Post on 23-Apr-2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kewenangan pemerintah berkaitan erat dengan persoalan asas legalitas,
asas yang tentunya mendunia. Hal ini disebabkan asas legalitas merupakan salah
satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama negara dengan
sistem hukum kontinental.1 Senada dengan pendapat F. J. Stahl, bahwa salah satu
unsur pokok yang harus dimiliki negara hukum, yakni pemerintah berdasarkan
undang-undang (hukum). Ini sesuai dalam konsep Hukum Administrasi, asas
legalitas juga dikenal, dikatakan bahwa pejabat tata usaha negara dapat berbuat
hukum asalkan ada dasar wewenang yang bersumber dari undang-undang.2
Menurut sejarah, asas pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal
dari pemikiran hukum abad ke-19 yang didominsi oleh pemikiran legalistik-
positivistik.3 Secara normatif, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
undang-undang (hukum) atau kewenangan yang melekat padanya. Penerapan asas
legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan
kesamaan perlakuan.4
1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, eds. kesatu, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2006, hlm. 94. 2 Dikutip dari catatan mata kuliah Hukum Pajak pada tanggal 20 Februari 2007. 3http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12884
diakses pada tanggal 25 Oktober 2008. 4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 97 sebagaimana dikutip dari
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara : Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 83-84.
1
Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas legalitas, dalam
prakteknya tidak memadai apalagi di tengah dinamika masyarakat yang sering
terjadi perubahan dalam kehidupannya. Hal ini karena hukum tertulis senantiasa
mengandung kelemahan-kelemahan. Menurut Bagir Manan, hukum tertulis
memiliki berbagai cacat bawaan dan cacat buatan.5
Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, tetap saja asas ini
dianut oleh banyak negara dalam hal penyelenggaraan negara dan pemerintahan,
karena telah disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar atau sebagai
pijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan kata lain, dalam
penyelenggaraan negara pemerintah harus memiliki legitimasi, yakni kewenangan
yang diberikan undang-undang (hukum). Dengan demikian, substansi asas
legalitas adalah wewenang.6
Ketika konsepsi negara hukum sebagai negara jaga malam
(nachwakerstaat) masih dipertahankan dengan falsafah laissez fairie-nya,
masyarakat yang lemah cenderung tertindas oleh masyarakat yang kuat, karena
laissez faire memang menginginkan minimnya peran serta negara dalam hal
kesejahteraan umat. Atas perkembangan yang terjadi, konsepsi negara hukum ini
beralih, dan berkembang menjadi negara kesejahteraan (welvaarstat).
Konsekuensinya, negara harus menjamin adanya kemakmuran, kesejahteraan
masyarakat, atau dengan kata lain negara harus menjadi pelayan masyarakat.
Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai pelayan
5 Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UNHAS, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995, hlm. 1-2.
6 http://www.jpip.or.id/articles/view/96. diakses pada tanggal 6 November 2008.
2
publik adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial
(yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog) bagi masyarakatnya.7
Peran serta negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat
dilaksanakan oleh pejabat administrasi negara (pejabat tata usaha negara), atau
yang biasa disebut dengan administrasi negara (dalam Hukum Administrasi). Di
dalam menjalankan fungsinya, administrasi negara haruslah menundukkan dirinya
pada aturan hukum yang telah ada (berdasarkan asas legalitas), namun mengingat
sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang
digeluti itu, tentunya tidak semua dapat diakomodasi oleh aturan (hukum) yang
telah tersedia. Dalam kondisi yang demikian, membawa administrasi negara pada
konsekuensi khusus, yakni adanya kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan
kebijaksanaannya sendiri, terutama pada permasalahan yang genting, dan belum
ada instrumen hukum yang mengaturnya.
Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri ini,
dalam Hukum Administrasi disebut dengan pouvoir discretionnaire atau freies
Ermessen.8 Freies Ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi
kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van
bestuur).9 Adanya freies Ermessen ini lalu bukannya tidak menimbulkan masalah,
karena dengan adanya kewenangan bebas maka pada saat yang sama berarti
terbuka celah bagi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau
7 Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi
Negara dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 104.
8 Ibid., hlm. 107, diambil dari Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 12. Lihat juga E. Utrecht dalam Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH UNPAD, 1960, hlm. 23.
9 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 179.
3
tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara.
Bahkan mungkin saja dengan sikap-tindak administrasi negara yang demikian ini
bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara (baca : korupsi).
Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :
“Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Undang-undang tersebut akhirnya dihapus, dan digantikan dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Rumusan yang hampir mirip dengan Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1971, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
menyatakan :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).” Rumusan pasal ini menekankan pada pelaku dalam kapasitas pejabat
publik yang berhubungan dengan pelaksanaan kesejahteraan masyarakat sebagai
subjek delik tindak pidana korupsi, karena terdapat rumusan delik yang berbunyi
“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan”. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan
4
dicantumkannya unsur “menyalahgunakan wewenang” dalam UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menimbulkan suatu “grey area” dimana kebijakan pejabat
dapat mempunyai dimensi Hukum Pidana.10 Dan setelah ditelaah dengan
seksama, ternyata kesemua undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (baik yang lama maupun yang baru) tidak mempunyai batasan yang
limitatif baik dalam isi pasal maupun dalam penjelasan mengenai satu rumusan
pasal tersebut. Jika demikian bagi hemat Penulis, akan terjadi banyak penafsiran
pada rumusan pasal ini, dan akan menjadi preseden buruk penegakan hukum di
Indonesia.
Berikut, Penulis akan menampilkan praktek penegakan hukum dalam
kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan atau
mempunyai wewenang publik karena kewenangannya. Ada 2 (dua) kasus korupsi
yang melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya ketika
menjalankan wewenangnya.
Pengadilan Negeri Lubuklinggau beberapa waktu yang lalu, tepatnya
tanggal 10 Februari 2009 telah memutus bersalah 2 (dua) orang atas nama
terdakwa H. M. Syarif Hidayat dan Heriansyah.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor 821. 2/ 127/
KPTS/ BKD/ 2004 tanggal 15 April 2004, H. M. Syarif Hidayat merupakan
seorang pejabat publik selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Musi Rawas.
Sedangkan Heriansyah, terdakwa kedua selaku Pemegang Kas Sekretaris Daerah
10 Dikutip dari Kata Pengantar Pakar oleh Philipus M. Hadjon dalam
“Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” oleh Nur Basuki Minarno hlm. vii.
5
Kabupaten Musi Rawas berdasarkan Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor : 36/
KPTS/ VIII tertanggal 7 Maret 2004.
Keduanya terbukti dalam dakwaan subsidair tim Jaksa Penuntut Umum
Eben Nesser Silalahi dan Oktafian Syah Efendi, yakni melanggar Pasal 3 Jo.
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diatur dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.11
Dalam pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Encep Yuliadi,
mengenai unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan” disebutkan sebagai berikut :12
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang diduduki atau dijabat untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut; Menimbang, bahwa selaku Sekretaris Daerah Terdakwa I - Drs. H. M. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri adalah Pejabat Pengguna Anggaran pada pos Sekretariat Daerah pada APBD Tahun anggaran 2004 yang kewenangannya adalah : 1. Pengelola anggaran pada pos sekretariat daerah; 2. Membantu Bupati meneliti SKO sesuai permintaan atau
tidak; 3. Atasan langsung Pemegang Kas, menandatangani SPP
(Surat Permintaan Pembayaran) yang diajukan Pemegang Kas;
4. Memberikan persetujuan pembayaran terhadap anggaran yang ada pada saldo kas bendahara (Kas Pemegang Kas) selaku atasan langsung Pemegang Kas.
11 Putusan Pengadilan Negeri Lubuklinggau Nomor : 466/ Pid. B/ 2008/ PN. LLG. 12 Ibid., hlm. 52-53.
6
Menimbang, bahwa kewenangan Terdakwa II - Heriansyah bin Ali Kusin sebagai Pemegang Kas Sekretariat Daerah Kabupaten Musi Rawas adalah menerima uang derah yang dicairkan berdasarkan SPMU (Surat Perintah Membayar Uang) yang diterima, menyimpan uang daerah yang dicairkan dari SPMU pada brankas dan pada Bank Sumsel, rekening giro atas nama Pemegang Kas, mengeluarkan uang daerah atas perintah Ka.Bag Keuangan, Sekretaris Daerah, dan Bupati dan melakukan penatausahaan keuangan serta bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah Selaku atasan langsung Pemegang Kas; Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa I - Drs. H. M. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri selaku Pengguna Anggaran pada pos Sekretaris Daerah Musi Rawas dan Terdakwa II - Heriansyah bin Ali Kusin selaku Pemegang Kas dengan menggunakan jabatan yang ada padanya telah membuat keluarnya uang dari APBD Kabupaten Musi Rawas sebesar Rp 1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dari Dana Operasional Sekretarit Daerah untuk dibagi-bagikan kepada 45 (empat puluh lima) Anggota DPRD Musi Rawas periode 1999-2004 meskipun para tedakwa mengetahui selaku Pengguna Anggaran dan Pemegang Kas dalam APBD Kabupaten Musi Rawas tahun anggaran 2004 dananya tidak tersedia dan tidak mencukupi untuk keperluan itu, sehingga dalam Nota Dinas permintaan pencairan dana direkayasa seolah-olah dana tersebut dikeluarkan untuk beaya operasional seperti cetak, jilid, foto kopi, konsumsi harian, konsumsi rapat, beaya pemeliharaan bangunan kantor, pemeliharaan bangunan tempat tinggal dan beaya pemeliharaan alat angkutan darat yang telah dikeluarkan pada tahun anggaran 2004 karena tidak mencukupi lalu dimintakan dan menjadi beban bagi anggaran APBD tahun 2005; Menimbang, bahwa maksud kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada terdakwa adalah agar mereka terdakwa dapat menjaga agar uang yang kelur dari APBD Kabupaten Musi Rawas benar-benar sesuai dengan mata anggaran yang ada dalam APBD Kabupaten Musi Rawas pada tahun anggaran 2004; Menimbang, bahwa dengan demikian para terdakwa telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada pada mereka terdakwa, sehingga unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan telah terpenuhi.
7
Masih dalam kasus korupsi oleh pejabat publik, pada tahun 2002 yang
lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perkara pidana atas nama
terdakwa : Akbar Tanjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang
dengan dakwaan primair-subsidair yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum,
Fahmi tertanggal 14 Maret 2002.13
Primair : Pasal 1 ayat (1) sub b Jo. Pasal 28 Jo. Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Jo. Pasal 43 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 KUHP. Subsidair : Pasal 1 ayat (1) sub b Jo. Pasal 28 Jo. Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Jo. Pasal 43 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 KUHP. Akbar Tanjung saat itu berkedudukan sebagai Menteri Sekretaris
Negara (MENSESNEG) pada pemerintahan presiden BJ. Habibie, telah
menerima dan menggunakan uang Badan Urusan Logistik (BULOG) sebesar Rp
40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah), namun bertentangan dengan tugas
dan fungsi Kantor Sekretariat Negara. Dalam kasus ini telah terjadi pengaliran
dana untuk bantuan korban bencana alam di Indonesia yang dialirkan dari
pemerintah melalui rapat kabinet dan diputuskan memakai dana non budgeter
BULOG yang dikepalai oleh Rahardi Ramelan (terdakwa di persidangan yang
lain) dan disalurkan ke MENSESNEG, dan dari MENSESNEG disalurkan kepada
Yayasan Raudlatul Jannah yang hal ini melibatkan Dadang Sukandar dan
Winfried Simatupang, dan Winfried Simatupang adalah salah satu kader
13 Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perk. : PDS-118/ JKTPS/ 03/ 2002
dalam SF Marbun (penyunting), Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung : Keterbukaan Keterukuran Sanksi, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 1-15.
8
Golkar.14 Pokok permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan
penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah, karena menurut hemat Penulis,
bagaimana bisa dana anggaran untuk Badan Urusan Logistik sebesar Rp
40.000.000.000,- (empat puluh milyar) dengan begitu mudahnya mengalir dari
Badan Urusan Logistik ke Menteri Sekretasi Negara dan dengan begitu mudah
turun ke Yayasan Raudlatul Jannah yang sama sekali tidak dikenal dan ada
kemungkinan fiktif.
Dalam pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Amiruddin
Zakaria setelah menyimak pandangan-pandangan hukum baik dari Penasihat
Hukum maupun, Penuntut Umum maka Majelis bependapat sebagai berikut :15
a. Bahwa Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG sebagai koordinator yang ditunjuk oleh Presiden R.I., (Prof. Dr. B.J. Habibie), seharusnya mempedomani asas-asas pengelolaan keuangan negara semisal APBN, membentuk staff atau panitia, pimpinan proyek apapun namanya ataukah menunjuk staff yang professional yang bertugas memonitor, memantau secara cermat pelaksanaan yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana (Yayasan Raudlatul Jannah);
b. Bahwa fakta hukum di persidangan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG sama sekali tidak membentuk panitia atau panitia kecil, untuk itu sehingga bagi Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tidak mempunyai sarana internal untuk mengontrol pertanggung jawaban keuangan negara sebesar Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) yang diperuntukkan untuk penyaluran sembako berdasarkan amanat penunjukkan Presiden R.I. (Prof. Dr. B.J. Habibie) pada pertemuan tanggal 10 Februari 1999;
c. Bahwa fakta hukum yang terungkap ternyata penerimaan cek senilai Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) dari BULOG kemudian Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menyerahkan begitu saja kepada Ketua Yayasan Raudlatul Jannah in casu Terdakwa II – H. DADANG
14 http://kompas.com/berita-terbaru/0112/06/headline/024.htm diakses pada tanggal 1
Januari 200915 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 449/ Pid. B/ 2002/ PN. Jkt Pst
dalam SF Marbun (penyunting), Akuntabilitas Putusan … Op. Cit., hlm. 292-293.
9
SUKANDAR lalu Terdakwa III – WINFRIED SIMATUPANG melalui (alm.) Dadi Suryadi tercemin suatu sikap yang kurang cermat;
d. Bahwa kekurangcermatan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tersebut berarti bukan hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pengelolaan keuangan negara tetapi juga justru memberi peluang banyak kepada pihak Yayasan Raudlatul Jannah menyalahgunakan keuangan negara;
e. Bahwa sebenarnya apabila Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menyadari begitu pentingnya dibentuknya suatu panitia atau tim atau apapun namanya di bawah pengawasan internalnya selaku administrator yang ditunjuk Presiden R.I. (Prof Dr. B.J. Habibie), misalnya yang menjadi kelaziman dalam suatu kerja proyek dilakukan pembayaran atau pengeluaran dana secara bertahap (pertemijn) dilakukan setelah ada kontra prestasi dalam arti ada hasil laporan kerja dan berita acara pelaksanaan dari kontraktor;
f. Bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam kaitannya satu sama lain, Majelis berpendapat dengan tidak tergambarnya suatu mekanisme koordinasi kerja yang terpadu yang baik maka perbuatan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menurut hukum bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan uang negara pada Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG memiliki kewenangan untuk itu, bahkan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG mempunyai pengalaman setelah sebelumnya telah menduduki jabatan penting di negeri ini.
Pada tanggal 24 September 2002, dalam persidangan yang terbuka untuk
umum, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana
terhadap Akbar Tanjung selama 3 (tiga) tahun penjara, dan terhadap Dadang
Sukandar dan Winfried Simatupang masing-masing dipidana selama 1 (satu)
tahun dan 6 (enam) bulan, dan ketiga terdakwa tersebut dikenakan denda masing-
masing Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Terhadap putusan ini, ketiga
terdakwa tersebut mengajukan banding.
10
Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta ternyata menolak
banding dari masing-masing terdakwa dan menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.16 Selanjutnya ketiga terdakwa tersebut mengajukan upaya
hukum kasasi.
Pada pemeriksaan tingkat kasasi ini, ternyata Mahkamah Agung dalam
amarnya mengadili sendiri : Menyatakan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG
tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair dan
Subsidair.17 Pada pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” pada Pasal 1 ayat
(1) sub b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, karena telah keluar dari koridor
surat dakwaan dan hanya menggunakan ukuran/ parameter ketentuan-ketentuan
tidak tertulis, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut :18
Pertimbangan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang pada dasarnya mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, adalah jelas-jelas salah dalam penerapan hukumnya, dengan alasan-alasan sebagai berikut : Dalam pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah jelas hanya dapat digunakan ukuran/ pedoman aturan tertulis, dan tidak dapat digunakan parameter hukum tidak tertulis, baik berupa asas-asas kepatutan pada umumnya, asas-asas kepatutan dalam pengelolaan keuangan negara maupun asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No. 16 Tahun 1994; Baik asas-asas kepatutan, maupun “asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres 16 Tahun 1994”, adalah sama-sama merupakan ketetentuan yang tidak
16 Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (Putusan Banding) Nomor : 171/ Pid./ 2002/ PT.
DKI dalam Ibid., hlm. 307-358. 17 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 572 K/ pid./ 2003 dalam
Ibid., hlm. 359-531. 18 Ibid., hlm. 434-436.
11
tertulis, karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya hanya menyebutkan “asas-asas dan tidak menunjuk kepada ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres 16 Tahun 1994 yang dijadikan pedoman atau parameter dan yang dilanggar oleh Terdakwa I dalam melaksanakan tugas sebagai koordinator pengadaan dan penyaluran sembako bagi masyarakat miskin tersebut”; Dalam Undang-Undang No. 3 ahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi asas-asas kepatutan dan aturan atau parameter tidak tertulis hanya dapat diterapkan secara terbatas dalam pembuktian Pasal 1 ayat (1) sub a, berkaitan dengan bestanddeel delict (delik inti) unsur (wederrechtelijk), berdasarkan adanya “wederrechtelijk” (melawan hukum materiil) yang terkandung dalam delik korupsi pada Pasal 1 ayat (1) sub a tersebut; Prinsip tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang menyatakan bahwa “sarana melawan hukum mengandung pengertian formal maupun materiil.” Sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formal maupun materiil pada Pasal 1 ayat (1) sub a ini, tidak dapat diterapkan pada unsur “menyalahgunakan kewenangan … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b, karena menyalahgunakan kewenangan merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi perbuatan melawan hukum tidak selalu merupakan penyalahgunaan kewenangan; Sesuai dengan Surat Dakwaan seperti telah dikutip secara singkat di atas, dalam menilai apakah perbuatan Terdakwa I telah menyalahgunakan kewenangannya atau tidak, maka yang menjadi ukuran atau parameternya adalah Keppres No. 104 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Negara, Keppres No. 16 Tahun 1994, tentang pelaksanaan APBN, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24 Tahun 1995 dan Keppres No. 8 Tahun 1997, dan DAB (Dasar Akuntansi BULOG); Khusus mengenai Keppres No. 16 Tahun 1994, Judex Facti dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengambilalih pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah menegaskan bahwa dana BULOG non budgeter (non-neraca) tidak termasuk pengaturannya dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, sehingga terhadap dana non budgeter sebesar Rp 40.000.000.000,- tersebut tidak diberlakukan Keppres No. 16 Tahun 1994. Mengenai parameter berupa Keppres No. 104 Tahun 1994, ternyata sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti, karena kecuali Keppres No. 104 tersebut tidak mengatur tentang kewenangan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin lagi pula Terdakwa I sama
12
sekali tidak terbukti melanggar Keppres No. 104 tersebut. Sedangkan mengenai parameter berupa DAB yang memang merupakan parameter akuntansi intern instansi BULOG, tidak dipertimbangkan oleh judex Facti; Oleh karena itu dalam pertimbangan Judex Facti dalam putusan a quo, Judex Facti hanya menyebutkan parameter berupa asas-asas kepatutan, dan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, tanpa menyebutkan ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres No. 16 Tahun 1994, yang dijadikan parameter untuk menilai apakah Terdakwa I benar terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang dimaksud pada Dakwaan Primair tersebut; Dengan demikian, pertimbangan judex Facti dalam pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah salah dalam menerapkan hukum karena kecuali telah tidak didasarkan atu keluar dari koridor Surat Dakwaan, dan juga karena hanya didasarkan pada parameter ketentuan tak tertulis berupa asas-asas belaka, walaupun disebutkan sebagai asas-asas pengelolaan keuangan negara di dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, namun Keppres No. 16 Tahun 1994 itu sendiri telah dinyatakan oleh Judex Facti sebagai aturan yang tidak relevan untuk dijadikan parameter penyalahgunaan kewenangan Terdakwa I dalam perkara ini. Kasasi dari Akbar Tanjung ini akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah
Agung dan ia diputus bebas, sedangkan kedua terdakwa yang lain, Dadang
Sukandar dan Winfried Simatupang dipidana penjara 1 (satu) tahun dan 3 (tiga)
bulan.19
Berangkat dari berbagai macam pandangan para sarjana hukum
mengenai konsep penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU
PTPK, dan pandangan para hakim yang beraneka ragam dalam memutus perkara
korupsi yang diawali dari penyalahgunaan wewenang ini, maka Penulis tertarik
19 Ibid.
13
untuk meneliti keterkaitan doktrin para pakar hukum mengenai penyalahgunaan
kewenangan dengan putusan pengadilan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah doktrin Hukum Pidana dalam penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi?
2. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap perkara-perkara korupsi
yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui doktrin Hukum Pidana dalam penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi;
2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan pengadilan terhadap
perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan
wewenang.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat,
karena terdapat adagium bahwa “hukum selalu ketinggalan dengan perubahan
14
masyarakat”, hal ini tidak lain karena masyarakat selalu bergerak dinamis, dan
hukum seringkali terlambat untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat.
Fakta ini diperjelas dengan perbuatan masyarakat yang merugikan
kepentingan publik, atau dalam hal ini seseorang melakukan tindak pidana yang
dulunya dapat dikualifikasikan perbuatannya dalam Wetboek van Strafrecht
(KUH-Pidana peninggalan Kolonial). Namun, seiring perkembangan zaman dan
dinamika masyarakat, hukum menjadi ketinggalan pada saat masyarakat
melakukan kriminalitas di luar pengaturan Hukum Pidana.
Suatu penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro mengenai
penelitian terhadap “Perkembangan Delik-Delik Khusus dalam Masyarakat yang
mengalami Modernisasi”, menunjukkan hasil-hasil antara lain sebagai berikut :20
1. Ditinjau dari intensitas dan frekuensi terjadinya kejahatan, yang paling banyak dilakukan adalah delik-delik terhadap harta benda, kemudian menyusul delik-delik lalu lintas, delik-delik terhadap orang, delik-delik terhadap ketertiban umum dan delik-delik kesusilaan.
2. Ada pengaruh kemajuan teknologi terhadap pola tingkah laku tindak pidana terhadap perkembangan teknik pelaksanaan tindak pidana.
3. Ada hubungan lamgsung antara kemajuan-kemajuan dalam sektor perhubungan dan gerak kemasyarakatan yang berkenaan dengan ruang geografi (mobilitas horizontal) dengan peningkatan tindak pidana.
4. Intensitas kejahatan menimbulkan rasa takut, gelisah dan cemas di kalangan masyarakat, adapun delik-delik yang dirasakan paling mencemaskan adalah pelanggaran lalu lintas, penodongan, penjambretan, perampokan, perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, perkosaan, penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum-oknum penguasa.
20 Muladi dan Barda Nawawi A., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 86-87.
15
Oleh karena itu, berkaca dari hasil penelitian tersebut, hendaknya hukum,
dan lebih spesifik adalah Hukum Pidana harus mengikuti perkembangan
masyarakat, meskipun penegakan Hukum Pidana bersifat ultimum remidium
(senjata pamungkas).21 Hal ini penting, karena hukum, termasuk Hukum Pidana
adalah merupakan salah satu instrumen terpenting dalam penyelesaian konflik
yang tersedia dalam masyarakat.22
Korupsi, adalah salah satu dari sekian banyak tindak pidana yang diatur
di luar KUHP. Hal ini karena KUHP sudah tidak mampu mengakomodasi
berbagai macam bentuk korupsi dan modusnya. Sebagai contoh, awalnya suatu
tindak pidana diyakini hanya dilakukan oleh orang (natuurlijk persoon)
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 KUHP, namun dengan berbagai
perkembangan pemikiran dan teknologi, baik orang maupun korporasi (yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) dapat dikategorikan
sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam Hukum
21 Di antara ahli hukum pidana masih belum ada kesepahaman pendapat berkaitan
dengan apakah hukum pidana sebagai ultimum remidium ataukah ia sebagai primum remidium? Muladi misalnya mengusulkan, bahwa hukum pidana tidak lagi ditempatkan sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) di dalam menanggulangi kejahatan, lebih-lebih akhir-akhir ini marak sekali bermunculan kejahatan-kejahatan baru yang sangat kompleks tetapi ia ditempatkan sebagai senjata awal (primum remidium). Sebaliknya Romli Atmasasmita mengatakan, bahwa penempatan hukum pidana sebagai ultimum remidium masih relevan daripada primum remidium baik pada kejahatan biasa yang modus operandinya tidak begitu kompleks maupun pada kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang bukan sindikat kriminal, seperti kejahatan korporasi. Lihat Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Korporasi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 23-24 November 1989, hlm. 5. Badingkan dengan Loebby Loqman, “Tinjauan Yuridis Fraudulent Misrepresentation”, dalam Kiki Pranasari dan Adrianus Meliala (editor), Praktek Pemberian Keterangan yang Tidak Benar : Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1991, hlm. 98. Lihat juga Romli Atmasasmita,”Bentuk-bentuk Tindak Pidana Yang dilakukan oleh Produsen pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipatif, Preventif, dan Represif”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era perdagangan Bebas, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Bandung, 9 Mei 1998, hlm. 12-13.
22 Salman Luthan, “Anatomi Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi” dalam Makalah, Yogyakarta, 4 Oktober 2003, hlm. 1.
16
Pidana itu sendiri, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Apakah unsur kesalahan tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia,
kesalahan dalam Hukum Pidana ini berarti jantungnya, demikianlah; dikatakan
Idema.23
Payung hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku
sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU PTPK). Dalam undang-undang ini terdapat sebuah delik yang berisi unsur
penyalahgunaan wewenang yang termaktub dalam Pasal 3 UU PTPK, adapun
selengkapnya unsur delik pasal ini adalah sebagai berikut :
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan;
3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan;
5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Konsep menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 ini hanya dimiliki
oleh pejabat publik, karena wewenang yang dimaksud adalah yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan (sesuai dengan asas legalitas). Secara teoretis,
23 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi
Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, ctk. kedua, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 2 sebagaimana dari Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang : Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH UNDIP, 1987) hlm. 86 (Sudarto I) dari Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1991, hlm. 5.
17
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut
diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini, H. D. van Wijk/ Willem
Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut (terjemahan):24
1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat
undang-undang kepada organ pemerintahan;
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya;
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada
suatu badan atau kepada pejabat Administrasi Negara selalu disertai dengan
“tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu,25 sehingga penerapan
wewenang itu harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang
itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan
maksud pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan
wewenang (detournement de pouvoir).26
Selain itu, masih dalam Hukum Administrasi, setiap penggunaan
wewenang oleh pejabat Administrasi Negara haruslah berdasarkan pada hukum
formil atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai dengan asas
24 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara … Op. Cit., hlm. 104-105 dari H. D. van
Wijk/ Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘s-Gravenhage, 1995, hlm. 129 bandingkan dengan B. de Goede, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht. bewerkt door H. van den Brink, Vuga Uitgeverij b.v., ‘s-Gravenhage, 1986, hlm. 56 lihat juga P. J. P. Tak, Rechtsvorming in Nederland. Samson H. D. Tjeenk Willink Open Universiteit, 1991, hlm. 99-103.
25 http://www.jpip.or.id/articles/view/96. diakses pada tanggal 13 Januari 2009. 26 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang ... Op. Cit., hlm. 80.
18
legalitas). Namun, jika dalam hal tidak ada aturan yang memberikan wewenang
kepada pejabat pemerintah, maka akan lahir suatu kondisi dimana pemerintah
bertindak di luar ketentuan undang-undang. Hal seperti ini lah yang
dikhawatirkan, bahwa pemerintah menggunakan wewenang untuk tujuan lain,
berarti terjadi penyalahgunaan wewenang.
Diskresi merupakan wewenang dari pejabat. Ada yang mengartikan
diskresi adalah pengambilan keputusan (beschikking) berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun ada pula yang mendeskripsikan bahwa
diskresi adalah penyimpangan atas peraturan perundangan yang berlaku oleh
pejabat (karena bisa saja undang-undang tidak mengatur demikian, atau
mengaturnya, tapi samar-samar) untuk mengambil keputusan yang bersifat segera,
dan mendesak. Kondisi demikian juga berpotensi terjadi penyalahgunaan
wewenang pemerintah oleh pejabat Administrasi Negara.
Melihat dari dua pendapat demikian, jika mendasarkan pada asas
legalitas dalam Hukum Pidana (nullum delictum, noella poena sine praevia lega
poenali), inilah yang menurut Indriyanto Seno Adji, Hukum Administrasi dan
Hukum Pidana memasuki “grey area” dengan segala teknikalitas kesulitan dengan
proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan debatebelitas di kalangan
ahli Hukum Pidana. Betapa tidak, keputusan pejabat negara baik dalam rangka
“beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alasan
penolakan maupun justifikasi pemidanaan dalam area Hukum Pidana.27
27 Indriyanto Seno Adji, “Overheidsbeleid Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia”, artikel pada Jurnal Keadilan, Edisi No. 2 Vol. 4, 2006, hlm. 10 lihat juga Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang… Op.Cit., hlm. 15.
19
Jika secara formil, penyalahgunaan wewenang dalam ranah Hukum
Pidana tidak dijelaskan secara eksplisit, bagaimana atau seperti apa batasan
penyalahgunaan wewenang tersebut. Apakah mungkin formulasi penyalahgunaan
wewenang mendasarkan pada hukum materiil? Mengingat bahwa Hukum Pidana
menyanjung tinggi terhadap asas legalitas. Hal ini penting sekali mengingat unsur
“penyalahgunaan wewenang” sebagai bagian inti delik (bestanddeel delict) dan
harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan.
Apabila penyalahgunaan wewenang dilihat dari perspektif Hukum
Administrasi, ukurannya jelas. Menurut Patuan Sinaga, supaya kebebasan atau
pouvoir discretionnaire dapat ditolerir menurut Hukum Administrasi, maka selain
memenuhi asas legalitas (wetmatigheid) dan asas yuridiktas (rechtmatigheid),
administrasi negara (pejabat publik) harus memenuhi tiga tolok ukur lainnya :28
1. Tidak melanggar atau menyimpangi ketaatasasan yang dianut dalam
hirarki peraturan perundang-undangan;
2. Tidak melanggar hak dan kewajiban asasi masyarakat;
3. Dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Badan peradilan merupakan institusi yang mampu menyumbang salah
satu sumber hukum berupa yurisprudensi, melalui hakim yang memeriksa dan
mengadili suatu perkara.
28 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnaire
Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran … Op.Cit., hlm. 103.
20
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, beberapa tugas hakim antara lain :29
1. Tugas pokok dalam bidang peradilan (teknis yudisial), diantaranya adalah : a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya;
b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 ayat [1]);
c. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan beaya ringan (Pasal 5 ayat [2]);
2. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dengan dalih bahwa hukum tidak/ kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat [1]).
3. Tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga Negara lainnya apabila diminta (Pasal 27);
4. Tugas akademis/ ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat [1]).
Di dalam konsep Hukum Pidana, secara formal, tidak ada pengertian
tentang penyalahgunaan wewenang, hanya di dalam formulasi Hukum
Administrasi-lah hal ini ada batasan-batasan tertentu.
Ketika seseorang didudukkan dalam kursi pemeriksaan sebagai terdakwa
dalam pengadilan dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang, kemanakah
seorang hakim akan mencari penyelesaian perkara itu? Melalui pemeriksaan di
pengadilan (kebenaran materiil) mungkin saja dapat ditempuh, namun hemat
Penulis saat ini banyak sekali modus para pelaku korupsi yang mungkin saja dia
dapat mengelak dari hukum formil tentang korupsi. Ini karena tidak ada batasan
29 Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lihat juga Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 125-126 dan143-172.
21
jelas apa dan bagaimana unsur penyelahgunaan wewenang dalam Pasal 3
tersebut.30
Berdasarkan tugas hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa seorang hakim tidak boleh
menolak suatu perkara yang secara formil tidak ada aturannya, karena itu hakim
juga dituntut menemukan hukum atas apa yang dia periksa (rechtsvinding).
Di dalam menjalankan tugasnya, kemandirian hakim dapat diukur
melalui 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal yang datangnya dari dalam hakim itu
sendiri (iman, SDM, pendidikan hakim, dan sebagainya); dan faktor eksternal
yang berupa peraturan perundangan, intervensi proses peradilan, hubungan hakim
dengan penegak hukum lain, tekanan dari luar, kesadaran hukum, dan faktor
sistem pemerintahan.31
Saat ini di tengah-tengah dunia yang berkecamuk (perang, bencana alam,
kesengsaraan, korupsi, dan sebagainya), masyarakat (umat) cenderung
mengutamakan habl min Allah (hubungan vertikal kepada Tuhan sendiri), belum
habl min al-nas (hubungan horisontal dengan sesama), yang didengungkan baru
amar ma’ruf (ajaran kepada kebaikan), belum nahi munkar (larangan
kemungkaran, alias kritik sosial). Seharusnya agama dapat berperan optimal dan
positif.
Senyatanya korupsi, penyalahgunaan wewenang berada dalam tataran
perbuatan munkar, dan merupakan hubungan antar manusia (habl min al-nas).
30http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=13&artid=
12884. 31 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan …
Op.Cit., hlm. 58-63.
22
Berkaitan dengan hal ini, Islam mengajarkan anti korupsi, dalam bahasa agama,
korupsi masuk dalam kategori kemunkaran yang harus dihentikan oleh siapapun
yang menyaksikannya. Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu
melihat kemungkaran, hendaklah dia merobahnya dengan tangannya. Kalau tidak
sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan apabila tidak
sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang demikian itu
adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim).
Selanjutnya, dalam konsep Islam, wewenang erat kaitannya dengan
amanah. Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan
mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam
pengertian luas, amanah mencakup banyak hal seperti : menjaga rahasia,
memelihara semua nikmat yang diberikan Allah Swt., menunaikan kewajiban
dengan baik dan tidak menyalahgunakan jabatan.32 Allah Swt. memikulkan ke
atas pundak manusia tugas-tugas yang wajib dia laksanakan, baik hubungannya
dengan Allah Swt. maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Tugas
seperti itu disebut taklif, manusia yang ditugasi disebut mukallaf, dan amanahnya
disebut amanah taklif. Amanah inilah yang secara metaforis digambarkan oleh
Allah Swt. tidak akan mampu dipikul oleh langit, bumi, dan gunung-gunung
karena beratnya, tapi manusia bersedia memikulnya.33 Allah Swt. berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
32 Yunahar Ilyas, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama : Panduan Untuk Pemuka
Umat, ctk. pertama, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 99.
33 Ibid., hlm. 101.
23
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab 33 : 72).
Dari kajian singkat yang telah dilakukan oleh Penulis, adalah Nur
Basuki Minarno, salah seorang pakar Hukum Pidana di Indonesia yang pernah
mengaji tentang konsep penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana
korupsi. Di dalam bukunya yang berjudul “Penyalahgunaan Wewenang Dan
Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” yang diterbitkan
oleh Laksbang Mediatama, Surabaya, menguraikan tentang kualifikasi subjek atau
pelaku penyalahgunaan wewenang yang berimbas korupsi, berbagai macam
perbuatan atau modus pelaku, sampai dengan praktek putusan pengadilan yang
cukup kontroversial diangkat olehnya.
Melalui penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis, secara garis besar
tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Peneliti sebelumnya.
Namun dalam penelitian ini, Penulis akan menampilkan secara jelas, siapa dan
bagaimana tindak pidana korupsi yang diawali dengan penyalahgunaan
kewenangan itu dilakukan. Melalui kajian secara mendalam tentang pelaku tindak
pidana dan parameter-parameter perbuatan penyalahgunaan kewenangan.
E. DEFINISI OPERASIONAL
Doktrin atau sering disebut juga dengan pendapat sarjana hukum.
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan
24
berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim, apalagi jika sarjana
hukum itu menentukan bagaimana seharusnya.34
Penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan adalah melaksanakan di
luar tujuan,35 bisa juga dikatakan dengan melaksanakan suatu pekerjaan yang
sebenarnya bukan porsinya. Sedangkan wewenang merupakan pengertian yang
berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum
publik.36 Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama
dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat
atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten.)37
Pemerintah adalah adalah badan hukum publik (berisi jabatan-jabatan
atau complex van ambten), penyelenggara kesejahteraan masyarakat yang
menyandang hak dan kewajiban dalam tugasnya menyelenggarakan amanah
konstitusi dan/ atau peraturan perundang-undangan.
Korupsi secara harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
34 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, ctk. Kedelapan,
Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 51 lihat juga Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, ctk. Pertama, Sinar Grafika Ofset, Jakarta, 2004, hlm. 17.
35 Diskusi atau wawancara dengan Salman Luthan, dosen Hukum Pidana FH UII (dosen pembimbing skripsi Penulis), 11 Maret 2009.
36 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara … Op. Cit., hlm. 101sebagaimana dikutip dari H.D. Stout, de Betekenissen van de Wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, hlm. 23.
37 Ibid., hlm. 102 sebagaimana dari Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1-2.
25
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.38 Sedangkan
menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah “perilaku pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal
memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”39
Namun dalam penulisan karya ilmiah kali ini, Penulis membatasi pada tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Putusan pengadilan. Berdasarkan Kamus umum Bahasa Indonesia,
putusan pengadilan berarti barang apa yang sudah diputus (sudah pasti, tentu,
tetap) oleh pengadilan.40
Jadi judul penelitian skripsi yang mengaji tentang “Doktrin
Penyalahgunaan Wewenang Pemerintah dalam Kasus Korupsi dan
Implementasinya dalam Putusan Pengadilan” ini akan menelaah pendapat-
pendapat para sarjana hukum mengenai perbuatan, sikap-tindak yang dalam hal
ini dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bagaimana yang dinilai
menjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam konsep rumusan delik
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu,
penelitian ini juga mengaji bagaimana praktek putusan pengadilan atas berbagai
pandangan tentang konsep penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud
38 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, ed. Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 5. 39 Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.
Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 177 sebagaimana dikutip dari Indonesia Corruption Watch.
40 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ctk. Kelima, PN Balai Pustaka tahun 1976.
26
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi.
F. METODE PENELITIAN
Adapun metode penelitian yang akan Penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah :
1. Fokus Penelitian
Fokus yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah doktrin-
doktrin Hukum Pidana tentang perbuatan penyalahgunaan wewenang
yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus korupsi dan putusan pengadilan
terhadap perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan
wewenang.
2. Nara Sumber41
Nara sumber dalam penelitian ini adalah para pakar atau ahli atau pihak-
pihak yang mempunyai kompetensi atau ahli dalam suatu masalah atau
yang berwenang dalam masalah yang diteliti. Dalam hal ini Penulis
membagi antar pakar Hukum Administrasi dan Hukum Pidana serta para
praktisi, pihak-pihak yang dimaksud antara lain :
a. Ridwan HR, S.H., M.Hum;
41 Pada kenyataannya di lapangan, Penulis tidak dapat menemui nara sumber seperti :
Ridwan HR, SF Marbun, dan Edward OS. Hieraij karena aktivitas nara sumber yang sangat padat. Namun demikian, Penulis mewawancarai pakar yang terkait dengan penulisan skripsi ini, antara lain : Masnur Marzuki (dosen HTN FH UII) dan Muh. Ali Muthohar (Pengkaji di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda bagian Pidana Khusus dan HAM Kejaksaan Agung Republik Indonesia). Mengenai pendapat kedua nara sumber tersebut dapat dilihat pada bab II dan bab III.
27
b. Dr. SF. Marbun, S.H., M.Hum;
c. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.;
d. Dr. Edward Oemar Syarief Hieraij, S.H., M.Hum; dan
e. Hakim-hakim yang pernah memeriksa dan mengadili perkara korupsi
penyalahgunaan wewenang.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum dalam kajian yang akan diteliti ini berupa :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan dan/ atau
konvensi internasional yang relevan dengan permasalahan yang
dibahas. Antara lain :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi;
3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan
Nepotisme; dan
4) Berbagai Putusan Pengadilan yang terkait dengan perkara korupsi
penyalahgunaan wewenang.
b. Bahan Hukum Sekunder.
Pada penelitian ini, Penulis akan mengambil bahan yang tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti data dari buku-
buku (literatur), jurnal, rancangan peraturan-peraturan perundangan,
28
hasil wawancara dan penelitian terdahulu serta karangan-karangan
ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tersier, berupa :
1) Kamus Hukum;
2) Kamus Bahasa Inggris (dan termasuk bahasa asing lainnya);
3) Kamus Umum Bahasa Indonesia;
4) Al Qur’an dan Al Hadits beserta Terjemahannya; dan
5) Berita, Majalah, Tabloid, dan Surat Kabar, termasuk bahan-bahan
atau artikel-artikel terkait yang berasal dari Internet.
d. Sebagai penunjang penelitian ini, maka Penulis juga mencari data
berupa hasil dari wawancara (interview) pada nara sumber yang telah
direncanakan.
4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum
a. Studi Pustaka, yaitu dengan mengumpulkan, mengaji karangan-
karangan ilmiah berupa jurnal, hasil penelitian hukum terdahulu, dan
literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis
dan diambil kesimpulannya.
b. Studi Dokumen, yaitu dengan mengumpulkan dokumen-dokumen
resmi institusional berupa putusan-putusan pengadilan, risalah sidang
dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis
dan diambil kesimpulannya.
c. Teknik wawancara (interview) bebas terpimpin, yaitu dengan
mengajukan pertanyaan langsung kepada para pakar atau ahli yang
29
mempunyai kompetensi atau ahli dalam suatu masalah atau yang
berwenang dalam masalah yang diteliti, dengan menggunakan
pedoman pertanyaan berupa pokok-pokok pertanyaan dan masih dapat
mengurangi kekakuan dengan prinsip bebas.42
5. Metode Pendekatan
Metode pendekatan ialah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam
memahami dan menyelesaikan permasalahan. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan
atau yuridis normatif. Dan jika dianggap perlu digunakan pendekatan lain
sebagai penunjang dari pendekatan yuridis tersebut, misalnya :
pendekatan konseptual.
a. Pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian ini
dikenal juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yang
menganalisis baik hukum sebagai law as it is written in the books,
maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through
judicial process.43 Penelitian hukum normatif merujuk baik pada
hukum positif di dalam peraturan perundang-undangan nasional dan
negara lain. Di samping itu, penelitian hukum normatif juga merujuk
42 Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 73. 43 Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Program Pascasarjana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 32
30
pada putusan hakim in concreto atau judge made law.44 Peter
Mahmud Marzuki menyebutnya dengan istilah pendekatan undang-
undang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua
undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan fokus
penelitian untuk mencari tahu ratio legis dan ontologisnya sebuah
undang-undang.45
b. Pendekatan konseptual filosofis adalah pendekatan yang beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum
yang berhubungan dengan fokus penelitian. 46
6. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan-Bahan Hukum
Data yang terkumpul dari hasil penelitian ini dianalisa secara deskriptif
kualitatif, yaitu penguraian data-data yang diperoleh dalam penelitian
tersebut digambarkan dan ditata secara sistematis dalam wujud uraian-
uraian kalimat yang diambil maknanya sebagai pernyatan atau
kesimpulan.47 Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya
sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang
diperoleh.48
44 Ibid. 45 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ctk. Kesatu, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm. 93. 46 Ibid., hlm. 95. 47 Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum …, Op. Cit., hlm. 82, 98. 48 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Ctk. Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1999, hlm. 6.
31