Post on 27-Feb-2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara berkembang seperti Indonesia, dimana peranan sektor informal sangat
besar, diperlukan sebuah pemahaman baru terhadap situasi ketenagakerjaan, bahwa
masalahnya bukanlah orang bekerja atau tidak bekerja, melainkan kesejahteraan
pekerja yang dapat dilihat dari tingkat pendapatan yang mereka peroleh (Priyono,
2002). Selanjutnya, terkait dengan sektor informal, Survei Tenaga Kerja Nasional
(SAKERNAS) berdasarkan jenis kelamin di tahun 2006, 74,28 % pekerja informal
adalah wanita, dan bertahan hingga tahun 2007, pada tahun 2008 menurun hingga 73,
54%, akan tetapi penurunan persentase tersebut tidak merubah proporsi bahwa
pekerja wanitalah yang mendominasi sektor ini yang juga menegaskan bahwa wanita
merupakan tenaga produktif dalam perekonomian dimana wanita juga terlibat dalam
proses pemenuhan kebutuhan (produksi) terutama yang berjarak paling dekat dalam
unit sosial yang terkecil yaitu rumah tangga.
Kondisi seperti ini menunjukan bahwa keterlibatan wanita dalam
perekonomian bukanlah hal baru. Motif bekerja wanita di sektor informal terbagi atas
dua yaitu motif wanita untuk bekerja dan motif wanita untuk memilih sektor informal.
Motif wanita untuk bekerja ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat
ini sangatlah banyak. Sederhananya dapat digolongkan dalam tiga motif, yaitu
"mencari nafkah", "menambah penghasilan keluarga", dan "mengisi waktu luang"
1
(Sajogyo,1983). Sementara itu, motif wanita untuk memilih sektor informal sebagai
tempat pencarian nafkah salah satunya dikarenakan sumberdaya yang dimiliki wanita
seperti tingkat pendidikan, modal kapital, maupun ketrampilan yang relatif lebih
rendah, juga karena sifat sektor ini yang lebih fleksibel dan mudah bagi sumberdaya
yang minim tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kasus buta aksara yang lebih tinggi
dikalangan wanita yakni 64% (Kompas, 2009) menyebabkan setengah dari jumlah
penduduk yang merupakan kaum wanita sulit memasuki sektor formal oleh karena
ketatnya persyaratan yang ditentukan untuk dapat memasuki sektor tersebut. Selain
faktor pendidikan, faktor usia pun menjadi persyaratan yang berpengaruh dalam
penyerapan tenaga kerja wanita disektor formal, adapun usia yang dianggap produktif
biasanya berada sekita 18 – 30 tahun dimana sebagian besar wanita pada usia tersebut
tidak seluruhnya memenuhi atau memiliki syarat yang memadai untuk memasuki
sektor formal.
Selain latar belakang sumberdaya yang dimiliki wanita, faktor struktur sosial,
budaya, ekonomi, dan politik juga mempengaruhi sekaligus membedakan peran laki-
laki dan wanita (Gender differens). Dalam perspektif gender, ada keyakinan bahwa
hubungan-hubungan gender (Gender relation) terbentuk bukan sebagai proses
biologis seperti perbedaan jenis kelamin tetapi melalui proses konstruksi sosial
budaya, oleh karena itu hubungan peran laki-laki dan wanita tidak bersifat alami
seperti anggapan selama ini (Mosse,2007).
Di Indonesia, hubungan-hubungan gender ini dapat dilihat dari berlakunya
Struktur masyarakat yang pada umumnya masih bersifat patriarkal, dan lembaga
2
utama dari sistem ini adalah keluarga. Sistem Patriarkal merupakan struktur yang
mengabsahkan bentuk struktur kekuasaan dimana lelaki mendominasi wanita.
Dominasi ini terjadi karena posisi ekonomis wanita lebih lemah dari lelaki (Arief
Budiman: 1985,60) sehingga wanita dalam pemenuhan kebutuhan materialnya sangat
tergantung pada lelaki.
Kondisi ini merupakan implikasi dari sistem patriarkal yang memisahkan
peran utama antara lelaki dan wanita dalam keluarga, lelaki berperan sebagai kepala
keluarga, terutama bertugas di sektor publik sebagai pencari nafkah, memberi peluang
bagi lelaki untuk memperoleh uang dari pekerjaannya, sedang wanita bertugas di
sektor domestik sebagai pendidik anak dan pengatur rumah tangga yang tidak
memperoleh bayaran.
Untuk pemenuhan kebutuhan materialnya wanita tergantung kepada lelaki
sebagai pencari nafkah. Pembagian peran di sektor publik untuk lelaki dan di sektor
domestik untuk wanita ini terutama terlihat jelas di lingkungan keluarga ekonomi
menengah ke atas, sedangkan pada keluarga ekonomi rendah/bawah dikotomi
pembagian peran kerja berdasarkan sistem patriarkal mengalami perubahan.
Kesulitan ekonomi memaksa mereka kaum wanita dari kelas ekonomi rendah
untuk ikut berperan dalam meningkatkan pendapatan keluarganya dengan bekerja di
luar sektor domestik. Dengan bekerjanya wanita diluar sektor domestik biasanya
disertai mekanisme yang disebut peran ganda yang berarti melakukan dua fungsi
keluarga sekaligus, (fungsi produksi dan fungsi reproduksi). Peran ganda dialami juga
baik laki-laki ataupun wanita, akan tetapi beban kerja ganda yang lebih nyata dan
3
lebih berat terbukti lebih banyak dipikul oleh wanita (Sajogyo,1983), terutama bagi
wanita yang telah menikah & mempunyai tanggungan, serta wanita yang menjadi
single parent atau kepala keluarga.
Kota Makassar sebagai ibu kota propinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
satu wilayah di Indonesia yang memiliki peran untuk meningkatkan taraf hidup
penduduknya baik laki-laki maupun wanita guna mencapai pembangunan ekonomi
yang lebih baik, yang juga merujuk pada program engendering development yang
dihasilkan dari perjanjian internasional oleh majelis umum PBB tentang penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) yang telah diratifikasi oleh
Negara Republik Indonesia melalui UU No. 7/1984. Seperti pada umumnya disetiap
daerah di Indonesia, Pemberdayaan wanita yang dilaksanakan selama ini dinilai
memberi dampak positif bagi taraf hidup wanita di daerah ini. Hal ini dapat dilihat
dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita (TPAK) khusunya kota Makassar
sebagai kota yang memiliki jumlah penduduk wanita lebih banyak dari pada jumlah
penduduk laki-laki, mencerminkan peningkatan dan kesetabilan yang cukup dari
tahun ke tahun meskipun tetap memiliki proporsi yang lebih rendah dari laki-laki.
4
Tabel.1 Jumlah Angkatan Kerja Menurut Jenis KelaminKota Makassar Tahun 2008-2010
Kegiatan2008 2009 2010
L P L+P L P L+P L P L+P
Angkatan Kerja
348.453 216.646 565.099 362.306 237.299 599.605 351.355 234.823 586.178
Bekerja306.923 191.730 498.653 324.330 138.132 522.462 317.996 189.966 507.962
Penganggura
n41.530 24.916 66.446 37.976 39.167 77.143 33.359 44.857 78.216
Sumber: Depnakertrans (diolah)
Secara Umum, TPAK wanita di kota Makassar jauh lebih rendah
dibandingkan TPAK laki-laki. Meskipun demikian, jika dilihat dari jumlah angkatan
kerja, selama periode 2008-2009 peningkatan jumlah angkatan kerja wanita di kota
Makassar jauh lebih besar dibanding angkatan kerja laki-laki dimana peningkatannya
berkisar 20.653 jiwa, sedangkan angkatan kerja laki-laki mengalami peningkatan
13.853 jiwa. Pada periode 2009-2010, angkatan kerja wanita mengalami penurunan
2.476 jiwa, sedangkan angkatan kerja laki-laki mengalami penurunan yang cukup
besar sekitar 10.951 jiwa.
Dari data diatas dapat dicermikan bahwa upaya wanita pemberdayaan
khususnya kota Makassar masih banyak mengalami hambatan oleh karena hasil yang
dicapai belum sesuai dengan harapan dengan belum terwujudnya kemitrasejajaran
yang harmonis antara laki-laki dan wanita.
5
6
Dalam literatur teoris dan empiris, kajian seperti ini bukan merupakan hal
yang baru, namun sekiranya masih tetap menarik dan relevan untuk dicermati
kembali. Dengan berbagai literatur yang mendukung, dan dengan beragam faktor-
faktor yang mempengaruhinya sehingga penelitian ini diarahkan dengan judul
“Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan tenaga kerja wanita di sektor
informal kota Makassar”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, masalah pokok yang dikemukakan
dirumuskan sebagai berikut :
“ Apakah Jam kerja , Tingkat Pendidikan, Usia, Jumlah Tanggungan Usia
Balita, serta besarnya Modal Kerja berpengaruh positif & signifikan terhadap
pendapatan tenaga kerja wanita disektor informal di Kota Makassar “
7
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh jawaban dari
permasalahan seperti yang telah dikemukakam diatas yaitu untuk mengetahui apakah
faktor alokasi jam kerja, tingkat pendidikan, usia, Jumlah tanggungan usia balita, dan
Modal Kerja berpengaruh positif & signifikan terhadap pendapatan tenaga kerja
wanita di sektor Informal di Kota Makassar.
1.3.2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai bahan Informasi atau gambaran mengenai faktor yang berpengaruh
terhadap pendapatan wanita disektor informal Kota Makassar.
b. Dapat menjadi referensi atau kajian bagi pihak pemerintah dan masyarakat
dalam upaya peningkatan pendapatan tenaga kerja wanita dalam berbagai
aktivitas ekonomi berdasarkan faktor yang mempengaruhinya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teoritis
2.1.1 Sektor Informal Dalam Perspektif Teoritis
Dalam perekonomian suatu negara perkembangan populasi penduduk tidak
selalu berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja. Oleh karena itu sektor
informal merupakan salah satu alternatif kesempatan kerja yang mampu menyangga
kelebihan tenaga kerja yang tidak terserap oleh sektor formal yang persyaratannya
lebih ketat dan kompetitif. Seperti pandangan teoritis yang membahas menyangkut
sektor informal menurut Karl Marx dalam Nurjannah (2006), mengasumsikan bahwa
pertumbuhan tenaga kerja di sektor industri lebih lambat daripada kecepatan
akumulasi kapital, bahakan adanya penggunaan teknologi modern pada industri-
industri menyebabkan terjadinya penekanan jumlah tenaga kerja dan tingkat upah
buruh. Kenyataan ini mengakibatkan pertumbuhan industri-industri dikota-kota tidak
diikuti oleh pertumbuhan jumlah kebutuhan tenaga kerja disektor industri. Model
pembangunan kapitalis marx menjelaskan sebagai berikut:
Sebagaimana tampak pada gambar 1 pada periode awasl (0) kurva permintaan
tenaga kerja pada sektor kapitalis modern terletak pada garis D0D0 yang sama dengan
kapaital (K0). Keseimbanga awal terjadi pada titik A dengan tenaga kerja 0L0 pada
upah rata-rata 0W. Menurut asumsi Marx jumlah pekerja yang mencari pekerjaan
dalam sektor industri modern sama dengan WR0 yang lebih lebar dari 0L0. Dari
9
gambar tersebut terlihat bahwa jumlah tenaga kerja yang dapat dipekerjakan di sektor
industri modern hanya sebesar WA, sehingga masih tersisa sejumlah tenaga kerja
yang mencari pekerjaan sebesar AR0 . Tenaga kerja yang tidak mendapatkan
pekerjaan disektor industri modern ini (AR0 ), akan mempertahankan keberadaanya
atau dapat menjaga subsistennya pada aktifitas informal kota.
(W)D1
S0 S1
D0
A B R0 R1
W
D0(K0) D1(K1) (L)
0 L0 L1
Sumber: Nurjannah (2006)
Gambar 1. Model Pembangunan Ekonomi Kapitalis
Marx
Karena para pemilik modal (kapitalis) cenderung
mengivestasikan keuntunga yang diperolehnya dalam teknologi,
yang mengakibatkan peningkatan permintaan jumlah tenaga kerja
menjadi lebih lambat (dari 0L0 ke 0L0), sedangkan pertumbuhan
output meningkat tajam di daerah AD0 0L0 ke BD1 0L1, yang
menyebabkan terjadinya kelebihan penawaran tenaga kerja BR1
Kelebihan permintaan tenaga kerja di sektor industri modern tidak
10
akan pernah terjadi, karena kurva horizontal pada industri model
kapitalis, yang menyebabkan peningkatan jumlah pencari kerja di
sektor industri, yang tidak mendapatkan pekerjaan akan memasuki
sektor informal ini merupakan “ Industrial reserve army” sebagai
mana dikemukakan Marx.
Sedangkan pengertian sektor informal menurut Hart
(Manning dan Effendi, 1996), memiliki ciri ciri mudah keluar
masuk pekerjaan, mengusahakan bahan baku lokal tanpa
berdasarkan hukum formal, unit usaha merupakan keluarga,
jangkauan operasionalnya sempit, kegiatannya bersifat padat karya
dengan menggunakan teknologi yang masih sederhana
(tradisional), pekerja yang terlibat di dalamnya memiliki tingkat
pendidikan formal yang rendah serta keahlian yang kurang
memadai, kondisi pasar sangat bersaing karena menyangkut
hubungan antara penjual dan pembeli yang bersifat personal dan
keadaanya tidak teratur. Prakarsa dari Hart ini kemudian diteruskan
oleh ILO (International Labour Organization) dalam berbagai
studinya di negara-negara sedang berkembang (Sjahrir, 1985:
77).
Untuk memberikan gambaran pengertian sektor informal di
Indonesia, Hidayat (Effendi. 1998: 5) mengemukakan ciri-cirinya
sebagai berikut. Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik,
11
karena unit usaha yang timbul tidak menggunakan fasilitas atau
kelembagaan yang tersedia di sektor formal. Pada umumnya, unit
usaha tidak mempunyai izin usaha. Pola kegiatan usaha tidak
teratur, baik dalam arti lokasi maupun jam kerja. Pada umumnya,
kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi
lemah tidak sampai ke sektor ini. Unit usaha mudah keluar masuk
dari satu sub sektor ke lain sub sektor. Teknologi yang
dipergunakan bersifat tradisional. Modal dan perputaran usaha
relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil. Tidak
diperlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan
diperoleh dari pengalaman sambil bekerja. Pada umumnya, usaha
termasuk golongan yang mengerjakan sendiri usahanya dan kalau
mengerjakan buruh berasal dari keluarga. Sumber dana modal
usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari
lembaga keuangan yang tidak resmi. Hasil produksi atau jasa
terutama dikonsumsi kota atau desa yang berpenghasilan rendah,
tetapi kadang-kadang juga berpenghasilan menengah.
Selanjutnya menurut Krissantono kelahiran sektor informal dinilai
karena adanya dualisme dalam pembangunan ekonomi yang diterapkan zaman
colonial. Ciri ekonomi kolonial adalah adanya dualisme antara kota (yang maju dan
tempat lokasi industri barang konsumsi) dan desa (yang terbelakang dan tempat
dominasi tenaga kerja yang berlebihan), di daerah pedesaan juga terdapat dualisme
12
lain, yaitu antara ekonomi enklave (lokasi perkebunan dan usaha pertambangan
modern) dan ekonomi tradisional (lokasi peternakan, petani, nelayan, pengrajin dan
lain-lain)
Sukar untuk dirumuskan secara tegas batas-batasan sektor informal karena
luasnya spektrum dan kompleksitas sektor ini walaupun dengan mudah orang
menggolongkan mereka bekerja sebagai pedagang kecil, termasuk kategori bekerja di
sektor informal, sehingga proses pemberian batasan tampaknya harus ditempuh secara
terbalik. Dari data empiris yang ada diturunkan karakteristik umumnya untuk
kemudian digunakan sebagai apa yang dimaksud dengan sektor informal ini.
13
Tabel 2. Perbandingan Karakteristik Sektor Formal dan Sektor Informal
Sumber: Tambunan, 1999
14
Karakteristik Sektor Formal Sektor Informal
Modal Relatif mudah Sukar diperoleh
Teknologi Padat modal Padat karya
Kredit Lembaga resmi Lembaga tidak resmi
Sertifikat Buruh Sangat berperan Tidak berperan
Bantuan
Pemerintah
Penting untuk
kelangsungan usaha
Tidak ada
Hubungan dengan
Desa
One-way Trafic untuk
kepentingan sektor
Saling menguntungkan
Sifat Wiraswasta Sangat tergantung dari
perlindungan pemerintah
Berdikari
Penyediaan Barang Jumlah besar kualitas baik Jumlah dan kualitas
berbeda
Hubungan Kerja
dengan Majikan
Berdasar kontrak Berdasar kepercayaan
Beberapa kekuatan yang dimiliki sektor informal adalah sebagai berikut:
(Tambunan, 1999)
a. Padat Karya, dibanding sektor formal, khususnya usaha skala besar, sektor
informal yang pada umumnya dalah usaha kecil bersifat padat karya. Sementara
itu persediaan tenaga kerja di Indonesia sangat banyak, sehingga upahnya
relative lebih murah jika dibandingkan di negara-negara lain dengan jumlah
penduduk yang kurang dari Indonesia. Dengan asumsi faktor-faktor lain yang
mendukung (seperti kualitas produk yang dibuat baik dan tingkat efisiensi usaha
serta produktivitas pekerja tinggi), maka upah murah merupakan salah satu
keunggulan komparatif yang dimiliki usaha kecil di Indonesia.
b. Daya Tahan, selama krisis terbukti sektor informal tidak hanya dapat
bertahan, bahkan berkembang pesat. Hal ini disebabkan faktor permintaan
(pasar output) dan faktor penwaran. Dari sisi permintaan, akibat krisis ekonomi
pendapatan riil rata-rata masyarakat menurun drastis dan terjadi pergeseran
permintaan masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau impor (harganya
relatif murah) ke barang-barang sederhana buatan sektor informal (harganya
relative murah).
c.Keahlian Khusus (Tradisional), bila dilihat dari jenis-jenis produk yang dibuat
di industri kecil dan industri rumah tangga di Indonesia, dapat dikatakan bahwa
produk-produk yang mereka buat umumnya sederhana dan tidak terlalu
membutuhkan pendidikan formal, tetapi membutuhkan keahlian khusus
(traditional skill). Di sinilah keunggulan lain sektor informal, yang selama ini
15
terbukti dapat membuat mereka bertahan walaupun persaingan dari sektor
formal, termasuk impor sangat tinggi. Keahlian khusus tersebut biasanya
dimiliki pekerja atau pengusaha secara turun temurun, dari generasi ke generasi.
d. Permodalan, kebanyakan pengusaha di sektor informal menggantungkan diri
pada uang (tabungan) sendiri, atau dana pinjaman dari sumber-sumber informal
(di luar sektor perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan investasi
mereka. Walaupun banyak juga pengusaha-pengusaha kecil yang memiliki
fasilitas-fasilitas kredit khusus dari pemerintah. Selain itu, investasi di sektor
informal rata-rata jauh lebih rendah daripada investasi yang dibutuhkan sektor
formal. Tentu, besarnya investasi bervariasi menurut jenis kegiatan dan skala
usaha.
Selain faktor-faktor kekuatan tersebut di atas, masa depan perkembangan
sektor informal di Indonesia juga sangat ditentukan kemampuan sektor tersebut,
dibantu maupun dengan kekuatan sendiri, menanggulangi berbagai permasalahan
yang mereka hadapi sehari-hari. Dengan kata lain, mampu tidaknya sektor informal
bersaing dengan sektor formal atau barang-barang impor, juga tergantung pada
seberapa serius dan sifat serta bentuk dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki sektor
informal. Kelemahan sektor informal tercermin pada kendala-kendala yang dihadapi
sektor tersebut, yang sering sekali menjadi hambatan-hambatan serius bagi
pertumbuhan dan perkembangannya.
Kendala-kendala yang banyak dialami pengusaha-pengusaha di sektor informal
terutama adalah keterbatasan modal, khususnya modal kerja. Kendala lain adalah
16
kesulitan pemasaran dan penyediaan bahan-bahan baku, keterbatasan sumber daya
manusia, pengetahuan minim mengenai bisnis, dan kurang penguasaan teknologi.
Sebagian besar industri kecil, terlebih industri rumah tangga di Indonesia adalah
sektor informal. Masalah paling besar yang dialami mereka adalah keterbatasan
modal dan pemasaran. Masalah lainnya adalah pengadaan bahan baku (misalnya
tempat beli terlalu jauh, harga mahal, dan tidak selalu tersedia), kurang keahlian
dalam jenis-jenis teknik produksi tertentu (misalnya tenaga ahli/perancang sulit dicari
atau mahal), dan kurang keahlian dalam pengelolaan. Yang juga jadi persoalan adalah
mereka menghadapi persaingan yang tajam dan kemampuan mereka berkomunikasi
sangat rendah, termasuk akses mereka ke fasilitas-fasilitas untuk berkomunikasi
sangat terbatas. Dalam hal persaingan, industri kecil dan industri rumah tangga
menghadapi mendapat persaingan sangat ketat, baik dari industri menengah dan besar
(IMB) maupun dari barang-barang impor. Persaingan itu tidak saja dalam hal kualitas
dan harga, tetapi juga dalam pelayanan-pelayanan setelah penjualan dan penampilan
produk. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, mulai dari keterbatasan dana, skills,
hingga kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas baik, membuat banyak
industri kecil dan indurstri rumah tangga di Indonesia kesulitan meningkatkan kualitas
produk mereka agar mampu bersaing di pasar domestik dan ekspor. Apalagi ketika
mereka harus menangani masalah-masalah tersebut sendirian.
2.1.2Teori Pekerja Wanita Dalam Perspektif Gender
Sumberdaya Manusia atau Human Resources mengandung dua pengertian :
pertama, SDM mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan
17
dalam proses produksi, kedua SDM menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk
memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan
kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis, yaitu bahwa kegiatan tersebut
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
(Simanjuntak, 1985).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) yang disebut Tenaga Kerja
(Manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih)
yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa Dari dua pengertian diatas dapat
disederhanakan bahwa tenaga kerja adalah Sumberdaya Manusia yang mampu
bekerja dan mempunyai nilai ekonomis yaitu memproduksi baran dan jasa, termasuk
didalamnya wanita yang juga merupakan tenaga produktif.
Penyediaan kesempatan kerja bagi wanita menjadi begitu penting
keberadaannya. Hal tersebut menjadi beralasan karena wanita khususnya dari
keluarga miskin merupakan tenaga yang potensial bagi kesejahteraan
keluarganyabahkan acap kali memberikan sumbangan yang besar bagi kelangsungan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Kartasasmita, 1996)
Sejalan dengan itu, Mosse (2007) mengemukaan bahwa saat ini perempuan bekerja
di pabrik, bekerja keluar negeri sebagai pembantu rumah tangga dan bekerja apa saja
yang dapat mendatangkan penghasilan untuk mengurangi beban ekonomi keluarga
akibat meningkatnya kebutuhan sejalan dengan merasuknya ekonomi uang.
18
Dalam pembahasan menyangkut wanita tentunya berdasarkan pada pembagian
berbasis gender, dimana oleh Dian Novita (2010) pengertian gender adalah
pembedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan hasil konstruksi sosial
budaya. Adapun basis perbedaan laki-laki dan perempuan diluar konstruk sosial
budaya atau biasa disebut dengan perbedaan berbasis seks atau ciri biologis yang
bersifat alamiah. Untuk mempermudah identifikasi perbedaan tersebut dapat dilihat
pada table berikut.
Tabel 3. Perbedaan Gender dan Seks
GENDER SEKS
Dibentuk Sosial Biologis dan Natural
Mempunyai fungsi publik Mempunyai fungsi personal
Tidak berlaku universal Bersifat Universal
Bentuknya berbeda dalam setiap
perkembangan masyarakat
Sama dalam setiap
perkembangan masyarakat
Sumber: Outline sekolah feminis Perempuan Mahardika 2010
Untuk memberi penjelasan yang lebih tentang sejarah perbedaan peran
perempuan dan laki-laki Lewis H. Morgan dalam bukunya Ancient Society yang
diterbitkan pada tahun 1877 menyatakan “fakta bahwa institusi pokok dalam
masyarakat beradab yaitu keluarga, kepemilikan pribadi, dan Negara terbukti tidak
pernah eksis di dalam kehidupan pra-sejarah”.
19
Berikutnya Menyempurnakan apa yang ditulis Morgan tersebut, Frederick
Engels dalam “The Origin of the Family, Private Property and State” yang terbit pada
tahun 1884, memberi tekanan terhadap banyaknya data yang sudah dikumpulkan para
arkeolog dan para antropolog yang “membenarkan ide bahwa komunitas manusia
pada awalnya tidak terbagi-bagi kedalam kelas-kelas sosial dan secara gender
egalitarian”.
Selanjutnya didalam bukunya Engels menegaskan bahwa eksploitasi kelas dan
penindasan seksual atas perempuan lahir bersamaan dengan tujuan melayani sistem
kepemilikan pribadi dan itu berlaku sampai kini”. Sejalan dengan konsep piramida
sosial dimana modus produksi (basic stucture) yaitu cara masyarakat mengorganisir
dirinya dalam memproduksi, distribusi, dan reprodiksi guna memenuhi kebutuhannya,
sangat menentukan corak dan sistem sosial (super structure).
Gambar 2. Konsep piramida sosial Frederick Engels
Sistem Sosial(Super strukture)
Modus Produksi( Basic Sturture)
Menurut Frederick Engels, pengaruh modus produksi dalam setiap fase
masyarakat ditentukan oleh kepemilikan pribadi alat atas produksi dan alokasi nilai
lebih yang dihasilkan dimana Engels membagi fase perkembangan sosial-ekonomi
20
masyarakat menjadi empat bagian menurut corak produksinya, salah satunya yaitu
Komunal primitif yang bercorak produksi berburuh beralih menjadi pemeliharaan/
peternakan dan bercocok tanam dengan ciri hidup berkomune atau berkelompok,
sistem produksi bersifat koletif serta perkembangan alat kerjanya yang sangat
sederhana (paleolitikum, neolitikum) hingga di temukannya logam.
Pada fase komunal primitif ini, terbagi dua tahap berdasarkan mobilisasi
tempat tinggalnya yaitu Nomaden (berpindah-pindah) dan menetap. Pembagian
tersebut dilatar belakangi karena keterbatasan alat kerja yang masih sangat sederhana
dalam upaya menaklukan alam dan pemenuhan kebutuhan hidup. Pada tahap
menetap, perempuan muncul sebagai manusia yang sangat berpengaruh dalam sektor
produksi cocok tanam hingga terjadi pembangian kerja antara laki-laki dan
perempuan, dimana perempuan dikonsentrasikan pada sektor reproduksi untuk
melahirkan tenaga kerja yang lebih banyak dikarena alat kerja yang sederhana
sehingga dibutuhkan tenaga kerja yang lebih guna extensifikasi atau membuka lahan
baru sebagai sasaran kerja corak produksi holtikultura. Hal ini berlangsung hingga
ditemukannya logam.
Revolusi alat kerja menjadi faktor yang berpengaruh atas munculnya
kepemilikan pribadi. Ditemukannya logam kemudian menciptakan bajak yang
merupakan alat kerja pada corak produksi bercocok tanam (holtikultura) pada fase
tersebut, menjadikan hubungan produksi yang sebelumnya koletif menjadi individual
dimana setiap orang dapat menghasilkan kebutuhannya sendiri bahakan meghasilkan
nilai lebih. Dengan lahirnya kepemilikan pribadi secara otomatis posisi perempuan
21
yang sebelumnya telah terkonsentrasi pada sektor reproduksi semakin terpinggirkan
dari sektor produksinya sehingga tidak memiliki Berginning Power dalam kekuasaan
dan pengambilan keputusan selayaknya laki-laki yang telah berada disektor produksi
sebelumnya. Hal ini dipertajamkan sebagai pembagian peran sosial (bukan sebatas
pembagian kerja) di fase-fase masyarakat selanjutnya yaitu Perbudakan, Feodalisme
dan semakin kompleks pada fase Kapitalisme dimana banyak perempuan memikul
“beban ganda”.
Kemudian, Pat Weber dalam sebuah pamflet The Dispossession of Women,
yang diterbitka oleh Resistance Book pada tahun 2000, menambahkan bukti-bukti
baru menyangkut akar penyebab penyingkiran perempuan dari sistem produsi sosial
pertanian. Bahwa peningkatan produktivitas pertanian hasil revolusi alat kerja dengan
penemuan logam (yang menggunakan bajak) lebih besar dibandingkan peningkatan
produktivitas holtikultura (tidak menggunakan bajak) dan seiring dengan itu, terdapat
landasan material bahwa kaum laki-laki menurun minatnya dalam kegiatan (mata
pencaharian) berburuh. Ini merupakan fakta yang mengungkapkan bahwa memang
proses membajak merupakan kerja yang lebih individual dan lebih berat dibandingkan
dengan holtikultura, dan terdapat kesulitan untuk mengkombinasikannya dengan
kegiatan memelihara bayi yang merupakan hasil pembagian kerja bagi kaum
perempuan yang merupakan landasan bagi terciptanya status dan kekuasaan yang
sama antara kaum lai-laki dan perempuan dalam masyarakat sebelumnya.
Dari beberapa penjelasan diatas dapat tersirat bahwa perbedaan peran laki-laki
dan perempuan dari sejarahnya dinilai dikarenakan tersingkirnya perempuan dari rana
22
produksinya sebagai basis penentu kekuasaan dan kebijakan (basic structure) pada
sistem sosial seperti kebudayaan, pendidikan, termasuk didalamnya pembagian peran
perempuan dan laki-laki yang bersifat patriarki masih ada hingga kini.
Jika ditinjau dari sudut pandang ketenagakerjaan, perbedaan kerja menurut
gender didasarkan pada konsep maskulin dan feminin dimana terdapat pembagian
kerja antara sektor publik yang indentik dengan maskulinitas dan kerja domesti yang
indentik dengan feminin meskipun konsep tersebut tidak boleh dipandang secara
absolute atau paten karena aspek-aspek yang lain turut mewarnai pembagian gender
tersebut. Sebagai contoh pekerjaan yang dilekatkan dengan sifat feminin seperti koki,
perawat, designer pakaian, tukang jahit, dan lainnya yang dipandang sebagai
kelanjutan dari peran domestik perempuan, pada konteks kekinian pekerjaan-
pekerjaan tersebut telah banyak dilakukan oleh laki-laki di pasar kerja, bahkan tidak
jarang perempuan kurang trampil hingga adapun yang sama sekali tidak dapat
melaksanaakan pekerjaan tersebut. Kenyataan ini menyebabkan persaingan dalam
mendapatkan pekerjaan, perempuan tergeser dari pasar kerja diikuti melemahnya
peran. Meskipun konsep feminin masih banyak digunakan dalam menelaah peran
perempuan dalam pasar kerja, dalam kenyataannya tidak selamanya seperti apa yang
terkandung dalam konsep tersebut (Gailey, 1987 dalam Effendi, 1995).
Selanjutnya Effendi (1995) mengemukaan pula bahwa sebaliknya, pekerjaan-
pekerjaan yang dianggap maskulin tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang terjadi
dalam pasar kerja. Beberapa pekerjaan bercirikan maskulin, seperti politikus, pilot,
militer, buruh bangunan, dan lainnya telah banyak dilakukan oleh perempuan bahkan
23
dapat dengan sukses menjalankannya. Sulitnya membedakaan pekerjaan maskulin dan
feminin memunculkan pertanyaan apakah perubahan sosial dan budaya secara lambat
laun merubah pandangan feminin kearah maskulin atau sebaliknya. Tampak
kenyataannya tidak seperti itu, Peralihan sangat ditentukan oleh kondisi masyarakat
setempat. Berarti gender tidak bersifat universal. Ini mengarahkan pada suatu
kesimpulan bahwa jenis pekerjaan feminin atau maskulin tidak dibedakan menurut
jenis kelamin melainkan oleh konstruk sosial dalam perkembangan peradaban
manusia. Boleh jadi turut mewarnai perbedaan peran perempuan dan laki-laki-dalam
pasar kerja.
2.1.3 Perspektif Teori Tentang Pendapatan
Tujuan pokok dijalankannya suatu usaha perdagangan adalah untuk
memperoleh pendapatan, dimana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan hidup usaha perdagangannya.
Pendapatan yang diterima adalah dalam bentuk uang, dimana uang adalah merupakan
alat pembayaran atau alat pertukaran (Samuelson dan Nordhaus, 2003).
Selanjutnya, pendapatan juga dapat di definisikan sebagai jumlah seluruh uang
yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu
(biasanya satu tahun), pendapatan terdiri dari upah, atau penerimaan tenaga kerja,
pendapatan dari kekayaan seperti sewa, bunga dan deviden, serta pembayaran transfer
atau penerimaan dari pemerintah seperti tujangan sosial atau asuransi pengangguran
(Samuelson dan Nordhaus, 2003).
24
Dalam pengertian umum pendapatan adalah hasil hasil dari penjualan faktor-
faktor produksi yang dimilikinya kepada sektor produksi.
Sedangkan dalam Pedoman Akuntansi Indonesia dikatakan bahwa pendapatan
adalah peningkatan jumlah aktiva atau penurunan jumlah kewajiban suatu badan
usaha yang timbul dari pengaruh barang dan jasa atau aktivitas usaha lainnya dalam
suatu periode.
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 23 pendapatan
diartikan sebagai arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas
normal usaha selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan
ekuitas, yang tidak berasaPendapatan didefinisikan sebagai jumlah seluruh uang yang
diterima oleh seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu.
Pendapatan terdiri dari upah atau penerimaan tenaga kerja, pendapatan dari
kekayaan seperti sewa, bunga, deviden serta pembayaran transfer atau penerimaan
dari pemerintah seperti tunjangan sosial atau asuransi pengangguran (Samuelson dan
Nordhaus, 2003).
Menurut Kardasan (1995), pendapatan bersih adalah selisih antara
penerimaan total dengan pengeluaran total. Penerimaan tersebut bersumber dari hasil
pemasaran atau penjualan hasil usaha sedangkan pengeluaran merupakan biaya total
yang digunakan selama proses produksi. Pendapatan dapat diartikan dari dua
pendekatan, yaitu pendapatan menurut ilmu ekonomi diartikan sebagai nilai
25
maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seorang dalam satu periode seperti keadaan
semulal dari kontribusi penanam modal.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) pendapatan yang diterima
seseorang tidak hanya berupa uang tetapi dapat berupa barang atau lainnya.
Pendapatan berupa uang merupakan penghasilan yang diterima biasanya sebagai balas
jasa, sumber utama gaji atau upah serta lain-lain balas jasa, misalnya dari majikan,
pendapatan bersih dari usaha sendiri dan dari pekerjaan bebas. Pendapatan dari
penjualan barang yang dipelihara dari halaman rumah, hasil investasi seperti modal
tanah, uang pensiun, jaminan sosial serta keuntungan sosial berupa barang 25
merupakan segala penghasilan yang diterimakan dalam bentuk barang dan jasa.
Barang dan jasa yang diterima dengan harga pasar sekalipun tidak diimbangi ataupun
disertai transaksi uang yang menikmati barang dan jasa tersebut. Demikian juga
penerimaan barang secara cuma-cuma pembelian barang dengan harga subsidi atau
reduksi dari majikan merupakan pendapatan berupa barang.
Menurut Pass dan Lowes, (1994), berpendapat bahwa pendapatan adalah
uang yang diterima oleh seseorang dan perusahaan dalam bentuk gaji (salaries), upah
(wage), sewa (rent), bunga (interest), dan laba (profit) serta sebagainya bersama-sama
dengan tunjangan pengangguran, uang pensiun.
Pendapatan dibagi menjadi dua yaitu yaitu pendapatan kotor dan pendapatan
bersih. Pendapatan kotor adalah hasil penjualan barang dagangan atau jumlah omset
penjualan. Pendapatan bersih adalah penerimaan hasil penjualan dikurangi pembelian
bahan, biaya transportasi, retribusi dan biaya makanan atau pendapatan total di mana
26
total dari penerimaan (revenue) dikurangi total biaya (cost). Besarnya pendapatan
kotor ini berpengaruh langsung dengan pendapatan bersih per hari (Anwar, 2011).
Upah dan gaji yang biasa disebut dalam istilah asing wages and salaries
merupakan pendapatan yang diperoleh rumah tangga keluarga sebagai imbalan
terhadap penggunaan jasa sumber tenaga kerja yang mereka gunakan dalam
pembentukan produk nasional (Soediyono, 1984).
Pendapatan adalah sama dengan pengeluaran. Pendapatan yang dicapai oleh
jangka waktu tertentu senantiasa sama dengan pengeluaran jangka waktu tersebut.
Pendapatan senantiasa harus sama dengan pengeluaran karena kedua istilah ini
menunjukan hal yang sama hanya dipandang dari sudut pandang lain (Winardi,
1975).
Dalam analisis mikroekonomi, istilah pendapatan khususnya dipakai berkenan
dengan aliran penghasilan dalam suatu periode waktu yang berasal dari penyediaan
faktor-faktor produksi (sumber daya alam, tenaga kerja dan modal) masing masing
dalam bentuk sewa, upah dan bunga maupun laba, secara berurutan. Dalam analisis
ekonomi makro, istilah pendapatan nasional (national income) dipakai berkenaan
dengan pendapatan agregat suatu Negara dari sewa, upah, bunga dan pembayaran,
tidak termasuk biaya transfer (tunjangan pengangguran, pension dan lain sebagainya).
Pendapatan atau juga disebut juga income dari seorang warga masyarakat
adalah hasil “penjualan”nya dari faktor-faktor produksi yang dimilikinya pada sektor
produksi. Dan sektor produksi ini”membeli” faktor-faktor produksi tersebut untuk
digunakan sebagai input proses produksi dengan harga yang berlaku dipasar faktor
27
produksi. Harga faktor produksi dipasar faktor produksi ( seperti halnya juga untuk
barang-barang dipasar barang ) ditentukan oleh tarik menarik, antara penawaran dan
permintaan.
Berkenan dengan pendapatan yang diperkenalkan oleh Fisher dan Hicks.
Fisher menegaskan bahwa pendapatan adalah sebagian dari serangkaian kejadian
yang berkaitan dengan beberapa tahap yang berbeda yaitu: 1) Kenikmatan pendapatan
psikis, 2) Pendapatan riil dan 3) Pendapatan uang.
Pendapatan psikis adalah barang dan jasa yang sungguh-sungguh dikonsumsi
oleh orang yang menciptakan kesenangan psikis dan kepuasan kebutuhan. Pendapatan
psikis merupakan konsep psikologis yag tidak dapat diukur secara langsung namun
dapat ditaksir oleh pendapatan riil. Sedangkan pendapatan riil adalah ekspansi
kejadian yang menimbulkan kenikmatan psikis. Pendapatan ini diukur dengan biaya
hidup. Dengan kata lain kepuasan yang diciptakan oleh kenikmatan psikis dari
keuntungan yang diukur dengan pengeluaran uang yang dilakukan oleh perolehan
barang dan jasa sebelum dan sesudah konsumsi. Jadi pendapatan psikis, pendapatan
riil dan biaya hidup merupakan tiga tahap yang berbeda bagi pendapatan. Akhirnya
pendapatan uang menunjukkan seluruh uang yang diterima dan dimaksudkan akan
dipergunakan untuk konsumsi biaya hidup. Sementara pendapatan psikis lebih
mendasar dan pendapatan uang sering disebut dengan pendapatan.
28
Secara garis besar pendapatan digolongkan menjadi tiga golongan yaitu:
a. Gaji dan Upah
Imbalan yang diperoleh setelah orang tersebut melakukan pekerjaan untuk
orang lain yang diberikan dalam waktu satu hari, satu minggu atau satu bulan.
b. Pendapatan dari Usaha Sendiri
c. Merupakan nilai total dari hasil produksi yang dikurang dengan biaya-biaya
yang dibayar dan usaha ini merupakan usaha milik sendiri atau keluarga
sendiri, nilai sewa capital milik sendiri dan semua biaya ini biasanya tidak
diperhitungkan.
d. Pendapatan dari Usaha Lain
Pendapatan yang diperoleh tanpa mencurahkan tenaga kerja dan ini
merupakan pendapatan sampingan antara lain: pendapatan dari hasil
menyewakan asset yang dimiliki, bunga dari uang, sumbangan dari pihak lain,
pendapatan pensiun, dan lain-lain.
2.1.4 Kaitan Jam Kerja dan Pendapatan
Sumber daya waktu merupakan sumberdaya yang unik, selain tidak dapat
dikategorikan sebagai sumberdaya manusia atau non-manusia, juga tidak dapat
ditambah, dikurangi, diakumulasi atau disimpan. Dalam hidup manusia waktu
digunakan untuk berkegiatan atau beraktifitas, untuk menyederhanakannya, kegiatan
manusia tersebut dibagi menjadi dua kegiatan yaitu bekerja dengan mendapatkan
upah (Job), dan bekerja yang tidak mendapatkan upah (Work). Tetapi bekerja yang
29
tidak mendapatkan upah biasanya termasuk dalam kategori menganggur ( Leisure)
karena tidak mempunyai nilai atau imbalan ekonomis.
Dalam kurva penawaraan tenaga kerja (Labour supply curve),
memperlihatkan kuantitas tenaga kerja yang ditawarkan pada tingkat upah
( Pendapatan) yang berbeda-beda,Bentuk kurva penawaran tenaga kerja tergantung
pada bagaimana individu bereaksi terhadap perubahan tingkat upah. Jika dilihat dari
kenaikan upah akan membuat individu merasa diuntungkan dengan jumlah jam kerja
dan tenaga kerja yang sama akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan
mampu membeli banyak barang dan jasa. Jika waktu luang adalah barang normal
( permintaan meningkat ketika pendapatan meningkat) maka kenaikan pendapatan
akan mengakibatkan permintaan atas waktu luang lebih tinggi dan penawaran tenaga
kerja yang lebih rendah, ini adalah efek pendapatan dari kenaikan upah.
Akan tetapi, adapun potensi dari efek subtitusi kenaikan upah, tingkat upah
yang lebih tinggi berarti waktu luang lebih mahal, jika tingkat upah dianggap sebagai
harga waktu luang, setiap waktu luang yang dikonsumsi pada tingkat upah yang lebih
tinggi mempunyai biaya yang lebih besar bila diukurdalam upah yang dikorbankan.
Akibtanya, kita akan mengharapkan individu mengganti waktu lain dengan barang
lain. Ini berarti bekerja lebih sering atau kuantitas waktu luang yang diminta lebih
rendah serta kuantitas tenaga kerja yang ditawarkan lebih tinggi.
30
Tingkat Upah Tingkat Upah
Tenaga kerja Tenaga kerja
(a) (b) Efek subtitusi mendominasi Efek pendapatan mendominasi
Gambar 3. Kurva penawaran tenaga kerja
Efek subtitusi dari kenaikan upah menyiratkan membeli sedikit waktu luang
dan bekerja lebih sering, sedang efek pendapatan kenaikan upah menyiratkan
pembelian banyak waktu luang dan bekerja lebih jarang. Jika efek pendapatan lebih
besar dari efek subtitusi kenaikan upah, mengakibatkan konsumsi waktu luang
bertambah & penawaraan tenaga kerja menurun (gambar (b)), sebaliknya jika
efeksubtitusi lebih besar dari pendapatan, kenaikan upah akan meningkatkan
penawaran tenaga kerja (gambar (a)).
Banyak faktor yang mempengaruhi kemungkinan tenaga kerja informal untuk
memperoleh pendapatan yang lebih baik seperti Perbedaan lokasi usaha, lapangan
usaha, jumlah jam kerja dan jumlah modal. Dari faktor- faktor tersebut yang
memberikan pengaruh paling besar terhadap pendapatan tenaga kerja informal adalah
jumlah jam kerja. ( Sastra, 2007).
Defenisi jam kerja yang dikemukakan Sajogyo (1983) diartikan sebagai waktu
yang dipakai untuk kegiatan-kegiatan rumah tangga padat sekali. Bagi kebanyakan
31
rumah tangga terutama golongan tidak mampu, pekerjaan ini sangat memakan waktu
dan tenaga karena fasilitas teknologi rumah tangga yang kurang.
Rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluargabukan usia kerja yang
semakin banyak cenderung akan mengurangi kesempatan istri mencari nafkah. Hal ini
disebabkan ibu rumah tangga harus semakin banyak memberi perhatian dalam
memelihara atau menjaga anak.
Jika dilihat dari perspektif gender dalam konteks masyarakat yang cenderung
patriarki, waktu luang yang dimiliki wanita lebih sedikit disbanding dengan laki-laki,
ini sejalan denga hasil penelitian Sajogyo (1983) di dua desa di Jawa Barat
memperlihatkan bahwa untuk pekerjaan rumah tangga, wanita menghabiskan waktu
sekitar 5-6 jam dan mencari nafkah rata-rata 2-4 jam sehari.
2.1.5 Kaitan Tingkat Pendidikan dan Pendapatan
Pendidikan adalah salah satu modal potensial yang dimiliki oleh manusia,
dimana pendidikan itu akan eksis ketika diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata
termasuk dalam bekerja. Liebert & Neake (1977) berpendapat bahwa tingkat
pendidikan mempengaruhi pemilihan pekerjaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka keinginan untuk melakukan pekerjaan dengan tingkat tantangan yang
tinggi semakin kuat. Harapan-harapan dan ide kreatif akan dituangkan dalam usaha
penyelesaian tugas yang sempurna. Ide kreatif merupakan symbol aktualisasi diri dan
membedakan dirinya dengan orang lain dalam penyelesaian tugas serta kualitas hasil.
32
Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki
pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur
pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada
tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu
ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison
dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya
tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia
yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya
waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang
pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka
semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas
dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi.
Pekerja di sektor informal pada umumnya mempunyai pendidikan yang relatif
rendah dibandingkan pekerja di sektor formal, mengingat ketatnya persyaratan
memasuki sektor formal, sehingga tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dominan
terserap pada sektor formal.
2.1.6 Kaitan Usia dan Pendapatan
Terdapat kesamaan persepsi tentang usia pekerja baik sektor formal maupun
informal. Secara fisik, kemampuan bekerja diukur dengan usia. Tujuan dari pemilihan
batasan umur tersebut adalah supaya definisi yang diberikan adalah sedapat mungkin
mengambarkan kenyataan yang sebenarnya (Simanjuntak, 1985). Hal ini sesuai
dengan pengertian Tenaga Kerja menurut Badan Pusat Statistik (BPS,2009) adalah
33
seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat
memproduksi barang dan jasa.
Pendapat bahwa para pekerja muda pada umunya mempunyai tingkat harapan
dan ambisi yang tinggi juga dikemukakan oleh Gellerman (1987) dimana para
pekerja yang berusia muda lebih mempunyai tantangan dalam pekerjaan dan menjadi
bosan dengan tugas-tugas rutin. Mereka tidak puas dengan kedudukan yang kurang
berarti. Hal ini juga terjadi pada pekerja usua menengah, status menjadi sesuatu yang
penting., sebaliknya, diusia lanjut, kompetisi biasa dielakkan karena menurunya
stamina.
Melihat perspektif usia pekerja wanita, Wambraw (2007) mengemukaan
bahwa dari sisi kelompok umur, diketahui bahwa tingkat partisipasi penduduk wanita
meningkat seiring dengan perkembangan umur. Namun demikian pada umur tertentu
tingkat partisipasinya mencapai titik optimal kemudian menurun hingga titik terendah,
terutama pada kelompok umur yang tergolong kurang lebih enam puluh tahun keatas.
Dari beberapa pengertian dan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa usia
sangat mempengaruhi stamina dan produktifitas tenaga kerja dalam melakukan
aktifitasnya (dalam hal ini bekerja yang memperoleh upah atau pendapatan).
2.1.7 Kaitan Jumlah Tanggungan Usia Balita dan Pendapatan
Ciri khusus yang dimiliki pekerja wanita dalam system yang bersifat patriarkal
adalah masih melekatnya area domestik rumah tangga pada pembagian dan peran
kerjanya, oleh karena itu kehadiran dan pertumbuhan anak dalam suatu keluarga juga
34
dilekatkan pada peran kerja ibunya yang cenderung mengurangi semangat partisipasi
angkatan kerja di kalangan wanita bersuami. Kehadiran anak dalam rumah tangga
yang menciptakan suatu permintaan bagi semacam produksi rumah tangga yang
dikenal sebagai perawatan anak. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa perwatan anak
merupakan suatu kegiatan produksi yang intensif. Walaupun demikian terdapat
barang-barang yang di hasilkan pasar serta pelayanan, seperti pusat penitipan anak-
anak, tempat perawatan anak-anak, dan pembatu rumah tangga sebagai penggati
waktu seorang ibu dalam produksi perawatan anak, sehingga subtitusi semacam itu
melepaskan waktu bersama anak-anak dalam rumah tangga yang juga cenderung
mengurangi partisipasi kerja wanita yang telah menikah (Rachmiar, 2002).
2.1.8 Kaitan Modal Kerja dan Pendapatan
Salah satu faktor produksi yang tidak kalah pentingnya adalah modal, sebab
didalam suatu usaha masalah modal mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan
berhasil tidaknya suatu usaha yang telah didirikan. Modal dapat dibagi sebagai berikut :
1. Modal Tetap :
Adalah modal yang memberikan jasa untuk proses produksi dalam jangka waktu
yang relatif lama dan tidak terpengaruh oleh besar kecilnya jumlah produksi.
2. Modal Lancar :
Adalah modal memberikan jasa hanya sekali dalam proses produksi, bisa dalam
bentuk bahan-bahan baku dan kebutuhan lain sebagai penunjang usaha tersebut
35
Dapat dikemukakan pengertian secara klasik, dimana modal mengandung
pengertian sebagai “hasil produksi yang digunakan untuk memproduksi lebih lanjut”.
Beberapa pengertian modal dibawah ini akan memberikan pengertian yang lebih baik,
antara lain pendapat Schwiedland memberikan pengertian modal dalam artian yang lebih
luas, yaitu modal meliputi baik modal dalam bentuk uang (Geldkapital), maupun dalam
bentuk barang atau (Sachkapital), misalnya mesin barang-barang dagangan dan lain
sebagainya. (Kuncoro, 1994)
Modal adalah semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan langsung maupun
tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah output. (Irawan dan M.
Suparmoko;1986:93). Dalam pengertian ekonomi, modal yaitu barang atau uang yang
bersama-sama faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang-barang
dan jasa-jasa baru.
Menurut Suparmoko, modal merupakan input (faktor produksi) yang sangat
penting dalam menentukan tinggi rendahnya pendapatan. Tetapi bukan berarti merupakan
faktor satu-satunya yang dapat meningkatkan pendapatan.
Sedangkan menurut Karl Marx dalam Pengantar Ekonomi Politik (2011)
modal adalah faktor produksi yang digunakan untuk memperoleh comoditi yang berupa
sarana kerja (alat kerja dan sasaran kerja) serta tenaga kerja yang akan melakukan proses
produksi kemudian menghasilkan nilai lebih dari dirinya (modal) sendiri, dimana modal
sangat menentukan besaran comoditi yang diperoleh yang turut menentukan output hasil
proses produksi dan tiap nilai lebihnya.
36
2.2 Tinjauan empiris
Sejalan dengan kesimpulan dari Survey ketenagakerjaan yang dilakukan oleh
Gavin Jones dan Bondan Supratilah pada tahun 1975 di Palembang dan Ujung
Pandang bahwa masalah ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian bukan
kesempatan kerja semata, melainkan kesempatan kerja yang sekurang-kurangnya
dapat memberikan suatu standar hidup minimum yang memadai, didalamnya
termasuk sektor informal. (Sastra, dian 2007)
Dian Sastra (2007) dalam Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pendapatan tenaga kerja informal di atas minimum propoinsi di Sumatra Barat,
menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja informal mempunyai pendapatan di
bawah Upah Minimum Propinsi. Ini berarti kesejahteraan mayoritas tenaga kerja
informal masih rendah dan rata-rata berada dibawah kesejahteraan tenaga kerja
formal.
Selanjutnya Dewi Lengkana (2007) memperoleh bahwa wanita yang
berfungsi sebagai ibu rumah tangga di Pulau Sebesi , walaupun memiliki keterbatasan
dalam tingkat pendidikannya , telah berperan dalam menyumbangkan tenaganya
terhadap pendapatan rumah tangga dengan menggunakan sumber daya yang ada di
lingkungannya, namun dalam porsi yang minimal.
Sedangkan, Dyah Ajeng Ratri (2005) Ditinjau dari tingkat pendapatannya,
wanita di Desa Mojopuro Kecamatan Sumberlawang Kabupaten Sragen mempunyai
tingkat pendapatan yang termasuk dalam kriteria rendah, karena sebagian besar (85
37
responden atau 85%) mempunyai pendapatan perkapita dibawah upah minimum di
Kabupaten Sragen. Hal ini disebabkan karena hanya sebagian kecil (7 responden atau
7%) suami responden yang mempunyai pekerjaan sampingan, sebagian besar
responden (37%) tidak bekerja.
Selanjutnya, Donny Putra Brahmana (2008) Dalam Hasil Penelitiannya
menjelaskan Pendapatan Aron (sektor Informal) Wanita Lebih rendah dari Upah
Mnimnimum Regional Kabupaten Karo, Kontribusi pendapatan Aron wanita bagi
pendapatan keluarga cukup tinggi, Serta persepsi wanita terhadap pekerjaan Aron di
desa penelitian cukup diminati karena dapat menambah pendapatan keluarga,
membiayai sekolah anak, tidak menuntut persyaratan, mudah dimasuki, tanpa
keterampilan khusus, tidak mengikat, dapat membiayai sewa rumah, air listrik dan lai-
lain.
Sedangkan hasil penelitian Hugeng (2011) Menjelaskan alokasi waktu
perempuan bekerja pada kegiatan usaha tani sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah ada atau tidaknya tanggungan anak Balita dalam
keluarga. Alokasi waktu kerja di lahan usaha bagi transmigran yang mempunyai anak
Balita lebih sedikit jika disbanding yang tidak punya anak Balita, karena waktunya
lebih banyak digunakan untukmengurus anak Balita. Kaum perempuan di Kimtrans
selain mengurus kebutuhankeluarga, seperti pekerjaan di dapur dan mengurus anak-
anak, juga membantubekerja di lahan pekarangan dan lahan
usaha. Sisanya digunakan untuk kegiatan reproduktif dan sosial. Dengan demikian
38
perempuan (isteri transmigran)mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah
tangga dan bekerja membantu suami di lahan atau sebagai buruh upahan di
perkebunan di sekitar Kimtrans.lebih lanjut dijelaskan bahwa umumnya wanita di
Kimtrans Sei Rambutan SP 2 yang tidak bekerja di perkebunan kelapa sawit karena
dalam keluarga masih ada tanggungan anak Balita, dan mereka lebih mementingkan
untuk merawat anak.
39
2.3 Kerangka Pikir
Pendapatan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam menentukan tingkat
konsumsi dan kesejahteran seseorang dalam kondisi perekonomian saat ini, termasuk
tenaga kerja wanita yang merupakan tenaga kerja produtif dalam aktifitas ekonomi,
ini terbukti dengan keterlibatan wanita di berbagai kegiatan khususnya perekonomian,
Kaum wanita terlibat aktif dalam berbagai jenis usaha dengan berbagai tujuan,
akan tetapi tujuan pada umumnya adalah untuk memperoleh pendapatan tambahan
disamping pendapatan keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Salah
satunya pilihan usaha di sektor informal yang sebahagain besar ditekuni wanita oleh
karena sifat sektor informal yang lebih fleksibel dan "mudah" bagi sumberdaya
wanita yang terbatas, terutama wanita dari lapisan ekonomi kelas bawah yang tidak
memiliki modal yang besar untuk berusaha pada sektor formal.
Meskipun wanita yang bekerja termasuk sumberdaya manusia yang produktif
dalam perekonomian, akan tetapi terdapat banyak faktor yang juga potensial
menghambatnya sebagai tenaga produktif, misalnya faktor-faktor yang dikarenakan
dominasi budaya patriarki yang menciptakan beban ganda bagi wanita khususnya
yang telah menikah dimana mereka harus mengalokasikan waktu untuk urusan rumah
tangga khususnya yang mempunyai balita sehingga dapat mengurangi alokasi
waktunya untuk bekerja.
Keberadaan tenaga kerja wanita pada sektor informalpun tidak lepas dari
ketatnya persyaratan memasuki sektor formal salah satunya adalah jenjang
pendidikan, hal ini dapat dilihat dari kasus buta aksara di Indonesia yang lebih tinggi
40
dikalangan wanita yakni 64% yang menyebabkan kaum wanita sulit memasuki sektor
formal.
Selain faktor-faktor diatas, Usia pun mempengaruhi tenaga kerja termasuk
pekerja wanita dalam memperoleh upah dan pendapatan , mengingat stamina juga
berpengaruh terhadap produktifitas seseorang dalam bekerja.
Dari paparan diatas maka kerangka pikir penelitian ini dapat diuraikan sebagai
berikut:
Gambar 4. Kerangka Pikir
41
Jam Bekerja
Usia Pekerja
Jumlah TanggunganUsia Balita
Pendapatan Tenaga Kerja Wanita Di Sektor Informal
Di Kota Makassar
Tingkat Pendidikan Pekerja
Modal Kerja
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini secara spesifik mengambil lokasi kota Makassar dimana pencari
kerja wanita yang belum ditempatkan meningkat lebih pesat dibandingkan pencari
kerja wanita yang ditempatkan, yang berpotensi diserap pada sektor informal.
3.2 Jenis dan Sumber data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari data primer dan
data sekunder dengan perincian sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara
langsung dari sumber asli (tidak melalui perantara). Data primer secara khusus
dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian (Indiriantoro, 1999).
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh
dari lapangan melalui wawancara langsung dengan responden dengan
menggunakan kosioner (daftar pertanyaan) yang mencakup identitas
responden, jenis kelamin, usia, waktu bekerja, tingkat pendidikan, pendapatan
usaha, jumlah tanggungan usia balita serta pendapatan keluarganya.
42
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara atau diperoleh dan dicatat oleh
pihak lain (Indriantoro, 1999). Data sekunder dalam penelitian ini adalah
data yang diperoleh dari berbagai teks book, jurnal, makalah, artikel, internet,
laporan, dan kepustakaan.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah metode pengumpulan data dengan cara penelitian lapangan dan
penelitian kepustakaan (library research). Penelitian lapangan adalah
pengambilan data di daerah/ lokasi penelitian dengan teknik pengumpulan data
secara observasi, interview dan kuisioner.
Observasi adalah teknik yang digunakan untuk mendeskripsikan tentang
keadaan lapangan dengan pengamatan yang dilakukan terhadap tenaga kerja
wanita yang senantiasa bersifat obyektif faktual. Tujuannya untuk memperoleh
gambaran yang lengkap mengenai keadaan lokasi penelitian.
Interview adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan informasi
yang akurat dan lengkap mengenai tenaga kerja wanita di sektor informal, maka
dilakukan wawancara terhadap narasumber dan responden yaitu Pekerja wanita
di sektor informal kota Makassar.
43
Kuisioner adalah teknik yang digunakan untuk merekam data tentang
kegiatan tenaga kerja wanita. Pengisian kuisioner dilakukan secara terstruktur
dengan mempergunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.
Sedangkan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian
melalui beberapa buku bacaan, literatur atau keterangan-keterangan ilmiah
untuk memperoleh teori yang melandasi dalam menganalisa data yang diperoleh
dari lokasi penelitian.
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi (Universe) adalah totalitas dari semua objek atau individu jelas dan
lengkap akan diteliti. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah
wanita yang bekerja di sektor informal khususnya sektor perdagangan yang berada di
Kota Makassar dimana jumlah responden yang diambil sebagai sampel adalah 100
responden yang telah menikah.
3.5 Metode Penarikan Sampel
Dalam penelitian ini, pengambilan sampel yang dilakukan adalah
menggunakan metode sampel acak sederhana (Simple random sampling) kepada
wanita yang mempunyai penghasilan sendiri. Dalam penelitian ini pengambilan
sampel dilakukan secara random artinya, semua populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih sebagai sampel, berdasarkan karakteristik yang dimaksud,
siapapun, dimana dan kapan saja dapat ditemui yang selanjutnya dijadikan sebagai
responden.
44
3.6 Metode Analisis
Metode analisis data merupakan proses penyederhanaan data dalam proses
yang lebih mudah di baca dan diinterprestasikan. Metode yang dipilih dalam analisis
data harus sesuai dengan pola penelitian dan variabel yang akan diteliti.
Metode analisis yang akan digunakan dalam penekitian ini adalah metode
deskriptif dan kuantitatif, yaitu medeskripsikan suatu permasalahan dan menganalisis
data dan data dan hal – hal yang berhubungan dengan angka-angka atau rumus –
rumus perhitungan yang digunakan untuk menganalisi masalah yang sedang diteliti.
Untuk menganalisis hubungan antar variabel dependen dan independen, maka
pengelolaan data dilakukan dengan metode analisis dengan model Ordinary Least
Square (OLS). Metode OLS diguanakan untuk memperoleh estimasi parameter
dalam menganalisis pengaruh variabel-variabel independen terhadap variabel
dependen. Metode OLS dipilih karena merupakan salah satu metode sederhana
dengan analisis regresi yang kuat dan popular, dengan asumsi-asumsi tertentu
(Gujarati, 2003).
45
Model Analisis Regresi Berganda
Untuk menganalisis hubungan antara variabel dependen dan independent,
maka pengolaan data dilakukan dengan metode analisis regresi berganda dengan
rumus sebagai berikut:
Y = f ( X1, X2, X3, X4 )
Kemudian dibentuk dalam model ekonometrika dengan persamaan sebagai berikut:
Y = α + β1 X1 + β2 X2+ β3 X3+ β4 D4+ e
Dimana :
Y = Pendapatan (dalam satuan Rupiah per Minggu)
α = Konstanta / Intercept
β = Koefisien Regresi
e = Term Of Error
X1 = Jam Kerja (Jam/Minggu)
X2 = Usia (Tahun)
X3 = Jumlah Tanggungan Usia Balita (orang)
X4 = Tingkat Pendidikan (Dummy) 0 = < SMU/ sederajat, 1= > SMU/Sederajat
X5 = Besarnya Modal Kerja ( Dalam Satuan Rupiah)
46
Untuk mengetahui tingkat signifikan dari masing-masing koefisien regresi
variabel independen (variabel bebas) terhadap variabel dependen (variabel terikat)
maka menggunakan uji statistik diantaranya:
1. Analisis Koefisien Determinasi (R-Square / R2)
Koefisien Determinan (R2) pada intinya mengukur kebenaran model
analisis regresi. Dimana analisisnya adalah apabila nilai R2 mendekati angka
1, maka variabel independen semakin mendekati hubungan dengan variabel
dependen sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan model tersebut dapat
dibenarkan. Model yang baik adalah model yang meminimumkan residual
berarti variasi variabel independen dapat menerangkan variabel dependennya
dengan α sebesar diatas 0,05 (Gujarati, 2003), sehingga diperoleh korelasi
yang tinggi antara variabel dependen dan variabel independen.
Akan tetapi ada kalanya dalam penggunaan koefisisen determinasi terjadi bias
terhadap satu variabel independen yang dimasukkan dalam model. Setiap
tambahan satu variabel independen akan menyebabkan peningkatan R2, tidak
peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara siginifikan terhadap
varibel dependen (memiliki nilai t yang signifikan).
2. Analisis Uji Keseluruhan (F-Test)
Uji signifikansi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk membuktikan
secara statistik bahwa seluruh variabel independen yaitu, jam kerja (X1), Usia
(X2) Jumlah Tanggungan Usia Balita (X3) , Tingkat pendidikan (X4) serta
Bersarnya Modal Kerja (X5) berpengaruh secara bersama-sama terhadap
47
variabel dependen yaitu pendapatan (Y). Uji F digunakan untuk menunjukkan
apakah keseluruhan variabel independen berpengaruh terhadap variabel
dependen dengan menggunakan Level of significance 5 persen, Kriteria
pengujiannya apabila nilai F-hitung < F-tabel maka hipotesis diterima yang
artinya seluruh variabel independen yang digunakan tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen. Apabila Fhitung > Ftabel maka
hipotesis ditolak yang berarti seluruh variabel independen berpengaruh secara
signifikan taerhadap variabel dependen dengan taraf signifikan tertentu.
3. Analisis Uji Parsial (T-Test)
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
independen secara sendiri-sendiri mempunyai pengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, untuk mengetahui apakah
masing-masing variabel independen dapat menjelaskan perubahan yang terjadi
pada variabel dependen secara nyata.
Untuk mengkaji pengaruh variabel independen terhadap dependen secara
individu dapat dilihat hipotesis berikut: H0 : ß1 = 0 tidak berpengaruh, H1 :
ß1 > 0 berpengaruh positif, H1 : ß1 < 0 berpengaruh negatif. Dimana ß1
adalah koefisien variabel independen ke-1 yaitu nilai parameter hipotesis.
Biasanya nilai ß dianggap nol, artinya tidak ada pengaruh variable X1 terhadap
Y. Bila thitung > ttabel maka Ho diterima (signifikan) dan jika thitung < ttabel Ho
diterima (tidak signifikan). Uji t digunakan untuk membuat keputusan apakah
hipotesis terbukti atau tidak, dimana tingkat signifikan yang digunakan yaitu 5
persen.
48
3.7 Definisi Variabel
Untuk menyatukan persepsi tentang pengertian variabel-variabel yang diteliti
dan analisis dalam penelitian ini, maka dikemukakan batasan-batasan defenisi pada
setiap variable tersebut. Adapun defenisi variablel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan adalah rata- rata pendapatan wanita bekerja per minggu
dinyatakan dalam satuan rupiah.
2. Jam Kerja adalah akumulasi waktu yang digunakan oleh tenaga kerja wanita
di Kota Makassar setiap hari untuk bekerja yang mendapatkan imbalan (Job)
dan dinyatakan dalam satuan jam per minggu.
3. Usia adalah umur yang dimiliki oleh wanita bekerja di Kota Makassar yang
dinyatakan dalam tahun.
4. Jumlah Tanggungan Usia Balita adalah anak yang hidup bersama responden
yang berusia dibawah atau sampai dengan 5 tahun yang masih menjadi
tanggungan responden.
5. Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal di Kota Makassar yang
berdasarkan jenjang pendidikannya yaitu SMU/ Sederajat kebawah = 0 dan
SMU/ sederajat keatas =1.
6. Modal Kerja adalah modal baik berupa uang atau nilai barang usaha yang
memberikan jasa hanya sekali dalam proses produksi yang dihitung dalam satuan
Rupiah.
49
7. Sektor informal adalah unit usaha berskala kecil yang umumnya dilakukan
untuk melayani kebutuhan dari berbagai golongan masyarakat di Kota
Makassar.
50
3.8 Hipotesis
Berdasarkan berbagai tesis yang telah dibahas dalam bab sebelumnya maka
hipotesa atau dugaan sementara terhadap objek yang akan dibuktikan dalam penelitian
adalah:
1. Diduga secara parsial terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara
variabel alokasi jam kerja, usia , jumlah tanggungan usia balita serta modal
kerja terhadap pendapatan tenaga kerja wanita pada sektor informal di Kota
Makassar, Sedangkan variabel tingkat pendidikan berpengaruh negatif &
signifikan terhadap pendapatan.
2. Diduga bahwa secara simultan terdapat pengaruh signifikan antara variabel
alokasi jam kerja, tingkat pendidikan, usia, jumlah tanggungan usia balita
serta modal usaha terhadap pendapatan tenaga kerja wanita disektor
informal kota Makassar.
51
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Geografis
Kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulawesi Selatan juga merupakan
pintu gerbang dan pusat perdagangan Kawasan Timur Indonesia. Secara geografis
Kota Makassar terletak di Pesisir Pantai Barat bagian selatan Sulawesi Selatan, pada
titik koordinat 119°, 18’, 27’, 97” Bujur Timur dan 5’. 8’, 6’, 19” Lintang Selatan.
Secara administratif Kota Makassar mempunyai batas-batas wilayah yaitu
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa, Sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Maros, Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan
Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar. Topografi pada umumnya berupa
daerah pantai. Letak ketinggian Kota Makassar berkisar 0,5 – 10 meter dari
permukaan laut.
Kota Makassar memiliki luas wilayah 175,77 km2 yang terbagi kedalam 14
Kecamatan dan 143 Kelurahan. Selain memiliki wilayah daratan, Kota Makassar juga
memiliki wilayah kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai Kota
Makassar.Pada dataran rendah mulai dari tepi utara sebelah barat dan melebar kea rah
timur sejauh lebih dari 20 km. , memanjang dari selatan ke utara merupakan daerah-
daerah pengembangan pemukiman, pertokoan, perkantoran, pendidikan dan bahkan
kawasan industri.
52
4.2 Keadaan Penduduk
Penduduk kota Makassar tahun 2010 tercatat sebanyak 1.339.374 jiwa yang
terdiri dari 661.379 laki-laki dan 677.99 perempuan dimana angka tersebut
memperlihatkan komposisi penduduk berdasarkan rasio jenis kelamin Penduduk kota
Makassar yaitu sekitar 97,55 persen yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat
98 penduduk laki-laki yang menegaskan bahwa kota Makassar memiliki penduduk
wanita yang lebih besar dari penduduk laki-laki.
Populasi dan penyebaran penduduk suatu daerah sangat mempengaruhi
ketersediaan akan sumberdaya manusia yang diberdayakan dalam upaya pertumbuhan
ekonomi dan pembangunannya, tidak terkecuali kota Makassar sebagai Ibu kota
propinsi Sulawesi Selatan yang secara geografis juga berada pada posisi strategis
sebagai pintu gerbang kawasan timur Indonesia yang berimplikasi pada derasnya arus
urbanisasi maupun migrasi masuk dari kabupaten, kota maupun propinsi lainnya.
53
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk, Persentase Penduduk dan Kepadatan Penduduk menurut
Kecamatan di Kota Makassar Tahun 2010
No Kecamatan JumlahKepadadat Penduduk
(/ Km2)
Persentase Penduduk (%)
1 Mariso 55.875 30.701 4.172 Mamajang 58.998 26.221 4.403 Tamalate 170.878 8.455 12.764 Rappocini 151.091 16.370 11.285 Makassar 81.700 32.421 6.106 Ujung Pandang 26.904 10.230 2.017 Wajo 29.359 14.753 2.198 Bontoala 54.197 25.808 4.059 Ujung tanah 46.688 7.860 3.4910 Tallo 134.294 23.035 10.0311 Panakkukang 141.382 8.292 10.5612 Manggala 117.075 4.850 8.7413 Biringkanaya 167.741 3.479 12.5214 Tamalanrea 103.192 3.241 7.70
Jumlah Total 1.339.374 7.620 100Sumber: Makassar Dalam Angka 2010
Pada Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa penduduk masih berkonsentrasi
diwilayah kecamatan Tamalate, yaitu sebanyak 170.878 jiwa atau sekitar 12.76 persen
dari total penduduk, disusul kecamatan Biringkanaya sebanyak 167.741 jiwa (12.52
persen) dan Kecamatan Rappocini sebanyak 151.091 jiwa (11,28 persen) sebaliknya
kecamatan yang terendah adalah kecamatan Ujung pandang sebanyak 26.904 jiwa
(2,01 persen).
Ditinjau dari kepadatan penduduknya, Kecamatan Makassar adalah terpadat
yaitu 32.421 jiwa per km persegi, disusul kecamatan Mariso (30.701 jiwa per km
persegi) dan Kecamatan Mamajang (26.221 jiwa per km persegi) kecamatan yang
berpenduduk terbanyak tidak serta merta menjadi yang terpadat, hal ini dapat
54
disebabkan oleh karena luas wilayah tertentu dengan daya hunian yang sempit tidak
memungkinkan adanya pengembangan wilayah, sebaliknya tiga kecamatan yang
kepadatan penduduknya masih rendah dan masih memungkinkan untuk
pengembangan daerah pemukiman yaitu kecamatan Biringkanaya (3.479 jiwa per km
persegi), Tamalanrea (3.241 jiwa per km persegi) dan Manggala (4.850 jia per km
persegi). Untuk kecamatan yang persentase penduduknya tidak terlalu padat bisa jadi
disebabkan merupakan pusat perkantoran, perbelanjaan, pelabuhan, Bandar udara,
industry dan jasa.
Tabel 4.2
Persebaran dan Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan Sex rasio Menurut Kecamatan di Kota Makassar Tahun 2010
No Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio Jenis Kelamin
1 Mariso 27.836 28.039 55.875 99.282 Mamajang 28.811 30.187 58.998 95.443 Tamalate 84.474 86.404 170.878 97.774 Rappocini 73.377 77.714 151.091 94.425 Makassar 40.233 41.467 81.700 97.026 Ujung Pandang 12.684 14.220 26.904 89.207 Wajo 14.279 15.080 29.359 94.698 Bontoala 26.432 27.765 54.197 95.209 Ujung tanah 23.380 23.308 46.688 100.3110 Tallo 67.247 67.047 134.294 100.3011 Panakkukang 69.996 71.386 141.382 98.0512 Manggala 58.451 58.624 117.075 99.7013 Biringkanaya 83.203 84.538 167.741 98.4214 Tamalanrea 50.976 52.216 103.192 97.63
Jumlah Total 661.379 677.995 1.339.374 97.55
Jika dilihat dari persebaran penduduk berdasarkan rasio jenis kelamin,
Kecamatan Ujung Pandang memiliki populasi penduduk perempuan yang
perbandingannya cukup besar yakni hampir dua kali lipat populasi laki-laki,
55
Sebaliknya Kecamatan Tallo memiliki jumlah populasi penduduk laki- laki lebih dari
dua kali lipat populasi perempuan, meskipun demikian Tabel diatas juga
memperlihatkan konsentrasi populasi penduduk perempuan terbesar berada pada tiga
kecamatan yang juga memiliki populasi penduduk terbanyak yaitu Kecamatan
Tamalate, Biringkanaya dan Rappocini yang dapat menjadi potensi keterpusatan
tenaga kerja wanita berada di daerah – dearah tersebut.
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota
Makassar Tahun 2010
Kelompok Umur (tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah
0 - 4 66.461 62.009 128.4705 – 9 66.096 61.864 127.960
10 – 14 61.244 57.787 119.03115 – 19 68.302 73.282 141.58420 – 24 82.580 86.488 169.06825 – 29 64.916 65.678 130.59430 – 34 54.031 55.979 110.01035 – 39 47.835 49.552 97.38740 – 44 41.573 44.981 86.55445 – 49 32.906 34.849 67.75550 – 54 25.517 25.246 50.76355 – 59 18.404 18.695 37.09960 - 64 12.877 15.277 28.154
65+ 18.637 26.308 44.945Jumlah 661.379 677.995 1.339.374
Sumber: Makassar dalam Angka 2011
56
Tabel. 4.3 terlihat bahwa komposisi penduduk kota Makassar menurut
kelompok umur dan jenis kelaminnya sangat beragam. Kelompok umur yang terbesar
di daerah tersebut adalah kelompok umur 20 sampai dengan 24 tahun dimana pada
kelompok usia tersebut didominasi oleh perempuan dengan jumlah 86.488 jiwa. Jika
melihat komposisi tersebut maka dapat dikatakan sebagian besar penduduk Kota
Makassar berada pada usia produktif yang sangat berpotensi mendukung
pengembangan wilayahhnya.
4.3 Keadaan Tenaga Kerja
Pada tahun 2010 pencari kerja yang tercatat pada Dinas Tenaga Kerja kota
Makassar sebanyak 10.212 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 4.823 orang dan
perempuan 5389 orang.
Dari jumlah tersebut dapat dilihat bahwa pencari kerja menurut tingkat
pendidikan terlihat bahwa tingkat pendidikan SMA yang menempati peringkat
pertama yaitu sekitar 42,78 persen disusul tingkat pendidikan Sarjana sekitar 36,82
persen.
Adapun grafik jumlah pencari kerja wanita yang terdaftar dan yang
ditempatkan di Kota Makassar dapat dilihat pada gambat berikut :
57
Gambar 5
Jumlah Pencari Kerja Wanita yang Terdaftar dan Pencari Kerja Wanita Yang
Ditempatkan di Kota Makassar, 2000-2010.
Sumber: BPS Kota Makassar 2010
Tahun Jumlah wanita pencari kerja yang terdaftar
Jumlah wanita pencari kerja yang ditempatkan
2000 11572 29022001 12438 6562002 15639 11472003 17734 16762004 23249 7372005 15.495 16192006 30.535 6432007 36.211 4452008 5273 -2009 3026 2262010 5389 1134
Sumber: BPS Kota Makassar
Pada gambar diatas dapat terlihat bahwa proporsi pencari kerja wanita terus
meningkat dari tahun 2000- 2010, dimana mencapai puncak tertinggi pada tahun
2007, meskipun menurun drastis pada tahun berikutnya tapi tidak merubah proporsi
bahwa pencari kerja wanita selalu menunjukan angka lebih besar dari pencari kerja
yang ditempatkan sehingga sebagian besar pencari kerja yang tidak terserap tersebar
disektor-sektor informal kota Makassar.
58
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
40000
Pencari Kerja Wanitayang Terdaftar
Pencari Kerja Wanitayang Ditempatkan
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden Tenaga Kerja Wanita Sektor Informal
5.1.1 Responden Menurut Jam Kerja
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis maka berikut ini jika
dilihat dari jam kerja tenaga kerja wanita yang telah menikah di sektor informal kota
Makassar jumlah responden terbanyak bekerja antara 36 – 65 jam perminggu yakni
sebesar 57 persen, respoden yang bekerja antara 66 – 85 jam per minggu sebesar 22
persen, selanjutnya responden yang bekerja 7- 35 jam per minggu sebesar 16 persen
dan responden yang bekerja lebih dari 86 jam per minggu sebanyak 5 persen seperti
yang digambarkan pada table berikut ini.
Tabel 5.1
Distribusi Responden Menurut Jam Kerja di Sektor Informal Di Kota Makassar
Jam Kerja(Jam / Minggu)
Jumlah (orang)
Persentase(%)
7 – 35 16 16
36 – 65 57 57
66 – 85 22 22
>86 5 5
Jumlah 100 100Sumber : Data primer diolah 2012
59
Hasil penelitian yang ditemukan dilapangan menunjukan wanita yang bekerja
disektor informal cenderung menggunakan lebih banyak waktunya untuk mencari
nafkah oleh karena pekerjaan sektor informal ini lebih mudah dikomparasikan dengan
kegiatan rumah tangga seperti merawat anak, juga dengan berbagai alas an lainnya
antara lain membantu menambah pendapatan keluarga, karena posisi responden yang
menjadi tulang punggung keluarga, juga mengisi waktu luangnya.
5.1.2 Responden Menurut Usia
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa responden
pada usia 37- 43 menempati urutan tertinggi yakni sebesar 31 persen, selanjutnya
pada kelompok usia antara 29 – 36 tahun yakni sebesar 26 persen ,Kemudian
kelompok usia antara 44 – 51 tahun yakni sebesar 19 persen, sedangkan kelompok
usia antara 21 – 28 tahun sebesar 18 persen, dan kelompok usia diatas 52 tahun
sebesar 6 persen. Mengenai keadaan usia responden tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Tingkat Usia
Usia(Tahun)
Jumlah (orang)
Persentase(%)
21 – 28 18 18
29 – 36 26 26
37 – 43 31 31
44 – 51 19 19
> 52 6 6
Jumlah 100 100Sumber : Data Primer Diolah 2012
60
Tabel 5.2 diatas menunjukan bahwa wanita yang bekerja pada sektor informal
adalah wanita dengan usia yaitu antara 34-46 tahun. Fakta ini menjelaskan bahwa
secara umum, keterlibatan wanita dalam dunia kerja khusunya sektor informal
meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Hal ini disebabkan karena, makin
bertambah usia wanita makin bertambah pula kebutuhan akan kerja, dengan beragam
alasan seperti pendapatan berkurang setelah suaminya pensiun, serta pekerjaan pada
sektor informal itu sendiri tidak membutuhkan tenaga fisik yang berat sehingga meski
berusia tua, pekerjaan ini masih dapat dilakukan.
5.1.3 Responden Menurut Jumlah Tanggungan Usia Balita
Berdasarkan hasil penelitian, responden yang memiliki jumlah tanggungan
usia balita sebanyak 52 persen, selanjutnya yang memiliki jumlah tanggungan 3-4
orang sebesar 27 persen dan 4 orang sebesar 3 persen, dan yang belum punya anak
adalah sebesar 18 persen. Gambaran lebih lengkap tentang jumlah tanggungan usia
balita responden ditunjukan pada table 5. 3 berikut ini.
Tabel 5.3
Distribusi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Usia Balita
Jumlah AnakJumlah
Responden(orang)
Persentase(%)
1 - 2 52 52
3 – 4 27 27
> 4 3 3
Tidak Punya 18 18
Jumlah 100 100Sumber : Data Primer Diolah 2012
61
Dari data tersebut mudah dipahami bahwa responden yang bekerja di sektor
informal yang memiliki anak (sebanyak 82 responden ) adalah lebih besar dari jumlah
nya jika dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki anak (18 responden),
sehingga dari kondisi tersebut dapat diasumsikan bahwa salah satu motivasi utama
wanita bekerja di sektor informal adalah karena adanya tanggungan termasuk usia
balita yang dimiliki sebagai wujud dari tanggung jawabnya sebagai orangtua dan ibu
rumah tangga dalam membiayai kebutuhan anaknya.
5.1.4 Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Klasifikasi tingkat pendidikan responden dibagi dalam dua kategori dimana
tiap kategori merupakan jenjang pendidikan yang terakhir dilalui. Dari hasil
penelitian, ditemukan bahwa tingkat pendidikan terbanyak yaitu tingkat pendidikan
dibawah hingga SMU/ Sederajat yaitu sebanyak 61 persen, sedangkan yang memiliki
jenjang pendidikan diatas SMU/ Sederajat sebanyak 39 persen.
Tabel 5.4
Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan Jumlah Responden(orang)
Persentase(%)
< SMU/ Sederajat 39 39> SMU / Sederajat 61 61
Jumlah 100 100Sumber : Data Primer Diolah 2012
62
Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
yang bekerja pada sektor informal memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga
sulit mencari kerja di sektor formal.
5.1.5 Responden menurut Modal Kerja
Dari perolehan data pendapatan wanita disektor yang beragam, dapat dilihat
bahwa jumlah responden yang memiliki modal kerja antara. 2000.001 – 3.500.000
rupiah adalah sebesar 64 persen atau memiliki responden yang terbanyak, sedangkan
responden yang modal kerjanya berkisar antara 3.500.001 – 5.000.000 rupiah adalah
sebanyak 16 persen , selanjutnya modal kerja Rp. 500.000 – 2.000.000 sebanyak 15
persen, antara Rp. 3.500.001 – 5.000.000 sebanyak 16 persen, dan terakhir terdapat 5
persen responden yang memiliki modal kerja diatas 5.000.000 rupiah.
Tabel 5.5
Distribusi responden menurut Modal Kerja
Modal Kerja (Rp) Jumlah Responden(orang)
Persentase(%)
500.000 – 2.000.000 15 152.000.001 – 3.500.000 64 643.500.001 – 5.000.000 16 16
> 5.000.000 5 5Jumlah 100 100
Sumber : Data Primer Diolah 2012
Dari hasil penelitian diatas memperlihatkan bahwa meskipun hanya sebagaian
kecil yang memiliki modal yang tergolong besar yakni 5 persen namun dengan modal
yang terbatas tenaga kerja wanita sektor informal memiliki minat yang cukup besar
63
untuk berusaha dimana modal kerja yang didapatkan sebagaian besar berasal dari
tabungan sendiri dan lainya melalui kredit baik koperasi, perbankan atau sumber
kredit yang tidak resmi.
5.1.6 Responden Menurut Pendapatan
Dari perolehan data pendapatan wanita disektor informal berfariatif, sehingga
pendapatan tersebut kemudian digolongkan kedalam beberapa kelompok pendapatan
terlihat bahwa jumlah responden yang memiliki pendapatan antara Rp. 250.001 –
500.000 rupiah perminggunya adalah sebesar 46 persen, sedangkan responden yang
berpendapatan antara Rp.100.000 – 250.000 perminggu adalah sebanyak 40 persen,
selanjutnya antara Rp. 500.001 – 750.000 perminggunya sebesar 10 persen dan
terakhir terdapat 4 persen responden yang memiliki pendapatan diatas 750.000
Rupiah.
Tabel. 5.6
Distribusi Responden Menurut Rata-Rata Pendapatan Per Minggu Yang
Diperoleh Di Sektor Informal Di Kota Makassar
Pendapatan Responden
(Rp)
Jumlah Responden(orang)
Persentase(%)
100.000 – 250.000 40 40250.001 – 500.000 46 46500.001 – 750.000 10 10
> 750.000 4 4Jumlah 100 100
Sumber : Data Primer Diolah 2012
64
Kondisi ini mencerminkan bahwa pada responden pada umumnya memilih
sektor informal sebagai salah satu bidang yang ditekuni karena selain sektor informal
tidak membutuhkan banyak persyaratan, juga karena pendapatan yang diterima cukup
dapat diharapkan dalam membantu membiayai pemenuhan ekonomi rumah tangga.
5.2 Analisis Hasil Regresi Linier Sederhana
Analisis regresi linier sederhana digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh
antara variabel independen dengan variabel dependen, hubungan masing-masing
variabel independen yang positif atau negatif, dan memprediksi nilai dari variabel
independen. Dari pengolahan data dengan menggunakan program E-Views diketahui
pendapatan wanita sektor informal sebagai variabel dependen serta variabel Jam Kerja
(X1), Usia (X2), Tanggungan Usia Balita (X3) , Tingkat Pendidikan (X4) dan Modal
Kerja (X5) sebagai variabel independen maka diperoleh hasil seperti yang disajikan
pada Tabel 5.6, sebagai berikut :
65
Tabel 5.7
Hasil Analisis Regresi Variabel Independen Terhadap Variabel Dependen
Dependent Variable: X1Method: Least SquaresDate: 08/17/12 Time: 17:35Sample: 1 100Included observations: 100
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -4.840899 0.539695 -8.969696 0.0000
Jam Kerja (X1) 0.029101 0.039245 0.741538 0.4602Usia (X2) -0.040165 0.037286 -1.077214 0.2841Tanggungan Usia Balita (X3) 0.003842 0.006490 0.592013 0.5553Tingkat Pendidikan (X4) 0.050034 0.024828 2.015269 0.0467Modal Kerja (X5) 1.058008 0.040054 26.41447 0.0000R-squared 0.966943 Mean dependent var 10.83609Adjusted R-squared 0.965184 S.D. dependent var 0.411981S.E. of regression 0.076872 Akaike info criterion -2.235237Sum squared resid 0.555468 Schwarz criterion -2.078927Log likelihood 117.7619 F-statistic 549.9064Durbin-Watson stat 1.781499 Prob(F-statistic) 0.000000
Berdasarkan pengujian koefisien regresi yang terlihat pada Tabel 17 maka
model persamaan linier berganda dapat disusun, sebagai berikut :
Y = -4.84089906 + 0.0291014811*JK - 0.04016492087*UK +
0.003842430639*TUB + 0.05003432122*TP + 1.058007672*MK
66
5.2.1 Uji Koefisien Determinasi (R2)
Hasil uji koefisien determinasi menunjukkan nilai R2 dari model regresi adalah
0.966943. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen secara
bersama-sama dapat menjelaskan varian variabel dependen sebesar 96.69 persen.
Perolehan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 96.69 persen, artinya bahwa
variabel independen dalam model ini, yaitu Jam Kerja (X1), Usia (X2), Tanggungan
Usia Balita (X3) Tingkat Pendidikan (X4) dan Modal Kerja (X5) mampu menjelaskan
terhadap variasi dari variabel dependen, yaitu pendapatan wanita sektor informal
sebesar 96.69 persen. Sedangkan sisanya sebesar 3.31 persen dipengaruhi oleh
variabel-variabel lain di luar model.
5.2.2 Uji F (Uji Regresi secara Keseluruhan)
Uji F pada dasarnya menunjukkan bahwa apakah semua variable independen
yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh yang secara bersama-sama
terhadap variabel dependen. Keseluruhan variabel independen dikatakan memiliki
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen apabila nilai dari F-hitung
lebih besar dari tingkat kesalahan.
Dari hasil F-hitung diperoleh hasil sebesar 549.90 lebih besar dari tingkat
kesalahan sebesar 0.0000 maka semua variabel independen secara keseluruhan dapat
dikatakan signifikan.
Dengan demikian, secara serentak atau bersama-sama variabel independen
yang terdiri dari Jam Kerja (X1), Usia (X2), Tanggungan Usia Balita (X3) dan Tingkat
Pendidikan (X4) dan Modal Kerja (X5) berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu
67
Pendapatan Wanita Sektor Informal (Ŷ) dan model tersebut dapat diterima sebagai
penduga yang baik dan layak untuk digunakan.
5.2.3 Uji t (Uji Regresi Secara Individual)
Uji t pada dasarnya menujukkan bahwa seberapa jauh pengaruh suatu variabel
independen secara individual terhadap variabel dependen. Signifikansi yang
digunakan adalah sebesar 95 persen atau dengan kata lain tingkat kesalahan yang
ditolerir sebesar 5 persen. Variabel independen dianggap memiliki pengaruh terhadap
variabel dependen apabila nilai signifikansi lebih kecil dari tingkat kesalahan (0.05).
Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari variabel Jam Kerja (X1),
Usia (X2), Tanggungan Usia Balita (X3) dan Tingkat Pendidikan (X4) dan Modal
Kerja (X5) terhadap pendapatan wanita sektor informal (Ŷ).
Dari kajian teori, penelitian ini mengadopsi teori-teori yang mengkaji tentang
determinan pendapatan tenaga kerja. Berdasarkan estimation output (Tabel 5.6)
memperlihatkan tanda (-) atau (+) dari koefisien parameter yang telah diestimasi. Dari
sini kita dapat melihat parameter mana yang sesuai atau tidak serta melihat pengaruh
hubungannya secara teoritis. Pengujian mengenai ada tidaknya pengaruh masing-
masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat dijelaskan, sebagai
berikut :
1. Pengaruh Jam Kerja (X1) Terhadap Pendapatan Wanita Sektor Informal
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa variabel Jam Kerja (X1) memiliki
koefisien positif (0.029101) serta tingkat signifikansi juga bertanda positif
(0.4602), jadi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jam kerja berpengaruh
68
positif dan namun tidak signifikan terhadap tingkat pendapatan, yang berarti
kenaikan 1 persen jam kerja hanya akan meningkatkan pendapatan sebesar
0.029101 rupiah/hari dengan asumsi variable independen lain dianggap
konstan.
Dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel jam kerja
berpengaruh positif, bila jam kerja bertambah maka pendapatan wanita sektor
informal akan meningkat namun peningkatan pendapatan tersebut tidak
signifikan.
2. Pengaruh Usia (X2) Terhadap Pendapatan Wanita Sektor Informal
Pengujian terhadap variabel usia kerja (X2) memiliki koefisien negative (-
0.040165) dengan nilai signifikansi 0.2841 lebih besar dari 0.05 maka variabel
X2 dinyatakan tidak signifikan dan tidak berpengaruh besar terhadap
pendapatan wanita di sektor informal. Berdasarkan regresi di atas diperoleh
koefisien regresi untuk variabel usia kerja sebesar (-0.040165) hal ini berarti
terdapat hubungan negatif antara variabel usia dengan dan tidak berpengaruh
terhadap pendapatan wanita di sektor informal, yang artinya setiap terjadi
peningkatan rata-rata tingkat umur sebesar 1 persen akan menurunkan
pendapatan wanita di sektor informal sebesar 0.2841 per hari jika variabel
independen lain dianggap konstan.
Tidak adanya pengaruh signifikan usia kerja terhadap pendapatan wanita di
sektor informal mencerminkan tidak ada perbedaan apabila usia kerja wanita
tersebut tinggi ataupun rendah. Hal ini disebabkan karena wanita yang berada
69
di Makassar rata-rata berumur lebih dari 40 tahun yang dapat dikategorikan
pada usia cukup tua, namun masih produktif dalam melakukan pekerjaannya.
Dalam teori curahan waktu dikatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi keterlibatan wanita dalam kegiatan ekonomi adalah faktor
umur. Pada mulanya semakin bertambah usia seseorang akan semakin tinggi
waktu kerjanya. Namun, pada usia tertentu waktu kerjanya akan menurun
sejalan dengan kekuatan fisik yang semakin menurun pula. Sejalan dengan
bertambahnya usia keterampilan dan pengetahuannya juga akan bertambah,
tetapi hal itu tidak dapat berlangsung seumur hidupnya melainkan hanya pada
umur tertentu.
3. Pengaruh Tanggungan Usia Balita (X3) Terhadap Pendapatan Wanita Sektor
Informal
Pengujian terhadap variabel tanggungan usia balita (X3) memiliki nilai
koefisien 0.003842 dengan tingkat signifikansi 0.5553 lebih besar dari 0.05 maka
variable X3 dinyatakan tidak signifikan dan berpengaruh positif terhadap
pendapatan wanita di sektor informal.
Dalam hasil Berdasarkan regresi di atas, diperoleh koefisien regresi untuk
variabel jumlah tanggungan usia balita sebesar 0.003842. Hal ini berarti terdapat
hubungan positif antara variabel jumlah tanggungan usia balita dengan
pendapatan wanita di sektor informal, yang artinya setiap terjadi peningkatan rata-
rata jumlah tanggungan usia balita di keluarga sebesar 1 persen akan menaikan
70
pendapatan wanita di sektor informal sebesar 0.5553 rupiah jika variabel
independen lain dianggap konstan.
penelitian ini menunjukkan bahwa variabel jumlah tanggungan usia balita di
keluarga memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap pendapatan
wanita di sektor informal. Kenyataan yang ada di lapangan menunjukkan bahwa
apabila jumlah tanggungan usia balita pekerja wanita di sektor informal semakin
banyak maka pendapatannya akan mengalami kenaikan karena wanita akan
cenderung menambah pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan balitanya yang
juga didukung oleh karakteristik sektor informal yang fleksibel sehingga mudah
mengkomparasikan antara kerja mengasuh anak dan kerja aktifitas ekonominya.
4. Pengaruh Tingkat Pendidikan (X4) Terhadap Pendapatan Wanita Sektor
Informal
Pengujian terhadap variabel tingkat pendidikan (X4) memiliki nilai
signifikansi 0.0467 lebih kecil dari 0.05 maka variabel X4 dinyatakan signifikan
dan berpengaruh terhadap tingkat pendapatan wanita di sektor informal.
Berdasarkan regresi di atas, diperoleh koefisien regresi untuk variabel tingkat
pendidikan sebesar 0.050034, yang artinya setiap terjadi peningkatan rata-rata
tingkat pendidikan sebesar 1 persen akan meningkatkan pendapatan wanita di
sektor informal sebesar 0.0467 rupiah jika variabel independen lain dianggap
konstan.
Dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan wanita di sektor informal.
71
Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan wanita di Makassar relatif tinggi
dibarengi dengan waktu kerja yang tinggi. Oleh karena itu, sesuai dengan
kenyataan di lapangan mencerminkan bahwa tidak ada perbedaan apabila tingkat
pendidikan wanita tersebut tinggi ataupun rendah karena rata-rata pekerja wanita
di sektor informal berpendidikan SMP dan SMA.
Teori mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin
mampu menangkap kesempatan ekonomi yang lebih baik di sekitarnya. Dan
dengan pendidikan yang semakin tinggi pula akan meningkatkan mutu kerja
sekaligus meningkatkan produktivitasnya.
5. Pengaruh Modal Kerja (X5) Terhadap Pendapatan Wanita Sektor Informal
Pengujian terhadap variabel Modal Kerja (X5) memiliki nilai signifikansi
0.0000 lebih kecil dari 0.05 maka variabel X5 dinyatakan signifikan dan
berpengaruh terhadap tingkat pendapatan wanita di sektor informal.
Berdasarkan regresi di atas, diperoleh koefisien regresi untuk variabel tingkat
pendidikan sebesar 1.058008, yang artinya setiap terjadi peningkatan rata-rata
modal kerja sebesar 1 persen akan meningkatkan pendapatan wanita di sektor
informal sebesar 1.058008 rupiah jika variabel independen lain dianggap konstan.
Dalam hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel modal kerja memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap pendapatan wanita di sektor informal. Hal ini
disebabkan karena modal kerja menjadi penunjang awal dalam menentukan
kelanjutan usaha.
72
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan mengenai pengaruh Jam Kerja, Usia, Jumlah Tanggungan Usia
Balita, Tingkat Pendidikan serta Modal Kerja terhadap Pendapatan Tenaga Kerja
Wanita disektor informal di Kota Makassar. Adapun kesimpulan yang ditarik adalah
sebagai berikut:
1. Pengaruh variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen :
a) Variabel Jam Kerja (X1) memiliki berpengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap tingkat pendapatan (Y).
b) Variabel Usia (X2) memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan
terhadap tingkat pendapatan (Y).
c) Variabel Jumlah Tanggungan Usia Balita (X3) memiliki pengaruh positif
dan tidak signifikan terhadap tingkat pendapatan (Y)
d) Variabel Tingkat Pendidikan (X4) memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat pendapatan (Y).
e) Variabel Modal Kerja (X5) memiliki pengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat pendapatan (Y).
73
2. Secara simultan variabel independen yang terdiri dari Jam Kerja (X1), Usia
(X2), Tanggungan Usia Balita (X3), Tingkat Pendidikan (X4) dan Modal Kerja
(X5) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen yaitu Pendapatan
Wanita Sektor Informal (Y).
74
6.2 Saran
Dari analisis yang diperoleh peneliti ingin menyampaikan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Dibutuhkan pendidikan kesetaraan gender yang lebih massif dan proaktif sejak
dini untuk mempermudah terciptanya kemitra sejajaran antara wanita dan laki-
laki salah satunya sebagai tenaga produktif pendorong perekonomian Negara.
2. Disarankan kepada pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih
terdistribusi dengan merata disetiap daerah guna meningkatkan produktifitas
perekonomian dan tenaga kerjanya khusunya wanita yang kurang memiliki
akses guna meningkatkan pendapatannya.
3. Perlunya penambahan akses terhadap informasi tentang kewirausahaan dan
pemberdayaan perekonomian mandiri termasuk pembukaan akses terhadap
perolehan modal bagi sektor informal agar lebih produktif, kreatif, dan
inovatif untuk menciptakan perekonomian yang lebih mandiri.
4. Penyediaan sarana jaminan pendidikan dan kesehatan yang modern, dan
terjangkau terutama untuk wanita yang sangat berperan pada sektor reproduksi
yang turut menentukan kualitas generasi tenaga produktif selanjutnya.
5. Di sarankan kepada peneliti selanjutnya agar mempertimbangkan
menggunakan variabel yang pengaruhnya tidak signifikan tersebut kedalam
model penelitiannya.
75