Post on 24-Jul-2015
Abstrak
1. Pendahuluan
Masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society)
adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat demikian terjadi
karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa
dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society) (Sumarsono, 2008:76).
Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai
bahasa ibu dalam wilayah yang dihuni bangsa itu. Kita lebih mudah mencari negara
yang memiliki banyak bahasa daripada negara yang ekabahasa (monolingual nation),
dan sulit mencari negara yang benar-benar ekabahasa. Indonesia merupakan salah satu
contoh bangsa yang multilingual. Bahkan bangsa Indonesia mempunyai lebih dari 500
bahasa. Khaler tahun 1956 memperkirakan bahasa-bahasa di Indonesia berjumlah 250
bahasa, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud tahun 1971
memperkirakan 418, dan informasi dari SLI (Summer Institute of Linguistics) sekitar
584 bahasa dan kurang lebih 240 bahasa terdapat di Irian Barat (Parera, 1991:128).
Salah satu bahasa yang ada di Indonesia adalah bahasa Bali yang digunakan
sebagai bahasa Ibu pada mayoritas penduduk Bali (belakangan ini ada kecenderungan
masyarakat Bali, terutama yang tinggal di perkotaan menggunakan bahasa Bali
sebagai bahasa kedua). Bahasa Bali sebagai bahasa daerah hidup dan berkembang
berdampingan dengan bahasa Jawa yang dibawa migrasi oleh orang-orang Jawa yang
mencari peruntungan di daerah Bali dan berdampingan pula dengan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional. Terdapat pula bahasa-bahasa daerah lain yang dibawa oleh
para pendatang. Bahkan bahasa Bali juga berdapingan dengan bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional mengingat Bali adalah tujuan wisata dunia.
Bahasa Bali termasuk ke dalam rumpun bahasa Austonesia, tepatnya termasuk
dalam subrumput Austronesia Barat, kelompok Austronesia Barat Daya (Parera,
1991:128). Secara total jumlah penutur bahasa Austronesia adalah 300 juta jiwa. Dari
jumlah tersebut, penutur bahasa Bali berjumlah 4 juta jiwa (data statistik Mei 2011
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Austronesia.htm). Dengan jumlah
tersebut, bahasa Bali tergolong ke dalam bahasa dengan jumlah penutur besar. Hal ini
tentunya tidak terlepas dari pengaruh digunakannya bahasa Bali dalam tuturan
keseharian, kesenian, dan kesusastraan Bali.
Dalam dunia pendidikan, bahasa Bali menghiasi pembelajaran di tingkat
sekolah dasar pada kelas-kelas rendah sebagai bahasa pengantar. Setelah siswa
dipandang siap menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia (biasanya kelas 3)
barulah pembelajaran akan menggunakan bahasa Indonesia secara penuh. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah perlu dikuasai dengan baik oleh siswa.
Terganggunya kondisi tersebut akan menghambat penyerapan materi pelajaran di
sekolah. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Indonesia menjadi kunci utama
keberhasilan pembelajaran. Persoalannya, oleh karena bahasa Indonesia harus
diajarkan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia, siswa yang bahasa pertamanya
(B1) bahasa daerah harus belajar dua kali, pertama memahami bahasa pengantarnya
dan kedua belajar bahasanya (B2). Hal itu menyulitkan siswa, terutama siswa di
daerah pinggiran dan pedalaman yang belum menguasai bahasa Indonesia (B2)
(Suhardi dan Suyata, 2010:228).
Pengajaran bahasa Indonesia yang dilaksanakan di Sekolah Dasar (SD)
merupakan salah satu wujud pengajaran bahasa kedua. Masalah kesulitan dan
kesalahan siswa dalam berbahasa Indonesia adalah hal yang sering dihadapi oleh guru
di kelas. Siswa pada umumnya menghadapi kesulitan dan kesalahan itu akibat siswa
menggunakan pengetahuan dan pengalaman dalam bahasa pertama (B1). Tidak sedikit
unsur-unsur bahasa pertama yang digunakan oleh siswa dalam pemerolehan dan
pembelajaran bahasa kedua mengakibatkan kesulitan dan kesalahan berbahasa.
Menurut Indihadi (th.-:1) banyak solusi yang dapat dilakukan guru untuk mengatasi
kesulitan yang muncul. Salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan dan kesalahan
siswa akibat pengaruh unsur-unsur kebahasaan itu adalah analisis kontrastif. Oleh
karena itu, analisis kontrastif dapat dijadikan solusi alternatif dalam pengajaran bahasa
kedua. Dengan melakukan analisis kontrastif, guru dapat mengetahui kesulitan dan
kesalahan siswa dalam berbahasa. Berdasarkan pendapat tersebut, tepatlah jika
dilakuan studi analisis kontrastif antarbahasa Bali dan bahasa Indonesia untuk
mengatasi kesulitan yang ada dalam pembelajaran.
Analisis kontrastif tentunya akan menjembatani kesulitan-kesulitan yang
muncul dari peristiwa alih bahasa yang terjadi dalam pembelajaran. Analisis kontrastif
dapat memberikan gambaran kepada guru/pengajar untuk menentukan metode yang
tepat dalam pelaksanaan pembelajaran. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan
Subana dan Suyata (2010:228) bahwa dengan analisis kontrastif, ciri kebahasaan
antarbahasa yang dibandingkan dapat diketahui, dan hal itu akan memudahkan guru
dalam mengajarkan bahasa kedua (B2) bagi siswanya.
Melihat begitu bermanfaatnya analisis kontrastif sebagai jembatan dalam
pembelajaran bahasa, makalah ini mencoba mengangkat permasalahan mengenai
analisis kontrastif bahasa Bali dengan bahasa Indonesia ditinjau dari segi fonologi.
Analisis bidang fonologi dapat dilakukan pada tataran: fonem, diftong, kluster dan
pemenggalan kata.
2. Landasan Teori
2.1 Pengertian Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif adalah suatu kajian terhadap unsur-unsur kebahasaan.
Menurut Lado (1975), analisis kontrastif adalah cara untuk mendeskripsikan kesulitan
atau kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua dan bahasa asing.
Analisis kontrastif bukan saja untuk membandingkan unsur-unsur kebahasaan dan
sistem kebahasaan dalam bahasa pertama (B1) dengan bahasa kedua (B2), tetapi
sekaligus untuk membandingkan dan mendeskripsikan latar belakang budaya dari
kedua bahasa tersebut sehingga hasilnya dapat digunakan pengajaran bahasa kedua
atau bahasa asing. Dalam buku “Linguistic Across Cultures”, Lado (1975)
mengatakan bahwa on the assumption that we can predict and describe the pattern
that will cause difficulty in learning, and those that will not cause difficulty, by
comparing systematically the language and culture to be learned with the native
language and culture of the student.
Kajian terhadap unsur-unsur kebahasaan itu dilakukan dengan cara
membandingkan dua data kebahasaan, yakni data bahasa pertama (B1) dengan data
bahasa kedua (B2). Kedua data bahasa itu dideskripsikan atau dianalisis, hasilnya
akan diperoleh suatu penjelasan yang menggambarkan perbedaan dan kesamaan dari
kedua bahasa itu. Pembahasan data itu harus juga mempertimbangkan faktor budaya,
baik budaya bahasa maupun budaya siswa. Hasil dari pembahasan tersebut akan
diperoleh gambaran kesulitan dan kemudahan siswa dalam belajar suatu bahasa.
Analisis kontrastif menurut Brown (1980); Ellis (1986), ada empat langkah yang harus
dilakukan. Keempat langkah itu adalah:
(1) mendeskripsikan sistem atau unsur-unsur bahasa pertama (B1) dan bahasa
kedua (B2);
(2) menyeleksi sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) yang akan
dibandingkan atau dianalisis;
(3) mengontraskan sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) dengan cara
memetakan unsur-unsur dari kedua bahasa yang dianalisis;
(4) memprediksikan sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) untuk keperluan
pengajaran bahasa di sekolah.
Analisis kontrastif menurut Tarigan (1997), adalah suatu prosedur kerja yang
memiliki empat langkah, yakni: (1) memperbandingkan B1 dengan B2, (2)
memprediksi atau memperkirakan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa, (3)
menyusun atau merumuskan bahan yang akan diajarkan, dan (4) memilih cara (teknik)
untuk menyajikan pengajaran bahasa kedua. Dengan analisis kontrastif, diharapkan
pengajaran bahasa kedua (B2) atau bahasa asing (BA) menjadi lebih baik.
Jadi, analisis kontrastif adalah suatu kajian terhadap unsur-unsur kebahasaan
untuk keperluan pengajaran bahasa kedua, terutama untuk mengatasi kesulitan dan
kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa.
2.2 Kedudukan Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif muncul sebagai jawaban terhadap tuntutan perbaikan
pengajaran bahasa kedua (B2) atau bahasa asing (BA). Pandangan (pendekatan) kaum
behavioris sejak tahun 1930–an sudah digunakan dalam kajian kebahasaan, seperti
yang dikerjakan oleh Bloomfield. Salah satu temuannya yang didasarkan pada
psikologi behavioris adalah bahasa memungkinkan seseorang membuat jawaban (R =
respons) apabila orang lain memberikan atau memiliki rangsangan (S = stimulus).
Skinner pada tahun 1957 mengembangkan pandangan psikologi behavioris itu pada
kajian tentang model behavioristik tingkah laku kebahasaan. Teori kebahasaan yang
dikemukakan oleh Skinner didasari oleh hasil percobaan terhadap perilaku tikus. Teori
itu dikenal dengan istilah “Skinner’s Boxes”. Skinner juga mengembangkan tentang
pemerolehan bahasa atau pembelajaran bahasa yang didasari oleh “Operant
Conditioning” (Dahar, 1988). Bagi Skinner pembelajaran dari suatu kebiasaan dapat
dilakukan melalui proses peniruan atau melalui penguatan. Oleh karena itu, analisis
kontrastif dapat digunakan untuk memperhitungkan atau memprediksi perilaku
pembelajar bahasa dan bahasa sasaran (bahasa yang dipelajari) yang harus dikuasai
atau dilatihkan dalam pembelajar bahasa. Jadi, analisis kontrastif dapat didudukkan
sebagai analisis atau kajian perilaku bahasa dan unsur-unsur bahasa untuk dijadikan
area isi dalam pembelajaran bahasa kedua. Dengan demikian analisis kontrastif dapat
mendukung pembelajaran bahasa yang berlandaskan tumpukan pada teori belajar
aliran psikologi behavioris.
Dalam pandangan pengajaran bahasa behavioris digunakan prinsip-prinsip
sebagai berikut: 1) bahasa adalah ujaran, bukan tulisan, 2) bahasa adalah serangkaian
kebiasaan, 3) bahasa adalah apa-apa yang dikatakan atau diujarkan oleh para penutur
(native speaker) bukan apa-apa yang oleh seseorang seharusnya dikatakan demikian
atau dituturkan seperti itu, dan 4) tidak ada bahasa yang persis sama dengan bahasa
yang lain.
Ajarkan bahasanya bukan tentang bahasanya.
Dalam pengajaran bahasa kedua (B2) ataupun pengajaran bahasa asing (BA),
ada masalah yang harus disolusikan, antara lain: “bagaimana” cara memperbaiki
pengajaran dihubungkan dengan masalah yang dihadapi oleh siswa? Masalah yang
sering dihadapi oleh siswa dalam belajar bahasa itu antara lain: (1) kesulitan
mempelajari bahasa kedua (B2) dan (2) kesalahan berbahasa. Analisis kontrastif dapat
digunakan sebagai salah satu solusi alternatif untuk mengatasi masalah pengajaran
bahasa kedua tersebut, yakni pengajaran bahasa yang bertolak dari pandangan
behavioris.
Pengaruh pandangan behavioris dan pandangan mentalis masih cukup kuat
mewarnai pengajaran bahasa saat ini. Akibatnya, pengajaran bahasa kedua senantiasa
mempertimbangkan faktor eksternal dan faktor internal yang berpengaruh pada proses
pemerolehan bahasa kedua. Faktor internal adalah faktor-faktor yang muncul dalam
diri pembelajar (siswa), seperti: kognitif, inteligensi, sikap, motivasi, jenis kelamin
dan usia. Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar diri pembelajar,
seperti: lingkungan (apakah bahasa yang dipelajari itu berada pada lingkungan bahasa
pertama atau di lingkungan bahasa kedua) dan keadaan linguistik bahasa pertama (B1)
dan linguistik bahasa kedua (B2). Dalam pandangan behavioris, diyakini bahwa
pemerolehan bahasa merupakan serangkaian proses stimulus–respons–penguatan
(pengulangan)–dan ganjaran. Adapun pandangan mentalis, meyakini bahwa
pemerolehan bahasa akibat adanya aktivitas mental (berpikir) dan manusia pada
dasarnya sudah dibekali kemampuan untuk menggunakan perangkat pemerolehan
bahasa (LAD =Language Acquisition Device). Analisis kontrastif tidak dapat
menjangkau pandangan mentalis, karena analisis kontrastif tidak dapat menjelaskan
bahasa yang ada dalam wilayah mental, sebagai aktivitas berpikir pada diri
pembelajar.
Analisis kontrastif tidak sejalan dengan pandangan pengajaran bahasa
rasionalis atau mentalis, namun tepat bagi pandangan pengajaran bahasa behavioris
(empiris atau mekanistis). Oleh karena itu, analisis kontrastif bukan berlandaskan pada
filsafat dan psikologi aliran behavioris dan aliran kebahasaan (linguistik) struktural.
Pandangan aliran tersebut mengkaji unsur kejiwaan manusia berdasarkan
fakta-fakta yang dapat diamati, bukan unsur kejiwaan manusia yang tidak dapat
diamati secara langsung. Menurut pandangan kaum behavioris, unsur dalam (batin)
merupakan unsur kejiwaan yang tidak dapat diamati secara langsung. Unsur kejiwaan
(batin/mental) itu hanya dapat diamati apabila itu memiliki fakta atau data muncul di
permukaan akibat adanya rangsangan (R) tertentu (Pavlov dan Witson, Bower dan
Hilgard, 1981; Nurhadi, 1990; Sugianto, 1990 dalam Indihadi, th.-:6). Dengan
demikian, analisis kontrastif selalu dihubungkan dengan kegiatan atau perilaku bahasa
yang bersifat pragmatis (ada data bahasannya). Lado mempercayai bahwa hasil dari
kajian (analisis) kontrastif itu dapat digunakan untuk memprediksi atau meramalkan
kesulitan atau kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua atau bahasa
asing. Itulah kedudukan utama analisis kontrastif sehingga dapat terus dipertahankan
sampai saat ini.
2.3 Tujuan Analisis kontrastif
Tujuan analisis kontrastif ini dilihat dari koteks pengajaran bahasa kedua.
Dalam hal ini adalah pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Tujuan utama
analisis kontrastif adalah mengatasi (solusi) masalah yang dihadapi oleh guru dan
dialami oleh siswa dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Masalah yang dihadapi
oleh siswa dalam belajar bahasa kedua itu antara lain: (1) siswa sering menghadapi
kesulitan dalam pemerolehan bahasa kedua, dan (2) siswa sering menghadapi
kesalahan berbahasa dalam proses pembelajaran bahasa kedua. Analisis kontrastif
berusaha mendeskripsikan masalah yang dihadapi siswa tersebut. Jadi, hasil analisis
kontrastif adalah deskripsi data empiris tentang: (1) kesulitan siswa dalam
pemerolehan bahasa kedua, dan (2) kesalahan siswa dalam proses pembelajaran
berbahasa kedua. Merujuk pada pendapat Lado, deskripsi analisis kontrastif itu
ditujukan untuk memprediksi atau meramalkan kesulitan dan kemudahan siswa
(pembelajar bahasa) dalam belajar bahasa kedua.
Tujuan analisis kontrastif, selain untuk membantu siswa dalam pembelajar
bahasa, juga untuk membantu para pakar pengajaran bahasa. Kajian kebahasaan dalam
analisis kontrastif biasanya dilaksanakan oleh para pakar kebahasaan (linguistik),
sedangkan penerapannya diserahkan kepada para pakar pengajaran atau pembelajaran
bahasa. Tetapi tidak menutup kemungkinan kedua ilmu (pakar kebahasaan dan pakar
pembelajaran bahasa) itu ditangani bersama-sama, atau oleh seorang pakar yang
menguasai keduanya. Untuk itu, tujuan analisis kontrastif selain untuk membantu
pengajaran bahasa, juga untuk memperkuat kedudukan kedua ilmu itu, pendidikan
(pengajaran bahasa) dan linguistik (linguistik terapan).
Kajian hasil analisis kontrastif, khususnya pada temuan adanya perbedaan
antara bahasa pertama dengan bahasa kedua dapat digunakan untuk menentukan area
isi pembelajaran bahasa kedua. Hasil itu biasanya mendeskripsikan tentang tingkat
kesukaran dan kemudahan yang akan dihadapi oleh pembelajar bahasa kedua,
sehingga itu mempermudah pakar pengajaran bahasa dalam merumuskan urutan area
isi dan proses pembelajaran bahasa kedua (Brown dalam Indihadi, th.-). Tujuan
analisis kontrastif dapat membantu dalam perumusan area isi dan proses pembelajaran
bahasa kedua.
Menurut Indihadi (th.-:31) tujuan praktis analisis kontrastif meliputi 4 (empat)
langkah, yakni: (1) mendeskripsi sistem bahasa pertama (B1) dan sistem bahasa kedua
(B2), (2) menyeleksi butir-butir kaidah dan bentukbentuk yang dapat dibandingkan
antara B1 dengan B2, (3) mengontraskan, yakni membuat peta sistem kebahasaan dari
yang umum sampai ke hal yang lebih khusus, hasilnya adalah sebuah deskripsi
(paparan) tentang perbedaan dan persamaan masing-masing unsur yang dikontraskan
dalam B1 dan B2, dan (4) melakukan prediksi, yakni membuat rumusan kesalahan
atau kesulitan berdasarkan hasil-hasil dari langkah sebelumnya, langkah 1, 2, dan 3.
Tujuan analisis kontrastif dihubungkan dengan proses belajar–mengajar
bahasa kedua, antara lain seperti dijelaskan oleh Tarigan (1997) sebagai berikut:
(1) untuk penyusunan materi (bahan) pengajaran bahasa kedua, yang dirumuskan
berdasarkan butir-butir yang berbeda antara kaidah (struktur) bahasa pertama
(B1) dan kaidah bahasa kedua (B2) yang akan dipelajari oleh siswa;
(2) untuk penyusunan pengajaran bahasa kedua yang berlandastumpukan pada
pandangan linguistik strukturalis dan psikologi behavioris;
(3) untuk penyusunan kelas pembelajaran bahasa terpadu antara bahasa pertama
(B1) siswa dengan bahasa kedua (B2) yang harus dipelajari oleh siswa;
(4) untuk penyusunan prosedur pembelajaran atau penyajian bahan pengajaran
bahasa kedua. Adapun langkah-langkahnya adalah:
a) menunjukkan persamaan dan perbedaan antara B1 siswa dengan B2 yang
akan dipelajari oleh siswa;
b) menunjukkan butir-butir dalam B1 siswa yang berpeluang mengakibatkan
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa B2 siswa;
c) mengajukan solusi (cara-cara) mengatasi intervensi terhadap B2 yang akan
dipelajari oleh siswa;
d) menyajikan sejumlah latihan pada butir-butir yang memiliki perbedaan
antara B1 dengan B2 yang akan dipelajari oleh siswa.
2.4 Ruang Lingkup Analisis Konstrastif
Analisis konstrastif merupakan cara memprediksi kemungkinan terjadinya
kesulitan ataupun kemudahan pada diri pembelajaran (siswa) dalam memperoleh
bahasa kedua. Jadi, ruang lingkup analisis kontraftif adalah menemukan atau
menentukan pola-pola kesulitan dan kemudahan pada diri siswa dalam mempelajari
dan memperoleh bahasa kedua. Pola itu dapat ditemukan atau ditentukan apabila
dilakukan (1) deskripsi terhadap sistem bahasa pertama maupun sistem bahasa kedua
(2) seleksi terhadap butir-butir kaidah dan bentukbentuk yang ada dalam bahasa
pertama dan bahasa kedua, dan (3) kontras, yaitu: merumuskan pola (peta) sistem
kebahasaan dari yang umum sampai ke hal yang lebih khusus ; tentu saja hasilnya
menunjukkan perbedaan dan persamaan masing-masing unsur yang dikontraskan, dan
(4) prediksi terhadap kesulitan dan kemudahan dalam memperoleh dan mempelajari
bahasa kedua.
Analisis kontrastif, menurut Tarigan (1997) muncul sebagai jawaban atas
pertanyaan “Bagaimana cara mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing secara
efisien dan efektif?” Ruang lingkup analisis kontrastif adalah menemukan cara
mengajarkan bahasa kedua secara efisien dan efektif. Sebagai sebuah prosedur kerja,
analisis kontrastif dapat menjelaskan jawaban atas pertanyaan itu. Langkah-
langkahnya seperti disebutkan di atas, yakni: (1) membandingkan bahasa struktur
bahasa pertama (B1) dan struktur bahasa kedua (B2) yang akan dipelajari oleh siswa
sehingga tergambar perbedaan di antara kedua bahasa itu, (2) berdasarkan perbedaan
itu diprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan dialami oleh siswa
dalam mempelajari bahasa kedua, (3) berdasarkan kesulitan belajar dan kesalahan
berbahasa tersebut disusunlah bahan ajar (bahan pengajaran) yang lebih tepat, dan (4)
bahan pengajaran tersebut disajikan dengan cara-cara tertentu yang sesuai dengan
keadaan siswa.
Dalam teori interferensi, diakui bahwa kesalahan berbahasa pada pembelajaran
bahasa kedua, antara lain diakibatkan oleh transfer negatif dari unsur-unsur bahasa
pertama (B1). Berdasarkan unsur-unsur bahasa, transfer negatif itu dimungkinkan
terjadi pada tataran: (a) fonologi, (b) morfologi, (c) sintaksis, (d) semantik maupun (e)
tataran wacana. Berdasarkan taksonomi strategi performasi, kesalahan berbahasa itu
terjadi akibat: (a) penanggalan (omission), (b) penambahan (addition), (c)
kesalahbentukan (misformation) ataupun (d) kesalahurutan (misordering) unsur-unsur
bahasa (B1) pada penggunaan unsur-unsur bahasa kedua (B2). Oleh karena itu,
analisis kontrastif akan mendeskripsikan hal tersebut. Jadi, itu pun dapat dipandang
sebagai ruang lingkup dari analisis kontrastif, yakni bagaimana unsur-unsur bahasa
pertama (B1) dapat menjadikan transfer negatif pada bahasa kedua (B2)? Hasil dari
analisis ini, selanjutnya dapat digunakan untuk memprediksi kesalahan dan kesulitan
siswa dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua.
Ukuran kesahan dalam bahasa Indonesia dapat didasarkan pada faktor-faktor
penentu dalam berkomunikasi dan kaidah kebahasaan. Ukuran itu dikembangkan dari
pertanyaan “Pergunakanlah Bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Apabila bahasa
Indonesia yang dipergunakan berada di luar ukuran itu, maka itu dipandang memiliki
kesalahan. Faktor-faktor penentu dalam berkomunikasi antara lain (Nadar, 2009):
(1) Siapa yang berbahasa dengan siapa.
(2) Untuk tujuan apa berbahasa.
(3) Dalam situasi apa (tempat dan waktu) berbahasa.
(4) Dalam konteks apa (partisipan lain, kebudayaan, suasana) berbahasa.
(5) Dengan jalur mana (lisan atau tulisan).
(6) Dengan media apa (tatap muka, bertelepon, surat, Koran, makalah, ataupun
buku).
(7) Dalam peristiwa apa (bercakap-cakap,ceramah, upacara, laporan, pernyataan
perasaan, lamaran pekerjaan ataupun pernyataan kecewa).
Ukuran kesalahan kedua berkaitan dengan penggunaan kaidah kebahasaan
(tata bahasa) yang ada dalam bahasa Indonesia. Ukuran tersebut dapat juga dijadikan
sumber analisis kontrastif. Adapun bidang analisis kontrastif adalah sebagai berikut:
1. Analisis bidang fonologi
Analisis bidang fonologi dapat dilakukan pada tataran: fonem, diftong,
kluster dan pemenggalan kata.
2. Analisis bidang morfologi
Analisis bidang morfologi meliputi tataran: (1) morfologi kata,
(2) morfologi frase, (3) morfologi klausa, (4) sintaksis, (5) semantik, dan
(6) wacana.
2.5 Langkah-langkah Analisis Kontratif
Analisis kontrastif adalah suatu prosedur kerja yang mempunyai empat
langkah, yakni memperbandingkan B1 dan B2 memperkirakan kesulitan belajar dan
kesalahan berbahasa, menyusun bahan, dan memilih cara penyajian. Dengan
menerapkan langkah-langkah kerja analisis kontrastif tersebut diharapkan pengajaran
bahasa kedua atau bahasa asing itu akan menjadi lebih efisien dan efektif. Tarigan
(1997) menjelaskan langkah-langkah analisis kontrastif itu sebagai berikut:
Langkah Pertama, guru memperbandingkan struktur bahasa pertama dan
kedua yang akan dipelajari oleh siswa. Butir-butir yang diperbandingkan adalah setiap
tataran linguistik, misalnya fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik kedua bahasa.
Melalui perbandingan itu dapat diidentifikasikan perbedaan antara bahasa pertama dan
bahasa kedua. Aliran linguistik yang sering digunakan dalam memperbandingkan
bahasa pertama dan kedua tersebut adalah linguistik struktural. Kadang-kadang
digunakan juga linguistik generatif yang terkenal dengan kesemestaan linguistiknya.
Langkah Kedua, adalah memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan
berbahasa. Perkiraan ini didasarkan kepada perbedaan antara lain bahasa pertama dan
bahasa kedua yang diperoleh dari hasil perbandingan struktur kedua bahasa itu.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan antara kedua bahasa itu, guru dapat memperkirakan
kesulitan belajar yang akan dialami siswa dalam mempelajari bahasa kedua.
Perbedaan struktur bahasa pertama dan kedua beserta kesulitan belajar yang
ditimbulkannya diyakini sebagai sumber dan penyebab kesalahan berbahasa yang
sering dibuat oleh siswa dalam mempelajari bahasa kedua. Kesulitan belajar bahasa
dan kesalahan berbahasa Inggris, tidak sama pada siswa yang berbahasa ibu bahasa
Indonesia dengan siswa yang berbahasa ibu bahasa Jepang. Bila dikaitkan dengan
pengajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, dapat dikatakan bahwa kesulitan
belajar dan kesalahan berbahasa yang dialami siswa di daerah Sunda berbeda dengan
yang dialami oleh siswa di daerah Jawa, Bali, Karo, Aceh, dan lainnya.
Langkah Ketiga, berkaitan dengan pemilihan penyusunan, pengurutan, dan
penekanan bahan pengajaran. Perbandingan struktur bahasa pertama dengan bahasa
kedua menghasilkan deskripsi perbedaan antara bahasa pertama dan kedua. Perbedaan
bahasa pertama dan kedua dipakai sebagai dasar untuk memperkirakan kesulitan
belajar yang bakal dihadapi oleh siswa dalam mempelajari bahasa kedua . perbedaan
struktur beserta kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa ini dipakai sebagai dasar
untuk menentukan pemilihan, pengurutan, dan penekanan bahan pengajaran bahasa
kedua.
Langkah Keempat, berkaitan dengan pemilihan cara-cara penyajian bahan
pengajaran. Siswa yang mempelajari bahasa kedua sudah mempunyai kebiasaan
tertentu dalam menggunakan bahasa ibunya. Kebiasaan tersebut harus diatasi agar
tidak mengintervensi dalam penggunaan bahasa kedua. Pembentukan kebiasaan yang
sesuai dengan penggunaan bahasa kedua dilakukan dengan penyajian bahan
pengajaran bahasa kedua dengan cara-cara tertentu pula. Ada empat cara yang
dianggap sesuai untuk menumbuhkan kebiasaan dalam menggunakan bahasa kedua
itu, yakni (i) peniruan, (ii) pengulangan, (iii) latihan runtun, dan (iv) penguatan
(hadiah dan hukuman). Dengan cara-cara tersebut di atas dapat diharapkan siswa
memiliki kebiasaan berbahasa kedua yang kuat sehingga dapat mengatasi kebiasaan
dalam bahasa ibunya.
2.6 Kegunaan Analisis Kontrastif
Analisis kontrastif tidak mungkin terpisah dari analisis kesalahan berbahasa.
Meskipun terdapat perbedaan namun keduanya memiliki kesamaan yakni : membahas
perihal pemerolehan dan pengajaran bahasa dan interferensi B1 pada B2 anak.
Menurut Tarigan (1997) dalam buku Analisis Kesalahan Berbahasa, transfer negatif
menyebabkan timbulnya kesalahan dan kesulitan bagi siswa dalam pemerolehan dan
pengajaran bahasa kedua. Data kesalahan dan kesulitan siswa itu perlu dianalisis oleh
guru, diklasifikasikan, dicarikan penyebabnya dan melalui analisis kontrastif
ditemukan solusinya. Hasilnya digunakan sebagai masukan (umpan balik/ feedback)
dalam penyempurnaan pengajaran bahasa. Kegunaan dari analisis kontrastif tersebut
dapat anda pelajari dalam sajian berikut.
Analisis kontrastif sebagai jawaban atas pertanyaan “Bagaimana mengajarkan
bahasa kedua atau bahasa asing efisien dan efektif?” Sebagai prosedur kerja, analisis
kontrastif mempunyai empat langkah. Langkah pertama membandingkan struktur
bahasa pertama dan struktur bahasa kedua yang akan dipelajari oleh siswa sehingga
tergambar itu diprediksi di antara kedua bahasa yang bersangkutan. Langkah kedua,
berdasarkan perbedaan itu diprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang
akan dialami oleh siswa dalam mempelajari bahasa kedua. Langkah ketiga
berdasarkan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa tersebut disusunlah bahan
pengajaran yang lebih tepat.
Langkah keempat, bahan pengajaran disajikan dengan cara-cara tertentu
seperti peniruan, pengulangan, latihan runtun, dan penguatan. Langkah pertama
berkaitan dengan linguistik. Langkah kedua, dan keempat berkaitan dengan psikologi
khususnya teori belajar. Karena itu para pakar pengajaran bahasa menyatakan bahwa
analisis kontrastif mempunyai dua aspek, yakni, aspek linguistik dan aspek psikologis.
Aspek linguistik analisis kontrastif berkaitan dengan perbandingan struktur dua
bahasa untuk menemukan perbedaan-perbedaannya. Model tata bahasa yang biasa
digunakan adalah model tata bahasa struktural. Linguistik menekankan pendeskripsian
bahasa secara renik, kategori deskripsi yang berbeda, istilahnya formal, dan disusun
secara induktif.
Membandingkan dua bahasa yang serumpun atau pendekatan memang terasa
mudah. Misalnya membandingkan bahasa Belanda dengan bahasa Jerman, bahasa
Portugis dengan bahasa Spanyol, atau Sunda dengan bahasa Indonesia belum terasa
ada masalah. Hal ini disebabkan oleh adanya kategori yang bersifat umum dalam dua
bahasa yang bersangkutan. Tetapi bila kita membandingkan dua bahasa yang tidak
serumpun misalnya, antara bahasa Sunda dengan bahasa Rusia, maka mulai terasa ada
masalah. Sebab di antara kedua bahasa, yakni bahasa Sunda dan bahasa Rusia, tidak
terdapat kategori yang bersifat umum (Tarigan, 1997).
Penggunaan linguistik struktural dalam mengidentifikasi perbedaan antara dua
bahasa lebih-lebih antara dua bahasa yang tidak serumpun, sering mengundang
kesangsian. Bagaimana mungkin melaksanakan perbandingan yang efektif kalau
dalam setiap bahasa tidak terdapat kategori yang bersifat umum. Untuk mengatasi hal
itu Chomsky mengusulkan penggunaan tata bahasa generatif sebagai landasan bagi
pelaksanaan perbedaan dua bahasa. Teori kesemestaan bahasa yang dianut oleh
linguistik generatif menyatakan bahwa semua bahasa mempunyai kesamaan paling
sedikit kesamaan dalam bidang teori. Kesamaan dalam bidang teori dapat digunakan
sebagai dasar perbandingan antara dua bahasa.
Apabila teori kesemestaan bahasa yang digunakan sebagai landasan
perbandingan dua bahasa maka yang akan diperoleh satu keuntungan. Perbandingan
dua bahasa baik antara bahasa-bahasa yang serumpun maupun bahasa-bahasa yang
tidak serumpun dapat dilaksanakan dengan cara yang sama atau seragam. Hal tersebut
tidak mungkin terlaksana apabila dasar perbandingan dua bahasa itu adalah linguistik
struktural. Apabila dalam membandingkan dua bahasa yang tidak serumpun tidak
mungkin dilaksanakan dengan cara yang sama atau seragam. Anehnya, walaupun
linguistik struktural inilah yang mendominasi analisis kontrastif.
Telaah analisis kontrastif belum merata dalam setiap tataran linguistik. Bidang
fonologi paling banyak diperbandingkan dengan alasan pengaruh akses bahasa ibu
sangat besar terhadap bahasa kedua. Setelah bidang fonologi menyusul bidang
sintaksis. Bidang leksikografi, semantik, pemakaian bahasa, dan budaya sangat kurang
mendapat perhatian. Gambaran telaah analisis kontrastif fonologi, sedikit ke arah
sintaksis, dan sangat mengabaikan leksikografi, semantik, dan pemakaian bahasa.
Hal-hal apa saja yang mungkin diungkap melalui kegiatan analisis kontrastif
atau perbandingan struktur dan bahasa? Melalui perbandingan struktur dua bahasa
banyak yang sama mungkin diungkapkan seperti hal-hal berikut ini:
1. Tiada perbedaan:
Sistem atau aspek tertentu dalam dua bahasa tidak ada perbedaan sama sekali.
Misalnya konsonan /l, m, n/ diucapkan sama baik dalam bahasa Indonesia maupun
dalam bahasa Inggris.
2. Fenomena konvergen:
Dua butir atau lebih dalam bahasa pertama menjadi satu butir dalam bahasa kedua.
Misalnya, kata-kata padi, beras, nasi dalam bahasa Indonesia menjadi satu kata
dalam bahasa Inggris yakni rice.
3. Ketidakadaan:
Butir atau sistem tertentu dalam bahasa pertama tidak terdapat atau tidak ada dalam
bahasa kedua atau sebaliknya. Misalnya, sistem penjamakan dengan penanda –s
atau –es dalam bahasa Inggris tidak ada dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya,
sistem penjamakan dengan pengulangan kata dalam bahasa Indonesia (meja-meja,
kuda-kuda, ikan-ikan) tidak ada dalam bahasa Inggris.
4. Beda distribusi:
Butir tertentu dalam bahasa pertama berbeda distribusi dengan butir yang sama
dalam bahasa kedua. Misalnya fonem /ng/ dalam bahasa Indonesia dapat
menduduki posisi awal, tengah, dan akhir kata :
ngeri, nganga, ngarai
bangsa, bangku, tangkai
terbang, sayang, magang
Dalam bahasa Inggris fonem /ng/ hanya terdapat pada tengah dan akhir kata
lingo, language, linguistic
sing, slang, along
5. Tidak persamaan:
Butir tertentu dalam bahasa pertama tidak mempunyai persamaan dalam bahasa
kedua. Misalnya, predikat kata sifat dan kata benda dalam bahasa Indonesia tidak
terdapat dalam bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia Bahasa Inggris
Dia kaya He is rich
Dia guru He is a teacher
6. Fenomena divergers:
Satu butir tertentu dalam bahasa pertama menjadi dua butir dalam bahasa kedua.
Kata we dalam bahasa Inggris menjadi kita atau kami dalam bahasa Indonesia.
Aspek psikologi analisis kontrastif berkaitan dengan langkah kedua, ketiga,
dan keempat prosedur kerja analisis kontrastif. Langkah kedua, berdasarkan
perbedaan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua yang akan dipelajari siswa
diprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang mungkin dihadapi atau
dialami oleh siswa dalam belajar bahasa kedua. Langkah ketiga berdasarkan kesulitan
belajar dan kesalahan berbahasa itu disusun bahan pengajaran bahasa kedua yang
lebih tepat susunannya, urutannya, dan penekanannya.
Langkah keempat, bahan pengajaran itu disajikan dengan cara-cara tertentu,
misalnya melalui cara peniruan, pengulangan, latihan runtun, dan penguatan. Dasar
psikologi analisis kontrastif ada dua, yakni asosiasionisme dan teori stimulus–respons.
2.7 Hipotesis Analisis Kontrastif
Langkah pertama dalam metodologi analisis kontrastif adalah
memperbandingkan struktur dua bahasa yakni, bahasa ibu siswa dan bahasa kedua
yang akan dipelajari oleh siswa. Melalui perbandingan dua bahasa itu dapat
diidentifikasi perbedaan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua. Perbedaan
struktur di antara kedua bahasa ini dijadikan sebagai landasan dalam memprediksi
kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan dialami oleh siswa dalam
mempelajari bahasa kedua.
Kesulitan belajar bahasa dan kesalahan berbahasa yang dialami oleh siswa
dalam belajar bahasa kedua tersebut di atas digunakan sebagai landasan dalam
menyusun hipotesis analisis kontrastif. Ada dua hipotesis analisis kontrastif. Hipotesis
pertama adalah “Strong Form Hypothesis” atau Hipotesis Bentuk Kuat. Hipotesis
kedua bernama “Weak Form Hypothesis” atau Hipotesis Bentuk Lemah.
Hipotesis Bentuk Kuat menyatakan bahwa semua kesalahan berbahasa dalam
bahasa kedua dapat diramalkan dengan mengidentifikasi perbedaan struktur bahasa
pertama dan bahasa kedua yang dipelajari oleh siswa. Hipotesis bentuk kuat ini
didasarkan kepada lima asumsi berikut.
(1) Penyebab utama kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa dalam mempelajari
bahasa kedua adalah interferensi bahasa ibu.
(2) Kesulitan belajar itu disebabkan oleh perbedaan struktur bahasa ibu dan bahasa
kedua yang dipelajari oleh siswa.
(3) Semakin besar perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa kedua semakin besar
pula kesulitan belajar.
(4) Perbedaan struktur bahasa pertama dan bahasa kedua diperlukan untuk
memprediksi kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa yang akan terjadi
dalam belajar bahasa kedua.
(5) Bahan pengajaran bahasa kedua ditekankan pada perbedaan bahasa pertama
dan kedua yang disusun berdasarkan analisis kontrastif.
Hipotesis Bentuk Lemah menyatakan bahwa tidak semua kesalahan berbahasa
disebabkan oleh interferensi. Dalam Hipotesis Bentuk Lemah tersirat asumsi hal-hal
berikut. Kesalahan berbahasa disebabkan oleh berbagai faktor. Peranan bahasa
pertama tidak besar dalam mempelajari bahasa kedua. Analisis kontrastif dan analisis
kesalahan berbahasa harus saling melengkapi. Analisis kesalahan berbahasa
mengidentifikasi kesalahan berbahasa yang dibuat oleh siswa. Kemudian analisis
kontrastif menetapkan kesalahan mana yang termasuk ke dalam kategori yang
disebabkan oleh perbedaan bahasa pertama dan bahasa kedua.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif. Dalam penelitian ini, data-
data dijelaskan sebagaimana adanya untuk mendpatkan gambaran yang memadai
mengenai objek penelitian tanpa adanya manipulasi atau perlakuan terhadap
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Analisis Kontrastif Bidang Fonologi
Bidang fonologi merupakan salah satu tataran analisis kontrastif. Vokal,
konsonan, dan diftong atau semivokal adalah klasifikasi bunyi bahasa berdasarkan
proses artikulasi. Dalam penggunaannya, bunyi tersebut dapat mengalami perubahan
akibat penggunaan suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Misalnya: bahasa pertama
(B1) mempengaruhi bahasa kedua (B2). Hal itu dapat dijelaskan apabila dilakukan
analisis kontrastif.
4.1.1 Analisis Kontrastif Pada Tataran Fonem
Bahasa Bali memiliki 6 fonem vokal dan 18 fonem konsonan. Fonem vokal
dan konsonan itu adalah sebagai berikut.
1) Fonem vokal: /i/, /e/, /ə/, /a/, /o/, dan /u/
2) Fonem konsonan: /b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /r/, /s/, /t/,
/w/, /ŋ/, /y/, dan /ń/
Bahasa Indonesia memiliki 6 fonem vokal dan 23 fonem konsonan. Fonem
vokal dan konsonan itu adalah sebagai berikut.
1) Fonem vokal: /i/, /e/, /ə/, /a/, /o/, dan /u/
2) Fonem konsonan: /b/, /c/, /d/, /f/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /q/, /r/,
/s/, /š/, /t/, /w/, /x/, /ŋ/, /y/, /z/, dan /ń/
Dari fonem-fonem di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan jumlah fonem
antara bahasa Indonesia dan bahasa Bali, yakni perbedaan antara jumlah fonem dan
konsonan. Fonem konsonan dalam bahasa Indonesia terdapat 23 konsonan dan bahasa
Bali hanya terdapat 18 fonem konsonan. Fonem-fonem konsonan yang tidak terdapat
pada bahasa Bali adalah /š/, /q/, /f/, /x/, dan /z/. Selain itu, fonem /i/ bahasa Indonesia
memiliki alofon [I] seperti pada kata [kirIm] dan [parIt]. Fonem /e/ bahasa Indonesia
juga memiliki alofon [] seperti pada kata [tokk], fonem /u/ memiliki alofon [U]
seperti pada kata [kapUr], dan fonem /o/ memiliki alofon /ב/ seperti pada kata [rבkבk].
Selain fonem vokal, fonem konsonan bahasa Indonesia juga memiliki variasi
pengucapan atau alofon, seperti fonem /k/ yang memiliki alofon [?] misalnya pada
kata [momב?].
Untuk memperjelas persamaan dan perbedaan antara BB dan BI dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 1. Bandingan antara Fonem Vokal BB dan BI
Bahasa Bali Bahasa Indonesia
Fonem Alofon Contoh Kata Fonem Alofon Contoh Kata
/i/ [i] [batis] /batis/ /i/ [i] [basi] /basi/
[I] [sakIt] /sakit/
/e/ [e] [ered] /ered/ /e/ [e] [sate] /sate/
[] [lmpar] /lempar/
/ə/ [ə] [əmbot] /embot/ /ə/ [ə] [gərah] /gerah/
/a/ [a] [alih] /alih/ /a/ [a] [suka] /suka/
[ə] [abə] /aba/ [] [allh] /Allah/
/o/ [o] [bocor] /bocor/ /o/ [o] [toko] /toko/
[ב] [rבbבt] /robot/
/u/ [u] [ujan] /ujan/ /u/ [u] [rumah] /rumah/
[U] [mUrka] /murka/
Dari Tabel 1. Terlihat bahwa vokal /a/ pada posisi akhir terbuka dilafalkan
sebagai [ə], misalnya saja pada kata [subə] /suba/, [kijə] /kija/, [marə] /mara/, dsb.
Berikut ini disajikan bandingan fonem konsonan BB dengan BI.
Tabel 2. Bandingan antara Fonem Konsonan BB dan BI
Bahasa Bali Bahasa Indonesia
Fonem Alofon Contoh Kata Fonem Alofon Contoh Kata
/b/ [b] [baʈu] /batu/ /b/ [b] [bakar] /bakar/
[p] [sebap] /sebab/
/c/ [c] [carə] /cara/ /c/ [c] [cacat] /cacat/
/d/ [d] [bədu] /bedu/ /d/ [d] [duri] /duri/
/f/ [f] [naif] /naif/
/g/ [g] [gadiŋ] /gading/ /g/ [g] [gagal] /gagal/
[k] [togok] /togog/
[ɣ] [tabliɣ] /tabligh/
/h/ [h] [lintah] /lintah/ /h/ [h] [hitam] /hitam/
/j/ [j] [jajə] /jaja/ /j/ [j] [jeja?] /jejak/
/k/ [k] [bukak] /bukak/ /k/ [k] [kacaŋ] /kacang/
[?] [ana?] /anak/
/l/ [l] [legu] /legu/ /l/ [l] [luna?] /lunak/
[L] [aLLh] /allah/
/m/ [m] [mokoh]
/mokoh/
/m/ [m] [makan] /makan/
/n/ [n] [nolih] /tolih/ /n/ [n] [nakal] /nakal/
/p/ [p] [panes] /panes/ /p/ [p] [pakar] /pakar/
/q/ [q] [alquran] /Alquran/
/r/ [r] [rasə] /rasa/ /r/ [r] [harUm] /harum/
/s/ [s] [sareŋ] /sareng/ /s/ [s] [sadar] /sadar/
/š/ [š] [šarat] /syarat/
/t/ [t] [alit] /alit/ /t/ [t] [tuan] /tuan/
[ʈ] [paʈuŋ] /patung/
/w/ [w] [wayah]
/wayah/
/w/ [w] [warna] /warna/
/x/ [x] [xenon] /xenon/
/ŋ/ [ŋ] [paliŋ] /paling/ /ŋ/ [ŋ] [paŋgIl] /panggil/
/y/ [y] [uyah] /uyah/ /y/ [y] [payah] /payah/
/ń/ [ń] [ńeluk] /nyeluk/ /ń/ [ń] [ńata] /nyata/
/z/ [z] [zakat] /zakat/
Sebuah ciri khas dan menjadi keistimewaan BB ialah bahwa fonem eksplosif
tak bersuara /t/ dilafazkan sebagai [t] pada posisi akhir, namun pada posisi awal dan
tengah dilafazkan sebagai [ʈ] (t retrofleks).
Vokal /a/ pada posisi akhir terbuka dilafazkan sebagai [ĕ]. Misalkan kata Kuta,
nama pantai termashyur di Bali, dilafazkan sebagai [k'uʈĕ].
Dahar, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumpun_bahasa_Austronesia.htm. Diakses 10 Juni 2011.
Indihadi, Dian. Th-. Analisis Kontrastif dalam Pembelajaran Bahasa Kedua (Modul). Dalam http://file/edu.analisis_kontrastif.pdf.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural (Edisi Kedua). Jakarta: Erlangga.
Suhardi dan Pujiati Suyata. 2010. “Analisis Kontrastif Bahasa Lio-Indonesia dan Pengimplementasiannya dalam Model Pembelajaran Bahasa Kedua (Laporan Penelitian). Cakrawala Pendidikan, Juni 2010, Th. XXIX, No. 2.
Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA.
Tarigan, Guntur H. (1997). Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Depdikbud.