Post on 05-Aug-2015
RINGKASAN
DRAMATURGI TEATER GANDRIK YOGYAKARTA DALAM LAKON ‘’ORDE
TABUNG’’ DAN ‘’DEPARTEMEN BOROK’’
diajukan oleh Nur Sahid
08/276507/SMU/00568
Kepada PROGRAM STUDI
PENGKAJIAN SENI PERTUNJUKAN DAN SENI RUPA SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA Y O G Y A K A R T A
2012
ii
DRAMATURGI TEATER GANDRIK YOGYAKARTA
DALAM LAKON ‘’ORDE TABUNG’’ DAN
‘’DEPARTEMEN BOROK’’ I. PENGANTAR
A. Latar Belakang
Teater Gandrik merupakan salah satu grup teater yang cukup
dikenal di Yogyakarta, dan bahkan di Indonesia. Teater Gandrik
dianggap sebagai grup teater yang berhasil menggali estetika
teater rakyat Jawa dalam pemanggungannya. Hal itu ditandai
dengan bentuk pementasan yang cair, tidak setia pada naskah
cerita, dialog penuh plesedan dengan berbagai improvisasi,
sesekali menggunakan dialog dengan kosa kata Jawa, tari-
tarian, dan nyayian.
Dramaturgi yang dipergunakan Teater Gandrik menjadi
menarik di tengah-tengah banyaknya grup teater modern yang
justru intensif mengolah estetika teater Barat. Upaya Gandrik
menggali estetika ketimuran yang digali dari khazanah teater
rakyat milik bangsa sendiri sebenarnya tidak dapat dilepaskan
dari keakraban para anggota Teater Gandrik dengan beberapa
kesenian rakyat yang hidup di Yogyakarta seperti srandhul,
ketoprak, dagelan Mataram dari almarhum Basiyo.
Sebagian besar lakon-lakon Teater Gandrik ditulis oleh Heru
Kesawa Murti. Lakon-lakon yang dipentaskan Teater Gandrik
antara lain berjudul “Isyu”, “Orde Tabung”, “Departemen
Borok” dsb.1 Pada setiap pementasan Teater Gandrik selalu
1 “Isyu” (Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1987); Heru
Kesawa Murti, “Orde Tabung” (Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1988); Heru Kesawa Murti, “Departemen Borok” (Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 2003).
iii
mengangkat masalah sosial. Lebih dari itu, apabila diamati
dengan seksama ternyata setiap pertunjukan Teater Gandrik
mengandung berbagai unsur tanda (sign). Tanda-tanda
tersebut dapat berkaitan dengan struktur maupun tekstur
pertunjukan, sehingga harus diberi makna.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian di depan, maka dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah estetika pertunjukan Teater Gandrik?
2. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan kritik sosial yang
dipaparkan Teater Gandrik dalam “Orde Tabung” dan
“Departemen
Borok”?
3. Bagaimanakah faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi
Teater Gandrik dalam memilih jenis dramaturgi pertunjukan?
4. Bagaimanakah makna-makna yang dapat digali dari tanda-
tanda
dalam pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”?
5. Bagaimanakah implikasi penelitian ini bagi pengembangan
keilmuan teater di Indonesia?
C. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori estetika, sosiologi seni, dan
semiotika teater.
1. Teori Estetika
Teori estetika yang dipergunakan dalam peneitian ini adalah
teori estetika morfologi dari Thomas Munro, estetika paradoks dari
Jakob Sumardjo, dan estetika rasa (rasa aesthetic) dari Schechner.
Thomas Munro mengatakan bahwa estetika morfologi bertugas
mengkaji elemen, detail, ide, komposisi, struktur, dan jalinan
iv
antar elemen tersebut.2 Teori Munro itu akan dilengkapi dengan
teori estetika dari The Liang Gie yang mengatakan bahwa ada
lima syarat yang harus dipenuhi untuk menyebut sesuatu dapat
dikatakan indah, yakni a) kesatuan, totalitas (unity), b)
keharmonisan, keserasian (harmony), c) kesimetrisan (symetry), d)
keseimbangan (balance), e) kontradiksi (contrast)3.
2. Sosiologi Seni
Secara umum teori sosiologi seni mencoba mengkaitkan
antara karya seni dengan kondisi sosial historis tempat karya itu
diciptakan. Janet Wolff mengatakan bahwa karakter ideologis
karya seni dan produk kultural, termasuk seni teater, ditentukan
oleh faktor ekonomi dan material lainnya. 4 Pendekatan sosiologi
seni Marxisme melihat karya seni sebagai struktur atas (super
structure) dengan sistem ekonomi sebagai dasarnya.5 Teori
Marxisme tradisional tersebut dengan tegas ditolak oleh Louis
Althusser. Althusser mengatakan bahwa hubungan antara
ekonomi dan kebudayaan lebih banyak ditentukan sejumlah
kekuatan sejarah dibandingkan ekonomi.6 Bagi Althusser, seni
bukan hanya bersifat ideologis, melainkan memberikan semacam
jarak dan wawasan yang dikaburkan oleh ideologi.7 Secara
2 Thomas Munro. “The Morphology of Art as a Branch of
Aesthetics” Dimuat dalam Monroe C. Beardsley & Hebert M. Schueller (Eds.) Aesthetics Inquiry: Essay on Art Criticism and the Philosophy of Art (Belmont, California: Dickenson Publlishing Company Inc., 1967), 48.
3The Liang Gie, Garis Besar Estetika (Filsafat Keindahan) (Yogyakarta: Karya, 1976), 35.
4Janet Wolff, The Social Production of Art (New York: Martin’s Press Inc.: 1981), 60.
5 Umar Junus, Sosiologi Sastera Persoalan Teori dan Metode
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajar Malaysia, 1986), 21.
6 Fortier, 104. 7 Fortier, 104.
v
sosiologis ide dan nilai karya seni terbentuk akibat interaksi
seniman yang intensif dengan kondisi sosial masyarakatnya.
3. Semiotika Teater
Untuk menganalisis makna-makna pertunjukan Teater
Gandrik yang berjudul “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”
akan dipergunakan pendekatan semiotika teater. Keir Elam
mendefinisikan semiotika sebagai ilmu yang dipersembahkan
khusus ke studi produksi makna dalam masyarakat.8 Tadeuzs
Kowzan menyebutkan terdapat 13 sistem tanda yang terlibat
dalam teater, yakni sistem tanda kata, nada, mime, gesture, gerak,
make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, tata cahaya, tata
musik, dan tata bunyi.9 Ketiga belas sistem tanda ini akan dipakai
menganalisis “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.
D. Metode Penelitian
Penelitian in termasuk jenis penelitian kualitatif. Adapun
cara pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan
dengan tujuan untuk mendapatkan data-data tertulis seperti
buku-buku, artikel jurnal, artikel di media massa cetak, majalah,
foto-foto, liflet pertunjukan dll. Materi yang dikumpulkan dapat
berupa resensi pementasan Teater Gandrik, berita pementasan,
kajian tentang pementasan, buku-buku teori teater, foto-foto dan
video pementasan Teater Gandrik dll. Untuk mendapatkan
sumber-sumber lisan akan dilakukan wawancara terhadap pihak-
pihak yang dianggap mewakili Teater Gandrik seperti penulis
lakon, sutradara, pemeran, dan sebagainya.
II. Estetika Pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen
8 Keir Elam, The Semiotics Theatre and Drama (London: Methuen Drama, 1991), 1.
9 Elam, 20; Aston & Savona, Elain Aston & George Savona, Theatre as Sign-System: A Semiotics of Text and Performances (London: Routledge, 1991), 105.
vi
Borok”
A. Dramaturgi dan Estetika
Eugenio Barba mendefinisikan dramaturgi sebagai
akumulasi aksi yang tidak terbatas pada gerakan-gerakan aktor,
tetapi juga meliputi aksi-aksi yang terkait dengan adegan-adegan,
musik, cahaya, vokal aktor, efek suara, dan objek-objek yang
dipergunakan dalam pertunjukan.10 Lebih jauh dikatakan oleh
Barba bahwa dramaturgi hanya bisa diidentifikasi dari suatu teks
tertulis otonom (teks drama) dan proses pertunjukan teater yang
melibatkan para karakter.11 Sementara itu, Thomas Munro
mengatakan bahwa estetika morfologi berusaha mengkaji elemen,
detail, ide, komposisi, struktur, dan jalinan antar elemen dari
karya seni.12 Dengan mengkaji “Orde Tabung” dan “Departemen
Borok” secara estetika morfologi berarti seluruh unsur dramaturgi
akan dibahas.
Teori estetika morfologi di atas akan dilengkapi dengan teori
estetika paradoks dan estetika rasa. Jakob Sumardjo mengatakan
bahwa estetika paradoks menekankan adanya pasangan-pasangan
oposisi yang mengandung adanya “pertentangan” unsur-unsur
yang bersifat “komplementer”, sekalipun demikian, makna
keduanya bisa saling melengkapi.13 Estetika paradoks ini dipakai
untuk menganalisis sstruktur dan tekstur “Orde Tabung” dan
“Departemen Borok”. Agar analisis estetika “Orde Tabung” dan
“Departemen Borok” lebih sistematis dan terarah, maka unsur-
10 Ian Watson, Towards a Third Theatre (London: Routledge, 1995),
93. 11Eugenio Barba, “Dramaturgy Actions at Works dalam Eugenio Barba &
Nicola Savarese, A Dictionary of Theatre Antroplogy: The Scret Art of the Performer (London: Routledge, 1995), 68.
12 Munro dalam Beardsley & Schueller (Eds.), 48. 13 Jakob Sumardjo, Estetika Paradoks (Bandung: Sunan Ambu
Press STSI Bandung, 2006), 49.
vii
unsur estetika akan digali bersamaan saat menganalisis struktur
dan tekstur pertunjukan.
B. Estetika “Orde Tabung”
1. Struktur dan Tekstur “Orde Tabung”
George Kernodle & Portia Kernodle mengatakan bahwa nilai-
nilai dramatik karya teater mencakup plot, tokoh, tema, dialog,
musik (mood), dan spektakel.14 Dari keenam unsur itu, tiga unsur
yang pertama disebut struktur, sedangkan tiga berikutnya disebut
sebagai tekstur.15 Pada saat menganalisis struktur dan tekstur
pertunjukan inilah maka hampir seluruh unsur estetika (kecuali
estetika rasa), termasuk dramaturgi, dapat diterapkan.16
a. Struktur Lakon “Orde Tabung”
1). Plot
Kernodle mengatakan bahwa plot merupakan penyusunan
insiden-insiden yang terjadi di atas panggung.17
Plot “Orde Tabung” berisi konflik-konflik yang kompleks
antar tokoh cerita seperti Sekretaris Pembina Kota dengan para
jompo dengan Astowasis, Pembina Kota dengan para jompo,
Suwelo dengan Istri Suwelo, Istri Suwelo dengan para jompo,
Kepala Dinas Keamanan dengan Pembina Kota dll. Berdasarkan
analisis plot “Orde Tabung” dapat disimpulkan bahwa lakon ini
memiliki jenis plot lurus. Jalinan cerita sejak eksposisi,
penggawatan 1 dan 2, klimaks hingga penyelesaian terbangun
dengan rapi, sehingga kisah “Orde Tabung” cukup enak diikuti.
Penyelesaian cerita “Orda Tabung” berlangsung dengan cepat atau
14George Kernodle & Portia Kernodle, Invitation to the Theatre,
Edisi Kedua (Atlanta: Harcourt Brace javanvich, Inc, 1978), 265. 15Kernodle & Kernodle, 265. 16Pemaparan pendapat-pendapat dan teori tentang estetika rasa
akan diuraikan saat menganalisis estetika rasa terhadap “Orde Tabung” pada sub D no. 3.
17 Kernodle, 266.
viii
setelah klimaks berlangsung, yakni melalui penjelasan Sekretaris
Pembina Kota kepada para Wartawan tentang penyebab kematian
PK.
2). Penokohan
Karakter seringkali disebut sebagai tokoh cerita. Selain
sebagai materi utama untuk menciptakan plot, karakter juga
merupakan sumber action dan percakapan.18 George Kernodle
mengatakan bahwa dalam sebuah karya drama plot adalah apa
yang terjadi, sedangkan karakter (tokoh) adalah mengapa sebuah
tindakan terjadi.19
Penokohan “Orde Tabung” mengandung unsur-unsur yang
bersifat paradoks, terutama yang terkait dengan perwatakan-
perwatakan tokoh yang saling bertentangan, sikap hidup, dan
orientasi nilai kehidupan. Misalnya, tokoh Pembina Kota (PK),
Sekretaris Pembina Kota (SPK), Dokter Astowasis (DA), Suwelo
yang sangat mendukung teknologi bayi tabung beserta implikasi
sosial, medis, politik, dan hukum yang menyertainya jelas berbeda
dengan sikap Kepala Dinas Keamanan (KDK) dan Istri Pembina
Kota (IPK). Paradoks-paradoks tersebut secara estetik juga
menyebabkan adanya keseimbangan antara perwatakan yang baik
dengan buruk.
3). Tema
Tema adalah ide dasar cerita.20 Bertolak dari permasalahan-
permasalahan dalam “Orde Tabung” dapat disimpulkan bahwa
tema lakon ini dapat dirumuskan dalam kalimat “penciptaan
teknologi modern tidak akan membawa kebahagiaan lahir batin
umat manusia tanpa dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan
18Bakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta: Media Presindo,
2001), 21. 19 Kernodle, 267. 20 Kernodle, 270.
ix
(humanisme)”. Tema “Orde Tabung” seperti disebutkan di atas
bersifat universal.
b. Tekstur Pertunjukan “Orde Tabung”
Kernodle mengatakan bahwa tekstur pertunjukan teater
mencakup dialog, musik (Susana), dan penotnon.21 Tekstur “Orde
Tabung” didominasi oleh suasana yang tragis. Peristiwa tragis
yang menimpa SPK di akhir cerita melengkapi berbagai peristiwa
tragis yang terjadi sebelumnya. Pertunjukan “Orde Tabung”
dibuka dengan peristiwa tragis, dan juga diakhiri dengan peristiwa
tragis.
Tekstur “Orde Tabung” didominasi oleh unsur-unsur yang
paradoks. Hal ini antara lain tampak pada pengadegan, yakni
suasana sedih tiba-tiba berubah menjadi gembira. Dialog-
dialog antar tokoh yang serius, tiba-tiba berubah menjadi humor-
humor segar yang mengudang tawa penonton dsb. Peralihan yang
begitu tiba-tiba dari suasana serius ke suasana main-main atau
komik merupakan salah satu ciri teater rakyat Jawa. Sebagian
besar adegan-adegan dalam “Orde Tabung” mengandung suasana
sedih, mencekam, tragis sekaligus berbaur menjadi satu suasana
yang komik, dan main-main. Pengggunaan bahasa dialog pun
mengandung unsur yang paradoks, yakni Bahasa Indonesia
(bahasa nasional) bercampur dengan kosa kata Jawa.
Secara estetis unsur-unsur yang paradoks tersebut akan
akan membuat segala sesuatu menjadi lebih jelas, lebih menonjol,
dan mudah ditangkap oleh penonton. Doleman mengatakan
bahwa keutuhan yang abadi dalam karya seni adalah terletak
21 Kernodle, 265.
x
pada hadirnya keutuhan dalam keberagaman (multiplicity), dan
keutuhan dalam keanekaragaman.22
2. Teater Rakyat Jawa dan Kritik Sosial sebagai Elemen
Estetika Pertunjukan ”Orde Tabung”
a. Unsur-unsur Teater Rakyat Jawa dalam ”Orde Tabung”
Unsur-unsur teater rakyat yang muncul dalam pertunjukan
Teater Gandrik antara lain berupa improvisasi, pengadegan,
humor pemeranan, bentuk pemanggungan, penyutradaraan, dan
penggunaan kosa kata Jawa.23
1). Improvisasi
Melalui improvisasi seorang aktor akan memiliki kekayaan
imajinasi dalam menggarap lingkungannya, dan tangkas bekerja
dalam situasi yang terbatas.24 Apabila dikaji secara seksama,
maka Improvisasi dalam “Orde Tabung” dapat dibagi dalam empat
jenis, yakni: 1 penambahan dan penggantian kata, frasa dan
kalimat; 2 penambahan kata, frasa, dan kalimat yang disertai
gerakan dan gesture tertentu sehingga membuat penonton
tertawa; 3 penambahan dialog yang sama sekali baru; 4
munculnya aksi bahasa tubuh tertentu yang kurang wajar
sehingga menimbulkan tawa penonton. Improvisasi dalam ”Orde
Tabung” hadir sebagai unsur pertunjukan yang memiliki
keterkaitan yang erat dengan unsur-unsur pertunjukan lain
seperti dialog, gerak, gesture.
2). Humor
22 Frerer, Lloyd Anton, Directing for the Stage (Illionis U.S.A.: NTC
Publishing Group, 1996), 172. 23 Khusus unsur penyutradaraan akan dipaparkan pada sub D 3
yang khusus membahas tentang proses mengolah pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.
24 Rendra, Mempertimbangkan Tradisi (Jakarta: Gramedia, 1983), 38.
xi
Humor sering disebut sebagai suatu ucapan dan tindakan
yang mengandung kejenakaan atau bersifat lucu. Franz Kafka
mengatakan bahwa penderitaan kehidupan manusia dapat
menjadi pemicu lahirnya humor.25 Dalam pertunjukan “Orde
Tabung” posisi humor adalah sebagai sisipan belaka. Oleh karena
humor ini hanyalah berupa penggalan-penggalan dialog, aksi,
gerakan, gesture dll. yang tidak memiliki struktur dramatik,
sehingga hal itu tidak menyebabkan pertunjukan menjadi lamban,
monoton.
3). Pengadegan
Pengadegan merupakan penyusunan konstruksi unsur-
unsur adegan dalam sebuah pementasan teater. Pengadegan
pementasan ”Orde Tabung” tampak terinspirasi dari Dagelan
Mataram dan ketoprak. Hal ini antara lain tampak pada pola
perubahan suasana dari sedih menjadi gembira atau sebaliknya
yang terjadi secara cepat atau tiba-tiba. Pembelokan suasana yang
tiba-tiba dari sedih menjadi gembira atau dari serius menjadi
bercanda adalah khas pengadegan teater rakyat Jawa.
4). Pemanggungan
Panggung tempat pertunjukan ”Orde Tabung” berbentuk
arena. Hal ini merupakan khas bentuk panggung teater rakyat,
sehingga jarak antara pemain dengan penonton dekat. Tata letak
peralatan musik pementasan Teater Gandrik juga menunjukkan
keterpengaruhan dari teater rakyat. Peralatan musik Teater
Gandrik berada di bagian belakang sebelah kanan panggung. Hal
inilah yang menyebabkan para pemusik mudah memberi respon
terhadap akting para pemeran.
5). Penggunaan Kosa Kata Jawa
25 H.S. Reiss, “Franz Kafka’s Conception of Humour” dalam The
Modern Language Review, Modern Humanities Research Association, Vol. 44, No. 4, Oktober 1949, 534-542.
xii
Dalam pertunjukan ”Orde Tabung” banyak diketemukan
kosa kata Jawa seperti ”mengkeret” (’mengecil’), ”thungklik”
(’hubungan seksual’), ”ndableg” (’tidak mau dinasehati’),
”tempolong” (’kaleng’), ”srimbit” (’jalan berduaan’), ”rak” (’kan’),
”sangkan paraning rejeki” (’asal-usul rizki’) dll. Penggunaan
Bahasa Jawa tersebut ikut mempertegas suasana kultural Jawa
pementasan ”Orde Tabung” seperti halnya dalam teater rakyat.
6). Pemeranan
Jenis akting tokoh SPK menunjukkan kedekatannya dengan
pola akting Dagelan Mataram, yakni akting representasi. Akting
representasi adalah jenis akting yang yang berusaha
mengimitasikan dan menggambarkan tingkah laku karakter.26
Karakteristik SPK dihadirkan dengan cara bermain-main.
Misalnya, tokoh SPK dengan lincahnya melakukan sindiran-
sindiran terhadap peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi dalam
masyarakat. Aktor secara bebas melakukan kritik, sindiran atau
komentar yang tidak mewakili karakteristiknya. Banyak aktor
Teater Gandrik menggunakan pola akting Dagelan Mataram.
6). Nyanyian
Hadirnya unsur nyanyian pada pementasan ”Orde Tabung”
merupakan salah satu di antara beberapa pengaruh yang berasal
dari teater rakyat. Ketika Istri Suwelo mengungkapkan kepedihan
isi hatinya yang gelisah dan panik, ia menyanyikan lagu dengan
lirik bernuansa kesedihan.27 Dalam teater rakyat ekspresi
kesedihan, kesenangan, harapan sering diungkapkan dalam
bentuk nyanyian.
b. Kritik Sosial dalam “Orde Tabung”
26 Sitorus, 19. 27 Murti, 1993: 29.
xiii
Kritik sosial adalah penilaian ilmiah atau pengujian
terhadap situasi masyarakat pada suatu saat.28 Keakraban para
anggota Teater Gandrik dengan Bagelan Mataram Basiyo yang
dalam setiap pertunjukannya diwarnai humor yang biasanya
disertai sikap saling mengejek, menyindir, dan melecehkan satu
sama lain secara tidak langsung ikut memberi inspirasi
munculnya sindiran, dan kritik sosial pada Teater Gandrik.
Kondisi sistem politik Indonesia era Orde Baru yang otoriter,
penuh ketidakdilan, dan sarat korupsi tentu saja juga mendorong
Teater Gandrik memberikan peringatan dalam bentuk kritik sosial.
Kritik sosial Teater Gandrik dalam “Orde Tabung” ditujukan
kepada berbagai institusi seperti rezim Orde Baru, birokrasi,
militer, wartawan, dan konglomerat. Kondisi sosial politik yang
otoriter dan represif selama tahun ‘80-an menyebabkan kritik
sosial Teater Gandrik bersifat implisit dan simbolik.
C. Estetika “Departemen Borok”
1. Struktur dan Tekstur “Departemen Borok”
a. Struktur Lakon “Departemen Borok”
1). Plot
Plot “Departemen Borok” diwarnai peristiwa-peristiwa
konflik antar tokoh sejak awal hingga akhir cerita. Konflik itu
terjadi akibat ketidakjujuran Sirhan dkk. dalam melaporkan harta
kekayaan yang dimiliki kepada Komisi Anti Korupsi (KAK). Klimaks
cerita dibangun melalui tindakan Abisirna yang membuang ke
kranjang sampah berkas hasil penyidikan Busak dan Emindah
terhadap Sirhan dkk. Padahal, sebelumnya ia berjanji akan
meneruskan berkas hasil penyelidikannya terhadap Sirhan dkk.
28 Astrid S. Susanto, “Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam
Masyarakat dan Negara”, Prisma, 10 (Oktober 1977), 3.
xiv
kepada Kejaksaan. Klimaks tersebut sekaligus mendai akhir cerita
lakon ini.
2). Penokohan
Penokohan “Departemen Borok” mengandung unsur-unsur
bersifat paradoks, terutama yang terkait dengan perwatakan-
perwatakan tokoh. Tokoh Busak dan Emindah sebagai penyidik
KAK yang penuh idealisme, berdedikasi, memiliki kepribadian
yang kuat, dan tidak mau menerima suap tampak bertolak
belakang dengan perwatakan Abisirna dan Lamar yang telah
disuap Sirhan dkk. Idealisme, dan kepribadian yang kuat yang
dimiliki Emindah dan Busak juga menyebabkan mereka memiliki
orientasi nilai-nilai kehidupan yang berbeda dengan Sirhan dkk.
Secara estetik, paradoks-paradoks perwatakan dan orientasi nilai-
nilai kehidupan yang terjadi antar tokoh di atas menyebabkan
cerita “Departemen Borok” menjadi lebih hidup, dinamis, dan
menarik.
3). Tema
Berdasarkan analisis lakon ini dapat diketahui bahwa
tokoh-tokoh yang terlibat korupsi seperti Sirhan, Gesti, Saroyan,
Meriam akhirnya tidak jadi dituntut di pengadilan, sebab berkas
penyidikan mereka dibuang ke kranjang sampah oleh Abisirna.
Nasib tokoh-tokoh yang memuja nilai-nilai materialisme seperti
Sirhan dkk. justru lebih jelas masa depannya, dibandingkan
Busak dan Emindah yang memperjuangkan kebenaran.
Berdasarkan fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tema
“Departemen Borok” dapat dirumuskan dalam kalimat “perbuatan
korupsi akan susah diberantas manakala aparat penegak hukum
juga terlibat korupsi“. Tema tersebut tampak membingkai cerita
secara keseluruhan.
b. Tekstur Pertunjukan Departemen Borok
xv
Berdasarkan analisis tekstur “Departemen Borok” dapat
diambil kejelasan bahwa dalam pertunjukan ini terdapat banyak
unsur pertunjukan yang paradoks satu sama lain. Hal ini tampak
jelas pada hubungan antar adegan yang seringkali diwarnai oleh
suasana-suasana yang bertolak belakang satu sama lain.
Misalnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada adegan pertama
berlangsung dalam suasana sunyi, sedangkan suasana adegan
kedua berlangsung berlangsung cukup ramai dan menegangkan.
Jalinan antar adegan yang diwarnai dengan suasana yang
paradoks. Hal ini merupakan pengaruh langsung dari pola
pengadegan teater rakyat. Dialog-dialog antar tokoh yang
menggunakan bahasa Indonesia tersebut sesekali disisipi dengan
kosa kata Jawa, sehingga dalam penggunaan bahasa pun
menunjukkan adanya paradoks.
4. Teater Rakyat Jawa dan Kritik Sosial sebagai Elemen
Estetika Pertunjukan ”Departemen Borok”
a.Unsur-unsur Teater Rakyat Jawa dalam ”Departemen
Borok”29
1). Improvisasi
Pertunjukan “Departemen Borok” mengandung banyak
improvisasi, yang berupa: 1 penambahan, pengurangan, dan
penggantian kata, frasa dan kalimat; 2 penambahan kata, frasa,
dan kalimat yang disertai gerakan dan gesture tertentu sehingga
membuat penonton tertawa; 3 penambahan dialog yang sama
sekali baru; 4 munculnya aksi bahasa tubuh tertentu yang
kurang wajar sehingga menimbulkan tawa penonton. Improvisasi
dalam ”Departemen Borok” hadir sebagai unsur pertunjukan yang
29 Pada analisis ini beberapa konsep yang terkait dengan
improvisasi, humor, pengadegan dll. tidak dipaparkan, sebab sebelumnya telah diuraikan saat membahas unsur-unsur teater rakyat dalam “Orde Tabung”. Periksa sub B no. 4.
xvi
memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur-unsur pertunjukan
lain seperti dialog, gerak, gesture.
2). Humor
Humor-humor dalam “Departemen Borok” sesungguhnya
tidak mengganggu struktur dramatik pertunjukan secara
keseluruhan. Dalam pertunjukan “Departemen Borok” posisi
humor adalah sebagai sisipan belaka. Humor-humor itu justru
menyebabkan cerita menjadi cair, dinamis, dan komunikatif
dengan penonton.
3). Pengadegan
Pengadegan ”Departemen Borok” dipengaruhi Dagelan
Mataram dan ketoprak. Hal ini antara lain dapat disimak pada
pembelokan suasana yang tiba-tiba terjadi, yakni dari suasana
gembira beralih ke suasana sedih atau sebaliknya. Pada
”Departemen Borok” terdapat sepuluh adegan yang mengandung
pengadegan bersumber dari teater rakyat, yakni adegan 4, 7-9, 13,
dan 16-20.
4). Pemanggungan
Pemanggungan Teater Gandrik menunjukkan adanya
pengaruh dari teater rakyat Jawa (teater arena), sehingga
menyebabkan hubungan kedekatan atau keakraban antara
pemain dengan penonton. Tata letak peralatan musik pementasan
Teater Gandrik juga menunjukkan keterpengaruhan dari teater
rakyat. Peralatan musik Teater Gandrik berada di bagian belakang
sebelah kanan panggung (stage) permainan.
4). Penggunaan Kosa Kata Jawa
Penggunaan kosa kata Jawa dalam ”Departemen Borok”
cukup signifikan. Misalnya, kata ”bodho” (’bodoh’), ”goblok”
(’bodhoh’), ”ngemut” (’dihisap’), ”andekpuna” (’hanya saja’), ”oye”
(’oke’), ”rasah ngotot” (’tidak usah ngotot’), ”sik to” (’sebentar’), dll.
xvii
Penggunaan alih kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa
tersebut bertujuan untuk memperkuat suasana kultural Jawa
”Departemen Borok”.
5). Nyanyian
Pada pertunjukan ”Departemen Borok” terdapat beberapa
dialog yang diungkapkan dalam bentuk nyanyian. Misalnya, saat
Lamar meyidik Meriam dan Saroyan beberapa ucapannya
disampaikan dalam bentuk nyanyian dengan irama blues.
Berbagai ungkapan nyanyian dalam ”Departemen Borok” semakin
mempertegas bahwa teater rakyat Jawa menjadi salah satu
sumber inspirasi Teater Gandrik.
6). Pemeranan
Pemeranan Teater Gandrik menunjukkan kedekatannya
dengan pola akting Dagelan Mataram sebagaimana ditunjukkan
pemeran Sirhan, Ageman dll. Mereka menggunakan akting
representasi. Karakteristik Sirhan dan Ageman dihadirkan dengan
cara bermain-main. Misalnya, tokoh Sirhan dengan mudahnya
melakukan sindiran-sindiran terhadap peristiwa-peristiwa aktual
yang terjadi dalam masyarakat.
b. Kritik Sosial dalam “Departemen Borok”
Kritik sosial yang diungkapkan Heru Kesawa Murti dalam
lakon “Departemen Borok” dapat dikatakan langsung terkait
dengan permasalahan korupsi. Kritik sosial terhadap masalah
korupsi dalam lakon antara lain ditujukan kepada lembaga
legislatif, birokrasi, dan penegak hukum. Secara umum korupsi
diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan
pribadi.30
30Al. Andang L. Binawan, “Korupsi (dalam Cakrawala)
Kemanusiaan”, Dimuat dalam Al. Andang L. Binawan Ed., Korupsi Kemanusiaan Menafsirkan Korupsi (dalam) Masyarakat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), xiv.
xviii
c. Perbandingan Kritik Sosial “Orde Tabung” dengan
“Departemen Borok”.
Apabila kritik sosial dalam “Orde Tabung” dengan
“Departemen Borok” diperbndingkan, maka dapat dilihat bahwa
objek sasaran kritik “Orde Tabung” mengarah ke suatu atau
institusi. Sementara itu, objek objek sasaran kritik sosial
“Departemen Borok” mengarah ke individu atau perorangan.
Selanjutnya, cara pengungkapan kritik antara kedua karya juga
berbeda. Pengungkapan kritik dalam “Orde Tabung” bersifat
implisit, sedangkan kritik sosial dalam “Departemen Borok”
cenderung eksplisit.
Sistem sosial politik yang otoriter semasa Orde Baru
menyebabkan Teater Gandrik melakkukan kritik sosial secara
implisit. Sistem sosial politik yang lebih terbuka dan demokratis
pada Era Reformasi menyebabkan Teater Gandrik mulai berani
mengritik individu seperti anggota parlemen, aparat penegak
hukum, dan pejabat negara.
D. Estetika Rasa dalam “Orde Tabung” dan “Departemen
Borok”
Richard Schechner mengatakan bahwa sebenarnya terdapat
tiga unsure pokok tentang estetika rasa, yakni: pertama, ekspresi
emosi (bhãva) pemain terdiri dari gesture, peran, jenis karakter,
arsitektur, dan musik; kedua, estetika rasa tidak bersifat analitis,
teratur, dan rasional seperti halnya dalam teater di Barat; ketiga,
sebuah pertunjukan dapat diibaratkan seperti masakan, yakni
kelezatan rasanya ditentukan dalam meramu bahan-bahan,
ramuan, bumbu, dan saus sehingga menjadi masakan yang
rasanya lezat.31 Apabila dicermati, unsur yang pertama dan kedua
31 Richard Schechner, Performance Theory (New York: Roudledge
Classics, 2003), 336-339
xix
itu dekat dengan bidang pemeranan, sedangkan unsur ketiga
dekat dengan penggarapan (penyutradaraan) pertunjukan.
1. Estetika Rasa dalam Pemeranan “Orde Tabung”
Dilihat dari sisi estetika rasa, pemeranan Butet Kerta Rejasa
dalam memerankan SPK berhasil dengan baik. Ungkapan emosi
pemeran dalam aksi komunikasi persuasif (membujuk), marah,
ekspresi rasa suka, dan kedukaan dapat diekspresikan melalui
kata-kata, gesture khusus yang hidup dan komunikatif dengan
penonton. Humor-humor yang dilemparkan Butet selalu mendapat
respon positif dari penonton. Semua itu membuktikan pemeran
SPK mampu mengungkapkan berbagai emosi dengan peran yang
disandangnya, sehingga penonton tampak antusias menyaksikan.
Permainan Butet semakin menegaskan bahwa pola aktingnya
tidak analitis, tidak teratur, dan tidak rasional. Pola permainan
demikian akan menyalahi kaidah dramaturgi Barat, namun
menjadi wajar terjadi dalam khazanah teater Timur, termasuk
teater rakyat Jawa. Begitu pula akting Susilo Nugroho dan Heru
Kesawa Murti saat memerankan Suwuk dan Astowasis.
2. Estetika Rasa dalam Pemeranan Beberapa Tokoh
“Departemen Borok”
Dalam “Departemen Borok” Butet Kertarejasa memerankan
tokoh Sirhan. Butet tampak berhasil memerankan tokoh Sirhan
sebagai anggota parlemen yang korup dan pengusaha yang kaya
raya. Ungkapan emosi pemeran diwujudkan melalui kata-kata,
gesture, eskpresi wajah yang ekspresif. Sikap perlawanannya
dengan Busak selaku penyidik KAK akibat tidak mau dituduh
korupsi dapat diungkapkan lewat kata-kata, ekspresi wajah,
gesture, gerak tubuh, dan bahasa isyarat, sehingga mampu
menciptakan ketegangan pada penonton. Pola permainan Butet
yang kadang-kadang seperti main-main semakin menegaskan
xx
bahwa pola aktingnya tidak analitis, tidak teratur, dan tidak
rasional seperti halnya dalam akting realisme.
3. Proses Mengolah Pertunjukan “Orde Tabung” dan
“Departemen Borok”
Sechechner mengatakan bahwa sebuah pertunjukan dapat
diibaratkan seperti masakan, yakni kelezatan rasanya ditentukan
dalam meramu bahan-bahan, ramuan, bumbu, dan saus sehingga
menjadi masakan yang rasanya lezat.32 Begitu pula dalam
kaitannya dengan pertunjukan teater, yakni bagus tidaknya
sebuah pertunjukan ditentukan oleh kepandaian dalam meramu
unsur-unsur yang menjadi pendukung pertunjukan teater itu
sendiri.
Proses meramu unsur-unsur teater agar dapat menjadi
sebuah pertunjukan yang artistik tersebut dalam dunia teater
lazim disebut dengan istilah penyutradaraan. Penyutradaraan
dalam pertunjukan teater biasanya bersifat individual atau
mandiri. Namun demikian hal semacam ini tidak berlaku bagi
Teater Gandrik, sebab pada grup ini penyutradaraannya bersifat
kolektif. Hal ini karena, setiap anggota memiliki hak untuk
memberikan masukan sekaligus harus siap ditolak apabila
masukannya tidak disetujui oleh seluruh anggota dalam proses
penggarapan. Dikatakan oleh Murti bahwa dengan menerapkan
sistem demokratisasi teater, maka penggarapan dilakukan secara
bersama-sama.33
Dengan penyutradaraan kolektif seluruh anggota Teater
Gandrik secara tidak langsung menjadi semacam ‘kritikus’ bagi
Teater Gandrik. Mereka akan selalu mengevaluasi setiap
32 Schechner, 338. 33 Istilah demokratisasi teater dikemukakan oleh Heru Kesawa
Murti saat diwawancarai Handoko Adi Nugroho. Periksa Handoko Adi Nugroho, “Teater Gandrik Terapkan Sistem Demokratisasi Teater” (Yogyakarta: Harian Bernas, 4 November 1992).
xxi
kekurangan dan kelebihan yang terjadi selama proses produksi
pertunjukan. Proses semacam ini dapat dianalogikan dengan
proses memasak makanan sebagaimana dikatakan Schechener,
yakni kelezatan makanan tergantung kepada keahlian dalam
meramu seluruh bahan dan ramuan bahan makanan.
Dengan kata lain, sebelum masakan itu matang, maka
seluruh anggota Teater Gandrik telah mencicipi terlebih dahulu,
sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Akibatnya
setelah masakan itu matang, maka rasanya lezat dan disukai
orang. Begitu pula dalam kaitannya dengan Teater Gandrik.
Ketika setiap anggota bebas memberi masukan terhadap kelebihan
dan kekurangan dalam penggarapan sebuah repertoar, itu berarti
setiap anggota seperti telah mencicipi pertunjukan itu sebelum
‘disajikan’ ke penonton.
III. Kondisi Sosial Historis Tahun ’80-an hingga Awal ’00-an yang Berpengaruh terhadap Penciptaan Dramaturgi Teater Gandrik
A. Realitas Sosial Politik dan Ekonomi
1. Kondisi Sosial Politik
Berbicara kondisi politik Indonesia tahun ‘80-an berarti
berbicara tentang pemerintahan Orde Baru, sebab yang berkuasa
saat itu adalah rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden
Seoharto. Melalui Sidang Umum MPRS V 1968 Soeharto diangkat
sebagai Pejabat Presiden menggantikan Soekarno. Soeharto
memerintah Republik Indonesia selama 30 tahun sampai dengan
1998. Pemerintahan Soeharto tahun ‘80-an hingga saat
kejatuhannya tidak dapat dilepaskan dari elemen-elemen
pendukung pentingnya seperti ABRI, dan Golkar lengkap dengan
berbagai elemen yang menopangnya.
xxii
Soeharto memerintah secara represif dan otoriter. Siapa pun
yang mencoba berani mengkritik kebjakan Soeharto akan
berhadapan dengan aparat keamanan. Mochtar Mas’oed
menyebutkan bahwa negara Orde Baru telah dikuasai rezim
otoriterisme birokratis.34
2. Pasang Surut Ekonomi Indonesia
Mochtar Mas’oed mengatakan bahwa secara garis besar
tujuan pembangunan ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan
ekonomi dan stabilitas politik.35 Pertumbuhan ekonomi Era Orde
Baru ditandai peningkatan pendapatan masyarakatat yang lebih
lebih daripada Era Orde Lama. Tahun 1997 Indonesia mengalami
krisis ekonomi. Bulan Oktober Indonesia mendapatkan bantuan
sebesar US $ 43 milyar selama 3 tahun dalam sekema IMF untuk
menambah cadangan devisa.36 Dampak politik dari krisis ekonomi
adalah dilengserkannya Soeharto oleh gerakan reformasi yang
dimonotori para mahasiswa dan tokoh-tokoh pejuang reformasi
seperti Amien Rais dkk.
B. Heru Kesawa Murti dan Kelompok Sosialnya.
Sebagai pencipta lakon Heru Kesawa Murti termasuk
kelompok masyarakat kelas menengah seperti halnya mahasiswa,
intelekual, akademisi, buyawan, seniman, pengacara, jurnalis,
ulama, aktivis LSM, ulama, kaum professional, pengusaha dsb.37
Heru Kesawa Murti menyuarakan sikap “oposisi” terhadap
34 Mochtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru1966-
1971 (Jakarta: LP3S, 1989), 203-204. 35Mochtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan Pembangunan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994b), 31. 36 A. Tony Prasetiantono, Rambu-rambu yang Diabaikan (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2005), 176. 37 Sutoro Eko, Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim
Orde Baru (Yogyakarta: APMD Press, 2003), 232.
xxiii
penguasa Orde Baru dan Orde Reformasi melalui karya seni
termasuk “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.
Pada kondisi sosial historis Orde Baru yang otoriter dan
represif dramawan Heru Kesawa Murti mengekspresikan aspirasi,
gagasan, dan perasannya dalam karya drama yang bersifat
simbolis. Kritik sosial itu disampaikan secara implisit. Agar
karyanya tidak dilarang penguasa Orde Baru, maka kritik sosial
yang diungkapkan dalam drama-dramanya tidak berkaitan dengan
institusi dan tokoh-tokoh tertentu.38
Heru Kesawa Murti melihat situasi sosial historis Era Orde
Baru dan Era Reformasi semacam itu sebagai sesuatu yang tidak
normal, sehingga harus diluruskan. Kodisi sosial, politik, dan
ekonomi tahun ’80-an hingga ‘00-an di atas itulah yang menjadi
penyebab lahirnya “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”.
C. Perjalanan Pencarian Identitas Estetika Keindonesia.
1. Politik Kebudayaan Presiden Soekarno sebagai Tonggak
Awal Kesadaran Pencarian Identitas Estetika Khas
Indonesia.
Pada tgl. 4 Maret 1957 Presiden Soekarno mengatakan
perlunya melahirkan kebudayaan khas Indonesia.39 Soekarno
melarang semua ekspresi seni yang ke Barat-baratan. Soekarno
menjembloskan ke penjara Koes Bersaudara yang sering
menyanyikan lagu-lagu rock and roll dari The Beatles, The Bee
Gees dan Everly Brothers. Mereka ditahan, karena dianggap tidak
mengindahkan pelarangan musik ngak ngik ngok.
2. Rendra dan Bengkel Teater Peletak Dasar Estetika
Keindonesiaan dalam Seni Teater.
38 Wawancara dengan peneliti tgl. 10 Februari 2009 di Padepokan
Bagong Kussudiharjo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. 39 Moeljanto dalam Moeljanto dan Ismail, Eds., 32.
xxiv
Sepulang belajar teater di American Academy of Dramatic
Arts Amerika Serikat (1964-1967) Rendra membentuk Bengkel
Teater. Pementasan Bengkel Teater dan Rendra sepulang dari
Amerika antara lain Bip Bop (1968), dan Peristiwa Sehari-hari,
Piieeep, Rambate-rate-rata (1969) dsb. Pementasan tersebut
didukung sejumlah aktor semacam, Putu Wijaya, Murti Purnomo,
Bakdi Soemanto dan lain-lain. Karya teater Rendra ini mendapat
sambutan hangat dari para pengamat teater sebab banyak
menggali dari berbagai unsur tradisi di Indonesia.
Sementara itu, dalam bidang penulisan puisi tahun ’70-an
muncul Darmanto Jatman dan Sutarji Colzoum Bachri yang
karya-karyanya sarat dengan budaya daerah asal mereka. Pada
peristiwa Pengadilan Puisi Indonesia di Bandung tgl. 8 September
1974, Slamet Sukirnanto selaku “penuntut umum” mengatakan
bahwa pertumbuhan pembaruan karya seni tahun ’70-an relatif
merata, dan kebanyakan menggali unsur-unsur tradisi budaya
daerah asal mereka.40 Mereka telah menciptakan teater tari, novel,
cerpen, teater, dan puisi yang mengakar dari khzanah budaya
bangsa sendiri.
3. Pencarian Estetika Keindonesiaan Tahun ’80-an
Teater Gandrik lahir tahun 1983 di tengah-tengah gegap
gempita kesenian Indonesia yang sedang mencari identitas
estetika keindonesiaan. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan
bahwa melalui pementasan-pementasannya Teater Gandrik
telah berupaya menemukan estetika teater yang khas
Indonesia. Harus diakui bahwa proses penulisan lakon, dialog,
gerak, blocking dll. Teater Gandrik memakai prinsip dramaturgi
40Slamet Sukirnanto, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia
Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!” dalam Pamusuk Eseste, Ed., Pengadilan Puisi (Jakarta: PT Gunung Agung, 1986), 23-24.
xxv
Teater Barat. Namun demikian spirit teater rakyat mewarnai
hampir keseluruhan pertunjukan Teater Gandrik seperti
tampak dalam penyutradaraan, pengadegan, pemanggungan,
penggunaan kosa kata Jawa, pemeranan, penggunaan
nyanyian, dan humor.
Kiblat estetika teater mutakhir yang berorientasi ke budaya
lokal atau tradisi subkultur dapat dimaknai sebagai suatu titik
balik orientasi pemikiran dan sikap budaya para seniman
Indonesia yang hingga tahun 50-an sibuk menggali estetika
Barat.
Secara sosiologis penulisan drama “Orde Tabung” dan
“Departemen Borok” dipengaruhi oleh kondisi sosial historis
Indonesia tahun ‘80-an hingga awal ‘00-an. Secara kutural,
pemilihan estetika Teater Gandrik dipengaruhi oleh semangat
pencarian estetika keindonesiaan yang memang sedang
berlangsung sejak akhir tahun ’60-an hingga tahun ’80-an.
IV. Makna Pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen
Borok”
A. Sistem Tanda Teater sebagai Dasar Pemaknaan
Pada sub landasan teori telah dikemukakan bahwa analisis
makna pertunjukan “Orde Tabung” dan “Departemen Borok”
menggunakan pendekatan semiotika teater dari Tadeuz Kowzan
yang mencakup sistem tanda kata, nada, mime, gesture, gerak,
make-up, gaya rambut, kostum, properti, setting, tata cahaya, tata
musik, dan tata bunyi.41 Selanjutnya, dari setiap sistem tanda
41 Aston & Savona, 105.
xxvi
teater tersebut dianalisis menggunakan semiotika denotatif dari
konotatif Hjemslev.42
B. Makna “Orde Tabung”
Makna pertunjukan “Orde Tabung” telah menempatkan
lakon itu kontekstual dengan kondisi sosial historis Indonesia
tahun tahun ’80-an. Dari 22 adegan dalam “Orde Tabung” dapat
diketahui bahwa 15 adegan di antaranya mengandung peristiwa
tragik-komedi (adegan ke-1, 4, 5, 7, 8, 9,10, 11, 12, 13, 14, 15,
16, 18, 20). Peristiwa tragis tersebut menjadi “tone” pertunjukan
ini. Dengan demikian, lakon “Orde Tabung” sesungguhnya
merupakan cerita tentang kemuraman kehidupan manusia yang
diungkapan secara komedi (tragik-komedi). Pertunjukan “Orde
Tabung” bukan semata-mata merupakan kisah tentang dampak
teknologi bayi tabung bagi kehidupan manusia. Akan tetapi secara
konotatif “Orde Tabung” merupakan kisah tentang tragedi kaum
minoritas (mantan tahanan politik, pejuang pro demokrasi) yang
selalu dipinggirkan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia
yang disajikan secara komedi.
Peristiwa adegan terakhir ”Orde Tabung” saat SPK
terperosok ke dalam tabung laboratorium Zaman Baru yang
dibuatnya sendiri sesungguhnya merupakan salah satu kunci dari
makna ”Orde Tabung” secara keseluruhan. Peristiwa tersebut
secara konotatif mengacu kepada beberapa makna sebagai
berikut. Pertama, kematian SPK mengacu tentang kemenangan
mereka yang menolak teknologi kelahiran tabung, sebab dianggap
menghilangan sifat-sifat alamiah proses kelahiran manusia.
Kedua, peristiwa itu juga mengacu kepada makna tentang
kegagalan rezim Orde Baru dalam mempertahankan sistem politik
otoriter yang diyakininya selama lebih tiga puluh tahun abad,
42 Elam, 10.
xxvii
sehingga akhirnya tumbang tahun 1998. Sekalipun lakon ”Orde
Tabung” diciptakan tahun 1988, tetapi permasalahan yang
diungkapkan dalam lakon itu tetap menarik dan relevan dengan
kondisi sosial politik Indonesia akhir tahun ’90-an saat gerakan
Reformasi berlangsung.
Terperosokya SPK ke dalam tabung besar yang dibuatnya
sendiri secara konotatif juga tampak bermakna paradoks. Pada
satu sisi rezim Orde Baru berusaha sekuat tenaga
mempertahankan sistem politik otokrasi yang dibangunnya
dengan kokoh, sehingga mereka berusaha membungkam setiap
gerakan pro demokrasi yang mencoba menggoyang stabilitas
negara. Pada sisi lain, penguasa Orde Baru justru hancur atau
tumbang oleh sistem politik yang telah dibangunnya selama lebih
tiga puluh tahun. Hal ini dapat terjadi karena para pejuang
demokrasi melakukan perlawanan besar-besaran sepanjang tahun
1997-1998 terhadap penguasa Orde Baru hingga tumbang.
Dengan demikian, lakon ”Orde Tabung” sesungguhnya berdimensi
futuristik.
C. Makna “Departemen Borok”
Sementara itu, dari 28 adegan pertunjukan “Departemen
Borok” ternyata delapan adegan (adegan 1, 3, 4, 7, 8, 10, 14, dan
18) diantaranya mengandung peristiwa tragik-komedi. Banyaknya
peristiwa tragik-komedi pada “Departemen Borok” dapat dijadikan
sebagai nada dasar pemaknaan perunjukan lakon ini. Makna
pertunjukan ini secara keseluruhan dapat disimak dari peristiwa
ending cerita yang berupa cahaya lampu spot yang mengarah ke
kranjang sampah dengan sinar cukup terang. Peristiwa ini persis
sama dengan adegan pembukaan, yakni dengan menampilkan
kranjang sampah yang disorot cahaya lampu spot yang terang.
xxviii
Pemunculan kranjang sampah di awal dan akhir
pertunjukan secara semiotis bermakna bahwa pemberantasan
korupsi yang dilakukan Emindah dan Busak telah gagal. Kranjang
sampah yang sering muncul sebagai elemen setting dari awal
hingga akhir pertunjukan bermakna bahwa benda itu setiap saat
siap menerima sampah-sampah kertas, termasuk berkas-berkas
hasil penyidikan, yang seharusnya diteruskan ke kejaksaan.
Sepanjang pertunjukan “Departemen Borok”, kranjang
sampah muncul selama delapan kali, baik dalam fungsinya
sebagai setting maupun properti yang dibawa Minor. Frekuensi
kemunculan kranjang sampah yang sering dalam pertunjukan ini
merupakan sebuah penanda yang terkait dengan makna
pertunjukan secara keseluruhan. Maksudnya, kranjang sampah
sebagai tempat pembuangan barang-barang tidak berguna secara
konotatif mengacu kepada makna tentang ketidakberhasilan
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Kemunculan kranjang
sampah sebanyak delapan kali semakin mempertegas kegagalan
pemberantasan korupsi.
Kenyataannya, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak
memuaskan para pencari keadilan, sebab penegakan hukum
masalah korupsi masih tebang pilih, tidak berani menembus
korupsi di level penguasa, pejabat tinggi, dan parlemen. Sejak
Sembilan tahun yang lalu ternyata Teater Gandrik telah
mengisyaratkan tentang betapa sulitnya pemberantasan korupsi di
negeri ini.
Dengan demikian, “Orde Tabung” dan “Pertunjukan Borok
bermakna futuristik. Artinya, makna pertunjukan ini tidak hanya
kontekstual dengan kondisi sosial hisoris Indonesia tahun 2003
saat “Departemen Borok” dipentaskan pertama kali. Sampai
xxix
sekarang “Departemen Borok” tetap menunjukkan aktualitasnya
dengan kondisi sosial historis masyarakat Indonesia.
Makna pertunjukan Teater Gandrik kontekstual untuk kondisi
Indonesia dan juga bermakna universal. Makna-makna yang
terkait dengan peminggiran kaum minoritas, marjinal, dan
pejuang demokrasi, pemberantasan korupsi bukan saja relevan
bagi bangsa Indonesia saat ini, tetapi juga masyarakat dunia
pada umumnya.
V. Kesimpulan dan Saran
A.Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan uraian di depan diperoleh
jawaban atas empat pertanyaan penelitian sebagai berikut.
Pertama, estetika Teater Gandrik dalam pertunjukan “Orde
Tabung” dan “Departemen Borok” merupakan paduan antar
unsur-unsur dramaturgi teater Barat dengan Timur. Unsur-unsur
teater realisme bercampur dengan unsur-unsur teater rakyat
Jawa, khususnya dari Dagelan Mataram dan ketoprak. Unsur-
unsur teater rakyat Jawa tersebut mencakup improvisasi, humor,
penggunaan kosa kata Jawa, pengadegan, pemanggungan,
pemeranan, penyutradaraan, dan nyanyian. Teater Gandrik dapat
dikatakan sebagai teater yang berestetika khas Indonesia. Dilihat
dari sisi pemeranan, akting beberapa pemeran seperti Butet Karta
Rejasa (sebagai SPK dalam “Orde Tabung” dan Sihan dalam
“Departemen Borok”), Heru Kesawa Murti (sebagai Astowasis
dalam “Orde Tabung” dan Ageman dalam “Departemen Borok”),
Susilo Nugroho (sebagai Suwuk dalam “Orde Tabung” dan Busak
dalam “Departemen Borok”) termasuk jenis akting representasi.
Dilihat dari sisi estetika rasa, pemeranan Teater Gandrik
dalam “Orde Tabung” dan “Departemen Borok” termasuk pola
xxx
akting yang tidak analitis, tidak teratur, dan tidak rasional. Pola
akting demikian tidak sesuai dengan kaidah dramaturgi teater
Barat, tetapi justru tampak wajar dalam khazanah teater Timur.
Penyutradaraan Teater Gandrik dalam “Orde Tabung”
“Departemen Borok” bersifat kolektif. Melalui penyutradaraan
kolektif seluruh anggota Teater Gandrik secara tidak langsung
menjadi semacam ‘kritikus’ bagi Teater Gandrik.
Kedua, kritik sosial Teater Gandrik yang dipaparkan dalam
“Orde Tabung” ersifat implicit, sebab lahir pada kondisi sosial
historis yang otoriter dan represif. Kritik sosial dalam “Departemen
Borok” bersifat teruka, karena kehidupan sosial historis lebih
demokratis.
Ketiga, penulisan lakon “Orde Tabung” dipengaruhi oleh
sikap penguasa Orde Baru yang melakukan pearjinalan terhadap
kaum minoritas, pejuang demokrasi, dan kondisi pemujaan
terhadap kemajuan iptek secara berlebihan pada tahun ‘80-an.
Penciptaan lakon “Departemen Borok” tampak dipengaruhi oleh
kondisi sosial historis yang sarat korupsi selama awal-awal Era
Reformasi.
Pemilihan estetika pertunjukan yang banyak digali dari
teater rakyat Jawa merupakan bagian dari upaya pencarian
estetika keindonesian dalam karya seni. Secara kultural pemilihan
estetika Teater Gandrik yang bersumber dari teater rakyat Jawa
sejak awal tahun ’80-an sesungguhnya dipengaruhi oleh semangat
pencarian estetika keindonesiaan yang memang terus
berlangsung sejak tahun ’60-an hingga ’80-an.
Keempat, makna pertunjukan “Orde Tabung” secara
konotatif mengacu kepada kisah tentang tragedi kaum minoritas
(mantan tahanan politik, pejuang pro demokrasi) yang selalu
dipinggirkan dalam kehidupan sosial politik di Indonesia yang
xxxi
disajikan secara komedi. Permasalahan yang dipaparkan dalam
lakon ini secara simbolik mampu melintasi ruang dan waktu.
Makna pertunjukan “Departemen Borok” dapat digali dari
kranjang sampah yang muncul selama delapan kali, baik dalam
fungsinya sebagai setting maupun properti yang dibawa Minor.
Frekuensi kemunculan kranjang sampah yang sering dalam
pertunjukan ini merupakan sebuah penanda yang terkait dengan
makna pertunjukan secara keseluruhan. Maksudnya, kranjang
sampah sebagai tempat pembuangan barang-barang tidak
berguna secara konotatif mengacu kepada makna tentang
ketidakberhasilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kemunculan kranjang sampah sebanyak delapan kali selama
pertunjukan semakin mempertegas kegagalan pemberantasan
korupsi.
Kelima, penelitian ini memiliki implikasi strategis bagi upaya
menciptakan teori dramaturgi khas Indonesia. Hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai model untuk melakukan studi yang
sama terhadap dramaturgi teater mutakhir yang secara intensif
menggali unsur-unsur tradisi budaya etnik di Nusantara
seperti yang dikembangkan Wisran Hadi di Padang, Putu
Wijaya bersama Teater Mandiri dsb. Jadi, penelitian dramaturgi
Teater Gandrik memiliki implikasi positif untuk mendorong
penelitian-penelitian sejenis dengan objek teater mutakhir di
berbagai daerah. Melalui penelitian ini diharapkan dapat
diketemukan teori-teori dramaturgi khas Indonesia.
B. Saran-saran
Hasil kerja penelitian ini dapat digunakan sebagai model
untuk mengungkapkan estetika, faktor-faktor sosiologis pemilihan
suatu estetika, dan makna pertunjukan sebuah grup teater di
xxxii
tanah air. Bahkan penelitian ini tidak hanya dapat dipergunakan
sebagai model penelitian dramaturgi sebuah grup teater modern,
tetapi juga untuk penelitian teater tradisional seperti wayang
kulit, wayang orang, ketoprak, ludruk, dan teater tradisional yang
lain.
KEPUSTAKAAN Aston, Elain & Geroge Savona. Theatre AS Sign System: A Semiotics of
Text and Performance. London: Rout-ledge, 1991. Eko, Sutoro. Transisi Demokrasi Indonesia: Runtuhnya Rezim Orde
Baru. Yogyakarta: APMD Press, 2003.
Elam, Keir. The Semiotics Theatre and Drama. London: Methuen Drama, 1991.
Frerer, Loyd Anton. Directing For the Stage. Chicago: NTC Publishing
Group, 1996. Gie, The Liang. Garis Besar Estetik Filsafat Keindahan. Yogyakarta:
Karya, 1976. _____. Filsafat Seni. Yogyakarta: Penerbit Pusat Belajar Ilmu Beruna,
2004. Junus, Umar. Sosiologi Sastera Persoalan Teori dan Metode. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajar Malaysia, 1986.
Kernodle, George. “Menonton Teater”. Diterjemahkan Yudiariani
Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan. Dibiayai UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta , 2008.
Kernodle, George & Portia Kernodle, Invitation to the Theatre. Edisi
Kedua. Atlanta: Harcourt Brace Javanvich, Inc, 1978. Mas’oed, Mochtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru1966-1971.
Jakarta: LP3S, 1989.
xxxiii
_____. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1994a. _____. “Isyu”. Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1987. _____. “Orde Tabung”. Yogyakarta: Naskah Tidak Diterbitkan, 1988. _____. ”Orde Tabung”. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan, 1993. ______, Palaran Lima Lakon Avant Gandrik. Yogyakarta: Gondho Suli,
2001. _____. “Departemen Borok”. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan,
2003. _____. “Departemen Borok”. Yogyakarta: Naskah tidak diterbitkan,
2003. Murno, Thomas. “The Morphology of Art as a Branch of Aesthetics”
in Monroe C. Beardsley & Hebert M. Schueller (Eds.) Aesthetics Inquiry: Essay on Art Criticism and the Philosophy of Art. Belmont, California: Dickenson Publlishing Company Inc., 1967.
Nugroho, Handoko Adi. “Teater Gandrik Terapkan Demokratisasi Teater”. Yogyakarta: Harian Bernas, 4 November 1992. Prasetiantono, A Tony. Rambu-rambu Yang Diabaikan. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2005. Reiss, H.S. “Franz Kafka’s Conception of Humour”. In The Modern
Language Review. London: Modern Humanities Research Association, Vol. 44, No. 4, Oktober 1949.
Rendra. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia, 1983. Schechner, Richard. Performance Theory. New York: Routledge
Classics, 2003. Soemanto, Bakdi. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo, 2001.
xxxiv
Sumardjo, Jakob. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung, 2006.
Sukirnanto, Slamet. “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia
Akhir-akhir Ini Tidak Sehat, Tidak jelas dan Brengsek!”. Dimuat dalam Pamusuk Eseste, Ed., Pengadilan Puisi. Jakarta: PT Gunung Agung, 1986.
Susanto, Astrid S. “Makna dan Fungsi Kritik Sosial dalam
Masyarakat dan Negara”. Jakarta: Prisma No. 10, Oktober 1977.
Watson, Ian. Towards a Third Theatre. London: Routledge, 1995. Wolff, Janet. The Social Production of Art. New York: Martin’s Press,
1981.