Post on 05-Feb-2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah konflik atau perang menjadi isu kontemporer, jumlah korban jiwa
merupakan konsekuensi logis akibat konflik atau perang. Korban jiwa ini
tidak hanya meliputi korban dari pihak militer, namun juga korban sipil.
Sejarah kelam Perang Dunia II yang berlangsung dari tahun 1939-1945
dan perang asia timur raya (bagian dari Perang Dunia II) yang berlangsung
dari tahun 1942-1945 telah menimbulkan korban luar biasa banyak, baik
berupa korban manusia, harta benda, baik di pihak pemenang perang maupun
pihak yang kalah perang. Setelah perang berakhir muncul ide untuk meminta
pertanggungjawaban secara langsung kepada individu yang dituduh
melakukan pelanggaran hukum internasional dengan mengajukannya
kehadapan pengadilan internasional.1
Pembentukan Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal merupakan upaya
yang dilakukan untuk menyeret para pelaku pelanggaran hukum internasional
ke pengadilan. Selain pengadilan pidana internasional, Perang Dunia II juga
memunculkan upaya kodifikasi terhadap hukum perang yang selama ini hanya
diatur dalam hukum kebiasaan internasional. Konferensi Diplomatik dalam
rangka pembentukan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Korban
1 I Wayan Parthiana, 2006, Hukum Pidana Internasional, CV. Yrama Widya, Cetakan I , Bandung,
Hal. 181 - 182
2
Perang diadakan di Jenewa pada tanggal 21 April hingga 12 Agustus 1949.
Konferensi ini menghasilkan 4 (empat) Konvensi, yaitu : 2
1. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the
Wounded and Sick in Armed Forces in the Field
2. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of Wounded,
Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea
3. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War
4. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in
Time of War
Dalam perkembangan selanjutnya kembali dibentuk pengadilan pidana
internasional ad hoc di negara bekas Yugoslavia dengan nama International
Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia/ ICTY (Mahkamah Kejahatan
Perang untuk Kasus bekas Yugoslavia) pada tahun 1993, dan di negara
Rwanda dengan nama International Criminal Tribunal For Rwanda/ ICTR
(Mahkamah Kejahatan Perang untuk Kasus bekas Rwanda) pada tahun 1994.
Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Yugoslavia dibentuk
berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
827 Tahun 1993, dimana Dewan Keamanan bertindak berdasarkan Bab VII
Piagam PBB. Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili pelaku pelanggaran
serius hukum humaniter internasional dalam wilayah bekas Yugoslavia yang
terjadi antara 1 Januari 1991 sampai tanggal yang akan ditentukan oleh Dewan
Keamanan PBB dimana telah tercapainya pemulihan perdamaian.3
Dalam upaya untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab atas
kejahatan genosida, Dewan Keamanan PBB membentuk Mahkamah
Kejahatan Perang untuk Kasus Bekas Rwanda. Pada tanggal 8 November
2 The Geneva Conventions of 12 August 1949, Hal. 21
3 Resolution Security Council 827 (1993), Hal . 2
3
1994, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 955 untuk membentuk
Mahkamah yang bertujuan menuntut pelaku yang bertanggung jawab atas
kejahatan genosida dan pelanggaran serius atas hukum humaniter
internasional yang dilakukan di wilayah Rwanda dan wilayah Negara tetangga
yang terjadi antara 1 Januari 1994 sampai 31 Desember 1994.4
Pada dasarnya pengadilan pidana internasional ad hoc sebagaimana
disebut di atas memiliki kesamaan yakni terkait yurisdiksi atau kewenangan
hukum atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti kejahatan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan
agresi.
Dari uraian diatas juga dapat dilihat pengadilan pidana internasional ad
hoc baru dibentuk setiap kali terjadi peristiwa kejahatan perang, genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan ataupun kejahatan agresi. Mengantisipasi
kemungkinan terjadi kejahatan serupa di masa yang akan datang dengan
akibat-akibat di luar batas perikemanusiaan5, menjadi dasar pembentukan
International Criminal Court (selanjutnya disebut Mahkamah Pidana
Internasional) yang akan menjadi bagian penting dalam penegakan hukum
pidana internasional dan perlindungan HAM internasional. Hal ini dipertegas
dalam preamble Statuta Roma berikut : 6
1. Mengingat jutaan anak-anak, perempuan dan laki-laki menjadi korban
kekejaman yang sangat mengejutkan hati nurani kemanusiaan.
4 Michael P. Scharf, 2008, Statute of International Criminal Tribunal for Rwanda, United Nations
Audiovisual Library of International Law, Hal. 1 5 I Wayan Parthiana, Op.cit, Hal. 23
6 Alinea ke 2 – 5 Pembukaan Statuta Roma
4
2. Menyadari bahwa kejahatan serius yang mengancam perdamaian,
keamanan dan kesejahteraan dunia.
3. Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
masyarakat internasional tidak boleh dibiarkan serta tidak dihukum dan
penuntutan yang efektif terhadap pelaku harus dijamin dengan mengambil
langkah-langkah di tingkat nasional dan meningkatkan kerjasama
internasional.
4. Bertekad untuk mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan dan
memberikan kontribusi terhadap pencegahan terjadinya kejahatan tersebut.
Mahkamah Pidana Internasional merupakan pengadilan pidana
internasional pertama yang sifatnya permanen. Mahkamah Pidana
Internasional yang berkedudukan di Denhaag, Belanda ini dibentuk
berdasarkan Statuta yang ditandatangani di Roma pada bulan Juli 1998
(selanjutnya disebut Statuta Roma). Statuta Roma ini baru mulai berlaku pada
1 Juli 2002, sesuai dengan yang diamanatkan dalam pasal 126 Statuta :
“this statute shall enter into force on the first day of the month after the
60th day following the date of the deposit of the 60th instrument of
ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary-General
of the United Nations”
Mahkamah Pidana Internasional ini sendiri sesuai dengan Statuta Roma
memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan sebagaimana diatur dalam
pasal 5 Statuta yaitu :
the jurisdiction of the court shall be limited to the most serious crimes of
concern to the international community as a whole. the court has
jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following
crimes:
5
a. the crime of genocide;
b. crimes against humanity;
c. war crimes;
d. the crime of aggression.
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana diatur dalam pasal 34 Statuta
Roma, Mahkamah terdiri dari organ-organ sebagai berikut :
1. Kepresidenan (Presidency)
Kepresidenan terdiri dari 1 (satu) Presiden dan 2 (dua) Wakil Presiden
yang dipilih oleh mayoritas absolut dari Hakim Mahkamah Pidana
Internasional. Presiden dan Wakil Presiden ini akan bertugas untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun atau sampai dengan berakhirnya masa jabatan sebagai
Hakim Mahkamah Pidana Internasional, hal ini dilihat point mana yang
berakhir lebih awal.7 Kepresidenan bertanggung jawab untuk:
8
a. Mengurus administrasi pengadilan, kecuali Kantor Jaksa, dan
b. Menjalankan fungsi lain diberikan kepadanya sesuai dengan Statuta.
Mahkamah Pidana Internasional memiliki 18 orang Hakim.9 Hakim-
hakim tersebut merupakan orang-orang dengan karakter moral yang tinggi,
memiliki imparsialitas, integritas dan kualifikasi setara dengan pejabat
lembaga hukum tertinggi di Negara pihak Statuta Roma.10
Hakim-hakim yang dicalonkan tersebut akan diseleksi oleh Majelis
Negara Pihak. Dalam pemilihan Hakim wajib memperhitungkan
kebutuhan, dengan melihat :11
7 Pasal 38 ayat 1 Statuta Roma
8 Pasal 38 ayat 3 Statuta Roma
9 Pasal 36 ayat 1 Statuta Roma
10 Pasal 36 ayat 3 Statuta Roma
11 Pasal 36 ayat 8 Statuta Roma
6
a. representasi dari sistem hukum utama di dunia.
b. representasi geografis.
c. representasi jumlah Hakim perempuan dan laki-laki.
2. Fungsi Peradilan dari Mahkamah Pidana Internasional dibagi dalam 3
(tiga) divisi, yaitu Divisi Banding, Divisi Peradilan, dan Divisi
Praperadilan (an Appeals Division, a Trial Division, and a Pre-Trial
Division).
Fungsi yudisial dari Mahkamah dilaksanakan di Divisi oleh kamar-
kamar. Kamar-kamar tersebut yaitu :12
a. Kamar Banding yang terdiri dari semua hakim dari Divisi Banding.
Upaya banding dapat dilakukan terhadap :
1. Keputusan dan pembebasan atau hukuman : 13
a. Jaksa dapat melakukan banding untuk : kesalahan prosedural,
kesalahan fakta, atau kesalahan hukum.
b. Seseorang yang dihukum atau Jaksa atas nama orang tersebut,
atau pembela dari terpidana, dapat melakukan banding untuk :
kesalahan prosedural, kesalahan fakta, kesalahan hukum, atau
dasar lainnya yang mempengaruhi proses keadilan atau
kredibilitas keputusan Mahkamah.
2. Banding terhadap keputusan lain : 14
a. Keputusan sehubungan dengan yurisdiksi atau diterimanya
suatu situasi oleh Mahkamah.
12
Pasal 39 ayat 2 b Statuta Roma 13
Pasal 81 Statuta Roma 14
Pasal 82 Statuta Roma
7
b. Keputusan memberikan atau menolak pembebasan orang yang
sedang diselidiki atau dituntut.
c. Keputusan Kamar Praperadilan untuk bertindak atas inisiatif
sendiri menurut pasal 56 ayat 3.
d. Keputusan terhadap suatu masalah yang kiranya sangat
mempengaruhi jalannya persidangan secara adil dan cepat/hasil
persidangan.
Sehubungan dengan hal tersebut Kamar Banding dapat:
1. Menerima atau mengubah keputusan atau hukuman, atau
2. Meminta persidangan baru dengan majelis hakim yang berbeda.
b. Kamar Peradilan yang fungsinya dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang
hakim dari Divisi Peradilan, Kamar Peradilan yang ditugaskan untuk
menangani kasus harus:15
1. Berunding dengan para pihak dan mengadopsi prosedur yang
diperlukan untuk memfasilitasi pelaksanaan proses peradilan yang
adil dan cepat.
2. Menentukan bahasa yang akan digunakan dalam pengadilan.
3. Memberikan keterangan atas dokumen/informasi yang sebelumnya
dirahasiakan untuk umum sebelum pelaksanaan persidangan
c. Kamar Praperadilan yang fungsinya dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang
hakim dari Divisi Praperadilan atau oleh seorang hakim tunggal dari
15
Pasal 64 ayat 3 Statuta Roma
8
Divisi tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara dan pembuktian
dalam Statuta. Kamar Praperadilan dapat : 16
1. Atas permintaan Jaksa, mengeluarkan perintah penangkapan yang
mungkin diperlukan untuk kepentingan penyelidikan.
2. Atas permintaan orang yang telah ditangkap atau berdasarkan pasal
58, atau untuk mendapatkan kerjasama menurut Bab 9 jika
diperlukan untuk membantu orang dalam menyiapkan
pembelaannya.
3. Jika diperlukan, memberikan perlindungan/privasi pada korban dan
saksi, menjaga bukti, perlindungan terhadap orang yang sudah
ditahan atau orang hadir untuk menanggapi surat panggilan, dan
melindungi keamanan informasi nasional.
4. Mengizinkan jaksa untuk mengambil langkah-langkah investigasi
yang spesifik dalam wilayah suatu Negara Pihak tanpa harus
memiliki kerjasama dengan Negara tersebut, sesuai Bab 9 dengan
memperhatikan pandangan Negara yang berkepentingan untuk
situasi tersebut.
5. Mengambil tindakan perlindungan untuk tujuan perampasan,
khususnya untuk memaksimalkan keuntungan terhadap korban.
3. Kantor Jaksa (Office of The Prosecutor)
Kantor Jaksa bertindak secara mandiri sebagai organ yang terpisah dari
Mahkamah dan bertanggung jawab menerima pengajuan/penyerahan suatu
16
Pasal 57 ayat 3 Statuta Roma
9
situasi dan informasi penting tentang tindak pidana yang menjadi
yurisdiksi Mahkamah.17
Kantor Jaksa dipimpin oleh seorang Jaksa yang
dibantu oleh seorang atau lebih Wakil Jaksa.18
Jaksa dan wakil jaksa harus
memiliki moral yang tinggi serta kompetensi dan pengalaman dalam
perkara pidana. Jaksa dipilih dari pemungutan suara mayoritas Majelis
Negara Pihak dalam Statuta. Tugas dan wewenang Jaksa sehubungan
dengan investigasi : 19
a. Dalam rangka mencari kebenaran, dapat memperpanjang penyelidikan
untuk mencukupi semua fakta dan bukti yang relevan dengan penilaian
apakah ada tanggung jawab pidana dalam Statuta, dalam
melakukannya Jaksa dapat menyelidiki hal-hal yang memberatkan dan
mendukungnya situasi tersebut.
b. Mengambil tindakan yang tepat untuk menjamin penyelidikan yang
efektif dan penuntutan kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan, dan
dengan berbuat demikian, menghormati kepentingan serta keadaan
pribadi korban dan saksi, termasuk usia, jenis kelamin (pasal 7 ayat 3).
c. Menghormati sepenuhnya hak orang-orang yang timbul berdasarkan
Statuta.
Jaksa dapat melakukan investigasi di wilayah Negara peserta:20
a. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian 9 Statuta.
b. Diperintahkan oleh Kamar Praperadilan menurut pasal 57 ayat 3 (d).
17
Pasal 42 ayat 1 Statuta Roma 18
Pasal 42 ayat 2 Statuta Roma 19
Pasal 54 ayat 1 Statuta Roma 20
Pasal 54 ayat 2 Statuta Roma
10
Jaksa dalam melakukan penyelidikan dapat:21
a. Mengumpulkan dan memeriksa bukti-bukti.
b. Meminta kehadiran dan menggali informasi dari orang sedang
diselidiki baik korban maupun saksi.
c. Mengupayakan kerjasama dari setiap Negara atau organisasi antar
pemerintah sesuai dengan kompetensi masing-masing.
d. Mengadakan perjanjian yang tidak bertentangan dengan Statuta yang
diperlukan untuk memfasilitasi kerjasama suatu Negara, organisasi
atau orang antar pemerintah.
e. Bersedia untuk tidak mengungkapkan dokumen atau informasi yang
diperoleh pada setiap tahap untuk tujuan menghasilkan bukti baru,
kecuali mendapat persetujuan dari penyedia informasi.
f. Mengambil atau meminta langkah-langkah yang diperlukan untuk
menjamin kerahasiaan informasi, perlindungan setiap orang atau
menyimpan bukti.
4. Kepaniteraan (The Registry)
Kepaniteraan dipimpin oleh seorang Panitera sebagai pejabat
administratif utama dari Mahkamah. Panitera melaksanakan tugas-
tugasnya dalam bidang non yudisial, administratif, dan pelayanan dibawah
Kepresidenan. Panitera dipilih oleh Hakim berdasarkan suara mayoritas
mutlak dan rahasia, dengan mempertimbangkan rekomendasi Majelis
Negara Pihak. Jika diperlukan dan atas rekomendasi Panitera, para Hakim
21
Pasal 54 ayat 3 Statuta Roma
11
harus memilih wakil panitera, dengan cara yang sama. 22
Panitera menjabat
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, dan apabila memenuhi syarat untuk
sekali pemilihan lagi.23
Mahkamah Pidana Internasional dapat memberlakukan yurisdiksinya
berkenaan dengan kejahatan tersebut apabila :24
a. Situasi di mana satu atau lebih tindak pidana telah dilakukan sebelumnya
diserahkan/ diarahkan kepada Jaksa oleh Negara Peserta.
b. Situasi di mana satu atau lebih tindak pidana telah dilakukan sebelumnya
diserahkan/diarahkan kepada Jaksa oleh Dewan Keamanan yang bertindak
berdasarkan Bab VII dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa ; atau atas
inisiatif Jaksa melakukan penyidikan berkenaan dengan tindak pidana
dibawah yurisdiksi Mahkamah.
c. Penerimaan dari suatu Negara yang bukan Peserta dari Statuta ini
diperbolehkan, dengan deklarasi menundukkan diri sama dengan Negara
peserta, menerima keberlakukan dari yurisdiksi Mahkamah berkenaan
dengan tindak pidana tersebut. Misalnya Negara Pantai Gading yang
menyatakan deklarasi untuk tunduk pada yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional.25
Sejak berdiri dan mulai berlakunya Mahkamah Pidana Internasional telah
menyelidiki beberapa situasi yang diduga telah/sedang terjadi kejahatan yang
menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana internasional, yakni situasi yang terjadi
22
Pasal 43 ayat 4 Statuta Roma 23
Pasal 43 ayat 5 Statuta Roma 24
Pasal 13 Statuta Roma 25
Situation in the Republic of Côte d'Ivoire, http://www.icc-cpi.int
12
di Uganda, Republik Demokratik Kongo, Afrika, Darfur-Sudan, Libya, Pantai
Gading dan Mali.26
Dari situasi yang diselidiki oleh Mahkamah Pidana Internasional tersebut
Darfur-Sudan dan Libya merupakan Negara bukan peserta Statuta Roma.
Namun Mahkamah Pidana Internasional tetap menyelidiki situasi yang terjadi
di 2 (dua) Negara tersebut sehubungan dengan diarahkannya situasi di dua
negara tersebut oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam
PBB, dimana diawali dengan diadopsinya Resolusi Dewan Keamanan PBB
1953 tahun 2005 untuk situasi di Darfur-Sudan dan Resolusi Dewan
Keamanan PBB 1970 tahun 2011 untuk situasi di Libya.
Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap situasi
di Darfur-Sudan dan Libya di atas bertentangan dengan asas pacta sunt
servanda, yang secara umum menyatakan tiap traktat atau perjanjian mengikat
Negara peserta dan harus dilaksanakan dengan niat baik. Sebagai
konsekuensinya, traktat atau perjanjian tidak dapat mengikat pihak-pihak yang
bukan Negara peserta. Pengakuan atas prinsip ini disebut sebagai prinsip
perjanjian yang dilakukan oleh pihak lain tidak memberikan keuntungan atau
kerugian terhadap pihak luar (res inter alios acta) sebagaimana dimuat dalam
pasal 34 Konvensi Wina 1969.
Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik membahas mengenai
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
Terhadap Negara Bukan Peserta Statuta Roma.
26
Situasion and case, www.icc-cpi.int
13
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka untuk membatasi
permasalahan yang akan dibahas penulis merumuskan ke dalam rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keterikatan Negara bukan peserta Statuta Roma terhadap
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional?
2. Dapatkah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional diberlakukan untuk
situasi di Darfur-Sudan dan Libya?
C. Keaslian Peneltian
Menurut data yang diperoleh berdasarkan pemeriksaan pada perpustakaan
Universitas Andalas (UNAND), penelitian mengenai Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court) terhadap Negara bukan
Peserta Statuta belum pernah dilakukan hingga tesis ini ditulis, namun
terdapat kemiripan judul dengan tulisan di dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 14
April 2007: 314-332 oleh Sefriani Dosen Fakultas Hukum UII Yogyakarta
dengan judul Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma
1998.
Pada penulisan tesis ini terdapat aspek pembeda yang mendasar baik dari
latar belakang, rumusan masalah dan pembahasan yang diangkat. Oleh karena
itu, tesis ini dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki keaslian dan sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu jujur, rasional,
objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses
14
menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka
untuk kritikan yang sifatnya membangun.
D. Tujuan Penulisan
Bertitik tolak dari rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini
antara lain :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis keterikatan Negara bukan peserta
Statuta Roma terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional terhadap situasi di Darfur-Sudan dan Libya.
E. Manfaat Penulisan
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, yaitu :
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para
akademisi dan masyarakat umum, serta diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum internasional secara
khusus.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
akademisi dan masyarakat umum berkaitan dengan Yurisdiksi Mahkamah
15
Pidana Internasional (International Criminal Court) Terhadap Negara
Bukan Peserta Statuta Roma.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Terdapat beberapa pandangan yang membahas hubungan antara
hukum nasional dan hukum internasional. Diantaranya teori monisme
yang memandang hukum internasional dan hukum nasional masing-
masing merupakan dua aspek dari satu sistim hukum.27
Penganut teori ini
menganggap hukum internasional lebih unggul dari hukum nasional
dengan tujuan untuk menciptakan nilai-nilai universal kemanusiaan
sebagai landasan utama dalam norma-norma hukum internasional.28
Teori dualisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasional
merupakan 2 (dua) sistim hukum yang berbeda secara intrinsik.29
Hal ini
karena sifat dasarnya berbeda dimana hukum internasional mengatur
hubungan antar negara dan hukum nasional mengatur hubungan intra-
negara dimana struktur hukum yang berbeda diterapkan di satu sisi oleh
negara dan di sisi lain antara Negara-negara, dimana ketentuan hukum
nasional memungkinkan pelaksanaan aturan hukum internasional.
Teori koordinasi beranggapan hukum internasional memiliki lapangan
berbeda dengan hukum nasional, sehingga keduanya memiliki keutamaan
27
Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2010, Hal. 7 28
Jawahir Thontowi, Op.cit., Hal.80 29
Sugeng Istanto, Op. Cit, Hal.8
16
di lapangannya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada yang lebih tinggi
ataupun lebih rendah satu dengan yang lain.30
Negara merupakan subjek paling utama dalam hukum internasional.
J.G Starke menyebut unsur terpenting dari suatu negara adalah kedaulatan.
Hal inilah yang membedakan antara negara dengan unit yang lebih kecil
atau negara bagian yang tidak menangani sendiri seluruh urusan luar
negerinya.31
Kedaulatan merupakan hasil terjemahan dari sovereignty (bahasa
inggris), sovereinete (bahasa prancis), sovranus (bahasa italia) yang
mempunyai arti kekuasaan tertinggi. 32
Konsep kedaulatan sebagai konsep
kekuasaan tertinggi menitikberatkan kepada domain kedaulatan, yakni
siapa yang memegang kekuasaan tertinggi. Ilmu hukum mengenal 4
(empat) teori atau ajaran mengenai siapa yang berdaulat dalam negara,
yaitu :
1. Teori kedaulatan Tuhan 33
Inti teori ini bahwa domain kekuasaan tertinggi berada di tangan
Tuhan. Dari pendekatan teologi di zaman abad pertengahan, teori ini
melahirkan Negara teokrasi sebagaimana yang dianut Thomas
Aquinas. Berdasarkan pandangan tersebut, Thomas Aquinas membagi
hukum menjadi empat macam : Lex aeterna (Hukum yang bersumber
30
Jawahir Thontowi, Op.cit., Hal.81 31
Dikutip melalui…Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara Sejarah Konsep Kenegaraan, Setara
Perss, Malang, Hal. 82 32
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 1999, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Negeri
Asing, Alumni, Bandung, Hal. 41 - 42 33
Dewa Gede Atmadja, .Op.Cit, Hal. 84 - 85
17
dari tuhan), Lex devina (Hukum yang dapat dipahami oleh manusia),
Lex naturalis (norma-norma kehidupan yang berlaku secara
fundamental, universal serta berlaku abadi), Lex humana (bersumber
pada lex naturalis perwujudan dari principia secundaria).
2. Teori kedaulatan raja 34
Inti teori ini adalah raja itu wakil Tuhan dalam menyelenggarakan
atau memegang kekuasaan tertinggi. Dengan demikian, dalam kondisi
praktisnya kedaulatan Tuhan menjelma dalam kedaulatan raja.
Ajaran ini muncul setelah periode sekularisasi Negara dan hukum
eropa. Inti teorinya bahwa domain kekuasaan tertinggi tidak berada
pada Tuhan melainkan berada pada Negara itu sendiri. Negaralah yang
menciptakan hukum dan Negara satu-satunya sumber hukum sehingga
siapapun dalam semua urusan harus tunduk kepada Negara.
Menurut Koesnardi teori kedaulatan Negara merupakan kelanjutan
dari teori kedaulatan raja dalam susunan kedaulatan rakyat. Pengertian
Negara yang abstrak dikonkritkan dalam tubuh raja disebut
verkulpingtheori yang artinya negara menjelma dari tubuh raja.35
3. Teori kedaulatan hukum36
Teori ini dipelopori oleh Prof. Krabbe sebagai penyangkalan
terhadap teori kedaulatan Negara. Inti teori tersebut adalah hukum
kedudukannya lebih tinggi dari pada Negara. Oleh karena itu baik raja,
34
Ibid, Hal. 85 35
Dewa Gede Atmadja, .Op.Cit, Hal. 86 36
Loc.it
18
penguasa maupun rakyat bahkan Negara dalam sikap, tingkah laku dan
perbuatannya harus sesuai dengan hukum.
4. Teori kedaulatan rakyat
Inti teori bahwa domain kekuasaan tertinggi berada di tangan
rakyat. Ini berarti bahwa kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber
kekuasaan bagi setiap pemerintah. Dalam kaitan itu muncul adagium
“solus populi supremalex” yang artinya suara rakyat adalah suara
Tuhan. Jean Jack Rousseau menyebutkan ada 2 (dua) macam kehendak
rakyat yaitu : kehendak rakyat seluruhnya disebut “Volunte de Tous”,
kehendak mayoritas rakyat yang disebut “Volunte Generale”.37
Jean Bodin menganggap kedalautan sebagai ciri khusus dari Negara,
kedaulatan merupakan hal yang pokok dari setiap kesatuan berdaulat yang
disebut Negara.38
Tanpa kedaulatan, maka tidak ada Negara dan karenanya
kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak dan abadi dari negara yang tidak
terbatas dan tidak dapat dibagi-bagi.
Lebih jauh lagi Bodin menyatakan bahwa tidak ada kekuasaan yang
lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan Negara. Menurutnya
kedaulatan itu mengandung satu-satunya kekuasaan sebagai : 39
1. Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain.
2. Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaannya.
3. Bersifat abadi atau kekal.
37
Ibid, Hal. 87 38
Yudha Bhakti Ardhwisastra. Op. Cit. Hal. 41 39
Ibid Hal. 42
19
4. Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi
saja.
5. Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada suatu badan lain
Kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi dimiliki oleh Negara, memang
menimbulkan kesan bertentangan dengan hukum internasional, dimana
hukum internasional sebagai suatu sistim yang mengatur hubungan antar
Negara. Hukum internasional tidak mungkin mengikat apabila Negara-
negara tidak mengakui adanya suatu kekuasaan lain yang lebih tinggi lagi
diatasnya. Paham kedaulatan yang demikian akan menghambat
perkembangan masyarakat internasional dan perkembangan hukum
internasional itu sendiri.
Kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung 2 (dua)
pembatasan. Pertama, bahwa kekuasaan itu terbatas pada batas-batas
wilayah Negara yang memiliki kekuasaan itu. Kedua, kekuasaan itu
berakhir apabila kekuasaan Negara lain dimulai.
Perbedaan penerapan kedaulatan Negara ada pada derajat yang
berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain. Sebagian Negara
memiliki kekuasaan dan kebebasan lebih besar dari pada Negara lainnya.
Kenyataan ini menghadapkannya kepada perbedaan antara Negara
merdeka dengan Negara yang tidak memiliki kemerdekaan atau
kedaulatan.
Pada dasarnya walaupun setiap Negara memiliki kedaulatan, namun
negara juga memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan internasional.
20
Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki hak-hak dan
kewajiban dasar. Hak- hak dasar Negara sebagai berikut :
a. Hak atas kemerdekaan dan self determination 40
Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB : “ to develop friendly relations among
nations based on respect for the principle of equal rights and self-
determination of peoples, and to take other appropriate measures to
strengthen universal peace “
Dalam pasal 55 Piagam PBB : “with a view to the creation of
conditions of stability and well-being which are necessary for peaceful
and friendly relations among nations based on respect for the principle
of equal rights and self-determination of peoples….”
Dari ketentuan diatas disimpulkan sebagai hak untuk menciptakan
keadaan-keadaan yang tertib dan kemakmuran yang merupakan dasar
bagi terciptanya perdamaian dan hubungan antar negara.
b. Hak untuk melaksanakan yurisdiksi terhadap wilayahnya, orang dan
benda yang berada di dalam wilayahnya. Merupakan hak yang melekat
pada setiap Negara yang merdeka sebagai konsekuensi dari kedaulatan
yang dimilikinya.
c. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama. Hak ini
merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan Negara, meskipun
dalam realitanya kondisi suatu Negara berbeda dengan Negara lain,
ada Negara kecil, Negara besar, Negara kaya dan Negara miskin.
40
Sefriani, Pengantar Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 113-133
21
d. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri sesuai atau kolektif
(self defense).
Kewajiban-kewajiban dasar negara sebagai berikut : 41
a. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-
masalah yang terjadi di Negara lain.
b. Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain.
c. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di
wilayahnya dengan memperhatikan HAM.
d. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional.
e. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
f. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan dan ancaman senjata.
g. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya penggunaan kekuatan
dan ancaman senjata.
h. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh
melalui cara-cara kekerasan.
i. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan itikad
baik.
j. Kewajiban untuk mengadakan hubungan internasional dengan Negara-
negara lain sesuai hukum internasional.
Berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional yang mengenal
adanya pembagian kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam
41
Sefriani,Op.Cit, Hal. 138
22
hukum internasional tidak ada badan yang mampu membuat hukum
internasional yang mengikat semua, atau sistem pengadilan yang tepat
dengan yurisdiksi komprehensif dan mewajibkan untuk memberikan
penafsiran hukum.42
Hal ini menjadikan keunikan tersendiri dalam
menemukan sumber hukum internasional. Dalam ketentuan pasal 38 ayat
1 Statuta International Court of Justice (ICJ) disebutkan:
the court, whose function is to decide in accordance with international
law such disputes as are submitted to it, shall apply :
i. International convention, whether general or particular,
esthablishing rules expressly recognized by contesting state
ii. International custom, as evidence of general practile practice
accepted as law
iii. The general pinciple of law recognazed by civiled nations
iv. Subject to the provision of article 59, judicial decision and the
teachings of the most highly qulified publicists of the various
nation, as subsidiary means for the determinations of rule of law
Sumber hukum internasional menempati kedudukan yang sangat penting
dan merupakan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa yang
terjadi dalam masyarakat internasional. Dari berbagai literatur dapat dilihat
penjelasan mengenai sumber hukum internasional tersebut.
1. Traktat/ perjanjian internasional
Traktat dalam pengertian luasnya adalah perjanjian antara pihak-pihak
peserta atau negara-negara di tingkat internasional. Pengaturan secara
umum mengenai perjanjian internasional terdapat dalam Konvensi Wina
1969 tentang hukum perjanjian internasional. Konvensi ini dibentuk
tanggal 23 Mei 1969 dan mulai berlaku efektif setelah diratifikasi 35
42
Malcolm N. Shaw QC, 2008, International Law, Sixth Edition, Cambrige University Press. Hal.
70
23
negara sebagaimana diatur dalam pasal 84 Konvensi ini, yakni pada 27
Januari 1980.43
Selain Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional,
juga terdapat pengaturan mengenai perjanjian internasional dalam
Konvensi Wina 1986 tentang hukum perjanjian antara Negara dan
organisasi internasional.
Secara fungsional perjanjian internasional dilihat dari sumber hukum,
maka perjanjian internasional dibedakan dalam dua golongan, yaitu:
treaty contracts dan law making treaties. Treaty contract adalah
perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang
mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian itu saja, contoh perjanjian perbatasan dan perjanjian
perdagangan. Law making treaties adalah perjanjian internasional yang
meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan, misalnya Konvensi Wina
1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional dan Konvensi Hukum Laut
1982.44
2. Kebiasaan internasional
Pada waktu yang lalu, aturan perilaku tertentu muncul dan menentukan
apa yang boleh dan apa yang tidak. Aturan tersebut berkembang tanpa
disadari terus dilakukan dalam kelompok masyarakat. Kebiasaan
setidaknya pada tahap awal, tidak ditulis atau dikodifikasi, namun tetap
43
J.G Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh 2, Cetakan Keempat, Sinar
Grafika, Jakarta, Hal. 582 44
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Hukum Internasional, PT. Alumni Bandung, Hal. 107 - 108
24
bertahan. Sebagai masyarakat berkembang, modernisasi aturan perilaku
dilakukan dengan pembentukan pranata hukum, seperti pengadilan dan
legislatif.
Kebiasaan Internasional didefinisikan sebagai bukti praktik umum
yang diterima sebagai hukum. Selama bertahun-tahun proses kodifikasi
hukum internasional oleh International Law Commision selama bertahun-
tahun hukum internasional berasal dari kebiasaan internasional. Banyak
yang menyebutkan bahwa perjanjian umum sebenarnya hanya kodifikasi
aturan hukum kebiasaan yang sudah ada. Penulis tertentu mengatakan
norma jus cogens dapat ditemukan dalam kebiasaan internasional.
Dalam perjanjian yang berisikan refleksi dari hukum kebiasaan maka
akan mengikat Negara bukan peserta, bukan karena ketentuan dalam
perjanjian tersebut, namun karena hal tersebut ditegaskan dalam aturan
hukum kebiasaan internasional. Demikian pula, Negara bukan peserta
dapat menerima ketentuan dalam perjanjian tertentu dapat menghasilkan
hukum kebiasaan, selalu tergantung pada sifat perjanjiannya, jumlah pihak
yang terlibat dan faktor lain yang relevan.45
Kemungkinan bahwa ketentuan dalam perjanjian dapat merupakan
norma dasar, bila digabungkan dengan opinio juris dapat menyebabkan
terciptanya hukum kebiasaan yang mengikat semua negara, tidak hanya
pihak dalam perjanjian asli, Hal ini sudah diterapkan oleh Mahkamah
Internasional pada North Sea Continental Shelf cases dan dianggap salah
45
Malchom N. Shaw, QC, Op.Cit Hal. 263
25
satu metode dalam memformulasikan new rules of customary international
law.
Menurut the two element theory suatu kebiasaan internasional dapat
menjadi bagian dari norma hukum internasional apabila memenuhi 2 (dua)
syarat : 46
a. Perilaku itu haruslah berupa fakta dari praktek atau perilaku yang
secara umum telah dilakukan atau dipraktekkan oleh negara-negara
(the evidence of material fact)
b. Perilaku yang telah dipraktekkan secara umum tersebut, oleh negara-
negara atau masyarakat internasional telah diterima atau ditaati sebagai
perilaku yang memiliki nilai sebagai hukum yang dalam istilah
teknisnya dikenal sebagai opinio juris sive necessitatis.47
Negara bukan peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan
kodifikasi hukum kebiasaan yang sudah berlaku dan hukum kebiasaan
baru (progressive development) : 48
a. Negara peserta akan terikat pada seluruh pasal perjanjian
b. Negara bukan peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan
kodifikasi hukum kebiasaan yang sudah belaku (exiting customary
law) saja. Sekali lagi keterikatan negara peserta ini bukan karena
perjanjiannya melainkan karena hukum kebiasaannya
46
Jawahir Thontowi, Op.Cit, Hal 62 47
Hakim Negulesco dari Permanent Court of International Justice, mengatakan opinio juris sive
necessitatis adalah “ keyakinan bersama bahwa pengulangan tindakan itu merupakan akibat dari
suatu tindakan memaksa” Dikutip melalui J. G. Starke. Op. Cit. Hal. 48 48
Sefriani.Op.Cit.Hal.30-31
26
c. Negara bukan peserta dapat pula terikat pada ketentuan yang
merupakan progressive development tersebut merupakan hukum
kebiasaaan baru (new customary).
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Sekumpulan peraturan hukum-hukum dari pelbagai bangsa dan negara
yang secara universal mengandung kesamaan. Berdasarkan asas ini,
tindakan apapun yang dilakukan oleh Negara atas seseorang atau lebih
dalam status apapun, tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan
Hak Asasi Manusia.
Pada penulisan ini banyak dibahas mengenai hukum pidana
internasional. Dalam Statuta Roma beberapa pasal perjanjian bersumber
dari prinsip-pinsip hukum umum yaitu :
a. Nullum crimen sine lege 49
Seseorang tidak dapat bertanggungjawab secara pidana kecuali jika
tindakan tersebut pada waktu dilakukan merupakan suatu tindak
pidana
b. Nulla poena sine lege 50
Seseorang yang telah didakwa hanya dapat dijatuhi hukuman sesuai
dengan Statuta ini.
c. Non-retroactivity ratione personae 51
Tidak ada seorangpun bisa bertanggung jawab secara pidana
untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta ini
49
Pasal 22 Statuta Roma 50
Pasal 23 Statuta Roma 51
Pasal 24 Statuta Roma
27
d. Individual criminal responsibility 52
Seseorang yang melakukan suatu kejahatan di dalam wilayah
yurisdiksi Mahkamah akan secara bertanggung jawab secara pribadi
dan dapat dihukum sesuai dengan Statuta ini.
e. Exclusion of jurisdiction over persons under eighteen 53
Mahkamah tidak mempunyai yurisdiksi untuk orang yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun pada saat terjadinya suatu kejahatan
f. Irrelevance of official capacity 54
Statuta ini akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan
berdasarkan jabatannya dalam pemerintahan.
g. Responsibility of commanders and other superiors 55
Seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana untuk
kejahatan yang dilakukan oleh pasukan dibawah komando dan
kewenangannya, atau otoritas dan kewenangannya sebagai akibat dari
kegagalannya dalam mengendalikan pasukannya, dimana pasukannya
melakukan atau mencoba untuk melakukan suatu kejahatan; dan gagal
untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan sesuai dengan
kekuasaannya untuk mencegah terjadinya atau untuk melaporkannya
kepada pihak-pihak yang berwenang untuk diadakan penyelidikan
52
Pasal 25 Statuta Roma 53
Pasal 26 Statuta Roma 54
Pasal 27 Statuta Roma 55
Pasal 28 Statuta Roma
28
h. Non-applicability of statute of limitations 56
Kejahatan yang terjadi di dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah tidak
tunduk pada batasan-batasan Statuta apapun.
i. Mental element 57
Seseorang akan bertanggung jawab secara pidana dan dapat dihukum
untuk suatu kejahatan jika dilakukan dengan niatan dan pengetahuan.
j. Grounds for excluding criminal responsibility 58
Mengecualikan tanggung jawab pidana jika pada saat orang tersebut
melakukan perbuatan dalam keadaan :
1. Menderita penyakit kejiwaan atau kecacatan.
2. Dalam keadaan keracunan.
3. Bertindak secara wajar untuk melindungi dirinya.
4. Diakibatkan oleh tekanan karena ancaman kematian atau
penganiyaan berat secara terus menerus.
k. Mistake of fact or mistake of law59
Suatu kesalahan hukum dimana suatu jenis tindakan adalah suatu
kejahatan di dalam wilayah yurisdiksi dari Mahkamah tidak akan
menjadi dasar untuk mengecualikan tanggungjawab pidana.
l. Superior orders and prescription of law60
Bahwa suatu kejahatan di dalam wilayah yurisdiksi Mahkamah telah
dilakukan oleh seseorang yang menerima perintah dari Pemerintah
56
Pasal 29 Statuta Roma 57
Pasal 30 Statuta Roma 58
Pasal 31 Statuta Roma 59
Pasal 32 Statuta Roma 60
Pasal 33 Statuta Roma
29
atau seorang atasan, baik militer maupun sipir, tidak membebaskan
orang tersebut dari tanggung jawab pidana
4. Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan aturan
kaidah hukum.
Dalam hukum internasional tidak ada tempat untuk menerapkan
doktrin preseden, akan tetapi putusan pengadilan telah mendapatkan
tempat bagi para penulis hukum internasional sebagai “authoritative
decisions”.
Keputusan pengadilan tidak memiliki kekuatan yang mengikat kecuali
di antara para pihak dan dalam hal kasus di bawah pertimbangan,
Mahkamah telah berupaya untuk mengikuti penilaian sebelumnya dan
menyisipkan ukuran kepastian dalam proses: sehingga sementara doktrin
preseden seperti yang dikenal dalam common law, dimana putusan
pengadilan tertentu harus diikuti oleh pengadilan lain, tidak ada dalam
hukum internasional.61
Dalam pasal 38 ayat 1 Statuta Internastional Court of Justice, putusan
pengadilan untuk dimanfaatkan bukan sebagai sumber hukum umum yang
sebenarnya. Pasal 59 dari Statuta Mahkamah Internasional dinyatakan “the
decision of the court has no binding force except between the parties and
in respect of the particular case”
61
Malcom. N. Shaw, QC, Op. cit. Hal. 110
30
Tulisan atau pendapat para ahli tidak sendirinya menjadi kaidah dalam
hukum pidana internasional positif. Pendapat-pendapat itu sepanjang
memenuhi rasa keadilan, kepatutan ataupun kelayakan secara umum dapat
mengkristal menjadi perilaku masyarakat luas karena sesuai dengan rasa
keadilan, kepatutan dan kelayakan menurut pandangan masyarakat
internasional. 62
Dalam perkembangan hukum internasional terdapat beberapa teori yang
mengemuka terkait dengan perjanjian internasional :
a. Pacta Sunt Servanda
Kewajiban dasar dari perjanjian yang ditemukan dalam hukum
kebiasaan internasional adalah mengikatnya perjanjian tersebut bagi para
pihak.63
Asas pacta sunt servanda merupakan salah satu norma dasar
dalam hukum perjanjian, dan erat kaitannya dengan asas itikad baik untuk
menghormati atau mentaati ketentuan dalam perjanjian.
Grotius mengatakan bahwa diantara asas-asas hukum alam yang
melandasi sistem hukum internasional, pacta sunt servanda merupakan
asas paling fundamental. Pacta sunt servanda yang merupakan bagian dari
hukum kodrat yang menjadi dasar bagi konsensus. Anzilotti penganut
aliran dualisme berkebangsaan Italia menguatkan pandangan Grotius dan
meletakan dasar daya ikat hukum internasional pada asas pacta sunt
servanda.64
62
I Wayan Parthiana. Op.cit, Hal.53 63
Malchom N. Shaw, QC, Op. Cit. Hal. 94 64
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2003, Op.Cit, Hal. 72.
31
b. Pacta tertiis nec nocent nec prosunt
Hubungan antara Negara bukan peserta dan perjanjian didefinisikan
oleh prinsip umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip
fundamental ini telah diakui dalam praktek hubungan internasional, dan
keberadaannya tidak pernah dipertanyakan. Hal tersebut tercermin dalam
sejumlah kasus, misalnya dalam German Interest in Polish Upper Silesia
Case, dimana Permanent Court of International mengamati bahwa
perjanjian hanya menciptakan hukum antara Negara-negara yang menjadi
pihak dalam perjanjian itu, jika terdapat keraguan, tidak ada hak yang
dapat disimpulkan dari dalam mendukung Negara ketiga. 65
c. Jus cogens
Jus Cogens yaitu serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat
diubah (peremptory norms) yang tidak boleh diabaikan, dan yang
karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian
antar Negara-negara dalam hal perjanjian atau traktat itu tidak sesuai
dengan salah satu prinsip atau norma tersebut. 66
Dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969 :
“a treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a
peremptory norm of general international law. For the purposes of the
present Convention, a peremptory norm of general international law is
a norm accepted and recognized by the international community of
States as a whole as a norm from which no derogation is permitted
and which can be modified only by a subsequent norm of general
international law having the same character”
65
Ugo Villani, 2002, The Security Council Authorization of Enforcement Action by Regional
Organization, Max Planck Yearbook of United Nation, Volume 6, Netherlands, Hal 38-39 66
J.G Starke, Op.Cit. Hal 66
32
Melihat definisi umum dari jus cogens dalam Konvensi Wina tersebut,
dapat diidentifikasi prasyarat yang diperlukan untuk norma dalam hukum
internasional untuk menjadi norma jus cogens, antara lain : 67
a. Merupakan norma dasar hukum internasional.
Norma dasar hukum internasional umum adalah hukum internasional
yang mengikat sebagian besar negara. Norma dasar dalam hukum
internasional merupakan hukum yang mengatur masyarakat
internasional pada umumnya, dimana cakupannya lebih luas dari
hukum kebiasaan internasional. Norma dasar ini berbeda dengan
hukum internasional regional, yang hanya mengikat negara dari
wilayah geografis yang diidentifikasi dan hukum internasional tertentu
yang hanya mengikat beberapa negara.
b. Norma harus diterima dan diakui oleh komunitas internasional secara
keseluruhan
Penerimaan dan pengakuan oleh masyarakat internasional dapat baik
yang tertulis maupun tidak tertulis. Sebelum norma dapat dianggap
sebagai norma jus cogens, norma tersebut harus diterima dan diakui
oleh komunitas internasional secara keseluruhan, dalam beberapa hal
proses pembentukannya menyerupai hukum kebiasaan internasional.
c. Norma diangkat dari prinsip-prinsip hukum umum yang diakui bangsa-
bangsa beradab.
67
Rafael Nieto Navia, International Peremptory Norms (Jus Cogens) and International
Humanitarian Law, Hal. 10 - 11
33
Secara umum norma jus cogens dapat ditarik dari sumber hukum
internasional sebagai berikut:68
1. Perjanjian bersifat universal.
Pada dasarnya perjanjian tidak mengikat Negara bukan peserta
tanpa persetujuan mereka. Pengecualian untuk prinsip ini adalah jika
konvensi atau perjanjian dibuat untuk tujuan yang lebih penting. Jika
perjanjian atau konvensi hanya mengatur norma yang ada yang sudah
mengikat pada Negara sebagai hukum kebiasaan internasional, Negara
bukan peserta pada perjanjian tersebut mungkin tetap terikat oleh
ketentuan yang relevan prinsip hukum umum.
Demikian pula, jika ketentuan perjanjian atau konvensi tersebut
memenuhi kriteria lain untuk diakui sebagai jus cogens, Negara bukan
peserta perjanjian juga akan terikat dengan persyaratan dalam
perjanjian.
2. Kebiasaan internasional.
Jus cogens dapat didefinisikan secara umum sebagai kebijakan
publik yang tidak dapat dikurangi. Mengingat arti penting dan memang
karena seringkali hal tersebut menyangkut masalah-masalah ketertiban
umum internasional dapat dinyatakan bahwa setiap negara memiliki
kepentingan hukum.
68
Rafael Nieto Navia, Op.Cit Hal. 11-12
34
Istilah jus cogens juga ditemukan dalam literatur hukum
menyangkut kejahatan internasional. M. Cherif Bassiouni membagi
tingkatan kejahatan internasional : 69
1. Kejahatan internasional yang disebut dengan “international
crimes” adalah bagian dari jus cogens. Tipikal dan karakter
“international crimes” berkaitan dengan perdamaian dan keamanan
manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental. Termasuk
dalam “international crimes” antara lain genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang
2. Kejahatan internasional yang disebut dengan “international delict”.
Tipikal dan karakter “international delict” berkaitan dengan
kepentingan internasional yang dilindungi meliputi lebih dari satu
negara. Termasuk dalam “international delict” adalah pembajakan
pesawat udara, pembiayaan terorisme, perdagangan obat-obatan
terlarang secara melawan hukum, dan kejahatan terhadap petugas
PBB.
3. Kejahatan internasional yang disebut dengan “international
infraction”. Dalam hukum pidana internasional secara normatif
“international infraction” tidak termasuk “international
crimes”dan “international delict”. Kejahatan yang tercakup dalam
“international infraction” antara lain pemalsuan dan peredaran
uang palsu serta penyuapan terhadap pejabat publik asing.
69
Dikutip melalui…Eddy OS Hiariej, 2010, Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius
Terhadap HAM, Penerbit Erlangga, Jakarta, Hal. 3-4
35
Beberapa hal yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan untuk
mencapai kesimpulan bahwa kejahatan yang termasuk international
crimes merupakan bagian dari jus cogens, yaitu : 70
1. Pernyataan internasional, atau apa yang bisa disebut internasional
opinio juris, mencerminkan pengakuan bahwa kejahatan ini dianggap
bagian dari hukum kebiasaan.
2. Bahasa dalam preamble atau ketentuan lainnya dari perjanjian yang
berlaku untuk kejahatan-kejahatan yang menunjukkan statusnya
kejahatan yang lebih tinggi dalam hukum internasional.
3. Jumlah besar negara yang telah meratifikasi perjanjian yang berkaitan
dengan kejahatan-kejahatan ini.
4. Penyelidikan internasional ad hoc dan penuntutan terhadap pelaku
kejahatan tersebut.
Dua faktor penting yang menetapkan status kejahatan tertentu yang
merupakan bagian dari jus cogens, yaitu ancaman terhadap perdamaian
dan keamanan umat manusia dan perilaku atau konsekuensi yang
mengejutkan oleh nurani kemanusiaan.71
Disamping itu 3 (tiga) pertimbangan tambahan harus diperhatikan
dalam menentukan apakah suatu kejahatan internasional tertentu telah
mencapai status jus cogens yaitu : 72
70
M. Cherif Bassiouni, 1996, From Versailles to Rwanda: The Need to Establish a Permanent
International Criminal Court, 10 HARV. HUM. RTS. J. 1, 11 71
M. Cherif Bassiouni, 1997, International Crimes Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes, Law
and Contemporary Problems, Vol. 59 No. 4, Hal 68 72
Ibid. Hal. 70
36
1. Evolusi hukum tentang sejarah pengaturan kejahatan tersebut.
Banyaknya instrumen hukum yang ada, merupakan bukti kecaman dan
larangan kejahatan tertentu
2. Jumlah negara yang telah memasukkan larangan yang diberikan dalam
hukum nasional mereka.
3. Jumlah penuntutan internasional dan nasional untuk kejahatan yang
diberikan dan bagaimana penanganan kejahatan tersebut.
Norma jus cogens sering disandingkan dengan obligatio erga omnes.
Menurut International Court of Justice, kriteria utama obligatio erga
omnes adalah kewajiban negara terhadap masyarakat internasional secara
keseluruhan. Hubungan antara jus cogens dan obligatio erga omnes tidak
pernah jelas diartikulasikan oleh Permanent Court International Justice
(PCIJ) dan International Court of Justice, maupun oleh yurisprudensi
pengadilan.73
Suatu kejahatan menjadi bagian jus cogens ketika telah diterima secara
universal, melalui praktek yang konsisten disertai dengan opinio juris 74
,
oleh sebagian besar negara. Dengan demikian, prinsip kedaulatan teritorial
telah meningkat ke tingkat yang lebih tinggi karena semua negara telah
menyetujui hak negara untuk melaksanakan yurisdiksi teritorial eksklusif.
73
M. Cherif Bassiouni, Op. Cit. Hal. 72 74
keyakinan bahwa tindakan negara wajib secara hukum, adalah faktor yang mengubah
penggunaan menjadi kebiasaan dan menjadikan itu bagian dari aturan hukum internasional...lihat
Malcom N. QC Shaw. Op. Cit, Hal. 74
37
Bagian klasik obligatio erga omnes terdapat dalam 2 (dua) paragraf
dari Keputusan International Court of Justice dalam Barcelona Traction
case: 75
“When a State admits into its territory foreign investments or foreign
nationals, whether natural or juristic persons, it is bound to extend to
them the protection of the law and assumes obligations concerning the
treatment to be afforded them. These obligations, however, are neither
absolute nor unqualified. In particular, an essential distinction should
be drawn between the obligations of a State towards the international
community as a whole, and those arising vis-à-vis another State in the
field of diplomatic protection. By their very nature the former are the
concern of all States. In view of the importance of the rights involved,
all States can be held to have a legal interest in their protection; they
are obligations erga omnes
“Such obligations derive, for example, in contemporary international
law, from the outlawing of acts of aggression, and of genocide, as also
from the principles and rules concerning the basic rights of the human
person, including protection from slavery and racial discrimination.
Some of the corresponding rights of protection have entered into the
body of general international law”
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa obligatio erga omnes
merupakan kewajiban yang berasal dari hukum internasional kontemporer
seperti melarang tindakan agresi, dan genosida, prinsip-prinsip dan aturan
mengenai hak-hak dasar manusia termasuk perlindungan dari perbudakan
dan diskriminasi rasial. Beberapa hak yang sesuai perlindungan telah
masuk dalam bagian hukum internasional umum.
2. Kerangka Konseptual
Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang
dipergunakan dalam tulisan ini. Yurisdiksi secara umum dapat diartikan
75
Barcelona Traction , Light and Power Company, Limited, Second Phase, Judgment, I.C.J.
Reports 1970, Hal. 32, paras. 33–4
38
sebagai kewenangan hukum terhadap orang, badan atau peristiwa tertentu
dalam lingkup territorial tertentu. Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) adalah pengadilan pidana internasional
permanen yang didirikan berdasarkan Statuta Roma dan memiliki
yurisdiksi terhadap para pelaku kejahatan yang menjadi yurisdiksi. Negara
bukan peserta Statuta Roma adalah Negara yang tidak mengikatkan diri
terhadap ketentuan-ketentuan Statuta Roma.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara untuk memperoleh data yang akurat,
lengkap, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sehingga tujuan
penelitian dapat dicapai. Metode penelitian merupakan faktor yang sangat
penting dalam menunjang proses penyelesaian suatu permasalahan yang akan
dibahas sehingga akan diperoleh hasil yang bersifat ilmiah dan mempunyai
nilai validitas yang tinggi serta mempunyai tingkat rehabilitas yang besar.
1. Metode pendekatan
Kajian penelitian ini bersifat yuridis normatif sebagai pendekatan
utama, dengan melihat hukum internasional sebagai kaidah/nirma dan
prinsip-prinsip hukum umum dalam penegakan hukum pidana
internasional.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kasus (case
approach), dimana beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu
39
hukum.76
Sehubungan dengan topik penelitian ini, maka peneliti akan
mendasarkan pada ketentuan dan prinsip-prinsip umum dalam hukum
perjanjian internasional dan hukum pidana internasional. Ketentuan-
ketentuan tersebut dapat berupa konvensi yang telah disepakati oleh
negara-negara sebagai hasil dari perundingan atau konferensi internasional
maupun berbagai keputusan (resolusi) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
maupun organ-organ dibawahnya. Ketentuan ini kemudian dikaitkan
dengan penerapan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional untuk situasi
di Darfur-Sudan dan Libya.
2. Spesifikasi Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis yang mana melalui
penelitian ini akan diperoleh gambaran utuh perihal Yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court) Terhadap Negara
Bukan Peserta Statuta.
3. Jenis dan sumber Data
Pada penelitian yuridis normatif, jenis data yang dipergunakan adalah
data sekunder 77
, yang diperoleh dari data kepustakaan. Data kepustakaan
menjadi dua yaitu :
a. Bahan hukum primer adalah bahan yang dapat diperoleh langsung
oleh penulis dalam hal ini adalah konvensi-konvensi mengenai Hukum
Perjanjian Internasional dan Hukum Pidana Internasional yang
bersangkutan terhadap permasalahan yang dibahas, yaitu :
76
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Grup, Jakarta, Hal.94. 77
Ibid, Hal. 24
40
1. International Military Tribunal for Far East Charter
2. Charter and Judgment of the Nurmberg Tribunal
3. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida
1948
4. Konvensi Jenewa 1949 tentang Hukum Perang
5. Konvensi Wina 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional
6. Konvensi Wina 1986 Tentang Hukum Perjanjian Internasional
antara Negara dan Organisasi Internasional
7. United Nations of Charter
8. Statute of The International Criminal Tribunal For The Former
Yugoslavia
9. Statute of The International Tribunal for Rwanda
10. Statuta Roma 1998 Tentang Mahkamah Pidana Internasional.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang diperoleh secara tidak
langsung dalam hal ini adalah melalui internet, jurnal-jurnal nasional
dan internasional serta dari buku-buku mengenai Hukum Pidana
Internasional dan Hukum Perjanjian internasional.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder
seperti:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia
2. Kamus Indonesia-Inggris
3. Black’s Law Dictionary
41
4. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini
disesuaikan dengan metode pendekatan dan jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini. Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumen.
5. Metode Analisis Data
Pada penelitian yuridis normatif yang hanya mengenal data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier, maka analisis data tidak dapat dilepaskan dari berbagai penafsiran.
78 Penafsiran yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah penafsiran
sejarah yaitu dengan menelaah sejarah hukum atau menelaah pembuatan
suatu ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional khususnya yang
berkaitan dengan pidana internasional.
H. Sistematika Penulisan
Agar penulisan ini lebih terarah dan mudah dipahami, maka penulis membuat
sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis dan
Konseptual, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, terdiri dari Tinjauan Umum Tentang
Perjanjian Internasional, Tinjauan Umum tentang Negara Bukan Peserta
78
Amiruddin Cs, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
, Hal. 163
42
dalam Perjanjian Internasional, Tinjauan Umum tentang Mahkamah Pidana
Internasional.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, terdiri dari
Keterikatan Negara bukan peserta peserta Statuta Roma terhadap yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional dan Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional terhadap situasi di Darfur-Sudan dan Libya.
BAB IV PENUTUP, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran atau
rekomendasi
43
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Perkembangan hubungan masyarakat internasional cenderung semakin
tidak mengenal batas. Baik hubungan negara dengan negara, negara
dengan organisasi internasional, bahkan individu juga mengambil peran
dalam hubungan internasional dewasa ini.
Intensitas hubungan internasional pada akhirnya menimbulkan
kesadaran masyarakat internasional bahwa kebiasaan yang dipergunakan
selama ini dalam hubungan internasional tidak dapat dipergunakan sebagai
dasar untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul. Maka dari
itu pentingnya suatu norma yang mengatur bagaimana hubungan dalam
masyarakat internasional.
Beberapa defenisi perjanjian internasional dapat dilihat dari berbagai
sumber. Dalam Black Law’s Dictionary : 79
1. treaty is a compact made between two or more independent nations
with a view to the public welfare
2. an agreement, league, or contract between two or more nations or
sovereigns, formally signed by commissioners properly authorized,
and solemnly ratified by the several sovereigns or the supreme power
of each state
3. a "treaty" is not only a law but also a contract between two nations
and must, if possible, be so construed as to give full force and effect to
all its parts
79
Henry Campbell Black, M. A, 1968, Black's Law Dictionary, Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn. West
Publishing Co, Revised Fourth Edition, Hal. 1673 - 1674
44
Pengaturan secara umum tentang perjanjian internasional dapat
ditemukan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional dan Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian antara
Negara dan Organisasi Internasional.
Hubungan Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986 yakni
hubungan negara-negara tersebut di bawah perjanjian antara dua atau lebih
Negara dan satu atau lebih organisasi internasional akan diatur oleh
Konvensi Wina 1986.80
Ditemukan beberapa defenisi perjanjian dalam kedua konvensi
tersebut. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 (a) Konvensi Wina 1969 :
“treaty” means an international agreement concluded between states
in written form and governed by international law, whether embodied
in a single instrument or in two or more related instruments and
whatever its particular designation;
Dalam Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1986 :
“treaty” means an international agreement governed by international
law and concluded in written form:
(i) between one or more States and one or more international
organizations; or
(ii) between international organizations,
whether that agreement is embodied in a single instrument or in
two or more related instruments and whatever its particular
designation;
John O’Brian merangkum beberapa prinsip yang menjadi dasar dari
traktat atau perjanjian internasional: 81
80
Pasal 73 Konvensi Wina 1986 81
Jawahir Thontowi,Op.cit. Hal. 56 - 57
45
1. Muncul diakibatkan persetujuan.
2. Negara yang memberikan persetujuan untuk memberlakukannya
sebagaimana yang diinginkan oleh traktat terhadap pihak lain.
3. Dalam hal traktat tersebut mengkodifikasi kebiasaan, maka Negara-
negara peserta terikat oleh traktat yang menurut prinsip-prinsip umum.
4. Dalam hal bukan Negara peserta, maka traktat tetap mengikat berdasar
pada alasan kewajiban muncul sebagai akibat dari kebiasaan.
5. Traktat multilateral pada umumnya dibentuk dibawah International
Law Commision, yang tujuan untuk terciptanya pembentukan hukum
internasional yang progresif, yang tentunya melibatkan kodifikasi atas
hukum kebiasaan.
Berdasarkan jumlah Negara yang menjadi pesertanya perjanjian
internasional dapat dibagi menjadi :
a. Perjanjian bilateral (bipartite treaty) yaitu perjanjian Internasional
yang pihak-pihak atau Negara pesertanya hanya terdiri dari dua Negara
saja. Perjanjian bilateral hampir disemua hal hanya membentuk apa
yang disebut hukum tertentu atau hukum khusus yang berbeda dengan
hukum umum yang membentuk hukum internasional bagi dua
penandatangan dan tentu saja tidak menimbulkan hukum yang bersifat
universal yang berlaku bagi semua negara.
b. Perjanjial multilateral (multipartite) yaitu perjanjian Internasional yang
pihak-pihak atau Negara pesertanya pada perjanjian tersebut lebih dari
dua Negara, yang mungkin dibuat dalam kerangka baik regional.
46
2. Proses dan Dampak Pembentukan Perjanjian Internasional
Perjanjian dapat disusun antara negara atau pemerintahan atau kepala
negara atau instansi pemerintah yang memiliki akreditasi atau kewenangan
yang diberikan oleh negara yang mengutusnya. Ketentuan tersebut diatur
dalam pasal 7 (1) ayat a dan b Konvensi Wina 1969 :
(a) he produces appropriate full powers; or
(b) it appears from the practice of the States concerned or from other
circumstances that their intention was to consider that person as
representing the State for such purposes and to dispense with full
powers.
Dalam pasal 7 (2) Konvensi Wina 1969 terdapat ketentuan yang
mengatur beberapa orang yang tidak memerlukan akreditasi untuk
mewakili negaranya :
(a) heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign
Affairs, for the purpose of performing all acts relating to the
conclusion of a treaty;
(b) heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a
treaty between the accrediting State and the State to which they are
accredited;
(c) representatives accredited by States to an international conference or
to an international organization or one of its organs, for the purpose
of adopting the text of a treaty in that conference, organization or
organ
Tugas dari para perwakilan negara tersebut : 82
“purpose of adopting or
authenticating the text of a treaty or for the purpose of expressing the
consent of the State to be bound by a treaty”
Dengan melihat tugas dari para pejabat tersebut dalam mewakili
negara tersebut dapat kita lihat gambaran umum mengenai proses
pembentukan perjanjian internasional :
82
Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina 1969
47
a. Adoption of the text 83
Adopsi teks perjanjian adalah bentuk persetujuan semua negara yang
terlibat dalam penyusunan perjanjian internasional, untuk konferensi
internasional proses adopsi teks perjanjian dapat dilakukan jika
tercapai dua pertiga dari negara yang terlibat, kecuali ditentukan lain
oleh konfrensi tersebut.
b. Authentication of the text 84
Teks perjanjian ini ditetapkan sebagai otentik dan definitif dengan
prosedur seperti dapat diberikan dalam teks atau disepakati oleh negara
berpartisipasi dalam pembuatannya perjanjian tersebut.
c. Consent to be bound 85
Untuk terikat dengan sebuah perjanjian, persetujuan dari negara untuk
terikat pada perjanjian dapat dinyatakan dengan tanda tangan,
pertukaran instrumen merupakan sebuah perjanjian, ratifikasi,
penerimaan, persetujuan atau aksesi, atau dengan cara lain yang
disepakati
3. Peran Negara dalam Perjanjian Internasional
Dalam perjanjian internasional, negara dapat berperan sebagai negara
pihak atau Negara bukan pihak. Pengertian negara pihak (party) dapat
dilihat dalam Pasal 2 (g) Konvensi Wina 1969 : “Party means a State
83
Pasal 9 Konvensi Wina 1969 84
Pasal 10 Konvensi Wina 1969 85
Pasal 11 Konvensi Wina 1969
48
which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is
in force”
Sedangkan pengertian pihak (party) juga ditemukan dalam pasal 2 (g)
Konvensi Wina 1986 :“party” means a State or an international
organization which has consented to be bound by the treaty and for which
the treaty is in force;
Melihat dari pengertian diatas, maka Negara pihak adalah Negara yang
menyatakan terikat pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian
internasional. Bentuk tindakan yang menyatakan suatu Negara terikat pada
perjanjian internasional, yaitu :
1. Penandatanganan (Signatured) 86
Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian dinyatakan oleh
tanda tangan perwakilan apabila:
a. Perjanjian menyatakan bahwa tanda tangan akan memiliki efek
mengikatnya perjanjian.
b. Jika tidak ditetapkan, negara yang terlibat negosiasi sepakat bahwa
tanda tangan harus memiliki efek terikatnya negara dalam
perjanjian internasional.
c. Efek tanda tangan muncul dari kekuatan penuh perwakilannya.
86
Pasal 12 ayat 1 Konvensi Wina 1969
49
2. Pertukaran instrument-instrument (exchange of instruments
constituting a treaty) :87
Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian didasari oleh
instrumen yang dipertukarkan apabila instrumen menetapkan bahwa
pertukaran tersebut akan memiliki efek mengikatnya perjanjian
internasional atau jika negara-negara itu sepakat bahwa pertukaran
instrumen dinyatakan sebagai syarat mengikatnya perjanjian
internasional
3. Ratification, acceptance or approval 88
Persetujuan untuk terikat dengan sebuah perjanjian yang diungkapkan
oleh ratifikasi, penerimaan atau persetujuan
1. Persetujuan dari negara untuk terikat dengan perjanjian yang
diungkapkan oleh ratifikasi ketika:
a. Perjanjian menentukan demikian.
b. Negara yang bernegosiasi sepakat bahwa perjanjian harus
diratifikasi.
c. Wakil dari Negara telah menandatangani perjanjian untuk
subyek ratifikasi.
d. Niat Negara untuk menandatangani perjanjian tunduk pada
ratifikasi muncul dari kekuatan penuh perwakilannya atau
diungkapkan selama negosiasi.
87
Pasal 13 Konvensi Wina 1969 88
Pasal 14 Konvensi Wina 1969
50
2. Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian dinyatakan
oleh penerimaan atau persetujuan di bawah kondisi serupa dengan
yang berlaku untuk ratifikasi.
Pengertian negara bukan pihak (third state) dapat dilihat dalam Pasal
2 (h) Konvensi Wina 1969 :“third state” means a State not a party to the
treaty.
Sedangkan pengertian Negara bukan pihak (third state) dalam pasal 2
(h) Konvensi Wina 1986 :“third state” and “third organization” mean
respectively: a State, or an international organization, not a party to the
treaty;
Negara bukan peserta merupakan negara yang tidak terlibat dalam
perjanjian internasional, maka dari itu sebuah perjanjian tidak menciptakan
baik kewajiban atau hak untuk negara ketiga tanpa persetujuan. 89
4. Beberapa Instrumen Perjanjian Internasional
Beberapa istilah yang sering dipakai untuk menyebutkan“treaty” atau
perjanjian internasional antara lain : 90
1. Konvensi
Ini merupakan istilah yang biasa dipakai bagi instrument resmi yang
berkarakter multilateral. Istilah konvensi juga mencakup instrument-
instrument yang dibuat oleh organ-organ lembaga internasional.
89
Pasal 34 Konvensi Wina 1969 90
J.G Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta
Cetakan Pertama, Hal 586 - 589
51
2. Protokol
Istilah Protokol menunjukkan suatu perjanjian yang kurang formal
dibandingkan dengan traktat atau konvensi dan pada umumnya tidak
pernah berbentuk perjanjian kepala-kepala Negara.
3. Perjanjian (agreement)
Ini merupakan suatu instrument yang kurang formal dibandingkan
traktat atau konvensi dan pada umumnya bukan berbentuk perjanjian-
perjanjian Kepala Negara.
4. Persetujuan (arrangement)
Hal yang dikemukakan di atas mengenai perjanjian berlaku untuk
istilah ini. Istilah persetujuan sering kali dipakai untuk suatu transaksi
yang bersifat sementara atau temporer.
5. Proces verbal
Suatu instrument yang dipakai untuk mencatat suatu pertukaran atau
penyimpanan ratifikasi, atau untuk suatu perjanjian administrativ yang
kurang begitu penting, atau untuk membuat perubahan kecil pada suatu
konvensi.
6. Statuta (statute)
Suatu himpunan kaidah hukum dasar yang berkaitan dengan fungsi
sebuah lembaga internasional, misalnya Statute International Criminal
Court.
52
7. Deklarasi
Suatu instrumen formal yang dilampirkan pada suatu traktat atau
konvensi yang menafsirkan atau menjelaskan ketentuan-ketentuan
traktat atau konvensi itu.
8. Modus Vivendi
Suatu instrument yang mencatat perjanjian internasional yang bersifat
temporer atau sementara yang dimaksud untuk digantikan oleh suatu
persetujuan yang lebih permanen dan lebih rinci.
9. Pertukaran Nota (Exhange of Notes)
Suatu pertukaran nota merupakan cara tidak resmi, dimana Negara-
negara mencapai kesepakatan mengenai pengertian tertentu atau
mengakui kewajiban tertentu sebagai mengikat mereka.
10. Final Act
Adalah nama instrument yang mencatat penyelesaian proseding
konfrensi yang diadakan untuk membentuk sebuah konvensi.
11. General Act
Sebuah traktat tetapi sifatnya mungkin resmi mungkin juga tidak
resmi. Nama general act dipakai oleh Liga Bangsa-Bangsa dalam
kasus yang dikeluarkan Majelis Liga pada tahun 1928 dan naskah
revisinya disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
tanggal 28 April 1949.
53
12. Executive Agreement 91
Sebuah perjanjian eksekutif adalah persetujuan internasional antara
Presiden, bertindak secara independen dari Kongres, dan pemerintah
asing atau warga negara.
B. Tinjauan Umum Negara Bukan Peserta dalam Perjanjian Internasional
1. Negara bukan Peserta dalam Perjanjian Internasional
Ketentuan yang mengatur mengenai negara ketiga (negara bukan
peserta) dalam perjanjian internasional dapat dilihat dalam pasal 34 sampai
38 Konvensi Wina 1969. Dalam pasal 34 disebutkan :“a treaty does not
create either obligations or rights for a third State without its consent”
Prinsip utama yang dikodifikasikan dalam pasal 34 Konvensi Wina
1969 adalah bahwa perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban atau hak
untuk sebuah negara ketiga tanpa persetujuan.
Dalam pasal 35 Konvensi Wina 1969 disebutkan :
An obligation arises for a third State from a provision of a treaty if the
parties to the treaty intend the provision to be the means of
establishing the obligation and the third State expressly accepts that
obligation in writing.
Dalam pasal 36 Konvensi Wina 1969 disebutkan :
1. a right arises for a third State from a provision of a treaty if the
parties to the treaty intend the provision to accord that right either
to the third State, or to a group of States to which it belongs, or to
all States, and the third State assents there to. Its assent shall be
presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty
otherwise provides.
91
Amir M. Tikriti, 2011, Beyond the Executive Agreement: The Foreign Policy Preference Under
Movsesian and the Return of the Dormant Foreign Affairs Power in Norton Simon, Pepperdine
Law Review, Vol. 38, issue 3, Hal. 770
54
2. a State exercising a right in accordance with paragraph 1 shall
comply with the conditions for its exercise provided for in the
treaty or established in conformity with the treaty.
Dalam pasal 37 Konvensi Wina 1969 disebutkan :
Revocation or modification of obligations or rights of third States
1. When an obligation has arisen for a third State in conformity with
article 35, the obligation may be revoked or modified only with the
consent of the parties to the treaty and of the third State, unless it
is established that they had otherwise agreed.
2. When a right has arisen for a third State in conformity with article
36, the right may not be revoked or modified by the parties if it is
established that the right was intended not to be revocable or
subject to modification without the consent of the third State.
Konvensi memisahkan pengaturan antara kewajiban (pasal 35) dan hak
(pasal 36) Negara ketiga dalam perjanjian internasional. Dalam pasal 37
khusus mengatur mengenai pencabutan atau modifikasi kewajiban atau
hak dari Negara ketiga.
Beberapa penulis mengungkapkan meskipun dalam pasal 34 diatur
prinsip utama sebagaimana disebutkan diatas, namun terdapat regulasi
pemberian hak dan pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan
persetujuan Negara ketiga. 92
Sebagaimana diatur dalam pasal 36 tentang aturan umum pada prinsip
persetujuan. Hal ini membedakan bentuk persetujuan ini. Ketentuan "...
unless the treaty otherwise provides ", berarti bahwa jika perjanjian itu
menyatakan bahwa negara harus menyatakan persetujuannya dalam bentuk
tertentu, efek hukum hanya akan timbul jika kondisi ini telah terpenuhi.
92
Malgosia Fitzmaurice, 2002, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook,
Volume 6, Kluwer Law International, Netherlands, Hal. 44 - 45
55
Ketika perjanjian ini tidak mengatur hal tersebut, persetujuan dapat
dianggap tidak memiliki dampak bagi Negara ketiga.93
Sementara dalam pasal 38 Konvensi Wina 1969 disebutkan :“Nothing
in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming
binding upon a third State as a customary rule of international law,
recognized as such”. Pasal 38 berkaitan dengan situasi ketika perjanjian
menjadi mengikat negara ketiga melalui hukum kebiasaan internasional.
2. Hak dan Kewajiban Negara bukan Peserta dalam Perjanjian
Internasional
Dalam perjanjian internasional istilah Negara bukan peserta disebut “
thrid party atau third state”. Hubungan antara negara ketiga dan perjanjian
melahirkan prinsip hukum umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt.
Prinsip ini menjadi sangat fundamental dalam dalam praktek dalam
perjanjian internasional melahirkan asas res inter alios acta.
Pembentukan aturan hukum yang mengikat dalam masyarakat
internasional pada aplikasi dan dampak perjanjian terhadap negara bukan
peserta. Dimana aturan umum adalah bahwa perjanjian internasional hanya
mengikat para pihak yang terlibat di dalamnya. Alasan untuk aturan ini
dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip dasar kedaulatan dan kemerdekaan
negara-negara, yang mengandaikan bahwa negara harus menyetujui
peraturan sebelum mereka dapat terikat terhadap peraturan tersebut.
93
Ibid.Hal. 45
56
Namun, itu tetap sebagai garis dasar pendekatan dalam hukum
internasional. Dalam pasal 34 Konvensi Wina 1969, perjanjian tidak bisa
memaksakan hal dan kewajiban pada negara-negara bukan peserta dan ini
ditekankan oleh International Law Commision (ILC) selama musyawarah
sebelum Konferensi Wina. Pengecualian utama untuk hal ini adalah
dimana ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut telah masuk ke dalam
hukum kebiasaan internasional. Dalam kasus seperti itu, semua negara
akan terikat, terlepas dari apakah mereka telah menjadi negara pihak
dalam perjanjian asli atau tidak. Misalnya saja tentang hukum kebiasaan
tentang hukum perang yang diangkat dalam Konvensi Jenewa 1949.
Dengan demikian dapat disimpulkan, dalam kasus kewajiban yang
timbul dari perjanjian, tiga kondisi yang harus dipenuhi: 94
1. Dengan persetujuan negara bukan peserta, yang mengungkapkan
pengakuan terhadap kewajiban yang diberikan oleh perjanjian.
2. Bentuk tertulis dari suatu persetujuan. pasal 34-37 (pasal 37 termasuk
dalam kategori yang sama seperti pasal 35-36, karena menyangkut
yaitu pencabutan atau modifikasi kewajiban atau hak-hak negara
ketiga, atau organisasi yang timbul berdasarkan pasal 35 dan 36) Pihak
dalam perjanjian mengungkapkan keinginan mereka untuk
menciptakan baik hak atau kewajiban negara (atau organisasi) yang
bukan merupakan pihak dalam perjanjian.
94
Ibid, Hal.57
57
3. Ketika perjanjian menjadi mengikat negara-negara ketiga melalui
mekanisme hukum kebiasaan internasional sesuai dengan pasal 38.
Pembentukan suatu kewajiban bagi Negara ketiga, International Law
Commision menjelaskan bahwa dua kondisi yang harus dipenuhi sebelum
negara bukan pihak dapat dianggap terikat oleh ketentuan dari
perjanjian:95
1. Harus ada keinginan dari negara pihak dalam perjanjian harus berniat
ketentuan tersebut menjadi sarana membangun suatu kewajiban bagi
Negara bukan pihak dalam perjanjian internasional tersebut.
2. Negara ketiga harus menyatakan tegas persetujuan untuk terikat oleh
kewajiban secara tertulis.
Adapun penciptaan hak, International Law Commision
mempertimbangkan 2 (dua) kondisi yang harus dipenuhi agar hak timbul
bagi negara bukan peserta dari suatu ketentuan perjanjian internasional,
yaitu:96
1. Harus ada niat para pihak agar sesuai ketentuan hak untuk keadaan
yang bersangkutan memberikan hak bagi negara peserta.
2. Persetujuan dari negara penerima. Pertanyaannya mungkin
ditimbulkan apakah benar dibuat oleh perjanjian atau tindakan
penerima negara dari penerimaan.
Ada dua pandangan mengenai status hukum persetujuan tersebut.
Pertama, persetujuan merupakan penerimaan tawaran yang dibuat oleh
95
Ibid, Hal 63 96
Ibid, Hal 64
58
para pihak dalam perjanjian. Kedua, persetujuan secara hukum sebagai
indikasi bahwa hak tersebut tidak akan ditolak oleh penerima. Kalimat
terakhir dari pasal 36 paragraf 1 Konvensi Wina, yang mengatur bahwa
persetujuan yang harus dianggap selama sebaliknya tidak diindikasikan,
kecuali perjanjian lain menyediakan, dianggap oleh International Law
Commision sebagai diinginkan untuk mengamankan fleksibilitas dengan
operasi aturan dalam kasus di mana hak dinyatakan dalam mendukung
negara secara umum atau dari kelompok besar Negara.
Dalam hal terjadinya pelanggaran serius terhadap norma dasar maka
timbul kewajiban. Konsekuensi tertentu dari sebuah pelanggaran serius : 97
1. Negara-negara harus bekerjasama untuk mengakhiri setiap
pelanggaran serius hukum internasional.
2. Tidak ada Negara yang mengakui situasi yang diciptakan oleh suatu
pelanggaran serius, atau memberikan bantuan untuk situasi tersebut.
3. Konsekuensi lebih lanjut bahwa situasi/pelanggaran ini mungkin
memerlukan pengaturan di bawah hukum internasional.
C. Tinjauan Umum Mahkamah Pidana Internasional
1. Pengertian Yurisdiksi dalam Hukum Internasional
Yurisdiksi berasal dari kata bahasa inggris jurisdiction. Kata tersebut
merupakan kata yang diadopsi dari bahasa latin jurisdictio. Dalam Black’s
Law Dictionary, jurisdiction : 98
97
Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, 2001, Pasal 41
59
a. The word is a term of large and comprehensive import, and embraces
every kind of judicial action;
b. it is the authority by which courts and judicial officers take cognizance
of and decide cases;
c. the legal right by which judges exercise their authority;
d. it exists when courts has cognizances of class of cases involved, proper
parties are present, and point to be decided is within powers of court;
e. the right of power of a court to adjudicate concerning the subject
matter in a given case.
Robert Jennings dan Arthur Watts dalam Oppenheim’s International
Law 99
jurisdiction: … to make, apply, and enforce rules of conduct upon
persons. It concerns essentially the extent of each state’s right to regulate
conduct or the consequences of events.
Negara dapat melaksanakan yurisdiksi preskriptif dibawah hukum
internasional : 100
1. the nationality principle,
2. the territoriality (or territorial) principle,
3. the protective principle,
4. the passive personality principle, and
5. the universality principle
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua)
pengertian, yaitu : 101
a. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;
b. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah
atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.
98
Henry Campbell Black, M.A., Op.cit, Hal. 991 99
Dikutip melalui Report of the Task Force on Extraterritorial Jurisdiction,
www.ibanet.org/Document/ 100
Dikutip melalui Allyson Bennett, 2011, That Sinking Feeling: Stateless Ships, Universal
Jurisdiction, and the Drug Trafficking Vessel Interdiction Act, THE YALE JOURNAL OF
INTERNATIONAL LAW, Hal. 436 101
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Hal.1278.
60
Menurut Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan
hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa hukum.102
Yurisdiksi
menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda,
peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar
negara tersebut.
Hukum internasional memungkinkan negara untuk melaksanakan
yurisdiksi untuk sejumlah alasan. Pentingnya prinsip-prinsip yurisdiksi
adalah bahwa yurisdiksi diterima oleh semua negara dan komunitas
internasional sebagai konsistensi dengan hukum internasional. Sebaliknya,
upaya untuk melaksanakan yurisdiksi teritorial yang lain akan
menjalankan resiko tidak diterima oleh negara lain.103
Dalam pemberlakuan yurisdiksi dalam hukum internasional dikenal
prinsip “ par in parem non habet imperium “ yang melarang suatu negara
yang berdaulat melakukan tindakan dalam kedaulatan di wilayah negara
lain. 104
Yurisdiksi mungkin menggambarkan kewenangan untuk membuat
hukum yang berlaku bagi orang-orang tertentu, wilayah, atau situasi
(yurisdiksi preskriptif), kewenangan orang-orang tertentu, wilayah, atau
situasi untuk tunduk pada proses peradilan (yurisdiksi adjudicatory), atau
wewenang untuk memaksa kepatuhan dan untuk memperbaiki
ketidakpatuhan (penegakan yurisdiksi). 105
102
Huala Adolf, Op.Cit, Hal.183 103
Malchom N. Shaw QC, Op.Cit. Hal 652 104
Sefriani, Op.Cit, Hal . 231 105
Michel P. Scharf, The ICC’s Jurisdiction Over The Nationals Of Non - Party States: A
Critique Of The U.S. Position
61
Yurisdiksi menyangkut kekuasaan negara di bawah hukum
internasional untuk mengatur atau berdampak pada orang, benda dan
keadaan dan mencerminkan prinsip-prinsip dasar kedaulatan negara,
kesetaraan negara dan tanpa campur tangan dalam urusan dalam negeri.
Yurisdiksi adalah konsekuensi dari kedaulatan negara, karena hal itu
merupakan pelaksanaan kewenangan yang dapat mengubah atau membuat
atau mengakhiri hubungan hukum dan kewajiban. Ini dapat dicapai
melalui tindakan legislatif, eksekutif atau yudikatif.
Dalam hukum internasional juga dikenal yurisdiksi universal, dimana
yurisdiksi ini terbatas pelanggaran umumnya diakui sebagai keprihatinan
yang universal, terlepas dari mana pelanggaran terjadi, kewarganegaraan
pelaku, atau kewarganegaraan dari korban. Prinsip universalitas
mengasumsikan bahwa setiap negara memiliki kepentingan yang cukup
dalam melaksanakan yurisdiksi untuk memerangi kejahatan yang
mengerikan.106
2. Pengadilan Pidana Internasional sebelum Mahkamah Pidana
Internasional
Sebelum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional ini, sudah pernah
dibentuk 4 (empat) pengadilan internasional yang bersifat ad hoc, yaitu :
106
Ibid, Hal 10
62
a. Nuremberg Tribunal (Makhamah Militer Internasional Nuremberg)
Keinginan negara sekutu untuk menghukum para penjahat perang
besar dari European Axis pertama kali dikemukakan dalam Konferensi
Moskow tahun 1943. Kemudian Amerika Serikat, Prancis, Inggris dan
Republik Uni Soviet menandatangani London Agreement pada tanggal
8 Agustus 1945 untuk mendirikan Mahkahamah Militer
Internasional.107
Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili penjahat/
orang-orang yang bertindak dalam kepentingan European Axis
Countries, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi, yang
melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan. 108
b. Tokyo Tribunal (Makhamah Militer Internasional Tokyo) 109
Jenderal MacArthur bertindak dengan kewenangan sebagai
panglima tertinggi sekutu pada tanggal 19 Januari 1946 mendirikan
Mahkamah untuk mengadili orang-orang secara individu atau sebagai
anggota organisasi atau keduanya yang melakukan kejahatan terhadap
perdamaian. 110
Mahkamah Internasional untuk Timur Jauh ini dibentuk untuk
menghukum dengan menyelenggarakan persidangan yang adil dan
107
The Charter and Judgment of the Nürnberg Tribunal-History and Analysis:Memorandum
submitted by the Secretary-General, 1949,United Nations-General Assembly International Law
Commission Lake Success, New York, Hal 8 108
Ibid, Hal 9 109
I Wayan Parthiana, Op. Cit. Hal 185 110
John Pritchard, International Military Tribunal for Far East Judgment of 4 November 1948,
Hal 28
63
cepat para penjahat perang besar di timur jauh.111
Mahkamah
Internasional ini memiliki yuridiksi mengadili dan menghukum
penjahat perang Timur Jauh sebagai individu atau sebagai anggota
organisasi yang didakwa dengan pelanggaran yang meliputi Kejahatan
terhadap Perdamaian Konvensional Kejahatan Perang Kejahatan
Terhadap Kemanusiaan.112
c. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ ICTY
(Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Yugoslavia) 113
Mahkamah ini didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
PBB yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, Mahkamah
dibentuk untuk menuntut orang bertanggung jawab terhadap
pelanggaran berat hukum humaniter internasional di wilayah bekas
Yugoslavia sejak tahun 1991 .
Mahkamah memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang-orang yang
bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
internasional (pelanggaran berat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949,
Pelanggaran hukum atau kebiasaan perang, genosida, Kejahatan
terhadap kemanusiaan)
111
International Military Tribunal for Far East Charter, Hal. 1 112
Ibid, Hal 2 113
Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia
64
d. International Criminal Tribunal for Rwanda/ ICTR (Mahkamah
Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Rwanda) 114
Mahkamah ini didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan
PBB yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB untuk
menuntut Orang Bertanggung jawab terhadap kejahatan genosida dan
pelanggaran serius hukum humaniter internasional lain di Wilayah
Rwanda dan Negara tetangga, yang terjadi antara 1 Januari 1994
sampai 31 Desember 1994
Mahkamah Internasional memiliki yurisdiksi mengadili orang-
orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius terhadap
hukum humaniter internasional (genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, Pelanggaran Pasal Umum 3 Konvensi Jenewa dan
Protokol Tambahan II)
3. Sejarah Pendirian Mahkamah Pidana Internasional
Proses persiapan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional sudah
dimulai sejak berakhirnya perang dunia I dan dilanjutkan setelah perang
dunia II.115
Dalam kurun waktu 50 (lima puluh) tahun terakhir terbentuk 4
(empat) pengadilan pidana internasional ad hoc (Makhamah Militer
Internasional Nuremberg, Makhamah Militer Internasional Tokyo,
Mahkamah Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Yugoslavia, Mahkamah
Kejahatan Perang dalam Kasus bekas Rwanda).
114
Statute of the International Tribunal for Rwanda 115
Romli Atmasasmita, 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bagian II, PT. Hecca
Mitra Utama, Jakarta, Hal .24
65
Dorongan kuat untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional
secara tidak langsung muncul kembali pada tahun 1989 saat Trinidad dan
Tobago (Afrika) berinisiatif untuk mengusulkan pembentukan Mahkamah
ini dalam pembahasan untuk mencegah dan memberantas kejahatan
narkotika lintas batas negara yang berkaitan dengan kejahatan
penyeludupan senjata api antar negara. Inisiatif kedua dari koalisi Non
Goverment Organisation dan negara – negara like minded countries.116
Perkembangan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional tidak
berjalan lancar karena negara super power ternyata kurang mendukung,
misalnya Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis.117
Pada tahun 1994, International Law Commision menyelesaikan draft
Statuta Mahkamah Pidana Internasional dan diajukan kepada Majelis
Umum PBB. Dengan mempertimbangkan permasalahan substantif dari
rancangan Statuta, Majelis Umum membentuk panitia ad hoc untuk
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Setelah Majelis Umum
mempertimbangkan laporan panitia ad hoc Pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional, draft rancangan Statuta diserahkan kepada sebuah
konferensi diplomatik. Akhirnya tanggal 17 Juli 1998 diadopsi Statuta
Mahkamah Pidana Internasional pada Konferensi PBB Berkuasa Penuh di
Roma dengan partisipasi wakil-wakil dari 160 Negara, 33 Organisasi antar
pemerintah dan koalisi dari 236 Organisasi Swadaya Masyarakat. 120
116
Ibid, Hal. 24 - 25 117
Loc.it
66
negara mendukung, 7 menentang dan 21 abstain.118
Sebagaimana
pandangan kaum postivisme bahwa hukum internasional dapat menjadi
hukum positif apabila ada persetujuan dari Negara-negara untuk tunduk
pada hukum internasional, sesuai dengan pasal 126, Statuta Roma baru
dinyatakan berlaku pada 1 Juli 2002 setelah 60 negara mendaftarkan
ratifikasinya terhadap ketentuan Statuta Roma.
Mahkamah Pidana Internasional didirikan bukan bagian dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa tetapi sebagai organisasi independen dengan
anggaran mandiri.119
4. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
Pemberlakuan yurisdiksi Mahkmah Pidana Internasional untuk
sebagaimana yang diatur dalam pasal 5 Statuta Roma, bahwa kejahatan
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional adalah :
1. The crime of genocide
Genocide merupakan perbuatan yang dilakukan dengan niat untuk
menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu Negara,
suku, ras atau kelompok keagamaan, seperti :120
a. Killing members of the group;
b. Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
c. Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to
bring about its physical destruction in whole or in part;
d. Imposing measures intended to prevent births within the group;
e. Forcibly transferring children of the group to another group.
118
History of the ICC, http://www.iccnow.org/ 119
I Wayan Parthiana, Op.cit, Hal. 205 120
Pasal 6 Statuta Roma
67
2. Crimes against humanity
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyebarluasan atau
penyerangan langsung secara sadar yang ditujukan terhadap penduduk
sipil secara sistematis, seperti: 121
a. Murder;
b. Extermination
c. Enslavement;
d. Deportation or forcible transfer of population;
e. Imprisonment or other severe deprivation of physical liberty in
violation of fundamental rules of international law;
f. Torture;
g. Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced pregnancy,
enforced sterilization, or any other form of sexual violence of
comparable gravity;
h. Persecution against any identifiable group or collectivity on
political, racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as
defined in paragraph 3, or other grounds that are universally
recognized as impermissible under international law, in connection
with any act referred to in this paragraph or any crime within the
jurisdiction of the Court;
i. Enforced disappearance of persons;
j. The crime of apartheid;
k. Other inhumane acts of a similar character intentionally causing
great suffering, or serious injury to body or to mental or physical
health
3. War crimes 122
a. Merujuk kepada Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, bahwa
perbuatan melawan hak seseorang atau kepemilikan seseorang
berikut ini dilindungi dibawah ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam konvensi Jenewa, yaitu:
121
Pasal 7 Statuta Roma 122
Pasal 8 Statuta Roma
68
(i) Wilful killing;
(ii) Torture or inhuman treatment, including biological
experiments;
(iii) Wilfully causing great suffering, or serious injury to body or
health;
(iv) Extensive destruction and appropriation of property, not
justified by military necessity and carried out unlawfully and
wantonly;
(v) Compelling a prisoner of war or other protected person to
serve in the forces of a hostile Power;
(vi) Wilfully depriving a prisoner of war or other protected
person of the rights of fair and regular trial;
(vii) Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement;
(viii) Taking of hostages.
b. Pelanggaran hukum yang serius lainnya dan kebiasaan yang
dilakukan dalam konflik bersenjata internasional, dalam konteks
hukum internasional, disebutkan dibawah ini:
(i) Intentionally directing attacks against the civilian
population as such or against individual civilians not
taking direct part in hostilities;
(ii) Intentionally directing attacks against civilian objects, that
is, objects which are not military objectives;
(iii) Intentionally directing attacks against personnel,
installations, material, units or vehicles involved in a
humanitarian assistance or peacekeeping mission in
accordance with the Charter of the United Nations, as long
as they are entitled to the protection given to civilians or
civilian objects under the international law of armed
conflict;
(iv) Intentionally launching an attack in the knowledge that
such attack will cause incidental loss of life or injury to
civilians or damage to civilian objects or widespread, long-
term and severe damage to the natural environment which
would be clearly excessive in relation to the concrete and
direct overall military advantage anticipated;
(v) Attacking or bombarding, by whatever means, towns,
villages, dwellings or buildings which are undefended and
which are not military objectives;
(vi) Killing or wounding a combatant who, having laid down
his arms or having no longer means of defence, has
surrendered at discretion;
69
(vii) Making improper use of a flag of truce, of the flag or of the
military insignia and uniform of the enemy or of the United
Nations, as well as of the distinctive emblems of the Geneva
Conventions, resulting in death or serious personal injury;
(viii) The transfer, directly or indirectly, by the Occupying Power
of parts of its own civilian population into the territory it
occupies, or the deportation or transfer of all or parts of
the population of the occupied territory within or outside
this territory;
(ix) Intentionally directing attacks against buildings dedicated
to religion, education, art, science or charitable purposes,
historic monuments, hospitals and places where the sick
and wounded are collected, provided they are not military
objectives;
(x) Subjecting persons who are in the power of an adverse
party to physical mutilation or to medical or scientific
experiments of any kind which are neither justified by the
medical, dental or hospital treatment of the person
concerned nor carried out in his or her interest, and which
cause death to or seriously endanger the health of such
person or persons;
(xi) Killing or wounding treacherously individuals belonging to
the hostile nation or army;
(xii) Declaring that no quarter will be given;
(xiii) Destroying or seizing the enemy's property unless such
destruction or seizure be imperatively demanded by the
necessities of war;
(xiv) Declaring abolished, suspended or inadmissible in a court
of law the rights and actions of the nationals of the hostile
party;
(xv) Compelling the nationals of the hostile party to take part in
the operations of war directed against their own country,
even if they were in the belligerent's service before the
commencement of the war;
(xvi) Pillaging a town or place, even when taken by assault;
(xvii) Employing poison or poisoned weapons;
(xviii) Employing asphyxiating, poisonous or other gases, and all
analogous liquids, materials or devices;
(xix) Employing bullets which expand or flatten easily in the
human body, such as bullets with a hard envelope which
does not entirely cover the core or is pierced with incisions;
(xx) Employing weapons, projectiles and material and methods
of warfare which are of a nature to cause superfluous
injury or unnecessary suffering or which are inherently
indiscriminate in violation of the international law of
armed conflict, provided that such weapons, projectiles and
70
material and methods of warfare are the subject of a
comprehensive prohibition and are included in an annex to
this Statute, by an amendment in accordance with the
relevant provisions set forth in articles 121 and 123;
(xxi) Committing outrages upon personal dignity, in particular
humiliating and degrading treatment;
(xxii) Committing rape, sexual slavery, enforced prostitution,
forced pregnancy, as defined in article 7, paragraph 2 (f),
enforced sterilization, or any other form of sexual violence
also constituting a grave breach of the Geneva
Conventions;
(xxiii) Utilizing the presence of a civilian or other protected
person to render certain points, areas or military forces
immune from military operations;
(xxiv) Intentionally directing attacks against buildings, material,
medical units and transport, and personnel using the
distinctive emblems of the Geneva Conventions in
conformity with international law;
(xxv) Intentionally using starvation of civilians as a method of
warfare by depriving them of objects indispensable to their
survival, including wilfully impeding relief supplies as
provided for under the Geneva Conventions;
(xxvi) Conscripting or enlisting children under the age of fifteen
years into the national armed forces or using them to
participate actively in hostilities.
c. Dalam hal konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional,
pelanggaran serius terhadap pasal 3 sampai dengan pasal 4 Konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949, dimana disebutkan, beberapa perbuatan yang
dilakukan terhadap orang-orang yang ikut serta secara aktif dalam
pertempuran, termasuk didalamnya anggota tentara yang telah
meletakkan senjatanya, dan mundur dari pertempuran karena sakit,
terluka,dan dihukum atau sebab-sebab lainnya, sebagai berikut:
(i) Violence to life and person, in particular murder of all kinds,
mutilation, cruel treatment and torture;
(ii) Committing outrages upon personal dignity, in particular
humiliating and degrading treatment;
(iii) Taking of hostages;
71
(iv) The passing of sentences and the carrying out of executions
without previous judgement pronounced by a regularly
constituted court, affording all judicial guarantees which are
generally recognized as indispensable.
d. Ayat 2 (c) ditujukan untuk konflik bersenjata bukan internasional dan
oleh karena itu tidak berlaku untuk situasi gangguan dan tekanan
internal, seperti kerusuhan, isolasi dan penyebaran tindakan kekerasan
atau tindakan-tindakan lain yang sama sifatnya
e. Pelanggaran hukum serius lainnya dan kebiasaan-kebiasaan yang telah
ada dalam konflik bersenjata bukan internasional, dalam kerangka
hukum internasional, yaitu tindakan-tindakan berikut ini:
(i) Intentionally directing attacks against the civilian population as
such or against individual civilians not taking direct part in
hostilities;
(ii) Intentionally directing attacks against buildings, material,
medical units and transport, and personnel using the distinctive
emblems of the Geneva Conventions in conformity with
international law;
(iii) Intentionally directing attacks against personnel, installations,
material, units or vehicles involved in a humanitarian assistance
or peacekeeping mission in accordance with the Charter of the
United Nations, as long as they are entitled to the protection
given to civilians or civilian objects under the international law
of armed conflict;
(iv) Intentionally directing attacks against buildings dedicated to
religion, education, art, science or charitable purposes, historic
monuments, hospitals and places where the sick and wounded
are collected, provided they are not military objectives;
(v) Pillaging a town or place, even when taken by assault;
(vi) Committing rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced
pregnancy, as defined in article 7, paragraph 2 (f), enforced
sterilization, and any other form of sexual violence also
constituting a serious violation of article 3 common to the four
Geneva Conventions;
(vii) Conscripting or enlisting children under the age of fifteen years
into armed forces or groups or using them to participate actively
in hostilities;
72
(viii) Ordering the displacement of the civilian population for reasons
related to the conflict, unless the security of the civilians involved
or imperative military reasons so demand;
(ix) Killing or wounding treacherously a combatant adversary;
(x) Declaring that no quarter will be given;
(xi) Subjecting persons who are in the power of another party to the
conflict to physical mutilation or to medical or scientific
experiments of any kind which are neither justified by the
medical, dental or hospital treatment of the person concerned
nor carried out in his or her interest, and which cause death to
or seriously endanger the health of such person or persons;
(xii) Destroying or seizing the property of an adversary unless such
destruction or seizure be imperatively demanded by the
necessities of the conflict;
4. The crime of aggression.
Mahkamah harus melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan agresi
sesuai pasal 121 dan 123 Statuta Roma. Ketentuan tersebut harus
konsisten dengan ketentuan yang relevan dari Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa.123
Kejahatan agresi berarti perencanaan, persiapan, inisiasi atau
eksekusi, oleh orang dalam posisi efektif melakukan kontrol terhadap
atau untuk mengarahkan tindakan politik atau militer suatu Negara,
yang berdasarkan sifatnya, kecenderungan dan skala merupakan
pelanggaran nyata dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.124
Tindakan agresi berarti penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu
Negara terhadap kedaulatan, integritas teritorial atau kemerdekaan
123
Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma 124
Pasal 8 bis ayat 1 Statuta Roma
73
politik Negara lain, atau dengan cara lain yang tidak konsisten dengan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.125
Salah satu dari tindakan berikut, terlepas dari deklarasi perang,
sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 3314 (XXIX) 14
Desember 1974, yang memenuhi kriteria sebagai tindakan agresi,
yaitu:126
(a) The invasion or attack by the armed forces of a State of the
territory of another State, or any military occupation, however
temporary, resulting from such invasion or attack, or any
annexation by the use of force of the territory of another State or
part thereof;
(b) Bombardment by the armed forces of a State against the territory
of another State or the use of any weapons by a State against the
territory of another State;
(c) The blockade of the ports or coasts of a State by the armed forces
of another State;
(d) An attack by the armed forces of a State on the land, sea or air
forces, or marine and air fleets of another State;
(e) The use of armed forces of one State which are within the territory
of another State with the agreement of the receiving State, in
contravention of the conditions provided for in the agreement or
any extension of their presence in such territory beyond the
termination of the agreement;
(f) The action of a State in allowing its territory, which it has placed
at the disposal of another State, to be used by that other State for
perpetrating an act of aggression against a third State;
(g) The sending by or on behalf of a State of armed bands, groups,
irregulars or mercenaries, which carry out acts of armed force
against another State of such gravity as to amount to the acts listed
above, or its substantial involvement therein.
Meskipun Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurusdiksi
terhadap 4 (empat) kejahatan sebagaimana disebut diatas keberadaan
Mahkamah Pidana Internasional hanya memperkuat dan melengkapi
125
Pasal 8 bis ayat 2 Statuta Roma 126
Pasal 8 bis ayat 3 Statuta Roma
74
pengadilan nasional, tidak menggantikan tugas dan fungsi penyidikan,
penuntutan pengadilan nasional (prinsip komplementaris). Sebagaimana
diatur dalam alinea 10 (sepuluh) Statuta : “Emphazing that international
criminal court established under this statute shall be complementary to
national criminal jurisdiction”
Hal ini dipertegas dalam ketentuan pasal 17 Statuta Roma :
1. Having regard to paragraph 10 of the preamble and article 1, the
court shall determine that a case is inadmissible where:
(a) the case is being investigated or prosecuted by a State which
has jurisdiction over it, unless the State is unwilling or unable
genuinely to carry out the investigation or prosecution;
(b) the case has been investigated by a State which has jurisdiction
over it and the State has decided not to prosecute the person
concerned, unless the decision resulted from the unwillingness
or inability of the State genuinely to prosecute;
(c) the person concerned has already been tried for conduct which
is the subject of the complaint, and a trial by the Court is not
permitted under article 20, paragraph 3;
(d) The case is not of sufficient gravity to justify further action by
the Court.
2. In order to determine unwillingness in a particular case, the Court
shall consider, having regard to the principles of due process
recognized by international law, whether one or more of the
following exist, as applicable:
(a) The proceedings were or are being undertaken or the national
decision was made for the purpose of shielding the person
concerned from criminal responsibility for crimes within the
jurisdiction of the Court referred to in article 5;
(b) There has been an unjustified delay in the proceedings which in
the circumstances is inconsistent with an intent to bring the
person concerned to justice;
(c) The proceedings were not or are not being conducted
independently or impartially, and they were or are being
conducted in a manner which, in the circumstances, is
inconsistent with an intent to bring the person concerned to
justice
3. In order to determine inability in a particular case, the Court shall
consider whether, due to a total or substantial collapse or
unavailability of its national judicial system, the State is unable to
75
obtain the accused or the necessary evidence and testimony or
otherwise unable to carry out its proceedings
Pasal 17 Statuta Roma merupakan norma sentral dalam konsep
komplementaris dari Mahkahmah Pidana Internasional. Ini menetapkan
kriteria sebelum diterimanya suatu kasus oleh Mahkamah Pidana
Internasional, Jaksa dan Hakim Mahkamah Pidana Internasional akan
mengevaluasi kasus tersebut terlebih dahulu.
Oleh karena itu aplikasi dan interpretasi adalah sangat penting untuk
menggambarkan hubungan antara Mahkamah Pidana Internasional dengan
pengadilan nasional. Pasal 17 ayat 1 Statuta menunjukkan bahwa ada 4
(empat) situasi utama yang menentukan suatu kasus tidak dapat diterima
oleh Mahkamah Pidana Internasional yaitu :
1. Kasus tersebut sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang
memiliki yurisdiksi.
2. Negara yang menyelidiki dan menyimpulkan bahwa tidak ada dasar
untuk mengadili.
3. Negara telah mencoba membawa orang tersebut kepada penuntutan di
pengadilan namun terdapat kesalahan hukum.
4. Kasus tersebut memenuhi situasi tertentu.
Artinya pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
hanya dapat menggantikan yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan
nasional telah memenuhi kriteria prinsip admissibility. Prinsip
admissibility ini harus memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu :
76
a. Ketidakinginan ( unwillingnes)
Ketidakinginan suatu Negara mengadili suatu kejahatan yang
merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang terjadi di
wilayah teritorialnya berakibat Mahkamah Pidana Internasional akan
campur tangan dalam kasus di mana Mahkamah Pidana Internasional
ditemukan tindakan domestik digunakan secara nyata tidak untuk
menegakkan keadilan.
Jaksa menguraikan indikator menunjukkan ketidakinginan dengan
tujuan melindungi orang dari tanggung jawab pidana harus dinilai
dengan melihat pada penilaian awal di lingkup penyelidikan,
khususnya apakah ini diarahkan "pelaku marjinal" atau "pelaku kecil"
daripada orang-orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan
kejahatan yang sedang diperiksa. Pada tahap investigasi dan
penuntutan yang dilakukan di tingkat domestik yang dapat menjadi
indikator adalah praktek-praktek dan prosedur investigasi dan
penuntutan, kegagalan untuk mempertimbangkan bukti spesifik,
intimidasi korban, saksi dan anggota kehakiman, inkonsistensi antara
bukti diajukan dan temuan, serta tidak efiesiennya sumber daya yang
dialokasikan untuk pelaksanaan proses penuntutan mungkin
mengungkap tujuan tersembunyi, yakni melindungi orang dari
tanggung jawab pidana.127
127
The Office of the Prosecutor, Policy Paper on Preliminary Examination ,The Hague, 4
October 2010, http://www.icc-cpi.int, Hal. 13
77
Indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketidakinginan yang
sungguh-sungguh dari pengadilan nasional tempat terjadinya suatu
kejahatan yang diatur dalam statuta yaitu :128
1. Peradilan dilaksanakan dengan maksud untuk melindungi
seseorang dari dari pertanggungjawaban pidana atas kejahatan
yang telah dilakukannya.
2. Proses peradilan ditunda-tunda tanpa ada alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan sehingga bertentangan dengan maksud dan
tujuan diajukannya seseorang ke hadapan pengadilan.
3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara bebas dan independen.
b. Ketidakmampuan (inability)
Statuta mengidentifikasi 3 (tiga) keadaan untuk menyatakan
ketidakmampuan Negara tersebut, yaitu : 129
1. Negara tidak dapat memperoleh terdakwa.
2. Negara tidak dapat memperoleh bukti yang diperlukan dan
kesaksian untuk menempatkan orang-orang yang diduga
bertanggung jawab untuk diadili.
3. Negara tidak mampu melaksanakan proses peradilan.
Runtuhnya sistem peradilan suatu negara dapat diasumsikan dimana
otoritas negara telah kehilangan kontrol kekuasaanya dalam hal
128
Pasal 17 Statuta Roma 129
Markus Benzing, 2003,The Complementarity Regime of the International Criminal Court:
International Criminal Justice between State Sovereignty and the Fight against Impunity, Max
Planck Yearbook a/United Nations Law, Volume 7, Hal . 613
78
melaksanakan administrasi peradilan atau dimana pihak berwenang, tidak
dapat melaksanakan kewenangan sebagaimana mestinya.
Kantor Jaksa menguraikan beberapa indikator yang dapat menjadi
bentuk ketidakmampuan. Diantaranya keadaan faktual, seperti tidak
adanya kondisi keamanan bagi para saksi, korban, atau pelaku dari proses
hukum, atau kurangnya sarana yang memadai untuk investigasi dan
penuntutan yang efektif.130
Menurut Pasal 17 ayat 1 Statuta, dimana tindakan Negara memutuskan
untuk tidak mengadili, tidak menuntut, Mahkamah Pidana Internasional
akan menilai apakah proses dipengaruhi oleh ketidakinginan atau
ketidakmampuan. Ketika orang sudah diadili oleh pengadilan domestik
penentuan tentang keabsahan kasus didasarkan pada pengecualian
terhadap prinsip ne bis in idem dimaksud dalam Pasal 20 (3) Statuta
Roma.
Mengesampingkan segala bentuk ketidakmampuan dari pengecualian
terhadap prinsip nebis in idem menunjukkan bahwa apabila sistem
domestik dipengaruhi oleh ketidakmampuan, proses peradilam pidana
tidak mencapai akhir, maka Mahkamah Pidana Internasional dapat
mengambil alih pengadilan domestik yang sedang berjalan.
130
The Office of the Prosecutor,Op.Cit. Hal 15
79
5. Hubungan Mahkamah Pidana Internasional dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Berbeda dengan International Court of Justice (ICJ) yang merupakan
badan peradilan yang berada dibawah PBB, keberadaan Mahkamah Pidana
Internasional merupakan subjek hukum internasional yang memiliki
kemandirian dan personalitas sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1
Statuta Roma : “the Court shall have international legal personality. It
shall also have such legal capacity as may be necessary for the exercise of
its functions and the fulfilment of its purposes “
Dalam Piagam PBB, Dewan Keamanan memiliki tanggung jawab
utama untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Dewan Keamanan menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian atau
tindakan agresi. Dewan Keamanan juga dapat meminta para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan dengan cara damai dan merekomendasikan
metode penyesuaian atau ketentuan penyelesaian.131
Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Pidana Internasional sesuai
dengan pasal 13 (b) dan pasal 16 dari Statuta Roma menetapkan 2 (dua)
hak prerogatif bahwa Dewan Keamanan PBB, saat bertindak berdasarkan
Bab VII Piagam PBB. Dalam pasal 13 ayat b menetapkan kemampuan
Dewan Keamanan untuk merujuk kepada Jaksa dimana satu atau lebih
kejahatan di bawah yurisdiksi Pengadilan tampaknya.
131
The Security Council, http://www.un.org/en/sc/
80
Pasal 16 Statuta Roma, yang memberikan Dewan Keamanan PBB hak
untuk meminta Mahkamah Pidana Internasional untuk memulai atau
menunda untuk jangka waktu dua belas bulan, penyelidikan atau
penuntutan. Apabila Dewan Keamanan meyakini diperlukannya
investigasi untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan
internasional. Salah satu konkrit ialah dikeluarkannya Resolusi oleh
Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB yang
merekomendasikan Jaksa untuk menyelidiki situasi di Darfur-Sudan,
dimana dari hasil penyelidikan tersebut akhirnya bulan Juli 2008
permintaan oleh Jaksa untuk penerbitan surat perintah penangkapan bagi
Presiden Sudan, Omar Hassan al-Bashir dimana akhirnya Mahkamah
mengeluarkan perintah penangkapan yang diminta pada Maret 2009, hal
serupa juga terjadi untuk situasi di Libya.132
132
War Crimes Research Office, 2009, The Relationship Between The International Criminal
Court and The United Nations, USA, Hal. 2- 3
81
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Keterikatan Negara Bukan Peserta Statuta Roma Terhadap Yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional
Pada dasarnya setiap perjanjian sesuai dengan asas pacta sunt servanda
dilaksanakan dengan itikad baik dan mengikat bagi para pihak yang
mengikatkan diri pada perjanjian. Ketika suatu Negara menjadi pihak dalam
perjanjian internasional, menyatakan kehendak untuk terikat terhadap
ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut. Hal itu berdampak
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian itu berlaku dalam teritorial
negara yang menyatakannya.
Hubungan antara Negara bukan peserta dan perjanjian melahirkan prinsip
hukum umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Prinsip ini menjadi sangat
fundamental dalam praktek hubungan masyarakat internasional. Perjanjian
internasional tidak menghasilkan hak dan kewajiban bagi negara bukan
peserta (res inter alios acta). Namun dalam perkembangannya prinsip ini
tidak terlalu kaku, dalam beberapa kasus perjanjian internasional menyediakan
hak dan kewajiban bagi negara ketiga. Disamping itu dalam pasal 38
Konvensi Wina 1969 juga mengatakan Negara bukan peserta terikat pada
perjanjian internasional karena diangkat dari hukum kebiasaan
82
internasional.133
Dalam ranah pidana internasional ketentuan tentang hukum
perang telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional dengan
menghukum pelaku kejahatan perang tanpa memandang kewarganegaraannya.
Demikian juga dengan pembajakan (piracy) sebagaimana diatur dalam United
Nations Convention on the Law of the Sea tahun 1982.
Statuta Roma merupakan perjanjian internasional yang mendasari
terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang memiliki yurisdiksi
terhadap 4 (empat) kejahatan paling serius yaitu : genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi.134
Dalam proses pengajuan suatu situasi untuk diselidiki oleh Mahkamah
Pidana Internasional dapat dilakukan oleh :
1. Negara Peserta135
Negara Peserta dapat mengajukan kepada Jaksa, situasi dimana satu atau
lebih kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah telah/sedang terjadi, Negara
peserta meminta Jaksa untuk melakukan penyidikan terhadap situasi
tersebut untuk tujuan menentukan satu atau lebih orang-orang tertentu
harus dituntut. Apabila memungkinkan suatu pengajuan dengan
menjelaskan situasi serta dilengkapi oleh dokumentasi yang mendukung.
2. Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII dari Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa 136
133
Report of the International Law Commission on the Work of its Eighteenth Session, 1996,
Draft Articles on the Law of Treaties with Commentaries, II YEARBOOK OF THE INT’L L.
COMM’N, Hal 226 134
Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 135
Pasal 14 Statuta Roma 136
Pasal 13 ayat b Statuta Roma
83
Bab VII Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatur tentang tindakan
sehubungan dengan ancaman perdamaian, pelanggaran terhadap
perdamaian dan tindakan agresi. Dewan Keamanan akan menentukan
keberadaan setiap ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran
perdamaian, atau tindakan agresi dan akan membuat rekomendasi, atau
memutuskan tindakan harus diambil untuk memelihara atau memulihkan
perdamaian dan keamanan internasional.
3. Inisiatif Jaksa Mahkamah Pidana Internasional137
Jaksa dapat berinisiatif melakukan penyidikan proprio motu
berdasarkan informasi mengenai kejahatan di bawah yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional. Jaksa harus menganalisa keseriusan dari informasi
yang diterima. Maka untuk itu Jaksa dapat memeriksa informasi tambahan
dari Negara, Organ Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar
pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat, atau sumber lain yang
dapat dipercaya yang menurutnya penting, dan dapat menerima kesaksian
lisan ataupun tulisan dihadapan Mahkamah.
Jika Jaksa menyimpulkan bahwa ada dasar untuk melanjutkan kepada
tahap penyidikan, Jaksa harus meminta kepada Kamar Praperadilan untuk
melakukan pemeriksaan pendahuluan.
Jika Kamar Praperadilan, dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan
tersebut menganggap bahwa ada dasar untuk melanjutkan pada tahap
penyidikan, dan kasus tersebut berada dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana
137
Pasal 15 Statuta Roma
84
Internasional, maka Kamar Praperadilan memberi wewenang Jaksa untuk
memulai penyidikan. Apabila sebaliknya, Jaksa tetap dapat mencari fakta-
fakta baru atau bukti-bukti baru berkaitan dengan situasi tersebut. Jika
setelah pemeriksaan awal Jaksa berkesimpulan bahwa informasi yang
tersedia tidak menghasilkan dasar yang kuat untuk dilanjutkan penyidikan,
Jaksa harus memberitahu pihak yang memberikan informasi.
Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara
peserta Statuta baru dapat dilakukan apabila Negara peserta tersebut tidak
memiliki keinginan dan kemampuan untuk mengadili suatu tindak kejahatan
yang termasuk dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Hal tersebut
dikarenakan sifat dari Mahkamah Pidana Internasional hanya untuk
melengkapi pengadilan nasional bukan untuk menggantikan peran pengadilan
nasional. Mahkamah tidak dapat menerima suatu situasi yang diajukan
apabila:138
1. Kasus/situasi tersebut sedang diperiksa atau dituntut/didakwa oleh Negara
yang memiliki yurisdiksi kasus tersebut, kecuali Negara tidak
berkeinginan atau tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan
penyidikan atau penuntutan berdasarkan hukum nasionalnya.
2. Kasus/situasi tersebut telah diselidiki oleh Negara yang memiliki
yurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara telah memutuskan untuk tidak
melakukan penuntutan terhadap orang tersebut, dimana keputusan tersebut
138
Pasal 17 ayat 2 Statuta Roma
85
dihasilkan dari ketidakinginan atau ketidakmampuan dari Negara untuk
melaksanakan penyidikan dan penuntutan tersebut.
3. Orang yang bersangkutan telah diadili atas perbuatan yang menjadi dasar
penuntutan. Hal ini dikecualikan apabila proses yang telah dilakukan
tersebut:
a. Bertujuan untuk melindungi orang yang dimaksud dari
pertanggungjawaban pidana atas kejahatan di dalam wilayah yurisdiksi
dari Mahkamah tersebut,atau
b. Tidak dilakukan secara mandiri atau memihak dengan menunjuk pada
norma-norma dari peradilan yang diakui oleh hukum internasional dan
dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tujuan untuk
mencapai keadilan.
c. Kasus tersebut tidak cukup berat untuk mengesahkan/ membenarkan
tindakan Mahkamah selanjutnya.
Kepentingan mendasar yang paling jelas bahwa prinsip komplementaris
yaitu keberadaan Mahkamah Pidana Internasional untuk memperkuat dan
melengkapi pengadilan nasional, tidak untuk menggantikan tugas dan fungsi
penyidikan, penuntutan dan pengadilan nasional. Sebagaimana diatur dalam
alinea 10 (sepuluh) dan pasal 17 Statuta Roma.
Dalam hukum internasional, setiap negara memiliki hak untuk
menjalankan yurisdiksi kriminal atas tindakan dalam teritorial Negaranya.
Pelaksanaan yurisdiksi pidana merupakan sebagai aspek sentral kedaulatan itu
86
sendiri.139
Ketentuan dalam pasal 12 ayat 3 Statuta Roma mengenai
pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana internasional terhadap Negara
bukan peserta, dimana disebutkan apabila penerimaan dari suatu Negara yang
bukan peserta dari Statuta ini diisyaratkan dalam ayat 2, bahwa negara
tersebut dapat dengan deklarasi menundukkan diri sama dengan pendaftar,
menerima pemberlakukan yurisdiksi Mahkamah berkenaan dengan kejahatan
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah. Negara yang menyatakan deklarasi
tersebut harus bekerja sama dengan Mahkamah tanpa ada penundaan atau
pengecualian.
Dalam Statuta Roma diatur mengenai ketentuan awal berkenaan dengan
penerimaan suatu situasi oleh Mahkamah, yakni apabila:140
1. Situasi diarahkan kepada Mahkamah berdasarkan pasal 13 ayat (a) dan
Jaksa telah menentukan bahwa ada dasar untuk memulai penyidikan, atau
Jaksa mengadakan penyidikan berdasarkan pasal 13 ayat (c) dan pasal 15.
2. Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan dari penerimaan pemberitahuan,
Negara dapat menyampaikan pada Mahkamah bahwa sedang atau telah
melakukan penyidikan nasional dalam yurisdiksinya sehubungan dengan
kejahatan yang diatur dalam pasal 5 Statuta dan memberitahukan
informasi sehungan dengan itu terkait pemberitahuan kepada Negara.
3. Penundaan penyidikan nasional harus terbuka untuk ditinjau ulang oleh
Jaksa Mahkamah dalam waktu 6 (enam) bulan setelah tanggal penundaan
139
Malcom N. Shaw QC, 1998, Principles of Public International Law, 5th Edition 140
Pasal 18 Statuta Roma
87
atau kapan saja ketika ada perubahan keadaan yang signifikan berdasarkan
ketidaksediaan atau ketidakmampuan Negara.
4. Negara yang bersangkutan atau Jaksa dapat mengajukan banding kepada
Kamar Banding terhadap keputusan Kamar Praperadilan, berdasarkan
pasal 82.
5. Dimana Jaksa telah menunda sebuah penyidikan berdasarkan ayat 2, dapat
meminta Negara tersebut secara berkala menyampaikan perkembangan
dari penyidikan dan tuntutan tanpa adanya penundaan.
6. Penundaan persidangan oleh Kamar Praperadilan, atau pada saat Jaksa
melimpahkan penyidikan atas dasar pengecualian setelah mendapat kuasa
dari Kamar Praperadilan mengadakan langkah-langkah penyidikan yang
diperlukan untuk tujuan mendapatkan bukti dimana dalam hal ini adalah
merupakan kesempatan untuk mendapatkan bukti penting atau ada resiko
dimana bukti tersebut mungkin tidak dapat diperoleh pada waktu lain.
7. Negara yang mengajukan keberatan terhadap putusan oleh Kamar
Praperadilan dengan dasar ada fakta-fakta tambahan atau perubahan sesuai
dengan keadaan.
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dapat dikelompokkan menjadi
4 (empat) bagian yaitu (yurisdiksi kriminal, yurisdiksi personal, yurisdiksi
teritorial dan yurisdiksi temporal). Maka dari itu akan dilihat yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional dalam kaitan dengan penerapannya terhadap
Negara bukan peserta:
88
a. Yurisdiksi kriminal
Secara umum yurisdiksi kriminal dapat diartikan sebagai kejahatan-
kejahatan yang menjadi kewenangan dari Mahkamah. Dalam pasal 5
Statuta Roma disebutkan dengan jelas kejahatan-kejahatan serius yang
menjadi yurisdiksi kriminal dari Mahkamah Pidana Internasional. Lebih
lanjut kejahatan genosida diatur dalam pasal 6, kejahatan terhadap
kemanusiaan diatur dalam pasal 7, kejahatan perang dan kejahatan agresi
diatur dalam pasal 8. Dalam pasal 9 Statuta Roma diatur unsur-unsur
kejahatan yang berguna membantu Mahkamah dalam penafsiran/
penerapan pasal 6, 7 dan 8, sesuai dengan Statuta. Unsur-unsur kejahatan
umumnya terstruktur sesuai dengan prinsip-prinsip berikut: 141
a. Sebagai unsur kejahatan fokus pada perilaku, konsekuensi dan keadaan
yang terkait dengan setiap kejahatan.
b. Bila diperlukan, elemen keadaan jiwa tertentu terdaftar setelah
melakukan perbuatan mempengaruhi konsekuensi atau keadaan
tersebut.
c. Keadaan kontekstual terdaftar terakhir
Dari sudut pandang yurisdiksi kriminal ini, dapat dilihat pembatasan
yurisdiksi Mahkamah hanya terhadap 4 (empat) kejahatan tersebut.
Mahkamah baru menerapkan yurisdiksinya ketika Negara Peserta tidak
memiliki keinginan atau kemampuan untuk menyelidiki dan mengadili
141
Elements of Crimes International Criminal Court , 2011. www.icc-cpi.int, Hal. 1
89
para pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi kriminal dari Mahkamah
dengan hukum pidana nasionalnya.
Bagi Negara bukan peserta Statuta Roma yurisdiksi Mahkamah Pidana
internasional dapat diberlakukan apabila ada persetujuan/ penerimaan dari
Negara bukan peserta tersebut. Pemberlakuan yurisdiksi kriminal
Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara bukan peserta ini
merupakan hal yang paling krusial dan dalam penegakan hukum pidana
internasional dan perlindungan HAM internasional. Dilihat dari beberapa
penjelasan suatu perjanjian internasional dapat mengikat Negara bukan
Peserta tanpa persetujuan Negara bukan peserta apabila merupakan norma
jus cogens. Pembentukan norma jus cogens itu sendiri dapat dilihat dari
perjanjian yang bersifat universal atau perjanjian diangkat dari kebiasaan
internasional. Ketentuan Statuta Roma apabila dilihat dari proses
pembentukan norma jus cogens, dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Statuta Roma merupakan perjanjian bersifat universal
Keberadaan 4 (empat) pengadilan pidana internasional ad hoc yang
dibentuk sebelum Mahkamah Pidana Internasional merupakan sejarah
penting dalam upaya penegakan hukum pidana internasional terlepas
dari segala kontrovesi yang timbul terkait asas legalitas dan retroaktif
serta sarat kepentingan politik. Secara umum terdapat kesamaan
mengenai kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Pidana
Internasional. Ini menandakan pengaturan mengenai kejahatan tersebut
90
bukan merupakan sesuatu yang baru diatur dalam penegakkan hukum
pidana internasional.
Mahkamah Pidana Internasional didirikan dengan tujuan utama
untuk memastikan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi
perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh
dibiarkan dan tidak dihukum serta penuntutan secara efektif terhadap
para pelaku harus dijamin.
Hal tersebut dapat dilihat dari landasan filosofis pembentukan
Mahkamah Pidana Internasional yang diantaranya menyebutkan
beberapa alasan, yaitu :142
1. Berjuta-juta anak, wanita, dan laki-laki telah menjadi korban dari
kekejaman yang sulit untuk dibayangkan yang sangat mengejutkan
bagi kesadaran kemanusiaan.
2. Kejahatan tersebut mengancam perdamaian, keamanan, dan
kesejahteraan dunia.
3. Kejahatan paling serius menurut masyarakat internasional secara
keseluruhan tidak dapat dibiarkan tanpa ganjaran dan bahwa
penuntutan yang efektif bagi hal tersebut harus dijamin dengan
pengambilan tindakan di tingkat nasional, melalui kerjasama
Internasional.
4. Mengakhiri impunity (kekebalan) bagi yang melakukan kejahatan
tersebut dan mengupayakan pencegahan kejahatan.
142
Preamble Statuta Roma
91
5. Kewajiban setiap negara menyelenggarakan yurisdiksi kriminal
atas siapapun yang bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan
internasional.
6. Tujuan dan prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
setiap Negara harus menjauhkan diri dari ancaman atau pengunaan
pasukan melawan integritas teritorial atau ketergantungan politis
Negara manapun, atau dalam beberapa hal tidak konsisten dengan
tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
7. Negara Peserta tidak dapat ikut campur dalam konflik bersenjata
atau mencampuri urusan dalam negeri Negara peserta lainnya.
Maka dari itu dapat dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Pidana
Internasional merupakan perjanjian internasional yang sengaja
dibentuk untuk membentuk suatu norma hukum pidana internasional
dalam mengadili pelaku kejahatan paling serius dalam masyarakat
internasional serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional
(law making treaty).
2. Kebiasaan Internasional
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa Negara bukan
peserta hanya terikat pada isi pasal yang merupakan kodifikasi hukum
kebiasaan yang sudah belaku (exiting customary law) saja. Keterikatan
Negara bukan peserta ini bukan karena perjanjiannya melainkan
karena hukum kebiasaannya.
92
Untuk menentukan suatu ketentuan atau norma berasal atau
diangkat dari hukum kebiasaan internasional maka harus dilihat dari :
evidence of material fact atau praktek atau perilaku umum yang telah
dilakukan oleh Negara-negara dan opinio juris sive necessitatis atau
prilaku yang telah dipraktekan secara umum oleh negara atau
masyarakat internasional. Dalam konteks hukum pidana internasional,
hal ini dilihat dari sejarah pengaturan kejahatan-kejahatan yang
menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional sebelum Statuta
Roma.
1. Kejahatan genosida
Genosida telah dianggap sebagai kejahatan internasional sejak
Perang Dunia II dan Konvensi Genosida tahun 1948 merupakan
langkah penting dalam proses tersebut. Dalam pasal 2 Konvensi
Genosida 1948, disebutkan:143
In the present Convention, genocide means any of the
following acts committed with intent to destroy, in whole or in
part, a national, ethnical, racial or religious group, as such :
a. Killing members of the group;
b. Causing serious bodily or mental harm to members of the
group;
c. Deliberately inflicting on the group conditions of life
calculated to bring about its physical destruction in whole
or in part
d. Imposing measures intended to prevent births within the
group;
e. Forcibly transferring children of the group to another
group.
143
Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. Adopted by the
General Assembly of the United Nations on 9 December 1948
93
Kejahatan genosida juga telah dimasukkan dalam beberapa
Statuta Mahkamah sebelum terbentuknya Mahkamah Pidana
Internasional, yakni :
Dalam pasal 4 Statuta ICTY : 144
Genocide means any of the following acts committed with
intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical,
racial or religious group, as such:
a. killing members of the group;
b. causing serious bodily or mental harm to members of the
group;
c. deliberately inflicting on the group conditions of life
calculated to bring about its physical destruction in whole
or in part;
d. imposing measures intended to prevent births within the
group;
e. forcibly transferring children of the group to another
group.
Dalam pasal 2 ayat 2 Statuta ICTR : 145
Genocide means any of the following acts committed with
intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical,
racial or religious group, as such:
a. Killing members of the group;
b. Causing serious bodily or mental harm to members of the
group;
c. Deliberately inflicting on the group conditions of life
calculated to bring about its physical destruction in whole
or in part;
d. Imposing measures intended to prevent births within the
group;
e. Forcibly transferring children of the group to another
group.
Melihat dari uraian pengaturan yang ada dalam beberapa
Statuta sebelumnya mengenai kejahatan genosida, dapat dilihat
adanya kesamaan mengenai penjabaran tentang genosida dimulai
144
Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia 145
Statute of the International Tribunal for Rwanda
94
Konvensi Tentang Pencegahan dan Penghukuman Terhadap
Kejahatan Genosida, Statuta ICTY dan Statuta ICTY serta
ketentuan mengenai kejahatan genosida yang diatur dalam Statuta
Roma. Dapat disimpulkan Genosida berarti setiap dari perbuatan-
perbuatan berikut yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan, seluruh atau sebagian, kelompok, etnis, ras atau
agama nasional, seperti:
a. Membunuh anggota kelompok.
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap anggota kelompok.
c. Sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang
berdampak membawa kehancuran fisik secara keseluruhan atau
sebagian.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok tertentu.
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok satu ke
kelompok lain.
Dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 827 tahun 1993
menegaskan bahwa ketentuan yang relevan dengan kejahatan
genosida dalam Statuta ICTY merupakan bagian dari hukum
kebiasaan internasional.146
Dalam putusannya 11 Juli 1996 pada
Kasus tentang Penerapan Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
146
Andreas Zimmermann, The Creation of a Permanent International Criminal Court, Hal. 206 -
210
95
Kejahatan Genosida (Bosnia and Herzegovina vs Yugoslavia)
International Courts of Justice juga menilai bahwa hak dan
kewajiban dalam konvensi adalah obligatio erga omnes.147
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali dituntut dalam
Nuremberg Tribunal. Dalam pasal 6 ayat c Piagam Nuremberg : 148
Crimes against humanity: namely, murder, extermination,
enslavement, deportation, and other inhumane acts committed
against any civilian population, before or during the war; or
persecutions on political, racial or religious grounds in
execution of or in connection with any crime within the
jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the
domestic law of thecountry where perpetrated.
Dalam pasal 5 ayat b Piagam Tokyo : 149
Crimes against humanity: Namely, murder, extermination,
enslavement, deportation, and other inhumane acts committed
against any civilian population, before or during the war, or
persecutions on political or racial grounds in execution of or in
connection with any crime within the jurisdiction of the
Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the
country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators
and accomplices participating in the formulation or execution
of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing
crimes are responsible for all acts performed by any person in
execution of such plan
Dalam pasal 3 Statuta ICTR :150
The International Tribunal for Rwanda shall have the power to
prosecute persons responsible for the following crimes when
committed as part of a widespread or systematic attack against
any civilian population on national, political, ethnic, racial or
religious grounds:
147
Dikutip melalui Rafael Nieto-Navia, Op. cit. Hal. 14 148
The Charter and Judgment of the Nürnberg Tribunal – History and Analysis: Memorandum
submitted by the Secretary-General 149
International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) Charter 150
Statute of the International Tribunal for Rwanda
96
a. Murder;
b. Extermination;
c. Enslavement;
d. Deportation;
e. Imprisonment;
f. Torture;
g. Rape;
h. Persecutions on political, racial and religious grounds;
i. Other inhumane acts.
Pasal 5 Statuta ICTY:151
crime against humanity means any of the following acts when
committed as part of a widespread or systematic attack
directed against any civilian population, with knowledge of the
attack:
a. Murder;
b. Extermination;
c. Enslavement;
d. Deportation or forcible transfer of population;
e. Imprisonment or other severe deprivation of physical
liberty in violation offundamental rules of international
law;
f. Torture;
g. Rape, sexual slavery, enforced prostitution, forced
pregnancy, enforced sterilization, or any other form of
sexual violence of comparable gravity;
h. Persecution against any identifiable group or collectivity
on political, racial, national, ethnic, cultural, religious,
gender as defined in paragraph 3, or other grounds that
are universally recognized as impermissible under
international law, in connection with any act referred to in
this paragraph or any crime within the jurisdiction of the
Court;
i. Enforced disappearance of persons;
j. The crime of apartheid;
k. Other inhumane acts of a similar character intentionally
causing great suffering, or serious injury to body or to
mental or physical health.
Dilihat dari pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan yang
diatur dalam Statuta Roma adalah sama dengan yang diatur dalam
151
Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia
97
Statuta ICTY. Dimana jika dibandingkan dengan Statuta yang ada
sebelum ICTY, ketentuan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan
tersebut mengalami penambahan substansi yang diatur dimana
dalam pengaturan terakhir dalam Statuta Roma terdapat :
a. Perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa,
sterilisasi paksa, atau bentuk lain kekerasan seksual dengan
tingkat kegawatan yang sebanding.
b. Penganiayaan terhadap kelompok diidentifikasi pada politik
gender, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama atau alasan lain
yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional.
c. Penghilangan orang secara paksa.
d. Kejahatan apartheid.
e. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara
sengaja menyebabkan penderitaan atau luka serius terhadap
badan atau mental atau kesehatan fisik.
Penambahan substansi kejahatan terhadap kemanusian ini
merupakan progressive development dalam pembentukan hukum
kebiasaan internasional.
3. Kejahatan perang
Kejahatan perang adalah pelanggaran serius pada aturan hukum
kebiasaan dan perjanjian mengenai hukum humaniter internasional,
98
atau dikenal sebagai hukum yang mengatur tentang konflik
bersenjata. Dalam pasal 6 ayat b Piagam Nuremberg :152
War crimes: namely, violations of the laws or customs of war.
Such violations shall include, but not be limited to, murder, ill-
treatment or deportation to slave labour or for any other
purpose of civilian population of or in occupied territory,
murder or ill-treatment of prisoners of war or persons on the
seas, killing of hostages, plunder of public or private property,
want on destruction of cities, towns or villages, or devastation
not justified by military necessity;
Dalam pasal 5 ayat b Piagam Tokyo : “Conventional war
crimes : namely, violations of the laws or customs of war”
Dalam Pasal 2 Statuta ICTY :153
“grave breaches of the Geneva Conventions of 12 August 1949,
namely the following acts against persons or property
protected under the provisions of the relevant Geneva
Convention:
a. wilful killing
b. torture or inhuman treatment, including biological
experiments
c. wilfully causing great suffering or serious injury to body or
health
d. extensive destruction and appropriation of property, not
justified by military necessity and carried out unlawfully
and wantonly
e. compelling a prisoner of war or a civilian to serve in the
forces of a hostile power
f. wilfully depriving a prisoner of war or a civilian of the
rights of fair and regular trial
g. unlawful deportation or transfer or unlawful confinement of
a civilian
h. taking civilians as hostages.
152
The Charter and Judgment of the Nürnberg Tribunal – History and Analysis: Memorandum
submitted by the Secretary-General 153
Statute of The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia
99
Dalam pasal 4 Statuta ICTR :154
The International Tribunal for Rwanda shall have the power to
prosecute persons committing or ordering to be committed
serious violations of Article 3 common to the Geneva
Conventions of 12 August 1949 for the Protection of War
Victims, and of Additional Protocol II there to of 8 June 1977.
These violations shall include, but shall not be limited to:
a. Violence to life, health and physical or mental well-being of
persons, in particular murder as well as cruel treatment
such as torture, mutilation or any form of corporal
punishment;
b. Collective punishments;
c. Taking of hostages;
d. Acts of terrorism;
e. Outrages upon personal dignity, in particular humiliating
and degrading treatment, rape, enforced prostitution and
any form of indecent assault;
f. Pillage;
g. The passing of sentences and the carrying out of executions
without previous judgement pronounced by a regularly
constituted court, affording all the judicial guarantees
which are recognised as indispensable by civilised peoples;
h. Threats to commit any of the foregoing acts
Dalam Konvensi Jenewa 1949, Negara telah menghukum
kejahatan perang terlepas dari kewarganegaraan pelaku,
kewarganegaraan korban atau tempat dimana kejahatan tersebut
telah dilakukan. Pendekatan ini telah dilakukan dalam konsep
pelanggaran berat sebagaimana tercantum dalam Konvensi Jenewa
tahun 1949 karena negara pihak pada Konvensi Jenewa 1949,
wajib untuk menghukum pelanggaran berat seperti terlepas dari
kewarganegaraan pelaku.
154
Statute of the International Tribunal for Rwanda
100
4. Kejahatan agresi
Setelah penuntutan atas kejahatan terhadap perdamaian pada
akhir Perang Dunia kedua, Majelis Umum PBB menegaskan
prinsip-prinsip hukum internasional diakui oleh Piagam Pengadilan
Nuremberg dan Keputusan Pengadilan (Resolusi 95 (I) pada 11
Desember 1946) mengarahkan Komisi Hukum Internasional untuk
merumuskan prinsip-prinsip dan menyiapkan kode pelanggaran
terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (Resolusi177
(II) dari 21 November 1947). International Law Commision
menyelesaikan beberapa rancangan yang diikuti dengan deskripsi
agresi dan kode pelanggaran yang termasuk agresi dalam Piagam
Nuremberg.155
Bab VII Piagam PBB dalam kaitannya dengan kejahatan
agresi, memberikan tanggung jawab kepada Dewan Keamanan
PBB untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional,
maka dari itu Dewan Keamanan memiliki kewenangan
memberdayakan Mahkamah Pidana Internasional untuk bertindak
atas dasar yurisdiksi universal.
Sebagaimana teori untuk menentukan apakah substansi yang diatur
dalam suatu perjanjian internasional diangkat dari suatu kebiasaan
internasional, maka dapat disimpulkan :
155
Elizabeth Wilmshurst, Defenition Of Aggression, United Nations Audiovisual Library of
International Law
101
a. Pengaturan mengenai kejahatan genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi
merupakan praktek atau perilaku yang secara umum telah
dilakukan atau dipraktekkan oleh negara-negara (the evidence of
material fact).
b. Penerapan untuk penghukuman terhadap kejahatan yang dimaksud
telah dipraktekkan secara umum tersebut, oleh negara-negara atau
masyarakat internasional (opinio juris sive necessitatis).
Dari uraian kaitan pembentukan norma jus cogens dengan Statuta
Roma, maka dapat disimpulkan kejahatan yang menjadi yurisdiksi
kriminal Mahkamah adalah international crimes yang merupakan
bagian dari jus cogens dan merupakan obligatio erga omnes yang tidak
dapat dikurangi pelaksanaannya.
Kewajiban hukum yang timbul dari status yang lebih tinggi dari
kejahatan tersebut termasuk kewajiban untuk menuntut atau
mengekstradisi, tidak diterapkannya pembatasan untuk kejahatan-
kejahatan tersebut, termasuk kekebalan Kepala Negara, tidak
diterapkannya ketaatan kepada perintah atasan, baik dalam waktu
damai atau perang dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan darurat,
dan pemberlakuan yursdiksi universal atas pelaku kejahatan
tersebut.156
Beberapa pakar hukum internasional juga berpendapat
bahwa penerapan yurisdiksi universal terhadap kejahatan paling serius
156
Cherif Bassiouni, International Crimes Jus Cogens and Obligatio Erga Omnes, Hal. 1
102
dalam hukum internasional merupakan obligatio erga omnes bagi
semua negara. Hal ini memiliki kesamaan dengan salah satu tujuan
pendirian Mahkamah Pidana International itu sendiri yang menyatakan
bahwa kejahatan yang paling serius menurut masyarakat internasional
secara keseluruhan harus tidak dapat dibiarkan tanpa ganjaran dan
bahwa penuntutan yang efektif bagi hal tersebut harus dijamin dengan
pengambilan tindakan di tingkat nasional, melalui kerjasama
Internasional.157
Namun perlu diperhatikan penerapan prinsip komplementaris juga
merupakan tujuan dari pembentukan Mahkamah Pidana International
dengan mempertimbangkan penghargaan terhadap kedaulatan negara.
Doktrin persamaan kedaulatan Negara-negara dicantumkan dalam
pasal 2 ayat 1 Piagam PBB secara eksplisit menyatakan bahwa : “the
organization is based on the principle of the sovereign equality of all
its members” Meskipun suatu negara berdaulat, bukan berarti negara
bebas dari tanggung jawab. Artinya bahwa dalam kedaulatan terkait
didalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan
itu.158
.
Hal ini patut menjadi perhatian sangat penting karena dalam
Statuta Roma menyediakan mekanisme yang sangat luas kepada
Dewan Keamanan PBB bertindak atau mengajukan suatu situasi
kepada Jaksa Mahkamah Pidana Internasional dan Dewan Keamanan
157
Ayat 4 Preamble Statuta Roma 158
Huala Adolf, Apsek – Aspek negara dalam Hukum Internasional, Kini Media, Bandung, 2011,
Hal. 214
103
memiliki kewenangan untuk menentukan dimulai atau dihentikannya
suatu penyidikan terhadap suatu situasi yang mungkin telah/sedang
terjadi kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah.159
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Negara bukan
peserta terikat pada ketentuan yang ada dalam Statuta Roma berdasarkan
norma jus cogens yang dapat dilihat dari perjanjian bersifat universal yang
bertujuan untuk membentuk norma dalam hukum internasional dan
perjanjian yang diangkat dari hukum kebiasaan internasional. Kejahatan
yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional merupakan
international crimes yang merupakan bagian dari jus cogens dan
mengakibatkan Mahkamah Pidana Internasional dapat memberlakukan
yurisdiksinya dengan mekanisme pasal 13 ayat b Statuta Roma yakni
ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu situasi kepada Jaksa
Mahkamah dan bertindak berdasarkan BAB VII Piagam PBB setelah
melihat adanya ketidakinginan dan ketidakmampuan Negara bukan peserta
tempat dimana kejahatan itu terjadi untuk menuntut, mengadili secara
efektif pelaku kejahatan tersebut.
b. Yurisdiksi personal
Yurisdiksi personal secara umum dapat diartikan sebagai siapa yang
dapat dimintai pertanggungjawabannya terhadap suatu peristiwa/
kejahatan. Dalam Piagam Nuremberg disebutkan Mahkamah memiliki
kewenangan untuk mengadili individu yang bertindak sebagai pemimpin,
159
Pasal 13 ayat b dan pasal 16 Statuta Roma
104
pelaksana, penghasut dan pembantu, berpartisipasi dalam perumusan atau
pelaksanaan rencana atau konspirasi untuk melakukan salah satu kejahatan
yang menjadi yurisdiksi kriminal Mahkamah.160
Piagam Nuremberg juga
menyebutkan bahwa kedudukan pelaku, baik sebagai Kepala Negara atau
pejabat yang bertanggung jawab dalam pemerintahan, tidak dianggap
sebagai alasan pembenar untuk membebaskan mereka dari tanggung jawab
atau meminimalkan hukuman.161
Selain itu, fakta bahwa pelaku bertindak
sesuai dengan perintah negara atau dari atasan, tidak akan
membebaskannya dari tanggung jawab, tetapi dapat dipertimbangkan
dalam pengurangan hukuman. Mahkamah dapat menyatakan bahwa
kelompok atau organisasi adalah sebuah organisasi kriminal.162
Dalam hal
terdakwa tidak dapat ditemukan, Mahkamah diberi wewenang untuk
mengambil keputusan secara in absentia.163
Dalam Piagam Tokyo, mahkamah memiliki kewenangan untuk
mengadili individu, baik dalam posisi resmi, atau bertindak sesuai dengan
perintah negara atau atasan akan dengan sendirinya dapat dipertimbangkan
dalam pengurangan hukuman.164
Dalam Statuta ICTY dan ICTY, Mahkamah memiliki yurisdiksi
terhadap individu, yang :
160
Pasal 6 Piagam Nuremberg 161
Pasal 7 Piagam Nuremberg 162
Pasal 9 Piagam Nuremberg 163
Pasal 12 Piagam Nuremberg 164
Pasal 6 Tokyo Tribunal
105
1. Merencanakan, menghasut, memerintahkan, melakukan atau
membantu dan bersekongkol dalam perencanaan, persiapan atau
pelaksanaan suatu kejahatan.
2. Jabatan resmi dari orang yang dituduh, baik sebagai Kepala Negara
atau Pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung
jawab, tidak akan membebaskan orang tersebut dari tanggung jawab.
3. Seorang bawahan tidak membebaskan atasannya dari tanggung jawab
pidana, jika atasan mengetahui atau memiliki alasan untuk mengetahui
bahwa bawahan melakukan kejahatan atau telah melakukannya dan
atasan gagal untuk mengambil tindakan yang wajar serta diperlukan
untuk mencegah tindakan tersebut atau menghukum pelakunya.
4. Orang yang bertindak sesuai dengan perintah dari Negara ataupun
atasannya tidak akan bebas dari tanggung jawab pidana, tetapi dapat
dipertimbangkan dalam pengurangan hukuman.
Dalam pasal 25 (1) Statuta Roma jelas disebutkan : “the court shall
have jurisdiction over natural persons pursuant to this Statute“. Individu
yang dapat dimintai pertanggung jawabannya adalah :
1. Melakukan kejahatan tersebut, baik sebagai individu, bersama-sama
dengan orang lain atau melalui orang lain, terlepas dari apakah orang
lain itu bertanggung jawab secara criminal.
2. Memerintahkan, memudahkan atau membujuk supaya tindakan
kejahatan tersebut yang sebenarnya terjadi atau dicoba.
106
3. Untuk tujuan memfasilitasi kejahatan seperti itu, membantu,
bersekongkol atau mendukung tindakan atau usaha coba melakukan,
termasuk menyediakan sarana untuk melakukannya.
4. Dengan cara lain memberikan kontribusi kepada komisi atau coba
kejahatan tersebut oleh sekelompok orang yang bertindak dengan
tujuan yang sama. Kontribusi semacam itu haruslah merupakan
kesengajaan dan keharusan.
5. Dilakukan dengan tujuan untuk memperluas kegiatan kejahatan atau
tujuan kejahatan kelompok, di mana kegiatan atau tujuan melibatkan
kejahatan di dalam juridiksi Pengadilan; atau
6. Dilakukan dengan sepengetahuan atas kesengajaan dari kelompok
untuk melakukan kejahatan.
Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap orang-
orang atau individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan
yang dilakukannya (individual criminal responsibility). 165
Prinsip-prinsip
umum terkait dengan beberapa karakter khusus orang yang dapat dimintai
pertanggungjawabnya dalam Statuta Roma adalah :
1. Statuta ini akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan
berdasarkan jabatannya dalam pemerintahan.
2. Seorang komandan militer bertanggung jawab secara pidana untuk
kejahatan yang dilakukan oleh pasukan dibawah kewenang/komando
nya, atau akibat dari kegagalannya dalam mengendalikan pasukannya,
165
Pasal 25 ayat 1 Statuta Roma
107
dimana pasukannya melakukan atau mencoba melakukan suatu
kejahatan; dan gagal untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan
sesuai dengan kekuasaannya untuk mencegah terjadinya atau untuk
melaporkannya kepada pihak-pihak yang berwenang untuk diadakan
penyelidikan.
3. Seseorang akan bertanggung jawab secara pidana dan dapat dihukum
untuk suatu kejahatan jika dilakukan dengan niatan dan pengetahuan.
Pengecualian individu yang bukan yursdiksi dari Mahkamah Pidana
Internasional adalah :
1. Pelaku berusia dibawah 18 tahun
2. Mengecualikan tanggung jawab pidana jika pada saat orang tersebut
melakukan perbuatan dalam keadaan :
a. Menderita penyakit kejiwaan atau kecacatan.
b. Dalam keadaan keracunan.
c. Bertindak secara wajar untuk melindungi dirinya.
d. Diakibatkan oleh tekanan karena ancaman kematian atau
penganiyaan berat secara terus menerus.
Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi terhadap orang-
orang atau individu-individu yang harus bertanggung jawab atas kejahatan
yang dilakukannya.166
Dalam hukum internasional dikenal adanya
kekebalan/ immunity. Bagi Kepala Negara terdapat dua jenis kekebalan
Kepala Negara. Pertama, yang disebut imunitas atau kekebalan fungsional
166
Pasal 25 ayat 1 Statuta Roma
108
untuk tindakan resmi (ratione materiae), yang diberikan kepada seluruh
pejabat negara untuk tujuan tidak menghambat, atau mengganggu, kinerja
kegiatan kenegaraannya. Konsekuensinya adalah bahwa seorang pejabat
publik tidak dapat bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dalam
pelaksanaan kapasitas resmi, karena ini harus dirujuk ke negara itu sendiri.
Sebuah penerapan prinsip ini kepada perwakilan diplomatik yang diatur
dalam pasal 39 ayat (2) Konvensi Wina 1961. Kedua, kekebalan pribadi
Kepala Negara (ratione personae), berdasarkan hal tersebut kekebalan
Kepala Negara sebanding dengan yang diberikan kepada perwakilan
diplomatik atas tindakan pribadi, menunjukkan kekebalan baik dari
yurisdiksi perdata dan pidana sebagai bentuk perlindungan tambahan. 167
Namun dalam kategori kejahatan yang diatur sebagai yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional ini kekebalan terhadap jabatan resmi
tidak membebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Hal ini dapat dilihat
dalam preamble Statuta Roma : 168
1. Menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian
keseluruhan masyarakat internasional tidak boleh dibiarkan, tidak
dihukum dan bahwa penuntutansecara efektif terhadap pelaku harus
dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan
dengan meningkatkan kerjasama internasional,
167
Salvatore Zappalà, 2001, Do Heads of State in Office Enjoy Immunity from Jurisdiction for
International Crimes? The Ghaddafi Case Before the French Cour de Cassation, EJIL,Hal.4 168
Alinea 4 dan 5 Statuta Roma
109
2. Bertekad untuk mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan ini
dan dengan demikian untuk berkontribusi pada pencegahan kejahatan
tersebut.
Hal ini juga ditemukan dalam prinsip-prinsip umum dalam Statuta
Roma yang menyebutkan yurisdiksi Mahkamah berlaku kepada setiap
orang tanpa melihat perbedaan berdasarkan jabatannya dalam
pemerintahan. 169
c. Yurisdiksi Temporal
Yurisdiksi temporal secara umum dapat diartikan kapan mulai
berlakunya suatu kewenangan untuk situasi tertentu. Dalam pasal 126 ayat
1 Statuta Roma tentang entry into force, disebutkan :
“this statute shall enter into force on the first day of the month after
the 60th day following the date of the deposit of the 60th instrument of
ratification, acceptance, approval or accession with the Secretary-
General of the United Nations”
Sebagai konsekuensi logis sejalan dengan prinsip non retroactively
Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat menerapkan yurisdiksinya
terhadap kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma efektif berlaku yakni
1 Juli 2002. Dari sini dapat dilihat langkah maju dalam penegakan hukum
pidana internasional, mengingat jika dilihat dari keberadaan pengadilan
pidana internasional yang ada sebelumnya, yang baru dibentuk setelah
terjadi suatu pelanggaran hukum humaniter internasional. Nuremberg
Tribunal dan Tokyo Tribunal yang dibentuk setelah Perang Dunia II
berakhir. Selanjutnya Mahkamah Kejahatan Perang untuk Kasus bekas
169
Pasal 27 Statuta Roma
110
Yusgoslavia dan Mahkamah Kejahatan Perang untuk Kasus bekas Rwanda
yang baru dibentuk setelah konflik bersenjata di bekas Yugoslavia dan
Rwanda terjadi.
Artinya dalam Statuta Roma juga terdapat prinsip-prinsip umum :
Nullum crimen sine lege, Nulla poena sine lege dan Non-retroactivity
ratione personae. 170
Dimana seseorang tidak dapat bertanggungjawab
secara pidana kecuali jika tindakan tersebut pada waktu dilakukan
merupakan suatu tindak pidana dan seseorang yang telah didakwa hanya
dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan Statuta ini.
d. Yurisdiksi Teritorial
Yurisdiksi territorial secara umum dapat diartikan sebagai pada
batasan territorial dari berlakunya suatu kewenangan.
Dalam Piagam Tokyo tidak disebutkan secara jelas mengenai
territorial yang menjadi yurisdiksi Mahkamah. Dalam Statuta hanya
menjelaskan bahwa mahkamah didirikan untuk mengadili para penjahat
perang besar di Timur Jauh.
Demikian pula halnya dengan Piagam Nuremberg, dimana hanya
menjelaskan mahkamah memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan
menghukum orang-orang yang bertindak dalam kepentingan European
Axis countries, baik sebagai individu atau sebagai anggota organisasi,
melakukan salah satu kejahatan berikut
170
Lihat Pasal 22-24 Statuta Roma
111
Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa wilayah yurisdiksi dari
mahkamah akan diperluas ke wilayah bekas Republik Federal Sosialis
Yugoslavia, termasuk permukaan tanah, wilayah udara dan perairan
teritorial.
Dalam Statuta ICTR ditegaskan wilayah yurisdiksi dari Mahkamah
akan diperluas ke wilayah Rwanda termasuk permukaan tanah dan udara
serta wilayah negara-negara tetangga dalam hal pelanggaran serius
terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh warga
Rwanda.
Dalam pasal 12 ayat 2 Statuta Roma :
the Court may exercise its jurisdiction if one or more of the following
States are Parties to this Statute or have accepted the jurisdiction of
the Court in accordance with paragraph 3
(a) The State on the territory of which the conduct in question
occurred or, if the crime was committed on board a vessel or
aircraft, the State of registration of that vessel or aircraft;
(b) The State of which the person accused of the crime is a national
Terlepas dari Negara bukan peserta tidak mendeklarasikan diri untuk tidak
tunduk pada ketentuan dalam Statuta Roma, dalam pembukaan Statuta Roma
ditegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat
internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tidak dihukum dan
bahwa penuntutan mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil
langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan meningkatkan kerjasama
internasional. Dalam ketentuan dalam Statuta Roma dalam pasal 13 ayat b
yang mengatur kontribusi Dewan Keamanan PBB dalam mengajukan suatu
situasi kepada Mahkamah Pidana Internasional dengan bertindak sesuai
112
kewenangannya sesuai Bab VII Piagam PBB, dimana suatu situasi dianggap
mengancam perdamaian dan keamanan internasional.
Penerapan yursidiksi universal ini juga harus memperhatikan prinsip
komplementaris dari Mahkmah Pidana Internasional itu sendiri, artinya
Mahkamah baru dapat menerapkan yurisdiksinya kepada Negara bukan
peserta sebagaimana Mahkamah menerapkan yurisdiksinya kepada Negara
Peserta, yakni apabila Negara tersebut tidak memiliki keinginan dan tidak
memiliki kemampuan untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Negara bukan peserta Statuta
Roma dapat mengadili sendiri para pelaku kejahatan yang menjadi yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional apabila :
a. Tersedianya hukum nasional yang mengatur tentang kejahatan yang
menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
b. Tersedianya sarana prasana yang mendukung untuk sebuah proses
peradilan yang independen dan tidak memihak, ditambah adanya
kerjasama internasional dari Negara tempat situasi tersebut terjadi.
c. Dapat memperoleh saksi dan memberikan perlindungan terhadap saksi.
d. Dapat memperoleh tersangka dan memberikan perlindungan terhadap
tersangka.
e. Tersedianya petugas peradilan (hakim, jaksa, pengacara) yang memiliki
kemampuan yang cukup untuk proses peradilan terhadap perkara tersebut.
113
f. Dan perkara tersebut sudah mulai dilakukan investigasi atau penuntutan
dengan hukum nasional Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili
perkara tersebut.
B. Pemberlakuan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap
Situasi di Darfur-Sudan dan Libya
Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas Negara bukan
peserta dalam 3 (tiga) keadaan yaitu : 171
1. Mahkamah Pidana Internasional bisa mengadili warga Negara bukan
peserta dalam situasi disebut Jaksa Mahkamah Pidana Internasional oleh
Dewan Keamanan PBB (Pasal 13 ayat b Statuta Roma).
2. Warga Negara bukan peserta tunduk pada yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional ketika telah terjadi kejahatan di wilayah Negara yang
menjadi pihak pada Statuta Roma atau sebaliknya telah menerima
yurisdiksi Mahkamah sehubungan dengan kejahatan tersebut. (Pasal 12
ayat 2 (a) Statuta Roma).
3. Yurisdiksi dapat diterapkan terhadap warga Negara bukan peserta dimana
Negara bukan peserta telah menyetujui untuk pelaksanaan yurisdiksi
terhadap kejahatan tertentu. Dalam salah satu dari dua keadaan,
persetujuan dari negara kebangsaan bukan merupakan prasyarat untuk
pelaksanaan yurisdiksi (Pasal 12 ayat 3 Statuta Roma).
171
Dapo Akande, The Jurisdiction of the ICC over Nationals of Non-Parties: Legal Basis and
Limits, Journal of International Criminal Justice 1, 3 Oxford University Press, 2003. Hal.618 - 619
114
Sejak terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional, terdapat 2 (dua)
situasi yang terjadi pada wilayah negara bukan peserta Statuta Roma yang
diselidiki oleh Mahkamah, yaitu situasi di Darfur-Sudan dan situasi di Libya.
a. Situasi di Darfur – Sudan
Wilayah Darfur di bagian barat Sudan adalah dari daerah yang secara
geografis besar terdiri dari sekitar 250.000 kilometer persegi dengan
populasi sekitar 6 juta orang. Sejak tahun 1994 wilayah tersebut telah
dibagi secara administratif menjadi 3 (tiga) negara : Darfur bagian Utara,
Darfur bagian Selatan dan Darfur bagian Barat. Seperti semua negara-
negara lain di Sudan, masing-masing 3 (tiga) negara bagian di Darfur
diatur oleh Gubernur (Wali), yang ditunjuk oleh pemerintah pusat di
Khartoum, dan didukung oleh pemerintah daerah.172
Sudan merdeka dari
kekuasaan Inggris-Mesir pada 1 Januari 1956. Sejak kemerdekaan, negara
telah berfluktuasi antara rezim militer dan pemerintahan demokratis. 173
Akar konflik yang terjadi di Darfur sangat kompleks. Selain
permusuhan suku, identitas, tata kelola pemerintahan, munculnya gerakan
pemberontak bersenjata memainkan utama peran dalam pembentukan
krisis di Darfur ini. Terdapat 2 (dua) kelompok pemberontak di Darfur,
Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A) dan Justice and Equality
Movement (JEM) yang mulai terorganisir antara tahun 2001 sampai 2002.
174 Gerakan pemberontak ini memulai kegiatan militer pada akhir tahun
172
Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the United Nations Secretary-
General, Hal. 20 173
Ibid, Hal. 17 174
Ibid, Hal. 22 - 23
115
2002 dan awal tahun 2003. Gerakan pemberontak mulai melakukan
penyerangan terhadap kantor polisi setempat dan menjarah harta dan
persenjataan pemerintah.175
Pada bulan Maret dan April tahun 2003, pemberontak menyerang
instalasi pemerintah di Kutum, Tine dan El Fashir, termasuk bagian militer
bandara El Fashir dimana para pemberontak menghancurkan beberapa
pesawat militer dan membunuh banyak tentara. 176
Pemerintah yang tidak siap untuk menghadapi serangan militer dari
gerakan pemberontak tersebut. Hal ini disebabkan pemerintah tidak
memiliki sumber daya militer yang cukup, karena banyak pasukan
pemerintah masih terletak di Selatan. Kemudian Pemerintah memutuskan
untuk menarik sebagian besar pasukan polisi ke pusat-pusat perkotaan. Hal
ini berdampak pemerintah tidak memiliki kontrol de facto terhadap daerah
pedesaan, yang menjadi basis pemberontak. Keadaan ini semakin
diperparah dengan kendala angkatan bersenjata Sudan yang enggan untuk
memerangi orang-orang dari suku mereka sendiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah merekrut suku-suku
lokal untuk membantu melawan gerakan pemberontak. Menanggapi
panggilan pemerintah, suku-suku nomaden yang sebagian besar tidak
memiliki tanah tersebut menanggapi dan bergabung dengan pemerintah,
mengingat ada kesempatan mendapatkan daerah baru untuk menetap.
175
Loc.it 176
Ibid. Hal 23
116
Kelompok yang direkrut pemerintah ini dinamakan "Janjaweed" yang
berasal dari sebuah istilah tradisional Darfur.
Disamping pertempuran antara 2 (dua) kelompok pemberontak dengan
Pemerintah dan Janjaweed di sisi lain, elemen yang paling penting dari
konflik di Darfur ini adalah telah menjadi serangan terhadap warga sipil,
yang telah menyebabkan kehancuran dan pembakaran seluruh desa, dan
perpindahan dari sebagian besar penduduk sipil.177
Bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB, pada tanggal 18
September 2004 Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi Nomor
1564 yang meminta Sekretaris Jenderal PBB membentuk komisi
penyelidikan internasional untuk segera menyelidiki laporan pelanggaran
hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia yang terjadi
di Darfur tersebut. Komisi peyelidik internasional ini bertugas menyelidiki
apakah terjadi kejahatan genosida dan mengidentifikasi pelaku
pelanggaran tersebut dengan maksud untuk memastikan bahwa mereka
yang melakukan perbuatan tersebut harus dimintai
pertanggungjawabannya. 178
Setelah melakukan penyelidikan, Komisi penyelidikan internasional
ini menyimpulkan bahwa Pemerintah Darfur-Sudan dan Milisi Janjaweed
bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia dan
hukum humaniter internasional. Beberapa pelanggaran yang dilakukan
sangat mungkin dikategorikan sebagai kejahatan perang. Ini terlihat dari
177
Ibid. Hal.159 178
Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the Secretary-General
Pursuant to Security Council resolution 1564 (2004) of 18 September 2004, Hal.2
117
banyaknya pelanggaran dilakukan dengan pola sistematis dan meluas,
pemerintah dan milisi juga harus bertanggung jawab terhadap sejumlah
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang terjadi di
wilayah Darfur - Sudan.179
Setelah itu Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi Dewan
Keamanan 1593 untuk situasi di Darfur-Sudan pada tahun 2005. Beberapa
hal yang melatarbelakangi Resolusi ini, yaitu : 180
1. Laporan Komisi Penyelidik Internasional atas pelanggaran hukum
humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia di Darfur
2. Tidak ada penyidikan atau penuntutan dapat dimulai atau dilanjutkan
oleh Mahkamah Pidana Internasional untuk jangka waktu 12 bulan
setelah permintaan Dewan Keamanan (Pasal 16 Statuta Roma)
3. Mendorong Negara untuk berkontribusi pada Trust Fund Mahkamah
Pidana Internasional untuk Korban (Pasal 75 dan 79 Statuta Roma)
4. Adanya persetujuan yang dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 dari Statuta
Roma
5. Situasi di Sudan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan
internasional
Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal 31 Maret
2005, Jaksa menerima laporan Komisi Penyelidikan Internasional untuk
situasi di Darfur-Sudan.181
Dalam laporan tersebut, komisi penyelidik
179
Ibid, Hal. 158 180
Security Council United Nations Resolution 1593 (2005) Adopted by the Security Council at its
5158th meeting, on 31 March 2005 181
Situaiton on Dafur, www.icc.cpi.net
118
internasional yang dibentuk tersebut merekomendasikan beberapa hal
terkait situasi Darfur-Sudan, yaitu : 182
a. Rujukan oleh Dewan Keamanan dan prinsip komplementaris
b. Gagasan penerapan yurisdiksi universal
c. Penerapan yurisdiksi universal dan prinsip komplementaris dari
Mahkamah Pidana Internasional
Kesimpulan bahwa tidak ada kebijakan genosida telah diambil dan
dilaksanakan di Darfur oleh otoritas pemerintah, secara langsung atau
melalui milisi dibawah kendali mereka, serta mengecilkan dari keseriusan
kejahatan yang dilakukan di wilayah itu seperti kejahatan terhadap
kemanusiaan atau kejahatan perang skala besar, genosida adalah sama
dengan situasi yang terjadi Darfur-Sudan, dimana dilakukan pada skala
yang sangat besar, dan sejauh ini tanpa dihukum.183
Komisi penyelidik internasional tersebut juga berpandangan bahwa
prinsip komplementaris juga akan berlaku ketika Negara teritorial tidak
menjalankan keadilan karena tidak memiliki keinginan atau tidak memiliki
kemampuan untuk melaksanakan yurisdiksinya, tidak sebaliknya ada
alasan untuk meragukan kemampuan atau kesediaan Negara lain, baik
yurisdiksi universal atau yurisdiksi ekstra teritorial.
Berdasarkan laporan komisi penyelidik internasional tersebut Jaksa
kemudian meminta informasi dari berbagai sumber, baik berupa dokumen
maupun mewawancarai langsung lebih dari 50 ahli independen. Setelah
182
Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the United Nations Secretary-
General, Op.Cit. Hal 161 183
Ibid, Hal 161
119
menganalisis data dan informasi tersebut, Jaksa Mahkamah menyimpulkan
bahwa persyaratan hukum untuk memulai penyelidikan telah terpenuhi.
Jaksa meminta semua pihak untuk menyediakan informasi, bukti dan
dukungan yang diperlukan untuk melaksanakan mandatnya dalam
menyelidiki situasi di Darfur-Sudan tersebut.184
Dalam pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
terhadap situasi di Darfur-Sudan dapat dilihat :
1. Yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi personal
Untuk situasi di Darfur-Sudan, Jaksa Mahkamah Pidana
Internasional membagi dalam 5 (lima) berkas tuntutan yang akan
diajukan kepada Hakim Mahkamah Pidana Internasional, yakni: 185
a. Ahmad Muhammad Harun dan Ali Muhammad Ali Abd-Al-
Rahman
Ahmad Muhammad Harun adalah Former Minister of State for
the Interior of the Government of Sudan, Minister of State for
Humanitarian Affairs of Sudan. Ahmad Muhammad Harun diduga
bertanggung jawab atas 42 (empat puluh dua) tuduhan atas dasar
tanggung jawab pidana individual berdasarkan Pasal 25(3) (b) dan
25(3) (d) Statuta Roma, untuk :
1. 20 (dua puluh) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:
pembunuhan, penganiayaan, pemindahan penduduk secara
184
The Prosecutor of the ICC opens investigation in Darfur, http://www.icc-cpi.int/ 185
Situation in Darfur, Sudan, http://www.icc-cpi.int/
120
paksa, pemerkosaan, tindakan tidak manusiawi, penjara atau
perampasan kebebasan dan penyiksaan
2. 22 (dua puluh dua) tuduhan kejahatan perang: pembunuhan,
serangan terhadap penduduk sipil, perusakan harta benda,
pemerkosaan, penjarahan dan kemarahan atas martabat pribadi.
Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman merupakan Alleged
leader of the Militia/Janjaweed. Ali Muhammad Ali Abd-Al-
Rahman diduga bertanggung jawab atas 50 tuduhan atas dasar
tanggung jawab pidana individual berdasarkan Pasal 25(3) (a) dan
25(3) (d) dari Statuta Roma,untuk :
1. 22 (dua puluh dua) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:
pembunuhan, deportasi atau pemindahan paksa penduduk,
penjara atau lainnya perampasan kebebasan fisik yang
melanggar aturan dasar hukum internasional, penyiksaan,
penganiayaan dan tindakan tidak manusiawi dari menimbulkan
penderitaan dan cedera tubuh yang serius.
2. 28 (dua puluh delapan) tuduhan kejahatan perang: kekerasan
terhadap kehidupan dan pribadi; kemarahan atas martabat
pribadi dalam martabat dan perawatan tertentu, sengaja
mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil, penjarahan,
pemerkosaan, dan menghancurkan atau merampas harta.
121
b. Omar Hassan Ahmad Al Bashir
Omar Hassan Ahmad Al Bashir adalah President of the
Republic of Sudan sejak 16 Oktober 1993. Al Bashir diduga
bertanggung jawab pidana secara individu berdasarkan Pasal 25(3)
(a) dari Statuta Roma terhadap kejahatan:
1. 5 (lima) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:
pembunuhan, pemusnahan, pemindahan paksa penyiksaan, dan
pemerkosaan.
2. 2 (dua) tuduhan kejahatan perang: sengaja mengarahkan
serangan terhadap penduduk sipil seperti terhadap warga sipil
atau individu tidak mengambil bagian dalam permusuhan, dan
merampok.
3. 3 (tiga) tuduhan genosida: genosida pembunuhan, genosida
dengan menyebabkan tubuh atau mental yang berat dan
genosida dengan sengaja menimbulkan pada setiap kondisi
kelompok sasaran hidup yang menyebabkan kehancuran fisik
kelompok.
c. Bahar Idriss Abu Garda;
Bahar Idriss Abu Garda merupakan Chairman and General
Coordinator of Military Operations of the United Resistance
Front. Kamar Praperadilan berkeyakinan bahwa ada alasan yang
kuat untuk meyakini bahwa Mr. Abu Garda adalah bertanggung
122
jawab pidana sebagai pelaku tidak langsung untuk tiga kejahatan
perang berdasarkan Pasal 25(3) (a) Statuta Roma:
1. Kekerasan terhadap kehidupan dalam bentuk pembunuhan,
baik yang dilakukan atau coba, sebagaimana diatur dalam pasal
8 (2) (c) (i) Statuta;
2. Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personil,
instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam misi
penjaga perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) (e)
(iii) Statuta, penjarahan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (2)
(e) (v) Statuta.
Pada tanggal 8 Februari 2010, Kamar Praperadilan menolak
untuk mengkonfirmasi tuduhan terhadap Bahar Idriss Abu
Garda. Kemudian pada 23 April 2010, Kamar Praperadilan
mengeluarkan putusan yang menolak permohonan Jaksa untuk
mengajukan banding atas keputusan menolak untuk
mengkonfirmasi tuduhan terhadap Bahar Idriss Abu Garda.
d. Abdallah Banda Abakaer Nourain dan Saleh Mohammed Jerbo
Jamus
Abdallah Banda Abakaer Nourain merupakan Commander-in-
Chief of Justice and Equality Mouvement Collective-Leadership,
one of the components of the United Resistance Front. Sedangkan
Saleh Mohammed Jerbo Jamus merupakan former Chief of Staff of
123
SLA-Unity and currently integrated into Justice and Equality
Mouvement.
Abdallah Banda Abakaer Nourain dan Saleh Mohammed Jerbo
Jamus yang diduga bertanggung jawab pidana sebagai pelaku tidak
langsung atas tiga kejahatan perang sesuai Pasal 25(3) (a) dari
Statuta Roma, untuk :
1. Kekerasan terhadap kehidupan, baik yang dilakukan atau
percobaan, sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) (c) (i) Statuta.
2. Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personil,
instalasi, material, unit atau kendaraan yang terlibat dalam misi
penjaga perdamaian sebagaimana diatur dalam pasal 8 (2) (e)
(iii) Statuta, dan merampok sebagaimana diatur dalam pasal 8
(2) (e) (v) Statuta.
e. Abdel Raheem Muhammad Hussein.
Abdel Raheem Muhammad Hussein merupakan Current
Minister of National Defence and former Minister of the Interior
and former Sudanese President’s Special Representative in Darfur.
Surat perintah penangkapan untuk Abdel Rahim Muhammad
Hussein atas 13 (tiga belas) tuduhan atas dasar tanggungjawab
pidana individual sesuai pasal 25(3) (a) dari Statuta Roma sebagai
pelaku tidak langsung, untuk :
1. 7 (tujuh) tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan:
penganiayaan, pembunuhan, pemindahan paksa, pemerkosaan,
124
tindakan tidak manusiawi, penjara atau perampasan kebebasan,
dan penyiksaan
2. 6 (enam) tuduhan kejahatan perang: pembunuhan (pasal 8 (2)
(c) (i)); serangan terhadap penduduk sipil, penghancuran harta
benda (pasal 8 (2) (e) (xii)); pemerkosaan, penjarahan, dan
kemarahan atas martabat pribadi
2. Yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi temporal
Yurisdiksi teritorial untuk situasi di Darfur-Sudan adalah tempat
dimana konflik bersenjata dimaksud terjadi yaitu di daerah Fur,
Masalit and Zaghawa. Yang keseluruhannya merupakan wilayah
teritorial Darfur.
Pola penyerangan brutal terhadap warga sipil di desa-desa dan
masyarakat di 3 (tiga) negara bagian Darfur sebenarnya sudah mulai
pada tahun 2001 dan 2002, namun intensitasnya meningkat pada Maret
2003 sampai 14 Juli 2008.186
Eskalasi ini dipicu intensifikasi konflik
internal bersenjata antara Pemerintah dan milisi dengan 2 (dua)
gerakan pemberontak, Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A)
dan Justice and Equality Movement (JEM). Yang merupakan
yurisdiksi temporal adalah konflik bersenjata yang terjadi antara Maret
2003 sampai 14 Juli 2008.
Dari berkas yang diajukan tersebut dapat disimpulkan bahwa dari
beberapa pelaku tersebut berasal dari 2 (dua) pihak yang terlibat dalam
186
Lihat Public Document Warrant of Arrest for Omar Hassan Ahmad Al Bashir, Hal. 4
125
pertikaian bersenjata tersebut, yakni pemerintah dan milisinya (Ahmad
Muhammad Harun, Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, Omar Hassan
Ahmad Al Bashir, Bahar Idriss Abu Garda) dan dari pihak pemberontak
(Abdallah Banda Abakaer Nourain dan Saleh Mohammed Jerbo Jamus).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa suatu jabatan resmi
dalam pemerintahan tidak akan membebaskan pelaku kejahatan dari
pertanggungjawaban pidana, ini dapat dilihat dari tuduhan kepada Ahmad
Muhammad Harun, Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman, Omar Hassan
Ahmad Al Bashir yang merupakan pejabat pemerintah yang melakukan
perbuatan tersebut dalam karena perintah jabatannya. Sebagaimana dalam
pengadilan pidana ad hoc yang ada sebelumnya bahwa suatu jabatan resmi
dalam pemerintahan tidak luput dari pertanggungjawaban pidana. Hal ini
juga dianggap prinsip hukum umum dalam Statuta Roma, yakni pasal 27
yang mengatur tentang Irrelevance of official capacity, dimana Statuta ini
akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan berdasarkan
jabatannya dalam pemerintahan.
Konflik yang terjadi di Darfur-Sudan merupakan sengketa bersenjata
non internasional. Dimana kriteria mengenai sengketa bersenjata non
internasional diatur dalam Protokol Tambahan II 1977 tentang
perlindungan korban sengketa bersenjata non internasional, disebutkan
sengketa bersenjata non internasional adalah sengketa bersenjata yang
terjadi dalam wilayah suatu negara antara pasukan bersenjata atau dengan
kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang terorganisasi di bawah
126
komando yang bertanggungjawab, melaksanakan kendali sedemikian rupa
atas sebagian dari wilayahnya sehingga memungkinkan kelompok tersebut
melakukan operasi militer yang berkelanjutan dan berkesatuan serta
menerapkan aturan hukum humaniter internasional.187
Dalam Statuta Roma pelanggaran hukum serius lainnya dan kebiasaan-
kebiasaan yang berlaku dalam konflik bersenjata bukan dari karakter
internasional, dalam kerangka hukum internasional diatur dalam pasal 8
ayat (c) Statuta Roma.
Mahkamah Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas kejahatan
serius di bawah hukum internasional yang dilakukan di wilayah Negara
Pihak atau oleh warga Negara dari Negara Pihak. Selain itu, Mahkamah
Pidana Internasional memiliki yurisdiksi atas situasi di negara manapun di
mana situasi disebut Dewan Keamanan PBB bertindak di bawah Bab VII
dari Piagam PBB. Ketika Jaksa menerima rujukan tersebut, Statuta
mensyaratkan bahwa Jaksa melakukan pemeriksaan pendahuluan, atau
analisis, dari informasi yang tersedia dalam rangka untuk menentukan
apakah ada dasar memadai untuk melanjutkan dengan penyelidikan. Untuk
melakukan analisis ini, Jaksa bisa mencari informasi dari Negara, Organ
Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi antar pemerintah atau non-
pemerintah, atau sumber terpercaya lainnya. Dalam membuat rujukan
187
Ambarwati, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT.
RajaGrafindo, Jakarta, Hal 59 -60
127
kepada Mahkmah Pidana Internasional tersebut Jaksa harus
mempertimbangkan:188
a. Yurisdiksi, informasi yang tersedia memberikan dasar memadai untuk
percaya bahwa kejahatan di dalam yurisdiksi Mahkamah telah atau
sedang dilakukan;
b. Pemeriksaan pendahuluan untuk menentukan diterima/ tidaknya suatu
situasi yang diajukan kepada Mahkamah, situasi yang akan diterima
memerlukan pertimbangan kegawatan dan apakah proses pengadilan
nasional benar-benar sedang dilaksanakan sehubungan dengan kasus
ini;
c. Kepentingan keadilan, dengan mempertimbangkan beratnya kejahatan
dan kepentingan korban, ada alasan substansial untuk percaya bahwa
penyelidikan tidak akan melayani kepentingan keadilan.
Dalam penerimaan situasi Darfur-Sudan, Jaksa mempertimbangkan
kegawatan dan kepentingan keadilan, dan akan terus menganalisis setiap
proses nasional di Sudan yang mungkin berhubungan dengan kasus-kasus
tersebut.189
Melihat uraian diatas dapat disimpulkan dilihat kaitan situasi di
Darfur-Sudan dengan yurisdiksi Mahkamah (yurisdiksi territorial,
yurisdiksi temporal, yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi personal), dimana
Negara bukan peserta terikat pada ketentuan yang ada dalam Statuta
188
ICC - The Prosecutor of the ICC opens investigation in Darfur, Press Realease, http://www.icc-
cpi.int/
189
Loc.it
128
Roma, karena kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma merupakan
international crimes yang merupakan bagian dari jus cogens, maka Negara
bukan peserta terikat pada yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam perkembangan pemberlakuan yuridiksi Mahkamah Pidana
Internasional untuk situasi di Darfur – Sudan ini, Kamar Praperadilan telah
mengeluarkan 3 (tiga) surat perintah penangkapan, dari 5 (lima) berkas
yang diajukan sebelumnya. 3 (tiga) surat perintah penangkapan tersebut
yaitu untuk :
1. Ahmad Muhammad Harun dan Ali Muhammad Ali Abd-Al-Rahman
pada tanggal 27 April 2007. Berdasarkan bukti dan informasi yang
diberikan oleh Jaksa Mahkamah dan tanpa mengurangi keberatan
terhadap keabsahan kasus di bawah pasal 19 (2) (a) dan (b) Statuta
Roma dan tanpa mengurangi penentuan berikutnya, kasus terhadap
Ahmad Harun dan Ali Kushayb diterima dalam yurisdiksi Mahkamah.
190
2. Omar Hassan Ahmad Al Bashir, Kamar Praperadilan mengeluarkan
surat perintah penangkapan pertama pada tanggal 4 Maret 2009.
Dimana Jaksa Mahkamah Pidana Internasional setelah mengumpulkan
:191
a. Pernyataan saksi yang diambil dari saksi mata dan korban serangan
di Darfur.
190
Public Document, Warrant Of Arrest For Ali Kushyab and Warrant Of Arrest For Ahmad
Harun 191
Situation in Darfur, The Sudan Summary Of The Case, Prosecutor’s Application for Warrant of
Arrest under Article 58, Against Omar Hassan Ahmad AL BASHIR, Hal. 2
129
b. Mencatat wawancara dengan pejabat pemerintahan Sudan.
c. Pernyataan yang diambil dari individu yang memiliki pengetahuan
tentang kegiatan pejabat dan perwakilan dari pemerintah Sudan dan
Milisi / Janjaweed dalam konflik di Darfur.
d. Dokumen dan informasi lain yang disediakan oleh Pemerintah
Sudan atas permintaan Jaksa Mahkamah.
e. Laporan Komisi Penyelidikan Internasional
f. Laporan Komisi Penyelidik Sudan.
g. Dokumen dan bahan lainnya yang diperoleh dari sumber-sumber
terbuka.
Sesuai dengan prinsip komplementaris, setiap saat Jaksa Mahkamah
telah menilai proses pengadilan nasional di Sudan dalam kaitannya dengan
kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Kasus
atas nama Omar Hassan Ahmad Al Bashir ini tidak sedang diinvestigasi
atau dituntut oleh Pemerintah Sudan. Tidak ada proses nasional di Sudan
terhadap para pelaku kejahatan yang relevan dengan permohonan
penangkapan ini (bukan nebis in idem).
Sebelumnya komisi penyelidik internasional juga menyimpulkan
bahwa Pemerintah Darfur Sudan belum menerapkan kebijakan genosida
dalam hukum nasionalnya. Unsur penting dari tujuan penerapan ketentuan
genosida tampaknya hilang, setidaknya sejauh upaya yang dilakukan oleh
otoritas pemerintah yang bersangkutan. Secara umum, kebijakan
menyerang, membunuh dan menggusur paksa beberapa anggota suku tidak
130
memperlihatkan maksud tertentu untuk memusnahkan baik untuk seluruh
atau sebagian, kelompok dibedakan atas ras, dasar etnis, kebangsaan atau
agama. Sebaliknya, akan terlihat bahwa mereka merencanakan serangan
yang terorganisir terhadap desa dengan maksud untuk mendorong para
korban dari rumah mereka, terutama untuk keperluan perang melawan
pemberontakan. 192
Berdasarkan uraian diatas ditegaskan dalam situasi Darfur-Sudan
adanya ketidakmampuan dan ketidakinginan dari negara untuk
menginvestigasi dan mengadili dugaan kejahatan genosida yang
dituduhkan kepada pada pelaku dikarenakan tidak terdapat proses
penyidikan dan penuntutan yang sedang/sudah dilakukan serta tidak
adanya pengaturan mengenai genosida dalam hukum nasional Darfur-
Sudan, maka dari itu sesuai dengan prinsip komplementaris dari
Mahkamah Pidana Internasional, Darfur-Sudan dianggap tidak memliki
kemampuan untuk menuntut atau mengadili para terdakwa pada proses
peradilan yang relevan.
b. Situasi di Libya
Libya berbatasan dengan Laut Mediterania di sebelah utara, Mesir di
sebelah timur, Sudan selatan disebelah timur, Chad dan Niger di sebelah
selatan, dan Aljazair, Tunisia di sebelah barat. Dengan luas hampir
1.800.000 kilometer persegi (700.000 sq mi), Libya adalah negara keempat
192
Report of the International Commission of Inquiry on Darfur to the United Nations Secretary-
General , Op.Cit. Hal 172-173
131
terbesar di Afrika, dan negara terbesar ke-17 di dunia dengan populasi
penduduk 6,4 juta orang. Libya merupakan 10 (sepuluh) besar negara
dengan cadangan minyak terbesar di dunia dan Negara dengan peringkat
ke-17 dalam hal produksi minyak. Pada tanggal 21 November 1949,
Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa
Libya akan diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat selambat-
lambatnya 1 Januari 1952.
Diawali oleh demonstrasi massa di Libya pada bulan Februari 2011,
dimana demonstran menyerukan reformasi demokratis dan penggulingan
rezim Qadhafi yang berkuasa. Pemberontakan tersebut telah terinspirasi
oleh pemberontakan serupa di negara tetangga yaitu Tunisia dengan
berpuncak pada pengunduran diri Presiden Zine El Abidine Ben Ali, dan
di Mesir dengan pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak.
Menurut demonstran, demonstrasi yang mereka melakukan berjalan
damai, namun hal ini dibantah Pemerintah Libya. Untuk itu pemerintah
Libya menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap demonstran
menyebabkan perang sipil pada akhir februari yang terjadi di Libya.
Konflik ini berkembang antara pasukan oposisi bersenjata dan pasukan
pemerintah. Konflik bersenjata terjadi tidak semua wilayah negara dan
hanya terfokus pada kota-kota tertentu.
Pada tanggal 26 Februari 2011, Dewan Keamanan PBB memutuskan
dengan suara bulat (15 suara setuju) untuk mengajukan situasi yang terjadi
Libya sejak 15 Februari 2011 kepada Mahkamah Pidana Internasional,
132
dengan menekankan pentingnya pertanggungjawaban atas mereka yang
bertanggung jawab atas serangan, termasuk oleh pasukan dibawah kontrol
dari mereka yang bertanggung jawab, terhadap warga sipil. Setelah
melakukan pemeriksaan awal situasi di Libya, pada 3 Maret 2011 Jaksa
menyimpulkan bahwa ada dasar untuk meyakini telah terjadi kejahatan di
bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional di Libya, karena dan
memutuskan untuk membuka penyelidikan dalam situasi ini.193
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1970 pada 26 Februari 2011 yang
menyatakan berbagai latar belakang diajukannya situasi di Libya kepada
Jaksa Mahkamah Pidana Internasional, yaitu: 194
1. Keperihatinan terhadap situasi di Libya dan mengutuk kekerasan dan
penggunaan kekuatan terhadap warga sipil.
2. Pelanggaran berat dan sistematis terhadap hak asasi manusia, termasuk
tindakan represif terhadap demonstran damai, menyatakan
keprihatinan yang mendalam atas kematian warga sipil, dan menolak
tegas hasutan untuk permusuhan dan kekerasan terhadap penduduk
sipil yang dibuat oleh pemerintah Libya.
3. Kecaman oleh Liga Arab, Uni Afrika, dan Sekretaris Jenderal
Organisasi Konferensi Islam terhadap pelanggaran hak asasi manusia
dan hukum humaniter internasional serius yang sedang terjadi di Libya
193
Situation in Libya, The Prosecutor v.Saif Al-Islam Gaddafi and Abdullah Al-Senussi Case No.
ICC- 01/11-01/11 194
Security Council United Nations Resolution 1970 (2011) Adopted by the Security Council at its
6491st meeting, on 26 February 2011
133
4. Surat kepada Presiden Dewan Keamanan dari Wakil Tetap Libya
tanggal 26 Februari 2011.
5. Laporan Komisi Hak Asasi Manusia melalui Resolusi Dewan
A/HRC/S-15/2 pada 25 Februari 2011, termasuk keputusan untuk
segera mengirimkan komisi penyelidikan internasional independen
untuk menyelidiki semua dugaan pelanggaran hukum HAM
internasional di Libya, untuk menetapkan fakta-faktadan keadaan
pelanggaran tersebut dan dari kejahatan yang dilakukan, dan mana
mungkin mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab.
6. Bahwa serangan meluas dan sistematis saat ini sedang berlangsung
di Libya terhadap penduduk sipil mungkin menjadi kejahatan terhadap
kemanusiaan.
7. Kekhawatiran nasib pengungsi terpaksa melarikan diri dari kekerasan
di Libya.
8. Kekhawatiran kekurangan pasokan medis untuk mengobati korban
yang terluka.
9. Mengingat tanggung jawab pihak berwenang Libya untuk melindungi
penduduk.
10. Menggarisbawahi pentingnya menghormati kebebasan berkumpul
secara damai dan berekspresi, termasuk kebebasan media.
11. Menekankan kebutuhan untuk meminta akuntabilitas yang
bertanggung jawab atas serangan, termasuk oleh pasukan dibawah
kendali mereka, terhadap penduduk sipil.
134
12. Mengingat pasal 16 Statuta Roma di mana tidak ada investigasi atau
penuntutan dapat dimulai atau dilanjutkan dengan oleh Mahakamah
Pidana Internasional untuk jangka waktu 12 bulan setelah permintaan
Dewan Keamanan untuk peristiwa itu.
13. Mengungkapkan keprihatinan atas keselamatan warga asing dan hak-
hak mereka dalam Jamahiriya Arab Libya.
14. Menegaskan kembali komitmen yang kuat terhadap kedaulatan,
kemerdekaan, integritas territorial dan kesatuan nasional Libya.
15. Mengingat tanggung jawab utama untuk pemeliharaan perdamaian
internasional dan keamanan dibawah Piagam PBB.
Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap
situasi Libya, yang merupakan negara bukan peserta Statuta Roma dapat
dilihat dari : 195
1. Yurisdiksi kriminal dan yurisdiksi personal
Untuk situasi di Libya, Jaksa Mahkamah Pidana Internasional
membuat berkas tuntutan yang akan diajukan kepada Hakim
Mahkamah Pidana Internasional,yakni : 196
Saif Al-Islam Gaddafi diduga bertanggung jawab pidana tidak
sebagai pelaku langsung dan Abdullah Al-Senussi diduga bertanggung
jawab pidana tidak sebagai pelaku langsung, untuk 2 (dua) tuduhan
kejahatan terhadap kemanusiaan:
a. Pembunuhan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 (1) (a) Statuta, dan
195
Situation in Libya, http://www.icc-cpi.int/ 196
Situation in Libya, http://www.icc-cpi.int/
135
b. Penganiayaan, sebagaimana diatur dalam pasal 7 (1) (h) Statuta
Muammar Gaddafi Panglima Angkatan Bersenjata Libya dan
memegang gelar Pemimpin Besar Revolusi, dan dengan
demikian,bertindak sebagai Kepala Negara Libya, kasusnya dihentikan
karena kematiannya pada 22 November 2011
Saif Al-Islam Gaddafi merupakan Honorary chairman of the
Gaddafi International Charity and Development Foundation and
acting as the Libyan de facto Prime Minister
Abdullah Al-Senussi merupakan Colonel in the Libyan Armed
Forces and current head of the Military Intelligence atas kejahatan
terhadap kemanusiaan (pembunuhan dan penganiayaan)
Saif Al-Islam Gaddafi dan Abdullah Al-Senussi merupakan pejabat
resmi dari pemerintahan pada rezim Gaddafi, namun suatu jabatan
resmi pada pemerintahan tidak akan membebaskan pelaku kejahatan
dari pertanggungjawaban pidana.
2. Yurisdiksi teritorial dan yurisdiksi temporal
Yurisdiksi teritorial untuk situasi konflik ini terjadi di Libya adalah
meliputi Tripoli, Benghazi, dan Misrata. Yurisdiksi temporal adalah
konflik yang terjadi mulai dari 15 sampai setidaknya 28 Februari
2011,197
dimana terjadi kekerasan dan penggunaan kekuatan dan aksi
represif terhadap demostran (warga sipil) serta pelanggaran berat dan
sistematis terhadap hak asasi manusia.
197
Warrant of Arrest for Saif Al-Islam Gaddafi, Hal. 3
136
Sama halnya dengan situasi di Darfur-Sudan, situasi yang terjadi di
Libya merupakan konflik bersenjata non internasional. Situasi di Libya
terjadi karena pemerintah dibawah pimpinan Gaddafi melakukan tindakan
represif dan kekuatan militer menghadapi masyarakat sipil.
Dalam perkembangan pemberlakuan yuridiksi Mahkamah Pidana
Internasional terhadap situasi di Libya ini Kamar Praperadilan telah
menengeluarkan 3 (tiga) surat perintah penangkapan. Pada tanggal 27
April 2011, Kamar Praperadilan memutuskan mengabulkan permohonan
Jaksa berdasarkan Pasal 58 Statuta Roma dengan mengeluarkan surat
perintah penangkapan terhadap Muammar Gaddafi dan Saif Al-Islam
sebagai pelaku tidak langsung berdasarkan pasal 25 (3) (a) untuk kejahatan
pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan di berbagai tempat di
Libya khususnya, Tripoli, Benghazi dan Misrata yang terjadi mulai 15
sampai 28 Februari 2011. Pada tanggal yang sama, Kamar Praperadilan
mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Abdullah Al-Senussi
sebagai pelaku langsung berdasarkan pasal 25 (3) (a) atas kejahatan
pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan di Benghazi dari 15 hingga
20 Februari 2011.
Pada tanggal 22 November 2011, proses sehubungan dengan
Muammar Gaddafi dihentikan karena meninggal dunia. Pada tanggal 1
Mei 2012, Kamar Pra Peradilan menerima Permohonan Pemerintah Libya
sesuai dengan Pasal 19 Statuta Roma tentang keberatan diterimanya kasus
terhadap Saif Al-Islam.
137
Pada 23 Januari 2013, Libya mengajukan keberatan tentang
penerimaan situasi di Libya oleh Mahkamah Pidana Internasional dengan
mengajukan beberapa catatan dan bukti : 198
a. Bukti dan penyelidikan nasional Libya
1. Libya menegaskan bahwa mereka sedang menyelidiki kasus yang
sama tentang pertanggungjawaban pidana terhadap Saif Al-Islam.
Saif Al-Islam sedang diselidiki untuk kejahatan biasa (seperti
pembunuhan yang disengaja, tanpa pandang bulu atau pembunuhan
acak dan penyiksaan)
2. Tim penuntut domestik akan berusaha untuk menggabungkan
kasus Saif Al-Islam dengan 10 orang lainnya yang merupakan
pejabat tinggi rezim Gaddafi, termasuk Al-Senussi.
3. Libya pada tahap ini tidak dapat memberikan ke Kamar
Praperadilan, langkah-langkah investigasi yang diambil dan
informasi yang diminta karena bertentangan dengan hukum
nasional
4. Libya mengusulkan bahwa Kamar PraPeradilan mengirim
perwakilan atau delegasi ke Libya untuk melihat berkas -berkas
pendukung dan meminta 6 (enam) minggu waktu tambahan untuk
mempersiapkan salinan dan terjemahan bahasa Inggris dari bahan
investigasi.
198
Public Redacted Version, Prosecution’s Response to “Libyan Government’s further
submissions on issues related to the admissibility of the case against Saif Al-Islam Gaddafi
138
b. Bukti kemajuan penyidikan yang telah dilakukan oleh pemerintah
Libya:
1. Penyelidikan telah berkembang dan hampir selesai. Libya
menunjukkan bahwa mereka telah mengumpulkan total 50 (lima
puluh) keterangan saksi. Saif Al-Islam juga telah diwawancarai dan
telah dihadapkan dengan saksi.
2. Tim jaksa pada kasus Saif Al-Islam terdiri dari 14 jaksa dan staf
pendukung lainnya, termasuk penyidik, dengan pengalaman yang
cukup dalam hukum pidana
3. Libya menegaskan bahwa Saif Al-Islam tetap di Zintan. Meskipun
Libya mengindikasikan bahwa pihaknya berencana untuk mencoba
memindahkan Saif Al-Islam ke Tripoli, Libya juga menyampaikan
bahwa ia tidak memiliki kontrol atas semua pusat penahanan.
4. Komite investigasi serta pejabat publik Libya lainnya telah
menerima bantuan internasional, khususnya dari badan-badan
PBB, Uni Eropa dan sejumlah Pemerintah
Dalam diterimanya keberatan yang diajukan oleh pemerintah Libya,
Kamar Praperadilan menilai belum tersedia dengan bukti yang cukup
dengan tingkat yang cukup sebagai bukti pemerintah Libya dan
penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional meliputi perbuatan yang
139
sama dan bahwa Libya dapat benar-benar melakukan investigasi terhadap
Saif Al Gaddafi. Kamar Praperadilan menilai : 199
1. Sesuai dengan pasal 17 ayat 3 Statuta Roma, bahwa kemampuan
Negara untuk melaksanakan penyelidikan atau penuntutan harus dinilai
dari sistem dan prosedur nasional yang relevan
2. Proses pengadilan yang dilakukan sesuai dengan prosedur hukum
pidana umum Libya dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah
Agung Libya
3. Sistem nasional di Libya dalam keadaan yang sangat sulit untuk
memperbaiki kondisi keamanan dan membangun kembali institusi dan
memulihkan aturan hukum
4. Ketidakmampuan untuk memindahkan Gaddafi dari tempat penahanan
dibawah Milisi Zintan kedalam penguasaan otoritas Negara.
5. Ketidakmampuan untuk memperoleh kesaksian yang diakibatkan
ketidakmampuan peradilan dan pemerintahan yang berwenang untuk
memberikan perlindungan saksi yang memadai
6. Kurangnya kontrol dari pemerintah terhadap pusat penahanan akan
mempengaruhi proses penyelidikan.
7. Tidak mampu memenuhi pelaksanaan proses penunjukan pembela
sebagaimana diatur dalam hukum nasional Libya pasal 106.
199 Public Redacted, Decision on the admissibility of the case against Saif Al-Islam Gaddafi, Hal.
82 - 90
140
Kamar Praperadilan mengingatkan bahwa temuan atas penerimaan
didasarkan pada fakta sebagaimana adanya pada saat proses diterimanya
situasi tersebut, keberatan dari tindakan domestik atau kekurangannya
dapat berubah dari waktu ke waktu. Keputusan ini tanpa mengurangi
keberatan berikutnya dapat dibawa ke hadapan Kamar Praperadilan,
asalkan sesuai dengan persyaratan pasal 19 (4) Statuta. Akhirnya pada
tanggal 31 May 2013. Kamar Pra Peradilan I memutuskan : 200
1. Menolak keberatan Pemerintah Libya untuk diterimanya kasus
terhadap Saif Al- Islam Gaddafi;
2. Memutuskan bahwa kasus terhadap Saif Al-Islam Gaddafi dapat
diterima;
3. Mengingatkan Libya kewajibannya untuk menyerahkan Saif Al-Islam
Gaddafi ke Mahkamah Pidana Internasional.
Dalam konflik Libya ini pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional pada awalnya karena ketidakmampuan pemerintah Libya
untuk mengadili para pelaku kejahatan pasca konflik domestik. Pengajuan
keberatan dari Mahkamah Pidana Internasional diajukan pemerintah
Libya, dinilai tidak cukup untuk menjadi dasar bahwa Libya dapat
menerapkan yurisdiksi nasionalnya terhadap konflik yang terjadi.
Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam
konflik di Libya karena Libya dianggap sedang dalam masa transisi pasca
konflik domestik dimana tidak adanya sarana-prasarana yang memadai
200
Ibid, Hal. 91
141
untuk melaksanakan proses peradilan. Lebih dari itu tidak ada orang yang
mungkin diadili oleh pengadilan nasional untuk tindakan yang merupakan
pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia tindakan tersebut
merupakan kejahatan biasa, atau dimana proses pengadilan nasional tidak
imparsial atau independen, yang dirancang untuk melindungi tertuduh dari
tanggung jawab pidana internasional.
142
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keterikatan Negara bukan peserta terhadap yurisdiksi Mahkamah Pidana
Internasional disebabkan kejahatan yang menjadi yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional merupakan international crimes, yang merupakan
bagian dari jus cogens. Hal ini dapat dilihat dari Statuta Roma merupakan
perjanjian bersifat universal yang memiliki tujuan untuk membentuk norma
dalam hukum internasional dan kejahatan yang diatur berasak dari hukum
kebiasaan internasional. Mahkamah Pidana Internasional dapat
memberlakukan yurisdiksinya dengan mekanisme pasal 13 ayat b Statuta
Roma yakni ketika Dewan Keamanan PBB mengajukan suatu situasi kepada
Jaksa Mahkamah dengan bertindak berdasarkan BAB VII Piagam PBB.
Mahkamah Pidana Internasional baru dapat memberlakukan yurisdiksinya
ketika Negara bukan peserta terbukti tidak ingin atau tidak mampu untuk
menuntut, mengadili secara efektif pelaku kejahatan tersebut.
2. Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap situasi di
Darfur-Sudan dan Libya disebabkan oleh diajukannya situasi di kedua
Negara tersebut kepada Mahkamah Pidana Internasional oleh Dewan
Keamanan PBB. Setelah dilaksanakan pemerikasaan, pemberlakuan
yurisdiksi Mahkamah untuk Darfur-Sudan disebabkan tidak ada kebijakan
genosida yang telah dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan konflik
bersenjata terus terjadi sampai tahun 2008. Sementara untuk situasi di
143
Libya, walaupun pemerintah Libya telah memulai melaksanakan
penyelidikan terhadap para pelaku, namun Mahkamah menilai penyelidikan
dilakukan dengan segala keterbatasan dari pemerintah Libya. Artinya pasca
konflik domestic, Mahkamah Pidana Internasional menganggap pemerintah
tidak memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan proses penyelidikan
dan penuntutan yang relevan. Maka dari itu sesuai prinsip komplementaris,
Mahkamah Pidana Internasional memberlakukan yurisdiksinya untuk kedua
situasi ini, untuk memastikan para pelaku kejahatan harus dituntut dengan
proses peradilan yang relevan.
B. Saran
1. Upaya penegakan hukum pidana internasional melalui Mahkamah Pidana
Internasional merupakan langkah maju bagi perlindungan hak asasi
manusia. Melihat sebelumnya pembentukan pengadilan pidana internasional
cenderung lebih bermuatan politis dengan mengenyampingkan asas legalitas
dan asas retroaktif, kehadiran Mahkamah Pidana Internasional diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan hukum demi menjaga perdamaian dan
kedamaian internasional. Namun melihat bagaimana pemberlakuan
yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara bukan peserta
Statuta Roma dengan diberikannya wewenang kepada Dewan Keamanan
PBB sesuai BAB VII Piagam PBB untuk mengajukan suatu situasi kepada
Mahkamah Pidana Internasional, dimana tidak ada indikator yang jelas
144
kapan suatu situasi dianggap mengancam perdamaian dan keamanan
internasional
2. Hal yang paling fundamental untuk dilakukan adalah mendorong negara-
negara untuk menyelesaikan permasalahan baik domestik maupun
permasalahan internasional dengan cara damai serta tetap menjaga
perdamaian dan keamanan internasional. Disamping itu setiap Negara juga
harus melengkapi piranti hukum nasionalnya untuk mengadili pelaku-pelaku
kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional dan
menjalankan proses peradilan yang independen dan tidak memihak terhadap
para pelaku kejahatan serius tersebut, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
umum dalam hukum internasional. Maka dengan demikian setiap Negara
akan melindungi kedaulatan negaranya.