Post on 19-Mar-2019
8
BAB II
PERLINDUNGAN MEREK TERKENAL DALAM HUKUM
MEREK INDONESIA
A. Konsep Merek dan Merek Terkenal
1. Konsep Merek
Merek sebagai Hak Kekayaan Intelektual pada dasarnya ialah tanda untuk
membedakan asal barang dan/atau jasa dari suatu perusahaan dengan barang
dan/atau jasa perusahaan lain. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan
memberikan jaminan akan kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan
mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang
beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.1
Harsono Adisumarto memberikan pengertian merek adalah sebagai
berikut:2
Merek adalah tanda pengenal yang membedakan milik seseorang
dengan milik orang lain, seperti pada pemikiran ternak dengan
memberi tanda cap pada punggung sapi yang kemudian
dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap
seperti ini memang merupakan tanda pengenal untuk
menunjukkan bahwa hewan yang bersangkutan adalah milik
orang tertentu. Biasanya, untuk membedakan tanda atau merek
digunakan inisial dari nama pemilik sendiri sebagai tanda
pembedaan.
1 Rahmi Jened, Implikasi Persetujuan TRIPs Bagi Perlindungan Merek di Indonesia, Yuridika,
Surabaya, 2000 (selanjutnya disingkat Rahmi Jened I), h. 14. 2 Harsono Adisumarto, Hak Milik Perindustrian, Akademika Pressindo, Jakarta, 1990, h.44.
9
Pengertian merek berdasarkan UU Merek, Merek adalah tanda yang dapat
ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi,
suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh barang atau badan
hukum dalam kegiatan barang dan/atau jasa.
Lalu tanda seperti apa yang mendapatkan perlindungan. Berdasarkan
pengertian merek tersebut di atas dapat diketahui elemen merek yang
memberikan kemampuan perlindungan sebagai merek, yaitu:
1. Tanda
2. Memiliki daya pembeda
3. Digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Apabila suatu tanda tidak memiliki daya pembeda, maka tanda itu tidak
dapat dijadikan sebagai suatu merek. Begitu juga jika merek itu tidak
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa, maka
permohonan mereknya akan ditolak.
Merek sebagai tanda dengan daya pembeda yang digunakan untuk
perdagangan barang dan/atau jasa. Merek sebagai tanda dengan daya
pembeda, dengan kata lain merek tersebut harus memiliki penanda identitas
atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan dengan barang dan/atau jasa yang
10
lainnya. Tanda dengan daya pembeda untuk dapat dilindungi sebagai merek
dapat dikategorikan menjadi:3
1. Inherently distinctives: eligible for immediate protection upon
use. (Tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda,
segera mendapat perlindungan melalui penggunaan);
2. Capable of becoming distinctive: eligible for protection only
after development of consumer association (secondary
meaning). (Tanda yang memiliki kemampuan untuk menjadi
pembeda, dapat dilindungi hanya setelah pengembangan
asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua);
3. Incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark
protection regardless of length of use. (Tanda yang tidak
memiliki kemampuan untuk membedakan tidak dapat
dilindungi sebagai merek meskipun dalam waktu yang
panjang telah digunakan).
Berdasarkan pengkategorian diatas dapat diketahui tanda dalam
kaitannya dengan daya pembeda dikategorikan menjadi tiga yaitu,4
Pertama tanda yang secara inheren memiliki daya pembeda
(inherently distinctiveness) dan dapat segera memperoleh
perlindungan. Tanda yang bagus sekali didaftarkan sebagai
merek, karena setiap konsumen pada umumnya memiliki
pengetahuan yang cukup tentang tanda tersebut. Konsumen
mengerti fungsi merek untuk pembeda, sehingga ini menyangkut
reaksi langsung dari konsumen terhadap tanda tersebut. Kedua,
tanda yang memiliki kemampuan untuk memiliki daya pembeda
hanya setelah atas tanda tersebut ada pengembangan dari persepsi
atau asosiasi konsumen yang disebut pengertian kedua (capable
of becoming distinctive: eligible for protection only after
development of consumer association (secondary meaning)).
Ketiga, tanda yang tidak akan pernah memiliki daya pembeda dan
tidak akan pernah dapat didaftarkan artinya harus selamanya
ditolak pendaftarannya sebagai merek dan tidak akan pernah
3 Eric Gastinel dan Mark Milford, The Legal aspects of Community Trade Mark, Kluwer Law.
London, 2002, h. 177-178. Seperti dikutip dalam Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi, Kencana, Jakarta, 2015, h. 64-65.
4 Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law) Dalam Era Global dan Integrasi Ekonomi,
Kencana, Jakarta, 2015 (selanjutnya disingkat Rahmi Jened II), h. 65.
11
menikmati perlindungan hukum sebagai merek (incapable of
becoming distinctive: not eligible for trademark protection
regardless of length of use).
1. Tanda pembeda inheren meliputi:
a. Fanciful words (tanda khayalan)
Merek yang dibentuk dari kata khayalan yang unik
(fanciful). Kata ini dimulai dengan pertanyaan hukum
“bagaimana orang merasakan merek berupa kata tersebut
sebagai indikasi asal sumber produk, lebih daripada
sekadar untuk fungsi merek yang lain.” Dalam hal ini
pengetahuan konsumen menyangkut latar belakang
persaingan di antara merek. Contohnya, kodak untuk
camera.5
b. Arbitrary (tanda yang berubah-ubah)
Kata berubah-ubah yang secara kasatmata (obvious) bagi
konsumen dan lawyer tidak memiliki kaitan dengan
produknya secara inheren memilki daya pembeda, contoh
apple untuk computer, golf dan jaguar untuk mobil.6
c. Suggestive (tanda yang memberi kesan)
Merek yang bermaksud memberikan kesan (suggestive)
dikaitkan dengan imajinasi konsumen untuk
menerjemahkan informasi yang disampaikan melalui
5 Ibid., h. 71-72.
6 Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga
University Press, Surabaya, 2007 (selanjutnya disingkat Rahmi Jened III), h. 167-168.
12
merek dan kebutuhan pesaing untuk menggunakan kata
yang sama, contohnya, world book untuk encyclopediay.7
2. Tanda secondary meaning mencakup tanda yang bersifat:
a. Descriptive
Merek yang menggambarkan produknya (descriptive),
meski tidak secara inheren memilki daya pembeda dapat
menjadi memilki daya pembeda sebagai hasil penggunaan
dan perspektif konsumen akan terarah pada asal produsen
barang dan/atau jasa tersebut.8
b. Deceptive misdescriptive
Merek yang tidak akurat atau memberikan penggambaran
yang keliru (misdescriptive) tentang karakter, kualitas,
fungsi komposisi atau penggunaan produk atau bahkan
dengan tata bahasa yang salah, masih dapat didaftar
dengan membangun secondary meaning mengakibatkan
konsumen percaya bahwa merek tersebut menggambarkan
produknya.9
c. Personal names
Nama pribadi (personal name) meski dalam beberapa hal
daya pembedanya rendah, namun dapat didaftarkan jika
membangun secondary meaning melalui penggunaan.10
3. Tanda tanpa daya pembeda meliputi:
7 Rahmi Jened II, Op.Cit., h. 73.
8 Ibid., h. 76.
9 Ibid., h. 78.
10 Ibid., h. 79.
13
a. Generic term
Merek yang memakai istilah umum (generic term)
merupakan tanda yang menggambarkan genus dari
produknya.11
b. Deceptive
Adapula merek yang menyesatkan (deceptive) dalam
menggambarkan ciri, kualitas, fungsi, komposisi, atau
penggunaan dari produk.12
c. Geographically deceptively misdescriptive
Merek yang menyesatkan secara geografis, contohnya
produk buatan Indonesia yang diberikan labuhi label
negara lain.13
Kemampuan sebuah merek untuk membedakan dirinya dari barang
dan/atau jasa yang lain inilah, kemudian menjadi dasar untuk mendapatkan
perlindungan merek. Tanpa ada perlindungan atas karya intelektual, semangat
untuk menghasilkan karya intelektual akan memudar karena secara alamiah,
manusia membutuhkan pengakuan atas karya yang dihasilkan.14
Perlindungan merek akan diperoleh setelah merek didaftarkan. Di
Indonesia mengenal sistem konstitutif, penggunaan sistem tersebut
dimaksudkan agar lebih menjamin kepastian hukum. Sistem konstitutif
mengharuskan adanya pendaftaran merek agar suatu merek bisa mendapat
11
Ibid., h. 81. 12
Ibid., h. 83. 13
Ibid., h. 84. 14
Indirani Wauran, “Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Benda: Penelusuran Dasar Perlindungan HKI Di Indonesia”, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 9, No. 2, 2015, h. 137.
14
perlindungan, sistem ini juga dikenal dengan sistem first to file. Orang yang
terlebih dahulu mendaftarkan merek yang akan mendapatkan perlindungan
merek. Dengan demikian sistem konstitutif menunjukkan agar masyarakat
yang harus aktif untuk mendaftarkan mereknya.
Berkaitan dengan sistem pendaftaran merek setelah pemilik mendaftarkan
mereknya maka akan melahirkan suatu hak. Hak tersebut adalah hak atas
merek. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis, Hak atas merek adalah hak eksklusif
yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Pemilik merek yang sudah mendaftarkan mereknya tentu akan mendapat
perlindungan merek, lalu mengapa pemilik merek yang mempunyai
perlindungan merek memiliki pula ke eksklusifitas terhadap merek.
Munculnya hak atas merek tersebut yang akan membuat pemilik merek
mendapatkan hak yang sifatnya eksklusif (khusus) yang diberikan oleh
negara. Hak khusus tersebut cenderung bersifat monopoli, artinya hanya
pemilik merek yang dapat menggunakannya.15
Ke eksklusifitas yang nantinya akan digunakan oleh pemilik merek
terdaftar untuk mengeksploitasi mereknya, baik melalui penggunaan yang
dilakukannya sendiri, atau dilisensikan atau bahkan dialihkan kepada pihak
lain.
15
Agung Sujatmiko, Aspek Yuridis Lisensi Merek dan Persaingan Usaha, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26, No. 2, 2008.
15
Kenapa perlindungan merek dibutuhkan. Seperti hal nya diuraikan diatas,
merek merupakan karya intelektual yang dihasilkan oleh manusia. Adanya
perlindungan hukum bagi pemilik merek yang sah dimaksudkan untuk
memberikan hak yang sifatnya eksklusif (khusus) bagi pemilik merek
(exclusive right) agar pihak lain tidak dapat menggunakan tanda yang sama
atau mirip dengan yang dimilikinya baik untuk barang atau jasa yang sama
atau hampir sama.16
Perlindungan kekayaan intelektual atas sebuah merek dimaksudkan untuk
memberikan imbalan atas investasi yang telah dilakukan.17
Perlindungan
merek juga dapat menjauhkan seseorang dari penggunaan atau peniruan yang
dilakukan oleh pihak lain tanpa izin.
Penciptaan hak kekayaan intelektual membutuhkan banyak waktu
disamping pula bakat, dan juga uang untuk membiayainya.18
Apabila tidak
ada perlindungan atas kreativitas intelektual yang dibuat, tiap orang dapat
meniru dan mengkopi secara bebas hak milik orang lain tanpa batas.19
Kemampuan intelektual manusia dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan
biaya yang tidak sedikit untuk membangun sebuah reputasi. Serta tentu saja
perlindungan merek dibutuhkan agar pemilik merek mendapat hak eksklusif
dari mereknya.
16
Fajar Nurcahya, “Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Merek Terhadap Perbuatan Pelanggaran Merek”, Mimbar Keadilan Jurnal Ilmu Hukum, 2014, h. 97.
17 Indirani Wauran, Op., Cit, h. 8.
18 Dwi Rezki, Penghapusan Merek Terdaftar Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang
Merek Dihubungkan Dengan TRIPs-WTO, Alumni, Bandung, 2009, h. 2. 19
Ibid,.
16
2. Merek Terkenal
Secara umum perlindungan hukum terhadap merek hanya diberikan
kepada merek yang telah didaftarkan. Dengan didaftarkannya suatu merek,
pemilik tersebut mendapat hak atas merek yang dilindungi oleh hukum.20
Perlindungan secara internasional dibutuhkan terhadap merek suatu produk
yang diperdagangkan melintasi batas-batas negara. Semakin banyak negara
yang menjual merek tersebut maka semakin banyak pula masyarakat yang
mengetahui tentang merek tersebut. Dengan kata lain merek tersebut telah
mendapatkan reputasi yang tinggi.
Reputasi merek mempengaruhi penjualan terhadap suatu barang dan/atau
jasa. Atas dasar reputasi merek banyak konsumen yang semakin mengenal
merek tersebut, akhirnya merek tersebut dapat dikategorikan sebagai merek
terkenal. Merek ini menjadi idaman dan pilihan utama semua lapisan
konsumen.
Seperti apa merek terkenal itu? Hingga saat ini sebenarnya tidak ada
definisi yang dapat diterima semua pihak tentang apa sebenarnya merek
terkenal tersebut. Kalaupun ada, hal itu dilakukan semata-mata karena adanya
kepentingan dari pemilik merek yang bersangkutan. Berhubung sampai saat
ini masih menjadi perdebatan mengenai merek terkenal, mengingat kriteria
atau batasan merek terkenal berbeda-beda baik dalam pendapat para ahli,
peraturan nasional maupun internasional.
20
Ibid., h. 52.
17
Merek terkenal mengandung makna “terkenal” menurut pengetahuan
umum masyarakat.21
Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat yang
menyatakan bahwa: “merek dagang terkenal yang bersifat internasional
adalah merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat didasarkan pada
reputasi yang diperolehnya karena promosi yang terus menerus oleh
pemiliknya yang diikuti dengan bukti pendaftaran merek di berbagai
negara.”22
Merek terkenal biasa disebut juga sebagai well known mark, merek jenis
ini memiliki reputasi tinggi karena lambangnya memiliki kekuatan untuk
menarik perhatian.23
Pendapat ini hampir serupa dengan pendapat yang
menyatakan bahwa: “merek terkenal (well known marks) memiliki kekuatan
pancaran yang memukau dan menarik karena reputasinya yang tinggi,
sehingga jenis barang apapun yang berada di bawah naungan merek terkenal
langsung menimbulkan sentuhan keakraban dan ikatan mitos kepada
konsumen.”24
Merek terkenal dalam International Trademark Assosiation
(INTA) adalah “a trademark that, in view of its widespread reputation or
recognition, may enjoy broader protection that an ordinary mark.”
Pendapat lain menyatakan bahwa: “dalam menetapkan apakah suatu merek
well known, harus diperhitungkan pengetahuan akan merek terkenal di sekitar
21
Rahmi Jened II, Op. Cit., h. 241. 22
Imam Sjahputra, Heri Herjandono dan Parjio, Hukum Merek Baru Indonesia, Harvarindo, Jakarta, 1997, h. 20.
23 Dwi Rezki, Op., Cit, h. 45.
24 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT.
Raja Grafindo, Jakarta, 2004, h. 87.
18
publik tertentu, termasuk pengetahuan di negara anggota sebagai akibat
promosi merek dagang tersebut.” 25
Pendapat tersebut diatas berbeda dengan pendapat yang menyatakan
merek terkenal sebagai berikut:26
1. Suatu merek yang akan didaftarkan tidak boleh
mengakibatkan timbulnya kebingungan dan penyesatan
(confussion/verwarring) dengan suatu merek yang secara
umum telah terkenal dan dimiliki oleh pihak ketiga;
pendaftaran ini adalah batal demi hukum;
2. “Terkenal” dalam arti luas: dikenal dari radio, TV, Media
Internet dan publikasi lain sekalipun belum digunakan dalam
negara yang bersangkutan.
Lebih lanjut pendapat tentang kriteria merek terkenal, antara lain:27
1. Menjadi idaman atau pilihan berbagai lapisan konsumen
2. Lambangnya memiliki kekuatan pancaran yang menarik
3. Didukung oleh faktor-faktor sebagai berikut;
a. Presentasi nilai pemasaran yang tinggi;
b. Presentasi tersebut harus dikaitkan dengan luasnya
wilayah pemasaran di seluruh dunia;
c. Kedudukannya stabil dalam waktu yang lama;
d. Tidak terlepas dari jenis dan tipe barang.
World Intellectual Property Organization (WIPO) memberikan
rekomendasi mengenai kriteria merek terkenal sebagai berikut:28
1. The degree of knowledge or recognition of the mark in the
relevant sector of the public;
2. The duration, the extent and geographical area of any use of
the mark;
25
Achmad Zen, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Alumni, Bandung, 2005, h. 73. 26
O.C. Kaligis, Teori dan Praktik Hukum Merek Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, h. 182. 27
Yahya Harahap, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia Berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1992, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h. 86-88.
28 Joint Recommendation Concerning Provision on The Protection of Well Known Mark,
Adopted by Assembly of the Paris Union for The Protection of Industrial Property and the General Assembly of the World Intellectual Property (WIPO) at the Thirty-Fourth Series of Meeting of The Assemblies of the Member States of WIPO, September 20 to 29, 1999.
19
3. The duration, the extent and geographical area of any
promotion of the mark, including advertising or publicity and
the presentation, at fairs or exhibitions, of the goods and/or
services to which the mark applies;
4. The duration and geographical area of any registration,
and/or any applications for registration, of the mark, to the
extent that they reflect use or recognition of the mark;
5. The record or succesful enforcement of rights in the mark, in
particular, the extent to which the mark was recognized as
well known by competent authorities;
6. The value associated with the mark.
Menurut Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement terdapat krieria sifat
keterkenalan suatu merek antara lain dengan memperhatikan faktor
pengetahuan tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk
pengetahuan negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan, yang
diperoleh dari hasil promosi merek tersebut.
Dalam Undang-undang Merek tidak disebutkan secara jelas definisi dari
merek terkenal. Di Undang-undang tersebut hanya menjelaskan kriteria
merek terkenal yang terdapat dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b,
bahwa penentuan keterkenalan suatu merek, harus dilakukan dengan
mempertimbangkan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut
di bidang usaha bersangkutan, dan memperhatikan pula reputasinya sebagai
merek terkenal yang diperoleh karena promosi besar-besaran, investasi di
beberapa negara di dunia yang dilakukan pemiliknya, dan disertai bukti
pendaftaran merek tersebut di beberapa negara di dunia. Apabila hal-hal
diatas belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan
lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh
20
kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dsasar
penolakan.
Melihat atau mendasarkan pada perdebatan tersebut diatas penulis
berpendapat bahwa merek terkenal yaitu merek yang telah dikenal oleh
masyarakat luas, mempunyai reputasi yang tinggi karena promosi yang besar-
besaran.
Telah dikenal luas oleh masyarakat maksudnya produk dari suatu merek
telah menembus batas-batas nasional dan regional sehingga merek tersebut
sudah berwawasan globalisasi dan dapat disebut sebagai merek yang tidak
mengenal batas dunia. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
1486K/Pdt/1991 tertanggal 28 November 1995 yang dengan tegas telah
memberikan kriteria hukum sebagai berikut:29
Suatu merek termasuk dalam pengertian Well Known Mark pada
prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar keluar
dari batas-batas regional malahan sampai batas-batas
transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek telah
terdaftar di banyak negara di dunia, maka dikualifisir sebagai
merek terkenal karena telah beredar sampai area batas-batas di
luar negara asalnya.
Semakin banyak negara yang menjual merek tersebut maka semakin
banyak pula masyarakat yang mengetahui tentang merek tersebut.
Reputasi yang tinggi karena promosi yang besar-besaran. Reputasi melalui
usaha yang akan dilakukan produsen untuk membuat banyak konsumen yang
akan membeli suatu produk karena telah percaya pada produk tersebut.
29
Putri Permata Amalia, “Perbedaan Penerapan Syarat Pembatalan Merek Terkenal Antara Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Dalam Kasus Piaget dan Piaget Polo”, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2015, h. 11.
21
Dalam kasus merek terkenal, pada hakikatnya merupakan suatu bentuk
goodwill yang berhasil diperoleh suatu merek karena kemampuan
pemilik/pemegang hak atas merek untuk meyakinkan konsumen akan
jaminan kualitas dari produk yang dilekati oleh mereknya tersebut sehingga
konsumen kembali kepada produknya.30
Promosi seperti iklan dari suatu produk yang dilakukan melalui media
massa dan elektronik serta menghabiskan tidak sedikit biaya. Bersamaan
dengan berkembangnya industri, berkembang pula penggunaan iklan untuk
memperkenalkan produk.31
Lebih-lebih dengan perkembangan periklanan,
baik nasional maupun internasional dewasa ini dan dalam rangka
pendistribusian barang dan/atau jasa membuat merek semakain tinggi
nilainya.32
Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 022K/N/HAKI/2002 yang
membatalkan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat atas gugatan pembatalan merek Cornetto, dimana Mahkamah
Agung telah menegaskan sebagai berikut:
Bahwa untuk menentukan kriteria mengenai merek terkenal, Mahkamah
Agung berpedoman untuk Yurisprudensi Mahkamah Agung yaitu selain
didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat, penentuannya juga
didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang telah diperoleh
karena promosi yang telah dilakukan oleh pemiliknya disertai dengan bukti
30
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca Perjanjian TRIPs, Alumni, Bandung, 2011, h. 153.
31 Rahmi Jened II, Op. Cit., h. 2.
32 Ibid., h. 4.
22
pendaftaran merek tersebut di beberapa negara jika hal ini ada, hal-hal
tersebut merupakan salah satu alat pembuktian yang ampuh.33
B. Perlindungan “Khusus” Terhadap Merek Terkenal
Bahwa merek terkenal memiliki keistimewaan sehingga berbeda dengan
merek biasa karena statusnya sebagai merek terkenal maka ada hal yang
dalam “perlindungan khusus” yang hanya dimiliki merek terkenal dengan
kata lain perlindungan ini tidak dimiliki oleh merek biasa, tetapi hanya
dimiliki oleh merek terkenal. Dalam bagian berikut akan dijelaskan.
1. Mencakup Barang Yang Tidak Sejenis
Perlindungan khusus terhadap merek terkenal menurut perjanjian
internasional salah satunya diatur dalam Agreement on Trade Related Aspects
of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). Perjanjian internasional
ini sangat mempengaruhi Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum,
khususnya merek terkenal.
Indonesia telah menjadi negara pihak dari perjanjian tersebut, sehingga
memberikan konsekuensi kepada Indonesia bahwa ia harus menjalankan
kewajiban internasionalnya.
Pasal 16 ayat (3) mengatur bahwa:
Article 6 bis of the Paris Convention (1967) shall apply, mutatis
mutandis, to goods or services which are not similar to those in
respect of which a trademark is registered, provided that use of
that trademark in relation to those goods or services would
33
Putri Permata Amalia, Op., cit, h. 12.
23
indicate a connection between those goods or services and the
owner of the registered trademark and provided that the interest
of the owner of the registered trademark are likely to be damaged
by such use.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement, terdapat keistimewaan
terhadap merek terkenal yaitu, merupakan perluasan perlindungan hukum
merek terkenal yang mengatur mengenai barang atau jasa tidak sejenis (goods
or services which are not similar) dengan mendasarkan kriteria pada adanya
kesan keterkaitan yang erat antara barang yang menggunakan merek tersebut
dengan produsennya, dan jika pemakaian atau pendaftaran oleh orang lain
untuk barang yang tidak sejenis dapat merugikan kepentingan pemilik merek
terkenal.
Dengan posisi Indonesia sebagai negara pihak TRIPs Agreement yang
memiliki kewajiban memberikan jaminan perlindungan terhadap merek
terkenal untuk barang tidak sejenis, perdagangan tidak akan berkembang
dengan baik jika merek terkenal untuk barang tidak sejenis tidak
mendapatkan perlindungan hukum yang memadai di suatu negara. Peniruan
merek terkenal untuk barang tidak sejenis merugikan pemilik merek terkenal
yang berdampak pada ketidakpercayaan pihak asing terhadap jaminan
perlindungan merek terkenal yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Perjanjian TRIPs Agreement dijadikan dasar oleh negara-negara anggota
Konvensi Paris dan World Trade Organization (WTO) untuk memberikan
perlindungan terhadap merek terkenal, sebagai perbandingan pengaturan di
negara Amerika. Berikut adalah perlindungan khusus yang diberikan untuk
merek terkenal di Amerika.
24
Perlindungan merek terkenal di Amerika Serikat diatur dalam undang-
undang merek Amerika yang dikenal dengan nama Lanham Act. Ketentuan
ini secara khusus memberikan perlindungan merek terkenal terhadap tindakan
dilusi (dilution). Teori dilusi aslinya berasal dari Jerman, tepatnya 1924,
kemudian tahun 1927 teori dilusi ini dibawa ke Amerika melalui publikasi
artikel berjudul “ The Rational Basis of Trademark Protection”, yang ditulis
oleh Frank I. Schechter.34
Schechter merujuk artikelnya pada kasus yang
timbul lebih awal di Jerman dalam hal pemilik merek ODOL, merek terkenal
untuk penyegar mulut yang telah sukses membatalkan pendaftaran merek
yang serupa untuk produk baja. Pengadilan menyatakan,35
Such use of the mark ODOL on non competing goods was against
good morals (“gegen die guten Sitten”) and violated the
principles of fair trade. The protection was based on the lessening
of the mark’s selling power and on the impairment of the owner’s
ability to compete. Thus, dilution protection for famous marks
was initially based on the general unfair competition law.
Dalam kasus ODOL, pemilik obat kumur terkenal menggugat untuk
menghentikan produsen produk baja dari menggunakan merek ODOL sebagai
merek dagangnya. Terlepas dari kenyataan bahwa obat kumur dan produk
baja adalah barang yang tidak sejenis atau barang yang tidak berkompetisi,
pengadilan Jerman menyimpulkan bahwa pemilik merek ODOL memiliki
kepentingan substansial dalam memastikan bahwa merek dagang mereka
tidak didilusi. Dari adanya kasus yang terjadi, pengadilan menegaskan bahwa
34
William T. Vuk, “Protecting Baywatch And Wagamama: Why The European Union Should Revise The 1989 Trademark Directive To Mandate Dilution Protection For Trademark”, Fordham Internasional Law Jurnal, Vol. 21, No. 3, 1997, h. 86.
35 Marcus H. H. Luepke, “Taking Unfair Advantage or Diluting a Famous Mark—a 20/20
Perspective on the Blurred Differences Between u.s. and e.u. Dilution Law”, The Law Journal of The International Trademark Association, Vol. 98, No. 3, May-June, 2008.
25
ODOL akan kehilangan kekuatan daya jual jika semua orang memiliki
kesempatan untuk menggunakan merek tersebut. Hanya dalam kurun waktu
tiga tahun setelah keputusan dalam kasus ini, dilusi mencapai daratan
Amerika.36
Seorang pemilik merek terkenal mungkin akan mencegah pedagang lain
menggunakan merek miliknya, bahkan juga berlaku bagi produk yang bukan
merupakan persaingan (non competing).37
Selanjutnya, Lanham Act
mendefinisikan dilusi sebagai pudarnya reputasi merek terkenal, disebabkan
oleh peniruan merek terkenal oleh kompetitor terhadap jenis barang atau
produk yang berbeda dengan milik merek terkenal, sehingga memungkinkan
timbulnya kebingungan dan penipuan di masyarakat.38
Doktrin dilusi merek adalah prinsip dalam hukum merek yang
mengizinkan pemilik merek terkenal untuk melarang pihak lain menggunakan
merek mereka dengan cara-cara yang dapat mengancam keunikan merek
tersebut.39
Sebuah merek didilusi ketika suatu pihak menggunakan merek
yang sama atau identik dengan merek milik pihak lain dalam barang yang
tidak berkompetisi (barang yang tidak sejenis) yang dapat mengurangi
kekuatan merek tersebut sehingga dapat mengakibatkan kebingungan
konsumen mengenai sumber asal mereknya.40
36
Natalie J. McNeal, “Trademark: Victoria’s Dirty Little Secret; A Revealing Look At What The Federal Trademark Dilution Act Is Typing To Conceal”, Oklahoma Law Review, Vol. 56, No. 4, 2003, h. 977.
37 H.D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pasacasarjana, Jakarta, 2003, h. 111.
38 Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 61.
39 Brajendu Bhaskar, “Trademark Dilution Doctrine: The scenario Post TDRA 2005”, NJUS L.
Rev, Oct-December, 2008, h. 637. 40
Ibid.,
26
Pengertian dilusi menurut Black’s Law Dictionary yaitu:
The act or an instance of diminishing a thing’s strength or lessing
its value; The impairment of a famous trademark’s strength,
effectivenesss, or distinctiveness through the use of the mark on
an unrelated product, usually blurring the trademark’s distinctive
character or tarnishing it with an unsavory association.
Trademark dilution may occur even when the use is not
competitive and creates no likelihood of confusion.
Dilusi menurut International Trademark Association (INTA) adalah:
Dilution is the unauthorized use of a highy distinctive mark by
another in a manner which tends to blur its distinctiveness or
tarnish its image even without any likehood of confusion. Dilution
is when the unauthorized use of a famous mark reduces the
public’s perception that the mark signifies something unique,
singular, or particular.
Secara umum tindakan dilution terhadap suatu produk didasarkan pada
tiga hal yaitu:41
1. Favorability, daya tarik dari sebuah produk yang dapat
memberikan kesan berkaitan antara produk yang satu dengan
yang lain.
2. Streght, kekuatan merek yang dapat memberikan daya ingat
kepada masyarakat konsumen.
3. Uniqueness, image sebuah merek yang mempunyai daya tarik
bagi konsumen adalah merek-merek yang sangat unik seperti
kata Volvo dan Qantas.
Dalam kasus dilution sebagai perlindungan merek terkenal ada tiga hal
yang harus ditunjukkan:42
1. Merek merupakan merek terkenal atau memiliki reputasi
(trademark is well-known or has reputation);
41
Joel H. Steckel, Robert Klein dan Shelley Schussheim, “Dillution Through The Looking Glass: A Marketing Look at The Trademark Dillution Revision Act of 2005”, The Trademark Reporter Vol. 96, INTA, USA, May-June 2006, h. 625-627. Seperti dikutip dalam Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 118.
42 Thomas Mc. Carthy, Trademark and Unfair Competition, 4ed., West Group, US, 2000, h.
20.20.1. Seperti dikutip dalam Rahmi Jened II, Op. Cit., h. 243-244.
27
2. Merek memiliki persamaan pada pokoknya khususnya untuk
barang yang tidak sejenis (similary of trademark but goods
and services are dissimilar);
3. Ada penggunaan yang bersifat penipisan, pemudaran, dan
pengaburan secara tanpa hak (there is dilution or
tarnishment or blurring reputation without due cause).
Lebih lanjut lagi terdapat pendapat yang menyatakan terkait dengan
perlindungan dari tindakan dilution:43
“Around the world, a trend is
developing towards greater protection in this area beyond the minimum
standard set by TRIPs Agreement, in the form of an “anti-dillution” right
which is available in the absences of confusion or deception of the public.”
Dapat diambil kesimpulan bahwa dilusi adalah penurunan nilai suatu
merek (daya pebeda/keunikan) pada merek terkenal berupa pengaburan atau
pencemaran sebagai akibat dari penggunaan merek tanpa izin oleh pihak lain
pada produk yang berbeda kelas dan jenis, tanpa melihat adanya kebingungan
tentang asal usul suatu produk pada konsumen dan adanya persaingan atau
tidak pada pasar. Perlindungan atas dilusi merek terkenal berdasarkan
perlindungan kualitas daya pembeda merek terkenal dan perlindungan
reputasi dari pihak-pihak yang dapat menodai merek terkenal, tanpa
memperhatikan kebingungan konsumen atas sumber dari produk maupun
persaingan diantaranya kedunya.
Hal ini bertujuan untuk tidak merugikan kepentingan orang lain dalam hal
ini adalah pemilik merek terkenal, dan juga perlindungan terhadap merek
terkenal yang mencakup barang tidak sejenis dilatarbelakangi bahwa tidak
43
Ng-Loy Wee Loon, Protection of Well-Known Marks in Singapore, The Marx Planck Institute For Foreign and International Patent, Copyright & Competition Law, Singapore, 10 April 1999, h. 3. Seperti dikutip dalam Julius Rizaldi, Op., Cit, h. 118-119.
28
menyesatkan terhadap masyarakat. Faktor “confussion of bussiness
connection” sebagai pertimbangan untuk menentukan apakah merek yang
sama dengan merek terkenal akan tetapi didaftarkan untuk barang yang tidak
sejenis itu bisa ditolak atau dibatalkan.44
Hal senada juga ditegaskan, bahwa pemakaian daripada merek berkenaan
dengan benda-benda tersebut atau jasa bersangkutan akan memberikan
“indikasi adanya suatu hubungan” antara barang-barang dan jasa pemilik
daripada merek terdaftar dan kepentingan daripada pihak pemilik merek
terdaftar ini akan cenderung mendapat kerugian karena pemakaian itu.45
Terdapat dua jenis dilusi yang dikelompokkan berdasarkan
konsekuensinya terhadap persepsi konsumen. Dilusi pengaburan (Blurring)
dan dilusi pencemaran (Tarnishment). Dilusi karena pengaburan terjadi ketika
terdapat suatu merek memiliki persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terkenal dimana kedua merek tersebut
merupakan produk yang berbeda secara substansial sehingga tidak
menyebabkan kebingungan konsumen. Intinya, keunikan suatu merek
terkenal (daya pembeda) telah berkurang bahkan menghilang. Pemudaran
terjadi manakala kekuatan merek dilemahkan melalui identifikasinya untuk
produk yang tidak sejenis, meskipun persamaanan merek tersebut tidak
menyebabkan kebingungan di antara konsumen kedua produk tersebut,
namun masing-masing mengurangi kualitas pembeda dari merek yang
44
Suyud Margono, Hak Milik Industri, Pengaturan dan Praktik di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, h. 106.
45 Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, Pembaharuan Hukum Merek di Indonesia
(Dalam Rangka WTO, TRIPs), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 46.
29
bersangkutan.46
Contoh kasus dilusi pengaburan yaitu terjadi pada peritel
pakaian dalam wanita (lingerie) Victoria’s Secret yang menuntut sebuah toko
alat-alat kebutuhan pria yang menggunakan nama yang mirip yaitu Victor’s
Secret.
Dilusi karena pencemaran terjadi karena ketika penggunaan suatu merek
terkenal oleh pihak lain yang penggunaannya bertentangan/tidak sesuai
dengan kesan yang telah dibentuk dan dipertahankan oleh pemilik merek
terkenal. Perusakan merek terkenal adalah akibat dari penggunaan merek
secara tanpa hak oleh tergugat untuk memudarkan, menurunkan, atau
menipiskan kualitas pembeda dari suatu merek.47
Contoh kasus dilusi
pencemaran yaitu ketika terdapat merek Polo di mana si penunggang kudanya
terjatuh dari kuda, sehingga hal tersebut dapat mencemarkan merek Polo yang
asli.
Sejak meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, Indonesia telah
melakukan beberapa perubahan terhadap Undang-undang Merek. Yang
terbaru adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU Merek). Perlindungan hukum
merek terkenal terhadap dilusi di Indonesia tidak memiliki pengaturan secara
tegas dan khusus. Namun diatur secara implisit dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
c UU Merek.
Pasal 21 ayat (1) huruf c menyebutkan bahwa:
(1) Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:
...
46
Rahmi Jened II, Op., Cit, h. 246. 47
Ibid.
30
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa
tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu;
Dari ketentuan tersebut terdapat keistimewaan yang dimiliki merek
terkenal yaitu merek tidak bisa didaftar meskipun persamaan pada pokoknya
untuk kelas barang atau jasa yang tidak sejenis, berbeda dengan pengaturan
dalam merek biasa hanya tidak boleh sama dengan merek yang sejenis tetapi
untuk merek terkenal kelas barang atau jasa yang tidak sejenis atau berbeda.
Dalam kaitannya dengan dilusi, Pasal 21 ayat (1) huruf c UU Merek,
sebenarnya sudah mengatur mengenai larangan pendaftaran merek yang
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
terkenal untuk produk tidak sejenis. Namun, larangan persamaan dengan
merek terkenal untuk produk tidak sejenis masih multitafsir karena Pasal 21
ayat (1) huruf c, mengatur mengenai “persyaratan tertentu” yang harus
dipenuhi. Sedangkan, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang
dimaksud dengan “persyaratan tertentu” tersebut. Walaupun Pasal 21 ayat (4)
UU Merek, mengamanatkan adanya peraturan pelaksana untuk menjelaskan
hal tersebut, hingga sekarang Peraturan Menteri yang diamanatkan tersebut
belum diundangkan. Akibatnya, terjadi suatu kekosongan hukum terkait
dilusi. Keadaan tersebut diperparah dengan sistem hukum Indonesia (civil law
atau eropa kontinental) yang tidak menganut asas precedent, sehingga
membuat hakim tidak diwajibkan mengikuti yurisprudensi. Oleh karena itu,
Indonesia tidak memiliki pedoman jelas dalam menyelesaikan sengketa
terkait hal-hal tersebut.
31
Tidak adanya pedoman jelas dalam menyelesaikan sengketa trekait dilusi
dapat dilihat pada kasus Philip Stein Holding, Inc, yang telah diputus dengan
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
62/Pdt.Sus-Merek/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 10 September 2013,48
sebagaimana telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor
276K.Pdt.Sus-HKI/2014 tangal 27 Agustus 2014.49
Putusan tersebut memutus
bahwa yang berhak terhadap hak atas merek Philip Stein adalah orang
Indonesia, bukan pemilik merek terkenal Philip Stein.
Kasus tersebut berawal ketika produsen jam tangan asal Amerika Serikat,
Philip Stein Holding Inc (sebagai penggugat), hendak mendaftarkan merek
Philip Stein di Indonesia untuk jenis kelas barang 14. Yang mana penggugat
telah mendaftarkan merek Philip Stein di beberapa negara seperti; Amerika
Serikat, Arab Saudi, Hongkong, dll. Akan tetapi ternyata Kasim Halim
(tergugat) telah mendaftarkan merek Philip Stein untuk kelas barang 25
kepada Direktorat HAKI dengan Nomor IDM000174089 pada tanggal 1
Februari 2007 tanpa seizin penggugat. Dalam putusannya, hakim
memutuskan untuk menolak gugatan tersebut. Dengan pertimbangan hukum,
hakim menyebutkan walau telah didaftarkan di berbagai negara, merek milik
penggugat dianggap belum terkenal dan belum menggambarkan adanya
promosi besar-besaran dan tergugat tidak dianggap meniru atau menjiplak
merek penggugat karena berada pada kelas barang yang berbeda, dan oleh
karenanya pendaftaran merek tergugat sah secara hukum.
48
https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/3aa9a3282724dab30126e419e31a3be0, dikunjungi pada tanggal 30 Oktober 2017 pukul 10.00.
49 https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/522d443b7b4ae24c87e7b53c1186d321,
dikunjungi pada tanggal 30 Oktober 2017 pukul 14.15.
32
Merasa tidak terima dengan putusan tersebut, Philip Stein kemudian
mengajukan kasasi. Namun kali ini Philip Stein juga harus mengakui
kekalahannya. Sebab Mahkamah Agung menolak gugatannya. Dalam
pertimbangan hukum, pendaftaran merek pemohon kasai (Philip Stein) di
beberapa negara belum dapat menunjukkan bahwa merek pemohon kasasi
adalah merek terkenal yang layak ditiru atau dibonceng ketenarannya. Dalam
keberatannya, Philip Stein mengatakan bahwa penggunaan merek Philip Stein
(termohon kasasi) yang didaftarkan dengan itikad tidak baik dengan cara
menggunakan nama badan hukum terkenal milik pemohon kasasi.
Tidak adanya pedoman yang jelas mengenai jumlah negara tempat
pendaftaran merek sebagai kriteria merek terkenal tentu membawa suatu
ketidakpastian hukum. Hal tersebut berdampak pada kasus Philip Stein
Holding, Inc. Merek Philip Stein telah didaftarkan di kurang lebih dari 50
negara, tetapi Majelis Hakim tetap beranggapan bahwa merek Philip Stein
tersebut belum dapat dikategorikan sebagai merek.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa dilusi atau
persamaan merek dengan merek terkenal untuk produk tidak sejenis sudah
diatur. Akan tetapi, pengaturannya masih tidak jelas karena peraturan
pelaksana sebagai penjelasan pengaturan dilusi tidak diundangkan.
Akibatnya, terjadi suatu kekosongan hukum.
Hal tersebut mengakibatkan ada hakim yang memutus bahwa persamaan
untuk produk tidak sejenis termasuk kategori pelanggaran merek dan ada pula
hakim memutus hal tersebut bukan termasuk kategori pelanggaran merek.
33
Dalam kasus Philip Stein Holding, Inc, penggugat tidak dapat
mempertahankan keunikan dan daya pembeda yang dimiliki merek
terkenalnya karena hakim memutus bahwa penggunaan merek untuk produk
tidak sejenis bukan termasuk pelanggaran merek.
Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika pengaturan perlindungan merek
terkenal dalam sistem hukum mereknya sudah cukup lengkap. Sistem hukum
merek di Amerika Serikat juga telah memiliki pengaturan dilusi secara jelas.
Terdapat pengaturan rinci mengenai dilusi, mulai dari definisi, tipe dilusi, dan
perlindungan pemilik merek terkenal dari dilusi.
Pengaturan dilusi di Amerika Serikat terdapat pada Pasal 43 huruf c
Lanham Act. Dalam perkembangan selanjutnya, ketentuan tersebut diubah
dengan ketentuan khusus, yaitu Federal Trademark Dilutin Act of 1995 yang
telah direvisi dengan United States Trademark Dilution Revision Act of 2006.
United States Trademark Dilution Revision Act of 2006 tersebut memuat
beberapa pengaturan tentang dilusi antara lain mengenai definisi, beban
pembuktian, dan beberapa perlindungan tambahan.
Dalam hal beban pembuktian mengenai ada tidaknya dilusi, penggugat
yang mengajukan gugatan dilusi memiliki beban untuk membuktikan bahwa
merek tersebut memang merek terkenal dan reputasinya telah menjadi kabur
atau rusak akibat dilusi tersebut. Diatur juga bahwa pemilik merek terkenal
juga mendapat perlindungan berupa suatu pemulihan kembali apabila terjadi
dilusi yang merugikan daya pembeda suatu merek terkenal.
34
2. Prinsip National Treatment
Prinsip national treatment menjadi salah satu dari keistimewaan merek
terkenal. Prinsip ini menjadi salah satu yang diatur dalam Konvensi Paris.
Prinsip ini disebut juga dengan perlakuan yang sama terhadap negara lain
dengan negaranya sendiri. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) TRIPs menyebutkan
bahwa: “Each member shall accord to the nationals of other members
treatment no less favourable than it accords to its own nationals with regard
to the protection of intellectual property...” mewajibkan negara anggota
memberikan perlindungan tanpa membedakan kepada warga negara sesama
negara anggota, seperti perlakuan yang diberikan kepada warga negaranya
sendiri. National treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta
Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan
sama dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan
merek.50
Dalam hal ini memberikan perlindungan terhadap merek terkenal
untuk warga negara asing dalam penegakan hukum.
Salah satu contoh dalam penerapan prinsip national treatment ialah dalam
pemberian hak prioritas. Hak prioritas merupakan wujud dari prinsip national
treatment dan most favoured nation yang diatur dalam TRIPs yang merujuk
Konvensi Paris. Dengan diratifikasinya Paris Convention yang salah satu
tujuannya adalah pemohon memperoleh hak untuk mengajukan permohonan
pendaftaran yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris
tersebut, memungkinkan pemohon memperoleh pengakuan bahwa tanggal
penerimaan (filling date) di negara asal merupakan tanggal prioritas (priority
50
Dwi Rezki, Op. Cit., h. 62.
35
date) di negara tujuan yang juga salah satu dari peserta Paris Convention.51
Hak prioritas ini berhubungan dengan permohonan pendaftaran merek. Setiap
orang yang mengajukan pendaftaran untuk perlindungan merek dalam salah
satu negara anggota Paris Convention atau mereka yang berhak untuk tujuan
pendaftarannya di negara lain, wajib menikmati hak prioritas untuk suatu
periode tertentu sesuai ketentuan yang berlaku.52
Permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas diatur dalam Pasal 9
UU Merek, yang menyatakan bahwa:
Permohonan dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan
dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali
diterima di negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris
tentang perlindungan kekayaan intelektual (Paris Convention For
The Protection Of Industrial Property) atau anggota Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement
Establishing The World Trade Organization).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang
hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention for the Protection of
Industrial Property 1883 (sebagaimana telah beberapa kali diubah) atau
Agreement Establishing the World Trade Organization.53
Subjek hukum
(perorangan maupun badan hukum) yang telah mendapatkan hak secara
prioritas akan dilindungi haknya di negara luar (negara di mana yang
bersangkutan mendaftarkan hak prioritasnya) seperti ia mendapatkan
perlindungan di negaranya sendiri.54
51
Ibid., h. 51. 52
Rahmi Jened II, Op., Cit, h. 163. 53
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 371.
54 Ibid, h. 372.
36
Pendaftaran dengan hak prioritas ditujukan untuk melindungi merek asing
atau merek terkenal di luar negeri dari tindakan pelanggaran merek. Sebab,
pada keadaan tertentu pemilik luar negeri atau merek terkenal lalai dan belum
mendaftarkan mereknya di Indonesia, sehingga memiliki resiko mereknya
telah didaftarkan oleh pihak lain untuk produk yang sama. Melalui
pendaftaran merek terkenal akan memperoleh perlindungan hukum secara
maksimal. Adapun pendaftaran merek dengan cara biasa dan dengan hak
prioritas pada prinsipnya adalah sama. Permohonan pendaftaran diajukan
kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual secara tertulis dengan
mengisi formulir yang tersedia, dalam bahasa Indonesia.
Dapat disimpulkan bahwa hak prioritas adalah suatu upaya dari pemegang
hak atas merek yang merupakan anggota konvensi internasional perlindungan
merek, untuk mendaftarkan mereknya tersebut di Indonesia. Tujuan
pemberian hak prioritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran,
yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia dari pembajakan dan
pemboncengan.
Dengan demikian setiap negara wajib memberikan kesempatan yang sama
dan menghindarkan proteksi berlebihan terhadap produk lokal yang
dimilikinya. Melalui ketentuan prinsip ini batas-batas negara tidak lagi
menjadi halangan bagi lalu lintas perdagangan karena barang dan jasa akan
bebas diperjualbelikan dimana saja, keseluruhan negara anggota telah bersatu
menjadi satu pasar bebas dan terbuka. Hukum merek suatu negara harus
memberikan perlindungan yang sama terhadap pemilik merek orang asing,
sebagaimana perlakuan perlindungan yang diberikan kepada pemilik merek
37
warga negara sendiri. Dengan memberi perlindungan yang sama terhadap
pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus
berdasarkan asas timbal balik (asas resiprositas). Jika pemohon bukan dari
negara anggota peserta Paris Convention, kontor merek harus menolak
pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas resiprositas.
Salah satu contoh kasus perlindungan hukum terhadap merek terkenal
yang telah terdaftar melalui hak prioritas adalah kasus pada merek Crocs di
Indonesia. Merek Crocs telah terdaftar pada Ditjen HAKI melalui hak
prioritas, pada tanggal 25 November 2005 dengan Nomor D002005026051,
dengan nama pemilik Crocs Inc, yang berkedudukan 6273 Monarch Park
Place, Niwot. Sebelumnya telah terdaftar di negara asal Amerika Serikat.
Pada prakteknya di Indonesia banyak muncul produk sandal dari Cina yang
terindikasi mirip dengan sandal Crocs. Perlindungan hukum terhadap merek
terkenal Crocs yang berasa dari Amerika Serikat di wilayah yuridiksi
Indonesia, hanya dapat dilakukan dengan pendaftaran melalui hak prioritas,
karena bergabungnya Indonesia dalam perjanjian internasional pada World
Intellectual Property Organization (WIPO).
3. Mencegah Persaingan Curang
Selain daripada diatas, bisa juga keistimewaannya untuk melindungi dalam
mendukung persaingan usaha yang sehat, dikarenakan untuk mencegah
tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain yang beritikad tidak
baik yang bermaksud membonceng reputasinya. Dengan kata lain mencegah
produsen melakukan perbuatan curang.
38
Dalam hal memberikan perlindungan terhadap merek terkenal, Australia
memberlakukan prinsip defensif yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan merek terkenal terhadap tindakan persaingan curang atau
passing off.55
Pasal 17 Undang-undang Merek Dagang Australia Tahun 1995 membuat
ketetapan bagi pendaftaran defensif merek dagang di Australia, pendaftaran
merek defensif berbeda dengan pendaftaran merek dagang biasa pada
umumnya dalam tiga hal yaitu:56
pertama, yang memenuhi pendaftaran merek defensif adalah
merek terkenal. Kedua, merek dagang defensif dapat didaftarkan
berkenaan dengan merek dagang barang atau jasa yang tidak
digunakan oleh pemiliknya. Ketiga, pendaftaran defensif tidak
dimaksudkan untuk penghapusan atau pembatasan pada pedagang
yang bukan pengguna, sebaliknya pendaftaran defensif
memfasilitasi para pemilik merek dengan jenis karakteristik
produk yang sama dengan yang disediakan para pemilik
pendaftaran biasa pada umumnya.
Passing off ini banyak diterapkan dalam negara yang menganut sistem
hukum common law, diantaranya adalah Australia dan Amerika. Dalam
sistem hukum comon law, pemboncengan merek (passing off) ini merupakan
suatu tindakan persaingan curang (unfair competition), dikenakan tindakan
ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek yang telah mendaftarkan
mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian dengan adanya pihak yang
secara curang membonceng atau mendompleng merek miliknya untuk
mendapatkan keuntungan finansial.57
Passing off tersebut dilandasi niat untuk
55
Julius Rizaldi, Op. Cit., h. 54. 56
Ibid., h. 54-55. 57
Nur Hidayat, “Perlindungan Hukum Bagi Merek yang Terdaftar”, Ragam Jurnal Pengembangan Humanivora, Vol. 11, No. 3, 2011, h. 180.
39
mendapatkan jalan pintas agar produk atau bidang usahanya tidak perlu
memerlukan usaha membangun reputasi dan image dari awal lagi, selain itu
juga sangat berpotensi untuk menipu konsumen dan menyebabkan
kebingungan public di masyarakat tentang asal-usul suatu produk.58
Dalam sistem common law. passing off dapat diartikan secara singkat
menjadi pemboncengan reputasi dan citra terhadap sebuah merek yang sudah
dahulu dan atau lebih terkenal. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh dan
membuat bingung masyarakat umum yang mengakibatkan publik salah
memilih barang yang seharusnya, bagi pihak pelaku passing off
mendatangkan keuntungan tetapi pihak yang diboncengi mengalami kerugian
yang tidak sedikit.59
Merek terkenal sering menjadi obyek pelanggaran karena
terkait dengan reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal tersebut sehingga
seringkali menggoda pihak-pihak lain yang beritikad buruk untuk
membonceng dengan cara-cara yang melanggar etika bisnis, norma
kesusilaan maupun hukum.60
Pengertian passing off berdasarkan Black’s Law Dictionary adalah sebagai
berikut: “The act or an instance of falsely representing one’s own product as
that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is
actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be
actionable as trademark infringement.”
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diartikan bahwa passing off
adalah tindakan curang dengan cara membonceng reputasi merek lain untuk
58
Fajar Nurcahya, Op., Cit, h. 102. 59
Elvin Harifaningsih, Kasus Merek Dominasi Perkara HAKI, Bisnis Indonesia, 2009, h. 10. 60
Samariadi, “Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dari Tindakan Passing Off Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek”, JOM Fakultas Hukum, Vol. 1, No. 2, Oktober 2014, h. 4.
40
menipu calon konsumen. Pengaturan mengenai passing off tersebar ke dalam
pengaturan mengenai persaingan curang, perbuatan melawan hukum, dam
pelanggaran merek.
Menurut salah satu ahli hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia, definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common law tort
to enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua
unsur dari passing off:61
1. Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan
perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW);
2. Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek
terkenal yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari
digunakan oleh pihak lain.
Elemen yang diperlukan agar passing off dapat digunakan adalah:62
1. Reputasi: yaitu apabila seseorang pelaku usaha selaku penggugat
memiliki reputasi bisnis yang sangat baik di mata publik atau sudah
dikenal publik.
2. Misreprestasi: dengan terkenalnya merek yang digunakan oleh pelaku
usaha tersebut, maka apabila ada pelaku usaha lain mendompleng
merek yang sama, maka publik yang relevan dengan merek tersebut
dapat terkecoh dan khilaf atau tertipu.
61
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20887/dapatkah-doktrin-passing-off-diaplikasikan-di-indonesia dikunjungi pada tanggal 28 Oktober 2017pukul 20.31.
62 Ibid.
41
3. Kerugian: elemen kerugian jelas dapat ditimbulkan oleh merek
pendompleng terhadap reputasi yang telah dibangun oleh merek yang
didompleng.
Passing off memang merupakan pranata yang dikenal dalam sistem hukum
common law. Pemboncengan merek sering disebut dengan passing off atau
pemboncengan reputasi dimana perbuatan yang mencoba meraih keuntungan
dengan cara membonceng reputasi merek yang sudah terkenal atau beredar.63
Di dalam UU Merek, tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur
mengenai passing off karena passing off lebih dikenal di negara-negara
penganut common law. Namun, ada ketentuan dalam Undang-undang tersebut
yang mengakomodasi kepentingan pemilik merek terkenal untuk melindungi
mereknya dari perbuatan curang pihak lain. Ketentuan tersebut terdapat
dalam Pasal 21 ayat (3), yang menyebutkan: “Permohonan ditolak jika
diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.”
Selanjutnya penjelasan mengenai “Pemohon yang beritikad tidak baik”
dapat diketahui berdasarkan Penjelasan Pasal 21 ayat (3) UU Merek.
Penjelasan tersebut sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “pemohon yang beritikad tidak baik”
adalah pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan
mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti
merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan
kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau
menyesatkan konsumen.
Contohnya permohonan merek berupa bentuk tulisan, lukisan,
logo, atau susunan warna yang sama dengan merek milik pihak
lain atau merek yang sudah dikenal masyarakat secara umum
63
Lis Julianti, “Upaya Pemberian Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Usaha Akibat Tindakan Passing Off Terhadap Hak Merek Dagang Dalam Sistem Hukum Merek di Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati, Denpasar, h. 89.
42
sejak bertahun-tahun. Ditiru sedemikian rupa sehingga memiliki
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
yang sudah dikenal tersebut. Dari contoh tersebut sudah terjadi
itikad tidak baik dari pemohon karena setidak-tidaknya patut
diketahui adanya unsur kesengajaannya dalam meniru merek yang
sudah dikenal tersebut.
Passing off muncul ketika suatu usaha yang memiliki reputasi tidak
memiliki merek dagang atau tidak dapat mendaftarkan merek dagangnya
namun memerlukan perlindungan hukum dari upaya pihak lain yang hendak
membonceng reputasi usaha tersebut dan passing off ini bertujuan melindungi
baik konsumen maupun pelaku usaha dari adanya praktek-prektek usaha yang
dilakukan oleh pihak lain untuk meraih keuntungan dengan cara-cara yang
merugikan atau membahayakan reputasi pelaku yang asli. Passing off
mencegah pihak-pihak lain untuk melakukan beberapa hal, yaitu:
1. Menyajikan barang atau jasa seolah-olah barang atau jasa tersebut
milik orang lain;
2. Menjalankan produk atau jasanya seolah-olah mempunyai hubungan
dengan barang atau jasa milik orang lain.
Di negara-negara common law, passing off berkembang sebagai bentuk
praktek persaingan curang (tidak jujur) dalam usaha perdagangan atau
perniagaan. Tindakan ini mengakibatkan pihak lain selaku pemilik merek
yang telah mendaftarkan mereknya dengan itikad baik mengalami kerugian
dengan adanya pihak yang secara curang membonceng atau mendompleng
merek miliknya untuk mendapatkan keuntungan finansial.
Persaingan curang (unfar competition) dalam Black’s Law Dictionary
adalah:
43
“A term which may be applied generally to all dishonest or
fraudulent rivalry in trade and commere, but is particulary
applied to the practice of endeavoring to substitute one’s own
goods or products in the markets for those of another, having an
established reputation and extensive sale, by means of imitating
or counterfeiting the name, title, size, shape or distinctive
peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or
general appearance of the package or those such simulations, the
imitation being carried far enough to mislead the general public
or deceive an unway purchaser, and yet not amounting to an
absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or
trade name.”
Persaingan tidak jujur adalah peristiwa dimana seseorang untuk menarik
para langganan orang lain kepada perusahaan dirinya sendiri atau demi
perluasan penjualan omzet perusahaanya, menggunakan cara-cara yang
bertentangan denga itikad baik dan kejujuran di dalam perdagangan.64
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dianggap sebagai persaingan curang
khususnya adalah sebagai berikut:65
1. Semua perbuatan yang sifatnya demikian rupa hendak
menciptakan kekacauan (to create confusion) mengenai
perusahaan barang-barang atau usaha industri dan dagang dari
seorang konkuren
2. Kenyataan palsu berkenaan dengan perdagangan yang
sifatnya demikian rupa untuk mendiskreditkan usaha
pengusaha atau barang, industrial dan komersial daripada
seorang pesaing
3. Indikasi atas kenyataan-kenyataan tentang pemakaian dalam
rangka perdagangan yang dapat mengelabuhi unsur khalayak
ramai berkenaan dengan sifat, proses pembuatan, sifat-sifat
karakteristik dan cocoknya untuk tujuan bersangkutan,
berkenaan dengan kuantitas atau barang.
64
R.M. Suryodiningrat, Aneka Hak Milik Perindustrian, Tarsito, Bandung, 1981, h. 66. 65
Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional: TRIPs, GATT, Putusan Uruguay (1994), Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1994, h. 30.
44
Dalam persaingan tidak jujur tersebut yang dilakukan oleh pengusaha yang
tidak beritikad baik dengan cara memproduksi barang-barang dengan
mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat
yang bukan merupakan haknya. Dengan kata lain pengusaha tersebut dengan
itikad tidak baik telah membonceng reputasi merek yang sudah terkenal.
Salah satu contoh kasus dalam putusan yang berkaitan dengan tindakan
passing off di Indonesia adalah kasus Pierre Cardin, yang telah diputus
dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 15/Pdt.Sus-HKI/2015/PN/Niaga.Jkt.Pst tanggal 9 Juni 2015,66
sebagaimana telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor
557/K/Pdt.Sus-HKI/2015 tanggal 30 November 2015.67
Dalam kasus
tersebut, pemilik merek terkenal Pierre Cardin (penggugat) mengajukan
gugatan terhadap Alexander Satryo Wibowo (tergugat) yang telah
mendaftarkan merek Pierre Cardin terlebih dahulu di Indonesia. Menurut
penggugat, bahwa tergugat dalam mendaftarkan merek tersebut jelas-jelas
tidak didasarkan dengan itikad baik (baid faith) karena; kata Pierre Cardin
dan logo Pierre Cardin bukanlah kata dan logo yang lazim digunakan di
Indonesia, sehingga sangat jelas apabila tergugat melakukan peniruan yang
disengaja dan bertujuan untuk mendompleng keterkenalan penggugat, dan
berniat untuk membonceng, meniru, menjiplak merek penggugat yang sudah
terkenal secara jalan pintas untuk menyesatkan konsumen. Namun dalam
putusannya, hakim menolak gugatan tersebut. Dengan pertimbangan hukum,
66
http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/b5058cfa7cb70012d026e8afbe5381f2, dikunjungi pada tanggal 29 Oktober 2017 pukul 11.30.
67 https://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/8ee7a3e92afe0c49d9b033361785f1f7 ,
dikunjungi pada tanggal 29 Oktober 2017 pukul 13.00.
45
bahwa pada saat merek tergugat didaftarkan, merek penggugat dianggap
belum sebagai merek terkenal walaupun merek Pierre Cardin milik penggugat
telah didaftarkan di negara-negara yang tergabung dalam Organisation
Mondiale de la Propriete Inteletuelle (Organisasi Dunia Hak Kekayaan
Intelektual), walaupun ada merek dan logo Pierre Cardin tidak lazim
digunakan di Indonesia tidak berarti bahwa pendaftaran merek tergugat
didasarkan pada itikad tidak baik (bad faith), dalam setiap produk tergugat
selalu mencantumkan kata-kata “product by PT Gudang Rejeki”.
Tidak terima gugatannya ditolak, Pierre Cardin mengajukan kasasi. Tetapi
hakim Mahkamah Agung kembali menolak gugatan. Terdapat muncul
dissenting opinion oleh salah satu hakim pada kasus tersebut. Beberapa
hakim menganggap bahwa penggunaan merek Pierre Cardin oleh tergugat
bukan merupakan pemboncengan reputasi karena tergugat mencantumkan
kata-kata “product by PT Gudang Rejeki” dalam setiap produknya. Namun,
hakim lain menganggap penggunaan merek dengan susunan kata, huruf, dan
pengucapan yang sama persis dengan bahasa yang tidak lazim digunakan
dalam bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk pemboncengan reputasi.
Dari kasus diatas tersebut, Passing off sebagai salah satu bentuk
pelanggaran hak atas merek mengakibatkan pelaku usaha yang menjadi
korban tindakan ini sulit memperoleh perlindungan hukum. Adanya faktor-
faktor yang memotivasi pelanggaran ini dan juga perilaku masyarakat yang
melakukan pembelian produk passing off menunjukkan bahwa masih
rendahnya pemahaman terhadap norma-norma hukum yang berlaku tentang
merek dan HAKI.
46
Berbeda dengan di Indonesia, di Amerika pengaturan passing off dalam
sistem hukum merek Amerika Serikat dapat ditemukan pada Bab 43 huruf a
(1) Lanham Act. Lanham Act telah mengakomodasi passing off karena telah
menguraikan elemen-elemen passing off dan memberikan perlindungan
kepada merek serta segala sesuatu pembeda bisnis. Lanham Act memberikan
hak gugat bagi pemilik merek terkenal yang merasa dirugikan akibat tindakan
passing off yang dilakukan oleh pihak lain.
Kenapa merek terkenal mempunyai keistimewaan seperti diatas? Karena
merek tersebut sudah menjadi terkenal dan menjadikannya berbeda secara
umum dengan merek biasa. Terdapat perbedaan perlindungan hukum
terhadap merek terkenal dengan merek biasa pada umunya, yaitu dalam
pendaftaran. Negara-negara maju sangat berkepentingan dalam rangka
memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal karena memiliki
kewajiban untuk melindungi kepentingan warga negaranya di manapun
berada. Dalam hal ini sudah sewajarnya jika merek terkenal mendapatkan
perlindungan khusus. Walaupun di Indonesia masih kurang dalam hal
memberikan perlindungan terhadap merek terkenal.