Post on 21-Nov-2021
ANALISIS KERJA SAMA KEAMANAN TRILATERAL INDONESIA,
MALAYSIA, DAN FILIPINA DI LAUT SULU-SULAWESI
PERIODE 2016-2017
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Solsial
Oleh:
Zhafirah Yanda Masya
1113113000026
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
ANALISIS KERJA SAMA KEAMANAN TRILATERAL INDONESIA,
MALAYSIA, DAN FILIPINA DI LAUT SULU-SULAWESI
PERIODE 2016 - 2017
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 4 September 2018
Zhafirah Yanda Masya
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Zhafirah Yanda Masya
NIM : 1113113000026
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan skripsi dengan judul:
ANALISIS KERJA SAMA KEAMANAN TRILATERAL INDONESIA,
MALAYSIA, DAN FILIPINA DI LAUT SULU-SULAWESI
PERIODE 2016 - 2017
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 4 September 2018
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
Ahmad Alfajri, MA. Robi Sugara, M.Sc
NIP. NIP.
iv
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis Kerja Sama Keamanan Trilateral antara Indonesia,
Malaysia, dan Filipina periode 2016-2017. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kerja sama yang akan dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Filipina
dalam menghadapi ancaman keamanan di Laut Sulu-Sulawesi. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data dan refrensi melalui
studi pustaka. Kasus perompakan dan penculikan awak kapal oleh Kelompok Abu
Sayyaf menjadi perhatian negara tri border area. Tingginya kasus penculikan dan
perompakan di Laut Sulu-Sulawesi ini berdampak tidak hanya bagi negara-negara
litoral, namun juga bagi negara-negara user yang menggunakan jalur ini sebagai
lintas kapal kargonya. Indonesia, Malaysia, dan Filipina merespon ancaman
keamanan tersebut dengan mengadakan kerja sama keamanan dalam bentuk
Coordinated Patrol. Tentu saja, implementasi kerja sama ini tidak lepas dari
hambatan dan tantangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana kerja sama
keamanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina meredam ancaman keamanan di Laut
Sulu-Sulawesi.
Kerangka konsep yang digunakan dalam skripsi ini adalah konsep
Keamanan dan Collective Security. Konsep ini menganalisis model kerja sama
Indonesia, Malaysia, dan Filipina yaitu Coordinated Patrol sebagai kerja sama
yang cocok diimplementasikan dalam situasi keamanan di Laut Sulu-Sulawesi.
Collective Security mampu menjelaskan keberhasilan patroli trilateral di Laut
Sulu-Sulawesi, kendatipun banyak hambatan yang harus dihadapi oleh ketiga
negara litoral.
Kata kunci: Laut Sulu-Sulawesi, Kerja Sama Keamanan Trilateral, Coordinated
Patrol
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat meyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kerja Sama Keamanan Trilateral Indonesia, Malaysia,
dan Fiilipina di Laut Sulu-Sulawesi 2016-2017.” Adapun penulisan skripsi ini
dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
Program Strata Satu (S1) Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan
kontribusi dalam proses penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Keluarga tercinta: Orang tua, Handaru Tampiko, Endang Dharmayanti, dan
Dika Rinakuki selaku orang tua; abang-abang saya, M. Fakhriyan Harish
dan ; adik saya, Syifa Nur Yanda; dan Eyang saya, Nurlela Malik yang
senantiasa memberikan dukungan dan doa dalam proses penyusunan skripsi
ini.
2. Bapak Robi Sugara selaku dosen pembimbing yang bersedia untuk
meluangkan waktu untuk menuntun dan membimbing penulis dengan
ketulusan dan kesabaran untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Ahmad Alfajri selaku pembimbing akademik sekaligus Ketua
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, dosen jurusan Hubungan
Internasional UIN Jakarta yaitu Bapak Nazarudin Nasution, Bapak Adian
Firnas, Bapak Teguh Santosa dan segenap dosen, staf pengajar serta TU
FISIP UIN Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu, wawasan dan
pengalaman selama perkuliahan.
4. Terkasih, Yusuf Hidayatullah, S.Kom yang senantiasa memberikan
dukungan, motivasi dan bimbingan dengan ketulusan dan kasih sayang.
vii
5. Indaha Sakinah dan Alfira Maya Jelita, S.sos, duo sahabat saya yang super
yang senantiasa menemani dan mendampingi saya dalam kehidupan
mahasiswa. Kalian yang terbaik.
6. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
7. Keluarga besar PT. Multi Area Desentralisasi Pembangunan (MADEP),
khususnya Pak Teguh Handoko dan Mba Hafizah Muharrani, yang telah
membimbing dan memberikan pengetahuan kepada penulis selama masa
pemagangan.
8. Bimo Mahesa Irfianto, terima kasih telah menyematkan nama penulis dalam karyamu.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan membalas kebaikan mereka
yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
dari pembaca untuk dijadikan koreksi di masa yang akan datang. Semoga skripsi
ini bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca.
Jakarta, 4 September 2018
Zhafirah Yanda Masya
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah .......................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ....................................................................... 8
C. Tujuan ............................................................................................... 8
D. Manfaat ............................................................................................. 8
1. Manfaat Akademis ..................................................................... 8
2. Manfaat Praktis .......................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 9
F. Kerangka Teori dan Konsep ........................................................... 12
1. Teori Liberalisme ..................................................................... 12
2. Konsep Keamanan ................................................................... 13
3. Keamanan Kolektif (Collective Security). ............................... 16
G. Metode Penelitian ........................................................................... 19
H. Sistematika Penelitian .................................................................... 21
BAB II ANCAMAN KEAMANAN DI LAUT SULU-SULAWESI A. Sejarah Kejahatan di Laut Sulu-Sulawesi ....................................... 23
B. Kejahatan Transnasional.................................................................. 24
1. Peredaran Narkotika Ilegal ......................................................... 27
2. Penyelundupan Senjata ............................................................... 28
3. Perompakan (Piracy) .................................................................. 30
C. Penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf .......................................... 42
BAB III DAMPAK ANCAMAN KEAMANAN DI LAUT SULU-
SULAWESI
A. Dampak Terhadap Indonesia ........................................................... 50
B. Dampak Terhadap Malaysia ............................................................ 55
C. Dampak Terhadap Filipina .............................................................. 58
BAB IV ALISIS KERJA SAMA KEAMANAN TRILATERAL
INDONESIA, MALAYSIA, DAN FILIPINA DI LAUT SULU-
SULAWESI
A. Model Coordinated Patrol .............................................................. 61
B. Tantangan Kerja Sama Keamanan Indonesia, Malaysia, dan
Filipina di Laut Sulu-Sulawesi ........................................................ 66
1. Kapabilitas Militer Indonesia, Malaysia, dan Filipina ................ 67
a. Indonesia .................................................................................... 67
b. Malaysia ..................................................................................... 69
c. Filipina ....................................................................................... 72
2. Sentimen Wilayah Kedaulatan Laut Antara Indonesia, Malaysia,
dan Filipina ...................................................................................... 74
ix
C. Keberhasilan Kerja Sama Keamanan di Laut Sulu-Sulawesi .......... 74
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 83
A. Kesimpulan ...................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xiii
LAMPIRAN ....................................................................................................... xxii
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. A. Peta Jalur Perdagangan Laut di Asia Tenggara 2
Gambar II. A. Rute Penyelundupan Senjata Laut Sulu 25
Gambar II. C.1. Bagan Struktur Organisasi Abu Sayyaf 51
Gambar II. C.2. Grafik Insiden Penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf di
Laut Sulu[-Sulawesi Tahun 2011-2016 54
Gambar II. C.3. Peta Lokasi Serangan Kelompok Abu Sayyaf di Laut Sulu-
Sulawesi 55
Gambar VI. I. Grafik Pengadaan Alutsista Militer Indionesia 1950-2015
Gambar IV. C. 1. Grafik Jumlah Perompakan di Laut Sulu-Sulawesi 2016-
2018
75
Gambar IV. C. 1. Grafik Jumlah Perompakan di Laut Sulu-Sulawesi 2016-
2018 85
xi
DAFTAR SINGKATAN
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
ASG Abu Sayyaf Group
BAKAMLA Badan Keamanan Laut
MMEA Malaysia Maritime Enforcement Agency
MSAC Maritime Situation Awareness Centre
MSP Malacca Strait Patrol
RMN Royal Malaysian Navy
TAP Trilateral Air Patrol
TNI AL Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
TNI AD Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat
TNI AU Tentara Nasional Indonesia Angkatan UDARA
UNCLOS United Nations Convention on the Law of the Sea
ZEE Zona Ekonomi Eksklusif
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran - I Joint Declaration On Immediate Measures to Address Security Issues in the
Maritime Areas of Common Concern among Indonesia, Malaysia and the
Philippines, Yogyakarta 5 May 2016
Lampiran – II Trilateral Meeting Among the Defence Ministers of the Philippines, Malaysia,
and Indonesia, Manila 20 June 2016
Lampiran - III 17ths Asia Security Summit The IISS Shangri-La Dialogue Third Plenary
Session Shaping Asia’s Evolving Security Order: Ryamizard Ryacudu, Minister
of Defense, Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini menjelaskan model kerjasama keamanan antara Indonesia,
Malaysia, dan Filipina di Laut Sulu-Sulawesi. Kawasan Asia Tenggara memiliki
wilayah laut seluas 5.060.100 km2. Wilayah laut yang luas ini menyebabkan
negara di kawasan Asia Tenggara merupakan negara maritim. Negara maritim
adalah negara yang memiliki ciri kehidupan masyarakatnya yang memanfaatkan
laut. Selain itu, secara geografis kawasan ini terletak pada posisi silang yaitu
diantara Benua Asia dan Benua Australia, serta diantara Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Tidak dapat dipungkiri bahwa letak geografis yang strategis ini
membuat perairan Asia Tenggara merupakan jalur lalu lintas laut terpadat.1
1
1Pujayanti, Andini, ―Budaya Maritim, Geo-Politik dan tantangan Keamanan Indonesia‖
[Artikel Online] diakses pada 25 April 2017; tersedia di
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-3.pdf
2
Sumber: Strafor World View2
Asia Tenggara memiliki beberapa jalur laut yang dianggap penting sebagai
lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari seluruh dunia. Kapal-kapal dagang dan
pengangkut komoditas dari dunia melewati laut Asia Tenggara.3 Selat Malaka
yang merupakan jalur perdagangan paling vital di kawasan ini. Jalur ini
menghubungkan kapal-kapal dari samudera Hindia ke Pasifik, sekitar 65.000
kapal melewati jalur ini setiap tahun.4 Tetapi, Selat Malaka bukan satu-satunya
jalur yang dilewati kapal-kapal yang menuju Samudera Pasifik.
Bagi kapal-kapal yang berukuran lebih besar, jalur Selat Malaka sulit dilalui
karena peraiannya yang terlalu dangkal. Maka, Laut Sulu-Sulawesi merupakan
2 Policing Southeast Asia’s Tri Border Area [Online] diakses di:
https://www.stratfor.com/article/policing-southeast-asias-tri-border-area 15 Mei 2017 pukul 13.18
WIB 3 Pujayanti, Budaya Maritim
4 Ibrahim, H.M., dan Nezery Khalid, ―Growing Shipping Traffic in the Strait of Malacca:
Some Reflections on the Environtmental Impact‖(Kuala Lumpur: Maritimr Institute of Malaysia,
2007), 15
Gambar I.A. Peta Jalur Perdagangan Laut di Asia Tenggara
3
alternatif jalur pelayaran kapal, terutama bagi kapal besar yang menuju Timur
Tengah dari Asia Timur.5 Laut Sulu-Sulawesi memiliki luas sebesar 210.000 km
2
yang dikelilingi oleh Kepulauan Sulu, Palawan, Sabah, Mindanao, Kalimantan
Timur, dan Sulawesi.6 Setidaknya setengah dari aktivitas pelayaran komersil
melewati jalur ini, jumlah nilai perdagangan yang melewati jalur ini setiap
tahunnya mencapai US$ 800.000.000.7
Tingginya aktivitas pelayaran di Laut Sulu-Sulawesi, selain
menguntungkan, di satu sisi memiliki resiko tingginya ancaman keamanan. Jalur
perdagangan ini rawan dengan aksi kejahatan transnasional seperti kejahatan
terorganisir, perompakan, peredaran narkotika, penyelundupan dan perdagangan
manusia, keamanan lingkungan, dan terorisme. Kejahatan maritim ini menjadi
ancaman keamanan kawasan regional dan global serta dapat menimbulkan
dampak terhadap perdangangan internasional.8
Dari beberapa contoh ancaman keamanan tersebut, perompakan bersenjata
lebih banyak menarik perhatian dunia internasional. Berdasarkan laporan
International Maritime Bureu, sejak tahun 1999 jumlah kasus perompakan kapal
di Asia Tenggara mengalami peningkatan cukup drastis, yaitu sekitar 285 kasus.9
Hingga 2009 insiden percobaan dan penyerangan perompak yang terjadi di Asia
5Ho, Joshua, ―The Security of Sea Lanes in Southeast Asia‖, Asian Survey, Vol. 4 Issue 46.
(2006): 560. 6 Ian Storey, ―Securing Southeast Asia;s Sea Lanes: A Work in Progress‖, Asia Policy No.6
Juli 2008, 104
7 Reginald Ramos, ―Philippines: Shifting Tide in the Sulu-Celebes Sea‖, Perth USAsia
Centre, Vol. 4 (April 2017), 2 8 Storey, Ian ―Securing Southeast Aisa‘s Sea Lanes: A Work in Progress‖, Asia Policy, No.
6 (July 2008) 9 Perwita, Anak Agung Banyu dan Bantarto Bandoro (ed), ―Pengantar Kajian Strategis‖,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 81
4
Tenggara berjumlah sebanyak 45 kasus.10
Angka ini, termasuk di dalamnya
jumlah kasus kekerasan terhadap kru kapal oleh perompak dengan data: ditawan
sejumlah 54 kasus, diancam 3 kasus, dilukai 2 kasus, dan diculik sebanyak 2
kasus.11
Tentu hal ini merupakan salah satu permasalahan yang mengancam
keamanan regional, tidak hanya dari segi keamanan tradisional, tetapi juga dari
segi keamanan non tradisional.
Data tersebut menunjukkan tingginnya angka perompakan kapal di Asia
Tenggara. Laut Sulu-Sulawesi tidak lepas dari ancaman perompakan tersebut,
sebagaimana Menteri Koorinator Bidang Kemaritiman, Luhut Panjaitan menyebut
wilayah Laut Sulu-Sulawesi ini sebagai ―Somalia Kedua‖.12
Terlebih, banyak
kasus perompakan tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga politik. Saat ini,
perompakan kapal tidak hanya sebatas pencurian atau ancaman senjata, tetapi juga
penculikan dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris.13
Perompakan kelompok Abu Sayyaf di Laut Sulu-Sulawesi merupakan contoh
nyata dari permasalahan ini.
Abu Sayyaf merupakan kelompok separatis yang berbasis di wilayah
selatan Filipina. Anggota kelompok Abu Sayyaf kebanyakan adalah penduduk
dengan tradisi maritim. Pengetahuan tentang keadaaan laut sekitar mempermudah
10
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report –Annual Report 2009, 7 11
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report –Annual Report 2009, 12 12
Ging Ginanjar, ―Akankah perairan Indonesia menjadi Somalia Kedua?‖, [Berita Online]
diakses di:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/04/160427_indonesia_somalia_baru pada 3
Oktober 2018 pukul 12:06 WIB 13
Carolin Liss, ―Assessing Contemporary Maritime Piracy in Southeast Asia: Trends,
Hotspots, and Responses‖, PRIF Report No. 125 (2014): 3
5
pergerakan aksi mereka di laut.14
Selain itu, kelompok ini juga membekali diri
dengan berbagai senjata dan peralatan seperti kamera thermal, teropong, radio,
satelit, jaringan telepon, dan speed boats.15
Kelompok ini beroperasi di selatan
Filipina, yaitu di Laut Sulu, Sulawesi, Tawi-Tawi, hingga Sabah.16
Pada 26 Maret 2016, Abu Sayyaf menculik 10 awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia diserang dan diculik di dekat Pulau Tambulian,
Filipina oleh Abu Sayyaf.17
Dua minggu kemudian, tepatnya pada 19 November
2016 insiden pembajakan dan penculikan oleh Abu Sayyaf terjadi lagi di perairan
Sabah, Malaysia.18
Peristiwa pembajakan dan penculikan ini bukan yang pertama
kali terjadi. Sebagai contoh, pada 21 September 2015, Abu Sayyaf menculik dua
wisatawan Kanada yaitu John Ridsel dan Robert Hall di Filipina. Abu Sayyaf
meminta sejumlah uang tebusan untuk pembebasan sandranya. Aksi ini, selain
untuk mendapatkan uang, juga dimaksudkan untuk menarik perhatian pemerintah
setempat dan mendapatkan pengakuan kekuasaan.19
14
Rommel C. Banlaoi, ―Maritime Terrorism in Southeast Asia: The Abu Sayyaf Threat‖,
Naval War College Review, Vol. 58, No. 4 (Autumn 2005): 68 15
Rommel C. Banlaoi, ―The Abu Sayyaf Group: From Mere Banditry to Genuine
Terrorism‖, Southeat Asian Affair, (2006): 252 16
Catherine Zara Raymond, ―Piracy in Southeast Asia New Trends, Issues and Responses‖,
RSIS Working Paper No. 089 (Oktober 2005):2 17
Denny Armandhanu, ―Kronologi Penculikan 10 ABK Indonesia oleh Abu Sayyaf‖,
[Berita Online] diakses di: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20160329133044-106-
120240/kronologi-penculikan-10-abk-indonesia-oleh-abu-sayyaf pada 3 Oktober 2018 pukul 13:47
WIB 18
BBC Indonesia, ―Lagi, dua ABK Indonesia diculik di Perairan Malaysia‖, [Berita Online]
diakses di: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38042466 pada 3 Oktober 2018 pukul 13:48 19
Banlaoi, Maritime Terrorism in Southeast Asia,. 70
6
Maraknya peristiwa pembajakan serta penculikan ini mendemonstrasikan
kemampuan yang dimiliki Kelompok Abu Sayyaf.20
Teror maritim yang
dilakukan Kelompok ini dilaporkan semakin membahayakan. Kelompok Abu
Sayyaf diketahui telah sukses menaiki kapal, menculik awak kapal dan menuntuk
uang tebusan. Perkembangannya, taktik ini juga banyak dilakukan oleh kelompok
pembajak lain.21
Jika perusahaan atau negara memenuhi tuntutan pembayaran
tebusan dikhawatirkan akan memicu peningkatan penyerangan dengan modus
serupa.
Ancaman keamanan di Laut Sulu-Sulawesi ini berdampak pada ketiga
negara litoral tidak hanya dari segi keamanan, tetapi juga dari sisi ekonomi dan
politik. Situasi ini mengharuskan adanya peningkatan kerja sama, penting untuk
mengacu pada rancangan kesepakatan dan alasan untuk mengikat ketiga negara
kepada institusi yang ada. Indonesia, Malaysia, dan Filipina tentu mengupayakan
peningkatan keamanan maritim di wilayah lautnya. Tetapi, penanggulangan
ancaman keamanan maritim ini akan sulit bila dilakukan secara mandiri oleh
setiap negara di kawasan. Isu perompakan kapal di Laut Sulu-Sulawesi
mendorong Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk memperkuat kerja sama untuk
mengatasi ancaman ini. Hal ini ditandai dengan kesepakatan antara tiga negara
untuk melaksanakan patroli militer bersama.22
20
John Bradford, ―Southeast Asian Maritime Security in Age f Terror: Threats,
Opportunity, and Charting the Course Forward‖, (Singapore: Institute of Defence and Strategic
Studies, 2005) 21
Raymond, Piracy in Southeast Asia, 1 22
Fabian Januarius Kuwando. Indonesia, Filipina, dan Malaysia Sepakati 6 Hal Terkait
Pengamanan Laut Sulu. [Online] diakses di:
http://nasional.kompas.com/read/2016/08/03/12561611/indonesia.filipina.dan.malaysia.sepakati.6.
hal.terkait.pengamanan.laut.sulu pada 09 Mei 2017 pukul 19.25 WIB
7
Kerja sama ini ditandai dengan pertemuan tiga menteri luar negeri dari
Indonesia, Malaysia, dan Filipina pada 5 Mei 2016 untuk mengadakan deklarasi
bersama atau Joint Declaration On Immediate Measures to Address Security
Issues in the Maritime Areas of Common Concern among Indonesia, Malaysia
and the Philippines. Indonesia, Malaysia, dan Filipina juga sepakat untuk segera
menyusun Standart Operating Procedure (SOP) kerja sama tersebut.23
Selain itu,
kerja sama ini juga dalam pertemuan tiga menteri pertahanan Indonesia, Malaysia,
dan Filipina pada 26 Juni 2016. Pertemuan ini menghasilkan Joint Statement
sebagai landasan kerja sama keamanan. Adapun bentuk kerja sama keamanan
sebagaimana yang disepakati adalah patroli terkoordinasi, joint military command
post, Trilateral Maritime Patrol Working Group (TMPWG), koridor transit di
wilayah laut, serta pertukaran informasi intelejen mengenai area maritim.24
Ancaman keamanan di laut Sulu-Sulawesi tidak hanya menyangkut
kepentingan tiga negara saja, tetapi juga kepentingan lalu lintas laut internasional.
Tingginya ancaman dari kelompok-kelompok kriminal dan teroris, menjadikan
wilayah laut Sulu-Sulawesi ini sebagai jalur laut yang paling berbahaya di Asia
Tenggara.25
Indonesia, Malaysia, dan Filipina sudah sepantasnya memainkan
peran penting dalam menjaga wilayah laut perbatasan tiga negara. Kerja sama
23
Munarsih Sahana, ―Pertemuan Trilateral Indonesia, Filipina dan Malaysia Hasilkan 4
Kesepakatan‖ [Berita Online] diakses di: https://www.voaindonesia.com/a/pertemuantrilateral-
indonesia-filipina-malaysia-hasilkan-4-kesepakatan/3316945.html 24
Joint Statement Trilateral Meeting Among The Defence Ministers of The Philippines,
Malaysia, and Indonesia [Online] diakses di: http://dnd.gov.ph/PDF%202016/Press%20-
%20Trilateral%20Meeting%20among%20the%20Defence%20Ministers%20of%20the%20Philipp
ines,%20Malaysia%20and%20Indonesia.pdf Pada 28 Mei 2017 pukul 21.18 25
Ian Storey, ―Tri Border Sea is SE Asian Danger Zone‖, Asia Times, 18 Oktober 2017
8
keamanan tiga negara ini diharapkan dapat menekan ancaman dan mengamankan
wilayah laut Sulu-Sulawesi.
B. Pertanyaan Masalah
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pokok permasalahan terkait dengan
judul penelitian adalah: Bagaimana kerja sama keamanan trilateral Indonesia,
Malaysia, dan Filipina meredam ancaman keamanan di Laut Sulu-Sulawesi?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan penelitian ini secara umum adalah menjawab model
kerja sama yang akan dilakukan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam
menghadapi ancaman keamanan di laut Sulu-Sulawesi.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam bidang akademis,
khususnya pada program studi hubungan internasional mengenai kerja sama
regional dan kemaritiman. Serta dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian-
penelitian selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan pemahaman mengenai model kerja sama
Indonesia, Malaysia, dan Filipina di Laut Sulu-Sulawesi. Sehingga hasil penelitian
ini dapat digunakan untuk pemerintah, militer, dan swasta dalam mengambil
kebijakan.
9
E. Tinjauan Pustaka
Upaya untuk mempertahankan keamanan maritim sudah sering menjadi
topik pembahasan dalam literatur-literatur akademik yang ditulis oleh kalangan
peneliti, pemerintah, lembaga non-pemerintah, pengamat maritim, dan pengamat
militer. Tentu setiap penelitian atau kajian literatur memiliki prespektif tersendiri
berdasarkan kerangka pemikiran yang digunakan. Berikut penelitian-penelitian
sebelumnya yang menjadi acuan dalam penulisan penelitian ini:
Pertama, Maritime Terrorism in South East Asia oleh Rommel C. Banlaoi.
Pembahasan dalam tulisan ini berfokus kepada kelompok Abu Sayyaf serta
bagaimana strategi teror maritim yang dilakukan oleh kelompok separatis di
Filipina ini. Banlaoi mengungkapkan struktur, keanggotaan, dan strategi
kelompok Abu Sayyaf serta bagaimana dampaknya terhadap keamanan maritim di
laut Asia Tenggara. Banlaoi menuturkan akar sejarah terbentuknya Abu Sayyaf,
serta mengkaitkannya dengan gerakan-gerakan Islam fundamentalis lainnya
seperti al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. Selanjutnya,
pembahasan juga berfokus pada strategi-strategi pergerakan kelompok Abu
Sayyaf serta bagaimana gerakan tersebut mengancam keamanan maritim.
Persamaan tulisan Banloi dengan penelitian ini adalah pengkajian mengenai
bentuk ancaman maritim oleh Kelompok Abu Sayyaf, tetapi Banlaoi tidak
membahas kejahatan transnasional lain yang menjadi ancaman. Selain itu, Banlaoi
hanya memuat respon pemerintah Filipina dalam menghadapi ancaman ini tanpa
mengikutsertakan pembahasan respon Indonesia dan Malaysia.
10
Kedua, Carolin Liss, Assessing Contemporary Maritime Piracy in Southeast
Asia: Trends, Hotspots and Responses dalam PRIF (Peace Reasearch Institute
Frankfurt) Report No. 125 tahun 2014. Laporan ini secara garis besar
menggambarkan kasus perompakan di laut Asia Tenggara serta upaya-upaya
penanganan selama periode tertentu. Fokus tulisan Liss adalah mengenai upaya-
upaya penanggulangan perompak melauli forum internasional dan kerja sama
antar negara. Langkah selanjutnya adalah membentuk suatu peraturan mengikat
serta penegakan hukum yang berlaku. Liss mengkorelasikan masalah kejahatan
perompak transnasional dengan keadaan domestik suatu negara. Selain itu, lebih
lanjut Liss juga menekankan upaya-upaya preventif yang dapat dilakukan untuk
menghindari perompakan. Persamaan dengan skripsi ini, tulisan Liss membahas
mengenai perompakan di Asia Tenggara, termasuk di Laut Sulu-Sulawesi.
Perbedaannya, Liss tidak secara terperinci membahas mengenai upaya yang
dilakukan untuk menanggulangi ancaman perompakan. Cakupan pembahasan
tulisan Liss mengenai laut Asia Tenggara, tidak secara rinci membahas Laut Sulu-
Sulawesi.
Ketiga, Achmad Insan Maulidy, Program Studi Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2011, Kerja sama Keamanan Indonesia, Malaysia,
Singapura dalam Mengatasi Masalah Pembajakan di Selat Malaka 2004-2009.
Skripsi ini membahas kerja sama antara tiga negara, Indonesia, Malaysia, dan
Singapura dalam bidang keamanan di Selat Malaka. Skripsi ini menggunakan
Grey-area phenomena (GAP), konsep keamanan, dan collective security untuk
11
mengkaji fenomena bajak laut di Selat Malaka. Perompak di Selat Malaka muncul
sebagai isu keamanan non-tradisional yang bersmber dari aktornon negara. Hal ini
dikarenakan permasalahan perompak tidak menjadi ancaman satu negara saja,
tetapi juga negara lain. Begitu pula kaitannya dengan kepentingan politik dan
ekonomi dalam suatu kawasan. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif yang
menggunakan sumber-sumber primer dan sekunder. Selain itu skripsi ini
membahas secara terperinci perampokan yang terjadi di Selat Malaka serta upaya
apa saja yang dilakukan ketiga negara tersebut untuk mengatasinya. Persamaan
dengan skripsi ini adalah penggunaan konsep keamanan dan keamanan kolektif
dalam mengkaji kasus. Perbedaannya adalah skripsi Achmad Insan membahas
perompakan di Selat Malaka, sementara skripsi ini membahas keamanan di Laut
Sulu-Sulawesi.
Keempat, tesis oleh Andres H. Caceres-Solari, berjudul “Indonesia,
Malaysia, and the Philippines Security Cooperation in the Celebes Sea”
Department of National Security Affairs, Naval Postgraduate School, Monterey,
California tahun 2008. Secara garis besar, tesis ini membahas mengenai prospek
kerja sama bidang keamanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina di laut Sulu dan
Celebes (Sulawesi). Permasalahan yang ditekankan pada tesis ini adalah ancaman
kelompok-kelompok teroris dari ketiga negara termasuk diantaranya adalah Abu
Sayyaf Group, Jemaah Islamiyah, dan Kumpulan Mujahidin Malaysia. Selain itu,
Caceres-Solari juga menekankan ancaman lain seperti perompakan dan konflik
etnik dan agama di ketiga negara. Pada tesis ini, Caceres-Solari menyertakan
masalah-masalah internal Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang berimplikasi
12
terhadap pengelolaan keamanan laut Sulu dan Sulawesi. Tesis ini menggunakan
konsep konstruktivisme dan realisme untuk menganalisis sebab-sebab munculnya
ketertarikan ketiga negara untuk melakukan kerja sama keamanan. Konsep
konstruktivis dan realisme juga digunakan untuk menjelaskan hambatan-
hambatan kerja sama ini, terutama faktor sejarah (kasus-kasus sengketa wilayah
antarnegara) dan hubungan bilateral ketiga negara. Persamaan tesis Caceres-Solari
dengan skripsi ini adalah mengkaji kerja sama keamanan antara Indonesia,
Malaysia, dan Filipina di Laut Sulu-Sulawesi. Perbedaannya terletak pada
penggunaan kerangka konsep serta rentang waktu yang digunakan dalam skripsi
ini hingga tahun 2016, dengan melanjutkan penelitian yang sudah ada.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Teori Liberalisme
Teori liberalisme memiliki asumsi dasar bahwa manusia, pada dasarnya
bersifat baik. Asumsi ini kemudian mendorong manusia untuk berbagi dan
bekerjasama. Keinginan manusia untuk menciptakan kesejahteraan membuat
kemajuan itu dimungkinkan. Perilaku buruk manusia muncul bukan karena sifat
dasarnya, melainkan dampak dari buruknya institusi sehingga mendorong
manusia untuk mementingkan dirinya sendiri dan cenderung melakukan
kekerasan. Hal ini yang kemudian memunculkan perang. Konflik dan peperangan
dalam perspektif liberalisme tidak bisa dihindari, namun dapat dikurangi dengan
mengadakan lembaga yang dapat meminimalisir perang. Konflik dan perang dapat
dicegah dengan mengadakan suatu upaya kolektif.26
26
Dugis, Visensio, ―Teori Hubungan Internasional Perspektif-Perspektif Klasik‖, (Surabaya:
Cakra Studi Global Strategis (CSGS)), 62
13
Liberalisme percaya bahwa dengan meningkatkan peran institusi
internasional dapat mendorong penyesuaian dan kerja sama antar negara. Institusi
ini dapat berupa organisasi internasional (PBB, Uni Eropa, dan ASEAN) atau
aturan-aturan, kesepakatan-kesepakatan, dan konvensi yang memfasilitasi antar
negara. Keberadaan institusi internasional ini diyakini dapat mempromosikan
kerja sama antar negara, hal ini juga dapat meningkatkan kepercayaan antar
negara. Kerja sama ini juga dapat memfasilitasi negara dalam memonitor negara
lain. Hal ini akan menciptakan rasa saling pengertian satu sama lain sehingga
proses negosiasi dan berkompromi dapat berjalan dengan lebih baik.27
Teori liberalisme dapat digunakan dalam mengkaji kerja sama keamanan
Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Keberlangsungan kerja sama keamanan
trilateral ini tidak akan berjalan apabila tidak adanya rasa saling percaya antar
negara tri border area.
2. Konsep Keamanan
Barry Buzan mendefinisikan keamanan sebagai kemerdekaan dari suatu
ancaman tertentu, sehingga negara dan masyarakat memiliki kemampuan
untuk mempertahankan identitas kemerdekaan dan intergritas fungsional
mereka dari kekuatan luar yang dianggap sebagai musuh.28
Definisi ancaman,
menurut Ullman adalah suatu keadaaan yangsecara drastis dapat menurunkan
tingkat kualitas hidup penduduk di suatu negara.29
Keamanan dan ancaman
27
Visensio, Teori, 75 28
Barry Buzan, ―People, State, and Fear: The National Security Problem in International
Relations,‖ (Sussex: Wheatsheaf Book, 1993), 93 29
Richard H. Ullman, ―Redefining Security‖, International Security vol. 8, No.1 (Summer
1983), 133 [Jurnal online] diakses di:
14
yang didefinisikan oleh Buzan dan Ullman bila dikaitkan skripsi ini adalah
ancaman di Laut Sulu-Sulawesi yaitu perompakan oleh Abu Sayyaf. Aksi
perompakan dan penculikan Abu Sayyaf di Laut Sulu-Sulawesi menimbulkan
kekhawatiran bagi kapal-kapal yang melewati wilayah tersebut.
Buzan juga mengungkapkan bahwa keamanan tidak sebatas kekuasaan
semata, tetapi juga menjalin suatu pola hubungan kerja sama yang
bermanfaat.30
Bila dikatkan dengan tema skripsi ini, bentuk kerja sama
tersebut adalah kerja sama keamanan Indoneisa, Malaysia, dan Filipina.
Secara tradisional, keamanan didefinisikan dalam istilah militer, dengan
fokus utama pada perlindungan negara dari ancaman terhadap kepentingan
nasional. Bila mengaitkan dengan keamanan maritim secara tradisional, hal ini
menyangkut keamanan navigasi kapal-kapal dari berbagai negara yang
melewati suatu wilayah laut negara tertentu.31
Berakhirnya perang dingin telah membuka era baru dalam pemahaman
tentang keamanan. Pasca perang dingin keamanan tidak lagi di artikan secara
sempit sebagai hubungan konflik atau kerja sama antar, tetapi juga berpusat
pada keamanan masyarakat.32
Selain itu, kejahatan transnasional seperti
terorisme, penyelundupan manusia, senjata, kejahatan lingkungan, kejahatan
hak asasi manusia, dan sebagainya menunjukan peningkatan cukup tajam dan
https://www.jstor.org/stable/2538489?seq=1#page_scan_tab_contents pada 6 Oktober 2018 pukul
11.51 WIB 30
Buzan, People, State, 189 31
Poltak Parogi Nainggolan, ed, ―Keamanan Maritim di Kawasan‖, (Jakarta: Azza Grafika,
2014), 10 32
Simon Dalby, ―Security, modernity, ecology: the dilemmas of post cold war security
discourse‖, Alternatives: Global, Local, Political, vol 17. No.1 (Winter 1992), 95-134
15
berkembang menjadi isu keamanan internasional. Silang hubungan yang
berlangsung dalam proses perubahan global, regional, dan domestik lebih
membentuk spektrum ancaman dan gangguan keamanan nasional suatu negara
yang bersifat kompleks, karena itu isu keamanan regional dan global
memerlukan keterlibatan aktif semua negara untuk mewujudkan pedoman dan
ketertiban dunia.
Saat ini, dengan memperhatikan perkembangan yang ada, konsep
keamanan berkembang dengan dinamis dan bermakna lebih luas. Keamanan
bukan hanya meliputi aspek militer saja namun juga meliputi aspek non
militer. Dalam buku Rethinking Security After the Cold War, Barry Buzan
mengatakan bahwa militer bukan hanya satu-satunya aspek penting dalam
keamanan, namun terdapat empat aspek non militer, yakni politik, lingkungan,
ekonomi, dan sosial.33
Adanya perluasan makna dari perspektif tradisional menuju non-
tradisional juga melibatkan aktor yang non-state, yang terlihat dari dinamika
interaksi antara sektor dan aktor keamanan dalam perkembangan berikutnya,
Buzan dan Ole Weaver mengkoseptualisasikan keamanan sebagai sesuatu
yang harus dipentaskan sebagai ancaman eksistensial terhadap objek referensi
oleh aktor sekuritisasi yang ada dengan menghasilkan dukungan tindakan
darurat di luar aturan yang jika tidak akan mengikat.34
33
Barry Buzan, ―People, States and Fear: The National Security Problems in International
Relations‖ (Brighton: Wheatsheaf, 1991) 34
Barry Buzan dan Ole Waever, ―Regions and Powers, The Structure of International
Security‖, (Cambridge: Cambridge University Press 2004), 45
16
Konsep keamanan dapat dibedakan dengan konsep pertahanan.
Pertahanan (defence) didefinisikan dalam kamus oxford sebagai sebuah
tindakan untuk mempertahankan diri dari serangan (The action of defending
from resisting attack). Definisi ini dapat kita artikan memiliki tujuan yang
sama yaitu memperoleh kemerdekaan dari ancaman yang dapat mengganggu
keamanan nasional, akan tetapi keamanan lebih bersifat preventif dan
antisipatif dalam merespon ancaman. Tetapi, Buzan menyatakan bahwa
keamanan selaly memperhitungkan aspek ancaman dan kerentanan. Kedua
aspek tersebut sangat ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki oleh suatu
negara. Hal ini berhubungan dengan kekuatan yang dimiliki oleh suatu negara.
Oleh karena itu, fungsi angkatan bersenjata (dalam hal ini militer) dijustifikasi
oleh keperluannya akan keamanan nasional dan secara politis diasumsikan
kekuatan militer berkorelasi positif dengan keamanan nasional.35
Keamanan akan sulit diperoleh hanya dengan kekuatan negara sendiri.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama secara lokal, regional, maupun global
dan dalam berbagai sektor seperti ekonomi, pertahanan, dan lingkungan. Kerja
sama keamanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dapat dianalisis
menggunakan konsep keamanan. Perompakan oleh Abu Sayyaf merupakan
ancaman bersama bagi Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
3. Keamanan Kolektif (Collective Security)
Keamanan Kolektif menjelaskan bagaimana perilaku negara-negara
dalam suatu kawasan ketika menghadapi ancaman eksternal. Negara-negara
35
Buzan, People, State, 271-291
17
dalam kawasan membentuk suatu aliansi untuk melindungi diri terhadap
ancaman keamanan dari luar.36
Aliansi ini muncul ketika ancaman tersebut
tidak mampu dihadapi oleh satu negara sendiri. Aliansi ini dibentuk karena
dianggap mampu untuk mempertahankan distribusi kekuatan bagi anggota
aliansi.37
Negara tidak mampu mengatasi masalah secara individual, terlebih bila
menyangkut masalah yang lintas batas. Sehingga keamanan yang bersifat
kolektif dibutuhkan. Keamanan kolektif dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
sosial, dan lingkungan.38
Untuk itu kerja sama dalam bidang keamanan
diperlukan, bentuk kerja sama antar negara dapat berupa bilateral, trilateral,
dan regional.
Hal yang ditekankan pada konsep ini adalah persamaan persepsi
mengenai sebuah ancaman dan resiko yang mengharuskan keamanan tersebut
dilaksanakan secara kolektif. Contohnya, sebagaimana yang terjadi pada masa
Perang Dingin dimana ancaman dari Blok Timur mengharuskan negara-negara
Blok Barat membentuk suatu pengaturan keamanan bersama.39
Hal ini juga
bisa kita lihat dalam kasus keamanan Laut Sulu-Sulawesi dimana ketiga
negara merasakan ancaman bersama dari Abu Sayyaf.
Jika sistem keamanan kolektif mencangkup lingkungan internasional,
sehingga bisa merespon ancaman dapat muncul dari berbagai belahan dunia.
36
Lawrence Mwagwabi. ―The Theory of Collective Security and Its Limitations in
Explaining International Organization: A Critical Analysis‖, (2010) 37
Mwagwabi, The Theory, 38
Buzan dan Ole Waever, Regions and Powers, 45 39
Cordner, Lee, ―Indian Ocean Maritime Security: Risk-based Internationel Policy
Development‖,
18
Negara atau wilayah atau sistem internasional mana saja yang melakukan
agresi, membahayakan perdamaian, atau keluar dari batas-batas perilaku yang
melanggar norma dan sistem keamanan kolektif diberlakukan. Setiap negara
wajib menjaga perdamaian dan keamanan terlepas dari mana dan dimana
ancaman itu berasal.40
Nicholas Tsagourias menyebutkan bahwa tujuan dari keamanan kolektif
adalah mencapai kepentingan publik berupa perdamaian dan keamanan
internasional. Keamanan kolektif menjadi pilihan karena karena negara
memiliki kemampuan dan sumber daya yang terbatas untuk menjamin
perdamaian dan keamanan internasional. Oleh karena itu otoritas publik
diperlukan, dalam hal ini adalah lembaga keamanan kolektif yang bertindak
atas nama negara-negara yang tergabung di dalamnya dengan menghimpun
sumber daya yang dimiliki masing-masing untuk menciptakan keamanan.41
Keamanan kolektif menyediakan landasan normatif dan sarana
pengaturan perilaku negara-negara berdaulat dan konflik di antara mereka.
Selain itu keamanan koorperatif menyediakan pula prosedur kelembagaan
yakni legalisasi respon dalam mengatasi ancaman tradisional berorientasi
militer untuk pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Namun,
tantangan terhadap kedaulatan keamanan telah muncul, terutama setelah
berakhirnya Perang Dingin. Hal ini dikarenakan ancaman keamanan yang
40
Stefan Aleksovsi, Oliver Bakreski, dan Biljana Avramovska. ―Collective Security – The
Role of International Organizations – Implications in International Security Order‖ Mediterranean
Journal of Social Sciences Vol 5 No 27. (Rome: MCSER Publishing, 2014) 41
Tsagourias, Nicholas dan Nigel D. White, ―Collective Security: Theories, Law and
Practice‖ (Cambridge: Cambridge University Press, 2013), hal 20.
19
dirasakan makin beragam, seperti munculnya masalah keamanan
transnasional, semakin besar peran yang dimainkan oleh aktor non-negara.42
Salah satu contohnya adalah ancaman Kelompok Abu Sayyaf, Moro National
Liberation Front (MNLF) atau Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan
pelaku kejahatan transnasional di laut Sulu-Sulawesi.
G. Metode Penelitian
Secara garis besar, terdapat dua jenis penelitian yaitu penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Penelitian dengan metode kuantitatif
merupakan penelitian ilmiah dengan mengumpulkan data-data secara
numerik. Data-data tersebut kemudian diakumulasi dan diolah untuk
mendapatkan kesimpulan atau ide umum dari proses penelitian. Sementara,
penelitian kualitatif menurut Lexy J. Moleong, merupakan penelitian yang
berdasarkan pada fondasi penelitian, paradigma penelitian, perumusan
masalah, tahap-tahap penelitian, teknik penelitian, kriteria dan teknik
pemeriksaan data dan analisis dan penafsiran data.43
Sementara menurut Kirk
dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam
ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada
pengamatan pada manusia dan fenomena sosial.44
Metode kualitatif
42
Richard Cohen dan Michael Mihalka, ―Cooperative Security: New Horizons for
International Order‖, The Marshall Center Papers No.3 (April 2001), 6 43
Lexy J. Moleong., ―Metode Penelitian Kualitatif‖ (Bandung: Remaja Rosdakarya., 2000) 44
Sudarto, ―Metodologi Penelitian Filsafat‖, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995)
20
digunakan untuk meneliti suatu hal yang mendalam dan membutuhkan
penjelasan yang mendalam dan deskriptif.45
Penulis memilih menggunakan metode kualitatif dalam menjelaskan
model kerja sama keamanan trilateral Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Metode penelitian kualitatif dipilih karena metode ini dapat menggambarkan
kondisi objek atau fenomena yang diteliti sesuai fakta yang ditemukan.
Metode kualitatif mampu menggambarkan secara spesifik mengenai fenomena
yang terjadi serta latar belakang aktor-aktor yaitu Indonesia, Malaysia dan
Filipina dalam melakukan kerja sama trilateral. Selain itu, fenomena hubungan
internasional merupakan fenomena yang kompleks dan dipengaruhi berbagai
variabel. Sifatnya dinamis dan berubah sesuai dengan situasi pada saat itu.
Oleh karena itu, apabila menggunakan penelitian kuantitatif, penelitian ini
akan terlalu disederhanakan.46
Metode penelitian kualitatif ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dari metode penelitian kualitatif sebagaimana dijelaskan oleh
Wahyu Pramono adalah deskripsi sewajarnya terhadap subjek penelitian
meminimalkan manipulasi data dan kemampuan memecahkan persoalan yang
informasinya terbatas. 47
Selain itu, penelitian kualitatif tidak memerlukan
alat-alat seperti angket atau survei. Hal ini dapat menghemat waktu penelitian
dan pengumpulan data. Satu sisi, kekurangannya adalah reliabilitas data,
45
Uwe Flick, ―Qualitative and Quantitative Reasearch dalam An Introduction to Qualitative
Research", (London: SAGE Publication, 2006), 32-43 46
Harvey, Frank P. Dan Michael Breavher (ed), ―Evaluating Methodologies in
International Studies:, (Ann Arbor: The University of Michigan Press), 120 47
Wahyu Pramono, ―Kekuatan dan Kelemahan Penelitian Kualitatif‖, Jurnal Antropologi
vol 1 (1998): 15
21
resiko pengumpulan data yang tidak berkaitan, generalisasi, dan kurangnya
objektivitas.
Metodologi penelitian kualitatif dalam penelitian ini didukung oleh studi
pustaka berupa buku, penelitian, laporan, dan jurnal yang berkaitan dengan
―Analisa Model Kerja Sama Keamanan Trilateral Indonesia, Malaysia, dan
Filipina di Laut Sulu-Sulawesi Periode 2016-2017‖.
H. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah tentang kondisi laut diantara
Indonesia, Malaysia, dan Filipina, tujuan penulisan, kerangka konsep, dan
metode penelitian yang digunakan.
BAB II: Ancaman Keamanan di Laut Sulu-Sulawesi
Bab ini menjelaskan sejarah, bentuk-bentuk ancamanan keamanan di Laut
Sulu-Sulawesi, serta faktor-faktor yang melatarbelakanginya.
BAB III: Dampak Ancaman Keamanan di Laut Sulu-Sulawesi
Bab ini membahas mengenai dampak ancaman di Laut Sulu-Sulawesi
terhadap Indonesia, Malaysia, dan Filipina dari segi Ekonomi, Keamanan,
serta Politik.
BAB IV: Analisis Model Kerja Sama Keamanan Trilateral Indonesia,
Malaysia, dan Filipina di Laut Sulu-Sulawesi
22
Bab ini akan menganalisis model kerja sama keamanan trilateral Indonesia,
Malaysia, dan Filipina di Laut Sulu-Sulawesi, mulai dari proses penetapan
kerja sama keamanan, hambatan, serta keberhasilan kerja sama tersebut.
BAB V: Penutup
Bab ini merupakan penutup dan kesimpulan dari bab sebelumnya.
23
BAB II
ANCAMAN KEAMANAN DI LAUT SULU-SULAWESI
Bab ini membahas ancaman potensial yang terjadi di Laut Sulu-Sulawesi.
Adapun ancaman tradisional merupakan ancaman terhadap suatu kedaulatan
negara oleh negara lain. Sementara ancaman non-tradisional meliputi
perompakan, illegal fishing, penyeludupan narkotika, terorisme, perdagangan
gelap, dan sengketa perbatasan.48
Seiring berjalannya waktu, ancaman non-
tradisional mulai mendominasi isu maritim di kawasan. Ancaman terbesar di
perairan Sulu-Sulawesi merupakan kejahatan transnasional dan teror maritim oleh
kelompok Abu Sayyaf. Ancaman ini menjadi perhatian ketiga negara karena
sifatnya yang lintas batas.
Laut Sulu-Sulawesi merupakan jalur yang dilalui kapal-kapal besar seperti
tank untuk menuju Samudera Pasifik.49
Wilayah perairan ini dikelilingi oleh
daratan Indonesia (Sulawesi), Malaysia (Sabah), dan Filipina (Kepulauan Sulu),
maka ketiga negara ini berkewajiban untuk menjaga keamanan perairan tersebut
dari ancaman-ancaman maritim. Ancaman maritim dapat diartikan secara
tradisional mau pun non-tradisional.
48
I Gusti Bagus Dharma Agastia dan Anak Agung Banyu Perwita, Maritime Security in the
Indo-Pacific (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2016), 2 49
Joshua H. Ho, ―The Security of Sea Lanes in Southeast Asia‖, Asian Survey, Vol. XLVI,
NO. 4 (Juli/Agustus 2006): 560
24
A. Sejarah Kejahatan di Laut Sulu-Sulawesi
Laut Sulu berada di sebelah selatan Filipina dan memiliki luas sebesar
100.000 m2.50
Laut ini diapit oleh Kepulauan Sulu, Palawan, dan Sabah.
Sementara Laut Sulawesi memiliki luas sebesar 110.000 m2 yang dibatasi oleh
Kepulauan Sulu bagian selatan, Mindanao, Kalimantan Timur, dan Sulawesi.
Catatan sejarah mengenai keberadaan ancaman di Laut Sulu-Sulawesi dapat
ditelusuri sejak Dinasti Han. Pada masa itu, Laut Sulu-Sulawesi memiliki peran
yang cukup besar dalam perdagangan rempah yang dibawa dari Maluku.51
Laut Sulu-Sulawesi dikuasai oleh grup etnis dan suku yang memiliki
pengetahuan maju dalam bidang kemaritiman, hal ini pula yang menjadi faktor
penting dalam lalu lintas kapal dagang pada masa tersebut. Grup etnis tersebut
adalah Sulu, Maguindanao, Sangir, dan Talaud. Grup etnis ini mendiami Filipina
bagian selatan, Sulawesi bagian utara, dan Maluku bagian utara. Kendatipun grup
etnis ini memiliki pengetahuan maritim yang cukup laju, tidak ada satupun yang
menjadi sea power di kawasan tersebut. Hal ini karena masing-masing etnis tidak
tergabung dalam satu kesatuan pemerintahan.52
Ancaman keamanan di Laut Sulu-Sulawesi pada masa itu adalah perompak,
atau yang dikenal dengan nama Lanun. Lanun pada mulanya hidup di pedalaman
hutan, seiring berjalannya waktu akibat dari bencana alam dan desakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, mereka menyebar hingga ke pesisir pantai. Sejarah
50
Ian Storey, ―Securing Southeast Asia;s Sea Lanes: A Work in Progress‖, Asia Policy
No.6 Juli 2008, 104 51
Adrian B. Lapian, ―Laut Sulawesi: The Celebes Sea, from center to Peripheries‖,
Moussons Vol. 7 (2003): 5 52
Lapian, Laut Sulawesi, 6
25
menuliskan bahwa Lanun merupakan perompak yang cukup kuat dan sulit untuk
dihadapi. Hal ini dikarenakan Lanun memiliki hubungan yang cukup baik dengan
Kesultanan Sulu. Lanun sering disewa untuk menjadi kekuatan tambahan dalam
armada angkatan lautnya. Selain karena pengetahuan maritim yang maju, Lanun
juga memiliki persenjataan yang cukup lengkap.53
Perompakan di laut Sulu semakin marak pada masa kolonialisme Spanyol.
Meskipun pemerintah kolonial Spanyol bersama dengan Belanda, dan Inggris
berusaha untuk menekan angka lanun, mereka tidak sepenuhnya mampu
mengeliminasi keberadaannya. Hal ini dikarenakan secara administratif,
kekuasaan ketiga negara kolonial tersebut cenderung lemah di wilayah laut Sulu-
Sulawesi.54
Keadaan membaik ketika Spanyol mengalihkan Filipina kepada Amerika
Serikat tahun 1898. Amerika Serikat secara rutin mengadakan patroli di laut Sulu-
Sulawesi. Kapal dan peralatan yang digunakan untuk berpatroli ini juga lebih
maju dan modern. Amerika Serikat juga berhasil membawa Selatan Filipina ke
dalam administrasi pemerintahan pusatnya. Namun, ketika Filipina memperoleh
kemerdekaannya tahun 1946, pengalihan pemerintahan membuat kontrol di
Selatan Filipina melemah dan perompak kembali muncul di laut Sulu-Sulawesi.55
Budaya maritim di Laut Sulu-Sulawesi diturunkan dari generasi ke generasi.
Seiring berkembangnya zaman, keberadaan di Laut Sulu-Sulawesi ini juga
53
Lapian, Laut Sulawesi, 7 54
Eklof Amirell, Stefan ―The Return of Piracy: Decolonization and International Relations
in a Maritime Border Region (the Sulu Sea) 1959-63‖, Working papers in Contemporary Asian
Studies No. 15 (2005), 3 55
Eklof, The Return, 5
26
berkembang. Selain itu, kurangnya kontrol dari pemerintah, kesejahteraan yang
tidak merata, serta politik pusat juga menyuburkan praktek perompakan ini.
Wilayah Mindanao mengalami isu separatis selama beberapa tahun. Akibatnya
Laut Sulu-Sulawesi menjadi wilayah rawan dengan aksi kejahatan transnasional
di laut. Satu sisi, faktor geografis dan perkembangan teknologi juga memperbesar
peluang perompak untuk menjalankan aksinya.56
Selain perompakan, Laut Sulu-Sulawesi juga merupakan wilayah yang
rentan terhadap penyelundupan barang-barang ilegal. Transaksi perdagangan
ilegal ini biasanya berupa kelapa atau copra yang dibawa ke Kalimantan Utara
dari Tawau. Copra ini biasanya diekspor ke Indonesia untuk ditukarkan dengan
barang lain seperti pakaian, tembakau, kain, dan lain-lain.
Perdagangan ini dinilai ilegal oleh pemerintah Indonesia. Pemerintah
Indonesia telah berupaya untuk menghentikan praktek perdagangan ilegal ini
dengan mencegat kapal dagang dan menyita kargo. Namun, karena regulasi pada
masa itu masih terbatas, penangannya belum maksimal. Perdagangan ilegal ini
mulai menjadi perhatian bagi pemerintah Filipina pada tahun 1956. Hal ini
dikarenakan banyak barang-barang impor yang tidak berlisensi beredar di
Filipina. Pemerintah Filipina kemudian mengambil tindakan tegas dengan
melarang peredaran barang-barang impor tersebut menjelang akhir tahun 1950-
an.57
56
Storey, Securing, 105 57
Eklof, The Return, 7
27
B. Kejahatan Transnasional
Seiring berkembangnya arus globalisasi menyebabkan meningkatnya kasus
kejahatan. Tindak kejahatan ini tidak terbatas dalam suatu negara, namun
berkembang menjadi kejahatan yang bersifat lintas batas. Kawasan Asia Tenggara
merupakan salah satu kawasan yang rawan dijadikan kawasan sindikat kejahatan
internasional. Kejahatan Transnasional ini meliputi peredaran narkotika,
penyeludupan senjata, imigrasi ilegal, penyeludupan satwa dan hewan yang
dlindungi, perompakan, dan terorisme. Banyak kelompok-kelompok kriminal
yang memanfaatkan kelemahan birokrasi suatu negara agar lolos dari jeratan
hukum dan mengembangkan operasi mereka ke ranah internasional.58
PBB mendefinisikan kelompok kejahatan sebagai ―...grup terstruktur yang
terdiri dari tiga orang atau lebih, yang berdiri selama periode waktu tertentu dan
bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak kejahatan berat atau
pelanggaran yang di tetapkan dalam Konvensi ini, untuk memperoleh, secara
langsung atau tidak langsung, keuntungan finansial atau materi lainnya‖.59
Kejahatan Transnasional melibatkan perlintasan batas negara dan hukum di suatu
58
Ralf Emmers, ―The Threat of Transnational Crime in Southeast Asia: Drug Trafficking,
Human Smuggling and Traffiking, and Sea Piracy‖, [Online] UNISCI Discission Papers, 2003
diakses di chttps://revistas.ucm.es/index.php/UNIS/article/download/UNIS0303230005A/28316
pada 10 Mei 2017 pukul 10:35 WIB 59
United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime and The Protocols
Theeto, Pasal 1 poin (a), (Terjemahan Penulis)
28
tempat. Oleh karena itu, isu ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas keamanan
negara dan internasional.60
Perairan Sulu-Sulawesi merupakan kawasan penting, tidak hanya bagi
negara di sekitarnya tetapi juga bagi negara lain di luar kawasan. Perairan Sulu-
Sulawesi merupakan jalur laut yang dilalui oleh banyak kapal yang melintas antar
perbatasan. Perairan ini tentu saja tak terlepas dari berbagai tantangan bagi
pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Ancaman stabilias di Laut Sulu-
Sulawesi berasal dari berbagai sumber, baik dalam maupun luar negeri. Adapun
Kejahatan Transnasional yang mengancam wilayah perairan ini antara lain:
1. Peredaran Narkotika Ilegal
WHO mendefinisikan narkotika sebagai ―zat (selain makanan, air, atau
oksigen) yang apabila dikonsumsi akan memengaruhi fungsi fisik dan/atau
psikologi penggunanya.61
Sejalan dengan definisi tersebut, Andi Hamzah62
mendefinisikan narkotika sebagai suatu zat alami atau buatan yang dapat
menimbulkan efek menurunnya tingkat kesadaran dan rasa nyeri pada
penggunanya dan bila dikonsumsi secara terus menerus zat ini dapat
menyebabkan ketergantungan pada penggunanya. Permasalahan peredaran
narkotika ilegal ini berkembang menjadi semakin rumit. Kemajuan di bidang
teknolgi dan transportasi menjadi salah satu faktor meluasnya perdagangan
60
John McFarlane dan Karen McLellan, ―Transnational Crime: The New Security
Paradigm‖, Working Paper No. 294, (Canberra: Strategic and Defence Studies Centre Australian
National Univeristy, 1996), 2 61
Anonim, Lexicon of alcohol and drug terms published by the World Health Organization,
[Online] diakses di http://www.who.int/substance_abuse/terminology/who_lexicon/en/ pada 11
Mei 2017 pukul 14.02 WIB 62
Andi Hamzah, ―Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana‖, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), 224
29
narkotika ilegal. UNDOC (United Nation Office on Drugs and Crime)
menyebutkan bahwa arus peredaran narkotika di Asia Tenggara mencapai US
$ 31.3 Triliun, angka ini lebih dari sepertiga total angka perdagangan ilegal
lainnya.63
Produksi dan distribusi narkotika ilegal telah lama menjadi salah satu
aktivitas kejahatan di Asia Tenggara. Produksi narkotika terbesar di Asia
Tenggara masih di pegang oleh negara-negara Golden Triangle (Thailand, Laos,
Myanmar). Lokasi ketiga negara tersebut menjadi jalur utama distribusi narkotika
menuju Tiongkok dan Vietnam.64
Meskipun demikian, sumber peredaran
narkotika ini juga berasal dari negara lain di Asia Tenggara. Salah satunya adalah
Filipina yang merupakan penghasil narkotika jenis sabu yang beredar di Indonesia
hingga Kanada dan Amerika Serikat. Peredaran narkotika dari Filipina ini diduga
melibatkan campur tangan kelompok separatis seperti Moro Islamic Liberation
Front dan Abu Sayyaf.65
Distribusi narkotika ilegal ini menggunakan rute darat, udara, dan laut.
Secara global, peredaran narkotika ilegal menggunakan jalur laut lebih sedikit
dibanding jalur darat, tetapi karena muatan yang dapat diangkut menggunakan
63
Drug Trafficking Trends & Border Management in Southeast Asia: ―Responding to an
evolving context of regional integration‖ [Online] diakses dari
https://www.unodc.org/documents/ungass2016/CND_Preparations/Brown_bag_lunch/Asia/2014.1
1.19_CND_preparation_for_UNGASS_2016_final.pdf pada 13 Mei 2017 pukul 19.43 WIB 64
Weatherbee, Donald E, ―International Relation in Southeast Asia The Struggle for
Autonomy Second Edition‖, (Maryland: Rowman & Littledield Publisher, Inc., 2009), 187 65
Weatherbee, International, 187
30
kapal lebih besar, maka peredaran melalui laut dapat menimbulkan efek yang
cukup besar.66
Selain itu, dari kondisi geografis Asia Tenggara, penyeludupan narkotika
lebih mudah dilakukan melalui jalur laut menuju Timur Tengah, Jepang, dan
Australia. Laut Sulu-Sulawesi juga menjadi salah satu jalur peredaran narkotika
ilegal, khususnya narkotika jenis sabu, marijuana, dan heroin.67
Peredaran
narkotika ilegal di Laut Sulu-Sulawesi juga tidak lepas dari peran kelompok Abu
Sayyaf, terutama keterkaitan antara kelompok ini dengan jaringan pengedar
Hongkong untuk mengedarkan shabu ke Filipina dan negara Asia Tenggara
lainnya melalui jalur laut.68
2. Penyelundupan Senjata
Tingkat konflik sosial yang tinggi di Asia Tenggara memicu peningkatan
penyelundupan senjata ilegal. Situasi dan kondisi negara yang tidak stabil
berdampak pada semakin maraknya aktivitas kejahatan transnasional.69
Penyeludupan senjata ini tentu saja merupakan ancaman serius bagi negara
maupun kawasan. Jenis senjata yang sering diselundupkan adalah senjata jenis
Small Arms and Ligjt Weapon (SALW). Small Arms merupakan senjata kecil yang
didesain untuk individu70
, senjata ini biasanya memiliki kaliber kecil (4,6—40
66
UNDOC World Drug Report 2015, [Online] diakses dari
https://www.unodc.org/documents/wdr2015/World_Drug_Report_2015.pdf pada 18 Mei 2017
pukul 21.00 WIB 67
LaVerle Berry, et al, ―A Global Overview of Narcotics-Funded Terrorist and Other
Extrimist Group‖, The Library of Congress May 2002, 105 68
Berry, A Overview, 105 69
Anggi Setio Rachmanto, ―Pola Penyeludupan dan Peredaran Senjata Api Illegal di
Indonesia‖, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. V no.II (Agustus 2009), 32 70
United Nations Office of Disarmament Affairs, Small Arms and Light Weapons,
(UNODA, 2008)
31
atau 60 mm), beberapa contoh diantaranya adalah handgun, revolver, dan pistol
otomatis.71
Sementara Light Weapon merupakan senjata portable yang didesain
untuk digunakan oleh beberapa orang dalam satu kru infatri. Beberapa contoh
diantaranya adalah man-portable firearms, light altillery guns, meriam kecil, serta
anti-tank atau anti-aircraft.72
Zarina Othman mengungkapkan ada beberapa faktor yang mendukung
penyelundupan senjata73
; pertama, penyelundupan senjata dilakukan oleh aktor
non-negara. Hal ini menyebabkan pemerintah setempat sulit mengendalikan
peredaran senjata ilegal, karena antar kelompok yang berkonflik memiliki akses
langsung dengan para ‗pendukung‘ atau simpatisan dari luar negeri; kedua, faktor
suplai dan komunikasi. Othman mengungkap bahwa penyelundupan senjata
terjadi di pasar gelap dan 'grey area‘; dan ketiga, kondisi geografis. Othman
menyebutkan bahwa faktor ini berkaitan erat dengan lemahnya pengamanan batas
wilayah antar negara serta minimnya koordinasi antar aktor negara maupun non-
negara. Selain ketiga faktor tersebut, maraknya peredaran senjata ilegal juga
diakibatkan oleh produksi ilegal senjata api dan suplai dari militer negara
setempat.74
Penyelundupan senjata ilegal ini berasal dari wilayah konflik seperti di
Mindanao, Filipina Selatan dan Pattani Thailand, senjata-senjata ini banyak
yang berupa hasil curian dari gudang senjata tentara Thailand. Selain Thailand,
71
Anonim, ―Small Arms and Light Weapons: A training manual”, (Saferworlds, 2012), 3 72
Anonim, Small Arms, 4 73
Othman, Zarina, ed., ―Non-Traditional Security Issues and the Stabilitu of Southeast
Asia‖, Jurnal Kajian Wilayah vol. 4 No. 2 (2013), 160 74
Katherine Kramer, ―Legal to Illegal: Southeast Asia‘s Illegal Arms Trade‖, Kasarinlan
Philippine Journal of Third World Studies Vol 16 No, 2 (2001), 45
32
Kamboja dan Vietnam juga merupakan negara yang mensuplai kelompok-
kelompok separatis seperti GAM di Aceh.75
Sementara itu, menurut Kramer,
Kelompok Abu Sayyaf dan MILF di Filipina mendapatkan senjata yang
distribusikan dari Sabah.
Beberapa aktor lain juga terlibat dalam praktek penyelundupan senjata di
Sulu, sebagaimana ditulis oleh Lino Miani, kelompok-kelompok separatis
memperoleh senjanta dari Afghanistan, Kolombia, Tiongkok, Pakistan, Palestina,
Libanon, Sudan, Libya, Korea Utara, Arab Saudi, dan Malaysia; dengan transit
points di Singapura, Indonesia, Taiwan, Hong Kong, Vietnam, dan Myanmar.
Selain itu, senjata rakitan yang di buat di Filipina terkenal di kalangan kelompok
kriminal Jepang, Tiongkok, dan Taiwan. Senjata rakitan ini kemudian di
distribusikan hingga ke Maluku, Irian Jaya, dan Papua Nugini.76
Penyelundupan melalui jalur laut hampir sulit terdeteksi. Hal ini
dikarenakan rute penyelundupan antar pelabuhan sangat teroganisir dan fleksibel.
Rute yang dilalui oleh penyelundup memiliki banyak blind spot yang luput dari
pantauan otoritas setempat. Adapun jalur penyelundupan yang melewati Laut
Sulu-Sulawesi terbagi menjadi tiga jalur yaitu: Jalur Maluku, Jalur Palawan, dan
Jalur sulu.
75
Kramer, Legal to Illegal, 43 76
Lino Miani, ―The Sulu Arms Market: Globalized Gunrunning Since 1521‖, The Affiliate
Network 27 Juli 2015 [Online] diakses di: http://affiliatenetwork.navisioglobal.com/2015/07/sulu-
arms-market/ pada 30 Mei 2017 pukul 21.53 WIB
33
Gambar II. A. Rute Penyelundupan Senjata Laut Sulu
Sumber: Lino Miani, The Sulu Arms Market: National Responses to a Regional
Problem77
a. Jalur Maluku
Jalur Maluku merupakan jalur yang paling langsung dari Mindanao.
Jalur ini dimulai dari Davao, Digos, Santos City, Mindanao, melewati
laut Sulawesi dengan pemberhentian di Sangihe atau pulau Talaud
sebelum ke Menado, Ambon, dan Sulawesi.
b. Jalur Palawan
Jalur Palawan sering digunakan untuk menghubungkan bagian Sabah
bagian utara ke Manila. Senjata diselundupkan melalui Laut Sulu
diantara pantai timur Palawan dan Mindanao, jalur ini dimulai dari
Labuan atau Kinabalu, Malaysia. Senjata kemudian dikirim kepada kurir
77
Miani, Lino, ―The Sulu Arms Market: National Responses to a Regional Problem”,
(Singapura: Institute of Asian Studies, 2011)
34
di Kudat di Timur Laut Borneo. Senjata ini diselundupkan dengan kapal
feri dan kapal nelayan ke Pulau Mangsee Utara, Pulau Mangsee Selatan,
Sibugo atau Balabac kemudian dikirim ke Rio Tuba.
c. Jalur Sulu
Jalur Sulu merupakan penghubung alami antara Sabah dan Mindanao.
Hal ini dikarenakan secara geografis, kepulauan Sulu memungkinkan
penyelundupan melalui perjalanan pendek. Jalur ini memiliku banyak
pasar di hampir setiap pemberhentiang. Hal ini mempermudah
penyelundupan dilakukan oleh kurir. Lokasi Kepulauan Sulu merupakan
titik awal yang penting penyelundupan senjata. Jalur ini bertujuan ke
Sandakan, hal ini dikarenakan Sadakan merupakan pusat Kesultanan
Sulu di Sabah.
Permasalahan ini memiliki potensi cukup besar untuk merusak kestabilan
keamanan nasional atau kawasan bahkan internasional. Bila penyelundupan
senjata ilegal ini terjadi secara mengglobal, ancaman yang ditimbulkan setara
dengan senjata pemusnah massal yang memiliki daya hancur yang besar.78
3. Perompakan (Piracy)
Perompakan bukanlah ancaman baru yang dihadapi oleh negara di Asia
Tenggara. Sejak tahun 1700—1800an juga terkenal dengan aktivitas bajak laut
dan perompakan yang tinggi. Hal ini tertulis dalam catatan pedagang Tiongkok,
Faxian, bahwa peraraian Asia Tenggara dipenuhi bajak laut. Tidak hanya di Selat
Malaka, perompak atau bajak laut juga terdapat di peraian sekitar Sulawesi Utara
78
Rachmanto, Pola Penyelundupan, 33
35
dan Filipina. Wilayah perairan ini, sejak tahun 1700-1800an juga terkenal dengan
aktivitas perompakan yang tinggi.79
Hingga zaman modern, perompakan masih
menjadi ancaman keamanan di kawasan Asia Tenggara.
Keberadaan perompak di perairan Asia Tenggara tidak lepas dari sejarah
kolonial. Persaingan dagang antara Inggris, Belanda, Perancis, dan Portugis
menuntut pengamananan untuk kapal-kapal mereka. Sehingga, pemerintah
kesultanan sering menyewa perompak untuk menjaga wilayah perairan mereka.
Praktek ini banyak dilakukan di Aceh untuk menahan kapal-kapal asing yang
hendak melewati wilayah lautnya tanpa membayar. Pemerintah kolonial Belanda
menganggap keberadaan perompak ini bertindak diluar pemerintahan kolonialnya.
Namun karena wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda terbatas di
pelabuhan sekitar Batavia, pemerintah kolonial sulit untuk mengontrol keberadaan
perompak ini. Sehingga sering terjadi praktek perdagangan ilegal dilakukan oleh
Aceh, Mataram, dan Ternate dengan Siam dan Filipina. Singkatnya, pelaku
praktek perdagangan ilegal ini yang kemudian didefinisikan sebagai ‗perompak‘
oleh pemerintah kolonial Belanda.80
Perompak, didefinisiskan dalam United Nations Convention on the Law of
the Sea atau UNCLOS pasal 101 adalah: 81
79
Lapian, Adrian B, ―Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi
Abad XIX‖, (Depok: Komunitas Bambu, 2009) 80
Jason Abbot dan Neil Renwick, ―Pirates? Maritime Piracy and Societal Security in
Southeast Asia‖, Pacifica Review, Vol. 11 No. 1 (Februari 1999): 9-11 [Online] diakses di
https://www.researchgate.net/profile/Jason_Abbott2/publication/247497099_Pirates_Maritime_Pir
acy_and_Societal_Security_in_Southeast_Asia/links/5522bc620cf29dcabb0eda3f/Pirates-
Maritime-Piracy-and-Societal-Security-in-Southeast-Asia.pdf pada 25 April 2017 pukul 13.51
WIB 81
Pasal 101, United Nations Convention on the Law of the Sea, dapat dilihat di
http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.htm
36
a) Segala perbuatan dengan kekerasan seacara tidak sah atau penahanan
atau setiap perbuatan yang merusak yang dilakukan oleh kru atau
penumpang dari suatu kapal dan dilakukan:
i) Di laut bebas terhadap kapal atau pesawat, atau terhadap orang
atau properti yang ada di atas kapal atau pesawat;
ii) Terhadap suatu kapal, pesawat, orang atau properti di luar
yuridiksi dari suaru negara;
b) Segala perbuatan turut serta yang dilakukan secara sukarela dalam suatu
operasi dari kapal yang diketahui perilaku sebagai kapal perompak;
c) Segala perbuatan yang mendorong atau memfasilitasi suatu perbuatan
yang disebutkan dalam poin (a) atau (b).
Definisi ini lantas mencirikan karakter perompak, menurut International Maritime
Organization (IMO), sebagai berikut:82
1) Perompakan menggunakan cara-cara kriminal seperti kekerasan,
perampokan, dan penyanderaan;
2) Perompakan terjadi di laut lepas, di luar wilayah hukum suatu negara.
Aksi kriminal yang terjadi di dalam wilayah hukum suatu negara tidak
dikategorikan sebagai perompakan. Hal ini untuk membedakan perlakuan
hukum yang berlakukan kepada pelaku;
82
Guidelines for Owners, Operators and Masters for Protection against Piracy in the Gulf
of Guinea Region [Online] diakses di:
http://www.imo.org/en/OurWork/Security/WestAfrica/Documents/Guidelines_for_protection_agai
nst_Piracy_in_the_Gulf_of_Guinea_Region.pdf pada 27 April 2017 pukul 17.53 WIB
37
3) Perompakan harus melibatkan setidaknya dua kapal. Lantas aksi yang
dilakukan oleh penumpang atau kru kapal tersebut dan aksi yang
dilakukan terhadap kapal yang berlabuh tidak masuk dalam kategori ini;
4) Perompakan memiliki motif pribadi;
5) Perompakan dilakukan oleh awak kapal sipil, bukan personil angkatan
laut.
Akan tetapi, menurut Catherine Z. Raymond83
definisi menurut UNCLOS
ini tidak dapat mencakup insiden yang terjadi di batas dua belas mil perairan
teritorial yang cenderung lebih banyak terjadi dibanding insiden di laut lepas.
Sejalan dengan pendapat Raymond, Carolin Liss84
juga menyatakan bahwa
definisi perompak menjadi kabur bila dikaitkan dengan insiden yang terjadi di
Laut Sulu. Data berikut menunjukkan angka insiden perompakan yang terjadi di
kawasan Asia Tenggara secara umum. Angka ini dicurigai jauh lebih kecil
dibanding insiden sesungguhnya. Hal ini dikarenakan kesadaran untuk
melaporkan perompakan ini masih kurang, terutama di wilayah perairan antara
Malaysia dan Filipina.85
83
Raymond, Catherine Zara, ―Piracy in Southeast Asia New Trends, Issues and
Responses‖, RSIS Working Paper No. 089 (Oktober 2005): 3 84
Liss, Carolin, ―Assessing Contemporary Maritime Piracy in Southeast Asia: Trends,
Hotspots, and Responses‖, PRIF Report No. 125 (2014): 3 85
Liss, Carolin, ―The Unique Challenges and Difficulties of Maritime Security Research”,
SAIS Review vol. XXXIII no. 2 (Summer–Fall 2013): 94-95
38
Tabel II.A.1. Angka Serangan Perompak di Asia Tenggara tahun 2011—
2016
Lokasi 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Total
Indonesia 21 32 48 47 54 24 226
Selat Malaka 1 1 1 3 6
Malaysia 11 4 3 9 11 4 42
Myanmar 1 1
Filipina 1 3 1 2 4 3 14
Selat
Singapura 7 3 4 6 6 26
Thailand 1 1
Total 316
Sumber: ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report – 01 January
– 30 June 2016
Gambar II. A. Angka Serangan Perompak di Laut Sulu-Sulawesi tahun 2016
Sumber: ReCAAP Annual Report 2016
Perompak ini mengincar kapal-kapal dagang kecil dengan laju lambat.
Target seperti ini lebih mudah menjadi sasaran dibanding kapal besar dengan dek
tinggi yang sulit dipanjat. Perompak menggunakan kapal cepat (speed boats) atau
39
kapal nelayan untuk mendekati target.86
Modus operandi perompak ini biasanya
dilakukan pada malam hingga subuh, beranggotakan sekitar 10 orang yang
dipersenjatai dengan senjata api atau senjata tajam. Perompak mengambil alih
kapal dan merusak alat-alat komunikasi dan navigasi untuk menghindari
penangkapan. Sebagian besar inseden yang dilaporkan, perompak hanya
menyekap awak kapal dalam satu ruangan tanpa melakukan tindak kekerasan.87
Sementara, modus operandi perompak terbagi dalam beberapa klasifikasi:88
a. Serangan di pelabuhan. Modus ini adalah modus yang sering terjadi di
perairan Indonesia dengan mengincar kapal-kapal yang sedang berlabuh.
Serangan ini biasanya berlangsung tengah malam hingga menjelang pagi.
Pelaku biasanya menyusup ke dalam kapal dan mencuri kargo berharga seperti
uang atau barang-barang elektronik. Modus ini biasanya tidak melibatkan aksi
kekerasan. Namun kerugian yang diterima cukup besar yaitu US$10.000
hingga US$20.000.89
Berdasarkan data IMB, tercatat sebanyak 41 kasus
dengan modus pencurian kapal berlabuh tahun 2016 (lihat tabel II.A.2).90
b. Serangan dan perampokan di laut, tipe serangan ini merupakan tipe yang
cukup serius. Pelaku biasaya menyusun rencana dengan baik sebelum
melakukan penyerangan. Kapal sasaran biasanya dibawa ke pantai tertentu
86
Liss, Assessing, 4 87
ReCAAP Annual Report 2015 [Online] diakses di
http://www.recaap.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?Command=Core_Do
wnload&EntryId=421&PortalId=0&TabId=78 pada 30 April 2017 88
Raymond, Piracy, 4-8 89
Adam J. Yung dan Mark J. Valencia, ―Conflation of Piracy and Terrorism in Southeast
Asia: Rectitude and Utility‖, Contemporary Southeast Asia, Vol. 25, No. 2 (Augustus 2003): 272
[e-Jurnal] diunduh dari http://www.jstor.org/stable/25798643 pada 30 April 2017 pukul 9.31 WIB 90
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report – 01 January – 30 June 2016,
hlm 8
40
untuk memindahkan barang angkutannya. Terkadang, pelaku modus ini
mengadakan kesepakatan dengan awak kapal. Pada beberapa kasus, pelaku
juga mengambil alih kapal kemudian mengecat ulang kapal tersebut dan
menggunakannya untuk aktivitas lain, biasanya untuk aktivitas perompakan
lain atau menyeludupkan barang.
c. Penculikan dengan tebusan. Modus ini muncul tahun 2001 dan
perkembangannya semakin pesat disertai dengan isu-isu politik dan terorisme.
Pelaku bersenjaya mengambil alih kapal, kemudian menculik awak kapal
disertai dengan tuntutan tebusan pada perusahaan. Perompakan dengan modus
ini seringkali menggunakan cara kekerasan kepada awak kapal dalam
melancarkan aksinya. Menurut IMB91
, kasus seperti ini jarang dilaporkan
untuk menghindari serangan balasan dari perompak. Selain itu, insiden
perompakan ini akan berdampak pada citra perusahaan dan akan
menyebabkan kerugian. Meski seringkali dikaitkan dengan kelompok teroris,
modus ini juga sering dilakukan oleh sindikat kejahatan biasa yang
menganggap modus ini lebih mudah untuk mendapat keuntungan.
Tabel II.A.2. Data Lokasi Perompakan di Asia Tenggara Tahun 2016
Lokasi Serangan Percobaan serangan
Di Pelabuhan Di Laut Penembakan Percobaan
Indonesia 20 1 3
Malaysia 3 1
91
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report 2004, hlm 3
41
Filipina 1 1 1
Sub Total 24 3 4
Total 31
Sumber: ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report – 01 January
– 30 June 2016
Berdasarkan laporan tahunan The Regional Cooperation Agreement on
Combating Piracy and Armed Robbery (ReCAAP), diperkirakan lebih dari
100.000 kapal yang transit di wilayah laut Sulu-Sulawesi memuat sekitar 55 juta
ton kargo. Kargo yang diangkut melewati wilayah ini pada umumnya adalah batu
bara dengan total nilai US$ 800.000.000 dimana 70% kargo tersebut dibawa ke
Filipina.92
Kasus yang paling menonjol merupakan penculikan enam awak kapal
Vietnam pada November 2016. Selain itu, kasus penculikan dan pembunuhan dua
warga negara Jerman dari kapal yatch menjadi sorotan. Perompakan di Laut Sulu-
Sulawesi merupakan hal yang mengkhawatirkan, menurut Stephen Askins,
ancaman ini lebih besar dibanding perompakan yang terjadi di Nigeria dan
Somalia.93
Aktivitas perompakan di Laut Sulu-Sulawesi berdampak pada arus lalu
lintas perdagangan internasional, sebab sasaran utama dari perompakan ini adalah
kapal pengangkut perusahaan asing meskipun tak jarang kapal nelayan menjadi
92
ReCAAP Annual Report Piracy and Armed Robbery Against Ship in Asia 2016, 21 93
Stephen Askins, ―Piracy in the Sulu Sea – The ―new Somalia‖ or a limited threat?‖ di
Tatham Macinnes 21 Februari 2017 [online] diakses di: http://tatham-
macinnes.com/knowledge/piracy-sulu-sea-new-somalia-limited-threat/ pada 30 April 2017 pukul
11.06 WIB
42
korban aktivitas perompakan ini.94
Perompak di Laut Sulu-Sulawesi dibekali
dengan peralatan dan persenjataan yang mempermudah dalam melancarkan
aksinya. Minimnya sistem keamanan yang memadai di jalur laut Sulu-Sulawesi
juga menjadi faktor tingginya insiden perompakan ini.95
C. Penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf
Abu Sayyaf merupakan kelompok separatis Filipina yang didirikan
Abdulrajak Janjalani, seorang anak tokoh ulama Basilan di Filipina.96
Janjalani
merupakan veteran perang Afganistan dan Soviet dan memiliki kedekatan dengan
Osama Bin Laeden selama menetap di Pakistan tahun 1980-an. Janjalani
merupakan seorang pelajar lulusan sebuah universitas di Arab Saudi tahun 1980,
kemudian melanjutkan pendidikan tentang hukum fiqih Islam di Mekkah. Setelah
lulus, Janjalani kembali ke Filipina untuk berdakwah, konten dakwahnya banyak
memuat tentang bagaimana umat muslim di Filipina mendapat ketidakadilan
karena pemerintahan dan konstitusi negara yang ‗bertentangan dengan ajaran
Quran‘.97
Janjalani melakukan perjalanan ke Peshawar, Pakistan dan berkenalan
dengan Osama bin Laeden.98
Kemudian, Janjalani ikut serta dalam perang
94
Indira Lakshmanan, ―Rich and Poor Fall Prey to Pirates‖ dalam Andres H. Caceres-
Solari, ―Indonesia, Malaysia, and the Philippines Security Cooperation in the Celebes Sea‖,
Department of National Security Affairs, California: Naval Postgraduate School, 2008, 21 95
―RI Agrees to Install 7 Radars from U.S. in Makassar Strait,‖ Jakarta Post, January 23,
2008 96
Adhe Nuansa Wibisono, ―Kelompok Abu Sayyaf dan Radikalisme di Filipina Selatan:
Analisis Organisasi Terorisme Asia Tenggara‖, Ilmu Ushuluddin Vol. 3 Nomor 1 (Januari 2016):
120 97
Rommel C. Banlaoi, ―Maritime Terrorism in Southeast Asia: The Abu Sayyaf Threat‖,
Naval War College Review Vol. 58 No, 4 (Autumn 2005): 66 98
Rommel C. Banlaoi, ―The Abu Sayyaf Group: From Mere Banditry to Genuine
Terrorism‖, Southeast Asian Affairs (2006), 248
43
Afghanistan dengan Soviet bersama bin Laeden. Selama perang, Janjalani
bersama adiknya mendapat pelatihan di Khost, Afghanistan dibawah bimbingan
Abdul Rasul Sayyaf. Abdul Rasul Sayyaf juga merupakan tokoh yang memberi
pengaruh kepada Hambali yang menjadi pemimpin Jemaah Islamiyah (JI).99
Sebelum ASG dibentuk, Janjalani telah terlebih membentuk Mujahideen
Commando Freedom Fighters (MCFF) untuk melawan pemerintah Filiphina
dengan tujuan akhir membentuk sebuah Negara Islam merdeka.100
MCFF ini
merupakan cikal bakal Abu Sayyaf kedepannya.
Perekrutan anggota Abu Sayyaf berasal dari Basilan, Sulu, Tawi-Tawi,
Zamboanga City, dan Santos City. Anggotanya kebanyakan direkrut dari bekas
anggota Moro National Liberation Front (MNLF) atau Moro Islamic Liberation
Front (MILF).101
Pembentukan Abu Sayyaf, menurut Abuza, banyak dibantu oleh
Osama bin Laeden.102
Hal ini dilakukan karena hubungan dengan Janjalani dapat
membangun jaringan dengan kelompok Al Qaeda. Pelatihan, rekrutmen, serta
bantuan suplai senjata Abu Sayyaf juga banyak dibantu oleh jaringan Al Qaeda.103
Pada mulanya, Abu Sayyaf dikategorikan sebagai kelompok kriminal/bandit
biasa oleh pemerintah Filipina.104
Kemudian, Kepolisian Nasional Filipina
(Philippines National Police) mengkategorikan Abu Sayyaf sebagai organisasi
99
Abuza, Zachary, ―Balik Terrorism: The Return of The Abu Sayyaf‖, (Carsile: Strategic
Studies Institute, 2005), 2 100
Zack Fellman, ―Abu Sayyaf Group‖, AQA M Futures Project: Case Studies Series No. 3
(November 2011): 3 101
Banlaoi, Maritime, 68 102
Abuza, Balik, 3 103
Abuza, Balik, 4 104
Rommel C. Banlaoi, ―Al Harakatul Al Islamiyah, Essay on the Abu Sayyaf Group‖,
(Quenzon City: Philippine Institute for Political Violence and Terrorism Research (PIPVTR),
2008),
44
teroris setelah peristiwa pengeboman Kapal Doulos tahun 1991. Setelah peristiwa
11 September 2001, Abu Sayyaf masuk dalam daftar kelompok teroris
internasional oleh Amerika Serikat dan merupakan kelompok teroris utama di
Asia Tenggara.
Gambar II. C.1. Bagan Struktur Organisasi Abu Sayyaf
Sumber: http://www.globalterrorwatch.ch/index.php/abou-sayyaf-jumaa/
Pada 2001, Anggota Abu Sayyaf berjumlah sekitar 450 orang yang berada
di Basilan dan 650 orang yang berada di Jolo. 105
Angka ini menurun dari
perkiraan total jumlah anggota 1.296 pada pertengahan 2000106
. Abu Sayyaf
dipimpin oleh seorang ―kalifah‖ dengan delapan orang pembantunya.107
Janjalani
merancang Abu Sayyaf dengan struktur yang terorganisir dan sistematik, terbukti
dengan dibentuknya Islamic Executive Council (IEC) yang bertugas menyusun
105
Barreveld, Dirk J. ―Terrorism in the Philippines: The Bloody Trail of Abu Sayyaf, Bin
Laden‘s East Asian Connection‖ (San Jose, CA: Writer‘s Club, 2001), 178 106
Peter Chalk, ed., ―The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia: A Net Assessment‖,
(Santa Monica: RAND Corporation, 2009), 54-55 107
Berry, A Global Overview, 103
45
rencana dan melakukan eksekusi operasi kelompok. Pada mulanya, IEC
direncanakan memiliki dua komite khusus: (1) Jamuatul Al-Islamiya yang
memiliki fungsi pengumpul dana dan pelatihan; dan (2) Komite Al-Misuratt
Khutbah yang mengurus agenda kegiatan propaganda.108
Janjalani juga merancang sebuah pasukan yang bernama Mujahiddin Al-
Sharifullah, dengan tiga unit utama: Demolition Team yang terdiri dari personel
terlatih dan perancang alat peledak; Mobile Force Team yang mengurus
koordinasi dengan pihak luar; dan Tim Propaganda yang terdiri dari beberapa
pelajar, profesional, dan pengusaha untuk menghimpun data dan sumber daya
yang diperlukan dalam operasi.109
Akan tetapi, rancangan ini tidak terlaksana akibat kematian Janjalani tahun
1998 oleh Kepolisian Nasional Filipina dalam baku hantam di Basilan.
Sepeninggalnya, Abu Sayyaf mengalami kekacauan dalam strukturnya dan
berujung pada perpecahan kelompok menjadi dua faksi. Kedua Faksi tersebut
berbasis di Basilan (dipimpin oleh Kadaffi Janjalani) dan Sulu (dipimpin oleh
Galib Andang). Faksi Basilan pun, terpecah menjadi sepuluh kelompok yang
berdiri sendiri pada tahun 2002. Sementara Faksi Sulu terpecah menjadi 16
kelompok. Baik Kadaffi dan Galib tidak sepenuhnya memiliki kontrol terhadap
kelompok-kelompok kecil ini.110
Situasi ini lantas dimanfaatkan oleh pemerintah
Filipina untuk melakukan operasi militer.111
108
Banlaoi, The Abu Sayyaf Group, 252 109
Banlaoi, Maritime, 48 110
Banlaoi, Abu Sayyaf, 252 111
Wibisono, Kelompok Abu Sayyaf, 122
46
Tujuan dan gerakan Kelompok Abu Sayyaf memang dapat dikatakan
berskala nasional. Akan tetapi, dalam menjalankan aksinya, kelompok ini
menggunakan cara-cara kekerasan seperti pemboman, penculikan, hingga
pembunuhan.112
Abu Sayyaf beroperasi di wilayah Basilan, Sulu, Tawi-Tawi
hingga ke pesisir Sabah, Malaysia.113
Anggota kelompok Abu Sayyaf kebanyakan
adalah keturunan dengan tradisi maritim yang cukup lama. Pengetahuan tentang
keadaaan laut sekitar mempermudah operasi mereka. Selain itu, kelompok ini juga
memiliki beberapa speed boats dan kapal yang digunakan untuk melancarkan
aksinya.114
Pada perkembangannya, Kelompok Abu Sayyaf lebih sering menggunakan
modus penculikan dan penuntutan uang tebusan (kidnap for ransom). Hal ini,
menurut Chalk115
merupakan dampak dari perpecahan internal Abu Sayyaf. Satu
sisi, modus ini dianggap lebih efektif karena selain mendapat keuntungan lebih
besar, Abu Sayyaf mendapat banyak perhatian dari media.
Beberapa insiden yang melibatkan kelompok ini yaitu:116
pengeboman kapal
Doulous tahun 1999; penyerangan kapal Our Lady Mediatrix tahun 2000 yang
menyebabkan 40 orang tewas; peledakkan kapal Superferry 14; penculikan tiga
112
Garret Atkinson, ―Abu Sayyaf: The Father of the Swordsman – A Review of the Rise of
Islamic Insurgency in the Southern Philippines‖, American Security Project (Maret 2012), 4
[Online] diakses di: https://www.americansecurityproject.org/wp-content/uploads/2012/03/Abu-
Sayyaf-The-Father-of-the-Swordsman.pdf pada 22 Mei 2017 pukul 9.31 113
Banlaoi, Al Harakatul, 58 114
Malia Ager, ―Gov‘t seizes 200 high-powered speedboats from Abu Sayyaf‖,
INQUIRER.Net 21 September 2016 [Online] diakses di newsinfo.inquirer.net/817571/govt-seizes-
200-high-powered-speedboats-from-abu-sayyaf pada 22 Mei 2017 pukul 10.07 115
Chalk, The Evolving, 51 116
Banlaoi, Maritime Terrorism, 72-73
47
warga negara Malaysia di Resor Pasir Beach; dan penculikan warga negara
Indonesia dan Malaysia tahun 2004.
Grafik II. C. 2. Grafik Insiden Penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf di
Laut Sulu[-Sulawesi Tahun 2011-2016
Sumber: Agence France-Presse, Timeline of the Abu Sayyaf in the Philippines,
ABC-News, 2016 (diolah kembali oleh penulis)
Insiden penculikan di Laut Sulu-Sulawesi oleh Kelompok Abu Sayyaf
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2015 ke tahun 2016,
yaitu dari 3 insiden menjadi 13 insiden. Insiden tersebut diantaranya adalah
penculikan 10 awak kapal Indonesia;117
penculikan 4 awak kapal
berkewarganegaraan Malaysia di pesisir Pulau Ligitan;118
penyerangan dan
117
Tujuh WNI diculik dan disandera kelompok Abu Sayyaf, Indonesia,
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38837392 diakses 1 April 2017 pukul 8:23 WIB 118
Joseph Masilamany, ―Four Malaysian sailors held hostages by Abu Sayyaf are freed‖,
[Berita Online] diakses di: http://www.asianews.it/news-en/Four-Malaysian-sailors-held-hostage-
by-Abu-Sayyaf-are-freed-37712.html pada 4 Oktober 2018 pukul 17:52 WIB
0
2
4
6
8
10
12
14
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Insiden
Jumlah Insiden
48
penculikan kapal Henry dan Cristi dalam perjalanan menuju Tarakan;119
penembakan dan penculikan wisatawan Jerman di perairan Tanjung Pisuk,
Sabah;120
dan penyerangan kapal MV Royale 16 berbendera Vietnam di perairan
Basilan.121
Gambar II. C.2. Peta Lokasi Serangan Kelompok Abu Sayyaf di Laut Sulu-
Sulawesi
Sumber: ReCAAP Annual Report 2016
Abu Sayyaf diketahui memiliki jaringan dengan kelompok pergerakan Islam
radikal dari Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Filipina mengemukakan
keterlibatan dua anggota Jemaah Islamiyah dalam peristiwa pengeboman 14
119
Taufik Rachman, ―Kapten Kapal Menyerah Setealah ABK Tertembak Pembajak‖
[Berita Online] diakses di:
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/05/13/o747ns219-kapten-kapal-menyerah-
setelah-abk-tertembak-pembajak pada 4 Oktober 2018 pukul 17:56 WIB 120
―Abu Sayyaf Militants Say They‘ve Kidnapped a German Tourist and Killed Another‖
[Berita Online] diakses di: http://time.com/4560251/abu-sayaf-kidnap-kill-german-tourists/ pada 4
Oktober 2018 pukul 18:03 WIB 121
Liza Jocson, ―Hijacked Vietnamese vessel crew identified‖, [Berita Online] diakses di:
http://cnnphilippines.com/regional/2016/11/12/Hijack-Vietnamese-vessel-crew-Basilan.html pada
4 Oktober 2018 pukul 18:08 WIB
49
Februari 2005 di Filipina.122
Beberapa aktivitas di kepualauan Sulu juga
merupakan gabungan aliansi diantara Misuari Breakaway Group (MBG), MILF,
dan Abu Sayyaf, yang juga melakukan aksi lintas perbatasan hingga ke pulau
Borneo.123
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan kapabilitas Abu Sayyaf sebagai
ancaman regional bagi Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Selain itu serangan-
serangan ini menunjukkan bahwa Abu Sayyaf cenderung mengincar kapal-kapal
yang memiliki nilai keuntungan yang lebih seperti kapal feri dan kapal kargo
besar. Bateman mengungkapkan adanya kemungkinan kerja sama antar sindikat
perompak dengan Abu Sayyaf dalam melancarkan aksinya walaupun keduanya
memiliki motif yang berbeda. 124
122
Stephen Ulph, ―Evidence of Jemaah Islamiyah Expansion in the Philippines,‖ Terrorism
Focus vol. 2. No. 5 (Maret 2003), 1 123
Ulph, Evidence, 1 124
Sam Bateman, ―Confrinting Maritime Crime in Southeast Asian Waters: Reexamining
‗piracy‘ in twenty-first century‖dalam B.A. Elleman, ed., ―Piracy and Maritime Crime: Historical
and Modern Case Studies‖, (2010) tersedia secara online di: http://ro.uow.edu.au/lawpapers/417
50
BAB III
DAMPAK ANCAMAN KEAMANAN DI LAUT SULU-
SULAWESI
Bab ini membahas dampak ancaman maritim di Laut Sulu-Sulawesi dari
segi ekonomi, politik, dan keamanan secara umum baik dari sisi Indonesia,
Malaysia, dan Filipina. Perompakan Kelompok Abu sayyaf telah membawa
kerugian besar bagi banyak pihak. Perusahaan pemilik kapal, harus mengeluarkan
biaya lebih untuk biaya pengamanan, premi asuransi, bahan bakar, dan pada
kasus penculikan oleh perompak, uang tebusan untuk membebaskan awak
kapalnya.125
Ancaman tersebut juga berdampak pada negara Tri Border Area dari
stabilitas keamanan nasional. Tetapi, masalah perompakan oleh kelompok
bersenjata ini juga akan mengancam stabilitas regional, sebagaimana menurut
Anak Agung Banyu Perwita126
bahwa isu perompak merupakan isu inter-state,
apabila tidak ditangani dengan serius juga akan memicu konflik inter-state.
125
Leymarie , Philippe, et al., ―UNOSAT Global Report on Maritime Piracy a geospatial
analysis 1995-2013‖, United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), (2014):31;
tersedia di:
https://unosat.web.cern.ch/unosat/unitar/publications/UNITAR_UNOSAT_Piracy_1995-2013.pdf
diakses pada 28 Januari 2018 pukul 15:04 WIB 126
Perwita, Anak Agung Banyu, Koordinasi dan Kerangka Pengelolaan Keamanan di
Selat
Malaka secara Terpadu dalam Paliah, Steven Yohannes, Pengelolaan Isu-Isu Keamanan di
Selat Malaka Periode 2005-2006, Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia (2008): 28
51
A. Dampak Terhadap Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas mencapai 1,9 juta
kilometer persegi dengan luas daratan sekitar 1,8 juta kilometer persegi dan luas
wilayah perairan 93.000 kilometer persegi.127
Sebagai negara kepulauan,
Indonesia memiliki ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang merupakan
wilayah laut Indonesia yang digunakan sebagai jalur kapal pengangkut dari dan
menuju Samudera Hindia atau Samudera Pasifik. Indonesia memiliki tiga ALKI,
yaitu ALKI I mencakup Selat Sunda, Karimata, Natuna, dan Laut China Selatan;
ALKI II mencangkup Selat Lombok, Makassar, dan Laut Sulawesi; ALKI III
mencangkup Laut Timor dan Laut Arafuru.128
Hal ini, selain menguntungkan,
juga dapat mengancam keamanan dan stabilitas negara dan kawasan.
Ancaman keamanan maritim seperti perompak merupakan hal lazim yang
dihadapi oleh negara kepulauan seperti Indonesia. Sejak abad ke-19, pemerintah
kolonial telah berhadapan dengan masalah perompakan. Aktivitas perompakan
ini, sebagaimana ditulis dalam The Economics of Piracy in Southeast Asia tidak
hanya menyangkut permasalahan ekonomi, tetapi juga merupakan suatu gaya
hidup dimana masyarakat terlibat dalam aksi perompakan pada masa itu.
Perhatian mengenai perompakan menurun pada abad ke-20 karena Perang Dunia,
barulah pada tahun 1990-an, isu mengenai perompakan kembali menjadi perhatian
127
The world factbook. https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/id.html 128
Pujayanti, Adrini. 2015. Budaya Maritim, Geo-Politik, dan Tantangan Keamanan
Indonesia. diakses di: http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-
3.pdf
52
dunia, terutama sejak krisis tahun 1997 dan peristiwa perompakan kapal Petro-
Ranger.129
Indonesia, berdasarkan laporan ICC/IMB, merupakan salah satu negara
dengan tingkat kasus perompakan yang cukup tinggi di dunia. Pada 2015,
dilaporkan jumlah kasus perompakan di Indonesia sejumlah 108 kasus, angka ini
jauh lebih besar dibanding dengan Malaysia dengan angka 13 kasus dan Filipina
dengan angka 11 kasus.130
Tingginya angka perompakan ini tentu menjadi sebuah
perhatian besar bagi dunia, sebab, terjadi peningkatan jumlah kasus perompakan
sebesar 22 persen dibanding tahun sebelumnya.131
Sementara berdasarkan laporan tahunan ReCAAP (Regional Cooperation
Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia) tahun
2016 terdapat 26 insiden perompakan kapal belayar. Dari 26 insiden yang terjadi,
12 dilaporkan terjadi di perairan Filipina (di perairan Doc Bisa, Languyan, Pata,
Sibago, Sibutu, Sitangkai dan Tawi-Tawi) yang melibatkan penculikan kru dari
kapal (enam insiden) dan upaya penculikan awak (enam insiden). Sementara 14
insiden terjadi di empat di perairan Sabah, Malaysia Timur (di pesisir Sempora
129
Anonim, “The Economics of Piracy in Southeast Asia‖, The Global Initiative Against
Transnational Organized Crime, (Mei 2016): 5; tersedia di: http://globalinitiative.net/wp-
content/uploads/2016/05/Global-Initiative-Economics-of-SE-Asia-Piracy-May-2016.pdf diakses
pada 27 Januari 2018 pukul 16:55 130
ICC/IMB Annual Report 2015, 131
Graman, Luke, ―Piracy increases by 22% in Southeast Asia‖, diakses di:
https://www.cnbc.com/2015/07/09/piracy-increases-by-22-in-southeast-asia.html pada 27 Januari
2018 pukul 18:23 WIB
53
dan Lahad Datu) yang melibatkan penculikan kru dari kapal.132
Lokasi-lokasi
tersebut merupakan wilayah beroperasinya Kelompok Abu Sayyaf.
Kapal-kapal Indonesia sering kali menjadi sasaran empuk operasi
Kelompok Abu Sayyaf . Hal ini dinyatakan berdasarkan hasil laporan ReCAAP
bahwa terdapat sebanyak 3 kapal berbendera Indonesia dan 24 orang kru
berkebangsaan Indonesia yang menjadi korban penyerangan dan penculikan di
wilayah laut Sulawesi-Sulu.133
Setelah insiden penculikan 12 awak kapal
Indonesia oleh Abu Sayyaf pada tahun 2016 lalu, masih banyak kasus
penyandraan awak kapal Indonesia oleh Abu Sayyaf yang terjadi dalam kurun
waktu Desember 2016 sampai Januari 2017.134
Pernyataan ini membuktikan
bahwa aksi teror Abu Sayyaf tidak hanya berimbas pada Filipina dan Malaysia,
tetapi juga Indonesia.
Kasus penculikan awak kapal WNI ini membuat Indonesia mengeluarkan
ancaman moratorium pengiriman batubara kepada Filipina.135
Keputusan ini
dibuat sebagai penekan kepada Filipina untuk menyelesaikan kasus penculikan
tersebut. Jangka waktu moratorium ini diperpanjang sampai wilayah laut di
sekitar Sulawesi, Zamboangana, dan Sulu dipastikan aman. Tetapi, hal ini menjadi
132
Annual Report Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia 2016.
http://www.recaap.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?Command=Core_Do
wnload&EntryId=473&PortalId=0&TabId=78 diunduh pada 30 Maret 2017 pukul 22:42 WIB 133
ReCAAP, ―Special Report on Abducting of Crew from Ships in Waters off Eastern
Sabah and Southern Philippines (Part II)‖; tersedia di:
http://www.recaap.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?Command=Core_Do
wnload&EntryId=455&PortalId=0&TabId=78 diakses pada 25 Januari 2018 pukul 18:40 WIB 134
Tujuh WNI diculik dan disandera kelompok Abu Sayyaf, Indonesia,
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38837392 diakses 1 April 2017 pukul 8:23 WIB 135
Gumilang, Prima, ―MenhanTegaskan Moratorium Batu Bara ke Filipina Dilanjutkan‖,
CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701170123-20-142480/menhan-
tegaskan-moratorium-batu-bara-ke-filipina-dilanjutkan diakses pada 25 Januari 2018 pukul 06:45
WIB
54
bumerang bagi Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Carmelita Hartoto,
ketua Indonesian National Shipowners Association (INSA) atau Asosiasi
Perusahaan Pelayaran Nasional dalam sindonews.com136
, moratorium ini
membuat industri pelayaran di Indonesia lesu karena banyaknya kapal yang tidak
berlayar.
Kendatipun secara ekonomi, Indonesia tidak mengalami kerugian sebesar
Filipina dan Malaysia akibat perompakan bersenjata Abu Sayyaf, Indonesia masih
akan merasakan dampaknya secara politik. Bila Indonesia tidak menaruh
perhatian khusus terhadap masalah-masalah maritim, reputasi Indonesia di mata
internasional akan tercoreng. Tingkat kepercayaan investor asing terhadap
Indonesia akan menurun dan membahayakan hubungan dengan negara
tetangganya.137
Indonesia ikut berpartisipasi dengan berbagai kerja sama dalam
bidang keamanan maritim. Selain itu, Indonesia mengincar peranan utama dalam
berbagai kerjasma maritim.138
Meskipun Laut Sulu-Sulawesi bukan jalur perdagangan utama bagi
Indonesia, Indonesia masih berkewajiban untuk menjaga stabilitas keamanan
wilayah laut perbatasan tiga negara di Laut Sulu-Sulawesi.
136
Febrianto, Heru, ―Moratorium Batu Bara ke Filipina Buat Industri Pelayaran RI Lesu‖,
sindonews.com, [artikel Online] diakses di:
https://ekbis.sindonews.com/read/1127233/34/moratorium-batu-bara-ke-filipina-buat-industri-
pelayaran-ri-lesu-1469779754 137
Major Frederick Chew, Piracy, maritime terrorism and regional interests. [artikel
Online] (2005, diunduh pada 1 April 2017 pukul 8:49 WIB) tersedia di
http://www.defence.gov.au/ADC/Publications/Geddes/2005/PublcnsGeddes2005_310310_Piracy
Maritime.pdf 138
Michael Richardson, ―The Threats of Piracy and Maritime Terrorism in Southeast Asia‖,
Maritime Studies issue 139. (2004): 21.
55
B. Dampak Terhadap Malaysia
Negara-negara yang berbatasan dengan Filipina juga terkena dampak secara
langsung maupun tidak langsung dari aksi terorisme maritim oleh kelompok Abu
Sayyaf. Contohnya adalah Malaysia dan Indonesia. Kelompok Abu Sayyaf
beroperasi di Laut Sulu sampai ke dekat pantai Sabah, Malaysia. Beberapa tahun
belakangan, kelompok ini sering mengincar kapal-kapal, merampok hingga
menculik awak kapal.139
Pada tahun 2000-2001 kelompok ini bertanggung jawab
atas penculikan wisatawan asing di Sipadan, Malaysia dan Palawan, Filipina.
Kasus penculikan awak kapal Indonesia pada tahun 2016 lalu juga menjadi
sorotan publik.140
Maraknya peristiwa pembajakan serta penculikan ini
mendemonstrasikan kemampuan yang dimiliki Kelompok Abu Sayyaf.141
Rangkaian serangan terorisme maritim ini akan membawa dampak besar
pada bidang ekonomi. Banyak kapal perdagangan internasional enggan melewati
atau berhenti di pelabuhan-pelabuhan tertentu untuk menghindari serangan
pembajakan. Hal ini akan membawa dampak yang sangat besar bagi negara
dengan pelabuhan kapal dagang seperti Malaysia. Selain itu, serangan terorisme
maritim ini akan memengaruhi harga barang-barang yang disebabkan karena
kerugian akibat serangan pembajakan. Perusahaan akan menanggung biaya
kehilangan kargo atau terbusan untuk awak kapal yang diculik. Kendala-kendala
ini juga akan menimbulkan kerugian akibat distribusi barang-barang yang
139
C. Z. Raymond, ―Piracy in Southeast Asia New Trends, Issues and Responses‖, RSIS
Working Paper, No. 089 (October 2005): 1 140
Antrini Pujayanti, ―Upaya Pembebasan WNI Sandera Kelompok Abu Sayyaf‖, Majalah
Info Singkat Hubungan Internasional Vol. VIII, No. 07/I/P3DI/April/2016 141
Bradford, John. 2005. Southeast Asian Maritime Security in Age f Terror: Threats,
Opportunity, and Charting the Course Forward. Singapore: Institute of Defence and Strategic
Studies
56
tertunda selama penyerangan dan investigasi sesudahnya. Kerugian ini akan
dibebankan pada harga barang yang menyebabkan kenaikan harga komoditas.142
Serangan teror dan penculikan ini juga mengancam kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat di pesisir pantai dari segi ekonomi. Pada 2003,
Malaysia menderita kerugian dari aksi teror berupa penipuan, pencurian kargo,
penundaan perjalanan, dan peningkatan uang presmi asuransi diperkirakan
mencapai 30-50 miliar dolar.143
Rangkaian serangan teror maritim telah membawa
dampak ekonomi dan politik. Sektor yang paling terkena dampak dari ancaman ini
adalah sektor pariwisata maritim lokal yang merupakan sumber pendapatan di
Malaysia bagian pesisir. Peristiwa penculikan dua wisatawan dari Taiwan di
Lahad Datu pada tahun 2013, misalnya, membawa dampak penurunan jumlah
wisatwan lokal dan asing di Malaysia sebanyak 3%.144
Tabel III.1. Jumlah Wisatawan Malaysia 2010-2013
Tahun Jumlah (Juta) Pendapatan (Miliyar RM)
2013 25.03 60.60
2012 25.72 65.44
2011 24.71 58.3
2010 24.58 56.5
Sumber: Issues of Safety and Security: New Challenging to Malaysia
Tourism Industry145
142
Nurulizwan A. Zubir dan Wan Siti Adibah Wan Dahalan, ―Maritime Violence:
Implication to Malaysia‖, Arena Hukum Vol. 6 No. 1. (April 2012): 49 143
Zubir dan Dahalan, Maritime Violence, 50. 144
Reena Raj, ―Dip in Sabah tourist arrivals since Lahad Datu intrusion‖, Malaymail
Online, (Berita Online) http://www.themalaymailonline.com/malaysia/article/dip-in-sabah-tourist-
arrivals-since-lahad-datu-intrusion diakses pada 30 Maret 2017 pukul 17:34 WIB 145
Ayob, Norizawati Mohd dan Tarmiji Masron, ―Issues of Safety and Security: New
Challenging to Malaysia Tourism Industry‖, SHS Web of Conferences 12 – EDP Sciences, (2014),
57
Peristiwa penculikan wisatawan di Sabah oleh kelompok Abu Sayyaf
membuat Malaysia menghadapi tantangan baru dalam bidang wisata. Turis
internasional menjadi lebih khawatir mengenai jaminan keselamatan mereka
selama berlibur di Malaysia. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan oleh
CNN, sekitar 67 persen responden menjawab bahwa mereka lebih
mengkhawatirkan soal keamanan saat berlibur dibanding biaya dan reputasinya.
Hal ini juga mengakibatkan sejumlah turis asing membatalkan rencana kunjungan
mereka ke Malaysia.146
Selain itu, dari segi politik, aksi kekerasan dan teror maritim telah memicu
perdebatan politik, baik secara internal maupun hubungan luar negeri Malaysia.
Aksi-aksi teror yang terjadi di Malaysia sering kali dikaitkan dengan isu imigran
ilegal di Sabah yang sebagian besar berasal dari Filipina. Kasus terorisme di
Malaysia juga diangkat untuk mengkampanyekan penolakan terhadap imigran
ilegal. Pendapat ini digunakan oleh partai oposisi pemerintah Malaysia untuk
mengkritik kebijakan pemerintah yang mempermudah warga negara asing
mendapat status kependudukan Warga Negara Malaysia.147
Ancaman teror maritim Abu Sayyaf di Laut Sulu-Sulawesi tidak hanya
menimbulkan dampak secara ekonomi tetapi juga politik, baik domestik maupun
4; tersedia di:
https://www.shsconferences.org/articles/shsconf/pdf/2014/09/shsconf_4ictr2014_01083.pdf
diakses pada 28 Januari 2018 pukul 22:14 WIB 146
Ayob, Issues of Safety, 5 147
Carolin Liss. 2014, ―Assessing Contemporary Maritime Piracy in Southeast Asia:
Trends, Hotspots and Responses‖, PRIF (Peace Reasearch Institute Frankfurt) Report No. 125: 21
58
internasional Malaysia. Oleh karena itu, keamanan di Laut Sulu-Sulawesi juga
menjadi bagian dari kepentingan dan kewajiban bagi Malaysia.
C. Dampak Terhadap Filipina
Filipina merupakan negara yang terkena dampak secara langsung dari Abu
Sayyaf. Filipina merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki
potensi tujuan pariwisata yang cukup besar. Namun, industri pariwisata ini
menurun sejak tahun 1990, ditandai dengan menurunnya pendapatan dari sektor
pariwisata dari $3 Miliyar pada tahun 1997 menjadi kurang dari $2 Miliyar pada
tahun 2000. Salah satu faktor menurunnya pendapatan Filipina dari sektor
pariwisata adalah ancaman terorisme. Terutama pasca terjadinya insiden
penculikan wisatawan di resort Dos Palmos tahun 2001. Aksi terorisme yang
menargetkan turis-turis asing meningkat, menyebabkan Filipna tidak lagi menjadi
destinasi wisata bagi turis mancanegara.148
Ancaman keamanan di Laut Sulu-Sulawesi juga menyebabkan Filipina
kesulitan mendapatkan penanam modal asing, dikarenakan keamanan karyawan
perusahaan yang bersangkutan tidak terjamin. Banyak aset bisnis dan industri
yang menarik modal atau memutus hubungan kerja sama dengan Filipina akibat
resiko keamanan dan ancaman teroris di negara tersebut terlalu tinggi.
Konsekuensi negatif dari penutupan ini berimbas besar pada pasar tenaga kerja
Filipina. Penutupan perusahaan asing menyebabkan semakin minimnya lapangan
148
Encyclopedia of the Nations. 2000. Philippines Economy. Diakses di di
http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-Oceania/Philippines- ECONOMY.html pada 28
Maret 2017 pukul 03.12 WIB
59
kerja dan upah yang ditawarkan pada masyarakat setempat.149
Hal ini pula yang
menyebabkan peningkatan status pengangguran di Filipina dari 10.3% pada tahun
2002 menjadi 15.9% pada 2008. Angka ini menunjukkan adanya kenaikan angka
pengangguran sebesar 7.3% dalam waktu enam tahun.150
Aksi terorisme Abu Sayyaf dan kelompok radikal Islam lainnya juga
mengancam arus perdagangan global dengan adanya aksi perompakan. Filipina
memiliki sejumlah kerja sama expor dan impor dengan beberapa negara di Asia
Tenggara, Timur Tengah, dan Amerika Serikat.151
Kerja sama perdagangan ini
bergantung pada jaminan keamanan jalur pelayaran melalui Selat Luzon menuju
Laut China.152
Menurut International Maritimr Bureu, rute ini merupakan rute
yang rawan dengan aksi terorisme maritim.
Peningkatan jumlah laporan perompakan bersenjata juga terjadi saat kapal
berlayar di wilayah perairan dan lepas pantai perairan Laut China Selatan di dekat
pesisir bagian barat Filipina. Banyak kapal dagang diserang dan dibajak selama di
pelabuhan dan pada saat berlayar, mengalihkan kargo ke pelabuhan ke Asia
Timur, hingga penculikan dan pembunuhan kru kapal. Beberapa laporan
menyebutkan bahwa Kelompok Abu Sayyaf menjadi otak dari operasi
149
Herman Simon, ―Terrorism Hurts World Trade‖, Transatlantic Internationale Politik.
(2005): 59 150
Encyclopedia of the Nations. 2000. Philippines Economy. Diakses di di
http://www.nationsencyclopedia.com/Asia-and-Oceania/Philippines- ECONOMY.html pada 28
Maret 2017 pukul 03.12 WIB 151
Simon, Terrorism, 60 152
Simon, Terrorism, 58
60
perompakan di sekitar provinsi Sulu, Basilan, dan Tawi-Tawi sampai ke perairan
Malaysia. Aktivitas teror ini meliputi penculikan dan meminta tebusan.153
153
C. Z. Raymond, ―Piracy in Southeast Asia New Trends, Issues and Responses‖, RSIS
Working Paper, No. 089 (October 2005): 2
61
BAB IV
ANALISIS KERJA SAMA KEAMANAN TRILATERAL
INDONESIA, MALAYSIA, DAN FILIPINA DI LAUT SULU-
SULAWESI
Bab ini membahas bentuk kerja sama yang disepakati oleh Indonesia,
Malaysia, dan Filipina dalam meredam ancaman keamanan di Laut Sulu-
Sulawesi. Pada bab ini juga membahas hambatan dan tantangan yang dihadapi
ketiga negara tri border area dalam mengimplementasikan kerja sama ini. Selain
itu bab ini juga menganalisis keberhasilan patroli terkoordinasi dalam meredam
ancaman ini lewat perspektif collective security.
Ancaman keamanan di Laut Sulu-Sulawesi tidak hanya berdampak pada
negara-negara litoral namun juga negara user yang melintasi wilayah laut tersebut.
Dampak tersebut merugikan Indonesia, Malaysia, dan Filipina dari segi
keamanan, ekonomi, serta politik internasional. Sebagai negara litoral, negara tri
border area di Laut Sulu-Sulawesi wajib menjaga keamanan dan keselamatan
navigasi di wilayah lautnya. Oleh karena itu, Indonesia, Malaysia, dan Filipina
mengadakan kerja sama keamanan dalam bentuk patroli terkoordinasi atau yang
dikenal dengan Trilateral Coordinated Patrol Indomalphi.
A. Model Coordinated Patrol
Serangkaian peristiwa penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf mendesak
Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk melakukan kerja sama keamanan di
wilayah laut tersebut. Perompakan di Laut Sulu-Sulawesi tidak hanya
62
mengganggu keamanan dan kepentingan tiga negara perbatasan, namun juga
kawasan. Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed
Robbery (ReCAAP) melaporkan sejumlah 59 orang menjadi korban penculikan
Abu Sayyaf dalam periode 2016-2017.154
Situasi ini mendorong tiga negara untuk
mengadakan deklarasi bersama (Joint Declaration) mengenai keamanan maritim
pada 5 Mei 2016 di Yogyakarta. Selain itu, agenda pertemuan ini juga membahas
mengenai patroli bersama yang dilaksakan di Laut Sulu-Sulawesi.155
Hal ini, sebagaimana yang dinyatakan Buzan, bahwa model kerja sama
keamanan di Laut Sulu-Sulawesi dengan pendekatan militer. Hal ini dilihat dari
seberapa besar respon Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk mengatasi ancaman
yang ada. Ancaman di Laut Sulu-Sulawesi seperti perompakan dan Kelompok
Abu Sayyaf tidak sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki ketiga negara.
Kelompok Abu Sayyaf dan perompak tidak memiliki kapasitas alutsista yang
setara dengan Angkatan Laut (AL) dari Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Buzan
melihat ancaman di Laut Sulu melalui analisis sifat ancaman sebagai tindakan
objektif tradisional.156
Joint Declaration ini secara garis besar menyepakati empat hal, yaitu
sebagaimana dijelaskan pada poin 9 (Lihat Lampiran I): Pertama, kesepakatan
untuk mengadakan patroli bersama antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
154
ReCAAP, ―Half-Yearly Piracy and Armed Robbery Against Ship in Asia,‖ (January-
July 2017):18 155
Sapiie, Marguerite Afra, ―Indonesia, Malaysia, Philippines sign maritime security
declaration‖, The Jakarta Post [berita Online], diakses di:
http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/05/indonesia-malaysia-philippines-sign-maritime-
security-declaration.html pada 5 Februari 2018 pukul 13:41 WIB 156
Buzan, Weaver, dan Jaap, ―A New Framework for Analysis”, (London: Lynne Riebbers
Published)
63
Kedua, memberikan bantuan kepada korban penyerangan yang berada di Laut
Sulu-Sulawesi. Ketiga, menentukan titik fokus di setiap negara untuk
memfasilitasi sebuah jaringan information sharing juga sebagai pusat koordinasi
keadaan darurat. Keempat, membentuk sebuah jaringan telekomunikasi sebagai
pendukung situasi darurat. 157
Pembahasan mengenai rencana patroli bersama ini dilanjutkan pada 20 Juni
2016, yaitu pertemuan antar tiga Menteri Pertahanan Ryamuzard Ryacudu
(Indonesia), Dato‘ Seri Hishammuddin Tun Hussein (Malaysia), dan Voltaire T.
Gazmin (Filipina) di Quenzon City. Secara garis besar pertemuan ini menegaskan
kembali komitmen negara tri border area untuk mengatasi ancaman di wilayah
Sulu-Sulawesi. Pertemuan ini juga menetapkan bahwa patroli bersama di Laut
Sulu-Sulawesi ini akan mengadopsi model Malacca Strait Patrol (MSP) (lihat
Lampiran 2).158
Pada 14 Juli 2016 Indonesia, Malaysia, dan Filipina menyepakati
―Framework on Trilateral Cooperative Agreement between Malaysia, Indonesia
and the Philippines‖.159
Pertemuan tersebut membahas Standard Operating
Procedures (SOP) patroli maritim bersama di Laut Sulu-Sulawesi yang kemudian
157
Kemlu, ―Joint Declaration of Foreign Ministers and Chiefs of Defence Forces of
Indonesia-Malaysia-Philippines‖, [Artikel Online] diakses di:
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Joint-Declaration-Foreign-Ministers-and-Chiefs-of-
Defence-Forces-of-Indonesia-Malaysia-Philippines.aspx 158
Department of National Defense Republic of the Philippines, ―Philippines, Malaysia and
Indonesia conduct Trilateral Defense Ministers Meeting‖ [Artikel Online] diakses di:
http://www.dnd.gov.ph/PDF%202016/Press%20-
%20Philippines,%20Malaysia%20and%20Indonesia%20conduct%20Trilateral%20Defense%20M
inisters%20Meeting.pdf pada 5 Februari 2018 pukul 17:33 WIB 159
Parameswaran, Prashanth, ―New Sulu Sea Trilateral Patrols Pact Nears Completion‖,
The Jakarta Post, [Artikel Online] diakses di: https://thediplomat.com/2016/07/new-sulu-sea-
trilateral-patrols-pact-nears-completion/ pada 12 Februari 2018 pukul 20:04 WIB
64
ditandatangani pada pertemuan 2 Agustus 2016 di Bali.160
Pertemuan ini
disepakati bahwa bentuk kerja sama yang dilakukan oleh Indonesia, Malaysia, dan
Filipina adalah Coordinated Patrol.161
Hal ini meluruskan pemberitaan media yang selama ini menyebut kerja
sama ini sebagai Joint Patrol. Sebab, terdapat perbedaan yang cukup besar antara
dua istilah ini. Joint Patrol merupakan model patroli bersama lintas batas wilayah,
sementara Coordinated Patrol merupakan patroli dalam batas wilayah negaranya
serta berkoordinasi dengan pusat komando.162
Hal ini ditandai dengan rencana
pembentukan pusat komando di Bongao, Tawau, dan Tarakan. Kerja sama ini
juga memungkinkan pengejaran perompak sampai melewati batas antar negara.163
Coordinated Patrol dianggap model yang cocok untuk mengembangkan
hubungan antar negara yang terkait dengan tujuan keamanan laut bersama.164
Model ini dapat memaksimalkan ketersediaan sumber daya yang dimiliki oleh
masing-masing negara litoral. Kerja sama ini terbagi menjadi tiga kategori yaitu
patroli laut, patroli udara, dan pertukaran informasi intelejen. Kerja sama ini juga
160
Sapiie, Marguerite Afra, ―Indonesia to start joint sea patrols with Malaysia, Philippines‖,
The Jakarta Post [berita Online] diakses di:
http://www.thejakartapost.com/news/2016/08/02/indonesia-to-start-joint-sea-patrols-with-
malaysia-philippines.html p 161
Parameswaran, Prashanth, ―New Sulu Sea Trilateral Patrols Officially Launched in
Indonesia‖, The Diplomat [Artikel Online] diakses di: https://thediplomat.com/2016/08/new-sulu-
sea-trilateral-patrols-officially-launched/ pada Selasa, 13 Februari 2018 pukul 16:02 WIB 162
Chan, Francis dan Wahyudi Soeriaatmadja, ―Indonesia, Malaysia, Philippines launch
joint operations in Sulu Sea to tackle terrorism, transnational crimes‖ [Online] diakses di:
http://www.straitstimes.com/asia/indonesia-malaysia-and-philippines-launch-joint-operations-in-
sulu-sea-to-tackle-terrorism pada 5 Februari 2018 pukul 16:30 WIB 163
Tashandra, Nabila, ―Indonesia Diizinkan Kejar Perompak ke Filipina‖ [Online] diakses
di:
http://nasional.kompas.com/read/2016/06/27/22345651/indonesia.diizinkan.kejar.perompak.ke.fili
pina pada 5 Februari 2018 pukul 16:31 WIB 164
Whelan, Chad, ―Networks and National Security: Dynamics, Effectiveness and
Organisation‖, (Surrey: Ashgate Publishing, 2012), 19
65
membangun jaringan informasi yang memfasilitasi komunikasi dan pertukaran
informasi antar negara.165
Model patroli ini dapat dikatakan merupakan kombinasi dari beragam
jaringan dimana setiap aktor yang terlibat terikat satu sama lain. Pertukaran
informasi menjadi titik berat dalam model ini, meskipun hal ini tidak menjadi
pengaturan utama dalam patroli ini. Desain patroli bersama ini diharapkan dapat
berkembang menjadi lebih besar dan lebih kompleks dimana yang semula hanya
bersifat sharing information menjadi model yang lebih terpimpin.166
Command Center akan berfungsi sebgai pusat monitor dan analisis yang
mengirim sinyal pada patroli laut untuk melakukan tindakan. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa model patroli terkoordinasi ini sangat bergantung pada pusat
informasi. Tentu saja, model ini memiliki resiko dimana informasi yang diterima
bertumpang tindih atau tertunda.167
Meskipun demikian, model ini mampu
menguatkan kepekaan aktor yang terlibat mengenai situasi dan kondisi yang
terjadi saat itu.168
Gambaran mengenai protokol patroli terkoordinasi ini didemonstrasikan
pada saat peresmiannya pada 19 Juni 2017.169
Pertama, Maritime Command
Center (MCC) di Tawau menerima distress signal dari kapal. Selanjutnya,
165
Rustam, Ismah, ―Kebijakan Keamanan Maritim di Perbatasan Indonesia Kasus
Kejahatan di Laut Sulawesi – Laut Sulu‖, Jurnal Penelitian Politik Vol. 14 No. 2 (Desember
2017): 172 166
Whelan, Networks, 43 167
Whelan, Networks, 46 168
Ho, Joshua dan Sam Bateman, ―Maritime Challenges and Prioritirs in Asia: Implications
for Regional Security‖, (Abingdon: Routlegde, 2013), 135 169
McKirdy, Euan, Kathy Qulano, dan Ivan Watson, ―Indonesia, Malaysia and Philippines
launch joint patrols to tackle ISIS threat‖, [berita online] diakses di:
https://edition.cnn.com/2017/06/19/asia/indonesia-malaysia-philippines-isis/index.html pada 26
Agustus 2018 pukul 00:34 WIB
66
informasi ini diinfokan kepada dua MCC lainnya yang berada di Tarakan dan
Bungao. Kedua MCC ini kemudian meneruskan kepada Indomalphi Quick
Reaction Team. Tim ini terdiri dari helikopter, pesawat pengintai, dan kapal dari
tiga negara yang masing-masing berperan sebagai pengawas dan penyergap.170
B. Tantangan Kerja Sama Keamanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina
di Laut Sulu-Sulawesi
Model Coordinated Patrol di Laut Sulu-Sulawesi mengadopsi model
Malacca Strait Patrol (MSP) yang sukses meredam angka perompakan di Selat
Malaka.171
Koh Swee Lean Collin mengatakan bahwa model patroli ini adalah
model yang paling layak diaplikasikan dalam situasi geografis di kawasan Asia
Tenggara. Kesuksesan patroli MSP ini tidak lepas dari adanya keterlibatan negara
pengamat seperti Thailand.172
Coordinated Trilateral Patrol di Laut Sulu-
Sulawesi diharapkan dapat mencapai kesuksesan yang sama dengan MSP dan
dapat merubah presepsi internasional tentang keamanan di wilayah laut ini.
Akan tetapi, kerja sama keamanan ini juga tidak lepas dari hambatan atau
tantangan. Hambatan yang pertama, adalah kapabilitas militer Indonesia,
Malaysia, dan Filipina.
170
TNI AL, ― Satgas Trilateral Maritime Patrol Indomalphi Berhasil Bebaskan Pembajakan
di KM. Bunga Teratai‖ [Artikel online] diakses di:
http://www.tnial.mil.id/News/OperasiLatihan/tabid/80/articleType/ArticleView/articleId/37080/De
fault.aspx pada 27 Agustus 2018 pukul 00:44 WIB 171
Channel News Asia, ―Member states mark 10th anniversary of Malacca Straits Patrol‖
[Berita Online] diakses di: https://www.channelnewsasia.com/news/singapore/member-states-
mark-10th-anniversary-of-malacca-straits-patrol-8068218 pada 10 Februari 2018 pukul 5:27 WIB 172
Collin, Koh Swee Lean, ―The Malacca Strait Patrols: Finding Common Ground‖, RSIS
Commentary, No. 91 (April 2016) [Online] diakses di: https://www.rsis.edu.sg/wp-
content/uploads/2016/04/CO16091.pdf pada 10 Februari 2018 pukul 5:38 WIB
67
1. Kapabilitas Militer Indonesia, Malaysia, dan Filipina
a. Indonesia
Pada 2017, Indonesia memiliki anggaran pertahanan sebesar US$ 8.25
Miliar atau sebesar Rp. 108.7 Triliun.173
Angka ini mengalami kenaikan hampir
10% dari tahun sebelumnya yaitu US$ 7.3 Miliar atau Rp. 99.5 Triliun.174
Kenaikan ini dikarekan rencana penguatan alutsista untuk memperkuat pertahanan
udara dan laut.175
Kekuatan Angkatan Laut Indonesia menempati peringkat ke-10
dalam globalfirepower.com. Secara keseluruhan, total aset yang dimiliki Tentara
NasionaI Angkatan Laut berjumlah 221, dengan rincian 7 frigates, 24 korvet, 4
kapal selam, 74 kapal patroli, dan 12 kapal penyapu ranjau.176
Tetapi jumlah ini
dinilai masih kurang optimal untuk mengamankan laut seluas 6 juta kilometer
persegi di wilayah Indonesia.177
173
Setiaji, Hidayat dan Agustinus Beo Da Costa, ―With eye on China, Indonesian
parliament approves higher defense spending‖, Reuteurs [Berita Online] diakses di:
https://www.reuters.com/article/us-indonesia-economy-budget-defence/with-eye-on-china-
indonesian-parliament-approves-higher-defense-spending-idUSKCN0ZE113 pada 12 Februari
2018 pukul 11:45 WIB 174
Sunardi, Lili, ―Kementerian PU Dapat Anggaran Terbanyak dari APBN 2016‖ [Berita
Online] diakses di: http://finansial.bisnis.com/read/20151102/10/488148/kementerian-pu-dapat-
anggaran-terbanyak-dari-apbn-2016 diakses pada 15 Februari 2018 pukul 13:17 WIB 175
Saputra, Ramadan Rizki, ―TNI Perkuat Pertahanan Udara dan Laut dengan Alutsista
Baru‖, CNN Indonesia [Berita Online] diakses di:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171101090400-20-252617/tni-perkuat-pertahanan-
udara-dan-laut-dengan-alutsista-baru pada 14 Februari 2018 pukul 14:41 WIB 176
Global Fire Power, ―2017 Indonesian Military Strength‖ [Online] diakses di:
https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=indonesia pada
19 Januari 2018 pukul 21:07 WIB 177
RSIS, ―Indonesia‘s Naval Development and Maritime Cooperation‖, RSIS Policy
Report, [Online] diunduh di: https://www.rsis.edu.sg/wp-
content/uploads/2014/07/PR120705_Indonesia_Naval_Development_Maritime_Cooperation.pdf
pada 19 Januari 2018 pukul 16:41 WIB
68
Gambar VI. I. Grafik Pengadaan Alutsista Militer Indionesia 1950-2015
Sumber: Gregory Vincent Raymond, Naval Modernization in Southeast Asia
Hal ini adalah dampak alokasi dana yang tidak cukup untuk memenuhi
semua kebutuhan TNI AL. Sebagaimana pendapat Cacares-Soleri bahwa ini
merupakan salah satu kelemahan dari TNI AL. Selain itu, kontrol pusat dalam
operasi militer TNI AL dinilai masih lemah. Gregory Raymond juga
mengungkapkan bahwa angkatan laut di Indonesia tidak menjadi prioritas utama
dalam pembaharuan pasukan. Kendatipun, dari segi anggaran TNI AL dan TNI
AU mendapat alokasi dana yang lebih besar dibanding TNI AD. Hal ini terjadi
karena alutsista dan senjata TNI AL dan TNI AU menghabiskan biaya yang jauh
lebih besar.178
Selain itu, Indonesia mengalami kendala internal diantara badan-badan
pengamanan laut. Pada masa pemerintahan presiden Joko Widodo, Indonesia
178
Raymond, Gregory V., ―Naval Modernization in Southeast Asia‖, Contemporary
Southeast Asia Vol. 39, No. 1 (2017): 149-153
69
menitikberatkan keamanan maritim oleh Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Keberadaan Bakamla memicu masalah pembagian kerja dengan badan-badan lain
yang memiliki tugas untuk berpatroli di laut. Hal ini juga berakibat pada tumpang
tindihnya yudiriksi yang ada serta meningkatkan persaingan kepentingan antar
badan yang ada. Sehingga, fungsi badan yang bertugas untuk menjaga keamanan
maritim tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.179
b. Malaysia
Malaysia memiliki anggaran pertahanan sebesar RM15.05 Miliar pada tahun
2017. Berbeda dengan Indonesia, anggaran pertahanan Malaysia mengalami
pemotongan dibanding tahun sebelumnya yaitu RM 17.3 Miliar.180
Pemotongan
anggaran ini disebabkan karena lesunya pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh
Malaysia. Hal ini menyebabkan sejumlah rencana pembaharuan alutsista Malaysia
tertunda.181
Permasalahan lain yang dihadapi Angkatan Laut Malaysia adalah jumlah
armada kapal yang dimiliki tidak cukup untuk menjalankan patroli laut. Tahun
2017, angkatan Laut Malaysia memiliki total kapal laut sebanyak 61 buah dengan
rincian 2 frigates, 6 korvet, 2 kapal selam, 41 kapal patroli, dan 4 kapal penyapu
179
Dinarto, Dedi, ―Reformasi Tata Kelola Keamanan Maritim Indonesia di Era Presiden
Joko Widodo‖, [Online] Diakses di:
https://www.researchgate.net/publication/309726899_Reformasi_Tata_Kelola_Keamanan_Mariti
m_Indonesia_di_Era_Presiden_Joko_Widodo pada 6 Agustus 2018 pukul 12:19 WIB 180
Parameswaran , Prashanth, ―What Does Malaysia‘s New Defense Budget for 2016
Mean?‖ [Artikel Online] diakses di: https://thediplomat.com/2015/10/what-does-malaysias-new-
defense-budget-for-2016-mean/ pada 16 Februari 2018 pukul 12:48 WIB 181
Yeo, Mike, ―Malaysian defense: Budget hinders military asset procurement‖, [Artikel
Onlie] diakses di: https://www.defensenews.com/air/2017/03/15/malaysian-defense-budget-
hinders-military-asset-procurement/ pada 28 Februari 2018 pukul 15:46 WIB
70
ranjau.182
Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 18 kapal yang dapat digunakan
secara bergantian untuk berpatroli. Sementara sisanya lebih sering digunakan
untuk misi lain.183
Selain itu, beberapa kapal sudah cukup usang sehingga tidak
dapat lagi digunakan untuk menjalankan misi.184
Angkatan Laut Malaysia terhambat oleh sejumlah aset yang sudah tua.
Kapal-kapal yang dimiliki AL Malaysia digunakan melibihi batas waktu umurnya
sehingga membutuhkan sejumlah perawatan khusus. Perawatan dan perbaikan
kapal-kapal ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup
tinggi untuk mengganti suku cadangnya. Sementara, Malaysia menghadapi
situasi yang sulit untuk membeli aset yang baru karena biaya yang tinggi.185
.
Secara garis besar, Malaysia memiliki dua badan yang berperan menjaga
keamanan laut yaitu, Royal Malaysian Navy (RMN) dan Malaysia Maritime
Enforcement Agency (MMEA). MMEA merupakan badan penegak hukum laut
yang terdiri dari gabungan beberapa lembaga maritim lainnya yaitu Kepolisian
Kerajaan Malaysia, Departemen Perikanan dan Kelautan Malaysia, serta
Departmen Bea Cukai Malaysia. MMEA bertanggung jawab mengumpulkan
182
Global Fire Power, ―2017 Malaysia Military Strength‖, [Online] diakses di:
https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=malaysia pada
28 Februari 2018 pukul 15:47 WIB 183
Mahadzir , Dzirhan, ―A look at maritime security in Malaysia‖ [Artikel Online] diakses
di: https://www.thestar.com.my/news/nation/2013/03/06/a-look-at-maritime-security-in-malaysia/
pada 10 Juli 2018 pukul 10:50 WIB 184
Lundquist, Edward H., ―Royal Malaysian Navy To Have Newer Ships, Fewer Types‖,
[Artikel Online] diakses di: https://www.defensemedianetwork.com/stories/royal-malaysian-navy-
to-have-newer-ships-fewer-types/ pada 9 Juli 2018 pukul 21:17 WIB 185
Halizahari, M. dan Melan Mustakim, ―Initiatives to Prolong Aging Assets Life Cycle: A
Case Study in Royal Malaysian Navy‖, International Journal of Supply Chain Management Vol.
5, No. 2, June 2016, 125
71
informasi intelejen yang berkaitan dengan keamanan laut. Tidak hanya itu,
MMEA juga bertanggung jawab dalam pencarian dan penyelamatan.186
Pendirian MMEA merupakan bentuk upaya Malaysia dalam pengamanan
laut. Badan ini diharapkan mampu mengkoordinir lembaga-lembaga lain dalam
menjaga keamanan laut Malaysia. Tetapi, MMEA masih memiliki sejumlah
hambatan dan kekurangan. Diantaranya adalah kurangnya aset yang dimiliki.
Sebagian personel dan kapal yang dimiliki badan ini adalah perpindahan dari AL
Malaysia. Hal ini membuat keberadaan MMEA kurang efektif, sebagaimana pada
pembahasan sebelumnya, kapal-kapal AL Malaysia sudah tidak layak untuk
berlayar.
Kendala terbatasnya anggaran dan alutsista direspon oleh AL Malaysia
dengan mengurangi kelas kapal dari semula 15 tipe menjadi 5 tipe. Pengurangan
kelas kapal ini dianggap dapat menghemat biaya pembaharuan alutsista secara
lebih efektif. 187
Penggantian aset yang usang usang secara bertahap dianggap
dapat menghemat biaya operasi dan pemeliharaan serta memungkinkan untuk
memperoleh aset baru. Program ini diharapkan juga mampu mengurangi
ketergantungan Malaysia terhadap pihak luar, sebab sebagian kapal-kapal baru ini
merupakan hasil produksi dalam negeri.188
186
Massey, Anthony Shintaro, ―Maritime Security Cooperation in the Strait of Malacca‖,
(Monterey: Naval Post Graduate School, 2008), 40 187
―RMN bid to reduce maintenance bill‖, [Online] diakses di:
http://dailyexpress.com.my/news.cfm?NewsID=123266 pada 9 Juli 2018 pukul 20:49 WIB 188
Mader, Georg, ―Malaysian Navy chief confirms fleet plans‖, [Onlinr] diakses di:
https://www.defenceiq.com/naval-maritime-defence/articles/malaysian-navy-chief-confirms-fleet-
plans Pada 6 Agustus 2018, pukul 11:40 WIB
72
c. Filipina
Bila membandingkan kekuatan militer Filipina dengan Indonesia dan
Malaysia, Filipina berada di urutan paling bawah.189
Oleh karena itu, pada 2017,
Filipina menaikkan anggaran militernya sebanyak 18 persen dari tahun
sebelumnya, yaitu dari 117.5 miliar peso menjadi 135.2 miliar Peso.190
Anggaran
ini kemudian dialokasikan ke Angkatan Laut sebesar 21 miliar peso dan 18.9
miliar untuk Angkatan Udara. Hal ini menunjukkan bahwa Filipina mulai
berinvestasi untuk memperkuat kapabilitas angkatan lautnya.
Armada kapal Angkatan Laut Filipina jauh lebih sedikit bila dibandingkan
Indonesia dan Malaysia. Hingga saat ini, Filipina memiliki 4 Frigate, 12 Korvet, 6
kapal amphibi, dan 16 kapal support.191
Aset Angkatan Laut Filipina kebanyakan
merupakan bekas kapal PD II dari Amerika Serikat yang sudah usang dan tidak
layak pakai. Filipina berada dalam situasi yang tidak menguntungkan saat
pertahanan maritimnya dibutuhkan dalam situasi keamanan di Laut Sulu-Sulawesi
ini. Pemerintah Filipina menyadari bahwa kapabilitas Angkatan Laut-nya tidak
cukup untuk merespon ancaman maritim yang ada.192
Pemerintah Filipina berupaya untuk memperkuat Angkatan Lautnya untuk
menangani isu keamanan maritim di Laut Sulu-Sulawesi, salah satunya adalah
189
Koh Swee Lean Collin, ―The National Interest, ‗The Philippine Navy‘s Long Struggle to
Modernise‖, [Artikel Online] diakses di: http://nationalinterest.org/feature/the-philippine-navys-
long-struggle-modernize-16408 pada 9 Mei 2018 pukul 11:37 WIB 190
Parameswaran, Prashanth, ―How Much Can the Philippines Boost Its Military Budget
Under Duterte?‖, [Artikel Online] diakses di: https://thediplomat.com/2017/01/how-much-can-the-
philippines-boost-its-military-budget-under-duterte/ pada 23 April 2017 pukul 12:45 191
Luna, Thomas D., ―The Philippines Navy‘s Strategic Sail Plan 2020: A Strong and
Credible Force‖, University of California, 102 192
Banlaoi, Rommel C., ―Philippine Naval Modernization: Current State and Continuing
Challenges‖, (Quenzon City: Philippine Institute for Peace, Violence and Terrorism Research
(PIPVTR), 2012), 13
73
dengan memperoleh kapal-kapal baru. Pada bulan Mei 2016, Filipina menyambut
kapal BRP Tarlac, yang kemudian ditugunakan sebagai kapal kontrol dalam
operasi kontra-pembajakan dan penculikan di Laut Sulu.193
Filipina juga
menandatangani kontrak senilai $366 juta untuk membangun dua kapal frigate
dengan Hyundai Heavy Industries. Kontrak dengan perusahaan Korea Selatan ini
disebut sebagai kontrak pertahanan terbesar selama pemerintahan Duterte.194
Selain mengembangkan dari segi alutsista, Filipina juga berupaya
memperkuat pertahanan militernya dengan mengembangkan Maritime Situation
Awareness Centere (MSAC) pada 2011 serta memperkuat penjagaan di sekitar
garis pantai untuk mengantisipasi ancaman maritim Abu Sayyaf. MASC
bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyebarluaskan informasi yang
berkaitan dengan keamanan maritim. Badan ini juga bertugas untuk berkoordinasi
dengan lembaga lain di dalam wilayah perairan Filipina.
MSAC bermarkas di Manila yang mengawasi 4 pusat kendali pengawasan
di Davao City, Luzon, Mindanao bagian barat, dan Palawan bagian barat.
Keempat pusat kendali ini memonitor 20 titik pengawasan yang tersebar di laut
teritori Filipina. Kendatipun pemerintah Filipina telah mengupayakan
pembentukan badan ini untuk mengatasi ancaman keamanan laut, keefektivitasan
193
Roxas, Joseph T., ―PHL‘s newest, largest ship leads naval blockade vs. Abu Sayyaf in
Sulu‖ [Artikel Online] diakses di: http://www.gmanetwork.com/news/news/nation/580598/phl-s-
newest-largest-ship-leads-naval-blockade-vs-abu-sayyaf-in-sulu/story/ pada 9 Mei 2018 pukul
12:18 WIB 194
ABS-CBN News, ―PH buys 2 new frigates from South Korean firm‖, [Artikel Online]
diakses di: http://news.abs-cbn.com/news/10/25/16/ph-buys-2-new-frigates-from-south-korean-
firm pada 25 Mei 2018 pukul 17:25 WIB
74
MSAC masih terbatas, mengingat kurangnya aset SDM dan peralatan, birokrasi
antar badan, serta kesepakatan diplomatik dengan negara-negara perbatasan.195
Banlaoi menyatakan, Angkatan Laut Filipina memiliki banyak keterbatasan
yang harus dihadapi. Kapabilitas AL Filipina yang dimiliki tidak sepadan dengan
urgensi keamanan maritim saat ini. Moderniasai armada AL yang dilakukan
Filipina hanya untuk kepentingan laut litoral dan kurang memperhatikan
keamanan laut internasional. Selain itu, Filipina tidak cukup dengan hanya dengan
memperbarui armada kapal namun juga kualitas personnel dan birokrasinya.196
2. Sentimen Wilayah Kedaulatan Laut Antara Indonesia, Malaysia, dan
Filipina
Indonesia, Malaysia, dan Filipina seringkali berkonflik mengenai batas
wilayah teritori. Beberapa diantaranya adalah kasus Ambalat antara Indonesia
dengan Malaysia, sengketa Sabah antara Filipina dengan Malaysia, dan kasus
pelanggaran Border Crossing Agreement oleh penduduk Marore dan Miangas.197
Sentimen terhadap wilayah kedaulatan laut antara Indonesia, Malaysia, dan
Filipina masih kuat, dalam beberapa kasus seringkali menyebabkan ketegangan
antar negara. Beberapa ahli berpendapat, kondisi ini akan menghambat
kesepakatan keamanan di Laut Sulu-Sulawesi. Negara-negara di ASEAN
195
Rabasa, Angel dan Peter Chalk, ―Non-Traditional Threats and Maritime Domain
Awareness in the Tri-Border Area of Southeast Asia: The Coast Watch System of the Philippines‖,
(Santa Monica: RAND Corporation, 2012), hlm2 196
Banlaoi, Rommel C., ―Philippine Naval Modernization: Current State and Continuing
Challenges‖, (Quezon City: Philippine Institute for Peace, Violence and Terrorism Research,
2012), 8-11 197
Kedutaan Besar Republik Indonesia Manila, ―Mempertahankan Kedaulatan Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam Maslah Wilayah Perbatasan Indonesia-Filipina‖,
(Manila: Kedutaan Besar Republik Indonesia Manila, 2004), 3-4
75
memiliki potensi konflik teritori laut, hal ini dikarenakan beberapa kasus sengketa
teritori melibatkan militer. Keterlibatan ini meningkatkan ketegangan selama
persengketaan, memperkeruh hubungan antar negara.
Negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Indonesia,
menyepakati penyelesaian sengketa dengan cara damai. Namun, norma ini hanya
dapat diterapkan dalam kasus sengketa di darat saja. Hal ini dikarenakan sengketa
di wilayah laut memiliki atmosfer perilaku penyelesaian sengketa yang berbeda
dengan di darat. Sengketa wilayah di laut disebabkan karena negara di ASEAN
menentukan wilayah teritorialnya berdasarkan wilayah pada masa kolonial.
Indonesia, Malaysia, dan Filipina tidak terlalu sulit menentukan wilayah darat
bekas kolonial Belanda, Inggris, dan Spanyol. Namun, wilayah teritori laut pada
masa kolonial belum didefinisikan dan dibedakan secara jelas. Akibatnya, negara-
negara bekas kolonial di Asia Tenggara, hingga saat ini, masih sering
memperebutkan wilayah lautnya.198
Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) setiap negara
berhak mengklaim batas wilayah teritorial sejauh 12 mil dan wilayah Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil yang diukur dari garis pantai terjauh.
Sementara ilayah kerja sama Indonesia, Malaysia, dan Indonesia berada di laut
Sulu-Sulawesi yang batas laut tidak mencapai 200 mil dari garis pantai terjauh
antar negara.199
Hal ini dikhawatirkan akan mempersulit patroli di wilayah
tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan Zachary Abuza, sentimen ini akan
198
Mak, J.N., ―Sovereignty in ASEAN and The Problem of Maritime Cooperation in South
China Sea‖, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS) Working Paper No. 156, 9 199
Prescott, Victor dan Schofield, Clive. ―Undelimited Maritime Boundaries of the Asian
Rim in the pacific Ocean‖, Maritime Briefing Vol. 3 No.1 (2001): 42
76
menyulitkan hot pursuit pengejaran hingga batas wilayah akan sulit untuk
diimplementasikan.200
Permasalahan kedaulatan wilayah laut, pada perjalanannya, juga menjadi
penghambat kerja sama keamanan di Selat Malaka. Pada mulanya, Malaysia dan
Indonesia menolak untuk terlibat dalam patroli gabungan di Selat Malaka.
Penolakan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran bahwa patroli cross-border akan
mencederai teritorial dan kedaulatan negara.201
Selain itu, Indonesia dan Malaysia
juga menolak keterlibatan negara lain untuk terlibat dalam pengamanan Selat
Malaka.
C. Keberhasilan Kerja Sama Keamanan di Laut Sulu-Sulawesi
Sejak diluncurkannya kerja sama antara Indonesia, Malaysaia, dan Filipina,
angka perompakan di Laut Sulu-Sulawesi mengalami penurunan yang cukup
signifikan hingga awal tahun 2018. January-December Annual Piracy and Armed
Robbery Ships in Asia 2017 oleh ReCAAP menyebutkan bahwa pada tahun 2017
angka perompakan di Laut Sulu-Sulawesi mengalami penurunan dibandung tahun
sebelumnya.202
Hingga Desember 2017 dilaporkan sebanyak 3 kasus perompakan
dan penculikan di Laut Sulu-Sulawesi: sebuah kapal trawler berbendera Malaysia
pada 18 Januari 2017, kapal Gong Hai berbendera Vietnam pada 19 Februari
2017, dan sebuah kapal tongkang berbendera Filipina pada 23 Maret 2013.
200
Abuza, Zachary, ―Trilateral Maritime Patrols Sulu Sea Asymmetry Need Capability
Political Will‖ diakses di: http://cimsec.org/trilateral-maritime-patrols-sulu-sea-asymmetry-need-
capability-political-will/26251 pada 5 Mei 2018 pukul 4:14 WIB 201
Sittnick, Tammy M., ―State responsibility and Maritime Terrorism in the Strait of
Malacca: Persuading Indonesia and Malaysia to take additional steps to secure the strait‖, Pasific
Rim Law & Policy Journal Vol. 14 no. 3 (2005): 745 202
ReCAAP, ―January-December Annual Piracy and Armed Robbery Ships in Asia 2017‖,
18
77
Laporan Triwulan I ReCAAP menyatakan, tidak ada perompakan dan penculikan
di Laut Sulu-Sulawesi hingga Maret 2018. Penurunan tingkat perompakan ini
merupakan bukti absolut kesuksesan kerja sama Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Gambar IV. C. 1. Grafik Jumlah Perompakan di Laut Sulu-Sulawesi 2016-
2018
Sumber: ReCAAP January—December Annual Report Piracy and Armed
Robbery Ships in Asia, 35 dan ReCAAP January – March 2018 Report Quarterly
Piracy and Armed Robbery Against Ship in Asia, 25 (diolah kembali oleh penulis)
Keberhasilan suatu patroli bersama di Laut dapat dilihat dari 4 hal: Pertama,
Indonesia, Malaysia, dan Filipina mampu mendeteksi dan mengidentifikasi
ancaman atau potensi tindakan yang mengancam keamanan. Kedua, mampu
melokalisir insensitas suatu ancaman keamanan dalam lokasi tertentu. Hal ini
akan mempermudah operasi patroli dengan memfokuskan pada titik-titik lokasi
rawan. Selain itu, hal ini juga menjadi salah satu solusi hambatan terbatasnya
jumlah kapal yang ikut berpatroli. Ketiga, penanganan situasi yang tepat sesuaii
0
2
4
6
8
10
12
14
2016 2017 2018
Jumlah Insiden
Jumlah Insiden
78
ketentuan hukum dan kesepakatan yang berlaku. Keempat, monitoring dan
evaluasi dari pelaksanaan patroli koordinasi tersebut.203
Kunci dari keberhasilan patroli ini adalah koordinasi antara tiga negara.
Selain itu, koordinasi antara patroli lepas pantai, perbatasan, juga dengan penegak
hukum di darat juga membantu mensukseskan patroli ini. Hal ini dikarenakan pola
perompakan oleh Abu Sayyaf hampir mirip dengan perompak biasa, yaitu
kembali ke markas mereka setelah melancarkan aksi. Selain itu, patroli ini juga
didukung oleh patroli udara yaitu Trilateral Air Patrol (TAP) yang diluncurkan
pada 12 Oktober 2017 di Malaysia.204
Kesuksesan ini juga tidak lepas dari dukungan negara-negara lain. Salah
satu contohnya dengan memperluas kerja sama dengan mengadakan Our Eyes
Initiative.205
Kerja sama patroli udara ini sebagai kelanjutan dari kerja sama
patroli koordinasi di Laut Sulu-Sulawesi. Kerja sama ini juga kan diintegrasikan
dengan patroli dan latihan darat. Menurut Menteri Pertahanan Republik Indonesia
kerja sama coordinated patrol di Laut Sulu-Sulawesi ini juga akan melibatkan
negara ASEAN lainnya serta memperluas kerja sama tersebut dengan Amerika
Serikat, Australia dan Jepang (Lihat Lampiran 3 halaman 4). Kebutuhan akan
terciptanya keamanan di kawasan ini memungkinkan kerja sama ini meluas dan
203
Panduwinata, Yudhistira, ―Pengawasan Wilayah Laut Selat Malaka pada Kerja Sama
Malacca Strait Sea Patrols tahun 2011-2013: perspektif indonesia‖ Journal of International
Relations, Volume 2, Nomor 4, (2016): 276-281 204
Andolong, Arsenio R., ―Indonesia, Malaysia and Philippines launch Trilateral Air
Patrol‖ DND Press Release 14 Oktober 2017, diakses di:
http://www.dnd.gov.ph/PDF2017/DNDPASPressRelease20171013TrilateralAirPatrolLaunchedite
d.pdf 205
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, ―Launching Trilateral Air Patrol
Indonesia-Malaysia-Filipina‖ [Berita Online] diakses di:
https://www.kemhan.go.id/2017/10/12/launching-trilateral-air-patrol-indonesia-malaysia-
filipina.html pada 4 Oktober 2018 pukul 19.33 WIB
79
tidak dibatasi oleh ketiga negara saja. Kerja sama keamanan ini menciptakan
suatu jaringan baru yang dilandasi oleh kesamaan kepentingan, rasa saling
percaya, dan tanggung jawab bersama.206
Anggapan bahwa kerja sama trilateral ini terhambat oleh isu kepercayaan
antara ketiga negara terpatahkan dengan menurunnya tingkat aksi perompakan di
Laut Sulu-Sulawesi. Hal ini dikarenakan sentimen tentang kedaulatan dan batas
wilayah di laut cenderung lebih tersamar. Bila melihat peta geografis Laut Sulu-
Sulawesi, wilayah kedua laut itu terhubung secara alamiah. Selain itu, wilayah
laut ini tidak hanya digunakan oleh negara litoral saja, tetapi juga negara user
sebagai alternatif jalur perdagangan. Maka, keamanan di wilayah ini merupakan
kewajiban bersama dan merupakan suatu bentuk keamanan kolektif.
Kerja sama ini menjadi arti penting dalam konteks keamanan di Laut Sulu-
Sulawesi. Negara akan sulit mengatasi ancaman tradisional sebagaimana yang
telah disebutkan pada Bab II. Ancaman yang ada telah meningkatkan perlunya
menyeimbangkan antara keamanan dan perdamaian di kawasan. Hal ini akan
tercapai apabila negara-negara memiliki kapabilitas yang diperlukan. Tetapi,
masing-masing negara memiliki kelemahan dan kelebihan dalam memenuhi
kapabilitas tersebut. Indonesia, Malaysia, dan Filipina perlu membangun
kepercayaan bersama untuk dapat berhasil menciptakan kapabilitas yang
diperlukan.
206
Wu, Shicun dan Keyuan Zou, ―Maritime Security in the South China Sea: Regional
Implications and International Cooperation‖, (Surrey: Ashgate Publishing), 20
80
Keamanan kolektif akan efektif, bila ketiga negara yang bekerja sama
memiliki suatu nilai atau norma yang dapat diterima bersama. Semua negara yang
terlibat memiliki visi yang sama mengenai aktor yang mengancam keamanan.
Dalam hal ini, ancaman tersebut merupakan ancaman yang bersifat universal,
yaitu Kelompok Abu Sayyaf. Sebagaimana yang dibahas pada sub-bab
sebelumnya, Indonesia, Malaysia, dan Filipina juga telah menandatangani
deklarasi bersama (joint declaration) untuk menyelesaikan masalah keamanan di
Laut Sulu-Sulawesi. Deklarasi ini menegaskan aktor dan bentuk ancaman
terhadap tiga negara.
Indonesia, Malaysia, dan Filipina telah berkomitmen untuk memperluas
kerja sama keamanan ini dengan mengikutsertakan patroli udara yaitu .
Peluncuran patroli udara ini juga merupakan respon dari peristiwa Marawi.
Peristiwa ini melibatkan jaringan-jaringan teroris yang berada di Indonesia dan
Malaysia.207
Hal ini menjadi sinyal bagi Indonesia, Malaysia, dan Filipina bahwa
keamanan perbatasan ketiga negara semakin terancam. Perlu adanya suatu
tindakan tegas untuk membendung ancaman bersama dari kelompok teroris. Oleh
karena itu, kerja sama ini juga tidak dibatasi oleh ketiga negara saja, namun
negara lain juga memiliki peluang untuk terlibat di dalamnya.
Upaya-upaya ini merupakan suatu bentuk komitmen untuk menjaga
keamanan di Laut Sulu-Sulawesi. Keamanan kolektif di suatu kawasan akan
tercipta apabila anggota yang tergabung di dalamnya berkomitmen dalam
207
Chan, Francis, ―Indonesian militants‘ presence in Marawi City sparks alarm‖, The
Straits Times, 12 Juni 2017, [Artikel Onlie] diakses di: https://www.straitstimes.com/asia/se-
asia/indonesian-militants-presence-in-marawi-city-sparks-alarm pada 20 Juli 2018 pukul 14.27
WIB
81
kesepakatannya. Komitmen lain adalah rasa saling percaya antara Indonesia,
Malaysia, dan Filipina. Potensi ancaman yang kian berkembang mengharuskan
ketiga negara untuk mengabaikan konflik dan sengketa di masa lampau dan
menjalankan kesepakatan yang telah diputuskan.208
Keamanan di Laut Sulu-Sulawesi menjadi perhatian bersama diantara
Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Terciptanya keamanan di wilayah ini menjadi
hal yang penting demi mencapai kepentingan state actor maupun non-state actor.
Kerja sama ini memungkinkan negara tri border area mengimplementasikan
tindakan kolektif. Oleh karena itu, keberhasilan keamanan kolektif di Laut Sulu-
Sulawesi memerlukan suatu kerangka yang menjadi acuan dari kerja sama
keamanan ini. Hal ini telah diiwujudkan dalam Trilateral Cooperative Agreement
yang telah disepakati oleh ketiga negara.
Indonesia, Malaysia, dan Filipina juga membangun rasa kepercayaan untuk
mensukseskan kerja sama ini. Tindakan membangun kepercayaan telah
diimplementasikan melalui rangkaian pertemuan-pertemuan dan diskusi oleh tiga
negara. Hal ini dimaksudkan untuk membahas, mengantisipasi, serta
menyamaratakan persepsi tentang urgensi keamanan di Laut Sulu-Sulawesi.
Sehingga ketidakpastian antara negara tri border area dapat diminimalkan. Selain
itu, kepercayaan ini juga dibangun untuk membuka relasi yang lebih stabil,
208
Danchin, Peter G. Dan Horst Fischer, ―United Nations Reform and the New Collective
Security‖, (Cambrige: Cambridge University Press, 2010), hal 52
82
sehingga kedepannya, Indoneisa, Malaysia, dan Filipina bisa mengidentifikasi
lebih jauh kebutuhan keamanan bersama.209
209
Sugihartini, Hani, ―Good Order at Sea: What Does it Need and What We Can (Must) Do
at National Level?‖ Quarterdeck, Vol. 11 No. 2, Februari 2017, 13
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Model kerja sama keamanan Indonesia, Malaysia, dan Filipina di Laut Sulu-
Sulawesi adalah coordinated patrol. Kerja sama ini ditandai dengan pertemuan
tiga menteri pertahanan selama tahun 2016 hingga tahun 2017. Ancaman
keamanan di Laut Sulu-Sulawesi mendorong pemerintah negara tri border area
untuk mengadakan deklarasi bersama (joint declaration) di Yogyakarta, 5 Mei
2016. Joint Declaration (lihat lampiran I) ini menyepakati empat hal, termasuk
mengadopsi coordinated patrol sebagai model kerja sama keamanan trilateral.
Model kerja sama ini diadopsi dari kerja sama di Selat Malaka yang terbukti
berhasil meredam angka perompakan. Kerja sama ini kemudian dibakukan dalam
―Framework on Trilateral Cooperative Agreement between Malaysia, Indonesia
and the Philippines‖ pada 14 Juli 2016 sekaligus membahas SOP yang akan
dilaksanakan. Kerja sama ini diharapkan dapat meredam operasi pembajakan serta
penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf dan dapat mengangkatkan citra negara-
negara tri border area yang dianggap tidak mampu mengatasi ancaman di Laut
sulu-sulawesi.
Ancaman di Laut Sulu-Sulawesi merupakan ancaman non-tradisional yang
bersifat cross border. Rangkaian peristiwa penculikan oleh Kelompok Abu Sayyaf
merupakan salah satu bentuk ancaman di wilayah ini. Kelompok ini telah menjadi
84
ancaman di Laut Sulu-Sulawesi sejak tahun 2001. Ancaman ini tidak hanya
berdampak kepada negara litoral, tetapi juga pada negara user.
Kerja sama trilateral coordinated patrol ini terbukti mencapai kesuksesan,
ditandai dengan menurunnya jumlah kasus penculikan oleh Abu Sayyaf dari tahun
2016 hingga triwulan pertama tahun 2018. Hal ini menepis anggapan-anggapan
bahwa Indonesia, Malaysia, dan Filipina tidak mampu untuk mengamankan
wilayah ini sendiri. Kendatipun demikian, kerja sama keamanan ini tidak terlepas
dari hambatan dan tantangan, diantaranya adalah kapabilitas angkatan laut, rasa
percaya dari setiap anggota, dan persepsi menganai ancaman di wilayah tersebut.
Penegakan keamanan di Laut Sulu-Sulawesi tidak bisa diwujudkan hanya
dengan upaya dari satu negara saja. Negara-negara tri border area perlu
mengadakan suatu bentuk kerja sama dengan menyatukan kemampuan dan
kekuatan agar kerja sama tersebut efisien menjaga keamanan di Laut Sulu-
Sulawesi. Oleh karena itu, dibutuhkan rasa saling percaya (mutual trust) antara
negara yang terlibat dalam upaya pengamanan di wilayah ini.
Kinerja Indonesia, Malaysia, dan Filipina menentukan keamanan Laut
Sulawesi-Laut Sulu kedepannya tergantung pada kinerja ketiga negara dalam
mengupayakan keamanan baik dengan pendekatan militer maupun dengan
pendekatan diplomasi, implementasi kerja sama ini diharapkan tidak terbatas
dengan mengamankan laut sulu-sulawesi dari teror Abu Sayyaf, namun juga dari
ancaman maritim secara umum seperti penyelundupan narkotika ilegal,
penyelundupan senjata, dan kejahatan transnasional lainnya.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abuza, Zachary, “Balik Terrorism: The Return of The Abu Sayyaf”, (Carsile: Strategic Studies
Institute, 2005)
Agastia, I Gusti Bagus Dharma dan Anak Agung Banyu Perwita, Maritime Security in the Indo-
Pacific (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2016)
Aleksovsi, Stefan, Oliver Bakreski, dan Biljana Avramovska. “Collective Security – The Role of
International Organizations – Implications in International Security Order”. (Rome:
MCSER Publishing, 2014)
Banlaoi, Rommel C, “Al Harakatul Al Islamiyah, Essay on the Abu Sayyaf Group”, (Quenzon
City: Philippine Institute for Political Violence and Terrorism Research (PIPVTR), 2008)
_______ “Philippine Naval Modernization: Current State and Continuing Challenges”, (Quenzon
City: Philippine Institute for Peace, Violence and Terrorism Research (PIPVTR), 2012),
Barreveld, Dirk J. “Terrorism in the Philippines: The Bloody Trail of Abu Sayyaf, Bin Laden‟s
East Asian Connection” (San Jose, CA: Writer‟s Club, 2001)
Buzan, Barry, “People, States and Fear: The National Security Problems in International
Relations” (Brighton: Wheatsheaf, 1991)
Bradford, John, “Southeast Asian Maritime Security in Age f Terror: Threats, Opportunity, and
Charting the Course Forward”, (Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies,
2005)
_______ dan Ole Waever, “Regions and Powers, The Structure of International Security”
(Cambridge: Cambridge University Press, 2004)
Chalk, Peter, ed., “The Evolving Terrorist Threat to Southeast Asia: A Net Assessment”, (Santa
Monica: RAND Corporation, 2009)
Danchin, Peter G. Dan Horst Fischer, “United Nations Reform and the New Collective Security”,
(Cambrige: Cambridge University Press, 2010)
Flick, Uwe, “Qualitative and Quantitative Reasearch dalam An Introduction to Qualitative
Research", (London: SAGE Publication, 2006),
Hamzah, Andi, “Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana”, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986)
Ibrahim, H.M., dan Nezery Khalid, “Growing Shipping Traffic in the Strait of Malacca: Some
Reflections on the Environtmental Impact” (Kuala Lumpur: Maritimr Institute of Malaysia,
2007)
John McFarlane dan Karen McLellan, “Transnational Crime: The New Security Paradigm”,
Working Paper No. 294, (Canberra: Strategic and Defence Studies Centre Australian
National Univeristy, 1996)
xiv
Kedutaan Besar Republik Indonesia Manila, “Mempertahankan Kedaulatan Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia Dalam Maslah Wilayah Perbatasan Indonesia-Filipina”,
(Manila: Kedutaan Besar Republik Indonesia Manila, 2004)
Lexy J. Moleong., “Metode Penelitian Kualitatif” (Bandung: Remaja Rosdakarya., 2000)
Massey, Anthony Shintaro, “Maritime Security Cooperation in the Strait of Malacca”,
(Monterey: Naval Post Graduate School, 2008)
Miani, Lino, “The Sulu Arms Market: National Responses to a Regional Problem”, (Singapura:
Institute of Asian Studies, 2011)
Mwagabi, Lawrence. “The Theory of Collective Security and Its Limitations in Explaining
International Organization: A Critical Analysis”, (2010)
Nainggolan, Poltak Parogi, ed, “Keamanan Maritim di Kawasan”, (Jakarta: Azza Grafika, 2014)
Weatherbee, Donald E, “International Relation in Southeast Asia The Struggle for Autonomy
Second Edition”, (Maryland: Rowman & Littledield Publisher, Inc., 2009)
Wu, Shicun dan Keyuan Zou, “Maritime Security in the South China Sea: Regional Implications
and International Cooperation”, (Surrey: Ashgate Publishing, 2009)
Lapian, Adrian B, “Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad
XIX”, (Depok: Komunitas Bambu, 2009)
Perwita, Anak Agung Banyu dan Bantarto Bandoro (ed), “Pengantar Kajian Strategis”,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013)
Rabasa, Angel dan Peter Chalk, “Non-Traditional Threats and Maritime Domain Awareness in
the Tri-Border Area of Southeast Asia: The Coast Watch System of the Philippines”,
(Santa Monica: RAND Corporation, 2012)
Sudarto, “Metodologi Penelitian Filsafat”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995)
Whelan, Chad, “Networks and National Security: Dynamics, Effectiveness and Organisation”,
(Surrey: Ashgate Publishing, 2012)
Wahyu Pramono, “Kekuatan dan Kelemahan Penelitian Kualitatif”, Jurnal Antropologi vol 1
(1998)
Tsagourias, Nicholas dan Nigel D. White, “Collective Security: Theories, Law and Practice”
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013)
Jurnal dan Jurnal Online:
Abbot, Jason dan Neil Renwick, “Pirates? Maritime Piracy and Societal Security in Southeast
Asia”, Pacifica Review, Vol. 11 No. 1 (Februari 1999): 9-11 [Online] diakses di
https://www.researchgate.net/profile/Jason_Abbott2/publication/247497099_Pirates_Marit
ime_Piracy_and_Societal_Security_in_Southeast_Asia/links/5522bc620cf29dcabb0eda3f/
Pirates-Maritime-Piracy-and-Societal-Security-in-Southeast-Asia.pdf pada 25 April 2017
pukul 13.51 WIB
xv
Anonim, “The Economics of Piracy in Southeast Asia”, The Global Initiative Against
Transnational Organized Crime, (Mei 2016): 5; tersedia di: http://globalinitiative.net/wp-
content/uploads/2016/05/Global-Initiative-Economics-of-SE-Asia-Piracy-May-2016.pdf
diakses pada 27 Januari 2018 pukul 16:55
Arif, Muhammad dan Yandry Kurniawan, “Strategic Culture and Indonesian Maritime Security”,
Asia & the Pacific Policy Studies, vol. 5, no 1, (January 2018)
Ayob, Norizawati Mohd dan Tarmiji Masron, “Issues of Safety and Security: New Challenging
to Malaysia Tourism Industry”, SHS Web of Conferences 12 – EDP Sciences, (2014),
tersedia di:
https://www.shsconferences.org/articles/shsconf/pdf/2014/09/shsconf_4ictr2014_01083.pd
f diakses pada 28 Januari 2018 pukul 22:14 WIB
Banlaoi, Rommel C., “Maritime Terrorism in Southeast Asia: The Abu Sayyaf Threat”, Naval
War College Review, Vol. 58, No. 4 (Autumn 2005)
_________________, “The Abu Sayyaf Group: From Mere Banditry to Genuine Terrorism”,
Southeat Asian Affair, (2006)
Berry, LaVerle , et al, “A Global Overview of Narcotics-Funded Terrorist and Other Extrimist
Group”, The Library of Congress May 2002
Fellman, Zack, “Abu Sayyaf Group”, AQA M Futures Project: Case Studies Series No. 3
(November 2011)
Halizahari, M. dan Melan Mustakim, “Initiatives to Prolong Aging Assets Life Cycle: A Case
Study in Royal Malaysian Navy”, International Journal of Supply Chain Management Vol.
5, No. 2, (June 2016)
Ho, Joshua, “The Security of Sea Lanes in Southeast Asia”, Asian Survey, Vol. 4 Issue 46.
(2006)
Kramer, Katherine, “Legal to Illegal: Southeast Asia‟s Illegal Arms Trade”, Kasarinlan
Philippine Journal of Third World Studies Vol 16 No, 2 (2001)
Lapian, Adrian B. , “Laut Sulawesi: The Celebes Sea, from center to Peripheries”, Moussons Vol.
7 (2003)
Leymarie , Philippe, et al., “UNOSAT Global Report on Maritime Piracy a geospatial analysis
1995-2013”, United Nations Institute for Training and Research (UNITAR), (2014):31;
tersedia di:
https://unosat.web.cern.ch/unosat/unitar/publications/UNITAR_UNOSAT_Piracy_1995-
2013.pdf diakses pada 28 Januari 2018 pukul 15:04 WIB
Liss, Carolin, “Assessing Contemporary Maritime Piracy in Southeast Asia: Trends, Hotspots
and Responses”, PRIF (Peace Reasearch Institute Frankfurt) Report No. 125 (2014)
______, “The Unique Challenges and Difficulties of Maritime Security Research”, SAIS Review
vol. XXXIII no. 2 (Summer–Fall 2013)
Othman, Zarina, ed., “Non-Traditional Security Issues and the Stabilitu of Southeast Asia”,
Jurnal Kajian Wilayah vol. 4 No. 2 (2013)
Richardson, Michael, “The Threats of Piracy and Maritime Terrorism in Southeast Asia”,
Maritime Studies issue 139. (2004)
xvi
Raymond, Catherine Zara, “Piracy in Southeast Asia New Trends, Issues and Responses”, RSIS
Working Paper No. 089 (Oktober 2005)
___________________, “Piracy in Southeast Asia New Trends, Issues and Responses”, RSIS
Working Paper, No. 089 (October 2005):
Raymond, Gregory V., “Naval Modernization in Southeast Asia”, Contemporary Southeast Asia
Vol. 39, No. 1 (2017)
Rachmanto, Anggi Setio, “Pola Penyeludupan dan Peredaran Senjata Api Illegal di Indonesia”,
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. V no.II (Agustus 2009)
Storey, Ian “Securing Southeast Aisa‟s Sea Lanes: A Work in Progress”, Asia Policy, No. 6 (July
2008)
Panduwinata, Yudhistira, “Pengawasan Wilayah Laut Selat Malaka pada Kerja Sama Malacca
Strait Sea Patrols tahun 2011-2013: perspektif indonesia” Journal of International
Relations, Volume 2, Nomor 4, (2016)
Prescott, Victor dan Schofield, Clive. “Undelimited Maritime Boundaries of the Asian Rim in the
pacific Ocean”, Maritime Briefing Vol. 3 No.1 (2001)
Pujayanti, Antrini, “Upaya Pembebasan WNI Sandera Kelompok Abu Sayyaf”, Majalah Info
Singkat Hubungan Internasional, Vol. VIII, No. 07/I/P3DI/April/2016 (2016)
Sittnick, Tammy M., “State responsibility and Maritime Terrorism in the Strait of Malacca:
Persuading Indonesia and Malaysia to take additional steps to secure the strait”, Pasific
Rim Law & Policy Journal Vol. 14 no. 3 (2005)
Ulph, Stephen, “Evidence of Jemaah Islamiyah Expansion in the Philippines,” Terrorism Focus
vol. 2. No. 5 (Maret 2003)
Sugihartini, Hani, “Good Order at Sea: What Does it Need and What We Can (Must) Do at
National Level?” Quarterdeck, Vol. 11 No. 2, (Februari 2017)
Yung, Adam J. dan Mark J. Valencia, “Conflation of Piracy and Terrorism in Southeast Asia:
Rectitude and Utility”, Contemporary Southeast Asia, Vol. 25, No. 2 (Augustus 2003): 272
[e-Jurnal] diunduh dari http://www.jstor.org/stable/25798643 pada 30 April 2017 pukul
9.31 WIB
Zubir, Nurulizwan A. dan Wan Siti Adibah Wan Dahalan, “Maritime Violence: Implication to
Malaysia”, Arena Hukum Vol. 6 No. 1. (April 2012)
Artikel Online:
Abuza, Zachary, “Trilateral Maritime Patrols Sulu Sea Asymmetry Need Capability Political
Will” diakses di: http://cimsec.org/trilateral-maritime-patrols-sulu-sea-asymmetry-need-
capability-political-will/26251 pada 5 Mei 2018 pukul 4:14 WIB
Atkinson, Garret, “Abu Sayyaf: The Father of the Swordsman – A Review of the Rise of Islamic
Insurgency in the Southern Philippines”, American Security Project (Maret 2012), 4
[Online] diakses di: https://www.americansecurityproject.org/wp-
content/uploads/2012/03/Abu-Sayyaf-The-Father-of-the-Swordsman.pdf pada 22 Mei
2017 pukul 9.31
xvii
Collin, Koh Swee Lean, “The National Interest, „The Philippine Navy‟s Long Struggle to
Modernise”, [Artikel Online] diakses di: http://nationalinterest.org/feature/the-philippine-
navys-long-struggle-modernize-16408 pada 9 Mei 2018 pukul 11:37 WIB
_______________, “The Malacca Strait Patrols: Finding Common Ground”, RSIS Commentary,
No. 91 (April 2016) [Online] diakses di: https://www.rsis.edu.sg/wp-
content/uploads/2016/04/CO16091.pdf pada 10 Februari 2018 pukul 5:38 WIB
DeVantler, Lyndon ed., “The Sulu-Sulawesi Sea: Environmental and Economic Status, Future
Prognosis and Ameliorative Policy Options”, Ambio Vol. 33 No 1-2 (Februari 2004),
Department of National Defense Republic of the Philippines, “Philippines, Malaysia and
Indonesia conduct Trilateral Defense Ministers Meeting” [Artikel Online] diakses di:
http://www.dnd.gov.ph/PDF%202016/Press%20-
%20Philippines,%20Malaysia%20and%20Indonesia%20conduct%20Trilateral%20Defens
e%20Ministers%20Meeting.pdf pada 5 Februari 2018 pukul 17:33 WIB
Dinarto, Dedi, “Reformasi Tata Kelola Keamanan Maritim Indonesia di Era Presiden Joko
Widodo”, [Online] Diakses di:
https://www.researchgate.net/publication/309726899_Reformasi_Tata_Kelola_Keamanan_
Maritim_Indonesia_di_Era_Presiden_Joko_Widodo pada 6 Agustus 2018 pukul 12:19
WIB
Mahadzir , Dzirhan, “A look at maritime security in Malaysia” [Artikel Online] diakses di:
https://www.thestar.com.my/news/nation/2013/03/06/a-look-at-maritime-security-in-
malaysia/ pada 10 Juli 2018 pukul 10:50 WIB
Major Frederick Chew, Piracy, maritime terrorism and regional interests. [artikel Online] (2005,
diunduh pada 1 April 2017 pukul 8:49 WIB) tersedia di
http://www.defence.gov.au/ADC/Publications/Geddes/2005/PublcnsGeddes2005_310310_
PiracyMaritime.pdf
Kemlu, “Joint Declaration of Foreign Ministers and Chiefs of Defence Forces of Indonesia-
Malaysia-Philippines”, [Artikel Online] diakses di:
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/Joint-Declaration-Foreign-Ministers-and-Chiefs-
of-Defence-Forces-of-Indonesia-Malaysia-Philippines.aspx
Lundquist, Edward H., “Royal Malaysian Navy To Have Newer Ships, Fewer Types”, [Artikel
Online] diakses di: https://www.defensemedianetwork.com/stories/royal-malaysian-navy-
to-have-newer-ships-fewer-types/ pada 9 Juli 2018 pukul 21:17 WIB
Parameswaran, Prashanth, “How Much Can the Philippines Boost Its Military Budget Under
Duterte?”, [Artikel Online] diakses di: https://thediplomat.com/2017/01/how-much-can-
the-philippines-boost-its-military-budget-under-duterte/ pada 23 April 2017 pukul 12:45
____________, “What Does Malaysia‟s New Defense Budget for 2016 Mean?” [Artikel Online]
diakses di: https://thediplomat.com/2015/10/what-does-malaysias-new-defense-budget-for-
2016-mean/ pada 16 Februari 2018 pukul 12:48 WIB
xviii
___________, “New Sulu Sea Trilateral Patrols Pact Nears Completion” [Artikel Online] diakses
di: https://thediplomat.com/2016/07/new-sulu-sea-trilateral-patrols-pact-nears-completion/
pada 12 Februari 2018 pukul 20:04 WIB ________________
, “New Sulu Sea Trilateral Patrols Officially Launched in Indonesia”, The Diplomat
[Artikel Online] diakses di: https://thediplomat.com/2016/08/new-sulu-sea-trilateral-patrols-
officially-launched/ pada Selasa, 13 Februari 2018 pukul 16:02 WIB
ReCAAP, “Special Report on Abducting of Crew from Ships in Waters off Eastern Sabah and
Southern Philippines (Part II)”; tersedia di:
http://www.recaap.org/DesktopModules/Bring2mind/DMX/Download.aspx?Command=C
ore_Download&EntryId=455&PortalId=0&TabId=78 diakses pada 25 Januari 2018 pukul
18:40 WIB
Roxas, Joseph T., “PHL‟s newest, largest ship leads naval blockade vs. Abu Sayyaf in Sulu”
[Artikel Online] diakses di: http://www.gmanetwork.com/news/news/nation/580598/phl-s-
newest-largest-ship-leads-naval-blockade-vs-abu-sayyaf-in-sulu/story/ pada 9 Mei 2018
pukul 12:18 WIB
Yeo, Mike, “Malaysian defense: Budget hinders military asset procurement”, [Artikel Onlie]
diakses di: https://www.defensenews.com/air/2017/03/15/malaysian-defense-budget-
hinders-military-asset-procurement/ pada 28 Februari 2018 pukul 15:46 WIB
Website dan Berita Online:
Anonim, “Menteri Susi: Kerugian Akibat Illegal Fishing Rp 240 Triliun”, Detik Finance 1
Desember 2014 [Online] diakses di: http://finance.detik.com/berita-ekonomi-
bisnis/2764211/menteri-susi-kerugian-akibat-illegal-fishing-rp-240-triliun 20 Mei 2017
pukul 19.06
ABS-CBN News, “PH buys 2 new frigates from South Korean firm”, [Artikel Online] diakses di:
http://news.abs-cbn.com/news/10/25/16/ph-buys-2-new-frigates-from-south-korean-firm
pada 25 Mei 2018 pukul 17:25 WIB
Arpan Rahman, “Filipina Buru Abu Sayyaf yang Culik Tujuh ABK Vietnam”, Metrotv news, 20
Februari 2017 [Online] Diakses di:
http://m.metrotvnews.com/internasional/asia/nbwexjJK-filipina-buru-abu-sayyaf-yang-
culik-tujuh-abk-vietnam pada 10 April 2017 pukul 18.30 WIB
Anonim, Tujuh WNI diculik dan disandera kelompok Abu Sayyaf, [Berita Online] diakses di:
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38837392 pada 1 April 2017 pukul 8:23 WIB
Andolong, Arsenio R., “Indonesia, Malaysia and Philippines launch Trilateral Air Patrol” DND
Press Release 14 Oktober 2017, diakses di:
http://www.dnd.gov.ph/PDF2017/DNDPASPressRelease20171013TrilateralAirPatrolLaun
chedited.pdf
xix
Chan, Francis, “Indonesian militants‟ presence in Marawi City sparks alarm”, The Straits Times,
12 Juni 2017, [Artikel Onlie] diakses di: https://www.straitstimes.com/asia/se-
asia/indonesian-militants-presence-in-marawi-city-sparks-alarm pada 20 Juli 2018 pukul
14.27 WIB
________dan Wahyudi Soeriaatmadja, “Indonesia, Malaysia, Philippines launch joint operations
in Sulu Sea to tackle terrorism, transnational crimes” [Online] diakses di:
http://www.straitstimes.com/asia/indonesia-malaysia-and-philippines-launch-joint-
operations-in-sulu-sea-to-tackle-terrorism pada 5 Februari 2018 pukul 16:30 WIB
Channel News Asia, “Member states mark 10th anniversary of Malacca Straits Patrol” [Berita
Online] diakses di: https://www.channelnewsasia.com/news/singapore/member-states-
mark-10th-anniversary-of-malacca-straits-patrol-8068218 pada 10 Februari 2018 pukul
5:27 WIB
FAO, “Fishery Country Profiles”, [Online] diakses di: www.fao.org/fi/fcp/fcp.asp pada 19 Mei
2017 pukul 18.32
Febrianto, Heru, “Moratorium Batu Bara ke Filipina Buat Industri Pelayaran RI Lesu”,
sindonews.com, [artikel Online] diakses di:
https://ekbis.sindonews.com/read/1127233/34/moratorium-batu-bara-ke-filipina-buat-
industri-pelayaran-ri-lesu-1469779754
Global Fire Power, “2017 Malaysia Military Strength”, [Online] diakses di:
https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-
detail.asp?country_id=malaysia pada 28 Februari 2018 pukul 15:47 WIB
________, “2017 Indonesian Military Strength” [Online] diakses di:
https://www.globalfirepower.com/country-military-strength-
detail.asp?country_id=indonesia pada 19 Januari 2018 pukul 21:07 WIB
Guidelines for Owners, Operators and Masters for Protection against Piracy in the Gulf of Guinea
Region [Online] diakses di:
http://www.imo.org/en/OurWork/Security/WestAfrica/Documents/Guidelines_for_protecti
on_against_Piracy_in_the_Gulf_of_Guinea_Region.pdf pada 27 April 2017 pukul 17.53
WIB
Gumilang, Prima, “MenhanTegaskan Moratorium Batu Bara ke Filipina Dilanjutkan”, CNN
Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160701170123-20-142480/menhan-
tegaskan-moratorium-batu-bara-ke-filipina-dilanjutkan diakses pada 25 Januari 2018 pukul
06:45 WIB
Mader, Georg, “Malaysian Navy chief confirms fleet plans”, [Online] diakses di:
https://www.defenceiq.com/naval-maritime-defence/articles/malaysian-navy-chief-
confirms-fleet-plans Pada 6 Agustus 2018, pukul 11:40 WIB
McKirdy, Euan, Kathy Qulano, dan Ivan Watson, “Indonesia, Malaysia and Philippines launch
joint patrols to tackle ISIS threat”, [berita online] diakses di:
https://edition.cnn.com/2017/06/19/asia/indonesia-malaysia-philippines-isis/index.html
pada 26 Agustus 2018 pukul 00:34 WIB
xx
Policing Southeast Asia’s Tri Border Area [Online] diakses di:
https://www.stratfor.com/article/policing-southeast-asias-tri-border-area 15 Mei 2017
pukul 13.18 WIB
Reena Raj, “Dip in Sabah tourist arrivals since Lahad Datu intrusion”, Malaymail Online, (Berita
Online) http://www.themalaymailonline.com/malaysia/article/dip-in-sabah-tourist-arrivals-
since-lahad-datu-intrusion diakses pada 30 Maret 2017 pukul 17:34 WIB
Sapiie, Marguerite Afra, “Indonesia to start joint sea patrols with Malaysia, Philippines”, The
Jakarta Post [berita Online] diakses di:
http://www.thejakartapost.com/news/2016/08/02/indonesia-to-start-joint-sea-patrols-with-
malaysia-philippines.html
______________, “Indonesia, Malaysia, Philippines sign maritime security declaration”, The
Jakarta Post [berita Online], diakses di:
http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/05/indonesia-malaysia-philippines-sign-
maritime-security-declaration.html pada 5 Februari 2018 pukul 13:41 WIB
Saputra, Ramadan Rizki, “TNI Perkuat Pertahanan Udara dan Laut dengan Alutsista Baru”, CNN
Indonesia [Berita Online] diakses di:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171101090400-20-252617/tni-perkuat-
pertahanan-udara-dan-laut-dengan-alutsista-baru pada 14 Februari 2018 pukul 14:41 WIB
Setiaji, Hidayat dan Agustinus Beo Da Costa, “With eye on China, Indonesian parliament
approves higher defense spending”, Reuteurs [Berita Online] diakses di:
https://www.reuters.com/article/us-indonesia-economy-budget-defence/with-eye-on-china-
indonesian-parliament-approves-higher-defense-spending-idUSKCN0ZE113 pada 12
Februari 2018 pukul 11:45 WIB
Sunardi, Lili, “Kementerian PU Dapat Anggaran Terbanyak dari APBN 2016” [Berita Online]
diakses di: http://finansial.bisnis.com/read/20151102/10/488148/kementerian-pu-dapat-
anggaran-terbanyak-dari-apbn-2016 diakses pada 15 Februari 2018 pukul 13:17 WIB
Tashandra, Nabila, “Indonesia Diizinkan Kejar Perompak ke Filipina” [Online] diakses di:
http://nasional.kompas.com/read/2016/06/27/22345651/indonesia.diizinkan.kejar.perompa
k.ke.filipina pada 5 Februari 2018 pukul 16:31 WIB
TNI AL, “ Satgas Trilateral Maritime Patrol Indomalphi Berhasil Bebaskan Pembajakan di KM.
Bunga Teratai” [Artikel online] diakses di:
http://www.tnial.mil.id/News/OperasiLatihan/tabid/80/articleType/ArticleView/articleId/3
7080/Default.aspx pada 27 Agustus 2018 pukul 00:44 WIB
WWF, “Sulu-Sulawesi Seas Ecoregion: Users, Uses, and Threats”, Laporan Oleh Raoul Cola
untuk the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion Program di Manila, Filipina.
Laporan Resmi:
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report 2004
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report –Annual Report 2009
ICC-IMB Piracy and Armed Robbery Against Ships Report – 01 January – 30 June 2016
xxi
ReCAAP Annual Report Piracy and Armed Robbery Against Ship in Asia 2016
ReCAAP,Half-Yearly Piracy and Armed Robbery Against Ship in Asia January-July 2017
ReCAAP January – March 2018 Report Quarterly Piracy and Armed Robbery Against Ship in
Asia
UNDOC World Drug Report 2015, [Online] diakses dari
https://www.unodc.org/documents/wdr2015/World_Drug_Report_2015.pdf pada 18 Mei
2017 pukul 21.00 WIB
LAMPIRAN -1
Joint Declaration On Immediate Measures to Address Security Issues
in the Maritime Areas of Common Concern among Indonesia,
Malaysia and the Philippines
Yogyakarta, 5 May 2016
Joint Declaration
Foreign Ministers and Chiefs of Defence Forces of
Indonesia-Malaysia-Philippines
On Immediate Measures to Address Security Issues in the Maritime Areas of Common
Concern among Indonesia, Malaysia and the Philippines
Yogyakarta, 5 May 2016
1. The Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, H.E. Retno L.P. Marsudi;
the Minister of Foreign Affairs of Malaysia, H.E. Dato’ Sri Anifah Aman; and the Secretary
of Foreign Affairs of the Republic of the Philippines, H.E. Jose Rene D. Almendras; the
Commander-in-Chief of the Armed Forces of Indonesia, General Gatot Nurmantyo; the
Chief of Defence Force of Malaysia, General Tan Sri Dato’ Sri (Dr) Zulkifeli bin Mohd.
Zin; and the Flag-Officer-in-Command, Vice Admiral Caesar C. Taccad AFP representing
the Acting Chief of Staff of the Armed Forces of the Philippines, met in Yogyakarta,
Indonesia, on the 5th May of 2016, to discuss immediate regional maritime and security
challenges affecting the three countries.
2. They underscored the importance of the longstanding bond of friendship and strong
political, economic, social, security and defence ties that have developed through many
years of fruitful and mutually beneficial cooperation among the three countries bilaterally
and through ASEAN;
3. They reaffirmed their mutual respect for the sovereignty, territorial integrity, national unity
of each other, and the importance of the principles of good neighbourliness and non-
interference in the internal affairs of one another, consistent with the fundamental
principles of the Charters of the United Nations and ASEAN;
4. They further reaffirmed their full commitment to the promotion of peace, stability and
security in the region to ensure circumstances conducive to sustainable economic growth
and development and prosperity in the three countries as well as in ASEAN and the
realization of its Vision 2025;
5. They recognized the growing security challenges, such as those arising from armed
robbery against ships, kidnapping, transnational crimes, and terrorism in the region,
particularly in reference to the maritime areas of common concern of the three countries.
6. They deplored the abduction of innocent civilians by armed groups in the vicinity of the
maritime areas of common concern of the three countries that have included the
nationals of Indonesia, Malaysia and the Philippines. In this context, they underscored
the importance of protecting the lives, well-being, and rights of their nationals in
accordance with international laws, and respective domestic laws and regulations.
7. They expressed concerns that these security challenges also undermine the confidence
in trade and commerce, particularly the movement of commercial shipping, goods, and
people, in the maritime areas of common concern of the three countries, which in turn
can adversely affect the economic activities and welfare of peoples in the surrounding
areas.
8. In light of these developments and security challenges, they reaffirmed the continued
efforts in enhancing existing cooperation, such as the Agreement on Information
Exchange and Establishment of Communication Procedures between the Governments
of the Republic of Indonesia, Malaysia, and the Republic of the Philippines, by
strengthening mutual cooperation and collaboration among the militaries to address the
growing non-traditional security challenges in the region.
9. In this regard, they agreed to implement the following measures:
1. To conduct patrol among the three countries using existing mechanisms as a modality;
2. To render immediate assistance for the safety of people and ships in distress within the
maritime areas of common concern;
3. To establish a national focal point among the three countries to facilitate timely sharing of
information and intelligence as well as coordination in the event of emergency and
security threats; and,
4. To establish a hotline of communication among the three countries to better facilitate
coordination during emergency situations and security threats.
10. They instruct the relevant agencies of the three countries to meet as soon as possible
and subsequently convene on a regular basis to implement and periodically review the
above-mentioned measures and also to formulate the Standard Operating Procedure
(SOP).
LAMPIRAN - II
Joint Statement Trilateral Meeting Among The Defence Ministries of
the Philippines, Malaysia, and Indonesia
Manila, 20 June 2016
Page 1 of 2
JOINT STATEMENT
TRILATERAL MEETING AMONG THE DEFENCE MINISTERS
OF THE PHILIPPINES, MALAYSIA AND INDONESIA
Manila, 20 June 2016
1. The Secretary of National Defense of the Republic of the Philippines, H.E. Voltaire T.
Gazmin; the Minister of Defence Malaysia, H.E. Dato’ Seri Hishammuddin Tun
Hussein; and the Minister of Defence of the Republic of Indonesia, H.E. General (R)
Ryamizard Ryacudu met in Manila, on 20 June 2016 to discuss on the growing
security challenges in the region, specifically in the maritime area of common
concern to the three countries. The Meeting was conducted in the spirit of cordiality,
mutual understanding and good neighbourliness.
2. The Trilateral Meeting among the Defence Ministers in Manila reaffirmed the
commitments made on 5th May 2016 in Yogyakarta, Indonesia by the Foreign
Ministers and the Chief of Defence Forces of the three countries in addressing
regional maritime and security challenges affecting the three countries.
3. The Ministers raised concern over the recent incidents of kidnappings and armed
robbery at sea in the maritime areas of common concern, and reaffirmed the need,
commitment and collective responsibility of the countries to address such threats
that undermine peace, security and prosperity of the region.
4. The Ministers agreed that the best practices shared by Malaysia and Indonesia on
their experiences in the Malacca Straits Patrol (MSP) may be adopted as a model for
trilateral cooperation to address common maritime security concerns.
5. In this regard, the Ministers deliberated and have agreed in principle for the armed
forces and/or relevant agencies to explore the following measures:
a. Coordinated activities among the militaries of the three countries, focusing on
maritime security;
b. Possibility to establish joint military command posts at designated locations
including ad hoc military liaisons on board;
c. Trilateral maritime and air patrol at the maritime areas of common concern;
Page 2 of 2
d. Trilateral Maritime Patrol Working Group (TMPWG) which would set the
operational directions on the conduct of the trilateral maritime patrol. The
Maritime Command Centers shall be established by the respective countries and
shall retain overall responsibility for the tasking and deployment of their
respective assets;
e. A transit corridor within the maritime areas of common concern which will serve
as designated sea lanes for mariners entering the maritime area of common
concern;
f. Information and intelligence sharing pertaining to the maritime area of common
concern; and
g. A trilateral database sharing mechanism.
6. The Ministers also agreed for the armed forces and/or relevant agencies of the three
countries to expedite the crafting and finalization of relevant Standard Operating
Procedures (SOPs).
7. The Defense Ministers hope to conduct the next trilateral meeting soon after.
~o0o~
LAMPIRAN - III
17TH ASIA SECURITY SUMMIT THE IISS SHANGRI-LA
DIALOGUE
THIRD PLENARY SESSION SHAPING ASIA’S EVOLVING
SECURITY ORDER SATURDAY 2 JUNE 2018
RYAMIZARD RYACUDU, MINISTER OF DEFENSE,
INDONESIA
International Institute for Strategic Studies (IISS) The 17th Shangri-La Dialogue
17TH ASIA SECURITY SUMMIT
THE IISS SHANGRI-LA DIALOGUE
THIRD PLENARY SESSION
SHAPING ASIA’S EVOLVING SECURITY ORDER
SATURDAY 2 JUNE 2018
RYAMIZARD RYACUDU,
MINISTER OF DEFENSE, INDONESIA
International Institute for Strategic Studies (IISS) The 17th Shangri-La Dialogue
General Ryamizard Ryacudu, Minister of Defense, Indonesia
The Honourable Defence Minister of Singapore; the Honourable Director-General and Chief
Executive of the IISS, Dr John Chipman; Defence Minister and respectable participant Ngo Xuan Lich;
it is an honour for me to meet all of you at this esteemed event of the Shangri-La Dialogue 2018 and to
be given an opportunity to share opinions on ‘Shaping Asia’s Security Order’ in the new architecture,
with this evolving during our third plenary session. I deeply appreciate the warm and friendly
hospitality of the government of Singapore, represented by the Ministry of Defence of Singapore and
the organising committee of the Shangri-La Dialogue 2018.
Distinguished participants of the Shangri-La Dialogue event, the strategic maritime access of the
Indo-Pacific region starts from the South China Sea in the north, then moves to the waters of Natuna,
then moves to the Malacca Strait, moves south to the Strait of Sunda and then to the Indian Ocean.
This lucrative sea lane is worth US$5.3 trillion annually. It is equal to one-third of the world’s trade.
The security development of this constant maritime access leads to the development of the
Indo-Pacific geopolitical and geostrategic current trends. At the same time, it gives rise to the
emergence of new trends of tangibles and obvious challenges, threats and intonation.
Based on Indonesia’s perspective in the region, the threat is not about conventional war or the open
war among nations, the so-called non-factual threat. It can only happen with the anticipated
indication and needs time to be considered. Now it is timely for us to exercise caution, to give more
attention and focus to address our factual threat, which is terrorism and radicalism, separatism,
insurgency, natural disasters and environmental calamity, border disputes, natural-resource
poaching, pandemic diseases and the trafficking of illicit drugs, intelligence and cyber warfare. In this
regard we have to put forward unity, enlarge our similarity and commonality, and increase our
efforts to address our factual threats in front of our eyes that can happen at any time. The nature of
the aforementioned threats are more unpredictable – ignoring borders, ignoring religions, ignoring
time – and can happen any time, sooner or later, and can be inflicted on random victims.
Distinguished ladies and gentlemen, I would like to take this opportunity to focus on how we address
terrorism. It is quite regrettable that recently Indonesia was affected by a new pattern of terrorist
attacks involving one full family in Tarabya and another terror incident in another part of Indonesia.
Currently our security forces are still hunting one family that is still at large. They are not
representing Islam, because the teachings of Islam are far from what they are conducting. The Islamic
religion is about peace and love. What they are doing is following the misleading religion, what we
call evil religion.
It does not make any sense that a mother can bring her children to commit suicide. Where is the heart
of the mother? A mother is supposed to have the instinct to protect her children from any threat and
challenge that can hurt the children. Even a tiger will not hurt its children, will not eat its children.
That is why we have to fight against this perverted and misleading ideology. They are indoctrinated
with the misleading ideology, with the false promise that when they die, firstly they will go to
heaven, and secondly they will meet God. Thirdly, they will be forgiven for all their sins and
Commented [JL1]: I checked the recording and this is
what the translator says, I think, although it doesn’t make
sense.
International Institute for Strategic Studies (IISS) The 17th Shangri-La Dialogue
mistakes. Fourthly, 70 of their family members will be brought to heaven. The fifth one, the man will
meet 72 angels in heaven. This is a false understanding or thinking. It does not make any sense for
human beings. For these perpetrators, they are not going to heaven, for sure; in fact, the other way
around. This way of thinking has to be changed, revised and even diminished.
Ladies and gentlemen, currently in the region, and in any part of the world, we are facing a very real
potential threat: as I mentioned, the danger or threat of terrorism and radicalisation of the third
generation post-al Qaeda – al-Qaeda being the first generation, and post-Daesh announcement in Iraq
and Syria, it is the second generation that has been destroyed in the Middle East, in Iraq and Syria.
Recent acts of terror in Indonesia are due to the order and control of the ISIS group in Kabul,
Afghanistan and Mosul.
The nature of the third-generation terrorism threat is the evolution from a centralised manner to
being more decentralised. The threat, centred in Syria, now has been decentralised and spread to
every region of the world, ranging from Africa and Europe to Asia and Southeast Asia especially.
One thing that is typical of this third generation is the returning combatants from the Middle East.
Based on intelligence data, there are about 31,500 ISIS foreign fighters who joined the fighting in
Syria, of which 800 are from Asia, 400 from Indonesia. This third generation of radical terrorism
threat has the nature of decentralisation into the territory or provinces based on the sleeper cells and
stand-alone operations; a lone wolf radicalised by online media, through social media; and the use of
sophisticated or advanced technology, for example how to make bombs.
Ladies and gentlemen, participants of the Shangri-La Dialogue, to address this development, quite
recently Indonesia has revised its anti-terrorism or counter-terrorism bill that will include involving
the military forces to address terrorism, which is becoming more terrible. The threat of terrorism is
organised crime, which has tried to change democracy and our national ideology. In this regard, their
role may have to be expanded to address these issues, to tackle the terrorism that does not make
sense. With suicide bombings we have to have a strategy to change the mindset. We cannot tolerate
this. It has to be tackled with a concerted strategy, structured strategy and systematic strategy.
In this regard, Indonesia capitalised on the strategic radicalisation through strengthening the mindset
or the counter-narrative. For example, the way to crush terrorism is not always through hard power
or the use of weapons. Rather, we have to strengthen the mindset and idea of a nation, of this state.
All the people of Indonesia have to participate to fight them with the concept of strengthening of the
so-called spirit of defending the state or spirit of nationalism, the so-called bela negara. The victim of
this bela negara consists of our values reflected in our ideology of Pancasila. We have to stand up
together, not to be easily influenced by the radical ideology. Then we have to crush any misleading or
perverted teachings.
In this regard, in line with the book The Future of Power, written by Joseph Nye, written two years
after, which states that the aspect of tackling terrorism through weapons only contributes 1% to tackle
the root cause of terrorism, while 99% of the solution to radicalism and terrorism is through the
Commented [JL2]: This also doesn't make sense but
sounds correct on the recording.
Commented [JL3]: This doesn’t make sense, but I can’t
make out what he is actually saying.
International Institute for Strategic Studies (IISS) The 17th Shangri-La Dialogue
participation of the people through the strengthening of their mindset and strengthening the state
ideology. I believe that what I am conducting is already in line with what is written in this book.
The key aspect to respond to these common challenges in the international realm is our resolution
through the mechanism of security consultation through bilateral and multilateral approaches.
Indonesia, together with other nations, the Philippines and Malaysia, has already taken action and
cooperated in a concrete manner through the establishment of a trilateral platform in the Sulu Sea,
conducting joint patrols and coordinated patrols on the sea, in the air; and in the future, two months
from now, we will step up and elevate this cooperation through the land forces joint operation. The
aim of this joint operation is to locate ISIS in the southern Philippines and stop it from spreading.
To strengthen our surveillance system and early detection for the potential of the development of ISIS
in our region, Indonesia has come up with a new initiative, the intelligence-sharing strategy, the
so-called Our Eyes initiative. The Our Eyes initiative has been launched officially on 25 January 2018
in Bali, Indonesia. The framework of this cooperation really hopes to strengthen cooperation in the
region to tackle our common challenges, especially the terrorism type. Its concept has been supported
by partner countries like the US, Australia, Russia and Japan.
Also at this time in our ASEAN region are at least three areas of maritime cooperation that focus on
the coordinated patrol in the Malacca Strait, maritime cooperation in the Gulf of Thailand, as well as
the trilateral cooperation in the Sulu Sea. These three platforms of cooperation will be expanded to
include other ASEAN nations as well as ASEAN partner countries like the US, Australia and Japan
and other nations. The expansion of this cooperation is needed to create interconnectivity among
these core platforms and cooperation in the subregional nations.
We have to take a precaution and pay special attention to the development of the Rohingya crisis in
Myanmar. It is not only about supporting the humanitarian issue, but we have to take concrete action
and step up the concrete and considered effort in the proper manner, because if it is not properly
managed these vulnerable refugees can be recruited by the IS group to strengthen their network.
Nowadays we have already been busy tackling the development of ISIS, and you can imagine if they
are strengthened by these new recruits.
Ladies and gentlemen, we also have to put aside the geopolitical ego among major powers that can
expand the gap; in this regard, we have to focus on how we should tackle our challenges together.
The influence of ego on the geopolitical base can exacerbate the situation, and then it cannot focus on
our noble obligations of how to achieve prosperity for our people and the security of our people. In
this regard, we can progress the situation in our region. It can create uncertainty. It is enough that we
can see the people becoming victims of terrorist actions and also the victims of other threats.
It is timely for us to recalibrate our security architecture and our security order with a new one, with
a more humanitarian orientation, in an open and transparent manner. By enlarging our
commonalities and decreasing our differences, it is in line with our noblesse oblige as human beings in
this world. It is timely to discuss and to deliberate to establish the regional geostrategy platform, an
original practical secondary platform to face the common real threat, which is terrorism and other
International Institute for Strategic Studies (IISS) The 17th Shangri-La Dialogue
transnational crime, based on these commonalities of values and perspective in order to implement
the stability, peace and prosperity that can involve every nation to achieve our strategy. The concrete
form of cooperation includes joint exercises to safeguard our maritime security, intelligence security
information exchange and the mechanism of cooperation in times of emergency. We have already had
the security architecture that can be developed, ranging from ARF (ASEAN Regional Forum), the East
Asia Summit, ADMM (ASEAN Defence Ministers’ Meeting), ADMM–Plus and trade diplomacy, the
Raisinia Dialogue, Japan Defense Forum, Putrajaya Forum and others, as well as this prestigious
Shangri-La Dialogue forum. Those modalities are more than enough to address our threat in the
region and as a guideline for us to crush terrorism.
However, most important is the implementation and concrete action of this platform. In this region,
we are starting with the more concrete and operational action as the implementation or the follow-up
of our discussion in this platform. Ladies and gentlemen, the distinguished Shangri-La Dialogue
participants, I believe there is no one country that can solve the problem alone. With the capacity that
they have, they need cooperation among nations in the region to address and to tackle our challenges
and threats together.
Finally, the need to recalibrate the security architecture of the Indo-Pacific region is an urgency that
needs to be realised or materialised so that we can navigate every threat and challenge in the region
appropriately, correctly and proportionately. This we do for the sake of and to demonstrate our
willingness to safeguard our people and eventually realise our common prosperity. There are some
proposals I would like to propagate. Terrorism is not about Islam, but it is only on behalf of Islam, so
every Muslim country has to propagate the true Islamic teachings in every mosque, on television and
in social media. It is about the horrible terror attacks that claim Islam as the cause; in fact, they are not
Islam and they are not going to heaven.
We have to keep circulating this information. We have to find all the activities, their identity and their
pictures, especially when they are still in Afghanistan, Iraq or Syria, so that we identify who is
coming from where. The people that are coming from ASEAN, we have to identify whether they are
coming back to their country of origin. Then we have to capture them. We have to track their financial
support, and we can spread their addresses to any nation that joins this intelligence cooperation,
including through social-media networks. I believe, with a clear intention, every problem can be
solved together.
I believe that is all that I can say on this special occasion in addressing the development of security in
the region, especially in facing security challenges as I mentioned above, understanding that to
enlarge the similarities and commonalities whilst minimising and diminishing our differences is
always presented in order to provide the right direction to manage our security order in this region.
Thank you so much once again for your kind attention. May God bless you all. Thank you so much.