinya, pendamping
menganggap kesadaran orang yang didampingi atas dirinya sendiri dapat
memberikan sebuah celah kesadaran dan keyakinan atas dirinya sendiri.
Setelah melihat citra diri orang yang didampingi, pendamping akan
melakukan tahap kedua yakni, self acceptence (penerimaan diri). Dengan konsep
ini, pendamping membantu orang yang didampingi mengembangkan kekuatannya
sendiri untuk mengolah kelemahannya. Pendamping akan meminta orang yang
didampingi untuk mengidentifikasi kekuatan yang dapat menjadi kelemahan dan
60
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 93-96. 61
J. D. Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website (Yogjakarta: PT
Kanisius, 2019), 19-22 62
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 20
41
kekuatan mereka.63
Artinya, diatas segala yang terjadi dalam diri orang yang
didampingi, ia mampu menerima serta mengelola diri sendiri dengan kelebihan
dan kelemahannya.
Jika ditemukan ada beberapa masalah yang perlu dibahas dengan
pendamping, maka pendamping akan melakukan tahap ketiga yakni, self
detachment. Tindakan ini berarti pendamping membantu orang yang didampingi
agar memiliki ketegasan diri untuk mengambil jarak dan sikap terhadap gejala
atau maslalah yang berhubungan dengan masalah.64
Pendamping akan membantu
orang yang didamping untuk melihat aspirasi, cita-cita serta berbagai nilai yang
ada dalam dirinya agar ia dapat memiliki sudut pandang baru.
Tahap keempat yakni self –transendence. Dalam tahapan ini, pendamping
membantu klien untuk mengatasi diri sendiri sendiri dan bergerak ke arah nilai-
nilai kreatif dan pengalaman yang positif.65
Artinya, orang yang didampingi
dibantu untuk dapat melampaui ekspetasi awalnya dengan mengembangkan nilai
dalam dirinya sendiri melampaui segala nilai dan perilaku salah lainnya.
Tahap kelima yakni attitude modification. Tahapan ini dilakukan untuk
dapat mengubah penderitan dan rasa bersalah dari orang yang didampingi.
Modifikasi sikap adalah cara melahirkan nilai-nilai sikap yang membantu orang
yang didampingi bertumbuh dengan kekuatan dan kepercayaannya sendiri.66
Dengan modifikasi sikap, orang yang didampingi juga dapat melihat masalah
dengan sudut pandang yang berbeda. Artinya, ia dapat mengubah semua perasaan
negatif yang berlebih sehungga dapat mengevaluasi diri dengan seimbang.
63
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 31 64
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 42 65
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 49 66
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 59
42
Tahap keenam yakni self-integrity yang merupakan integritas diri terhadap
masalah kebutuhan pada tingkat keyakinan, yaitu penghargaan dan nilai diri.
Orang yang didampingi akan dibantu untuk mengakeses kemampuan dan
kepercayaan dirinya karena fokus orientasi utama integritas diri yakni
penghargaan dan pengutuhan diri.67
Oleh karena itu, dalam prakteknya
pendamping berusaha untuk mengembangkan pola pikir yang menghargai diri
sendiri agar ia dapat menemukan makna hidupnya.
Setelah keenam tahapan selesai dilakukan, pendamping akan melakukan
tahapan ketujuh yakni orientation of meaning dengan pendekatan penemuan
makna. Sasaran pencapaian tahap ini yaitu potensi diri, aktivitas diri, dan evaluasi
diri positif.68
Ini merupakan tahap akhir dari proses pendampingan, karena itu
pendamping dan orang yang didampingi berdialog dengan tidak memusatkan
perhatian ada orang yang didampingi atau apa yang dialaminya melainkan pada
makna yang telah dan atau akan ditemukan olehnya.
II.2.3. Fungsi Pendampingan Pastoral
Van Beek mengatakan dalam buku “Pendampngan Pastoral”, yang
dimaksud dengan fungsi pendampingan merupakan tujuan-tujuan operasional
yang hendak dicapai dalam memberikan pertolongan kepada orang lain.69
Ia
mengemukakan enam fungsi pendampingan pastoral yaitu membimbing,
mendamamaikan atau memperbaiki hubungan, menopang atau menyokong,
menyembuhkan, mengasuh, mengutuhkan. Fungsi pendampingan ketujuh di lihat
oleh Wiryasaputra dalam bukunya “Ready to Care” yaitu fungsi memberdayakan.
67
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 69 68
Engel, Panduan Layanan Logo Konseling Berbasis Website, 77 69
Van Beek, Pendampingan Pastoral, 13-16.
43
(1) Fungsi Membimbing
Fungsi ini penting dilakukan untuk dapat menolong orang yang
didampingi agar dapat memilih atau mengambil keputusan tentang apa yang akan
ditempuh atau apa yang menjadi masa depannya. Clebsch dan Jaekle melihat
fungsi membimbing yang dilakukan oleh konselor sebagai tindakan yang
membimbing dan atau membuat konseli untuk melihat dirinya sendiri (bisa seperti
potensi diri atau pengetahuan didalam diri) untuk menemukan cara yang paling
tepat untuk melihat apa yang harus dilakukan ketika ada dalam kondisi-kondisi
yang buruk.70
Menurut mereka, pengetahuan-pengetahuan seperti itu akan
menuntun individu untuk berguna bagi dirinya sendiri ketika mengalami masalah.
Artinya konseli dimampukan untuk terampil memilih dan mengambil keputusan
tentang hal-hal positif yang membangun dirinya, serta menentukan langkah-
langkah yang harus diambil.71
Dengan kata lain, pendamping membimbinig orang
yang didampingi agar mampu menyelesaikan persoalan dan urusan hidupnya
sendiri.
(2) Fungsi mendamaikan atau memperbaiki hubungan
Fungsi ini dipakai oleh pendamping untuk membantu orang yang
didampingi bila mengalami konflik batin dengan pihak lain yang mengakibatkan
putusnya atau rusaknya hubungan. Manusia disebut juga mahkluk sosial, salah
satu kebutuhan manusia untuk hidup dan merasa aman adalah hubungan yang
baik dengan sesama. Apabila hubungan tersebut terganggu maka terjadilah
penderitaan yang berpengaruh pada masalah emosional. Individu terkadang tidak
sadar pada posisi dimana ia membutuhkan orang ketiga untuk melihat secara
70
Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Pastoral Historical Perspetive (New York, Harper
& Row, 1967), 49. 71
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling,5-6.
44
objektiv posisi tersebut, pada saat itu pendamping pastoral berfungsi sebagai
mediator atau penengah untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan
terganggu.72
Hal ini berarti pendamping menengahi dan membantu orang yang
didampingi melihat kegelisahannya sehingga dapat memperbaiki hubungan atau
keadannya sendiri. Pendamping menengahi pihak yang terlibat dalam konflik, ia
memfasilitasi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik untuk membicarakan
konfliknya secara terbuka, adil, dan jujur. Sampai tahap ini, kedua belah pihak
diharapkan dapat mengambil jalan keluar yang saling menumbuhkan dan menjalin
hubungan kembali. Pendamping turut menciptakan ruang bersama bagi kedua
belah pihak untuk saling menumbuhkan.73
Artinya pendamping menempatkan
posisinya ditengah diantara keduabelah pihak dan mengizinkan kedua untuk
saling menumbuhkan bukan pendamping.
(3) Fungsi menopang atau menyokong
Menurut Clinebell fungsi ini dapat membantu menolong orang yang
didampingi (dalam hal ini orang yang terluka) agar dapat bertahan dan mengatasi
suatu kejadian yang terjadi pada waktu lampau.74
Sepakat dengan Clinebell,
Wiryasaputra menyatakan fungsi ini dilakukan agar dapat membantu orang yang
didampingi menerima keadaan sekarang sebagaimana adanya, kemudian berdiri
diatas kaki sendiri dalam keadaan yang baru, serta bertumbuh secara penuh dan
utuh.75
Karena itu, Van Beek menjelaskan bahwa fungsi menopang bukan pada
tindakan dan kata-kata melainkan kehadiran kita sebagai bentuk bantuan bagi
merekea bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Sokongan
72
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi,91 73
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 91. 74
Clinebell, Tipe-Tipe Pendampingan Pastoral dan Konseling, 53. 75
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 90.
45
berupa kehadiran dan sapaan yang meneduhkan dan sikap yang terbuka akan
mengurungi penderitaan mereka. Sokongan ini juga dapat membantu mengurangi
penderitaan yang begitu memukul.
Engel menyatakan bahwa fungsi menopang, menolong orang yang
didampingi (konseli) mengalami luka atau sakit untuk bertahan menghadapi dan
melewati masa-masa sulit yang dialami, menerima kenyataan sebagimana adanya
mandiri dalam keadaan yang baru, serta tumbuh secara penuh dan utuh.76
Menopang atau menyokong sebagai fungsi pastoral dimaksudkan sebagai
penghiburan dan penguatan yang dirasakan konseli dari relasi pastoral sewaktu
ada kesusahan karena mengalami kehilangan, rasa sedih, sakit dan penderitaan.
Dari pandangan-pandangan diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa fungsi
menopang dan menyokong diperlukan setiap individu dalam menjalani hidup agar
ia mampu menjalani kehidupan kekiniannya secara utuh.
Fungsi menopang dibedakan oleh Clebsch dan Jaekle dalam empat tugas
yakni; (a) Tugas penjagaan (preservation), tugas ini dilakukan menjaga atau
menopang orang yang didampingi (konseli) agar tidak berlarut-larut dalam
kehilangan, kesedihan, dan kebingungan yang semakin dalam;77
(b) tugas
penghiburan (consolation) tugas ini dapat dilakukan oleh siapa saja tergantung
kepercayaan yang diberikan oleh yang didampingi.78
Namun dalam tugas ini si
pendamping membantu yang didampingi (konseli) untuk membantu meringankan
beban bahkan ketika si konseli tidak dapat menghibur dirinya sendiri; (c) tugas
pemantapan (consolidation), tugas ini dilakukan dengan berusaha untuk melihat
kembali sumber daya atau mengerahkan seluruh totalitas dirinya agar konseli
76
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 6. 77
Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, 44. 78
Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling,7.
46
mampu memecahkan masalahnya sendiri;79
(d) tugas pemulihan (redemption)
membantu si konseli agar ia mampu membangun kehidupanya kembali agar ia
dapat melanjutkan hidupnya agar ia dapat mendapat suatu kepenuhan hidup yang
baru80
. Tahapan ini membuktikan bahwa dalam kasus tertentu pendamping tidak
hanya bisa menjadi penengah tetapi menjadi orang yang turut melakukan
tindakan-tindakan tertentu dan statusnya bisa berubah menjadi konselor.
(4) Fungsi menyembuhkan
Fungsi ini dapat dipakai oleh pendamping ketika melihat adanya
keadaan yang dapat dan perlu dikembalikan ke keadaan semula ataupun
mendekati keadaan semula81
. Fungsi menyembuhkan ini penting dalam arti bahwa
melalui pendampingan yang berisi kasih sayang, rela mendengarkan segala
keluhan batin, dan kepedulian yang tinggi akan membuat seseorang yang sedang
menderita mengalami rasa aman dan kelegaan sebagai pintu masuk ke arah
penyembuhan yang sebenarnya. Van Beek melihat emosi/perasaan yang tertekan
dan tidak terungkap melalui kata-kata atau ungkapan perasaan (menangis, dll).
Kemungkinan akan disalurkan melalui disfungsi tubuh. Ketika cemas, takut,
gelisah, hal itu sering berakibat pada tubuh, misalnya rasa mual, pusing, sakit
perut, dada sesak, dan sebagainya. Keadaan ini menurut Wiryasaputra dan
Handayani sebagai gejala yang tingkah laku yang disfungsional.82
Dalam konteks
ini, hal yang dianggap menolong adalah bagaimana pendamping melalui
pendekatannya mengajak menderita untuk mengungkapkan perasaan batinnya
yang tertekan. Hal ini dilakukan agar orang yang didampingi dapat menciptakan
79
Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, 47. 80
Clebsch & Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, 48. 81
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 88. 82
Wiryasaputra &Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, 97.
47
kembali keseimbangan (homeostasis) yang baru, fungsional, dan dinamis.
Wiryasaputra memberikan contoh bagaimana fungsi ini dapat dilakukan adalah
dengan teknik katarsis, dimana orang yang didampingi difasilitasi untuk
mengeluarkan unek-unek yang dibenamkannya (atau yang diumpamakan dengan
telur busuk yang ada dalam hartinya.83
Hal ini dikarenakan orang suka
menyimpan rapat-rapat atau membenamkan dalam-dalam berbagai sampah
kejiwaan dalam batinnya. Tidak jarang orang hidup dengan “unfinished emotional
or psychological business”atau masalah perasaan atau psikologis yang tidak
terselesaikan.84
Fungsi menyembuhkan mementingkan kehadiran pendamping
bersama dengan orang yang didampingi, kehadiran ini berisi kerelaan untuk
mendengarkan keluh kesah dari orang yang didampingi agar ia tidak hidup
bersama dengan masalah perasaannya.
(5) Fungsi mengasuh
Clinebell melihat fungsi mengasuh sama dengan memelihara.
Menurutnya tujuan fungsi mengasuh atau memelihara adalah untuk memampukan
orang (orang yang didampingi) untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada
pada dirinya.85
Selaras dengan Clinebell, Van Beek memberi contoh fungsi
mengasuh dalam proses pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dalam proses
itu mengalami perubahan bentuk dan fungsi.Perkembangan yang terjadi pada bayi
meliputi aspek emosional, cara berpikir, motivasi dan kemauan, tingkah laku,
kehidupan rohani, dalam interaksi dan sebagainya. Demikianlah dalam hal
menolong mereka yang memerlukan pendampingan. Pendamping melihat potensi
apa yang dapat menumbuhkembangkan kehidupannya sebagai kekuatan yang
83
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 88. 84
Wiryasaputra & Handayani, Pengantar Konseling Pastoral, 97 85
Clinebell melihat potensi yang ada dalam dirinya adalah pemberian sang pencipta.
48
dapat diandalkan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Pendamping perlu
menolong orang yang didampingi untuk berkembang. Karenanya diperlukan
pengasuhan ke arah pertumbuhan melalui proses pendampingan.
(6) Fungsi mengutuhkan
Fungsi mengutuhkan merupakan pusat karena sekaligus merupakan
tujuan utama dari pendampingan pastoral, yaitu pengutuhan kehidupan manusia
dalam segala aspek kehidupannya, yakni fisik, sosial, mental, dan spiritual. Lawan
dari keutuhan adalah kerusakan, keretakan, kehancuran, dan kebobrokan yang
menyebabkan penderitaan, dan dalam kasus seperti ini Van Beek lebih
menyarankan adanya tindakan lanjut yaitu konseling.
(7) Fungsi memberdayakan
Fungsi ini disebut sebagai “membebaskan” atau “memampukan”,
“memperkuat” (capacity building). Artinya pendamping memberdayakan dan atau
membantu orang yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada
masa depan ketika kembali menghadapi kesulitan, dan pada tahap tertentu dapat
pula menjadi pendamping bagi orang lain. Dalam usaha ini, maka orang yang
didampingi diharapkan tidak selalu bergantung pada pertolongan orang lain.
Selain dari itu, bila kondisi memungkinkan ia akan dapat menjadi penolong
sesama dan lingkungannya. Pendamping memfungsikan dirinya sebagai mitra
atau fasilitator yang memberdayakan, membebaskan, dan membangun kekuatan
atau kemampuan.86
Artinya sebagai fasilitator pendamping hanya memberdayakan
orang yang didampingi untuk menjadi dan menolong dirinya sendiri.
86
Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi, 92-93.
49
II. 3. Rangkuman
Dari berbagai penjelasan tentang teori-teori diatas, ada dua kesimpulan
besar yang dapat diambil;
1. Ritual memiliki rangkaian kegiatan yang sesuai dengan aspek aktivitas
manusia dan memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang ada dan
diobjekan sehingga dapat mengungkapkan perilaku dan perasaan yang
dapat juga membentuk disposisi pribadi. Artinya setiap objek itu
menjadi “yang nyata” bagi individu sehingga membentuk pikiran dan
perasaan individu, karenanya ritual juga dapat dilihat sebagai bentuk
kategori adat perilaku yang dibakukan. Ritual juga dapat meningkatkan
produktivitas keseharian individu, hal ini terjadi karena ritual tidak dapat
dilepaspisahkan dari kehidupan manusia. Ritual dan manusia keduanya
berjalan beriringan karena manusia selalu merayakan tahapan-tahapan
dalam hidupnya dengan menggunakan sebuah ceremony, termasuk
sebuah pernikahan.
2. Pernikahan adalah salah satu ritual peralihan fase kehidupan setiap
mansusia. Dalam ritual ini dalam beberapa daerah mengandung
beberapa fase yaitu transisi dan inkorporasi. Fase transisi ini dilihat
sebagai masa-masa pertunangan sebelum pada akhirnya masuk dalam
proses inkorporasi. Setelah fase pertunangan ada fase inkoporasi yang
menjadi payung besar dalam sebuah ritual pernikahan, yang tentunya
mengadung unsur ritual pemisahan karena salah satu mempelai harus
meninggalkan kolektivitasnya dan masuk dalam kolektivitas yang baru
sehingga membutuhkan inkorporasi. Dalam fase ini, setiap daerah
50
menyusun acara ritualnya sesuai dengan ide dan pemaknaannya masing-
masing. Inkorporasi identik dengan sebuah makna inisiasi karena
menyatukan dua individu dan menggabungkan dalam satu kolektivitas,
karenanya faktor ekonomi dalam ritual ini sangat diperhatikan karena
pada beberapa daerah unsur ekonomi sangat berperan penting.
3. Pendampingan berbasis budaya melihat individu secara holisitik dengan
memperhatikan budaya yang dimiliki oleh individu. Budaya dalam
paham ini tidak berasal dari etnis atau ras individu melainkan berkaitan
dengan konstuk pola pikir individu dan apa yang menjadi objek atau
acuan berpikir individu. Pola pikir individu bisa saja berasal dari banyak
aspek dan proses yang dilewati individu. Karenanya latar belakang
individu baik lingkungan, latar belakang pendidikan, agama, ras, etnis,
ritual-ritual dalam masyarakat, nilai yang ada dalam masyarakat dimana
ia tinggal harus dipahami dan didalami oleh pendamping.
4. Ada beberapa teknik pendekatan pendampingan pastoral yang dilakukan
oleh para profesional antara lain; Tahap awal, tengah akhir. Tahap awal
pendamping akan membangun rasa percaya untuk klien, tahap tengah
pendamping mulai melakukan anamnesis, sintesis, dan diagnosis,
treatment planning, treatment execution, review, dan evaluasi.
Sedangkan tahap akhir adalah pendamping melihat waktu pemutusan
tindakan pendampingannya berdasarkan hasil pada tahap kedua. Namun
secara terperinci, langkah pendampingan terdiri dari beberapa tahap
yakni; self-exploration, self-acceptance, self-detachment, self-
51
trancendence, attitude modification, self-integrity, orientation of
meaning.
5. Terdapat tujuh fungsi pendampingan yakni fungsi membimbing, fungsi
mendamaikan atau memperbaiki hubungan, fungsi menopang atau
menyokong, fungsi menyembuhkan, fungsi mengasuh, fungsi
mengutuhkan, dan fungsi memberdayakan.