Post on 10-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali sebagai salah satu pulau diantara 17.504 pulau yang ada di Indonesia
(Dirjen Perikanan Budidaya, 2005 dalam Netra 2006), selama ini dikenal sebagai
pengembangan pariwisata budayanya. Investor kepariwisataan tertarik untuk
berinvestasi di Bali dengan harapan akan mendapat manfaat yang besar di masa
yang akan datang.
Investasi di bidang pariwisata tidak hanya membawa dampak positif akan
tetapi juga membawa dampak negatif. Dampak perubahan terjadi pada struktur
sosial, budaya, ekonomi masyarakat maupun pada kualitas lingkungan. Pengaruh
negatif struktur sosial masyarakat di sekitarnya yang mungkin terjadi adalah
perilaku dan atau kebiasaan yang bersifat negatif seperti perjudian, kebiasaan
minum-minuman keras dan pola hidup konsumtif yang bisa mendorong
masyarakat lokal menjadi lebih konsumtif. Bila hal tersebut tidak didukung oleh
perubahan kemampuan daya beli masyarakat lokal akan menyebabkan
kecemburuan sosial yang pada akhirnya bisa menyebabkan ketidak harmonisan
(konflik sosial) antara warga di sekitarnya (Inca, et al, 2010).
Dampak negatif lainnya adalah terjadinya kecemburuan sosial terhadap
posisi dan tempat-tempat berjualan di sekitar tempat berkembangnya pariwisata.
Akibat pemilikan lokasi penjualan, ada yang termasuk strategis dalam
pengembangan pariwisata, ada juga yang kurang menguntungkan bagi pemilik
2
usaha, sehingga dikhawatirkan dalam jangka panjang akan terjadi konflik, jika
tidak diatur secara baik oleh pengelola wisata.
Adanya alih fungsi lahan juga merupakan dampak negatif yang tidak dapat
dihindari. Menurut Lestari (2009) alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Pengembangan pariwisata di Bali Selatan, yaitu di daerah kutuh tepatnya
di pantai pandawa berdampak kepada menurunnya jumlah petani rumput laut.
Karena berdasarkan Keputusan Bupati Badung Nomor 1699/02/HK/2011 tentang
penetapan kawasan Minapolitan di Kabupaten Badung yang meliputi pantai
Kutuh, pantai Geger dan pantai Sawangan adalah untuk pengembangan Rumput
Laut. Penetapan kawasan ini diharapkan mempunyai fungsi utama ekonomi yaitu
sentra produksi, pengolahan, pemasaran komoditas, pelayanan jasa.
Sebelum pengembangan pariwisata di Pantai Pandawa kegiatan
masyarakatnya adalah sebagian besar bekerja di laut yaitu dengan membentuk
kelompok kerja yang disebut kelompok tani rumput laut. Hasil wawancara di
lapangan menunjukkan bahwa jumlah kelompok tani ruput laut sebelumnya
adalah sebanyak 25 kelompok. Hingga kini sisanya masih sekitar 5 kelompok
yang tetap bertahan di usaha pertanian rumput laut. Sedangkan yang lain
semuanya sudah beralih profesi menjadi pedagang (kuliner), pedagang pakaian,
pedagang pernik-pernik lain (penunjang pariwisata).
3
Perpindahan pekerjaan ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya
adalah sebagai berikut: 1) kendala dari segi bibit. Bibit rumput laut yang selama
ini dikembangkan sekarang tidak bisa tumbuh lagi di pantai tersebut, 2) semakin
banyak ikan baru yang hidup di pantai pandawa yang diyakini memakan dan
merusak bibit-bibit yang ada, 3) kelompok tani rumput laut merasa sudah tidak
mampu melawan alam, sehingga tidak bergairah lagi untuk pengembangkan
rumput laut, 4) semakin banyaknya wisatawan yang berkunjung ke pantai
pandawa akibat dibukanya akses jalan menuju pantai sehingga membuka peluang
bagi petani untuk berusaha di bidang pariwisata. Sehingga petani rumput laut
akhirnya beralih haluan dari pertanian ke pariwisata.
Berdasarkan hasil pemantauan dan wawancara dengan petani rumput laut
yang masih bertahan, petani menyatakan bahwa sesungguhnya petani masih tetap
ingin bekerja pada sektor ini, tetapi karena kendala bibit, alam bawah laut yang
tidak lagi bersahabat, menyebabkan semangat kerjanya semakin menurun, dan ini
juga yang menjadi alasan petani rumput laut lainnya lebih tertarik untuk beralih ke
sektor pariwisata. Disisi lain perkembangan pariwisata juga merupakan salah satu
kendala sulitnya petani untuk berusaha di pantai pandawa, karena pantai juga
digunakan sebagai kegiatan pariwisata kano, pinggir pantai digunakan untuk
menjual jasa tenda, sehingga petani benar-benar tidak bisa menggunakan pantai
ini untuk berusaha di bidang pertanian rumput laut. Petani yang masih bertahan di
usaha rumput laut punya alasan karena disamping usia, petani juga masih tetap
punya penghasilan menanam rumput laut, meskipun lebih sulit dari segi bibit dan
pengelolaan rumput laut yang ada sekarang.
4
Perbandingan hasil petani rumpu laut dengan hasil pengembangan
pariwisata adalah bagi petani rumput laut yang masih tetap bekerja sebagai petani,
pendapatan per bulan rata-rata adalah sebesar Rp 5.000.000,00. Sedangkan
pendapatan masyarakat yang beralih sebagai pedagang yaitu rata-rata sebesar
Rp 3.000.000,00 kotor per bulan yang berada di lokasi yang tidak strategis.
Sedangkan yang berada pada lokasi yang baik (di depan) pendapatan per bulan
rata-rata sekitar Rp 6.000.000,00 sampai Rp 7.000.000,00. Berdasarkan hasil
perbandingan tersebut, sesungguhnya pendapatan atara petani yang masih tetap
bertahan dan petani yang sudah beralih ke usaha-usaha penunjang pariwisata
memiliki pendapatan yang tidak jauh berbeda. Ini juga merupakan alasan bagi
petani yang masih tetap bertahan di usaha rumput laut.
Berdasarkan data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali Tahun
2013 nampak bahwa volume ekspor dari tahun ke tahun mengalami penurunan
akibat dari semakin berkurangnya produksi rumput laut. Tahun 2004 ekspor
mencapai 84,00 ton dan terus mengalami penurunan hingga Tahun 2007 menjadi
1,80 ton. Tahun 2008 bahkan tidak ada ekspor, dan Tahun 2010 nilai ekspor naik
menjadi 20,58 ton, tetapi menurun Tahun 2011 menjadi 5,08 ton, dan bahkan
sejak Tahun 2012 hingga kini ekspor rumput laut sudah tidak ada.
Produksi rumput laut Provinsi Bali selama lima tahun yaitu sejak Tahun
2009 sampai dengan tahun 2013 data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi
Bali Tahun 2013 adalah sebagai berikut: Tahun 2009 sebanyak 135.810 ton,
Tahun 2010 sebanyak 132.640 ton, Tahun 2011 sebanyak 141.863 ton. Tahun
2012 sebanyak 144.168 ton, dan Tahun 2013 sebanyak 145.597 ton. Data
5
produksi selama lima tahun nampak berfluktuasi dan bahkan dua tahun terakhir
yaitu Tahun 2012 dan 2013 produksi rumput laut hanya cukup untuk memenuhi
kebutuhan Indonesia saja, karena tidak ada ekspor yang dilakukan pada Tahun
2012 dan 2013.
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa prospek pengembangan rumput
laut masih sangat baik. Oleh karena itu sudah saatnya di masa yang akan datang
pembangunan pertanian harus menggunakan prinsip Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development) (Sutjipta, 2008). Pembangunan berkelanjutan menurut
Sutjipta (2008) adalah: 1) pembangunan dengan memperhatikan kelestarian
lingkungan hidup, 2) pembangunan dengan pemanfaatan sumber daya alam
(SDA) secara bijaksana, 3) pembangunan dengan menyeimbangkan antara
produksi dan kebutuhan konsumsi, 4) pembangunan penanggulangan kemiskinan,
5) pembangunan dengan perbaikan mutu sumber daya manusia (SDM) dan
pemberdayaan yang optimal SDA dan SDM dan 6) pemanfaatan kemajuan
teknologi yang semakin maju.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang: “Dampak Perkembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Usaha Tani
Rumput Laut di Desa Kutuh, Kuta Selatan, Kabupaten Badung”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
6
1. Bagaimanakah kondisi usahatani pertanian rumput laut di Desa Kutuh
Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung?
2. Bagaimanakah perkembangan pariwisata di Desa Kutuh Kecamatan Kuta
Selatan Kabupaten Badung?
3. Bagaimanakah dampak perkembangan pariwisata terhadap keberlanjutan
Usahatani Rumput Laut di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten
Badung?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui kondisi usahatani pertanian rumput laut di Desa Kutuh
Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung.
2. Mengetahui perkembangan pariwisata di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan
Kabupaten Badung.
3. Mengetahui dampak perkembangan pariwisata terhadap keberlanjutan
Usahatani Rumput Laut di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten
Badung.
1.4 Manfaat Penelitian
Isu sinergitas pembangunan pariwisata dan pertanian di Bali menjadi
sangat menarik dibahas dalam kajian-kajian ilmiah. Melalui penelitian ini penulis
berharap dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap keberlangsungan
pembangunan pertanian seiring dengan pesatnya perkembangan pariwisata di
7
daerah Bali Selatan. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat
sebagai berikut.
1. Memperkuat atau mendukung teori–teori yang sudah ada tentang
perkembangan pariwisata dan teori tentang keberlanjutan usahatani
rumput laut.
2. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang
memiliki keinginan yang sama untuk meneliti tentang usaha rumput laut atau
bagi peneliti lainnya yang ingin meneliti topik yang sama di tempat lain,
atau meneliti topik yang berbeda di tempat yang sama di wilayah Pantai
Pandawa, Kabupaten Badung.
3. Berdasarkan penelitian ini diharapkan usahatani rumput laut sebagai salah satu
usaha pertanian berkelanjutan, juga sebagai salah satu sumber petani rumput
laut dapat terus bertahan di tengah-tengah pengembangan pariwisata Pantai
Pandawa di Desa Kutuh, Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
4. Dapat digunakan sebagai referensi oleh pemerintah, dalam upaya untuk
mencari bibit-bibit baru yang dapat dikembangkan di Pantai Pandawa di Desa
Kutuh, Kuta Selatan, Kabupaten Badung, disesuaikan dengan situasi dan
kondisi lingkungan alam saat ini.
5. Berdasarkan penelitian ini akan dapat diketahui dampak dari berkembangnya
pariwisata terhadap keberlanjutan usahatani rumput laut di Desa Kutuh, Kuta
Selatan, Kabupaten Badung.