Post on 03-Dec-2015
description
Laporan Kasus
LUKA BAKAR
Oleh
dr. Harnalia Pohan
Pembimbing
dr. Feria Kowira
RSUD Dr. Agoesdjam
Ketapang
2015
BAB I
KASUS
A. IdentitasNama : Tn. DJenis kelamin : Laki-lakiUsia : 26 tahunAlamat : ketapang Agama : IslamPekerjaan : swasta Tanggal masuk RS : 11-09-2015
B. AnamnesisKeluhan Utama : Luka bakar pada wajah, leher kiri, tungkai atas kiri dan tungkai bawah kanan dan kiri sejak 15 menit SMRS.
Riwayat penyakit sekarang :Pasien datang dengan keluhan terkena rebusan yang berisi air dan minyak rebusan sop saat
sedang bekerja di dapur tanpa sengaja menyenggol panci tersebut yang mengenai muka dan kaki tangannya 15menit SMRS. Pingsan saat kejadian (-) Pasien mengeluh kesakitan dan dibawa ke RSUD Agoesdjam.
Riwayat penyakit dahulu:Penyakit jantung, paru, asma, dan alergi disangkal.Riwayat penyakit keluarga:Penyakit jantung, asma, dan alergi disangkal.Riwayat pemberian obat:Belum diobati luka bakarnya hanya di siram air.Riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidupBekerja swasta
C. Pemeriksaan Fisik Primary surveyAirway : BebasBreathing : spontan, 19x/ menitCirculation : tekanan darah 130/80 mmHg, N = 88x/menit, teratur, kedalaman cukup, akral hangat
Secondary surveyKepala : bentuk normocephalWajah : luka bakar di wajah dan leher bagian kiriRambut : warna hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabutMata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dan pupil isokor 4mm/4mmTHT : kelainan (-), edema (-)
Paru : simetris, fremitus ka=ki, vesikuler +/+, rhonki (-/-), wheezing (- /-)Jantung : BJ I-II murni, murmur (-), gallop (-)Abdomen : Datar, lemas, NT (-), BU (+) normalEkstremitas : akral hangat, edema (-)BB : 50 kg
Status LokalisKepala : 0 %Muka-Leher : 4,5 % grade II superficialTrunkus anterior : 0 %Trunkus posterior : 0 %Ekstremitas atas dextra : 4,5 % grade II deep bulae pecahEkstremitas bawah dextra : 9 % grade II superficial bulae (+)Ekstremitas bawah sinistra : 9 % grade II superficial, bullae (+)
D. Pemeriksaan LaboratoriumPemeriksaan darah rutin dan kimia klinikHb: 14,8 g/dlEritrosit : 5,30 Juta/ulLeukosit : 13.500/ulTrombosit : 375.000/ulHematokrit : 44,4%GDS : 121 mg/dlSGOT : 35 IUSGPT : 30 IUUreum : 23 mg/dlKreatinin : 0,6 mg/dl
E. DiagnosisCombustio grade II-III dengan luas 27%
F. Terapi- IVFD RL 5400 ml
o Dalam 8 jam pertama dengan 2700 ml jumlah tetesan 112 tetes permenit
o Dilanjutkan dengan 2700 ml 56 tetes permenit untuk 16 jam berikutnya
- Ceftriaxone 2 x 1 gr- Ketorolac 3 x 30 mg- Ranitidin 2 x 1 gr- Injeksi ATS 1500 U (ST)/IM
Monitoring resusitasi- Urin (0,5-1 cc/kgBB/jam) = 25-50 cc/ jam.
- Rencana : o UPF Bedah
o Perawatan Luka
o Konsul ke bagian gizi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Win de Jong, luka bakar adalah luka yang terjadi karena
terbakar api langsung maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dan matahari, listrik, maupun
bahan kimia.
Luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api baik langsung maupun tidak
langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api
atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan
rumah tangga.
2.2. Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas kepada tubuh. Panas
dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi elektromagnetik. Kulit dan mukosa saluran nafas atas
merupakan lokasi destruksi jaringan. Jaringan yang dalam, termasuk organ visera, dapat mengalami
kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama dengan agen penyebab (burning agent).
Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas beberapa jenis penyebab ;
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena bahan kimia
3. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
4. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.
5. Luka bakar karena air panas, tungku panas, udara panas
6. Luka bakar karena ledakan bom.
2.3. Patofisiologi
Akibat pertama luka bakar adalah syok hipovolemi dan neurogenik. Pembuluh kapiler yang
terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak
sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan
bula yang mengandung banyak elektrolit.
Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka
bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula
yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Mekanisme utama akibat luka listrik adalah sebagai berikut:
1. Energi listrik menyebabkan kerusakan jaringan langsung, mengubah potensial sel membran
istirahat, dan tetany memunculkan otot.
2. Konversi energi listrik menjadi energi panas, menyebabkan kerusakan jaringan besar dan
nekrosis coagulative.
3. Cedera mekanis dengan trauma langsung akibat jatuh atau kontraksi otot kekerasan.
Faktor-faktor yang menentukan derajat cedera termasuk besarnya energi yang disampaikan,
resistensi dari jaringan yang kontak dengan arus listrik, jenis arus, jalur arus, dan lamanya kontak.
Efek sistemik dan kerusakan jaringan secara langsung proporsional dengan besarnya arus yang.
Sengatan listrik diklasifikasikan sebagai tegangan tinggi (> 1000 volt) atau tegangan rendah
(<1000 volt). Sebagai aturan umum, tegangan tinggi dikaitkan dengan morbiditas dan kematian yang
lebih besar, meskipun cedera fatal dapat terjadi pada tegangan rendah. Tubuh memiliki tahanan yang
berbeda-beda. Secara umum, jaringan dengan cairan yang tinggi dan mengandung banyak elektrolit
mampu mengkonduksi listrik lebih baik. Tulang memiliki tahanan paling tinggi. Sedangkan jaringan
saraf memiliki tahanan paling rendah, dan bersama-sama dengan pembuluh darah, otot, dan selaput
lender juga memiliki tahanan yang rendah terhadap listrik.
Kulit memberikan tahanan “intermediate” dan merupakan faktor yang paling penting
menghambat aliran arus. Kulit adalah resistor utama terhadap arus listrik, dan derajat resistensi
ditentukan oleh ketebalan dan kelembaban. Ini bervariasi dari 1000 ohm untuk kulit tipis lembab
untuk beberapa ribu ohm untuk kulit kapalan kering.
Jalur arus menentukan jaringan yang berisiko dan apa jenis cedera yang dihasilkan. Arus listrik
yang melewati kepala atau dada lebih mungkin menghasilkan luka fatal. Arus transthoracic dapat
menyebabkan aritmia fatal, kerusakan jantung langsung, atau pernapasan. Transcranial arus dapat
menyebabkan cedera otak langsung, kejang, pernapasan, dan kelumpuhan.
Cedera electrothermal mengakibatkan edema jaringan. Meningkatnya permeabilitas kapiler
akibat terpajan suhu tinggi menyebabkan terjadinya perpindahan cairan yang berasal dari jaringan
interstisial yang mengawali terjadinya edema yang akan menghasilkan sindrom kompartemen.
Ekstremitas adalah struktur yang paling sering terlibat untuk pengembangan sindrom kompartemen.
Sindrom kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan interstitial pada
kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal normal yang
menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler dan nekrosis jaringan
lokal akibat hipoksia. Ketika tekanan dalam kompartemen melebihi tekanan darah dalam kapiler dan
menyebabkan kapiler kolaps. Pertama-tama sel akan mengalami oedem, kemudian sel akan berhenti
melepaskan zat-zat kimia sehingga menyebabkan terjadi oedem lebih lanjut dan menyebabkan
tekanan meningkat.Aliran darah yang melewati kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti. Terjadinya hipoksia menyebabkan sel-sel akan melepaskan
substansi vasoaktif yang meningkatkan permeabilitas endotel. Dalam kapiler-kapiler terjadi
kehilangan cairan sehingga terjadi peningkatan tekanan jaringan dan memperberat kerusakan disekitar
jaringan dan jaringan otot mengalami nekrosis.
Gejala klinis yang umum ditemukan pada sindroma kompartemen meliputi :
1. Pain : Nyeri pada pada saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena.
2. Pallor : Kulit terasa dingin jika di palpasi, warna kulit biasanya pucat.
3. Parestesia : Biasanya terasa panas dan gatal pada daerah lesi.
4. Paralisis : Diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan sendi.
5. Pulselesness : Berkurang atau hilangnya denyut nadi akibat adanya gangguan perfusi arterial.
Selain itu panas yang dihasilkan oleh arus listrik akan merusak sarkolemma pada otot rangka dan
melibatkan kebocoran cairan intraseluler (myoglobin, creatinin kinase, kalium, fosfat dan asam urat)
dalam jumlah besar ke dalam plasma. Hal ini yang disebut rhabdomyolysis. Pada orang dewasa,
rhabdomyolysis mempunyai 3 ciri khas yaitu kelemahan otot, myalgia dan urin yang berwarna
kecoklatan gelap. Namun ketiga karakter ini terkadang jarang muncul bersamaan. Myoglobin hasil
dari kerusakan sel otot akan masuk ke aliran darah dan masuk ke ginjal. Myoglobin ini mudah
melewati glomerulus dan mudah di eksreksikan ke urin (myoglobinuria). Dengan demikian, terjadi
pengendapan mioglobin dalam tubulus ginjal yang akan mengakibatkan gagal ginjal akut.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas,
seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi
urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan mukosa jalan napas
karena gas, asap atau uap panas yang terisap.
Edema laring yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga. Setelah 12-24 jam,
permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke
pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang
baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena
daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini
membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan
kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya
karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat invasi
kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila
penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi
penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok
sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital,
misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar
derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara
estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila
terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus
menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena
kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faal yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak
peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat dan cedera
termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang menjadi Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu berlanjut dengan Mutli-system
Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi karena gangguan perfusi jaringan yang
berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses perbaikan
perfusi (sirkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.
2.4. Pembagian Luka Bakar
Kriteria Berat Ringannya luka bakar dapat dipakai ketentuan berdasarkan American
Burn Association, yaitu sebagai berikut:
1. Luka bakar Ringan Luka bakar derajat II < 15% Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak Luka bakar derajat III< 2%
2. Luka Bakar Sedang Luka bakar derajat II 15-25% pada orang dewasa Luka bakar II 10-25% pada anak-anak Luka bakar derajat III< 10%
3. Luka Bakar Berat Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak Luka bakar derajat II 10% atau lebih Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan genitalia/perinerium Luka bakar dengan cedera inhalasi, disertai trauma lain.
2.5. Klasifikasi
2.5.1. Derajat Luka Bakar
Angka survival pasien berkaitan dengan faktor-faktor berikut ini : ukuran/kedalaman
luka, usia, ada tidaknya luka inhalasi, dan faktor komorbid pasien. Kedalaman luka bakar
umumnya dibagi dalam derajat.
Klasifikasi dari derajat luka bakar yang banyak digunakan di dunia medis adalah jenis
"Superficial Thickness", "Partial Thickness" dan "Full Thickness" dimana pembagian tersebut
didasarkan pada kedalaman luka bakar. Pengklasifikasian luka ini digunakan untuk panduan
pengobatan dan memprediksi prognosis. Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar
tergantung pada derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh
penderita.
Dalam Luka / Derajat
Jaringan Rusak
Klinis Tes Jarum Waktu Sembuh
Hasil
I Epidermis -sakit-merah-kering
Hiperalgesi
7 hari Normal
II.Dangkal
II.Dalam
-sebagian dermis. Folikel rambut dan kel keringat utuh
-hanya kel keringat utuh
-sakit-merah /kuning-basah-bula
idem
Hiperalgesi atau normal
Hipoalgesi
7-14 hari
14-21 hari
Normal, pucat berbintik
Pucat,depig-mentasi, rata, mengkilat, rambut(-), sikatrik hipertrofi
III Dermis seluruhnya
-tidak sakit-putih, coklat, hitam-kering
Analgesia > 21 hari Sikatrik hipertrofi
2.5.2. Luas Luka Bakar
Dikarenakan formula resusitasi berdasarkan berat badan dan persentasi luas permukaan tubuh
total, pasien harus ditimbang dan diperkirakan derajat luka bakarnya. Untuk mengukur luas
permukaan tubuh yang terbakar menggunakan “rule of nine”, dimana setiap regio anatomi yang
spesifik menggambarkan 9-18% dari luas permukaan tubuh. Area dari telapak tangan dan jari-jari
tangan digambarkan 1% dari luas permukaan tubuh seseorang.
Bayi dan anak-anak memiliki distribusi luas permukaan tubuh yang berbeda dengan dewasa,
dimana kepala yang lebih besar dan ekstermitas yang lebih pendek. Ketika memperkirakan luas
permukaan tubuh untuk anak usia dibawah 10 tahun menggunakan diagram Lund and Browder.
2.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Semua luka bakar didiagnosa berdasarkan temuan pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan
laboratorium.
Gejala Klinis yang didapatkan pada pasien luka bakar antara lain :
1. Keracunan Karbon Monoksida (CO) : Ditandai dengan kekurangan oksigen dalam darah, lemas
binggung, mual, muntah, koma bahkan meninggal
2. Distress pernafasan : Ditandai dengan sesak, dan ketidakmampuan menangani sekresi
3. Cedera Pulmonal : Ditandai dengan pernafasan cepat atau sulit, krakles, stridor, dan batuk
4. Gangguan hematologik : Tanda yang ditemukan adalah kenaikan hematokrit, leukosit
meningkat, penurunan trombosit
5. Gangguan elektrolit : Tanda yang ditemukan adalah penurunan kalium, kenaikan natrium dan
klorida, serta kenaikan BUN
6. Gangguan ginjal : Tanda yang ditemukan adalah peningkatan keluaran urine dan mioglobinuria
7. Gangguan metabolik : Tanda yang ditemukan adalah hipermetabolisme dan kehilangan berat
badan
Khusus untuk luka bakar dengan trauma inhalasi adalah terdapat gejala seperti sesak napas,
takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap (jelaga). Kecurigaan adanya trauma inhalasi
bila pada penderita luka bakar terdapat 3 atau lebih dari keadaan berikut :
1. Riwayat terjebak dalam rumah/ ruangan terbakar
2. Sputum tercampur arang
3. Luka bakar perioral, hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran.
5. Tanda distress napas, rasa tercekik, tersedak, malas bernapas dan adanya
6. Wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan (iritasi mukosa)
7. Gejala distress napas/takipnea
8. Sesak atau tidak ada suara.
Pada pasien luka bakar juga dilakukan pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
Pemeriksaan tambahan khusus untuk luka bakar inhalasi merupakan:
1. Kadar karboksihemoglobin (COHb)
Pada trauma inhalasi, kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah 3 jam dari kejadian, kadar
COHb pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3 jam kejadian
menunjukkan adanya bukti kuat terjadi trauma inhalasi.
2. Gas Darah
PaO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50%, FiO2 = 0,5)
mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat
meningkat pada fase lanjut.
3. Foto Toraks
biasanya normal pada fase awal
4. Bronkoskopi Fiberoptik
Bila terdapat sputum berarang, edema mukosa, adanya bintik – bintik pendarahan dan ulserasi
5. Tes Fungsi paru
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Penanganan Prehospital
Perhatian utama di lokasi kecelakaan adalah menghentikan proses pembakaran.
Pembakaran dan pakaian yang membara harus dipadamkan. Kemudian seperti dengan semua
pasien trauma, perhatian utama selama penilaian awal adalah pemeliharaan fungsi
kardiopulmonari.Patensi jalan nafas dan kecukupan ventilasi harus dijaga dan pemberian
oksigen tambahan yang diperlukan. Jika tidak adanya trauma mekanik yang terkait atau
kebutuhan untuk resusitasi kardiopulmonari, penempatan kanula intravena tidak diperlukan
jika transportasi ke fasilitas pengobatan dapat dicapai dalam waktu kurang dari 45 menit.
Penerapan es atau air dingin membasahi akan menghilangkan rasa sakit pada daerah luka
bakar derajat dua. Jika terapi dingin dimulai dalam waktu 10 menit dari pembakaran,
kandungan jaringan panas juga berkurang, dan kedalaman kecederaan termal dapat
berkurang. Jika terapi dingin digunakan, perawatan harus diambil perhatian untuk
menghindari hipotermia. Air dingin atau es hanya boleh digunakan pada pasien dengan luka
bakar kurang dari 10% dari permukaan tubuh dan pada waktu hanya untuk memproduksi
analgesia. Setelah es atau air dingin rendam dialihkan, pasien harus ditutup dengan kain
lembaran bersih dan selimut untuk melestarikan panas tubuh dan meminimalkan kontaminasi
luka bakar selama transportasi ke rumah sakit.
Pada pemeriksaan yang akan dilakukan penderita diwajibkan memakai sarung tangan yang
steril, bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita luka bakar dapat pula mengalami
trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma abdomen dengan adanya internal bleeding
atau mengalami patah tulang punggung / spine. Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini
penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma
inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta
ditanyakan penyakit – penyakit yang pernah di alami sebelumnya.
Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka bakar sedang atau ringan. Luka
bakar ditentukan luas luka bakar dengan menggunakan Rule of Nine. Kemudian kedalaman
luka bakar ditentukan dengan derajat kedalaman luka bakar.
2.7.2. Penanangan Intrahospital
Penanganan awal pada pasien luka bakar
Perawatan ada luka bakar dimulai dari tempat kejadian. Pasien harus dipisahkan dari
sumber kebakaran.Pemeriksaan awal fisik pada pasien yang terbakar harus focus pada
penilaian jalan nafas, evaluasi status hemodinamik, menentukan luas bagian yang terbakar
dan menilai dalamnya luka. Penilaian langsung dari jalan nafas selalu menjadi prioritas
utama. Terdapat penilaian dan penilaian sekunder pada pasien luka bakar, yaitu :
Penilaian Primer
A. Penanganan Airway dengan kontrol cervical
Menstabilisasi leher untuk kecurigaan fraktur cervical
Penting untuk mempertahankan jalan nafas yang paten. Menginspeksi jalan nafas apakah
ada benda asing ataupun edema. Jika pasien tidak dapat merespon kepada perintah verbal,
buka jalan nafasnya dengan chin lift dan jaw thrust.
Menjaga pergerakan cervical agar kepala tidak hiperfleksi dan hiperekstensi
Memberi Guedel jika terdapat hambatah jalan nafas. Pertimbangkan mengenai intubasi
segera.
B.Breathing dan ventilasi
Memberikan oksigen 100%
Melihat pergerakan dada dan memastikan ekspansi dada adekuat.
Mempalpasi apakah adasnya krepitasi ataupun fraktur rusuk
Mengauskultasi suara pernafasan
Memberikan ventilasi dari nasal ataupun sungkup ataupun intubasi bila perlu
Monitor laju pernafasan, perhatikan apabila laju <10 atau >20 per menit.
Memasangkan pulse oximeter
Mempertimbangkan adanya keracunan karbon monoksida.
C.Sirkulasi (Circulation)dengan kontrol perdarahan
Menginspeksi apakah ada perdarahan dan hentikan dengan tekanan langsung
Monitor dan mencatat denyut nadi perifer, kuat/lemah dan iramanya
Melakukan capillary blanching test ,normalnya kembali dalam 2 detik.
Monitor sirkulasi perifer apakah ada luka bakar sirkumferensial. Pertama-tama
mengangkat tungkai untuk mengurangi edema dan membantu aliran darah.
D.Disability : Status Neurologis
Memeriksa derajat kesadaran
Memeriksa respon pupil terhadap cahaya untuk reaksi dan ukuran
Memperhatikan apakah ada penurunan kesadaran – hypoxaemia, intoksikasi CO, syok,
alkohol, obat-obatan dan pengaruh analgesik.
E.Exposure dengan kontrol lingkungan
Melepas semua pakaian dan perhiasan
Menjaga agar pasien tetap hangat
Hipotermia dapat memberikan efek yang buruk terhadap pasien. Penting untuk menjaga
agar pasien tetap hangan , terutama ketika penanganan pertama pada periode
pendinginan.
Log roll pasien, melepas lapisan yang basah dan menilai bagian posterior tubuh apakah
terdapat luka bakar ataupun cedera lainnya.
F. Resusitasi Cairan (Fluid Resuscitation)
Resusitasi cairan diperlukan oleh pasien yang mempunyai luka bakar >10% untuk anak
anak dan >15% untuk dewasa
Estimasi daerah yang terkena luka bakar mengunakan rumus Rule of Nines.
Menginsersi 2 buah IV line pada daerah yang tidak terkena luka bakar
Menentukan berat badan pasien
Memberikan resusitasi cairan dengan rumus Modified Parkland Formula dan
menyesuaikannya dengan urine output.
Jika urine output 0,5 mL/kg/jam naikkan cairan IV 1/3 dari total cairan . Jika urine output
> 1mL/kg/jam pada orang dewasa atau >2ml/kg/jam pada anak-anak, kurangi cairan IV
1/3 dari total cairan .
Penilaian Sekunder
1. Telah menyelesaikan penilaian primer dan penilaian awal trauma
2. Melakukan evaluasi head to toe
3. Memeriksa apakah ada trauma lain selain luka bakar yang terlihat
4. Memakai papan ataupun penyangga sebelum memindahkan pasien
5. Memeriksa sejarah medis terdahulu, obat-obatan, alergi dan mekanisme cedera
6. Menetapkan akses intravena melalui kateter kateter perifer sebanyak 2 dan
memberikan cairan intravena
7. Melindungi luka dari lingkungan dengan aplikasi dressing bersih (clean dressing)
8. Menentukan perlunya transportasi. Menghubungi fasilitas penerima untuk instruksi
selanjutnya.
Resusitasi Cairan
Pemberian cairan intravena yang adekuat harus dilakukan, akses intravena yang
adekuat harus ada, terutama pada bagian ekstremitas yang tidak terkena luka bakar. Tujuan
utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga dan mengembalikan perfusi jaringan tanpa
menimbulkan edema. Kehilangan cairan terbesar adalah pada 4 jam pertama terjadinya luka
dan akumulasi maksimum edema adalah pada 24 jam pertama setelah luka bakar. Prinsip dari
pemberian cairan pertama kali adalah pemberian garam ekstraseluler dan air yang hilang pada
jaringan yang terbakar dan sel-sel tubuh. Pemberian cairan paling sering dilakukan adalah
dengan Ringer Laktat untuk 48 jam setelah terkena luka bakar. Urin output yang adekuat
adalah 0.5 sampai 1.5mL/kgBB/jam.
Formula ParklandDalam 24 jam pertama diberikan cairan Ringer Laktat 4ml/kgBB/% luka bakar.
Contohnya pria dengan berat 80 kg dengan luas luka bakar 25 % membutuhkan cairan : (25) X (80 kg) X (4 ml) = 8000 ml dalam 24 jam pertama
§ ½ jumlah cairan 4000 ml diberikan dalam 8 jam § ½ jumlah cairan sisanya 4000 ml diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Formula Evans :NaCl 0,9 % : 1 X BB X % Luka bakarKoloid : 1 X BB X % Luka bakarDextrosa 5% : 2000 ml (untuk penggantian Insensible Water Loss)
IWL = (Insensible water loss) adalah kehilangan setiap hari yang tidak kita sadari. Kehilangan air dengan cara ini berlangsung lewat keringat dan pernapasan. Rata-rataIWL pada orang dewasa 2000 cc/hari. Pada pemberian cairan yang tepat, akan dicapai produksi urin 50 cc/jam. Pada anak-anak, pemberian Dekstrosa 5% sebagai pengganti IWL berdasarkan berat badannya. Untuk berat badan <10 kg penggantian IWL sebesar 100 ml/kgBB, berat badan 10-20 kg: 50 ml/kgBB, dan berat badan >20 kg: 25 ml/kgBB.
Formula BrookeDalam 24 jam petama diberikan :Koloid : 0,5 X BB X % Luka bakarRL : 1,5 X BB X % Luka bakarDextrosa 5 % : 2000 ml
Dalam 24 jam kedua diberikan :Koloid : 0,25 X BB X% Luka bakarRL : 0,75 X BB X Luka bakarDextrosa 5% : 2000 ml
Formula BaxterDalam 24 jam pertama berikan :RL : 4 X BB X % Luka bakarSetengah dari jumlah kebutuhan cairan total diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Cara menghitung tetesan cairan dengan rumus : G : P : (Q X 3) G : Jumlah tetes per menit P : Jumlah cairan dalam cc
Q : Jam yang diperkirakan
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak
dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat
melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%
protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS
dan MODS.
Perawatan luka bakar
Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam
dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan ‘maintenance’ 5-20 mg/70
kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang
menyatakan pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi
penghilang nyeri kronik yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih
merasakan nyeri walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement)
yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis.
Dasar dari tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya
jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama
dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi
edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan
terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari
luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu
yang diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi
luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan
“burn toxic” (lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator
inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang
terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat
dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko
kolonisasi mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga
eskar yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
d. Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui
infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan
derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan
“split thickness skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada
pasien luka bakar yang luas. Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar
batang tubuh posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
2.8. Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak
daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi prognosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara
lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.
2.9. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien dengan luka bakar antara lain adalah:
1.Sindroma Kebocoran Kapiler
Respon sistemik luka bakar yang luas ditandai dengan adanya inisiasi kebocoran
kapiler yang membutuhkan resusitasi cairan untuk stabilisasi hemodinamik. Kerusakan
kapiler yang luas yang disebabkan oleh luka bakar mengakibatkan ekstravasasi plasma ke
jaringan yang mengalami luka bakar, dengan akibat hipovolemia, hipertensi abdominal, dan
sindroma kompartemen ekstremitas. Sindroma kebocoran kapiler yang dapat diakibatkan oleh
luka bakar yang berat, mengakibatkan syok hipovolemik, terkait dengan perubahan kadar
plasma dari intravascular ke ruang ekstravaskular. Hal ini ditandai dengan trias hipotensi,
hemokonsentrasi, dan hipoalbuminemia. Penyebab hal ini adalah kebocoran cairan dan
makromolekul ke jaringan akibat dari respon inflamasi yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan peningkatan tekanan osmotik pada jaringan yang mengalami luka
bakar. Hal ini ditambah dengan koagulasi protein akibat luka bakar dapat mengakibatkan
hipoalbuminemia yang berat dan hiponatremia.
2. Sepsis
Definisi terbaru untuk sepsis dan infeksi memiliki kriteria yang rutin ditemukan pada
pasien dengan luka bakar yang luas bahkan tanpa infeksi maupun sepsis (demam, takikardi,
takipnea, leukositosis). Para ahli baru-baru ini mengembangkan definisi standard untuk sepsis
dan diagnosa terkait infeksi pada pasien dengan luka bakar. Pasien dengan luka bakar yang
luas, memiliki temperatur baseline yang di reset ke 38,5oC, dan takikardi serta takipnea dapat
menetap selama berbulan-bulan. Pajanan berulang terhadap mediator inflamasi, dapat
berakibat pada perubahan signifikan pada jumlah leukosit, yang mengakibatkan angka
leukositosis merupakan indikator yang lemah bagi diagnosa sepsis. Gunakan petunjuk lain
sebagai tanda-tanda infeksi atau sepsis seperti peningkatan kebutuhan cairan, penurunan
platelet counts lebih dari 3 hari setelah luka bakar, perubahan status neurologis, perburukan
status pulmoner, dan terganggunya fungsi renal. Istilah systemic inflammatory response
syndrome tidak dapat diaplikasikan pada pasien karena pasien dengan luka bakar masif ada
dalam kondisi stimulasi sistem inflamasi kronis. Infeksi apapun pada pasien harus
dipertimbangkan apakah berasal dari kateter vena sentral sampai dibuktikan kemungkinan
lainya. Kateter sentral harus diubah ke lokasi yang baru setiap tiga hari untuk meminimisasi
infeksi saluran darah. Meskipun antibiotik sistemik sebagai profilaksis tidak disarankan pada
luka akibat pajanan suhu, terapi antimikroba topikal terbukti efektif. Terapi antibiotik
sistemik harus sesuai dengan kultur dan diberikan untuk jangka waktu sependek mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W., editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005; hal. 73-5
2. Sukasah C.L. Luka Bakar, Departemen Bedah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009. pg 21 – 24
3. Kartohatmodjo S., dalam Luka Bakar (Combustio); pg 16 – 184. Bongard. F.S, Sue. D.Y, Vintch. J.R.E. in Current Diagnosis & Treatment: Critical Care 3rd
Edition. 2008. McGraw-Hill:Lange.5. Hettiaratchy.S, Dziewulski. ABC OF BURNS. BMJ 2004; 329: 504-6.6. Edlich.R.F, in Thermal Burns. 2010. Accessed from :www.emedicine.medscape.com/
article/1278244.7. David S. Perdanakusuma. 2006. Penanganan Luka Bakar. Airlangga University Press. 8. Barret, PJ. Initial Management and Resucitation. Principle and Practice of Burn Surgery.
New York : Marcel Dekker; 20059. Connolly,S. Emergency Assessment and Management of Severe Burn. Clinical Practice
Guidelines : Burn Patient Management. New South Wales : Agency for Clinical Innovation; 2011
10. Hall J.B., Schmidt G.A., Wood L.D.H., in Principles of Critical Care. In : Burns: Resucitation Phase (0 to 36 hours). 3rd edition. pg 1457-1466.
11. American College of Surgeon Committee of Trauma,2004.Advanced Trauma Life Support Seventh Edition.Indonesia: IkabiBarret-Nerin, JP & Herndon, DN. Principles and Practise of Burn Surgery. New York: Marcel Dekker, 2005.
12. Igneri, P & Gratton, J. FAHC Burn Care Manual. Fletcher Allen Halth Care &The University of Vermont. 2008
13. Prelack, K., Dylewski, M., & Sheridan, RL. Review: Practical Guidelines for Nutritional Management of Burn Injury and Recovery. Burns 33 (2007)
14. Tyler, M., Ghosh, S. Burns. Dalam: Bailey & Love’s Short Practice of Surgery 26th Ed. Taylor & Francis Group, LLC.2013. Hal: 385.
15. Sudjatmiko, G., Luka Bakar. Dalam: Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi Edisi Kedua. Yayasan Khazanah Kebajikan.2010. Hal: 107.
16. Brunicardi, F. C., Andersen, D. K., Et al. Burns. Dalam: Schwartz’s Principles of Surgery Ninth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.2010. Bab 8.
17. Pal, N., 2013. Emergency Escharotomy. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/80583-overview#a03 [Accessed : 14 Mei 2014]
18. New Zealand National Burn Service. 2013. Available from : http://www.nationalburnservice.co.nz/pdf/escharotomy-guidelines.pdf [Accessed : 14 Mei 2014]
19. Grande, Donald, J., 2013. Skin Grafting. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1129479-overview#a03 [Accessed 14 Mei 2014]
20. Management of Burns and Scalds in Primary care, June 2007 Edition, ACC, New Zealand