Post on 24-Feb-2018
Auditorium Musik Klasik 11
BAB II
DATA AWAL PROYEK
Kasus : Auditorium Musik Klasik
Sifat proyek : Semi-Fiktif
Lokasi : Jl. Profesor Sutami, Setrasari, Bandung
Luas lahan : + 13500 m2
Luas bangunan : + 6051.2 m2, dan parkir + 7590.7 m2
Batas lahan perancangan
Utara : Perumahan Penduduk,
Selatan : Jl. Prof. Sutami, Setrasari Mall
Timur : Sawah kering, Bengkel, Mesjid
Barat : Sawah Kering, Jl. Prof. Surya Sumantri
Pemilik proyek :
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, dalam hal ini Bandung Choral
Society (BCS), yang bekerjasama dengan lembaga donatur independen dan LSM
internasional penyelenggara pertunjukan musik klasik berskala internasional
seperti International Federation Choir Music(IFCM), Musica Mundi, dll.
Pemilik dana :
Interkultur Foundation dan lembaga donatur independen
Garis Sepadan Bangunan (GSB): 15 dari pinggir jalan.
2.1 Lokasi
2.1.1 Pertimbangan Pemilihan Kota
Lokasi perancangan auditorium musik ini terletak di kota Bandung. Kota
Bandung merupakan salah satu kota di Propinsi Jawa Barat yang cukup potensial.
Dalam Peraturan Pemerintah No.47 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Kota Bandung ditetapkan sebagai salah satu Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) bersama-sama dengan 14 kota lainnya. Peta tata guna
lahan kota Bandung ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Auditorium Musik Klasik 12
Gambar 2. 1 Peta TGL.
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung Tahun 2013
Bandung juga merupakan kota yang sangat padat penduduknya dan rata-rata
memiliki kesibukan tersendiri di kesehariannya sehingga menyebabkan kota
Bandung menjadi kota yang sibuk setiap waktu. Kota Bandung secara
administratif merupakan ibukota propinsi Jawa Barat dengan luas wilayah
16.729,65 ha. Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung tediri atas 6 wilayah
pengembangan, 26 kecamatan, serta 139 kelurahan dan desa. Perluasan Kota
Bandung dilakukan pada tahun 1987 berdasarkan PP No. 16 tahun 1987.
Perluasan ini dilakukan untuk mengantisipasi masalah kekurangan lahan di
Kotamadya Bandung lama. Selain itu perluasan Kotamadya Bandung ini
diharapkan juga dapat menampung fungsi-fungsi utama Kotamadya Bandung.
Pertumbuhan penduduk Kotamadya Bandung setelah perluasan kota tahun 1987
mengalami peningkatan meskipun tidak pesat. Penduduk Kota Bandung
berdasarkan hasil registrasi dari Dinas Kependudukan Pemda Kota Bandung pada
akhir tahun 2001 adalah 1.844.119 jiwa (perempuan 914.181 jiwa dan laki-laki
929.938 jiwa). Menurut sensus penduduk tahun 2000 rata-rata kepadatan
penduduk Kota Bandung 12.770 jiwa/km2, dilihat dari segi jumlah penduduk,
kecamatan di kota Bandung memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia
namun sampai saat ini fasilitas untuk publik yang memadai sebagai tempat
berapresiasi, berekreasi bersama keluarga, berinteraksi dengan warga dan
Auditorium Musik Klasik 13
sebagainya masih kurang. Dari data Dinas Tata Kota, ternyata fasilitas–fasilitas di
kota Bandung belum dapat berfungsi dan terencana dengan baik.
Citra kota Bandung sebagai kota tujuan wisata berskala nasional dapat menarik
animo pengunjung baik dari luar kota maupun luar negeri untuk datang. Di
samping dapat berbelanja, para wisatawan dan pengunjung pun dapat
memanjakan diri, relaksasi, dan rekreasi sambil menikmati suasana asri kota.
Pemilihan lokasi ini dianggap tepat dan diharapkan fasilitas ini bisa berdiri secara
harmonis dengan bangunan-bangunan komersial yang fasilitasnya beragam.
Selain itu, pemilihan lokasi di kota Bandung juga dikarenakan kota Bandung
dikenal sebagai kota yang sarat dengan seni. Banyak seniman yang dihasilkan dari
kota ini. Bandung juga merupakan salah satu tujuan para wisatawan dalam negeri
untuk menghabiskan akhir pekan. Karena keindahan yang masih terjaga di kota
ini. Bandung sampai dijuluki orang sebagai ‘Paris van Java’, sense Paris yang
melekat di kota Bandung karena indahnya.
Kota Bandung juga bisa dikatakan sebagai kota pengembang paduan suara di
Indonesia, karena beberapa paduan suara yang berhasil berprestasi di
Internasional berasal dari kota Bandung, contohnya PSM Universitas
Parahyangan (WCG 2000, WCG 2002, Magdhobedoorf 2003), PSM Universitas
Padjadjaran (WCG 2000, WCG 2002, Grand Prix di Inggris), PSM Universitas
Kristen Maranatha (Kompetisi di Yunani, dan Prancis), PSM Institut Teknologi
Bandung (WCG 2004, WCG 2006). Dari paduan suara-paduan suara inilah juga
lahir tokoh-tokoh musik dan pelatih vokal yang terkenal di Indonesia. Seperti;
Catharina W. Leimena, Avip Priatna, Indra Listiyanto, Yohanna Nurindro, Ivan
Yohan, Ign. Bambang Jusana.
Selain itu, setiap tahunnya kota Bandung pasti akan selalu dikunjungi oleh para
pecinta paduan suara dan musik klasik karena diadakannya kompetisi paduan
suara dengan skala nasional yang paling bergengsi, dan simposium musik klasik.
Auditorium Musik Klasik 14
Kompetisi paduan suara yang dimaksud adalah Festival Paduan Suara ITB
(diadakan pada tahun genap), dan Kompetisi Paduan Suara Unpar (diadakan pada
tahun ganjil). Untuk symposium sendiri diadakan oleh Bandung Choral Society
pada tahun ganjil (terakhir kali diadakan pada Juni 2007 ). Bandung Choral
Society merupakan organisasi yang menaungi kegiatan paduan suara yang ada di
kota Bandung.
Melihat padatnya agenda kegiatan paduan suara di kota ini, maka sangat tepat bila
auditorium ini dibangun di kota Bandung, selain mewadahi kegiatan tersebut juga
sebagai sarana meningkatkan apresiasi masyarakat umum terhadap musik klasik
di kota ini.
2.1.2 Lokasi Proyek
Lokasi perancangan auditorium musik klasik ini berada di daerah Propinsi Jawa
Barat, Kotamadya Bandung, Kelurahan Pasteur, Kecamatan Sukajadi, Jl. Prof.
Sutami. Lokasi proyek ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Lokasi Proyek.
Sumber : RTRW Kota Bandung 2013
Lokasi Proyek
Auditorium Musik Klasik 15
2.2 Peraturan dan Standar yang Digunakan
2.2.1 Asumsi
Beberapa asumsi yang diambil adalah:
- Pengadaan biaya untuk pembangunan fasilitas ini telah disanggupi dan
ditanggung oleh pihak Direktorat Jendral Kebudayaan dan Pariwisata dengan
bekerjasama dengan IFCM.
- Studi kelayakan proyek telah dilakukan dan dinyatakan layak secara ekonomi
dan sosial.
- Bagaimana mengantisipasi timbulnya pedagang atau tukang ojek kagetan
yang mengerumuni fasilitas ini sebagaimana yang seringkali terjadi pada
fasilitas hiburan yang sedang ramai dikunjungi oleh wisatawan sehingga kerap
mengganggu ketertiban fasilitas itu sendiri, juga kawasan di sekitarnya.
2.2.2 Standar yang Digunakan
2.2.2.1 Standar-standar akustik Akustik lingkungan, atau pengendalian bunyi secara arsitektural merupakan suatu
cabang pengendalian lingkungan pada ruang-ruang arsitektural yang dapat
menciptakan suatu lingkungan yang kondisi mendengarkannya ideal untuk
manusia. Bunyi yang ada dapat diserap, atau dipantulkan agar tetap terdengar
dengan nyaman. Pengendalian bunyi secara arsitektural mempunyai dua sasaran,
yaitu :
a. Menyediakan keadaan yang paling disukai untuk produksi, perambatan, dan
penerimaan bunyi yang diinginkan di dalam ruang.
b. Peniadaan atau pengurangan bunyi yang tidak diinginkan di dalam ruangan.
Dalam setiap situasi akustik, terdapat tiga elemen yang harus diperhatikan,
sumber bunyi, jejak (perambatan bunyi) dan penerima bunyi (penonton).
Auditorium Musik Klasik 16
2.2.2.1.1 Pendengaran Manusia
Telinga manusia dapat mendengar bunyi yang kekuatannya berada dalam
jangkauan 20 sampai 20.000 Hz, namun hanya peka terhadap bunyi yang
kekuatannya berada dalam jangkauan 400 sampai 5000 Hz, yaitu frekuensi
yang penting untuk integibilitas pembicaraan dan kenikmatan musik yang
sempurna. Pada kasus sekolah musik, bunyi-bunyian yang akan diperhatikan
adalah bunyi alat musik. Pada kenyataannya, skala Hertz yang banyak
digunakan mempunyai jangkauan yang lebar. Skala ini tidak
memperhitungkan kenyataan bahwa telinga tidak tanggap terhadap perubahan
tekanan bunyi pada semua tingkat intensitas. Karena alasan ini, tekanan bunyi
diukur dalam skala logaritmatik, yang disebut skala decibel (dB). dB hampir
sesuai dengan tanggapan manusia terhadap perubahan kekerasan bunyi.
Hubungan antara Hz dan dB dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Hubungan antara Hz dan dB
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2.2.2.1.2 Pemantulan dan Penyerapan Bunyi
Benda-benda keras seperti beton, batu bata, plester, dan gelas memantulkan
semua energi bunyi yang jatuh padanya. Sebaliknya bahan lembut, berpori
seperti kain dan juga manusia menyerap sebagian besar gelombang bunyi
yang jatuh padanya. Dalam auditorium, kondisi mendengar dapat diperbaiki
dengan penggunaan pemantul-pemantul bunyi yang besar, yang ditempatkan
Auditorium Musik Klasik 17
di tempat yang sesuai. Pemantulan dan Penyerapan Bunyi ditunjukkan pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Pemantulan dan Penyerapan Bunyi
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Akustik ruangan dirancang agar bunyi tidak memantul pada permukaan pantul
yang tidak diinginkan agar bunyi tidak terdengar saling menumpuk antara
bunyi asli dan bunyi pantulan. Dalam akustik lingkungan unsur-unsur berikut
dapat menunjang penyerapan bunyi:
1. Lapisan permukaan dinding, lantai dan atap.
2. Isi ruang seperti penonton, bahan tirai, tempat duduk dengan lapisan
lunak dan karpet.
3. Udara dalam ruang1.
Difusi bunyi (penyebaran bunyi) yang cukup diperlukan pada jenis-jenis
ruang tertentu untuk menghasilkan akustik ruang yang baik. Difusi bunyi
dapat diciptakan dengan beberapa cara :
1. Pemakaian permukaan dan elemen penyebar tak teratur dalam jumlah
yang banyak.
2. Penggunaan lapisan permukaan-permukaan pemantul bunyi dan
penyerapan secara bergantian.
3. Distribusi lapisan penyerapan bunyi yang berbeda secara teratur dan
acak1.
1 Doelle, L. L. 1986:26
Auditorium Musik Klasik 18
2.2.2.1.3. Bahan dan Konstruksi Penyerapan Bunyi2
Bahan-bahan dan konstruksi penyerapan bunyi yang digunakan dalam
rancangan akustik dapat diklasifikasi menjadi bahan berpori-pori, penyerapan
panel atau penyerap selaput, dan resonator tangga.
1. Bahan berpori
a. Unit akustik siap pakai
Material yang termasuk di dalamnya adalah bermacam-macam ubin
selulosa dan serat mineral yang berlubang maupun tak berlubang,
bertekstur, panel penyisip, lembaran logam berlubang dengan bantalan
penyerap. Penggunaan unit akustik siap pakai memberikan beberapa
keuntungan :
• Penyerapan bunyi dapat diandalkan dan dijamin oleh pabrik
pembuatnya.
• Pemasangan dan perawatan mudah serta murah.
• Dapat dihias kembali tanpa mempengaruhi jumlah
penyerapannya.
• Penggunaan pada sistem langit-langit dapat digabungkan
secara fungsional dan visual dengan persyaratan penerangan,
pemanasan atau pengkondisian udara.
• sebagian besar unit akustik.
Gambar 2.5 Macam-macam sambungan unit akustik siap pakai
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2 Doelle, L. L. 1986:30-43
Auditorium Musik Klasik 19
b. Plesteran akustik dan bahan yang disemprotkan
Biasa digunakan jika usaha akustik lain tidak dapat dilakukan karena
bentuk permukaan yang melengkung atau tidak teratur. Efisiensi
akustiknya tergantung pada kondisi pekerjaan seperti ketebalan,
komposisi campuran plesteran, jumlah perekat, keadaan lapisan dasar
pada saat digunakan, dan cara lapisan digunakan.
c. Selimut akustik
Dibuat dari serat-sert karang, serat-serat gelas, serat-serat kayu, rambut
dan sebagainya. Biasanya dipasang pada sistem rangka kayu atau
logam dengan ketebalan bervariasi antara 25 hingga 125 mm.
Penyerapan bergantung pada ketebalan lapisan.
d. Karpet dan kain
Mereduksi bahkan meniadakan dengan sempurna bising dari benturan
atas, dan bising permukaan (langkah kaki, perpindahan perabot).
Digunakan untuk dinding dan penutup lantai. Karpet pada dinding
harus tahan api.
2. Penyerap panel
Penyerap panel menyebabkan karakteristik dengung yang serba sama pada
seluruh jangkauan frekuensi radio.
Gambar 2.6 Penyerapan bunyi pada plywood 6 mm dengan jarak pisah 75 mm.
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Auditorium Musik Klasik 20
Beberapa bahan penyerap panel adalah panel kayu dan hard board,
gypsum boards, langit-langit plesteran yang digantung, plesteran berbulu,
plastic board tegar, jendela, kaca, pintu,lantai kayu dan panggung, pelat-
pelat logam (radiator).
3. Resonator tangga
Terdiri dari sejumlah udara tertutup yang dibatasi oleh dinding-dinding
tegar dan dihubungkan oleh lubang/celah sempit ke ruang sekitarnya, di
mana gelombang bunyi merambat.
a. Resonator rongga individual.
Balok beton standar yang menggunakan campuran yang biasa
tetapi dengan rongga yang telah ditetapkan, disebut soundbox,
merupakan jenis resonator berongga jaman sekarang. Balok dicor
dalam dua seri, disebut tipe A dan tipe B. Unit tipe A mempunyai
celah sekitar ¼ inci dan elemen pengisi yang tak mudah terbakar
dalam rongganya. Dalam kedua tipe ini, rongga tertutup di atasnya,
dan celah memungkinkan rongga tertutup tersebut berfungsi
sebagai resonator Helmholtz. Balok dibuat dengan ketebalan 10,
15 dan 20 cm, semuanya mempunyai ukuran muka nominal 20x41
cm. Penyerapan bunyi maksimum terjadi pada frekuensi rendah,
dan berkurang pada frekuensi yang lebih tinggi. Bagian permukaan
balok yang terlihat dapat dicat dengan pengaruh pada penyerapan
dapat diabaikan. Keuntungan yang besar terletak pada daya
tahannya yang tinggi.
b. Resonator panel berlubang
Diletakkan pada lapisan penunjang padat yang diberi jarak pisah.
Mempunyai jumlah leher yang banyak, yang membentuk lubang-
lubang panel. Lubang biasanya berbentuk lingkaran (kadang
pipih). Rongga udara di belakang lubang membentuk bagian
resonator yang tak terbagi, dan dipisahkan ke dalam lekukan oleh
elemen-elemen system kerangka yang horizontal dan vertikal.
Auditorium Musik Klasik 21
Selimut isolasi menambah efisiensi penyerapan keseluruhan
dengan memperlebar daerah frekuensi di mana penyerapan yang
cukup besar dapat diharapkan.
Gambar 2.7 Resonator rongga individual
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Gambar 2.8 Pemasangan resonator panel berlubang tertentu A) papan berlubang, (B) harboard, (C) logam atau plastik berlubang.
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Karakteristik dengung yang cukup seimbang dan merata dapat
diadakan dengan mengubah tebal panel berlubang, ukuran dan
jarak antar lubang, ke dalam rongga udara di belakang panel
berlubang, dan jarak pisah antara elemen-elemen sistem bulu
(furring system).
Auditorium Musik Klasik 22
c. Resonator celah
Selimut isolasi membutuhkan perlindungan terhadap goresan-
goresan, memberikan kesempatan pada arsitek untuk merancang
suatu lapisan permukaan atau layer perlindungan yang dekoratif,
dengan elemen-elemen yang penampangnya relatif kecil dan
dengan jarak antara yang cukup untuk memungkinkan gelombag
bunyi menembus antara elemen-elemen layer ke bagian
belakangnya yang berpori.
Gambar 2.9 Resonator panel berlubang
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2.2.2.1.3 Pemasangan dan Distribusi Bahan-bahan Penyerap
Karakteristik penyerapan bunyi sangat bergantung pada sifat-sifat fisik, detail
pemasangan, dan kondisi lokal. Cara pemasangan bahan akustik mempunyai
pengaruh yang besar pada sifat-sifat penyerapannya. Gambar berikut adalah
beberapa cara pemasangan yang digunakan dalam melakukan percobaan
penyerapan bunyi yang distandarisasi oleh The Acoustical and Insulating
Material Association tahun 1968.
Auditorium Musik Klasik 23
Gambar 2.10 Bahan Penyerap
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Tidak ada cara yang dapat dikatakan paling optimum untuk tiap pemasangan.
Bermacam-macam perincian yang harus diperhatikan secara serentak adalah
sebagai berikut :
1. Sifat-sifat bahan akustik
2. Kekuatan, tekstur permukaan, dan lokasi dinding-dinding ruangan di mana
bahan akustik akan dipasang
3. Ruang yang tersedia untuk lapisan permukaan tersebut
4. Waktu yang dibutuhkan
5. Kemungkinan penggantiannya dalam waktu yang akan datang
6. Biaya
2.2.2.1.4 Pemilihan Bahan Penyerap Bunyi
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan lapisan-lapisan penyerap
bunyi menurut Doelle tahun 1986 adalah
1. Koefisiensi penyerapan bunyi pada jangkauan frekuensi audio
2. Penampilan
3. Daya tahan terhadap kebakaran dan hambatan terhadap penyebaran api
4. Biaya instalasi
Auditorium Musik Klasik 24
5. Kemudahan instalasi
6. Keawetan
7. Pemantulan cahaya
8. Perawatan, pembersihan, pengaruh dekorasi terhadap penyerapan bunyi
9. Kondisi pekerjaan (temperatur, kelembaban)
10. Kesatuan elemen-elemen ruang dengan lapisan akustik
11. Ketebalan dan berat
12. Tahanan terhadap uap lembab dan kondensasi
13. Kemungkinan adanya langit-langit gantung
14. Nilai insulasi termis
15. Daya tarik terhadap kutu, kutu busuk, jamur
16. Kemungkinan penggantiannya
17. Kebutuhan serentak akan insulasi bunyi yang cukup
2.2.2.2 Persyaratan Akustik dalam Rancangan Theatre
1. Tingkat kekerasan yang cukup dalam tiap bagian auditorium terutama
ditempat-tempat duduk yang jauh.
• Penempatan penonton sedekat mungkin dengan sumber bunyi. Adanya
balkon sangat membantu dalam medekatkan penonton sebanyak mungkin
kepada sumber bunyi.
• Sumber bunyi harus dinaikkan agar bunyi sebanyak mungkin dapat
tersebar dengan merata
• Lantai penonton harus miring tetapi cukup landai
• Sumber-sumber bunyi harus dikelilingi oleh permukaan-permukaan
pemantul bunyi
• Permukaan pemantul bunyi yang paralel
• Menghindari tempat duduk penonton yang terlalu lebar
Auditorium Musik Klasik 25
Gambar 2.11 Persyaratan Akustik
Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
2. Energi bunyi yang didistribusi secara merata (difusi bunyi)
Dua hal penting yang harus diperhatikan :
a. Permukaan dinding tak teratur yang banyak (elemen-elemen bangunan
yang ditonjolkan, langit-langit yang ditutup, dinding-dinding yang
bergerigi, dekorasi permukaan yang dipahat, bukaan jendela yang dalam)
b. Permukaaan dinding tak teratur yang besar
3. Karakteristik dengung yang optimum
Gambar dibawah menunjukkan waktu dengung optimum pada berbagai
volume ruang.
Gambar 2.12 Hubungan antara Volum Ruang dan Waktu Dengung Sumber : Doelle, L. L. 1986. Akustik Lingkungan. Penerbit Erlangga : Jakarta.
Auditorium Musik Klasik 26
Dalam perancangan akustik suatu auditorium, waktu dengung (RT) harus
ditetapkan. Pengendalian dengung dilakukan dengan menetapkan jumlah
penyerapan ruang total yang harus diberikan oleh lapisan-lapisan akustik,
penghuni, isi ruang dan lainnya.
RT = xVAV
+16,0
RT = waktu dengung, sekon
V = volume ruang, m2
A = penyerapan ruang total, sabin/m2
x = koefisien penyerapan udara
4. Ruang yang bebas dari cacat akustik seperti gema, pemantulan yang
berkepanjangan, gaung, pemusatan bunyi, distorsi, bayangan bunyi, dan
resonansi ruang.
5. Menghindari bising dan getaran
Konstruksi bangunan sangat berpengaruh dalam mengeliminasi bising dari
luar. Tembok pemisah antara dinding bangunan harus terdiri dari dua lapisan
terpisah, dan dibangun dari dasar bangunan sampai atap.
Gambar 2.13 Insulasi Bunyi
Auditorium Musik Klasik 27
Lantai dan langit-langit juga dapat mengeliminasi bising di udara dan bising
benturan.
Gambar 2.14 Pemantul Bunyi
Gambar 2.15 Detil Lantai
Gambar 4.24 Hubungan antara Pintu Pintu yang ditempatkan secara selang-seling dapat membantu secara efektif pada
privasi akustik ruang-ruang yang ditempatkan sepanjang kedua sisi lorong.
Auditorium Musik Klasik 28
2.3 Pemahaman Tipologi Bangunan
2.3.1 Literatur
Beberapa Studi literatur yang digunakan adalah pada Walt Disney Concert Hall,
Los Angeles, USA, Esplanade, Theatres on the Bay, Singpura, dan PPHUI.
2.3.1.1 Walt Disney Concert Hall, Los Angeles, USA, 2003
Arsitek bangunan ini adalah Frank Gehry, dan ahli akustik bernama Yasuhisa
Toyota, dari Nagata Acoustics (Tokyo, Japan). Gehry sebagai sang arsitek, ingin
merancang bangunan seperti patung yang menggambarkan musik, yang
diharapkan dapat memberikan kesatuan antara pemain musik dan penonton.
Toyota sebagai ahli akustik, ingin membangun sebuah ruangan yang dapat
menciptakan musik yang hangat tanpa mengesampingkan kejernihan suara. Pihak
owner, keluarga Walt Disney, menginginkan sebuah Concert Hall yang memiliki
kualitas akustik yang terbaik di dunia. Walt Disney Concert Hall ditunjukkan
pada Gambar 2.17 a, b, c, d, e, f, g, dan h.
Dalam perancangan akustik, tim perancang dan pemain orkestra (Los Angeles
Philharmonic) mengunjungi beberapa concert hall di Berlin, Amsterdam dan
Boston. Keputusan yang dibuat adalah Suntory Hall (Tokyo) akan dijadikan.
standar akustik. Mereka menyukai keintiman yang diciptakan oleh lokasi
panggung dengan lokasi tempat duduk penonton.
Gambar 2.17a Ruang konser Gambar 2.17b Panggung
Auditorium Musik Klasik 29
Rancangan bangunan dimulai dengan merancang ruang pementasan yang
merupakan ruang utama. Konsep desainnya adalah perpaduan antara bentuk
tempat duduk penonton yang menyerupai patung yang dibentuk menjadi kotak.
Gehry mendeskripsikannya seperti perahu yang terbuat dari kayu yang diletakkan
disebuah boks, menggambarkan perjalanan penonton dalam musik (a journey
through music). Idenya adalah musik bukanlah pendengaran semata, namun juga
sebuah pengalaman. Kenyamanan duduk, kualitas visual dan suhu ruangan
menggambarkan musik itu sendiri. Psychoacoustic berperan penting dalam
pembangunan bangunan ini. Toyota memilih kayu sebagai material utama
ruangan, sebagai metamorfosa dari sebuah perahu dan juga dapat memberikan
akustik ruangan yang baik. Sebagai detail, layer yang seperti gelombang pada
bagian ceiling dan dinding interior yang bergelombang. Kedua detail tersebut
bertujuan juga untuk menyebarkan bunyi dan menciptakan lebih banyak pantulan
bunyi.
Ruang pementasan utama yang berkapasitas 2265 penonton, dibentuk 360° untuk
menciptakan kesatuan antara penonton dan performa dalam mengarungi
perjalanan musik dalam satu kesatuan. Jendela yang diletakkan setinggi 36 kaki
pada bagian North Window Terrace di atas balkon atas, memberikan pencahayaan
alami pada siang hari.
Gambar 2.17c Ruang Tunggu Gambar 2.17d Ruang Lobby Utama
Auditorium Musik Klasik 30
Walt Disney Concert Hall juga memiliki fasilitas edukasi, ruang theatre kedua
yaitu Roy and Edna Disney/CalArts Theatre (REDCAT) berkapasitas 266 bangku,
galeri seluas 3000 square foot yang dioperasikan oleh California Institute of the
Arts.
Dalam memfasilitasi para pengunjung, Walt Disney Concert Hall juga memiliki
reception hall, foyer yang berupa hall, perpustakaan musik, Starr Foundation
Green Room yang dapat mempersatukan antara penonton, artis, konduktor dan
pemain orkestra, The Founders Room yang dibuat untuk memfasilitasi
penyandang dana utama, bar, restaurant yang dapat melayani fine dining pada saat
ada pertunjukan dan pada saat tidak ada pertunjukan, dan sebuah café yang
beroperasi untuk makan siang dan makan malam.
Bagian performa difasilitasi dengan ruang latihan yang banyak, ruang ganti, ruang
baca, lounge dan café. Choral Hall adalah ruang gladi terbesar dengan kapasitas
pemain musik sebanyak 109, 120 paduan suara dan 137 bangku untuk educational
program dan special events. Untuk memfasilitasi konduktor dan music director
disediakan ruang khusus untuk mempersiapkan pementasan. Bagian administrasi
gedung diletakkan pada bagian selatan kompleks Concert Hall.
Gambar 2.17e Perspektif Gambar 2.18f
Eksterior Urban Park Dinding eksterior bangunan ditutup menggunakan panel stainless steel. Orientasi
bangunan yang dipadukan dengan rancangan blok plan memberikan tampak yang
indah jika dilihat dari sisi manapun. Los Angeles Stairway dan Courtyard yang
terletak di sudut First Street dan Grand Avenue akan menjadi jalan utama dalam
Auditorium Musik Klasik 31
Concert Hall dan akan memberikan kesinambungan antara bangunan eksisting
dan bangunan baru. Tower panel kaca akan memberikan kesan spektakuler pada
lobi utama. Backstage dapat diakses melalui Sempra Energy Grand Stariway dan
Edison International Plaza dan akses public kearah Urban Park dan the W.M.
Keck Foundation Children’s Amphitheatre.
Urban Park yang dibangun oleh pemerintah California merupakan taman publik
yang luas, berwarna, dan memiliki ornamen landscape dan bentuk vegetasi yang
mengitari Walt Disney Concert Hall. W.M. Keck Foundation Children’s
Amphitheatre adalah sebuah amphitheatre outdoor yang berkapasitas 300 orang
yang dapat menampung pementasan children and community programming.
Gambar 2.17g Amphitheatre Outdoor
2.3.1.2 Esplanade, Theatres on the Bay, Singapura
Esplande merupakan salah satu auditorium terbesar yang ada di Asia Tenggara.
Fasilitas yang ada di dalamnya cukup banyak antara lain concert hall, theater,
recital studio, outdoor theater, pertokoan, perpustakaan. Kapasitas yang dapat
ditampung oleh concert hall 1600 orang dan theater 1600 orang. Recital studio
dapat menampung 250 orang, sedangkan outdoor amphitheater 1000 orang.
Arsitek utamanya adalah Vikas M. Gore, yang kemudian dikembangkan oleh DP
Architects of Singapore. Penyelesaian desain yang dilakukan juga sangat menarik,
karena sangat user friendly untuk orang cacat. Karena biasanya orang cacat
terhambat untuk menonton di gedung pertunjukan karena tempat duduk yang
bertangga, namun di esplanade terdapat fasilitas khusus untuk orang-orang cacat.
Auditorium Musik Klasik 32
Dalam interior lobby terlihat bahwa Struktur sebuah bentang lebar dijadikan
elemen dekoratif sehingga selain monumental tapi juga enak untuk dilihat.
Dimana fasade bangunan yang terdiri atas 10998 duri ini menjadi elemen yang
sangat menarik. Di siang hari sinar matahari dapat masuk, namun tidak
menyilaukan hal itu dikarenakan oleh duri-duri yang saling menyirip dan
transparan.
Gambar 2.18a Perspektif Eksterior Gambar 2.18b Recital Hall
G
a
m
Gambar 2.18c Interior Gambar 2.18d Concert hall
Lobby
Auditorium Musik Klasik 33
2.3.2 Studi Banding Proyek Sejenis
2.3.2.1 Gedung Pertunjukan Usmar Ismail
Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) di Jakarta yang didirikan pada tahun
1997 saat ini telah merenovasi gedungnya menjadi sebuah tempat pertunjukan
dengan konsep the first integrated concert and cinema hall, diresmikan 16 Mei
2006.
Awalnya (PPHUI) merupakan tempat khusus untuk berbagai pertunjukan dan
biasanya hanya dipakai kedutaan, namun mengingat tidak kondusifnya keadaan
ini, maka tercipta ide sejak tahun 2005 lalu untuk membuat satu tempat yang
benar-benar cocok untuk mengadakan berbagai pertunjukan seperti, konser,
pertunjukan film, dan sebagainya. Ketiadaan gedung konser dengan standar
Internasional di Jakarta menjadi ide utama renovasi gedung ini.
Berbagai fasilitas dan peralatan yang tersedia di gedung pertunjukan bertaraf
internasional ini yaitu: acoustic concert hall, proyektor untuk pemutaran film,
sound system, layar bioskop, panggung, ruang ganti, serta lobi dan ruang
serbaguna.
Concert hall Usmar Ismail Hall ini berukuran 642 meter persegi dilengkapi
panggung berukuran panjang 18,14 meter dan lebar 5,7 meter serta tinggi 0,8
meter. Gedung itu berkapasitas 500 tempat duduk. Sebagai gedung bioskop,
gedung dilengkapi layar berukuran 13,5 x 5,5 meter. Jika digunakan untuk konser
musik, maka layar akan ditutup dengan papan tebal.
Gambar 2.19a Langit-langit Gambar 2.19b Dinding belakang
Auditorium Musik Klasik 34
Perancang akustik ruangan ini adalah Pakar akustik dari ITB, Prof Sugijanto.
Menurut beliau concert hall ini memiliki tingkat akustik yang cukup untuk
pertunjukan orkestra. Hal ini dibuktikan melalui konser Twilite Orchestra di
gedung ini yang tidak dibantu oleh pengeras suara sama sekali.
Sebuah gedung konser, menurut Prof. Soegijanto, mempunyai beberapa
persyaratan dan kondisi berbeda dengan gedung sinema. Untuk mendapat suasana
yang lebih hidup, suara yang datang harus memiliki waktu dengung
(reverberation time) lebih panjang. Waktu dengung adalah rentang waktu antara
saat bunyi terdengar hingga melenyap. Untuk ruang konser, waktu dengung ideal
adalah sekitar 1,6 detik.
Waktu dengung yang berlebihan akan mengakibatkan bertumbukannya antara
satu not yang telah dimainkan dengan not yang sedang dimainkan.
Bertumbukannya bunyi dengung not-not itu akan mengganggu kenikmatan
penonton dan memecah konsentrasi musisi. Usmar Ismail Hall dirancang untuk
menangkap utuh-utuh waktu dengung ideal.
Untuk itu, Usmar Ismail Hall dilengkapi pemantul bunyi (reflektor). Pemantul
bunyi ini dipasang pada langit-langit di atas panggung, mulai dari depan layar
hingga sedikit ke depan panggung. Reflektor berfungsi sebagai pemantul bunyi,
khususnya ke bagian paling belakang dari gedung. Reflektor terbuat dari bahan
plywood setebal 2 sentimeter.
Gambar 2.19c Dinding samping Gambar 2.19d Ruang Kontrol
Auditorium Musik Klasik 35
Selain itu, medan suara harus menyebar (diffuse) secara merata. Caranya dengan
membuat dinding dan langit-langit sedemikian rupa sehingga suara terpantul dan
tersebar merata ke seluruh posisi penonton. Dengan demikian, suara yang datang
akan melingkupi pendengar atau penonton di dalam gedung tersebut.
Untuk itu, dinding Usmar Ismail Hall dirancang tidak rata layaknya dinding
rumah. Ada beberapa pilihan, antara lain tampak bentuk kotak-kotak serupa
prisma dengan sedikit tonjolan.
Begitu pula langit-langit gedung dibuat tidak rata, tetapi dirancang dengan model
bergelombang. Rancang artistik dinding dengan bentuk prisma dan langit-langit
yang menggelombang itu sudah diperhitungkan dengan kaidah-kaidah akustik.
Untuk meminimalisasi penyerapan suara, gedung tidak seluruhnya dilapisi karpet.
Karpet hanya dipasang di gang tengah yang membelah gedung dan sedikit pada
bagian depan panggung.
Penataan sistem akustik menjadi lebih rumit karena gedung tersebut juga
berfungsi sebagai gedung bioskop. Keduanya memerlukan syarat tersendiri.
Untuk konser musik idealnya diperlukan waktu dengung sekitar 1,6 detik.
Sedangkan untuk gedung bioskop sekitar 1,1 detik.
Tirai dipasang pada dinding samping kiri dan kanan serta dinding pada bagian
belakang. Jika ditutup, tirai akan berfungsi sebagai penyerap suara dengan cara
meletakkan gorden atau tirai penutup pada dinding.
Untuk urusan penyerapan suara, bahan jok dan sandaran kursi harus dipilih yang
tidak menyerap suara, tetapi tetap membuat penonton nyaman. Prinsipnya, dalam
keadaan kosong atau diduduki, diusahakan agar tingkat penyerapan suara sama.
Auditorium Musik Klasik 36
Rancangan akustik gedung konser juga mempertimbangkan faktor suara yang
berasal dari luar gedung. Usmar Ismail Hall untungnya berjarak relatif cukup jauh
dari Jalan Rasuna Said yang bising pada jam-jam padat. Getaran suara dari luar
gedung berpotensi masuk melalui atap, dinding, atau ventilasi yang disebut
sebagai airborne sound atau suara yang merembet melalui udara.
Potensi suara dari luar justru datang dari bagian belakang gedung yang
merupakan lapangan sepak bola. Jika ada aktivitas di lapangan, suara gemuruh
sorak berpotensi merambat ke dinding gedung. Untuk itu, dinding pada bagian
belakang gedung dibuat dari bata tebal, rockwool yang meredam suara luar.
Gambar 2.19e dan 2.19f Interior dalam ruang konser (2.19e sisi dan 2.19f belakang)
2.3.2.2 Goethe House Institute Internationals
Merupakan bagian dari sebuah gedung pusat kebudayaan Jerman di Jakarta.
Auditorium ini bukanlah fungsi utama bangunan ini, melainkan sebagai fungsi
pendukung. Fungsi utamanya merupakan pelatihan bahasa Jerman.
Daya tampung auditorium ini sekitar 300 orang, dengan luas lebih kurang
mencapai 350 m2. Bagi pengelola Goethe House Auditorium ini biasa digunakan
untuk pertunjukan murid-murid dalam bermain musik, tari, dan teater. Namun
bukan berarti tertutup bagi orang luar untuk menggunakan. Auditorium ini sering
disewa oleh beberapa sekolah musik dan musisi untuk menampilkan karya-karya
mereka. Atap auditorium melengkung seperti sebuah badan perahu. Ukuran
Auditorium Musik Klasik 37
panggung 4,5x10 m, dengan panggung kecil tambahan 2x10 m. Panggung dilapisi
karpet yang bahannya menyerupai karet. auditorium juga dilengkapi dengan
screen 6x8 m yang dapat digulung untuk keperluan menonton film bersama. Di
dekat back stage terdapat ruang kecil yang dapat digunakan untuk menyimpan
piano.
Lantai penonton terbuat dari bahan parket, dan pemantul terbuat dari kayu
lengkung yang diletakan di dinding dan di langit-langit. Langit-langit balok
diekspos untuk membantuk pemantulan suara, namun tidak begitu saja dibiarkan
’telanjang’ reflektor juga diletakan dipasang di langit-langit untuk membantu
pemantulan.
Memiliki lobby dan foyer khusus untuk auditorium, namun karena pintu masuk
utama bukan melalui lobby tersebut sering kali ketika ada pertunjukan orang lebih
sering memilih lewat pintu utama dan masuk melalui inner court yang ada di
belakang auditorium. Tabel 2.1 menampilkan perbandingan antara PPHUI dengan
Goethe, Disney, dan Esplanade.
Auditorium Musik Klasik 38
Tabel 2.1 Perbandingan antara PPHUI dengan Goethe, Disney, dan Esplanade.
PPHUI Goethe Disney Esplanade Ruangan - Lobby
- Cafetaria - Concert hall - Theater - Perpustakaan
- Lobby - Kantin - Concert
Hall - Theater - Foyer - Perpustak
aan - Kelas
- Lobby - Cafetaria - Concert hall - Theater - Foyer - Perpustakaan - Ruang kelas - Choral Hall - 2 Ampiteater - Taman
- Lobby - Cafetaria - Concert hall - Theater - Perpustakaan - Ruang kelas - 1 Ampiteater - Studio - Recital Hall - Pertokoan
Material pembentuk Akustik
- Plywood 2cm - Karpet - Parket - Kain
- Kayu cembung 2cm
- Parket - Gipsum - Karet - Kayu Douglas
- Kayu
Kapasitas - 500 orang (Concert hall)
- 300 orang (Concert hall)
- 2265 orang (CH) - 300 orang (Ampi) - 266 orang (teater)
- 1600orang (CH) - 1000 orang (Ampi) - 1600 orang (teater) - 250 orang (resital)
2.4 Tinjauan Teori3
Dalam perkembangan sejarahnya sebuah ruang pertunjukan mulai berkembang
sejak jaman kerajaan Yunani. Seiring dengan perjalanannya sebuah ruang
pertunjukan ditata sedemikian rupa sehingga sebuah ruang pertunjukan atau
gedung pertunjukan menjadi bagian yang tidak terlupakan bahkan tidak bisa
dipisahkan dari perkembangan kebudayaan dalam masyarakat.
1. Teater Yunani dengan panggung terbuka.
Teater : ”the place from where one can see”. Diletakkan di
luar kota, di lahan yang miring. Awalnya dibangun dengan
menggunakan bahan kayu dan batu yang mulai
diperkenalkan sejak 4 SM. Area penonton diletakkan pada
sisi lembah, di atur seperti bentuk kipas 1800, mengelilingi
tempat pemain orkestra yang berbentuk lingkaran.
Gambar 2.20. Teater Yunani dengan panggung terbuka
3 Breton, G. 1989
Auditorium Musik Klasik 39
2. Teater Romawi berbentuk setengah lingkaran
Teater di Romawi dipengaruhi oleh teater dari
Yunani. Teater dibangun di dalam kota, di tanah yang
datar. Daerah penonton ditutupi oleh portico.
Gambar 2.21. Teater Romawi
3. Teater Mediaeval
Setelah kerajaan Romawi jatuh, teater diambil alih
oleh pihak gereja. Pada abad 11, drama
dipertunjukkan di depan altar atau tengah gereja.
Kemudian, ketika pertunjukan dilakukan di gereja
atau di area publik, walaupun instalasinya bersifat
temporer, dibangun dengan agung. Panggungnya
dari plat atau pedati. Pertunjukan menggabungkan
lagu-lagu, musik dan puisi.
Gambar 2.22. Teater Mediaeval
4. Galeri Elizabeth
Pada pertengahan abad 16 di Inggris, pertunjukan dilakukan
secara berpindah-pindah, dengan menaruh panggung di
halaman penginapan. Penonton berdiri di halaman di sekitar
panggung. Teater yang permanen dibangun di London pada
zaman Elizabeth I, dengan denah yang poligonal atau lingkaran.
Pada 1576, dibangun teater yang merupakan model teater
Elizabeth dan kemudian bentukan itu diikuti oleh teater publik.
Gambar 2.23. Galeri
Elizabeth
5. Amphiteater Renaisans
Pada 1580, Paladio membuat teater permanen dengan area
penonton yang berbentuk semi-elips di dalam hall
berbentuk kotak. Terdapat dinding panggung yang
didekorasi dan memiliki tiga pintu. Gambar 2.24. Amphiteater
Renaisans
Auditorium Musik Klasik 40
6. Masa kejayaan model dari Italia
Pada akhir abad 18, pertunjukkan opera menyebar ke seluruh
Eropa. Terdapat beberapa variasi bentuk geometri dari auditoria
Italia (tapal kuda, lyre, U dan elips yang memepat). Bentuk
auditorium dipengaruhi dari kebutuhan akustik dan garis
pandang penonton. Teater menjadi sebuah bangunan yang
berdiri sendiri, yang sebelumnya terdapat pada bangunan yang
sudah ada. Contoh dari model ini adalah La Scala di Milan.
Gambar 2.25. Auditorium
dari Italia
7. Amphiteatre
Konsep dari amphiteater adalah membangun kembali hubungan
yang tidak terputus antara panggung dan auditorium.
Gambar 2.26. Amphiteater
2.5 Kriteria Perancangan
Kegiatan yang diwadahi dalam gedung auditorium ini:
• Pertunjukan/pementasan yang meliputi kegiatan pementasan rutin dan insidental
dari kalangan musisi muda atau profesional dari Bandung dan seluruh Indonesia.
• Mewadahi jumlah pengunjung yang besar dengan aktivitas yang beragam seperti :
penonton pertunjukan, antrian untuk mendapatkan tiket, kepanitiaan atau Event
organizer, kedatangan dan kepulangan para artis penampil, aktivitas kendali
audio/visual effect, alur para official serta kegiatan administrasi pengelola.
• Pendidikan musik melalui workshop rutin ataupun insidental baik yang
diselenggarakan pengelola ataupun pihak lain.
• Fungsi komersial seperti kafetaria, lounge bar, toko buku, serta toko musik.
• Fungsi maintenance seperti jalur perawatan fasilitas dan area penyimpanan alat
musik.
Auditorium Musik Klasik 41
2.5.1 Langit-Langit
Langit-langit auditorium dirancang tidak datar(permukaan dimiringkan atau
dilengkungkan). Hal ini diatur sedemikian rupa sehingga membantu
menghasilkan sebuah reverberation time yang cukup untuk sebuah auditorium
musik klasik.
2.5.2 Ruang Duduk
• Lorong antar tempat duduk tidak boleh tersusun pada Sumbu Longitudinal
• Volume Tempat duduk; minimum 6,2 m3, optimal 7,8 m3, dan maksimum
10,8 m3
• Pola tempat duduk; 7-14-7 (Tradisional), maksimum 100 (kontinental)
• Lantai dibuat berundak, dimaksudkan agar pernerimaan suara dapat
langsung dan optimal, selain itu juga memungkinkan untuk melihat ke
depan dengan jelas.
2.5.3 Utilitas
• Utilitas disamarkan dengan penggabungan pada elemen akustik ruang
seperti dinding dan langit-langit.
• Loftblocks ditambahkan pada struktur atap sebagai area maintenance
utilitas.
2.5.4 Balkon
• Sudut angkat lantai balkon Maksimum. 350 .
• Ruang kontrol diletakkan di belakang balkon atau di sisi belakang lantai
dasar auditorium
2.5.5 Panggung
• Dimensi panggung; Panjang min. 12 m, dan lebar 16 m
• Ketinggian dinamis dengan menggunakan sistem elevator, terutama untuk
orchestra pit. Material yang digunakan kayu.