Post on 13-Mar-2019
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Geodesi Geomatika merupakan disiplin ilmu yang menitik beratkan pada
pengumpulan, pemrosesan dan penyampaian data geografis atau data informasi
spasial. Salah satu metode akuisisi data spasial yang sering digunakan dalam dunia
Geodesi Geomatika adalah akuisisi data dengan metode LiDAR. Secara umum
LiDAR memiliki keuntungan yaitu waktu akuisisi dan proses data yang relatif cepat,
cakupan daerah yang luas, data yang dihasilkan akurat, dan memiliki nilai ekonomis
yang tinggi.
Pada dasarnya data LiDAR merupakan data hasil perekaman gelombang-
gelombang laser yang dipancarkan dan ditangkap kembali oleh perangkat keras
LiDAR. Dalam akuisisi datanya, LiDAR membutuhkan pesawat terbang sebagai
wahananya. Sejauh ini pesawat terbang yang digunakan sebagai wahana LiDAR
pasti memiliki kesalahan dalam perekaman datanya. Hal ini dikarenakan pesawat
tidak bisa secara konstan stabil mempertahankan arah, gerakan, elevasi, dan jalur
terbang yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga dibutuhkan koreksi khusus
terhadap pergerakan pesawat dengan software tertentu.
Berbagai macam software pemrosesan data LiDAR telah membuktikan
bahwa akuisisi data spasial dengan metode LiDAR mulai banyak diminati oleh
pelaku bidang survei. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa teliti dan
reliable data yang dihasilkan setelah diproses dengan software LiDAR tertentu.
Software post processing data LiDAR memberikan kemudahan para
pengguna untuk mengkoreksi jalur terbang dari data LiDAR secara automatis,
dimana tiap-tiap jalur terbang dilakukan koreksi heading, roll, pitch, dan z shift
sesuai dengan pergerakan pesawat. Data LiDAR juga dapat dimodifikasi dan
dikoreksi secara manual, dimana adjustment data LiDAR pada tiap jalur terbang
dilakukan berdasarkan titik-titik ground yang telah diketahui tingginya. Pentingnya
informasi tentang perbedaan tingkat akurasi dari koreksi antar jalur terbang dengan
2
metode automatis dan manual, serta saat ini belum pernah dilakukan penelitian
terkait pengaruh perbedaan adjustment jalur terbang, mendasari penulis untuk
melakukan penelitian ini.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan pada sub-bab latar
belakang, hal yang hendak dicapai penulis pada penelitian ini adalah nilai
perbandingan tingkat akurasi data hasil metode koreksi antar jalur terbang secara
automatis dan manual.
I.3. Batasan Masalah
Batasan masalah dari Perbandingan Ketelitian Data LiDAR Hasil Koreksi
Antar Jalur Terbang Secara Automatis dan Manual adalah :
1. Uji ketelitian LiDAR dilakukan untuk menghitung perbedaan koreksi
secara manual dan automatis.
2. DEM yang digunakan merupakan ground class yang merupakan hasil
klasifikasi point clouds.
3. Titik uji hasil pengukuran Total Station (TS) merupakan data yang
dianggap benar bila dibandingkan dengan data LiDAR. Kedua data
tersebut mempunyai sistem koordinat yang sama.
I.4. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat akurasi data hasil
koreksi antar jalur terbang yang dihasilkan dari metode manual dan automatis.
I.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Pengguna software Terrasolid dapat mengkoreksi data LiDAR dengan
metode manual apabila menemui masalah dalam koreksi secara automatis
2. Pengguna Terrasolid dapat menghasilkan data output yang lebih akurat
dengan nilai RMSE yang sesuai standar.
3. Mengurangi atau meniadakan kesalahan-kesalahan yang dapat
mengurangi keakuratan data yang dihasilkan oleh software Terrasolid
3
I.6. Tinjauan Pustaka
Nugroho (2013) melaksanakan penelitian dengan menguji ketelitian elevasi
data LiDAR dengan menggunakan data hasil olahan GNSS sebagai pembanding.
Penelitian dilakukan di sekitar area Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan
luas area penelitian sekitar 1,7001 km2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu citra orthophoto, DEM (Digital Elevation Model) dan 161 titik uji GNSS yang
tersebar merata di sekitar area Universitas Gadjah Mada. Sebelum melakukan
pengukuran titik uji dengan menggunakan GNSS, terlebih dahulu terlebih dahulu
dilakukan penandaan diatas citra orthophoto mengenai lokasi titik uji yang akan
diukur. Pengukuran titik uji GNSS harus memenuhi standar baku yang telah
ditetapkan, yaitu minimum 20 titik uji tiap tutupan lahan. Posisi titik uji hasil
pengukuran GNSS tidak berada tepat persis dengan posisi titik uji hasil penyiaman
ALS, dikarenakan posisi titik uji GNSS tidak dilakukan penandaan saat penyiaman
ALS berlangsung. Posisi titik uji diperoleh dari hasil interpolasi point clouds ALS
yang didasarkan pada posisi titik uji GNSS. Titik uji hasil interpolasi tersebut
kemudian diselisihkan dengan titik uji GNSS. Langkah berikutnya melakukan seleksi
data menggunakan uji global (3σ) dengan rentang kepercayaan -3σ < x – μ < 3σ.
Langkah terakhir adalah menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) vertikal
tiap tutupan lahan dan analisis ketelitian berdasarkan standar ketelitian NMAS
(National Map Accuracy Standard)/NSDAA (National Standard for Spatial Data
Accuracy) agar dapat dijadikan referensi dalam pengadaan DEM untuk pembuatan
peta skala besar (peta penutup lahan 3 dimensi maupun peta orthophoto) dan
pengadaan DTM ketelitian tinggi. Ketelitian yang dihasilkan untuk tanah terbuka
0,132 m, vegetasi rendah (rumput) 0,131 m, jalan aspal 0,168 m, dan paving blok
0,160 m.
Harnanto (2012) melaksanakan penelitian dengan membandingkan ketelitian
hasil akuisisi ALS terhadap pengukuran topografi menggunakan TS di lokasi
tambang batubara pada lima kategori tutupan lahan, yaitu: daerah tebangan
(clearcut), daerah vegetasi (lightly thinned), jalan tanah (soil road), daerah tambang
(open pit area), dan tanah terbuka (barren ground). Pengambilan data dilakukan
pada bulan Desember 2010. Akuisisi data dilakukan pada salah satu daerah tambang
4
batubara di Muara Bungo provinsi Jambi menggunakan LITE-MAPPER 5600
Airborne Lidar System dengan laser scanner RIEGL LMS Q560. Spesifikasi
parameter survei ALS yang digunakan seperti tinggi terbang 1000m, kecepatan
pesawat rerata 100 knot, sudut sapuan 600, PRR 70 khz, dan scan speed 45 lines/s.
Pada penelitian ini menggunakan titik uji sebanyak 100 buah titik yang diketahui
koordinatnya secara 3 dimensi. Titik tersebut merupakan hasil pengukuran secara
terestris di lapangan yang diasumsikan memiliki ketelitin lebih baik dibandingkan
dengan data hasil penyiaman ALS dan dianggap benar. Titik uji hasil pengukuran TS
yang digunakan dalam penelitian biasanya tidak berada pada posisi yang sama pada
titik hasil penyiaman ALS, dan berada diantara titik-titik hasil penyiaman ALS,
karena titik pengukuran TS tidak dilakukan premark pada saat akuisisi data.
Sehingga untuk memperoleh titik uji pada point clouds perlu dilakukan interpolasi
titik pada DEM ALS berdasarkan data titik uji TS yang digunakan. Titik uji ALS
yang dibandingkan merupakan hasil interpolasi linier dengan menggunakan
perangkat lunak TerraScan Microstation V8i. Ketelitian elevasi yang di hasilkan di
lakukan analisis menggunakan NMAS (National Map Accuracy Standard)/NSDAA
(National Standard for Spatial Data Accuracy) agar dapat dijadikan referensi dalam
pengadaan DEM untuk pembuatan peta topografi daerah tambang skala besar.
Kartika (2010) melaksanakan penelitian dengan membandingkan ketelitian
elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 1100 m terhadap ketelitian elevasi
hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 700 m pada daerah beraspal. Akuisisi data
dilakukan di runway Cakrabuana Cirebon, pada runway 04 sampai dengan 22 dengan
arah azimuth 40 sampai dengan 220 serta elevasi ± 21 m di atas permukaan laut.
Ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dalam penelitian ini diuji menggunakan data
hasil pengukuran TS yang dianggap benar. Proses akuisisi data ALS menggunakan
RIEGL LMS Q560 Airborne Laser Scanner. Spesifikasi parameter survei ALS yang
digunakan, yaitu tinggi terbang 700 m dan 1100 m, kecepatan pesawat 60 m/s, sudut
sapuan 60, scan speed 60 lines/s, spasi titik 1 m. Berdasarkan parameter penyiaman
tersebut, penyiaman dengan tinggi terbang 700 m diperoleh lebar swath 808,290 m,
Pulse Repetition Rate (PRR) 48,497 khz, angular step width 0,0082. Kemudian
penyiaman dengan tinggi terbang 1100 m diperoleh lebar swath 1270,171 m, Pulse
Repetition Rate (PRR) 76,210 khz, angular step width 0,052. Pengolahan data ALS
5
menggunakan perangkat lunak TerraScan Microstation V8i. Berdasarkan hitungan
ketelitian yang dilakukan, hasil penyiaman ALS pada daerah beraspal memiliki
ketelitian sangat baik walaupun aspal hanya memiliki tingkat reflektifitas sebesar
20%. Reflektifitas sebesar ini dapat diperoleh DEM yang mencukupi untuk produksi
skala besar. Ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 1100 m dan
700 m pada daerah beraspal mencapai 15,9 cm dan 14,1 cm.
ZhaoLijian (2008) melakukan studi survei topografi ALS pada dataran pasang
surut dan zona pantai. Lokasi penelitian ini memeiliki karakteristik khusus berupa
daerah berlumpur yang sulit diakses manusia. Ketelitian data ALS dianalisis
menggunakan 49 titik uji hasil pengukuran GPS. Dari analisis tersebut diperoleh
RMSE sebesar ± 1,327 m untuk titik uji yang tersebar pada daerah dengan topografi
bergelombang dan diperoleh RMSE sebesar ± 0,403 m untuk titik uji yang
terdistribusi pada daerah datar. Berdasarkan standar ketelitian GBIT 13990 – 92
(1:5000, 1:10000 Topographic Map Aerial Photographic Surveying Industri
Standard), ketelitian data ALS tersebut mencukupi kebutuhan pemetaan topografi
hingga skala 1:5000.
Penelitian mengenai ketelitian data ALS pada daerah perkotaan telah dilakukan
di china oleh Wenquan (2008). Akuisisi data dilakukan pada bulan Maret 2006
menggunakan ALTM 3 100 Optech System. Lokasi studi berada di Nanjing Povinsi
Jiangsu China dengan luas 10 km2. Spesifikasi parameter akuisisi data ALS yang
digunakan, yaitu ketinggian terbang 800 m, kecepatan pesawat rata-rata 160
km/jam,arah terbang dari barat ke timur dan dari timur ke barat, jumlah jalur terbang
12, pulse repetition frequency (PRF) 100 KHz, sudut scan 20o, overlap swath 44%,
footprint distance 0,51 m, jarak GPS base station ke area studi 130 km. Pengolahan
data ALS dilakukan dengan menggunakan TerraSolid software yang terdiri dari
TerraScan, TerraPhoto, dan TerraModeler. Untuk menentukan ketelitian data ALS
digunakan 19 titik uji yang diukur menggunakan GPS. Setelah dilakukan analisis
diperoleh rata-rata beda elevasi sebesar 0,008 m, beda elevasi maksimum +0,151,
beda elevasi minimum -0,383 m. RMSE sebesar 0,119 m dan simpangan baku
sebesar 0,122 m.
Penelitian yang dilakukan penulis adalah membandingkan elevasi hasil koreksi
data ALS secara manual dan automatis, dengan data pengukuran terestris sebagai
6
data yang dianggap benar. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2012.
Akuisisi data dilakukan pada daerah di sekitar Universitas Gadjah Mada
menggunakan LITE-MAPPER 5600 Airborne Lidar System dengan laser scanner
RIEGL LMS Q560 dan dibawa dengan menggunakan pesawat Cessna 402B.
Spesifikasi parameter survei ALS yang digunakan seperti tinggi terbang 1000 m,
kecepatan pesawat rata-rata 117 knot, sudut sapuan 60o, PRR 100 KHz, dan scan
speed 100 lines/s. Pada penelitian ini menggunakan titik uji sebanyak 150 buah
dengan jenis tutupan lahan yang berbeda-beda dan dengan koordinat 3 dimensi yang
diketahui. Titik tersebut merupakan hasil pengukuran terestris menggunakan Total
Station yang dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi dibanding hasil penyiaman
ALS dan dianggap benar. Oleh karena titik uji dengan TS tidak dilakukan premark
pada saat akuisisi data, maka untuk memperoleh titik uji pada point cloud, perlu
dilakukan interpolasi titik pada DEM ALS berdasarkan data titik uji TS yang
digunakan. Titik uji ALS yang dibandingkan merupakan hasil interpolasi linear
secara manual.
7
I.7. Landasan Teori
1.7.1. Teknologi LiDAR
LiDAR (Light Detection and Ranging) telah secara luas dikenal oleh berbagai
kalangan yang digunakan untuk akuisisi data, baik itu di dunia topografi, morfologi,
hidrografi, forestri dan lain-lain.
Keakuratan LiDAR yang mencapai fraksi desimeter baik dalam planar maupun
ketinggian membuat LiDAR menjadi pilihan utama untuk pengukuran yang
membutuhkan keakuratan sekaligus kecepatan. Dalam mencapai hasil yang optimal,
ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan (Maas 2003). Diantaranya adalah :
1. Jarak maksimum dari base station GPS tidak boleh lebih dari 10km
(Cramer, 1997; Behan dkk., 2000; Kozmus dan Stopar, 2003; Turton, 2006)
2. Harus ada satelit konstelasi maupun geometri yang memadai.
(Katzenbeisser, 2003; Turton, 2006).
3. Di awal dan akhir pengukuran disarankan terdapat GPS statis yang
merekam data dengan menggunakan mobile GPS station yang dioperasikan
dekat dengan stasiun referensi. (Behan dkk., 2000; Burman, 2000).
Gambar I.1. prinsip kerja LiDAR
8
1.7.1.1. Prinsip kerja LIDAR secara umum.
Sistem kerja LiDAR berbeda-beda untuk tiap pabrikan. Tetapi semua jenis
LiDAR menggunakan komponen berikut :
1. Detektor dan pemancar laser
2. Mekanisme dan kotrol penyiaman
3. GPS (Global positioning system)dan IMU (Inertial measurement unit).
4. A high-accuracy, high-resolution clock untuk mengukur waktu emisi laser
dan kembalinya laser
5. pengukur sudut penyiaman.
6. Komputer high performance,
7. Media penyimpanan kapasitas besar
Dengan komponen di atas, maka pulsa laser dapat dipancarkan, pantulan pulsa
dari laser tersebut yang dipantulkan oleh permukaan tanah dapat terdeteksi dan
waktu yang presisi dapat terekam. Dengan tingkat akurasi posisi dan orientasi tinggi
yang dihasilkan oleh GPS dan IMU, maka pantulan sinar laser dari permukaan tanah
dapat dihitung, dengan persamaan berikut ini (Wehr and Lohr 1999).
R = c/2 . tL …………………………………………………… (I.1)
Keterangan :
R = jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m)
c = konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s)
tL = Travelling Time (ns)
Jarak yang harus dilewati laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor menuju
target dan dikembalikan lagi ke sensor sehingga jarak sensor ke titik target harus
dibagi dua.
Menurut Wehr dan Lohr (1999) prinsip pengukuran jarak menggunakan beda
fase menerapkan cara memancarkan sinar laser secara terus yang disebut sistem
gelombang sinar laser CW (continuous wave-system). Prinsip pengukuran jarak
dengan beda fase dapat dihitung dengan persamaan (Li dkk 2005).
(
) (
) (
) (
) ……………………….(I.2)
9
Keterangan :
R : Jarak dari sensor ke titik target yang diukur dengan beda fase (m)
ΔR : Selisih jarak yang didapat dari pancaran gelombang sinar laser (m)
c : Konstanta kecepatan cahaya (3.108
m/s)
f : frekuensi (Hz)
φ : fase (rad)
Δ φ : resolusi fase (rad), dan
π : phi (3,14)
Cermin mempunyai fungsi utama, yaitu memancarkan sinyal dari sensor laser
ke permukaan topografi. Tipe cermin dibagi menjadi dua, yaitu cermin putar dan
cermin osilasi dengan tipe pantulan yang berbeda (Sutanta 2002, dalam Nugroho
2013). Tipe pantulan cermin putar dan cermin osilasi dapat dilihat pada Gambar I.2
Gambar I.2 (a)Pola data hasil scanning dengan oscillating mirror dan
(b)rotating mirror (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013)
Berdasarkan Gambar I.2, arah terbang ditunjukkan dengan menggunakan arah
panah kemudian angka i, ii, dan iii merupakan pendefinisian dari garis penyiaman.
Karakteristik lain dari sensor, antara lain (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013) :
1. Panjang gelombang dari sinar laser yang digunakan,
2. Divergence angle,
3. Ukuran pulsa sinar laser di permukaan tanah (foot print size)
4. Frekuensi pemancaran pulsa
5. Frekuensi penyiaman, dan
6. Sudut penyiaman.
10
Menurut Istarno (2011) cara kerja LRF (Laser Range Finder) seperti halnya
RADAR, dengan pengecualian laser mentransmisikan pulsa sempit atau sorotan
(beam) sinar yang lebih baik dari pancaran gelombang radio. LRF terdiri dari dua
unit, yaitu : optis-mekanis scanner (penyiam) dan unit pengukur jarak laser (Wehr
dan Lohr 1999). Sensor tersebut merupakan kombinasi antara pemancar laser dan
penerima elektro-optis
Terdapat beberapa tipe penyiaman (scanner) yang umumnya digunakan untuk
akuisisi data LIDAR (Optech 2003, dalam Istarno dkk 2011), antara lain :
1. Penyiam cermin putar dengan kecepatan konstan
Gambar I.3 Pola penyiaman cermin putar kecepatan konstan (Maune 2007,
dalam Istarno dkk 2011)
2. Penyiam cermin osilasi
Gambar I.4 Pola penyiaman cermin osilasi (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)
11
3. Penyiam cermin nutasi
Gambar I.5 Pola penyiaman cermin nutasi (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)
4. Penyiam elips
Gambar I.6 Pola penyiam eliptik (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)
Untuk mendapatkan data range setiap pantulan sinar yang dikembalikan ke
data recorder maka dilakukan waveform signal processing. Waveform signal
processing merupakan prosedur pengolahan data LIDAR dengan menggunakan
algoritma signal processing, yaitu metode pulse range secara Gauss. Pada metode ini
setiap bagian signal laser yang mengenai objek akan membentuk echo pulse berupa
tampilan grafik Gauss.(Kartika 2010)
12
Gambar I.7. Pembentukan echo pulse (RIEGL 2009)
Gambar di atas mengilustrasikan pembentukkan echo pulse saat penyiaman
LIDAR. Pulsa berwarna merah merupakan signal laser yang dipancarkan ke target,
sedangkan warna biru adalah echo pulse yang terbentuk dari bagian signal laser yang
mengenai obyek. Setiap bagian signal laser yang mengenai obyek akan membentuk
echo pulse berupa tampilan grafik Gauss dengan bentuk unik. Prinsip dasar digitasi
full waveform adalah lebar echo pulse menunjukkan kekasaran permukaan,
volumetrik dan kemiringan permukaan obyek, amplitudo dari echo pulse
menunjukkan reflektivitas obyek, jarak antar echo pulse menunjukkan tinggi target
sedangkan posisi echo pulse menunjukkan jarak absolut target.
Dalam pengolahannya, informasi echo signal diolah dalam bentuk kurva
Gaussian yang digunakan untuk mengestimasi lokasi masing-masing echo dan
bentuk scattering-nya, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini.
13
Gambar I.8. Waveform Signal Processing (RIEGL 2009)
Ketika signal berinteraksi dengan reflektivitas permukaan target maka bagian
signal laser yang mengenai obyek akan membentuk gelombang kejut (echo pulse)
berupa tampilan grafik Gauss yang merupakan signal analog. Kemudian signal
analog disampel pada interval waktu tertentu dan dikonversi ke signal digital
menghasilkan digital data stream. Data stream disimpan dalam RIEGL data recorder
berdasarkan waktu akurat pengukuran perjalanan sinyal untuk off-line post
processing selanjutnya. Dalam post processing, signal dapat direkonstruksi secara
sempurna sehingga dapat dianalisis secara detil untuk menghasilkan informasi jarak
target, tipe target dan parameter lain (Kartika 2010).
1.7.1.2. Komponen sistem LiDAR.
LiDAR memiliki sistem yang saling terhubung dengan komponen-komponen
lainnya. Komponen utama yang digunakan diantaranya ialah : aerial platform, sensor
laser, IMU, GPS, dan perangkat lunak dan perangkat keras untuk pengolahan
LiDAR.
Aerial Platform. Sistem LiDAR dipasang pada wahana pesawat terbang atau
helikopter sebagai platform saat akuisisi data pada kegiatan survei. Pusat koordinat
dan orientasi terletak pada IMU.
Laser Scanner Unit. Sensor menembakkan sinar laser ke obyek kemudian
dipantulkan kembali oleh obyek tersebut, sehingga diperoleh data jarak. Tipe laser
14
yang dipancarkan dapat dibedakan menjadi pulse system dan continuous wave (CE-
system). Gelombang yang digunakan adalah near infrared. Terkait dengan
kemampuan gelombang near infrared maka survei LIDAR tidak bisa dilakukan saat
cuaca buruk seperti hujan, mendung dan berkabut. Bagian dari laser scanner yang
memancarkan sinar adalah transmitter (Wehr 2009).
Inertial Navigation System. Komponen ini merupakan suatu sistem inersial
untuk menentukan dan menghitung orientasi 3D posisi tiap titik terhadap kesalahan
roll,pitch, dan yaw (heading) pada tiap posisi LIDAR. INS dengan peralatan berupa
IMU melakukan pengukuran terhadap pergerakan dan rotasi pesawat terhadap sumbu
x (roll), sumbu Y (pitch), dan sumbu Z (yaw) berdasarkan grafitasi lokal dan utara
sebenarnya. Sistem referensi INS menggunakan kaedah tangan kanan. Dimana
sumbu x searah dengan pergerakan pesawat dan sumbu Y searah dengan sayap
kanan pesawat. (Harnanto 2007)
Global Positioning System. GPS merupakan sistem penentuan posisi tiga
dimensi secara teliti. Terdapat dua jenis GPS yang digunakan dalam pengukuran
LiDAR, yaitu GPS yang dipasang di tanah sebagai base station, dan GPS yang
ditempatkan di badan pesawat sebagai rover. GPS yang berada di tanah harus
diaktifkan saat pesawat mulai lepas landas hingga pesawat mendarat agar dapat
merekam secara utuh posisi lintasan pesawat dalam pengambilan data selama
penerbangan. GPS sebagai alat pengukur posisi yang memiliki tingkat kestabilan
yang baik untuk pengamatan dalam jangka waktu yang cukup lama. Airbone GPS
dapat menghasilkan ketelitian horisontal 5 cm dan vertikal 10 cm, sedangkan IMU
dapat menghasilkan attitude dengan akurasi dalam beberapa centimeter. (Liu 2008).
1.7.2. Ketelitian elevasi hasil penyiaman LiDAR
Pada penelitian ini, data elevasi yang dijadikan sebagai referensi menggunakan
data elevasi hasil pengukuran terestris menggunakan Total Station. Ketelitian
diperoleh dengan membandingkan data pengukuran LiDAR dengan data Total
Station yang dianggap benar dan dianggap memiliki ketelitian yang lebih tinggi
dibandingkan data LiDAR. Ketelitian hasil penyiaman LiDAR berdasarkan nilai
RMSE (Root Mean Square Error) yang diperoleh. Pengujian ini dilakukan dengan
15
menggunakan titik sampel uji yang berjumlah 214 titik pada kategori ketinggian
yang berbeda, Kerapatan titik dari raw data LiDAR tergantung pada PRR (Pulse
Repetion Rate) dari sensor LiDAR, sudut penyiaman, dan tinggi terbang pesawat
(Nugroho 2013).
1.7.5.1. Titik uji. Pemilihan titik uji dilakukan pada daerah yang sudah ditentukan.
Daerah yang dipilih adalah wilayah yang bertampalan antara flight line satu dengan
lainnya. kemiringan terain tidak boleh lebih curam dari 20% karena kesalahan
horisontal akan mempengaruhi perhintungan RMSE vertikal. Titik uji pada
penelitian ini berada di sekitar titik-titik GCP yang diukur dengan receiver GNSS.
1.7.5.2. Ketelitian elevasi. Ketelitian LiDAR salah satunya ditentukan oleh besarnya
RMSE dari elevasi. RMSE adalah akar kuadrat dari rata-rata perbedaan data yang
dikuadratkan antara nilai koordiant dataset dan nilai koordinat dari hasil survei
independen dengan ketelitian yang lebih tinggi untuk titik-titik identik (NSSDA
1998).
RMSE elevasi didapat dari hitungan kuadrat akar rata-rata perbedaan nilai
elevasi yang didapat dari penyiaman LIDAR dengan data hasil ukuran independen
yang mempunyai ketelitian lebih tinggi. Dengan rumus matematis sebagai berikut
(ASPRS 2004).
n
ZZRMSE surveilidar
2)(
………………………………………….(I.3)
Keterangan:
ZLiDAR = elevasi data hasil penyiaman LIDAR
Zsurvei = elevasi hasil survei independen yang mempunyai ketelitian lebih
tinggi
n = jumlah titik uji
Flood (1999), dalam Nugroho (2013) menyatakan bahwa hubungan matematis
ketelitian vertikal NMAS dan NSSDA dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut.
Ketelitian (Z) = 1,96 * RMSE (Z)……………………………………….(I.4)
16
NSSDA (1998), dalam Nugroho (2013) menyatakan bahwa jika kesalahan
vertikal terdistribusi normal, faktor 1,96 diterapkan untuk menghitung kesalahan linier
pada tingkat kepercayaan 95%.
1.7.3. Sistem tinggi LiDAR
Tinggi suatu titik di bumi didefinisikan sebagai jarak vertical terhadap suatu
bidang referensi. Pendefinisian ketinggian suatu bidang referensi (datum) sering
disebut system tinggi. Sistem tinggi di bidang geodesi berdasarkan bidang acuannya
yang dijadikan sebagai kerangka referensi tinggi ada 2, yaitu :
1. Sistem tinggi orthometris (geoid), yaitu jarak dari suatu titik di permukaan
bumi yang diukur sepanjang garis gaya berat bumi sampai ke geoid. Sistem
tinggi orthometris mempunyai realisasi fisis di permukaan bumi sehingga
dapat digunakan untuk keperluan praktis.
2. Sistem tinggi geometris (elipsoid), yaitu jarak linier di atas bidang ellipsoid
yang diukur sepanjang normal ellipsoid pada titik tersebut. Sistem tinggi
geometris tidak memiliki realisasi fisis di permukaan bumi sehingga tidak
dapat digunakan untuk keperluan praktis. Gambar hubungan tinggi
geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan topografi dapat dilihat pada
Gambar I.9.
Gambar I.9 hubungan tinggi geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan
topografi
17
Menurut Heliani (2011) prinsip hubungan matematis antara ketinggian titik di
atas elipsoid (h), tinggi titik diatas geoid (H), dan undulasi geoid di suatu titik di
permukaan topografi (N) dapat ditulis dalam persamaan (I.5)
N = h – H…………………………………………………………….(I.5)
Keterangan :
N : Undulasi geoid di suatu titik di permukaan topografi (m)
h : Tinggi titik di atas elipsoid (m)
H : Tinggi titik di atas Geoid (m)
Ketinggian titik di atas ellipsoid (h), didapat dari pengukuran GPS, sedangkan
ketinggian titik diatas geoid (H) didapat dari pengukuran sipat datar. Apabila tidak
memungkinkan dilakukan pengukuran sipat datar maka dapat digunakan model geoid
global. Jikanilai ketinggian titik di atas elipsoid (h), ketinggian titik di atas geoid (H)
diketahui, maka nilai undulasi geoid di suatu titik di atas permukaan bumi dapat
dihitung dengan persamaan (I.5).
GPS adalah sistem penentuan posisi dengan menggunakan satelit yang didesain
untuk menentukan posisi secara tiga dimensi dan memberikan informasi waktu
secara kontinu. Pemetaan LIDAR menggunakan dua sistem penentuan posisi, yaitu
penentuan posisi menggunakan ground GPS dengan tipe GPS Geodetic Dual
Frequency dan airborne GPS (GPS navigasi pesawat). Ground GPS didirikan di
permukaan topografi yang berfungsi sebagai titik kontrol tanah (base station).
Airborne GPS (GPS navigasi pesawat) berfungsi sebagai alat perekam posisi
pesawat, dan waktu saat pesawat terbang.
Posisi obyek di permukaan topografi didapat dengan mengintegrasikan dua
sistem utama, yaitu LIDAR dan GPS. Posisi obyek yang didapat dari hasil akuisisi
LIDAR berada di atas referensi elipsoid. Oleh karena itu, titik koordinat yang
dihasilkan dari pengukuran GPS adalah koordinat geografis dengan ketinggian
elipsoid
18
1.7.4. Kekuatan sinyal laser
Ketelitian hasil penyiaman LiDAR antara lain ditentukan oleh kekuatan sinyal
laser. Faktor yang mempengaruhi kekuatan sinyal laser antara lain panjang
gelombang dan energi dari pulsa yang dipancarkan, tinggi terbang, serta kemampuan
reflektivitas obyek. Makin tinggi wahana terbang maka kekuatan sinyal laser makin
berkurang. Reflektivitas merupakan kemampuan obyek memantulkan kembali laser
yang mengenainya. Reflektivitas permukaan obyek menentukan kekuatan pantulan
pulsa LiDAR yang diterima detektor. Kekuatan pantulan LiDAR inilah yang disebut
dengan intensitas LiDAR. Kualitas data sangat ditentukan oleh besarnya presentase
sinyal yang diterima kembali oleh sensor. Pada tipe area yang mampu mematulkan
100% dari pulsa yang diterima maka akan dihasilkan data elevasi yang sangat akurat.
Kualitas data sangat ditentukan oleh besarnya presentase sinyal yang diterima
kembali oleh sensor. Besar reflektivitas setiap kategori tutupan permukaan bumi
adalah berbeda – beda tergantung dari kekasaran permukaannya (Kartika 2010).
Di bawah ini disajikan grafik reflektivitas untuk berbagai kategori tutupan
permukaan bumi.
Gambar I.10. Grafik reflektivitas target (RIEGL 2009)
19
I.7.5. Sumber kesalahan LiDAR.
LiDAR atau ALS merupakan teknologi yang modern dan canggih, namun
bukan berarti alat tersebut tidak memiliki kesalahan. Kesalahan tersebut ada pada
masing-masing komponen yang saling terhubung. Adapun kesalahan LIDAR akan
disebutkan dibawah ini.
a. Kesalahan acak (random errors)
Kesalahan acak menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh
yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LIDAR. Menurut
Habib (2008), terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation
noise, dan range noise) pada sistem pengukuran LIDAR dalam
menghasilkan point cloud.
a. Position noise.
Pengaruh dari noise ini adalah independen terhadap tinggi terbang dan
metode penyiaman.
b. Orientation noise.
Noise ini akan lebih mempengaruhi koordinat horisontal daripada
koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan
sudut penyiaman.
c. Range Noise.
Range Noise akan lebih mempengaruhi komponen vertikal.
Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang, tetapi dependen
tehadap sudut penyiaman.
b. Kesalahan sistematik.
Kesalahan sistematik terbentuk dari kesalahan bias dan kalibrasi yang
buruk dalam proses penyiaman LiDAR. (Cekada dkk 2009).Basic
systematic error dapat dimodelkan dengan persamaan geolokasi (Schenk
2001). Kesalahan ini mempengaruhi akurasi , jarak, planimetris, dan
ketinggian. Tetapi karena kesalahan ini merupakan kesalahan sistematik,
maka kesalahan ini dapat secara umum dihilangkan dengan mengkaliberasi
sistem penyiaman laser. Persamaan geolokasi tanpa kesalahan dapat
dijabarkan sebagai berikut (Schenk 2001).
20
.................( I.6)
Keterangan :
XL = lokasi berkas laser pada sistem koordinat ortogonal global
X0 = merupakan center point dari GPS pesawat pada sistem koordinat
ortogonal global
RW = merupakan rotasi dari sistem koordinat ortogonal lokal, ke
sistem koordinat ortogonal global
RGEO = merupakan rotasi dari sistem referensi pada ketinggian vertikal
lokal ke sistem referensi ortogonal lokal
RINS = merupakan rotasi dari sistem referensi tubuh pesawat ke sistem
referansi lokal pada ketinggian lokal
S0 = merupakan vektor offset antara GPS/INS dan sistem penyiaman
laser
RM = penyimpangan pada penyangga alat (mounting)
RS = rotasi antara pancaran sinar laser dan sistem penyiaman yang
didapat dari scan angle
h_d = vektor pengukuran jarak yang diperoleh
Gambar 1.11 Ilustrasi unsur-unsur persamaan geolokasi (Schenk 2001).
Jika ditambahkan komponen kesalahan yang tidak berkorelasi maka
persamaan geolokasinya akan menjadi seperti berikut :
.......(I.7)
21
Keterangan:
∆XO = kesalahan tingkat akurasi sensor GPS
∆RINS = kesalahan sudut INS
∆S0 = kesalahan offset dari vektor GPS/INS dan sistem penyiaman
laser
∆RM = kesalahan penyimpangan penyangga alat
∆d = kesalahan pada pengukuran jarak
Besar total kesalahan yang berpengaruh pada pengukuran data LiDAR
dinamakan Schenk’s error model, yang dimodelkan sebagai berikut :
................................................................................(I.8)
Berdasarkan persamaan I.6 dan I.7 maka kesalahan-kesalahan yang dapat
terjadi dalam pengukuran LiDAR adalah:
a. Kesalahan pada sudut penyiaman
Kesalahan pada sudut penyiaman yang mempengaruhi data hasil
penyiaman LiDAR dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian
(Cekada dkk 2009) yaitu :
i. index error and swath-angle error
ii. vertical beam misalignment
iii. horizontal beam misalignment
(1) (2) (3)
Gambar 1.12 kesalahan pada sudut penyiaman (Cekada dkk 2009)
b. INS systematic errors
Kesalahan sistematik pada INS sangat bergantung pada harga dan
kualitas sistem INS. Kesalahan yang terjadi setelah kaliberasi pada
roll ϕ dan pitch θ biasanya memiliki rentang dari 0,004o hingga
22
0,02o
(Katzenbeisser 2003; Skaloud danLichti 2006; Friess 2006).
Kesalahan pada heading ψ dua kali lebih besar daripada kesalahan
yang terjadi pada roll ϕ dan pitch θ (Katzenbeisser 2003).
Gambar 1.13 Ilustrasi kesalahan Heading, roll, pitch
(Katzenbeisser 2003)
c. Kesalahan pada penyangga alat penyiaman (mounting bias error)
Besarnya sudut penyimpangan pada penyangga alat penyiaman
biasanya kurang dari 3o (Bäumker dan Heimes 2002; Morin dan El-
Sheimy 2002; Katzenbeisser 2003; Skaloud dan Lichti 2006).
(mounting bias error) dapat dianggap sebagai ketidaksejajaran
antara sistem referensi INS dan alat penyiaman laser. Kesalahan ini
bergantung pada prosedur kaliberasi serta kesalahan sistematik
lainnya dan kesalahan ini sulit untuk dimodelkan (Schenk 2001;
Katzenbeisser 2003)
d. Kesalahan pada translasi vektor
Kesalahan ini bergantung pada (mounting bias error) dan translasi
S0 (Schenk 2001).
e. Kesalahan pada pengukuran jarak laser
Kesalahan ini bergantung pada kecepatan terbang dan pencatat
waktu interval laser. Besarnya kesalahan alat pencatat waktu dapat
dianggap konstan dan nilainya ditetapkan oleh produsen sensor.
Namun pada kenyataannya, kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh
perubahan temperatur dan bertambahnya umur alat.
23
1.7.6. Definisi DEM, DTM dan DSM
Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) dan Digital
Surface Model (DSM) memiliki pengertian yang hampir sama sehingga sering timbul
pertanyaan. Namun pengertian ketiga istilah tersebut berbeda – beda untuk masing –
masing negara.
DEM merupakan data elevasi digital terain (topografi dan batimetri) tanpa
adanya fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (ASPRS 2004).
Menurut Kartika (2010) ”DEM merupakan model permukaan bumi yang terbentuk
dari titik –titik yang memiliki nilai koordinat 3D (X, Y, Z). Titik – titik tersebut
dapat berupa titik sample permukaan bumi atau titik hasil interpolasi atau
ekstrapolasi titik – titik sample”.
Istilah DTM hampir sama dengan DEM yakni representasi relief dari terain
serta informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan
manusia, namun DTM mencakup unsur – unsur dengan elevasi yang signifikan dari
fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point (DEM) dan hidrologic
condition sehingga DTM mampu memodelkan relief secara lebih realistik atau
sesuai dengan kenyataan (ASPRS 2004).
Gambar I.14 Ilustrasi DTM dan DSM (ASPRS 2004)
DSM adalah model dari permukaan bumi termasuk fitur – fitur baik alami
maupun buatan manusia seperti gedung, vegetasi dan pepohonan (ASPRS 2007).
DSM menggambarkan puncak fitur yang terdapat di atas bare-earth. DSM
merupakan model elevasi topografis permukaan bumi yang memberi batas acuan
yang benar secara geometris, yang ke atasnya dapat diletakkan lapisan data lainnya.
Data DSM mencakup bangunan, vegetasi, dan jalan, serta fitur terain alami.
24
1.7.7. Interpolasi linier
Penentuan titik uji LiDAR dapat dilakukan dengan cara interpolasi terhadap
point cloud. Titik-titik uji hasil pengukuran Total Station akan dibandingkan dengan
data hasil penyiaman LiDAR. Dari titik-titik itu, hasil pengukuran Total Station
biasanya tidak tepat berada pada titik penyiaman LiDAR, akan tetapi berada di antara
titik-titik hasil pengukuran LiDAR, sehingga perlu dilakukannya proses interpolasi
linier agar titik uji Total Station dapat tepat berada pada titik point cloud LiDAR.
Proses interpolasi ini mengunakan pemodelan dalam bentuk TIN yang
merupakan representasi permukaan bumi dalam bentuk kumpulan titik-titik elevasi
yang terdistribusi secara acak. TIN merupakan bentuk jaring segitiga dengan unsur-
unsur linier seperti breaklines dan mass point. Untuk membentuk jaring segitiga
yang teliti diperlukan titik-titik yang terdistribusi rapat dan memiliki ketilitian yang
tinggi sehingga model yang diperoleh dapat menggambarkan representatif
permukaan bumi secara teliti. Penentuan elevasi titik uji berdasarkan dari titik point
cloud LiDAR yang dilakukan berdasar titik uji posisi X dan Y pada hasil pengukuran
Total Station. Dengan demikian, nilai elevasi titik uji pada TIN model merupakan
interpolasi linear dari ketinggian point cloud di sekitarnya.
Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan terain dengan kualitas
bagus diperlukan data elevasi yang sangat rapat dengan ketelitian tinggi. Jika
terdapat serangkaian titik (X ,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titik-titik tersebut
dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titik-titik
pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki
koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan-permukaan segitiga-segitiga tersebut menjadi
bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Misal titik A1 (X1,Y2), A2 (X2,
Y2), dan A3 (X3,Y3) terdapat pada satu bidang dan merupakan nodal-nodal dari
sebuah segitiga serta memiliki nilai Z1, Z2, dan Z3, dengan demikian nilai semua
titik (Z) pada posisi A (X, Y) dalam sebuah bidang segitiga adalah sebagai berikut.
Z = aX + bY + c .............................................................................(I.9)
Persamaan (1.4) di atas merupakan persamaan dasar dari interpolasi linier.
Untuk menentukan elevasi sebuah titik pada suatu bidang melalui interpolasi linier
dengan teknik ini diperlukan minimal tiga buah titik agar koefisien-koefisien (a ,b ,c)
pada persamaan tersebut dapat dipecahkan. Dari ketiga titik tersebut dapat dibentuk
25
sisitem persamaan linier sebagai berikut.
Z1 = aX1 + bY1 + c ......................................................................(I.10)
Z2 = aX2 + bY2 + c ......................................................................(I.11)
Z3 = aX3 + bY3 + c ......................................................................(I.12)
Persamaan I.10, I.11, I2. dapat disusun dalam bentuk matriks X = A. B,
koefisien X sebagai matriks a,b,c, koefisien A sebagai matriks X,Y dan koefisien B
sebagai matriks Z, maka terbentuk persamaan matrik sebagai berikut.
=
............................................. ( I.13)
Hasil interpolasi akan semakin baik jika bentuk segitiga penyusun TIN model
sistematis yakni mendekati segitiga sama kaki dan hasil interpolasi semakin buruk
jika perbandingan panjang salah satu sisinya dengan tinggi segitiga semakin besar
(Guruh 2007).
I.7.8. Survei Terestris
Menurut Basuki (2006), pemetaan terestris adalah proses pemetaan yang
pengukurannya langsung di permukaan bumi dengan peralatan tertentu. Teknik
pemetaan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Dengan perkembangan peralatan ukur tanah secara elektronis, maka
proses pengukuran menjadi semakin cepat dengan tingkat ketelitian yang tinggi, dan
dengan dukungan komputer langkah dan proses perhitungan menjadi semakin
mudah, cepat, dan penggambarannya dapat dilakukan secara otomatis.
1.7.7.1 Penentuan posisi dengan GPS metode static surveying. Salah satu metode
penentuan posisi dengan GPS adalah static surveying, dimana data yang dihasilkan
dari pengukuran GPS metode ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi (orde mm atau
cm). (Abidin 2007)
Lamanya waktu pengukuran bergantung pada hal-hal berikut :
1. Tingkat kepresisian yang diinginkan
2. Jumlah satelit yang terlihat
3. Geometri dari satelit
3
2
1
Z
Z
Z
c
b
a
133
122
1111
YX
YX
YX
26
4. Jenis receiver, single frequency atau dual frequency
5. Jarak antar receiver
Menurut Abidin (2007), Selama pengukuran, titik-titik yang diukur posisinya
tidak bergerak. Penentuan posisinya dapat berupa absolute maupun differential
positioning dan data yang digunakan bisa menggunakan data pseudorange maupun
data fase. Pengukuran yang dilakukan harus cukup lama agar software post
processing dapat memberikan solusi atas integer ambiguity. Namun receiver dan
software post processing generasi terbaru telah dapat memberikan solusi atas integer
ambiguity dengan jumlah data yang sedikit.
Jaring survei GPS dibentuk oleh titik-tik yang diketahui koordinatnya (titik
tetap), dan titik-titik yang akan diketahui koordinatnya. Titik-titik tersebut
dihubungkan dengan baseline-baseline yang komponennya (dx,dy,dz) diketahui.
Gambar I.15 Bentuk geometri jaring GPS (Abidin 2007).
I.7.7.2. Survei terestris konvensional. Pengukuran awal dari pekerjaan survei terestris
adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan yang cukup merata secara geometris di
daerah yang akan dipetakan. Titik-titik tersebut telah diketahui koordinatnya
sebelumnya, atau diukur menggunakan GPS dengan metode static surveying. Titik-
titik tersebut digunakan untuk mengikatkan detil-detil yang merupakan obyek dari
unsur-unsur yang ada di permukaan bumi yang akan dijadikan sebagai true value
dari data LiDAR.
1. Kerangka dasar pemetaan
Kerangka dasar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerangka horizontal
(planimetris), dan kerangka vertikal (tinggi). Kerangka dasar pemetaan horizontal
bermacam-macam pemilihan, dan pemakaiannya, yang ditentukan antara lain oleh
27
luas daerah yang dipetakan, ketersediaan peralatan, dan kemudahan perhitungan
(Basuki 2006).
2. Detil
Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah
seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil budaya manusia seperti
jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah
yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat. (Basuki 2006)
Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat
tergantung dari skala dan tujuan peta dibuat. Misal untuk peta kadaster atau
pendaftaran hak atas tanah,yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan
tanah, sedang beda tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedang untuk peta
teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil
budaya manusia yang konkrit ada di lapangan.
Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka
pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya, atau mungkin juga ditentukan
dari garis ukur, yang merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis yang
dibuat khusus untuk itu.
Posisi titik detil dihitung dengan rumus :
Xa = Xp + dpa sin αpa...........................................................................................(I.14)
Ya = Yp + dpa cos αpa..........................................................................................(I.15)
Za = Zp + ∆hpa.......................................................................................................(I.16)
Keterangan :
a : titik detil
P : titik poligon yang telah diketahui koordinatnya
αpa : azimuth sisi pa
1.7.9. Uji global
Data yang akan digunakan haruslah data yang terbebas dari blunder. Pada
perhitungan selanjutnya harus dilakukan seleksi agar didapatkan data yang baik.
Seleksi tersebut dilakukan menggunakan uji global agar data blunder dapat
28
dihilangkan atau dibuang sehingga data yang digunakan untuk proses selanjutnya
dapat dipercaya. Uji global dilakukan dengan membuat rentang kepercayaan
menggunakan simpangan baku (σ ) pada data sebesar -3σ < x – μ < 3σ (Sudjana
2005). Apabila nilai data terletak diantara rentang tersebut maka data dapat diterima.
Simpangan baku (σ) dihitung dengan rumus berikut.
1
)( 2
1
n
ZZin
i
………………………………………........(I.17)
Keterangan:
σ = simpangan baku
Zi = selisih elevasi hasil penyiaman LIDAR dengan hasil survei terestris
untuk data ke-i
Z = rata – rata selisih elevasi hasil penyiaman LIDAR dengan hasil survei
terestris
n = jumlah data
x – μ= selisih antara nilai titik uji dengan data yang dianggapbenar
I.8. Hipotesis
Hasil koreksi manual data LIDAR pada software Terrasolid memiliki ketelitian
elevasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil koreksi secara automatis.