Post on 13-May-2019
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sirih Merah (Piper crocatum)
Sirih merah (Piper crocatum) merupakan jenis sirih yang merambat dan
banyak tumbuh di daerah tropis khususnya Indonesia. Tumbuhan sirih dikenal
sebagai antiseptik sejak 600 SM. Sirih termasuk famili piperaceae yang
merambat dan bersandar di batang pohon lain (Duryatmo, 2005). Pada tahun
1990-an sirih merah difungsikan sebagai tanaman hias, karena penampilannya
yang menarik. Permukaan daunnya merah keperakan dan mengkilap. Pada
beberapa tahun terakhir ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman
obat.
Gambar 2.1 Sirih Merah (Piper crocatum) (dikutip dari wikipedia.com)
2.1.1 Klasifikasi
Sirih merah merupakan salah satu spesies dari keluarga piperaceae,
dengan sistematika sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
6
Order : Piperales
Family : Piperaceae
Genus : Piper
Species : Piper crocatum (Vossen, 2000)
2.1.2 Morfologi
1. Habitus
Tanaman ini diketahui tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, seperti di
lingkungan Keraton Yogyakarta dan di lereng Merapi sebelah timur, serta di
Papua, Jawa Barat, Aceh dan beberapa daerah lainnya. Tanaman sirih merah
tergolong langka, karena tidak tumbuh disetiap tempat atau daerah. Sirih merah
tidak dapat tumbuh di daerah panas, di tempat berhawa dingin sirih merah dapat
tumbuh dengan baik. Jika terlalu banyak terkena sinar matahari batangnya cepat
mengering, warna merah daunnya bisa menjadi pudar, buram, dan kurang
menarik. Tanaman sirih merah akan tumbuh baik jika mendapatkan 60-70 %
cahaya matahari (Sudewo, 2005).
2. Daun
Karakter morfologi daun sirih merah dengan nama ilmiah Piper crocatum
adalah mempunyai bentuk daun yang cukup bervariasi antara daun muda (fase
muda) dan daun pada cabang yang akan menghasilkan alat reproduksi (fase
dewasa). Saat muda umumnya mempunyai bentuk daun menjantung dan
membulat seperti telur dan pada fase dewasa (siap menghasilkan alat reproduksi)
terjadi perubahan bentuk daun dari membulat menjadi seperti berbentuk telur.
Daun tunggal dan kaku, permukaan helaian daun bagian atas rata agak cembung,
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
7
mengkilat, permukaan helaian daun bagian bawah mencekung dengan pertulangan
daun yang menonjol, panjang daun 6,1–14,6cm, lebar daun 4–9,4cm, warna dasar
daun hijau pada kedua permukaannya, bagian atas hijau dengan garis-garis merah
jambu kemerahan, permukaan bagian bawah hijau merah tua keunguan. Tangkai
daun hijau merah keunguan, panjang 2,1–6,2 cm, pangkal tangkai daun pada
helaian daun agak ketengah sekitar 0,7–1 cm dari tepi daun bagian bawah (Inggit
dkk, 2011).
3. Batang
Tumbuhan merambat atau menjalar, panjangnya dapat mencapai sekitar 5-
10m, batang bulat, hijau merah keunguan, beruas dengan panjang ruas 3-8cm,
pada setiap buku tumbuh satu daun (Inggit dkk, 2011).
2.1.3 Kandungan Kimia
Komposisi senyawa ekstrak etanol 70% daun sirih merah berdasarkan
analisis GC-MS (Gas Chromatogrpahy Mass Spectrometry) dapat dilihat pada
tabel 2.1. Hasil kromatogram tersebut diolah dengan database perangkat lunak
menunjukan komponen senyawa ekstrak etanol 70% daun sirih merah terdiri dari
golongan asam lemak, terpenoid, flavonoid, steroid, alkaloid, pirimidin, minyak
atsiri, polifenol, dan vitamin E. Terdapat beberapa senyawa yang memiliki
kesesuaian rendah dengan database kemungkinan disebabkan oleh karena databse
tidak mempunyai data-data kromatogram yang sesuai dengan ekstrak (Alfarabi,
2010).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
8
Tabel 2.1 Komposisi Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum) 70%
(Alfarabi, 2010)
Waktu retensi
(Menit)
Area
(%)
Nama Kesesuaian
(%)
9.87 1.80 Asam miristat (asam lemak) 98
11.68 1.78 Fitol (terpenoid) 91
12.07 6.13 Asam linolenat (asam lemak) 91
12.28 1.93 Asam stearat (asam lemak) 99
21.15 1.81 Mirisetin (flavonoid) 43
22.05 2.06 Pirazol (minyak atsiri) 25
23.56 4.96 2,4,6(1H,3H,5H)-pyrimidinetrione
(pirimidin)
59
23.87 2.67 Naftalena (minyak atsiri) 46
24.03 4.05 2,4,6(1H,3H,5H)-pyrimidinetrione
(pirimidin)
59
24.89 12.19 Stilben (polifenol) 30
26.12 4.52 Metyhl (25R)-5-oxo-A-nor-3,5-
secospirostan-3oate (stereoid)
90
27.20 44.69 4,4-stilbendiamin (polifenol) 60
28.42 1.53 Pirimidin 44
28.85 1.83 4-Allyloxy-6mehoxy-N.N-dimethyl-
1,3,5-triazin-2-amine (alkaloid)
91
34.46 1.65 Vitamin E 99
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
9
Selain itu telah dilakukan uji identifikasi kandungan kimia ekstrak etanol
daun sirih merah dan didapatkan bahwa sirih merah mengandung alkaloid,
saponin, flavonoid dan polifenolat (Yulias dkk, 2011). Daun sirih merah
mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan untuk peningkatan proses
penyembuhan, misalnya vitamin A dan C (Prahastuti, 2004). Namun, belum
terdapat penelitian yang menyebutkan berapa persen kadar saponin, vitamin A dan
C yang terdapat di dalam sirih merah.
Uraian beberapa kandungan kimia daun sirih merah adalah sebagai berikut:
a. Polifenol
Polifenol merupakan senyawa yang memiliki subkomponen berupa
fenol. Fenol sendiri dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan unit basanya dan
subkomponen fenolnya. Polifenol dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan unit
basanya yaitu asam gallat, flavon dan asam sinamat. Masing-masing senyawa
tersebut berbeda mulai dari struktur sampai sifat aktivitas dan fungsinya
(Astawan, 2008).
Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan terbesar dalam
polifenol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila
ditambah basa atau ammonia (Sesty, 2007). Flavonoid diketahui mempunyai efek
antioksidan yang kuat dengan cara menghambat oksidasi lipid. Komposisinya
mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan membran sel untuk
melindungi dari radikal bebas (Saija, 1995). Flavonoid berperan dalam proses
antiinflamasi yaitu dengan cara mempersingkat waktu inflmasi sehingga proses
proliferasi dapat terjadi (Indraswari, 2011). Flavonoid juga berfungsi sebagai
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
10
antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein
ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999).
b. Alkaloid
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom N, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.
Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit yang
berupa cairan. Senyawa alkaloid dapat dideteksi dengan pereaksi dragendorf
(Setsy, 2007). Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme
yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan
pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan
menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1991).
c. Tanin
Tanin mempunyai efek antibakteri dengan cara dapat mengkerutkan
dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri.
Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup
sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati (Ajizah, 2004).
d Saponin
Saponin tidak larut dalam pelarut non-polar, paling cocok diekstraksi
dengan etanol atau metanol 70-96 (Sesty, 2007). Saponin adalah salah satu
senyawa yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang
berperan dalam penyembuhan luka (Chandel, 1979). Saponin juga diketahui dapat
meningkatkan kepadatan fibroblas dengan aktifasi TGF-β (Kanzaki, 1998).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
11
e. Minyak Atsiri
Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung
gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel
bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar
rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera
mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan
presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan
koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dkk, 2008).
f. Vitamin A, E dan C
Vitamin A berperan dalam proses penyembuhan luka yaitu dalam
pembentukan kolagen, diferensiasi sel epitel, dan meningkatkan imunitas.
Vitamin A juga mempercepat aktifasi makrofag ke daerah luka (Jeffcoate, 2004).
Vitamin C diketahui berperan penting sebagai penunjang kesembuhan melalui
kemampuannya dalam mempercepat regenerasi jaringan. yaitu ikut serta dalam
biosintesa kolagen. Vitamin C juga berfungsi menstimulir respon kemotaktik dan
proliferasi dari neutrofil serta transformasi limfosit (Kus, 1996). Sedangkan
vitamin E memiliki efek antioksidan, yaitu mencegah peroksidasi lipid dan
menghasilkan membran sel yang stabil (Douglas, 2003).
2.1.4 Khasiat
Sirih merah memiliki banyak manfaat dalam pengobatan tradisional,
mempunyai potensi menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Banyak pengalaman
menggunakan sirih merah dapat menurunkan asam urat, menurunkan tekanan
darah, mengobati hepatitis dan maag. Selain itu sirih merah dapat digunakan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
12
sebagai antiseptik, serta memiliki efek hipoglikemik. Sirih merah juga dapat
digunakan sebagai obat untuk batuk, asma, radang tenggorokan, dan radang
hidung (Sulistyani dkk, 2007). Daun sirih merah juga bermanfaat bagi kesehatan
gigi dan mulut, antara lain: menghilangkan bau mulut, mengobati gusi berdarah
(radang pada gusi), obat sariawan, radang pada tenggorokan, gigi berlubang, dan
penghilang bengkak. Selain itu efek zat aktif yang terkandung dalam daun sirih
merah dapat merangsang saraf pusat dan daya pikir, serta memiliki efek
pencegahan ejakulasi dini, antikejang, antidiare, dan mempertahankan kekebalan
tubuh. Secara empiris ekstrak daun sirih merah dalam pemakaian secara tunggal
atau diformulasikan dengan tanaman obat lainnya mampu membasmi aneka
penyakit, seperti diabetes millitus, peradangan akut pada organ tubuh tertentu,
luka yang sulit sembuh, kanker payudara dan kanker rahim, leukimia, TBC,
radang pada lever (hepatitis), ambeien, jantung koroner, darah tingggi, dan asam
urat (Sudewo, 2005).
2.2 Uji Sitotoksisitas
Uji sitotoksisitas adalah bagian dari evaluasi bahan kedokteran gigi yang
diperlukan untuk prosedur skrining standar. Tujuannya adalah untuk mengetahui
efek toksik suatu bahan secara langsung terhadap kultur sel (Freshney, 2000).
Berikut adalah beberapa alasan mengapa dalam penelitian terdahulu lebih
banyak menggunakan metode in vitro dengan kultur sel:
1. Kultur sel dapat terpapar secara langsung oleh bahan yang diujikan,
sehingga kultur sel sangat sensitif terhadap bahan yang bersifat toksik.
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
13
2. Lingkungan pada kultur sel (pH, suhu, tekanan osmotik) lebih
terkontrol.
3. Respon terhadap sel hidup dapat langsung diamati.
4. Sampel lebih homogen.
5. Menghindari tekanan masyarakat terhadap hewan coba.
6. Dapat diukur secara kuantitatif.
Kekurangan metode in vitro dengan kultur sel, yaitu harus dilakukan
dalam kondisi aseptik, karena sel akan mati jika terkontaminasi mikroorganisme
(Freshney, 2000).
Pengujian efek biokompatibilitas pada tingkat awal dari material yang
digunakan pada kedokteran gigi untuk mengetahui toksisitas material yang diuji
menggunakan kultur sel. Toksisitas material yang diuji dihubungkan dengan sel
yang hidup. Apabila material yang diuji memberikan viabilitas sel hidup yang
tinggi, menunjukan bahwa material yang diuji tidak memberikan efek toksik,
begitu juga sebaliknya (Anita, 2005).
Salah satu syarat bahan yang digunakan dalam kedokteran gigi seharusnya
tidak toksik, tidak mengiritasi, dan harus mempunyai sifat biokompatibilitas atau
bahan yang diproduksi tidak boleh mempunyai efek yang merugikan terhadap
lingkungan biologis, baik lokal maupun sistemik. Salah satu metode untuk menilai
sitotoksisitas suatu bahan adalah dengan uji enzimatik menggunakan pereaksi
MTT. Paramater toksisitas berdasarkan CD50 artinya suatu bahan dikatakan toksik
apabila presentase sel hidup setelah terpapar bahan tersebut kurang dari 50%
(Telili dkk, 1999)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
14
Salah satu metode untuk menilai sitotoksisitas suatu bahan adalah dengan
uji enzimatik yang menggunakan perekasi MTT [3-(4,5-dimethyltiazol-2-yl)-2,5-
difeniltetrazolium bromide]. Uji ini banyak digunakan untuk mengukur proliferasi
selular secara kuantitatif atau untuk mengukur jumlah sel yang hidup (Fazwishni
dkk, 2000).
MTT adalah molekul larut yang dapat digunakan untuk menilai aktifitas
enzimatis seluler, didasarkan pada kemampuan sel hidup untuk mereduksi garam
MTT. Prinsip dari pewarnaan MTT adalah dengan pengubahan dari cincin
tetrazolium oleh karena aktifitas dari mitokondria pada sel hidup. Pada sel yang
mati tidak mengakibatkan perubahan dari cincin tetrazolium (Soenartyo dkk,
2003).
Mekanismenya adalah formazan garam tetrazolium akan direduksi di
dalam sel yang mempunyai aktifitas metabolik. Mitokondria sel hidup yang
berperan penting dalam hal ini adalah yang menghasilkan dehidroginase. Bila
dehidroginase tidak aktif karena efek sitotoksik, maka formazan tidak akan
terbentuk. Jumlah formazan yang terbentuk, proposional dengan aktifitas
enzimatik sel hidup (Craig, 2002).
Gambar 2.2 Reduksi MTT yang menghasilkan formazan
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
15
(dikutip dari biotek.com)
Produksi formazan dapat dihitung dengan melarutkan dan mengukur
densitas optik dari larutan yang dihasilkan. Reaksi warna biru keunguan
digunakan sebagai ukuran dari jumlah sel hidup. Semakin pekat warna biru
ungunya, semakin tinggi nilai absorbsinya, dan semakin banyak jumlah sel yang
hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan dan kemudian diukur setelah dilarutkan
berbanding secara proposional dengan jumlah sel, walaupun absorbansi absolut
berbeda antara berbagai jenis sel. Makin pekat warnanya, makin tinggi nilai
absorbansinya, dan ini berarti makin banyak jumlah selnya (Fernandez dkk,
1995;Fazwishni dkk, 2000).
Uji sitotoksistas dengan esei MTT dapat digunakan untuk mengukur
proliferasi dan sitotoksisitas terhadap sel. Ujinya cukup positif, cepat,
semiotomatis, dan tidak menggunakan radioisotop. Uji ini berdasar kemampuan
sel hidup untuk mereduksi garam [3-(4,5-dimethyltiazol-2-yl)-2,5-
difeniltetrazolium bromide] (MTT). Reduksi garam tetrazolium terjadi intrasel dan
melibatkan enzim dari retikulum endoplasma dan mitokondria. Dengan demikian
jumlah sel yang hidup dapat diukur sebagai konsentrasi hasil produksi MTT
(Fazwishni dkk, 2000).
2.3 Proses Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka pada ulser pada dasarnya yaitu hampir sama
dengan proses penyembuhan luka pada kulit. Tahapan proses penyembuhan
meliputi proses keradangan, proliferasi, reepitalisasi, pembentukan jaringan
granulasi, angiogenesis, interaksi antara berbagai sel dan matriks, serta
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
16
remodelling jaringan (Goepel, 1992). Penyembuhan luka merupakan proses
pergantian sel yang rusak dengan sel yang baru, sehingga fungsi tubuh atau
jaringan akan pulih kembali dengan sempurna. Penyembuhan demikian disebut
regenerasi. Pada proses penyembuhan dari sel atau jaringan yang rusak akan
diganti dengan jaringan parut atau jaringan ikat (Sudiono dkk, 1995).
Pada fase inflmasi terjadi proses radang yang merupakan reaksi jaringan
hidup terhadap semua jejas. Hemostasis melibatkan konstriksi pembuluh darah,
kontraksi otot polos, agregasi tombrosit, koagulasi darah dan diikuti oleh
vasodilatasi yang disebabkan oleh adanya pelepasan histamin. Kemudian terjadi
aktivasi protombrin menjadi tombrin yang disebabkan oleh faktor-faktor
pembekuan darah, kemudian trombin akan mengaktivasi fibrinogen menjadi fibrin
dan platelet melepaskan mediator berupa PDGF (Platelet Derrived Growth
Factor), tromboksan dan prostaglandin yang akan menarik leukosit ke daerah
luka. Sel platelet melepaskan chemokines berupa growth factor (EGF/ Epithelial
Growth Factor, PDGF / Platelet Derived Growth Factor), fibrinogen, fibronektin,
serotonin dan komponen matriks ekstra seluler (Rosenberg,2006). Di dalam fase
inflmasi ini juga terdapat peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan terjadi
migrasi neutrofil dan monosit ke dalam jaringan (Douglas, 2003). Neutrofil
bertanggung jawab untuk menghancurkan bakteri dengan melakukan proses
fagositosis (Rosenberg, 2006). Pada hari ketiga setelah terjadi luka monosit
kemudian menggantikan fungsi neutrofil, dan kemudian disebut menjadi
makrofag apabila telah bermigrasi ke jaringan. Fungsi dari makrofag yaitu
melakukan fagositosis, membersihkan tempat yang terkontaminasi bakteri,
mengatur regulasi sintesa matriks melalui proses pelepasan growth factor platelet-
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
17
derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth
factor (EGF) dan transforming growth factor-β (TGF-β), sitokin (TNF α / Tumor
Necroting Factor α, IL / Interlukin 1, 6, 8, IFN γ), enzim dan prostaglandin E2
untuk mengaktivasi sel dan angiogenesis (Rinastiti, 2003). Aktifasi makrofag saat
bermigrasi ke daerah yang mengalami keradangan diperlihatkan dalam bentuk
ukurannya yang bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktifitas fagositik
dan kandungan enzim lisosom yang dimilikinya. Aktifasi ini diinduksi oleh
sinyal-sinyal, mencakup sitokin yang diproduksi oleh limfosit-T yang
tersensitisasi (IFN γ), endotoksin bakteri, berbagai mediator selama radang akut
dan protein matriks ekstrasel seperti fibronektin. Saat radang terjadi kronik,
makrofag dapat berakumulasi dan berproliferasi di tempat peradangan. Limfosit
yang teraktivasi akan mengeluarkan IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag, dan
karena makrofag juga akan mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi
limfosit, sehingga dengan demikian akan membentuk timbal balik antara
makrofag dan limfosit. Timbal balik tersebut menyebabkan makrofag akan
bertambah banyak di jaringan dan menyebabkan banyaknya jumlah makrofag di
daerah radang (Kumar dkk, 2000; Underwood 1999).
Pada fase proliferasi, sel fibroblas adalah salah satu faktor yang berperan
penting yaitu dengan berfungsi memproduksi kolagen dan protein Extracelullar
Matrix (ECM) yang merupakan komponen penting pada proses regenerasi atau
perbaikan luka. Aktivasi migrasi dan proliferasi fibroblas terjadi oleh karena
adanya pacuan dari molekul ECM serta growth factor. Fibroblast Growth Factor
(FGF), Transforming Growth Factor-beta (TGF-β), Platelet – Derivet Growth
Factor (PDGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF) diketahui sebagai growth
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
18
factor yang bertanggung jawab terhadap migrasi dan proliferasi fibroblas
(Rinastiti, 2003). Pada tahap proliferasi ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblas
dan kolagen yang membentuk jaringan lunak, berwarna merah muda dan granuler
yang disebut jaringan granulasi. Secara mikroskopik jaringan granulasi terdiri dari
pembuluh darah kecil yang baru dibentuk dengan latar belakang jaringan kendir
dan mengandung fibroblas serta sel-sel radang (Robins and Kumar, 1995).
Pembentukan pembuluh darah yang baru disebut angiogenesis. Proses
angiogenesis diinduksi oleh TGF (Transforming Growth Facor), PDGF (Platelet
Derived Growth Factor), interlukin 8 dan VEGF (Vascular Endhothelial Growth
Factor) (Enoch and Price, 2004).
Tabel 2.2 Growth Factor dalam penyembuhan luka
Growth Factor Singkatan Asal Efek Epithelial Growth Factor
EGF Makrofag Kelenjar saliva Keratinosit .
Migrasi keratinosit, mitogen fibroblas dan keratinosit, membentuk jaringan granulasi
Transforming Growth Factor-alfa
TGF-α Makrofag Keratinosit Limfosit T
Proliferasi sel hepatosit dan epitel,
Hepatocyte Growth Factor
HGF Sel mesenkim Proliferasi sel epitel dan sel endotelial
Vascular Endhothelial Growth Factor
VEGF
Sel mesenkim
Permabilitas pembuluh darah, proliferasi sel endotelial, angiogenesis
Platelet Derived Growth Factor
PDGF Sel platelet Makrofag Sel endotelial Sel otot halus Keratinosit
Berperan dalam pembentukan jaringan granulasi, proliferasi sel fibroblas dan sel endotelial, memproduksi matriks
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
19
metalloproteinase dan fibronektin, Angiogenesis
Fibroblast Growth Factor 1 dan 2
FGF-1, -2 Makrofag Limfosit T Sel endotelial Sel fibroblas
Proliferasi sel fibroblas dan keratinosit, migrasi keratinosit, angiogenesis
Transforming Growth Factor-β
TGF-β Sel platelet Limfosit T Makrofag Sel endotelial Keratinosit Fibroblas
Pembentukan jaringan granulasi, sintesis TIMP, angiogenesis, proliferasi keratinosit, pembentukan jaringan fibrosa, kemotaksis fibroblas
Keratinocyte Growth Factor
KGF Fibroblas Migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit,
Fase terakhir dalam proses penyembuhan luka yaitu fase maturasi
(remodelling). Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan
baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat. Fibroblas sudah mulai
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan berkurang dan
serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.
Luka dikatakan telah sembuh apabila terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan
jaringan parut mampu atau tidak menganggu untuk melakukan aktifitas normal
(Samsuhidayat, 1997).
2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam. Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,
memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus,
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
20
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terbentuknya reaksi
radikal bebas (peroksida) dalam oksidasi lipid (Dalimartha dan Soedibyo, 1999).
Untuk kehidupannya, manusia maupun hewan tergantung pada oksigen.
Oksigen essensial berguna untuk kehidupan, bekerja melalui mekanisme reaksi
berurutan di dalam sel-sel tubuh, mempunyai batasan fungsi dan kemudian dapat
memberikan efek samping. Reaksi oksidasi yang lebih kompleks akan
menghasilkan radikal bebas, yang apabila tidak terdapat sistem antioksidan, akan
menghancurkan elemen vital sel-sel tubuh (Muchtadi, 2009). Berdasarkan sumber
perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami merupakan
antioksidan hasil ekstraksi bahan alami dan antioksidan buatan (sintetik) yang
merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia (Kochhar
and Rossell, 1990). Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau
menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi
dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi yaitu:
1. Pelepasan hidrogen dari antioksidan
2. Pelepasan elektron dari antioksidan
3. Adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan
4. Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari
antioksidan (Winarti, 2010).
Prinsip kerja dari antioksidan dalam menghambat otooksidasi pada lemak yaitu
oksigen bebas di udara akan mengoksidasi ikatan rangkap pada asam lemak yang
tidak jenuh, kemudian radikal bebas yang terbentuk akan beraksi dengan oksigen
sehingga akan menghasilkan peroksida aktif (Winarti, 2010).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
21
2.5 Sel Fibroblas
Fibroblas adalah sel pembentuk kolagen dan badan interseluler. Di
samping merupakan kesatuan hidup dari jaringan ikat, fibroblas berperan aktif
dalam sintesa protein yang menjadi materi dasar untuk pembentukan bahan antar
sel yang berbentuk maupun amorf. Fibroblas merupakan sel yang besar, agak
memipih, seringkali agak berbentuk bulat panjang dan ovoid, disetai tonjolan-
tonjolan sitoplasma tumpul yang bercabang. Intinya lonjong menyerupai bentuk
dari selnya dapat diperlihatkan dengan beberapa cara pewarnaan, misalnya dengan
pembuatan sediaan bentangan jaringan ikat yang diwarnai dengan cat basa seperti
methylene blue, dilihat dengan mikroskop cahaya, sitoplasma fibroblas yang tercat
pucat pada pewarnaan ini seringkali meluas secara teratur dari badan sel dalam
bentuk tonjolan-tonjolan (Leeson, 1996).
Pembentukan kolagen oleh sel fibroblas dari protein yang didahului
dengan pembentukan prokolagen yang dihasilkan oleh retikulum endoplasma,
dibentuk di celah ekstra sel dari molekul kolagen berupa serabut kolagen yang
menyusun sesuai dengan susunan molekul (Bloom, 2002).
Gambar 2.3 Sel Fibroblas (dikutip dari rejuvenal.info)
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.
22
Fibroblas mampu tumbuh dan bergenerasi seumur hidup apabila ada
rangsangan. Misalnya, penyembuhan luka pada jaringan yang beradang. Fibroblas
dapat merupakan gerakan merambat secara perlahan. Pada luka terbuka, fibroblas
melakukan proliferasi dan migrasi ke tempat luka, kemudian fibroblas mensekresi
matriks ekstraseluluer, dan akhirnya terbentuk jaringan parut yang menutup luka
(Leeson, 1996).
ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ... PELANGI C.P.S.