Post on 30-Jan-2018
TATA TERTIB HUKUM DI INDONESIA DAN PELAKSANAANNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai Negara yang berkembang serta dalam proses menuju kebangkitan dari
keterpurukan akibat krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, berbagai hal dapat
dijadikan sebuah pelajaran bagi bangsa Indonesia diantaranya dengan mengkaji kembali
beberapa hal yang menyangkut politik, hukum, ekonomi serta kebijakan yang lain, apakah
kita menganut sistem yang salah atau penerapan sistem tersebut yang salah. Sebagai Negara
yang besar Indonesia sangat berpotensi menjadi bangsa yang besar dan bukan hanya menjadi
Negara yang besar tetapi juga dapat menjadi sorotan positif bagi bangsa lain.
Reformasi 1998 membawa Indonesia ke dalam kondisi kehilangan pandangan hidup
bersama sebagai sebuah bangsa. Pancasila yang seharusnya menjadi dasar utama pemersatu
pandangan-pandangan hidup manusia indonesia, kehilangan kesaktiaanya. Pancasila limbung
diterpa “demokratisasi” dan krisis ekonomi. Kepercayaan masyarakat terhadapnya kian surut.
Dan bahkan sebagian memandang tidak ada perlunya lagi Pancasila dipertahankan. Pancasila
sudah tidak relevan, bahkan tidak lagi berguna. Alih-alih menjadi pemersatu bangsa,
Pancasila malahan dianggap sebagai pemicu perpecahan bangsa.Upaya-upaya pemisahan diri,
yang muncul di Aceh, Sulawesi, Papua, tidak lain karena ada pihak-pihak yang tidak sejalan
dengan Pancasila. Selain itu, Pancasila juga menjadi alat diskriminator terselubung dalam
negeri yang beragam ini.
Sebagai sebuah bangsa yang majemuk tentunya kita membutuhkan satu pandangan
hidup bersama sebagai pemersatu bangsa. Lalu apa jadinya bila satu pandangan itu di
hilangkan? Perang ideologi akan muncul. Ideologi agama, Marxisme, nasionalisme,
tradisionalisme dan banyak lagi ideologi lain yang akan saling bertempur memperebutkan
dominasi. Tentunya bila perang ideologi ini terus berlangsung maka tidak pelak
menimbulkan kekacauan sistem sosial Indonesia. Untuk itulah kembali ke pelukan Pancasila
adalah jalan yang tepat yang harus dipilih bangsa Indonesia.
1
Pembentukan berbagi sistem yang dianut bangsa Indonesia tertuang dalam sebuah
konstitusi yang disebut Undang – Undang Dasar 1945, dan juga termuat dalam peraturan
yang lain, akan tetapi pembentukan daripada sistem tersebut juga harus mendasarkan pada
sumber yang paling mendasar yang didalamnya termuat berbagai tujuan, cita – cita, serta
cermin kepribadian bangsa, sehingga diharapkan setiap sistem, kebijakan, maupun peraturan
yang disusun tidak bertentangan dengan beberapa hal tersebut tadi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu tata tertib hukum?
2. Apa saja sumber-sumber hukum?
3. Bagaimana pemahaman masyarakat mengenai hukum?
4. Bagaimana pelaksanaan hukum di Indonesia?
2
BAB II
PEMBAHASAN
a) Tata Tertib Hukum
Tata tertib hukum adalah himpunan peraturan-peraturan berisikan perintah-perintah
dan larangan-larangan yang mengurus masyarakat di suatu wilayah dan karena itu harus
ditaati oleh masyarakat.
Di dalam TAP MPR RI No. 3/MPR/2000, beberapa sumber hukum tertulis ditentukan
sebagai berikut :
a) pancasila
b) pembukaan UUD 1945
c) batang tubuh UUD 1945 dan amandemenya
d) ketetapan majelis permusyawaratan rakyat
e) undang – undang
f) peraturan perundang – undangan
g) peraturan pemrintah
h) keputusan presiden
i) peraturan daerah
“ Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang memuat judul tentang
memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum republik ndonesia dan tata urutan
peraturan perundangan republik Indonesia, didalam lampiranya menyatakan sebagai berikut :
Pancasila : sumber dari segala sumber hokum.Sehingga dengan hal tersebut hendaknya
pancasila benar – benar mampu melaksanakan apa yang diamanatkan oleh rakyat Indonesia
artinya setiap peraturan perundang – undangan di Indonesia harus mengacu kepadanya dan
tidak menyimpang dari ketentuan serta asas – asas yang terkandung didalamnya. Segala cita –
cita luhur bangsa Indonesia tersirat dalam naskah pancasila hal tersebut dapat diartikan
bahwa pancasila dapat dijadikan alas dalam melaksanakan cita – cita yang luhur tersebut.
3
Dari pengertian pancasila merupakan cermin kepribadian bangsa yang mengandung arti
pandangan hidup, dasar Negara, tujuan dan kesadaran bangsa juga terkandung didalamnya
b) Syarat Tertib Hukum Tertinggi :
1 kesatuan subjek = penguasa yang mengadakan peraturan hukum, terpenuhi dg
adanya pemerintahan negara republik Indonesia
2 kesatuan asas kerohanian = dasar seluruh peraturan hukum, sumber segala sumber
hukum, terpenuhi adanya dasar filsafat neg pancasila
3 kesatuan daerah = peraturan hukum terpenuhi " seluruh tumpah darah negara
indonesia (alinea 4 UUD 45)
4 asas kesatuan waktu = saat berdirinya negara indonesia disertai dengan tertib
hukumyang ada
c) Pemahaman Masyarakat
Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum, tentunya akan
menciptakan sebuah asumsi bahwa pancasila merupakan sumber hukum yang sempurna yang
mampu menjangkau berbagai aspek. hal tersebut mengartikan bahwa kualitas akan produk
hukum kita ditentukan oleh seberapa jauh bangsa Indonesia mampu memaknai atau
memahami sumber dasarnya itu sendiri.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah semakin lama pemahaman
terhadap nilai – nila pancasila sebagi sumber hukum justru semakin memudar, oleh karena itu
sepertinya kita perlu mempelajari kembali akan nilai yang terkandung didalam pancasila.
Pengaruh masuknya budaya – budaya asing di tengah – tengah kehidupan masyarakat
yang selalu dikuti tanpa adanya penyaringan kaidah merupakan salah satu penyebab semakin
terkikisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Adapun pendapat yang menyatakan “ untuk
meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap nilai – nilai pancasila pertama kali perlu
dibangun adanya “rasa memiliki” terhadap nilai – nilai pancasila.
Pemahaman akan nilai atau makna yang terkandung didalam tiap sila- sila pancasila
mustinya harus dimulai sejak dini mulai dari pendidikan yang paling bawah hingga pada
4
tingkat pendidikan tinggi dengan tidak mendiskriminasi kajian ilmu tersebut, artinya selama
ini kajian yang menyangkut pemahaman akan pancasila masih ditempatkan pada posisi
dibawah, satu contoh misalnya pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, dari
jenjang pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan tinggi sepertinya tidak terlalu
diutamakan dan kurang mendapat perhatian baik dari kalangan pelajar maupun pengajar
sehingga tidak jarang para generasi muda yang mengabaikan dan tidak memahami akan
makna yang terkandung didalam pancasila itu sendiri.
d) Ciri–Ciri Negara Hukum
Menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-ciri atau unsur-unsur
dari negara hukum, yakni:
a. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan, maksudnya
negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan negara dibatasi oleh
hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat mempunyai
hak terhadap penguasa.
b. Azas Legalitas
Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan
terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan Kekuasaan
Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan
kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan,
melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam
satu tangan.
e) Unsur – Unsur Di Dalam Tata Tertib Hukum :
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3. Peraturan itu bersifat memaksa.
4. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
5
Selanjutnya, agar hukum itu dapat dikenal dengan baik, haruslah mengetahui ciri-ciri tata
tertib hukum. Menurut C.S.T. Kansil, S.H., ciri-ciri hukum adalah sebagai berikut:
a. Terdapat perintah dan/atau larangan.
b. Perintah dan/atau larangan itu harus dipatuhi setiap orang.
Setiap orang berkewajiban untuk bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga
tata-tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu,
hukum meliputi pelbagai peraturan yang menentukan dan mengatur perhubungan orang yang
satu dengan yang lainnya, yakni peraturan-peraturan hidup bermasyarakat yang dinamakan
dengan ‘Kaedah Hukum’. Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar suatu ‘Kaedah
Hukum’ akan dikenakan sanksi (sebagai akibat pelanggaran ‘Kaedah Hukum’) yang berupa
‘hukuman’. Pada dasarnya, hukuman atau pidana itu berbagai jenis bentuknya. Akan tetapi,
sesuai dengan Bab II Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah:
Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
Pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Sedangkan sifat bagi hukum adalah sifat mengatur dan memaksa. Ia merupakan peraturan-
peraturan hidup kemasyarakatan yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata-tertib
dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang tidak
mematuhinya. Ini harus diadakan bagi sebuah hukum agar kaedah-kaedah hukum itu dapat
ditaati, karena tidak semua orang hendak mentaati kaedah-kaedah hukum itu.
6
f) Fungsi dan Tujuan Tata Tertib Hukum
Dengan berbagai peran hukum, maka hukum memiliki fungsi: “menertibkan dan
mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul”.
Lebih rincinya, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat dapat terdiri dari:
1. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Dalam arti, hukum berfungsi
menunjukkan manusia mana yang baik, dan mana yang buruk, sehingga segala sesuatu dapat
berjalan tertib dan teratur.
2. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin. dikarenakan hukum
memiliki sifat dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan,
dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar
peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
3. Sebagai sarana penggerak pembangunan: daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat
digunakan atau didayagunakan untuk menggerakkan pembangunan. Di sini hukum dijadikan
alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
4. Sebagai penentuan alokasi wewenang secara terperinci siapa yang boleh melakukan
pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang
tepat dan adil: seperti konsep hukum konstitusi negara.
5. Sebagai alat penyelesaian sengketa: seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera
selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
6. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan
yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara
anggota-anggota masyarakat.
Dari sekian penegertian, unsur, ciri-ciri, sifat, dan fungsi hukum, maka tujuan dari
perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian
hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang
lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum :
1. Prof. Lj. Van Apeldorn: Tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat
secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang
adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain,
dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat
7
Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan
utilitis.
2. Aristoteles: Tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi dari hukum
ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang tidak adil.
3. Prof. Soebekti: Tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum akan
memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny (Teori Ethic): Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum adalah untuk
keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai
etis. Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari
teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk
menentukan warna keadilan dan kebenaran.
5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum
bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititik beratkan pada hal-
hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal
keadilan. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah
sebanyak-sebanyaknya.
6. J.H.P. Bellefroid: Bellefroid menggabungkan dua pandangan ekstrem tersebut. Menurut
Bellefroid, isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan faedah.
7. Prof. J Van Kan: Tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya
kepentingan-kepentingannya tidak dapat diganggu. Dengan tujuan ini, akan dicegah
terjadinya perilaku main hakim sendiri terhadap orang lain, karena tindakan itu dicegah oleh
hukum.
g) Rumusan di dalam UUD 1945
Pembukaan UUD 1945 merupakan tujuan nasional bangsa indonesia, yang terdiri
dari:
1. membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah indonesia
2. memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
8
3. melaksanakan ketertiban dunia.
4. negara indonesia mempunyai falsafah dasar pancasila yaitu ketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, kerakyatan yang dipimpn oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat indonesia.
selain daripada itu didalm pembukaan tesirat beberapa pokok pikiran yang terkandung di
dalamnya, diantaranya sebagai berikut :
1. Pokok pikiran yang pertama yaitu persatuan
Bangsa indonesia merupakan bangsa yang majemuk terdiri dari berbagai ragam
budaya, adat dan kelompok, lahirnya berbagai keragaman tersebut justru akan menimbulakan
persoalan misalnya perpecahan, apabila tidak dilandasi oleh sutu falsafah yang tertuang
didalam sila ke 3 pancasila yang berbunyi “ pesatuan indonesia “ dikuatkan dalam pasal 1
ayat (1) UUD 1945 “ negara indonesia adalah negara kesatuan yang berbntuk republik “ hal
tersebut telah menjadi alas yang paling dasar sejak bangsa indonesia merdeka, sehingga
dengan modal persatuan dan kesatuan bangsa diharapkan akan terjadi rasa saling
menghormati setiap perbedaan tersebut. Hanya saja menurut saya, yang terjadi saat ini sikap
saling menghormati dan menghargai setiap perbedaan justru semakin jauh keluar dari
hakikatnya artinya perbedaan antar suku, ras, budaya, agama dan lain sebagainya seolah olah
telah masuk kedalam bentuk “intervensi” yang mana memang diantara kedua sikap tersebut
memiliki batasan yang sangat tipis sehingga keanekaragaman tersebut justru memunculkan
penafsiran yang braneka ragam pula. hal inilah sebenarnya yang menjadi bumerang bagi
bangsa kita. solusi mengenai hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab kesimpulan dan
saran.
2. Pokok pikiran yang kedua yaitu keadilan sosial
Pasal 33 ayat (4) “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
9
ekonomi nasional”. Dari isi pasal tersebut tercermin bahwa bangsa indonesia menhendaki
setiap warga negaranya melaksanakan apa yang menjadi kewajibanya serta jaminan untuk
memperoleh hak dan perlakuan yang adil dalam status sosial dan ekonomi khususnya.
Namun dalam penerapanya seperti kita ketahui bersama banyak sekali diskriminasi dan
ketimpangan – ketimpangan dalm berbagai hal, penyebabnya tidak lain adalah status sosial
dan kekuasaan, artinya jaminan kesejahteraan seolah – olah justru menjadi alasan utama bagi
golongan yang memiliki kedudukan tinggi untuk mendapatkan berbagai tunjangan dengan
berbagai alasan.
Sedangkan dalam bentuk lembaga pokok pikiran yang kedua ini terlihat dengan
adanya departemen sosial yang bertugas menyelesaikan berbagai permasalahan sosial,
sedangkan dalam bidang legislatif tercermin dalam setiap putusan hakim selalu memuat
klausul “ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
3. Pokok pikiran yang ketiga yaitu kerakyatan
Sebagai perwujudan dari negara demokrasi, salah satu pilar utamanya adalah
kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, pemikiran maupun kepentingannya dan
menandaskan bahwa partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas modernisasi politik.
Menurut pendapat Dahl , praktek demokrasi selalu melibatkan dua dimensi, yaitu perlombaan
dan peran serta.
4. Pokok pikiran yang ke empat yaitu ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil
dan beradab
Pasal 29 ayat (1) “ negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa “ dar pengertian
tersebut indonesia merupakan negara yang beragama dalam artia luas, artinya masyarakat
indonesia terdiri dari berbagai macan pemeluk agama yang berbeda – beda, meskipun
mayoritas masyarakatnya beragama islam namun bukan bukan berarti negara hanya
melindungi agama mayoritas saja, hal in dituangkan dalam pasal 29 ayat (2) “ negaar
menjamin kemerdekann tiap – tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing – masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu “ .
10
Berbagai konflik yang terjadi di indonesia yang di klaim merupakan konflik agama
merupakan suatu bentuk kurangnya pemahaman masyarakat mengenai asas yang terkandung
dudalam pancasila umunya dan asas ketuhanan yang maha esa pada khsusnya.
Adanya pengakuan dan perlindungan hak –hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang plitik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan, merupakan salah
satu dari ciri negara hukum yang bertujuan untuk menjamin hak –hak warga negaranya. Hal
tersebut dituangka dalam pasal 28D ayat (1) “ setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
prlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan ukum “
selain itu juga dengan dikeluarkan UNDANG – UNDANG No. 26 Tahun 2000 tentang
Peradilan Hak Asasi Manusia.
Pembentukan maupun perubahan sebuah undang – undang dalam rangka proses
melaksanakan tujuan nasional merupakan suatu hal yang formalistik saja asalkan dapat
mengikuti ketentuan atau asas – asas yang tersebut diatas, namun selain daripada hal tersebut
juga diperlukan komitmen keras bangsa indonesia yang harus ditanamkan dalam semangat
nasionalisme tiap elemen bangsa sehingga sebuah tujuan nasional tersebut tidak hanya
sebuah catatan semata atau hanya tertulis dalam sebuah undang – undang saja. Undang –
undang dasar maupun peratran perundangan yang lain hanya merupakan instrumen kebijakan
yang mendasari setiap pelaksanaan tujuan nasional tersebut.
Pasal 1 ayat ( 2 ) UUD 1945 hasil amandemen disebutkan “ kedaulatan ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut undang – undang “ dan pada ayat ( 3 ) disebutkan “ negara
inonesia adalah negara hukum “ sehingga rakyat dalam hal ini rakyatlah yang memiliki peran
utama dalam pelaksanaan tujuan nasional akan tetapi undang – undang mengatur dan
mendasari bagaimana pelaksanaanya
Berbagai perubahan terhadap UUD 1945 telah banyak memberikan warna baru dalam
sistem ketatanegaraan indonesia, hal tersebul adalah wajar sebagai konsekuensi dari tuntutan
reformasi. Perubahan terhadap intrumen UUD 1945 dapat dipahami sebagai bentuk relevansi
atau penyesuaian terhadap perkembangan budaya, sejauh perubahan tersebut tidak sampai
pada “ pembukaan / preambule “ hal itu sah – sah saja hanya saja apabila perubahan tersebut
telah menjangkau kepada pembukaan UUD 1945 tentunya akan mnghilangkan bebrapa hal
11
terpenting didalamnya termasuk tujuan nasional bangsa. “ Namun demikian, ada bagian
terpenting dari UUD 1945 yang disepakati oleh MPR 1999 untuk tidak diubah sama sekali.
Bagian dimaksud adalah Pembukaan UUD 1945. Pembukaan dikatakan sebagai bagian
terpenting karena disanalah tertuang Pancasila yang merupakan norma fundamental Negara.
Sehingga dari setiap perubahan UUD 1945 diharapkan tidak merubah secara total isi
daripada UUD 1945, “ karena itu, sebagai kompromi, pelaksanann agenda perubahan UUD
1945 diusahakan untuk menghindari penggunaan istilah ‘penggantian’ UUD. Yang disepakati
adalah ‘perubahan’ bukan ‘penggantian’ yang berkonotasi total .
Perkembangan-perkembangan ini membawa kita kepada pertanyaan lanjutan, apakah
memang perlu kita mempertanyakan hal-hal yang bersifat ideologis pada saat ini? Atau,
tidakkah lebih produktif apabila kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada penyelesaian
persoalan-persoalan konkret bangsa seperti kemiskinan, ketidaksejahteraan dan ketidakadilan
yang meluas di tengah-tengah masyarakat kita.
h) Pelaksanaan Hukum Di Indonesia
Pelaksanaan hukum di Indonesia memiliiki banyak kelemahan atau kekurangan.
Paling tidak ada tiga faktor signifikan yang melatarbelakangi kelemahan tersebut, yakni :
Pertama Produk Hukum, Kedua Penegak Hukum, dan ketiga Sanksi (Hukuman).
a) Produk Hukum
Pada dasarnya hukum yang berlaku sekarang ini adalah produk hukum penjajah
(Belanda) yang semula diperuntukkan bagi orang-orang Eropa (Belanda). Namun,
belakangan konsep hukum tersebut bergeser, karena hukum positif Belanda diperuntukkan
juga untuk jajahannya (Indonesia). Pada dasarnya, setiap penjajah memiliki motif dan alasan
tertentu, mengapa ia harus menjajah. Setidaknya ada tiga alasan fundamental yang
mendorong penjajah (belanda) menguasai negeri jajahannya (Indonesia).
Pertama, Misi ekonomi (Mission of Ecomonic). Selama lebih kurang tiga setengah
abad, Belanda telah menguras habis harta kekayaan negeri jajahannya (Indonesia) guna
membangun negaranya. Berbagai kemajuan yang dicapai Belanda saat ini merupakan andil
12
dari pengerukan masif negeri jajahannya. Salah satu contohnya, biaya membangun kota
Amsterdam (Belanda) diperoleh dari hasil menjajah.
Kedua, Misi agama (Mission of Religion). Selama menjajah, Belanda melancarkan
program kristenisasi di negeri jajahannya (Indonesia). Hanya saja, misi agama ini tidak bisa
dilaksanakan secara optimal, karena mengakar dan kentalnya semangat beragama (Islam) dari
penduduk pribumi. Ditambah lagi, peran ulama yang berjibaku menghadang lajunya
program kristenisasi tersebut. Boleh dibilang, misi ini relatif kurang berhasil. Namun, di
propinsi tertentu pemeluk agama kristen relatif berhasil, seperti di Indonesia bagian Timur.
Ketiga, Misi Penegakkan Hukum (Mision of Law Supremation). Kendati negara
Indonesia telah bebas dan merdeka dari penjajahan kolonial Belanda, namun bukan berarti
bangsa Indonesia bisa melepaskan atribut-atribut milik penjajah (Belanda). Sebab, dalam
bidang-bidang tertentu kita masih mengadopsi perangkat peraturannya, termasuk hukum.
Selama menjajah, Belanda telah menerapkan hukumnya terhadap negeri jajahannya
termasuk Indonesia.
Secara kwalitatif (kualitas), hukum positif (khususnya produk penjajah /belanda)
memiliki banyak kelemahan. Kita bisa kaji berbagai produk hukum penjajah (belanda)
tersebut. Dalam hukum belanda yang kita adobsi sekarang mengenal apa yang disebut hukum
publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum atau undang-undang yang mengatur
persoalan publik, misalnya : KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), KUHD (Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang), Hukum Tatanegara (HTN), Hukum Administrasi Negara
(HAN) dan lain-lain. Sedang hukum (undang-undang) privat adalah hukum yang mengatur
persoalan individu dengan individu, misalnya KUHPerdata.
Produk-produk hukum tersebut adalah hasil pikiran manusia (Belanda). Produk
hukum tersebut lahir melalui rekayasa pikiran penjajah Belanda tentu saja sebagai manusia
memiliki keterbatasan. Semua produk hukum yang dihasilkan tersebut, masih memiliki
kekurangan dan keterbatasan. Kendati para pemikir dan akademisi hukum sadar dan mafhum
kelemahan hukum tersebut, mereka tetap saja enggan untuk membuang atau melepaskan
hukum-hukum tersebut. Ironinya, mereka malah sibuk menyiapkan sebuah lembaga (badan)
13
dengan nama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang tugas dan fungsinya adalah
untuk menyempurnakan produk-produk hukum buatan belanda tersebut dan
memformulasikan hukum positif Belanda tersebut dengan kondisi dan karakteristik
masyarakat Indonesia.
Secara kwantitatif (jumlah) ternyata hukum positif tersebut banyak jumlahnya, namun
tidak berlaku efektif. Kendati secara kwantitatif terlalu banyak, namun para pemikir hukum
dan akademisi hukum sekuler merasa harus melengkapi hukum (undang-undang) tersebut
dengan perangkat hukum (undang-undang) tambahan. Apa yang menyebabkan pertambahan
ini ? Ternyata yang melatar-belakanginya karena hukum (undang-undang) masih
mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga dipandang perlu merumuskan perangkat
peraturan pelaksananya. Suatu hal yang menarik dari pergulatan pemikiran para pemikir dan
akademisi hukum sekuler yang loyal dan tergila-gila dengan hukum buatan manusia tersebut
adalah bahwa dengan tersusunnya perangkat hukum pendukung, bertujuan untuk menjamin
kepastian dan keadilan hukum. Pertanyaannya, benarkah itu ? Jawabnya, tentu tidak. Sebab,
kendati perundang-undangan dan perangkat pendukung telah dilahirkan, namun kerapkali
terjadi pelanggaran hukum. Misalnya, tentang agraria, kehutanan, kelautan, ketenaga-kerjaan,
lingkungan dan sebagainya.
b) Penegak Hukum
Pelaksana hukum dalam tatanan hukum positif di Indoensia terdiri dari Kepolisian,
Kejaksaan dan Kehakiman. Kendati, dalam ketentuan perundangan lembaga-lembaga ini
terpisah, namun masih memiliki jalur koordinasi keatasnya, hingga ke presiden. Lembaga-
lembaga tersebut tidak ada yang bebas dan independen, karena garis koordinasi bersifat
vertikal bertanggung jawab kepada kepala negara.
(1). Kepolisian. Kendati jajaran kepolisian kian berbenah dengan semboyan profesionalisme
dan melayani kepentingan masyarakat, namun dalam prakteknya kerap terjadi distorsi
kebijakan. Masyarakat sering mempertanyakan eksistensi pihak kepolisian ini. Pertama aspek
kemaksimalan tugas, Kedua Sensitifitas problema/kriminlaitas masyarakat, Ketiga, Kejujuran
dan Kenetralan Tugas. Badan (lembaga) yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat
ternyata sekarang menjadi lembaga angker dan menakutkan. Sebagai pengayom masyarakat,
14
agaknya pihak kepolisian belum melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Lembaga ini
kerapkali menuai kritikan dari masyarakat dari tahun ke tahun. Apalagi saat ini ketika
seorang Susno Duadji mulai buka mulut.
(2). Kejaksaan. Badan (lembaga) ini juga bukan tidak luput menuai kritikan. Cukup banyak
kasus-kasus besar yang menghebohkan di-peti es-kan tanpa alasan yang jelas. Berbagai
rentetan kasus yang menjadi perhatian publik (masyarakat) masih banyak yang belum
dilimpahkan ke Pengadilan. Tampaknya badan (lembaga) ini terlalu banyak Pekerjaan
Rumah (PR) yang belum terselesaikan.
Kelemahan itu, bukan hanya dari sisi upaya pihak kejaksaan untuk mengajukan
pelaku kejahatan tersebut ke Pengadilan, namun pelaku kejahatan yang sudah divonis
pengadilan pun melengkapi ketidak-berdayaan hukum dan perangkat pendukungnya.
Misalnya, Eddi Tansil pada tahun 1992 sempat menghebohkan negara dan masyarakat
dengan staregi dan taktik katebelecenya mengelabui pejabat tinggi ketika itu dan
mengkorupsi uang negara 1,3 trilyun. Pada masa itu, nilai uang tersebut sungguh sangat besar
dan mencengangkan. Ia sudah dipidana dengan hukuman penjara selama 20 tahun dan sempat
beberapa saat mendekam dipenjara, namun dengan menggunakan berbagai taktik licik ala
mafia ia berhasil kabur dari penjara. Kini, ia bebas berkeliaran kemana saja ia mau sambil
menikmati uang yang telah ditilepnya itu.
Memang, lembaga ini memiliki banyak masalah yang juga meresahkan masyarakat.
Jaksa selaku Penuntut Umum telah juga ternoda, karena ulah sebagian oknum jaksa nakal dan
silau dengan materi. Kenakalan jaksa tdak hanya dalam kasus-kasus yang telah dilimpahkan
di Pengadilan. Namun, kenakalan itu juga di luar Pengadilan. Misalnya, kasus-kasus yang
masih dalam tahap penyelidikan/penyidikan. Di tingkat penyelidikan atau penyidikan kerap
terjadi penyalah-gunaan wewenang. Tertuduh/tersangka atau keluarganya bisa saja melobi
jaksa yang menyelidik/menyidik kasusnya meminta kasusnya di-peti es-kan atau istilah
formalnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan).
(3). Kehakiman. Departemen kehakiman hingga kini belum mampu memberantas kenakalan
para hakim di seluruh negeri ini. Betapa tidak, sebenarnya munculnya cibiran tentang mafia
peradilan lebih ditujukan kepada para hakim. Kita tahu, wajah hukum negeri ini telah
15
dicoreng dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi karena praktik vonis yang tanpa dasar
atau cenderung menurut selera para hakim.
Dari hari ke hari, Lembaga ini kerap ditunding melahirkan hakim nakal. Putusan-
putusan hakim sering mengusik hati nurani dan rasa keadilan masyarakat. Kita tentu masih
ingat misalnya dulu, Si raja “Kayu Bob Hasan” yang telah menggunduli ratusan ribu hektar
tanah dan hutan lindung di vonis hanya beberapa tahun saja. Mantan Dirut BI Syahril Sabirin
yang diduga bermasalah dengan kebijakan moneternya divonis bebas. Tommi Suharto yang
seabrek-abrek kejahatannya, divonis hanya 15 tahun penjara. Anehnya, beberapa hari
mendekam dipenjara, tanpa dasar dan alasan yang rasional ia mendapatkan keringanan masa
tahanan (remisi). Dan masih banyak lagi kasus-kasus kelas kakap yang belum dapat
dituntaskan pihak Kejaksaan.
Sebenarnya, praktik mafia peradilan tidak hanya ditujukan kepada dua lembaga
tersebut, tapi harusnya perlu juga mencermati benar dan terukur pekerjaan Pengacara.
Sekarang ini, tugas pengacara banyak mengalami perubahan fungsi. Semula mendampingi
klien dan membelanya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (litigasi dan non litigasi).
Kini, sudah bergeser menjadi calo perkara dan pelobi atau makelar kasus (MARKUS). Meski
tidak semua, namun kebanyakan pengacara menangani perkara karena pertimbangan
financial, sekalipun mereka harus mematikan hati nurani. Menariknya, ukuran keberhasilan
(menang) suatu kasus bukan karena kemampuan analisis cerdas pengacara dalam mengotopsi
dan menggali dasar hukum kasus yang sedang ditangani, melainkan berdasarkan kalkulasi
seberapa banyak uang klien yang akan disuguhi kepada hakim yang menangani suatu kasus.
c) Sanksi (Hukuman).
a. Masa hukuman pelaku tindak pidana
Sanksi hukuman yang terdapat dalam berbagai hukum (peraturan perundangan) yang
berlaku sangat ringan sekali. Hukuman pelanggar berbagai tindak pidana sebagaimana yang
dituang dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) memuat sanksi yang sangat
rendah. Bisa disebut hingga kini KUHP belum banyak berubah sejak penjajahan belanda
16
hingga sekarang. Dengan konsepsi KUHP ini, mungkinkah hukum bisa membuat jera dan
menyadarkan masyarakat ?.
b. Peraturan tidak menghasilkan sanksi tindak tegas
Dalam berbagai kesempatan kita menyaksikan pemerintah beserta aparat penegak
hukum telah membuat peraturan di sekitar masyarakat. Kendati peraturan telah dibuat berikut
dengan hukuman/sanksinya, namun tetap saja peraturan tersebut diabaikan atau ekstrimnya
diacuhkan. Mengapa ? Karena, pemerintah dan aparat hukum tidak secara sungguh-sungguh
memiliki good will untuk menertibkan masyarakat dalam menciptakan keteraturan hidup.
Artinya, setelah peraturan dibuat, kontrol terhadap pelanggar masih bisa ditolerir. Walhasil,
peraturan yang dipajang hanya sebatas himbauan moral an sich, tanpa bisa menyentuh
kepedulian masyarakat. Misalnya, di pasar perbelanjaan sering kita temukan papan
pengumuman kepada para pedagang, “Jangan buang sampah sembarangan, buanglah pada
tempat yang tersedia”. Kendati, pengumunan telah dibuat, namun para pedagang masih terus
saja melanggarnya, seakan tidak memperdulikan adanya pengumuman.
17
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Pengertian tertib hukum itu sangat banyak karena terdapat banyak sisi pandang
terhadap hukum, akan tetapi, sebuah definisi bagi hukum yang dapat menjadi pedoman
adalah “Hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan berisikan perintah-perintah dan
larangan-larangan yang mengurus masyarakat di suatu wilayah dan karena itu harus ditaati
oleh masyarakat itu.Unsur-unsur hukum adalah peraturan tingkah laku manusia yang
diadakan oleh badan resmi, bersifat memaksa, terdapat sanksi tegas bagi pelanggarnya.ciri-
cirinya adalah terdapat perintah dan/atau larangan serta harus dipatuhi setiap orang;
sedangkan sifatnya adalah mengatur dan memaksa.Fungsi hukum adalah sebagai alat
pengatur tata tertib, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, sebagai
sarana penggerak pembangunan, sebagai penentuan alokasi wewenang, sebagai alat
penyelesaian sengketa, berfungsi memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi kehidupan yang berubah; dengan tujuan mengatur tata tertib dalam
masyarakat secara damai dan adil, dapat melayani kehendak negara yaitu mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat, demi keadilan dan/atau berfaedah bagi rakyat
yang mana dapat menjaga kepentingan rakyat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Al Marsudi Subandi H. 2003. Pancasila dan UUD’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta :
Rajawali Pers.
Asshiddiqie Jimly. 2004. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945. Yogyakarta. FH UII PRESS
Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia, 1994.
Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta :
Gramedia, 1994. Kuasa dan Wibawa. Jakarta : Gramedia
Huntington, Samuel P. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta : Rajawali.
Kencana Syafi’ie Inu. 2003. Kepemimpinan Pemerintahan Indonesia. Bandung : Refika
Aditama.
Kusnardi Moh, Harmaily Ibrahim. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta :
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Soeroso. R. 2002. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Sinar Grafika
Sumaryati. 2005. Jurnal Ilmu Hukum Novelty. Yogyakarta.
Undang – Undang dasar republik Indonesia dan Amandemenya. Surakarta : Pustaka Mandir
19
MAKALAH PANCASILA
TATA TERTIB HUKUM DI INDONESIA
DAN PELAKSANAANNYA
DISUSUN OLEH :
SITI NUR’AINI DWI ASTUTI
NURHASNI
NOVA HARPIA YESYA
SYAMSURYANI
DOSEN PEMBIMBING : JUMILI ARIANTO
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
ILMU ADMINISTRASI NEGARA 1A
2011-2012DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………. ii
TATA TERTIB HUKUM DI INDONESIA DAN PELAKSANAANNYA………… 1
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………… 3
a) Tata Tertib Hukum…………………………………………………………… 3
b) Syarat Tertib Hukum………………………………………………………… 4
c) Pemahaman masyarakat……………………………………………………… 4
d) Ciri-ciri Negara Hukum……………………………………………………… 5
e) Unsur-Unsur Dalam Tata Tertib Hukum…………………………………….. 5
f) Fungsi Dan Tujuan Tertib Hukum…………………………………………… 7
g) Rumusan dalam UUD 1945………………………………………………….. 8
h) Pelaksanaan Hukum Di Indonesia…………………………………………… 12
i) Contoh Kasus Pelanggaran Hukum Di Indonesia……………………………
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………… 19
Kesimpulan………………………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 20
ii