Post on 04-Mar-2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Kehadirannya yang berkelindan dengan realitas menempatkan karya
sastra pada ruang yang dekat dan dianggap mampu merepresentasikan kenyataan.
Dalam banyak pendapat, karya sastra sebagai produk sosial menjadi pilihan
penting untuk memotret fenomena sejaman dan bahkan lintas jaman –berselisih
ruang dan waktu1. Oleh karena itu, pandangan bahwa karya sastra lahir hanya
sebagai produk imajinasi manusia menjadi tidak relevan ketika keadaan
masyarakat tertentu dapat diukur berdasarkan karya yang hadir pada saat itu.
Novel, sebagai salah satu bentuk karya sastra, mampu menyajikan detil
yang lebih daripada karya sastra–karya sastra yang lain. Dalam novel pembaca
mudah memahami premis melalui struktur intrinsiknya. Pengarang berperan
sebagai subyek yang jeli dan peka dalam mencermati kejadian-kejadian untuk
kemudian merekam dan menceritakan kembali melalui karyanya2. Dengan
1 Swingewood dalam Faruk (2002:110) mengemukakan bahwa novel merupakan genre sastra yang
cenderung realistik karena novel mampu merepresentasikan gambaran realistik sosial. Beberapa
tokoh terkemuka sosiologi sastra lainnya, misalkan Lucien Goldmann (genetic structuralism) juga
berpandangan bahwa karya sastra memiliki keterkaitan khusus dengan kondisi jaman ia diciptakan
yang berisi pandangan dunia novel tersebut. Taine juga menyebutkan bahwa novel bertujuan
menggambarkan kehidupan nyata, deskripsi karakter, sugesti tindakan, dan memberi penilaian
terhadap motif tindakan. 2 Dharma (1983:52) menyatakan bahwa karya sastra, khususnya novel, diciptakan pengarang
untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra sebenarnya
merupakan bagian pengungkapan masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Lebih lanjut Van Zoest
(1993) menyatakan bahwa manusia adalah homo semiotic yang memiliki kemampuan untuk
2
demikian, jelas dipahami bahwa novel menjadi alat komunikasi antara pengarang
terhadap pembaca. Akan tetapi, sebagai hasil rekaman personal karya sastra tidak
dapat lepas dari pandangan subyektif pengarang, sehingga hal tersebut
memungkinkan pembaca untuk bebas memaknai karya sastra tersebut. Pada
proses ini, makna yang ditangkap oleh pembaca mungkin berbeda dengan apa
yang dimaksudkan oleh pengarang.
Perbedaan pemaknaan tersebut bukan berarti keluar dari batasan-batasan
interpretasi. Karya sastra ditulis berdasarkan pengalaman seseorang yang
sebenarnya juga berada dalam konvensi yang sama dengan seseorang lainnya. Pun
apabila karya sastra dibaca orang yang tidak memiliki kaitan historis partikular,
setidaknya keterhubungannya dapat dimediasi oleh hal-hal yang bersifat universal
atau berlaku umum.
Dalam hubungannya dengan tanda, Noth (1990: 3) menjelaskan bahwa
bidang kajian semiotika meliputi segala sesuatu yang dapat dipandang sebagai
tanda. Senada dengan hal tersebut Culler (1977: 5) mengatakan bahwa karya
sastra tersusun dari seperangkat sistem simbol –bagian dari tanda, sedangkan
simbol memiliki arti apabila ia dapat dijelaskan darimana ia berasal dan untuk
siapa ia dimanfaatkan. Artinya, karya sastra memiliki fungsi penting sebagai aktus
komunikasional dalam memunculkan kenyataan yang lain dari suatu keadaan.
Lebih lanjut Eco (1976: 8) mengatakan bahwa hal pokok yang dikaji dalam
menciptakan tanda. Ia dapat mengirimkan tanda dan ia dapat sepakat mengenai arti tanda tersebut
dengan sesamanya.
3
seniotika adalah proses kultural sebagai komunikasi berlandaskan sistem
signifikansi.
Dari pembahasan di atas, novel berpeluang merepresentasikan kondisi
sosial masyarakat tertentu melalui pengamatan seorang pengarang, dalam hal ini
adalah John Steinbeck. John Steinbeck adalah seorang pengarang kenamaan
Amerika yang sebagian besar karyanya terinspirasi dari kejadian-kejadian nyata.
Karyanya yang danggap sebagai modern parable terhadap kondisi Amerika pada
saat itu adalah The Pearl.
Sebagai negara besar yang terdiri dari beraneka ragam etnis, Amerika
Serikat dapat dikatakan potensial terhadap munculnya konflik-konflik perbedaan
tersebut. Menyadari akan hal itu, para negarawan mensiasati bagaimana menjadi
‘Amerika’ menjadi sebuah negara kuasa yang berserikat dan berusaha melindungi
hak-hak keberagaman mereka yang ada di dalamnya. Konsep tersebut nyata
dikemukakan dalam prinsip dasar Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang
berbunyi ”all men are created equal” and that they are “endowed by their
Creator with certain inalienable Rights” including “Life, Liberty, and the pursuit
of Happiness.”. Dari kalimat ini, dengan mengatakan bahwa semua manusia
diciptakan sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam hak-hak dasarnya,
seharusnya potensi konflik dari singgungan keberagaman tersebut dapat
dihilangkan. Lebih jauh Amerika juga memegang pandangan American Dream3
3 Konsep American Dream dinyatakan pertama kali oleh James Truslow Adams pada tahun 1931
dalam bukunya yang berjudul Epic of America, “The American Dream, that is lured tens of
millions of all nations to our shores in the past century has not been a dream of material plenty,
though that has doubtlessly counted heavily. It has been a dream of being able to grow fullest
development as a man and woman, unhampered by the barriers which had slowly been erected in
4
sebagai semangat atau etos bahwa dalam kebebasan terdapat kemakmuran dan
kebebasan. Seiring dengan perkembangan jaman, pemaknaan American Dream
berkembang menjadi sebuah kesempatan untuk tumbuh, menerima pendidikan,
hak-hak hukum, dan pilihan-pilihan tanpa membatasi latar belakang agama, ras,
atau etnis/budaya.
Dalam kenyataannya, praktik-praktik diskriminasi terhadap etnis atau
kelompok tertentu oleh kelompok dominan masih sering terjadi, dalam hal ini
diskriminasi terhadap Indian Amerika oleh orang-orang kulit putih. Sejarah
berpindahnya orang-orang Eropa ke Amerika yang pada saat itu didiami suku
pribumi, Indian, memiliki rentetan efek yang panjang.
Pola penguasaan tanah dan kolonialisasi bangsa Eropa ke Amerika dimulai
sejak tahun 1600-an. Ketika koloni Eropa menyadari bahwa Amerika adalah
daratan yang sangat potensial, sejak saat itu pula muncul pola-pola penguasaan
tanah dan lahan dari penduduk pribumi. Suku Indian sebagai yang menempatkan
diri sebagai tuan rumah menyambut para pendatang dengan ramah. Mereka
digambarkan sebagai orang-orang yang baik, sopan, bersahaja, dan ramah
(Berkhoefer via Trimble, 1988: 182).
Dengan semakin banyaknya koloni-koloni yang datang maka kebutuhan
tanah dan lahan semakin besar. Melihat hal itu, strategi penguasaan tanah mulai
dilakukan. Daya intelektualitas ke-Eropa-an yang sudah lebih maju tidak
sebanding dengan pandangan masyarakat Indian yang ‘primitif’ dan masih
mempraktekkan pola-pola tradisional. Melihat hal tersebut, orang-orang Eropa
the older civilization, unpressed by social orders which had developed for the benefit of classes
rather than for the simple human being of any and every class” (1931).
5
mulai memasang pancang-pancang pada tanah yang mereka kehendaki secara
sepihak sebagai bukti perpindahan klaim kepemilikan (Trimble, 1988: 183).
Peristiwa ini adalah awal mula penjajahan yang akhirnya melembaga,
bahkan ketika para koloni itu membuat suatu tujuan bersama untuk membentuk
sebuah negara ternyata hanya berpihak pada koloni tersebut. Pada saat Amerika
sudah menjadi negara modern pun, yang mana mengagung-agungkan semboyan
kesetaraan sebagai hak dasar manusia ternyata masih melakukan pembiaran
terjadinya praktik-praktik diskriminatif terhadap masyarakat Indian. Ada banyak
pendapat yang mengindikasikan diskriminasi rasial bahwa ras kulit putih merasa
lebih tinggi daripada ras Indian, salah satunya dilontarkan oleh seorang
pengembara Virginia bernama Samuel Purchas, ...note that Indians were more
brutish than the beast they hunt, more wild and unmanly than the wild country...
captivated also to Satan’s Tyranny in foolish pieties, mad impieties, wicked
idleness, busie, and bloudy wickednesse (Berkhoefer via Trimble 1978:21).
Pendapat ini mencerminkan realitas bahwa posisi ras Indian di Amerika tidak
berada dalam posisi setara.
Lebih jauh, secara institusional muncul banyak kebijakan yang sangat
berpihak terhadap para penguasa baru tersebut. Trimble mengemukakan satu
temuan tentang munculnya kebijakan-kebijakan mulai eksterminasi, relokasi,
bahkan hingga isolasi;
The informal and insidious policy of extermination was replaced with a
more formalized policy of relocation ans isolation. And beginning 1830,
large umbers of Indians were “forced” to leave their ancestral homes for
reserved land set aside for settlement west of Mississipi. Never mind the
treaties. Relocation and isolation meant that the Indian problem would be
6
out of the way for a while. And as coloialism prevailed, the minority
Indians had no power, no status, and little support. (Trimble, 1988: 184).
Kebijakan ‘mengusir’ sang tuan dari tanah sendiri tersebut merampas hak-hak
dasar ras Indian yang dikemudian hari bermanifestasi dalam berbagai bentuk
diskriminasi terhadap anak cucu mereka, di antaranya hak untuk mendapatkan
pendidikan, status sosial, isolasi, dan kesempatan mendapatkan pekerjaan dan
lain-lain4.
The Pearl, adalah sebuah novel pendek karangan John Steinbeck.
Steinbeck merupakan seorang sastrawan Amerika yang peka dalam merespon
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini terbukti dari bagaimana ia
merespon terjadinya resesi sebagai akibat dari The Great Depression. Steinbeck
adalah salah seorang warga Amrika Serikat yang menjadi saksi hidup atas
terjadinya The Great Depression. Sebagai seorang muda yang memiliki kepekaan
tinggi terhadap segala fenomena, Steinbeck terpanggil untuk menyikapi segala
kegetiran yang dialaminya sebagai imbas dari kemerosotan perekonomian
tersebut. Dengan menggunakan keahlian estetisnya, Steinbeck secara profesional
menggunakan kesadaran individualnya menjadikan peristiwa tersebut sebagai
inspirasi untuk merefleksikan kondisi Amerika dengan cara yang santun, yakni
dengan menulis novel-novel. Jay Parini dalam bukunya John Steinbeck: A
Biography (1995) mendeskripisikan bagaimana seorang Steinbeck menggali dan
menuangkan segala ide kreatifnya untuk mewujudkan keterpanggilannya sebagai
seorang warga negara menjadi pemerhati keterpurukan ekonomi di Amerika.
4 Lihat Stereotypical Images, American Indians, and Prejudice. Department of Psychology,
Western Washington University, Bellingham, Washington.
7
Produktivitas Steinbeck telah menuntutnya untuk mencermati segala kejadian
untuk kemudian ia jadikan modal menulis karya-karya yang hampir semua di
antaranya merefleksikan Amerika, tidak hanya permasalahan ekonomi melainkan
juga permasalah-permasalah sosial yang masih acap terjadi pada masa itu.
Steinbeck dapat dikatakan sebagai seorang sastrawan Amerika tulen yang sangat
profesional dalam menghubungkan fakta dan estetika dalam kepengarangannya.
Keberadaan Steinbeck sebagai seorang pengarang, sebagaimana yang telah
disinggung di atas, adalah keterlibatan personalnya dengan segala fenomena.
Steinbek dilahirkan di sebuah kota kecil di California, yaitu kota Salinas. Secara
geografis, Salinas terpisah dari kota-kota lain di California, dengan kata lain
Salinas adalah sebuah kota kecil yang terpencil. Mata pencaharian utama
penduduk yang bersumber dari pertanian dan peternakan menjadi bagian hidup
dari Steinbeck. Di kota tersebut, Steinbeck mengamati bagaimana kehidupan para
imigran yang hidup sebagai buruh ranch (pertanian dan peternakan) yang
terbuang, sebatang kara, tidak memiliki kerabat, bahkan tidak mengenal isntitusi
perikahan dan rumah tangga. Pengamatan-pengamatan tersebut kemudian
memantik insting kreatifnya untuk menulis novel Of Mice and Men (1937) yang
secara mendalam mengulas tentang berbagai bentuk interaksi para buruh (ranch)
yang nomaden dengan tuan tanahnya, yang secara vulgar mengungkap sisi-sisi
buruk kehidupan mereka dalam berinteraksi, bersosialisasi dalam upaya
mempertahankan eksistensi kehidupan mereka (Parini, 14-19)
Dalam interaksi individu, sebagaimana yang diceritakan oleh Parini,
tekanan-tekanan mental terjadi tidak hanya dialami oleh para buruh, namun juga
8
oleh sang tuan tanah. Secara psikologis mereka mengalami keterpaksaan untuk
melakukan tindakan-tindakan yang secara logika sebenarnya dipahami sebagai
sesuatu yang melebihi kapasitas dan kemampuan pribadi seorang manusia.
Namun, walaupun manusia selalu berusaha melakukan usaha untuk menghindari
hal-hal yang membahayakan dirinya, baik dalam internal maupun eksternal
dirinya, ada satu kekuatan kodrati yang tidak dapat ditolaknya, yaitu takdir.
Akibat dari hal ini adalah munculnya perlawanan-perlawanan dalam internal diri
mereka, sehingga akhirnya mengutamakan hasrat dan ambisi demi kepuasan batin
dan lahirnya, meskipun akan ada kekecewaan dan penyesalan setelah mereka
melakukannya (Parini, 1995: 54).
Dalam masa kekaryaannya, Steinbeck berada dalam trend naturalisme
yang sangat mendominasi segenap aliran seni di Amerika. Naturalisme sendiri
merupakan sebuah aliran puncak dari gerakan sastra sebagai hasil perkembangan
dari realisme yang marak dan menyolok di akhir abad ke-19 di Eropa. Hal ini
terjadi karena para sastrawan tersebut dipengaruhi oleh Teori Evolusi Charles
Darwin. Teori ini mengasumsikan bahwa pengaruh keturunan (hereditas) dan
lingkungan (environment) memiliki kontribusi yang besar dalam perkembangan
kepribadian seseorang. Sebagaimana realisme, naturalisme juga mengamini
penentuan nilai substansi subyek sebagimana adanya, yakni berdasarka ‘subject’s
action’. Kedua aliran ini tentu saja sangat bertentangan dengan aliran romantisme
yang mengemukakan bahwa subyek akan menerima simbolisme tinggi, idealis,
dan bahkan perlakuan yang supernatural yang tidak hanya membebaskan ciptaan
9
dari keterbatasan kodratnya, melainkan juga mengangkatnya ke tingkatan hidup
baru yang memungkinkan mengatasi kodratnya sendiri.
Karya sastra naturalisme seringkali menampilkan bahasa yang vulgar dan
kasar, atau mengambil latar kondisi yang kumuh sebagai bagian penting dari
cerita. Emile Zola, pencetus naturalisme dalam sastra, secara terang-terangan
menggunakan pesimisme yang dipadukan dengan kejujuran (baca: vulgar) dan
seksualitas secara terang-terangan untuk menceritakan keadaan dunia yang
sebenarnya. Penganut naturalisme juga mengadopsi penjabaran secara detail
bagaimana ketegangan-ketegangan konflik dibangun dalam suatu narasi. Walcutt
(1956: 24) mengemukakan pendapat bahwa dalam naturalisme yang diterapkan
pada sastra, manusia dan alam adalah (tanpa rasio) merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisahkan, sangat kompleks, sehingga tidak ada suatu cara untuk
memahami makhluk-makhluk ini dalam keadaannya baik secara utuh maupun
bagian-bagian, termasuk juga tidak ada cara untuk memahami dalam
hubungannya dengan alam dan sekitarnya sebagai wujud materi.
Naturalisme diakui sebagai cerminan dalam materialisme. Materialisme
memandang bahwa hakekat yang sebenarnya itu bersifat wujud atau benda
(physic). Naturalisme secara lugas menyuguhkan gambaran pemandangan alam
beserta penghuninya dalam prinsip realitasnya. Dalam perkembangan dari
prisnsip tersebut, kemudian lahirlah pola pengetahuan yang hanya mengakui
kenyataan sebagai prinsip kebenaran hakiki, yang kemudian disebut sebagai
realisme.
10
Selanjutnya Walcutt mempertegas definisi dari realisme sebagai suatu
aliran yang berpendirian bahwa pengetahuan manusia itu adalah gambaran yang
baik dan tepat dalam kaca pandang kebenaran pengetahuan yang baik, sehingga
kebenaran dapat tergambarkan seperti yang sesungguh-sungguh keberadaannya
(Walcutt, 1956: 11-6).
Dalam pengertian ini, prinsip alam mewakili eksistensi kebendaan yang
dapat dikenali secara alamiah oleh daya tangkap yang melekat pada kemampuan
pancaindera manusia. Dalam genre sastra, muatan fenomena lingkungan alam
yang menjadi latar ditampilkan dengan penuh rasa estetika oleh manusia (pshyce)
yang memuja keberadaannya. Semua pengertian akan dikorelasikan denga realitas
yang ada dalam rangka memberikan penghargaan terhadap alam yang dianggap
memiliki kontribusi besar dalam kehidupan transendetal manusia. Hal ini
menjelaskan pola bahwa manusia tidak akan pernah lepas dari problematika yang
disebabkan oleh alam, meskipun manusia juga memiliki kemampuan dan
kekuatan untuk mempertahankan, mengatasi alam. Satu yang tidak dapat
dilakukan oleh manusia adalah mengendalikan alam. Keterbatasan kapasitas
manusia karena ketidakabadian (immortality) jasmani yang melingkupinya
kadang menimbulkan unsur skeptis terhadap apa yang membahagiakan dan indah
dalam hidup karena ketidakmampuan mewujudkannya, yakni naturalisme
(Walcutt, 1956:11- 6)
Materialisme dikatakan sebagai suatu hasil alami dari pengingkaran
terhadap roh manusia yang sadar. Hal ini memperjelas bahwa fakta dalam jagat
fisik dalam kesejarahan manusia secara mutlak bergantung dan dikendalikan oleh
11
hal-hal yang bersifat fisik dan memiliki relasi dengan hal-hal eksternal/sosial.
Locke beranggapan bahwa budi manusia adalah “tabula rasa” yang tidak memiliki
hakekat keberadaannya sendiri. Hal tersebut kemudian berfungsi sebagai bahan
baku bagu kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial yang tentu saja dapat dibentuk
dan direkayasa. Darwin, Marx, Santayana, Watson, Huxley, Gould, Dawkins, dll
menegaskan bahwa manusia ditentukan oleh lingkungannya yang kemudian
menjadi faktor-faktor kuat di luar kontrol kesadarannya. Semua ini sangat
bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa manusia adalah
makhluk yang bertanggungjawab, yang mana pertanggungjawabannya akan
dilakukan di hadapan Tuhan (Li, 1996: 44).
Penulis yang menganut aliran naturalisme biasanya menekankan prinsip
alamiah, yaitu pemikiran yang dipengaruhi oleh ideologi darwinian untuk
menunjukkan asal mula manusia. Dalam Darwin dikatakan bahwa manusia adalah
puncak pencapaian metamorfose binatang yang dihasilkan dari interaksinya
dengan alam. Primata, nenek moyang manusia (menurut Darwin), memiliki
insting mempertahankan hidup (survival) dengan melakukan adaptasi terhadap
lingkungan di mana ia berada. Primata tersebut selanjutnya mengalami tahap
perkembangan perilaku yang tidak hanya mampu bertahan hidup, namun juga
mengelola dan bahkan mengendalikan hidupnya. Inilah yang kemudian oleh
Darwin disebut sebagai manusia. Para naturalis, selanjutnya, juga menyikapi sisi
kehidupan yang lain, misalkan kekacauan, kebingungan, ketidakberdayaan, dan
hal-hal yang buruk dalam hidup dengan memberikan gambaran-bambaran nyata
kodrati manusia. Mereka memandang manusia sebagai makhluk yang dapat
12
dikontrol dan didominasi oleh faktor-faktor eksternal, sehingga akhirnya mudah
jatuh ke jurang kenistaan dan mustahil untuk bertobat atau memperbaiki diri. Hal
yang demikian seringkali memposisikan manusia sebagai makhluk yang skeptis.
Kisah-kisah yang diulas para naturalis tersebut memperlihatkan bahwa manusia
semakin jauh dari cita-cita mulia karena keterbatasan dan kelemahannya
(Mitchell: 25-35).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa naturalisme merupakan suatu
aliran yang di dalamnya meragukan atau bahkan pesimis kemampuan manusia
untuk melakukan perlawanan terhadap apa yang terjadi pada dirinya.
Ketidakberdayaan dan keputusasaan adalah sesuatu yang akan terjadi dalam
kehidupan manusia.
Pandangan tersebut memiliki pengaruh yang besar dalam kekaryaan
Steinbeck. Cerita-cerita yang diangkat selalu menggambarkan kenyataan yang
sesungguhnya kondisi masyarakat Amerika pasca The Great Depression.
Rekaman-rekaman peristiwa yang ia alami dikomunikasikan ke dalam kisah-kisah
dengan kedalaman pemaknaan yang sukses menasbihkan dia sebagai salah
seorang sastrawan naturalis terkemuka di Amerika.
The Pearl adalah salah satu karya Stinbeck yang inspirasinya diambil dari
sebuah dongeng rakyat di California yang didengarnya semasa kecil. Novel The
Pearl menceritakan problematika hidup nelayan pencari mutiara Indian miskin
bernama Kino. Kino memahami konsep hidup bersama alam sebagaimana yang
dipegang oleh leluhur Indian. Permasalahan dimulai ketika anak Kino, Coyotito,
tersengat kalajengking dan terancam tewas. Kino berusaha mencari pertolongan
13
kepada seorang dokter dari ras kulit putih. Stereotipikal masyarakat Indian yang
diwakili oleh Kino membawanya pada serangkaian peristiwa diskriminatif. Kino
yang putus asa berharap menemukan mutiara (sebagai upaya satu-satunya) dan
menjualnya untuk mendapatkan uang supaya anaknya mendapatkan pengobatan.
Tidak disangka, Kino menemukan mutiara dengan ukuran yang sangat besar, The
Pearl of The Ocean”, yang kemudian menjadi harapan terbesarnya untuk
melepaskan diri dari ketertindasan dan diskriminasi tersebut.
Dari kilasan singkat tentang isi novel tersebut, The Pearl merupakan karya
yang ‘tidak biasa’ dari karya-karya Steinbeck sebelumnya. Sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya, Steinbeck adalah seorang sastrawan naturalis
Amerika yang terkemuka. Apabila disandingkan dengan novel-novelnya yang
lain, penggunaan kata pearl atau mutiara jelas berbeda dengan tulisan-tulisan
Steinbeck yang sebelumnya yang lebih identik dengan penggunaan sisi negatif
manusia sebagai cerminan aturalisme. In Dubious Battle misalkan, Steinbeck
menceritakan perjuangan seorang Jim dalam mengorganisasi dan menggerakkan
pemogokan para pemetik apel di California sebagai protes atas pemotongan upah
dan buruknya jaminan kesejahteraan bagi kaum buruh tersebut. Hingga kematian
Jim, penindasan dari sang majikan terhadap kaum buruh ini masih tetap
berlangsung. Dalam
The Grape of Wrath mengisahkan tentang perjalanan Tom Joad setelah
keluar dari penjara, keluarganya telah pergi karena mereka tidak mampu
membayar hutang kepada bank. Tom Joad akhirnya memutuskan untuk mencari
tempat tinggal yang baru. Namun, di tempat baru tersebut ia menemukan
14
kenyataan bahwa kehidupan yang lebih baik sebagaimana harapannya malah
menjelaskan kengerian-kengerian. Tempat baru tersebut sudah dipenuhi oleh
pekerja migran. Kelangkaan makanan dan lowongan kerja menimbulkan konflik
permusuhan antara penduduk lokal dan pendatang. Novel ini bahkan pernah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Amarah5. Dalam Of Mice
and Men, karakter dua tokoh yang sangat kontras antara George Milton yang
berperawakan kecil memiliki kecerdasan luar biasa dan Lennie Small yang tinggi
besar namun berpemikiran selayaknya anak kecil, diramu menjadi sebuah cerita
perjalanan mencari kebahagiaan yang juga tidak memiliki akhir yang happy
ending. Novel ini juga menceritakan sisi-sisi kebinatangan yang sebenarnya
menjadi bagian alamiah manusia.
Berbeda dengan novel-novel tersebut, Steinbeck menggunakan pearl atau
mutiara sebagai judul yang memungkinkannya menjadi penanda utama.
Sebagaimana diketahui, mutiara adalah benda yang dapat diartikan sebagai simbol
kemewahan atau kesejahteraan. Kepemilikan mutiara melekat pada orang-orang
yang berkelimpahan materi dan bergelimangan harta. Adalah menarik untuk
meneliti novel ini mengingat bukan ciri Steinbeck untuk menggunakan metafor
yang berkaitan atau identik sesuatu yang bersifat materi. Dengan demikian,
penelitian ini dimungkinkan dapat melihat lebih jauh kesetiaan Steinbeck terhadap
aliran naturalisme yang sudah melekat dalam dirinya.
5 The Grape of Wrath diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono ke dalam Bahasa Indonesia oleh
Sapardi Djoko Damono menjadi dua buku berjudul Amarah 1 dan Amarah 2. Terjemahan ini
diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 1999.
15
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar pada penjelasan pada latar belakang, novel The Pearl tidak selesai
sebagai teks estetis yang hanya merepresentasikan pengalaman-pengalaman
estetis imajinatif, namun juga merupakan wujud komunikasi pengarang melalui
tanda. Keberbedaan The Pearl dengan novel-novel Steinveck sebelumnya
menarik untuk dikaji dan diteliti. Dengan menggunakan latar peristiwa tegaangan
konflik antara ras Indian dan kulit putih pada novel The Pearl, pernyataan
penelitian yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1. Makna tanda-tanda diskriminasi dalam novel The Pearl sebagai refleksi
dari naturalisme.
2. Posisi novel The Pearl dalam naturalisme di Amerika
1.3 Tujuan penelitian
Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu membawa perubahan,
setidaknya pengetahuan baru sebagai capaian. Penelitian ini menempatkan karya
sastra sebagai obyek yang dapat diteliti secara ilmiah dan metodologis. Oleh
karena itu penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan praktis dan tujuan
teoretis.
Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk memahami terapan keilmuan
teori semiotika Umberto Eco terhadap karya sastra. Teori ini dipilih dengan
pertimbangan sebagai alat yang paling tepat untuk menelaah kedalaman obyek
material, yaitu Novel The Pearl. Adapun tujuan praktis dari penelitian ini adalah
memberikan pengayaan pemahaman bahwa novel The Pearl sebagai produk
16
estetis ternyata juga mampu memediasi komunikasi pengarang dan pembaca
sehingga berkaitan dengan pesan yang terkandung di dalamnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sebuah penelitian seharusnya dilakukan setelah melakukan pembacaan
terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan, baik secara formal
maupun material. John Ernst Steinbeck adalah seorang penulis besar Amerika
yang karyanya memiliki kedalaman dalam menangkap fenomena-fenomena dalam
masyarakat. Oleh karena itu, karyanya sangat diminati oleh berbagai kalangan
dengan beragam penelitian. Sejauh pembacaan yang dapat dijangkau, ada
beberapa penelitian yang telah dilakukan terhadap novel The Pearl karya John
Steinbeck.
Tesis berjudul “Men and Wealth In John Steinbeck’s Tortilla Flat And The
Pearl” yang ditulis oleh Uus Martinus Kamajaya Al Katuuk (UGM 1991)
melakukan perbandingan terhadap dua novel Steinbeck sebagaimana tercantum
dalam judul penelitiannya. Penelitian ini berfokus pada pencarian keterhubungan
ide Steinbeck dengan kedua karya tersebut. Dengan menelusuri latar belakang
kesejarahan Steinbeck, Katuuk menganalisis narasi kedua novel tersebut
menggunakan dua teori dasar penelitian sastra yang dikemukakan oleh Abrams
dalam bukunya Glossary of Literary Terms, yakni sociological approach dan
psychological approach. Dalam kesimpulannya, Katuuk menguraikan temuan
tentang kematian tokoh Dany dalam Tortilla Flat sebagai sebuah keputusasaan
tokoh Danny yang secara mental tidak berterima dengan perubahan kondisinya
17
dari miskin menjadi kaya. Ia mengatakan bahwa kekayaan tersebut telah
memenjarakan kebebasan Danny, “wealth makes him lose his freedom” (Katuuk:
1991).
Dalam The Pearl, Katuuk menyimpulkan bahwa kekayaan memiliki
kekuatan. Penelitiannya terhadap perilaku tokoh dalam novel tersebut menemukan
bahwa kekayaan memiliki kaitan dengan apapun yang bersifat materi, bahwa
kekayaan mampu menjadi racun dalam kehidupan siapapun. Dari kedua
perbandingan tersebut, Katuuk bersepakat bahwa hero dalam novel Steinbeck
digambarkan menjadi korban dari antagonisme yang ternyata berkuasa lebih
dominan.
Penelitian kedua terhadap novel The Pearl dilakukan oleh Anna Sriastuti
(UNDIP, dengan judul Pemaknaan Mutiara Dalam Novel The Pearl Karya John
Steinbeck: Sebuah Pendekatan Semiotika. Dalam penlitian ini, Sriastuti
menggunakan konsep semiotika dan sosiologi sastra untuk menemukan
keterhubungan mutiara dengan perubahan sosial masyarakat dalam novel tersebut.
Dalam kesimpulannya Sriastuti mengatakan bahwa mutiara tersebut menjadi awal
dari semua konflik yang terjadi dalam novel The Pearl.
Temuan ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Rahmi Mona Putri (Unand,
2008) yang berjudul Commodification By Bourgeeoisie as Seen In John
Steinbeck’s The Pearl: A Marxist Study. Penulis dalam penelitian ini membedah
tentang sejenis aksi dalam bidang ekonomi yang dalam kajian Marxisme dikenal
dengan istilah komodifikasi yang merupakan salah satu dampak dari sistem
kapitalisme di Meksiko pada tahun 1930an. Tahun 1930 masih dipengaruhi oleh
18
periode realisme di mana para penulis lebih cenderung terbuka dan blak-blakan
dalam merefleksikan keadaan dan situasi yang sebenarnya kedalam karya sastra,
salah satunya di bidang ekonomi. Dalam hal ini, penulis lebih memfokuskan
analisa dalam sudut pandang Marxisme dengan membahas komodifikasi (tindakan
menilai suatu barang bahkan manusia berdasarkan nilai tukar yang dimilikinya)
yang dilakukan oleh kaum borjuis terhadap kaum proletar (pekerja) yang
terefleksi di dalam novel The Pearl karya John Steinbeck. Penulis menggunakan
metode kepustakaan dengan mengumpulkan informasi dan data dari berbagai
buku dan jurnal. Analisa penulisan tesis ini menggunakan metode kualitatif yang
diuraikan secara deskriptif. Dalam menganalisa dampak kapitalisme di dalam
novel, penulis menggunakan pendekatan kritik sastra Marxisme dengan memakai
terminologi komodifikasi. Akhirnya penulis menemukan adanya hal-hal
terselubung dibalik proses komodifikasi yang memberikan dampak negatif
terhadap kaum proletar, dalam hal ini masyarakat Indian. Hal-hal tersebut adalah
determinasi ekonomi dan ideologi kapitalis . Kedua hal ini memacu tindakan
komodifikasi dan menyebabkan adanya pemujaan terhadap komoditi secara
berlebihan. Selain itu, kaum proletar sebagai kaum tertindas sebagaimana yang
terefleksikan di dalam novel hanya bisa menyerah pada keaadaan ketidakadilan
dalam masyarakat yang mereka alami di bawah kekuasaan kaum borjuis.
Penelitian berikutnya adalah skripsi tentang analisis tokoh dalam novel-
novel karya Steinbeck oleh Zita A. Iswarini W (UI) berjudul Penokohan dalam
novel 'The Grapes of wrath', 'Of mice and men', dan 'The Pearl' menunjang
Steinbeck dalam mengeritik masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an.
19
Skripsi ini menunjukkan bahwa Steinbeck menggunakan tokoh-tokoh dengan
penokohan-penokohan tertentu untuk mengkritik masyarakat Amerika tahun
1920-an dan 1930-an. Tiga buah novel dari sejumlah novel Steinbeck yang dipilih
sebagai data adalah The Grapes of Wrath, Of Mice and Men, dan The Pearl.
Analisis dilakukan dengan menggunakan pendekatan intrinsik dengan meneliti
unsur tokoh dan pendekatan ekstrinsikdengan pendekatan sosiologis. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah bahwa tokoh-tokoh yang terdapat dalam ketiga novel
tersebut di atas selain digunakan untuk menyampaikan kritik Steinbeck terhadap
masyarakat Amerika tahun 1920-an dan 1930-an juga merupakan perwujudan dari
masyarakat Amerika saat itu.
Temuan berikutnya adalah artikel dalam sebuah jurnal online berjudul A
Portrayal Of Functions Of “Have” In John Steinbeck’s Novel “The Pearl”6.
Artikel ini membahas fungsi “Have” yang bertujuan untuk mengklasifikasi jenis-
jenis fungsi penggunaan “Have” dalam pembentukan kalimat pada novel tersebut,
seperti Full verb, Auxiliary verb, Causative verb, Special usage yang mencakup
Inversion, noun, idiom, dll. Penelitian ini kemudian menjelaskan cara memahami
arti dari kata “Have” yang memiliki lebih dari satu arti misalnya mempunyai atau
memiliki, jika, sudah, harus, meminta atau menyuruh, melahirkan, sakit atau
menderita, dan makan. Penulis mengoptimalkan penelusuran internet dan
6 (A Portrayal Of Functions Of “Have” In John Steinbeck’s Novel “The Pearl” research
Gate. Available from: http://www.researchgate.net/publication/42354880 A Portrayal Of
Functions Of Have In John Steinbecks Novel The Pearl [diakses pada tanggal 8 Agustus
2015].)
20
pencarian data-data dari perpustakaan untuk mendapatkan informasi seputar
pembahasan tersebut.
Tulisan dalam sebuah jurnal internasional berjudul Steinbeck’s The Pearl
as Marxist Critique of Capitalism (International Journal of Humanities and Social
Science Vol. 2 No. 4 [Special Issue - February 2012] merupakan tinjauan pustaka
selanjutnya. Dalam jurnal ini dikatakan bahwa sejak awal penciptaan hingga
berakhirnya dunia, manusia telah dibagi dalam kelas-kelas yang berbeda.
Perkembangan intelektualitas adalah cerminan jaman pada saat mereka hidup,
meskipun dapat dianggapkan bahwa akan selalu ada dua dikotomi, yakni optimis
dan pesimis. Pada kenyataannya, meskipun ada dua hal ini manusia harus
bersepakat dan mengakui bahwa mereka akan membangun suatu peradaban
tertentu bersama-sama. Lebih lanjut dikatakan bahwa pada peradaban jaman batu,
konflik kelas sudah mulai muncul melalui perbedaan ketersediaan puing batuan
yang akan disusun menjadi rumah tinggal. Yang berkuasa akan mendapatkan
puing atau runtuhan batu yang lebih bagus daripada yang tersubordinasi. Hal ini
melahirkan konflik kelas. Pola ini selanjutnya diarahkan ke dalam terma yang
lebih mutakhir dengan pernyataan bahwa dunia kapitalis tidak memberikan nilai
apapun kecuali harta. Perbedaan posisi karena tidak dapat menempati lahan yang
sama, mengalami persoalan yang berbeda mengarahkan adanya pola-pola kapitalis
meskipun masih sangat tradisional dan tidak terukur.
Novel The Pearl karangan John Steinbeck selanjutnya dikatakan sebagai
kritik terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat kecil La Paz yang terletak di
ujung Semenanjung Baja. Seluruh cerita dari novel ini menjelaskan perbedaan
21
antara si kaya dan si miskin. Secara singkat digambarkan kenyataan bagaimana
sekelompok kecil masyarakat kapitalis (kaya) melakukan kontrol dan eksploitasi
masyarakat miskin dengan menerapkan sistem kapitalisme sosial, bahwa
semuanya bisa dinegosiasikan jika ada materi. Dengan menyandingkan kedua
kelas yang berbeda tersebut, ciri utama konflik kelas adalah ciri utama dari
kapitalisme. Lebih lanjut dikatakan bahwa Marxisme lahir sebagai penjembatan
ketidakseimbangan kelas dalam masyarakat tersebut.
Dalam kesimpulannya, The Pearl adalah novel Steinbeck kritik
kapitalisme Marxis. Steinbeck yang pernah meraih penghargaan nobel sastra
menjajarkan dua kelas kontrastif, kapitalis dan proletar dalam novel tersebut di
mana kaum kapitalis menggunakan kuasa materialnya untuk mengeksploitasi si
miskin; pertama kaum miskin tidak sadar kalau mereka dieksploitasi, kedua pola
itu diterima sebagai sesuatu yang lumrah dan mentradisi, ketiga kemiskinan
membuat mereka berada dalam ketidakberdayaan. Dalam kesimpulan paling
akhir, dijelaskan bahwa pertentangan ini akan bermuara pada dua pilihan;
ekploitasi akan terhenti sebagai sebuah keberhasilan dan masyarakat miskin akan
lenyap atau hilang sebagai bentuk kegagalan.
Selain temuan penelitian terhadap novel The Pearl, berikut akan
dipaparkan penelitian-penelitian yang dilakukan dengaan menggunakan objek
formal semiotika Umberto Eco. Temuan pertama adalah tesis berjudul Film
Musikal Generasi Biru: sebuah Tinjauan Semiotika Umberto Eco oleh Raras
(UGM, 2010). Penelitian ini membahasa wujud tanda-tanda, makna tanda, dan
pesan dalam film Generasi Biru. Penelitian ini menguraikan temuan tanda-tanda
22
yang berwujud tulisan-tulisan, ilustrasi musik, dan segala perilaku berupa olah
tubuh. Dalam kesimpulannya Raras mengungkapkan makna film ini sebagai
harapan-harapan masyarakat Indonesia untuk keluar dari keterpurukan, sementara
pesannya adalah bahwa film Generasi Biru adalah pesan penyemangat dan pesan
moral.
Penelitian kedua adalah “Iluminasi Naskah Melalui Karya M. Bakir
Koleksi PNRI: Tinjauan Semiotika Umberto Eco” oleh Chalida Nuraulia
Aisyanarni (UGM 2013). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah
bagaimana ragam iluminasi, dan makna motif iluminasi dalam naskah koleksi M.
Bakir tersebut. Untuk menjawab permasalahnnya, Aisyanarni menempatkan
semiotika Umberto Eco untuk mengungkap makna motif dalam iluminasi naskah
tersebut yang (menurutnya) non-verbal. Dalam kesimpulannya, ia menjelaskan
ringkasan dari makna-makna motif tersebut dalam ranah filologis.
Penelitian ketiga adalah Makna Beragam Tanda dalam “The Great
Gastby” Karya F. Scott Fitzgerald: Kajian Semotika Umberto Eco oleh Maria
Vincentia Eka Mulatsih (UGM, 2013). Penelitian ini berfokus pada analisis tanda-
tanda konsumerisme dalam novel The Great Gatsby. Mulatsih menggambarkan
dampak indistrialisasi di Amerika telah menyebabkan meknanisasi efisiensi guna
mengurangi biaya produksi. Pekerja dikurangi dan jam kerja ditaambah sehingga
ada dari mereka yang kehilaangaan pekerjaan dan ada pula yang mendapatkan
bayaran yang lebih. Masalah ini kemudian menimbulkan surplus produksi
sehingga perusahaan melakukan sistem pengiklanan secara luas dan menerapkan
sistem bayar kredit. Hal ini memicu terjadinya konsumsi secara masal.
23
Pola konsumsi ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola hidup
masyarakat Amerika kala itu, mereka menjadi boros dan sangat konsumeris.
Mencermati struktur novel The Great Gatsby, Mulatsih menyimpulkan bahwa
konsumerisme yang ada dalam novel tersebut memiliki makna lain yang tidak
hanya dimaknai secara permukaan semata, akan tetapi mencerminkan sikap
Fitzgerald dalam mengkritisi pola konsumerisme yang seolah menjadi ideologi di
negaranya, yakni Amerika.
Penelitian selanjutnya adalah kajian filologis terhadap sebuah ritual
dengan judul “Makna Tradisi Ritual Dhammong: Sebuah Tinjauan makna
Berdasarkan Konsep Semiotika Umberto Eco”. Dalam penelitian ini, ritual
Dhammong (sebuah upacara adat Madura) diposisikan sebagai satu bentuk yang
terdiri dari persenyawaan tanda-tanda yang memiliki keterikatan makna.
Nurhasannah berpendapat bahwa ketika diposisikan sebagai entitas tunggal, ritual
ini memiliki eksistensi dalam unit kulturalnya. Di akhir penelitiannya, Ritual
Dhammong dipilah menjadi tiga tahap pemaknaan berdasarkan bentuk, yaitu:
teks, gerakan, dan sesajen.
Dari beragam tinjauan di atas, jelas diketahui bahwa kajian ini berbeda
dengan kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini membahas
keragaman tanda dalam novel The Pearl sebagai alat komunikasi berdasarkan
kerangka semiotika Umberto Eco.
24
1.5 Landasan Teori: Semiotika Umberto Eco
Dengan menempatkan bahwa bidang kajian semiotika meliputi segala
sesuatu yang dapat dipandang sebagai tanda (Eco, 1976: 7), maka novel adalah
salah satu hasil pemikiran dalam suatu kebudayaan tertentu yang dapat diteliti
sebagai obyek semiotika. Eco menjelaskan bahwa tanda adalah segala sesuatu
yang dapat dipakai secara signifikan sebagai pengganti sesuatu yang lain (1976:
7).
Hal pokok yang dikaji dalam semiotika adalah proses kultural sebagai
proses komunikasi yang berlandaskan sistem signifikansi (Eco, 76:8). Lebih
lanjut, proses komunikasi adalah perpindahan sebuah sinyal dari sumber ke
tujuan. Ketika tujuan tersebut adalah manusia sebagai penerima yang merangsang
respon interpretatif dalam diri manusia tersebut, terjadilah proses signifikansi
(Eco, 1976:8).
Dari penjelasan di atas, karya satra menjadi media komunikasi antara
pengarang dengan pembaca melalui kalimat-kalimat yang digunakan dalam
narasinya. Dalam proses pemaknaannya, pembaca melakukan proses signifikasi
dengan menangkap frasa atau kata sebagai suatu kode. Kode menurut Eco adalah
seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-
tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat
dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Semiotika
signifikansi tidak terikat dengan semiotika komunikasi, dan sebaliknya semiotika
komunikasi tidak mungkin lahir jika tidak ada semiotika signifikansi (Eco, 1979:
70). Dalam hal ini Steinbeck mengkomunikasikan maksudnya melalui kata-kata
25
dan kalimat-kalimat yang harus diperlakukan sebagai kode untuk diinterpretasi
dengan melakukan proses signifikansi.
Eco menjelaskan tentang kode dengan menggunakan simulasi tanda
bahaya dalam air di waduk. Dengan menempatkan suatu sensor tertentu di waduk,
ketika air mencapai level bahaya maka sensor tersebut berfungsi sebagai alat
pengirim sinyal informasi yang kemudian diterima oleh suatu alat tertentu yang
akan mengubahnya menjadi elemen-elemen berbentuk garis dan kemudian
bermakna pesan bagi sang penerima. Di sini waduk berfungsi sebagai sumber
informasi. Dalam proses pengiriman pesan dari sumber ke penerima/tujuan,
serangkaian proses yang dimulai dari pengirim hingga tujuan disebut sebagai
kode.
Lebih lanjut Eco mengatakan bahwa ketika sebuah kode membagi elemen-
elemen sistem penyampaiannya menjadi elemen-elemen sistem yang ia
sampaikan, yang pertama akan menjadi ekspresi dari yang kedua dan yang kedua
akan menjadi isi yang pertama:
A B
Ekspresi Isi
Ketika sebuah ekspresi dikaitkan dengan sebuah sebuah isi, maka lahirlah apa
yang disebut sebagai fungsi tanda. Dengan demikian isi tidak akan ada jika tidak
ada sesuatu yang mewakilinya, yaitu ekspresi. Secara spesifik Hjemselv
mengatakan bahwa tanda digunakan sebagai nama unik yang terdiri dari bentuk-
isi (content-form) dan bentuk ekspresi (form-expression) dan terbentuk
kesalingterkaitan yang dapat disebut sebagai fungsi tanda (Eco, 1976: 70).
26
Dengan masih menggunakan model pintu air, Eco menjelaskan bahwa
penelitian harus memiliki batasan pengamatan yakni pengamatan internal. Hal ini
dimaksudkan bahwa sang peneriman harus memiliki pengetahuan yang tepat
sehingga pemahaman tentang kode tidak berubah. Tawaran telaah tanda-tanda
yang digunakan adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Kontinum (rangkaian) kemungkinan-kemungkinan fisik sebagai bahan
baku yang menjadi sumber berbagai elemen yang dapat digunakan sebagai
alat ekpresif
b. Sarana-sarana ekspresif berupa token-token yang merepresentasikan a.
c. Suatu sistem posisi-posisi kosong, suatu struktur yang menjadi dasar bagi
token utuk memperoleh sifat posisional dan oposisionalnya
d. Token dan posisi-posisi/struktur kosong tersebut dipilih sebagai bidang
ekspresif dari suatu bidang isi
Dalam model ini, kondisi faktual Amerika menjadi sumber informasi yang
kemudian dipilah-pilah informasinya yang bersesuaian dengan fakta-fakta yang
muncul dalam novel The Pearl sebagai kemungkinan poin a) atau poin b).
Dengan demikian, maka (a) sebuah kode membentuk korelasi antara suatu
bidang ekspresif (dalam aspek yang formal dan sistematis) dan suatu bidang isi
(b) suatu fungsi tanda mengkorelasikan elemen abstrak dengan sistem ekspresi
dan elemen abstrak sistem isi (c) dengan cara ini, suatu kode membentuk tipe-tipe
umum, dan oleh karena itu, memproduksi kaidah yang melahirkan token-token
konkret, yaitu tanda-tanda seperti yang biasanya muncul dalam proses komunikasi
27
(d) kedua kontinum tersebut merepresentasikan elemen-elemen yang mendahului
korelasi semiotik (eco, 67:178).
Dengan menandai bahwa suatu kode tertentu menjadi titik tolak ranah
interpretasi signifikansi, transformasi penandaan dalam model transmisi kode
pada pola pintu air tadi, suatu signifikansi muncul dari signifikansi sebelumnya,
yakni dari A menjadi A’ meskipun masih tetap bersandar pada A. Dalam hal ini
terjadilah apa yang dinamakan sebagau keterangkatan kode yang oleh Hjemselv
disebut sebagai semiotika konotatif (Eco, 1979: 79).
Semiotika konotatif akan ada manakala ada semiotika yang bidang
ekspresifnya adalah semiotika yang lain. Yang membentuk sebuah konotasi
adalah kode konotatif yang mendasarinya; sedangkan ciri kode konotatif adalah
fakta bahwa signifikansi kedua dan seterusnya secara konvensional bersandar
pada signifikansi pertama. Dengan demikian, konotasi bukanlah sesuatu yang
menyimpang atau tak berdasar sama sekali, melainkan ia merujuk pada
signifikansi pertama, yakni makna denotatifnya. (79)
Secara tegas Eco mengatakan adanya tingkatan pemaknaan denotasi
maupun konotasi;
The difference between denotation and connotation is not (as many
authors maintain) the difference between ‘univocal’ and ‘vague’
signification, or between ‘referential’ and ‘emotional’ communication,and
so on. What constitutes a connotation as such is the connotative code
which establishes it; characteristic of a connotative code is the fact that
the further signification conventionally relies on a primary one (Eco,
1976: 55).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang membentuk konotasi adalah
kode konotasinya. Ciri kode konotatif adalah bahwa signifikansi kedua dan
28
seterusnya secara konvensional bersandar pada signifikansi pertama. Jelas bahwa
menurut Eco konotasi bukanlah sesuatu yang kabur, namun berlandaskan
signifikansi pertama atau makna denotatif. Lebih lanjut Eco menjabarkan
denotasi-konotasi sebagai berikut;
a. Sebuah denotasi adalah sebuah unit kultural atau properti semantis dari
ebuah sememe yang pada saat bersamaan juga merupakan properti dari
referen-referen yang sudah dikenali secara kultural;
b. Sebuah konotasi adalah unit kultural atau properti semantis dari sebuah
sememe yang disampaikan oleh denotasinya dan belum tentu
berkorespondensi dengan referennya yang dikenali secara kultural.
Berdasarkan pembacaan tersebut, pemaknaan atau signifikansi
pertama/denotasi wajib dilakukan unutk menemukan pemaknaan selanjutnya,
yakni konotasi. Berkaitan dengan posisi kode sebagai dasar untuk melakukan
proses signifikansi, pluralitas kode dapat bekerja secara vertikal dan horizontal.
Horizontal adalah ketika penerima mendekode keseluruhan ungkapan dengan
merujuk pada suatu kode, dan kemudian mendekode paruh kedua ungkapan
tersebut pada kode lain. Vertikal adalah ketika adanya penambahan sejumlah level
signifikansi pada kode pertama yang menjadi dasar (Eco, 1976: 57-58). Ada
empat fenomena dalam kode tersebut yakni;
a. Sistem sintaksis: sekumpulan sinyal yang diatur oleh hukum
kombinasi internalnya sendiri
b. Sistem semantik; serangkaian pengertian (notions) atau isi,
c. Serangkaian respon-respon behavioral yang mungkin di pihak tujuan.
29
d. Sistem kaidah penggabungan beberapa item di sistem a) dengan
beberapa item di sistem b) atau c) (Eco, 1976:36-37)
Pemaknaan denotatif terkait isi dilakukan secara internal dengan kondisi
faktual sebagai sumber informasi yang bersesuaian dengan tanda-tanda dalam
novel The Pearl yang merupakan aplikasi dari poin a) dan poin b). Sitem kode
tersusun dari serangkaian elemen terbatas yang disusun secara berlawanan dan
dibentuk berdasarkan kaidah kombinasional yang dapat melahirkan rangkaian-
rangkaian elemen ini secara terbatas maupun tidak terbatas. Dalam disiplin-
disiplin ilmu sosial, sistem tersebut nyaris selalu dianggap atau dipakai dalam
rangka menunjukkan bagaimana satu sistem dapat memberitahukan seluruh atau
sebagian sistem lain yang setipe dengannya yang hingga pada titik terakhir
berkaitan dengan yang pertama dan sebaliknya, membentuk salah satu ranah
fungsi korelasional) disebut kode (Eco, 1976: 36-37).
Denotasi adalah dasar dari sebuah wahana-tanda yang dapat dipahami
sebagaimana yang dimaksudkan pengirim. Namun konotasi-konotasi yang
berbeda-beda dapat dilekatkan pada wahana-tanda itu karena si penerima
mengikuti jalan lain di pohon komposisional yang dirujuk si pengirim (Eco,
76:139). Informasi pesan ini hanya direduksi oleh si penerima ketika dia sudah
memilih suatu intrepretasi tertentu (Eco, 76:139). Jika keadaan membantu peneliti
untuk memilih subkode-subkode mana yang dapat digunakan untuk menjernihkan
pesan, ini berarti bahwa peneliti dapat mengubah isi pesan tersebut dengan
bertindak dalam keadaan tempat di mana pesan tersebut dapat diterima.
30
Eco mengungkapkan bahwa denotasi menjelaskan hubungan ekspresi dan
isi bersifat langsung, mengacu pada realitas. Sementara itu konotasi menjelaskan
hubungan antara ekspresi dan isi yang bermakna tidak langsung, bersandar pada
signifikansi pertama. Eco (1976: 70) mengasumsikan bahwa setiap denotasi
sebuah wahana-tanda (unit semantis yang ditempatkan di sebuah ruang tertentu
dalam sebuah sistem semantik) sudah pasti merupakan interpretannya, suatu
konotasi adalah interpretan denotasi yang mendasarinya, dan konotasi selanjutnya
adalah interpretan konotasi yang mendasarinya pula.
Ilustrasi penjelasan tersebut adalah sebagai berikut; kata /mawar/
interpretan pertamanya adalah ‘bunga mawar’. Interpretan /mawar/ adalah
denotasi berupa definisi ilmiah, yaitu ‘tanaman perdu beraneka ragam berwarna
warni, seperti merah, putih, merah jambu, merah tua, dan lain-lain’. Selanjutnya
makna konotasi definisi itu adalah ‘indah’, yang dapat memunculkan makna
konotasi berikutnya misalnya ‘cinta’. Makna yang terakhir tersebut dibatasi oleh
konteks budaya masyarakat bahwa mawar identik dengan keindahan dan
pengungkapan perasaan cinta.
Hubungan komunikatif, dalam hal ini novel, lebih mengarah pada pesan
estetis yang disampaikan pengarang sebagai proses pengkodean bahwa kode
estetis merupakan hasil dari kode konvensional dan pesan inovatif. Pesan baru
dapat menciptakan kode estteis yang baru dan dapat menegasikan kode umum
yang telah ada. Suatu karya dapat melengkapi dan mentransformasi kode:
Eco describes the aesthetic code as the resut of a dialectics between the
(conventional) code and the innovative message (1968: 162-166). By their
innovative character, aesthetic messages infringe the rules of their genre
and thus negate the code. But at the same time, the new messaeg creates a
31
new aesthetic code: “Every work [of art] upsets the code but at the same
time strengthens it, too: [...] by violating it, the work comletes and
transforms the code” (ibid.:163) (Noth, 90:427).
Mengenai teks estetis sebagai tindak berkomunikasi, Eco menyebutkan bahwa
membaca sebuah produk artistik berarti: (i) menginduksi, yaitu menarik kaidah
umum dari kasus-kasus individual; sekaligus mengabduksi (ii), yaitu mengecek
kode yang lama dan yang baru menggunakan hipotesis; sekaligus berarti (iii)
mendeduksi, yaitu mengecek apakah yang telah diketahui pada satu level dapat
menentukan peristiwa artistik lain di level yang lain. Maka di seluruh bentuk
inferensi ini bekerja serentak (Eco, 76:275).
Pemahaman teks estetis guna menguak tanda lebih jauh dijabarkan oleh
Eco bahwa pemahaman tersebut didasarkan pada dialektika antara penerimaan
dan pengingkaran kode-kode pengirim di satu sisi dan pengenalan penolakan atas
kode-kode personal di lain sisi (76:275). Hal ini memungkinkan terjadinya
tegangan sebagai proses negosiasi makna antara pengarang dengan pembaca
berdasarkan pengetahuan personalnya. Mesipun begitu, ada satu landasan
konvensi yang sama sehingga meskipun terjadi perbedaan, interpretasi pembaca
meskipun berbeda bukan berarti melawan maksud pengarang sepenuhnya.
Penerima mencoba mengira-ngira dengan data-data estetisnya (yang mungkin
sama dengan yang dimiliki pengarang) sehingga ia mendapatkan
interpretasi/penafsiran yang hampir benar dengan apa yang dimaksudkan
pengarang, sehingga terjadilah dalam pembacaan interpretatif apa yang disebut
dialektika antara kepatuhan dan kebebasan inventif (Eco, 76:412). Definisi
32
semiotik sebuah teks estetis memberikan model yang telah terstruktur pada sebuah
proses komunikasi yang belum terstruktur (Eco,76:276).
Pembacaan konsep teori Eco ini kemudian diekstraksi menjadi pokok-
pokok acuan yang akan digunakan dalam membedah novel The Pearl, yaitu:
pertama, konsep keterhubungan antara konotasi terhadap denotasi adalah jelas
dan bukan sesuatu yang kabur. Kedua, sistem kode merupakan serangkaian
elemen terbatas menanungi satu topik yang dapat dikorelasikan sehingga
penerima dapat mengaitkan pemaknaan antar tanda secara lebih dinamis, dan
ketiga adalah bahwa dialektika penerimaan kode-kode pengirim memungkinkan
adanya interpretasi-interpretasi.
1.6 Metode Penelitian
Poedjawinata (dalam Faruk, 2012:23) menyatakan bahwa pengetahuan
yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan, cara perolehan
pengetahuan atau metode penelitian itu harus sesuai dengan kenyataan adanya
obyek yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang disebut sebagai kodrat
keberadaan obyek itu. Kenyataan adanya obyek itu dinyatakan oleh konsep, teori,
dan pengertian-pengertian yang terkandung di dalam hipotesis dan juga variabel-
variabel yang ditentukan atas dasarnya. Lebih lanjut Faruk (2012: 22) mengatakan
bahwa untuk menguji hipotesis yang merupakan hasil deduksi teoretik, diperlukan
data-data empirik yang diperoleh secara induktif yang kemudian harus dianalisis
sehingga ditemukan hubungan antar-data yang dianggap merepresentasikan
hubungan antar-fakta sebagaimana dinyatakan dalam teori dan hipotesis. Oleh
33
karena itu, dua tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah
pengumpulan data dan analisis data.
1.6.1. Metode Pengumpulan Data.
Data dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Metode kualitatif dalam
pengumpulan data ini diartikan sebagai suatu metode penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan (Moleong, 1989:2). Bodgan dan Taylor (melalui
Meleong, 1989:3) mendefinisikan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Penelitian
dengan menggunakan data kuantitatif adalah penelitian yang berlandaskan
fenomenologi dan paradigma konstruktivisme dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan (Ikbar, 2012:146). Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Moleong (dalam Ikbar, 2012: 146) terdapat sebelas karakteristik,
yaitu: menggunakan latar ilmiah, menggunakan manusia sebagai instrumen
utama, menggunakan metode kualitatif (pengamatan, wawancara, atau studi
dokumen) untuk menjaring data, menganalisis secara induktif, menyusun teori.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pengumpulan data kualitatif dengan
mengadakan studi dokumen.
Pada pengumpulan data, data yang digunakan berupa data primer dan
sekunder. Data primer berupa kalimat-kalimat yang ada dalam novel The Pearl
yang diperoleh dengan menggunakan pembacaan dekat terhadap objek material.
Selain tu, penulis juga akan menggunakan data sekunder berupa sumber-sumber
referensi tertulis (buku, makalah, jurnal, laporan penelitian, skripsi, dan lain
34
sebagainya) yang memiliki kaitan dengan novel The Pearl secara keseluruhan
yang dapat membantu mencapai tujuan penelitian ini.
1.6.2 Metode Analisis Data
Setelah melakukan pengumpulan data, penulis akan melakukan analisis data
dengan menggunakan cara kerja teori Umberto Eco, dengan konsep analsis
revisian. Eco menjelaskan bahwa denotasi adalah isi dari sebuah ekspresi dan
konotasi adalah isi dari fungsi tanda. Kode dimaknai sebagai seperangkat aturan
atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda bisa
dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari
seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Mengenai teori kode, Eco (2009: 81)
selanjutnya menegaskan bahwa teori kode semestinya lebih banyak berurusan
dengan bagaimana menentukan sampai manakah keterangkatan kode konotasi bia
dimungkinkan. Dengan kata lain bahwa sebuah fungsi-tanda terus berpotensi
untuk menghasilkan konotasi-konotasi lain. Untuk sampai pada makna konotasi
tersebut, penulis menggunakan analisis revisian. Model revisian ini bertujuan
untuk memasukkan seluruh konotasi yang telah terkodekan dan bergantung pada
denotasi serta terkait pada seleksi kontekstual dan keadaan dalam representasi
semantis.
Setelah melakukan tahapan analisis konotatif, peneliti akan
menghubungkan konotasi tersebut dengan pemaknaan baru dari kode utama,
dalam hal ini mutiara, untuk menemukan arti dari teks yang sudah diinterpretasi.
Dengan demikian diharapkan lamngkah kerja teori ini mampu menjawab
35
pertanyaan penelitian. Sehingga, terapan teori Umberto Eco tepat untuk
diterapkan dalam penelitian ini.
1.7 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman, penelitian ini dibagi menjadi empat
bab dengan titik fokus tersendiri. Bab I, sebagaimana tulisan ilmiah lainnya,
merupakan awalan yang berisi pendahuluan. Adapun pendahuluan membicarakan
pembahasan kritis dan topikal tentang posisi karya sastra dikaitkan dengan
fenomena yang terjadi di Amerika. Hal tersebut menjadi permulaan munculnya
rumusan masalah berupa pertanyaan penelitian berkaitan dengan kebaruan dan
pemilihan teori dan metodologi yang tepat untuk mencapai tujua penelitian.
Bab II, sesuai dengan ancangan penelitian akan membahas naturalisme
dalam sastra Amerika, dan prinsip kesetaraan sebagai dasar filosofi. Fenomena
terjadinya praktik-praktik diksriminatif di Amerika juga akan dipaparkan di sini
untuk dijadikan sebagai marka denotatif sesuai dengan tuntutan teori yang
digunakan, yakni Teori Semiotika Umberto Eco.
Bab III merupakan analisis kritis terhadap semua data yang berkaitan
dengan fenomena dalam novel The Pearl. Bab ini akan membahas makna
denotasi dan makna konotasi yang direpresentasikan oleh novel The Pearl
sekaligus membuktikan asumsi tentang pesimisme yang dimaksudkan oleh John
Steinbeck. Bab terakhir adalah Bab IV yang akan memberikan kesimpulan sebagai
hasil akhir penelitian. Bab ini akan menegaskan kembali hasil-hasil analisis dalam
bab pembahasan. Dalam bab ini juga akan disajikan catatan-catatan kritis