Post on 08-Feb-2016
description
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
KABUPATEN KAMPAR (SEBARAN TITIK API LIMA TAHUN
TERAKHIR)
Disusun Oleh :
AKHMAD NURDINSYAH NIM. 0910102
PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ii
DAFTAR TABEL ………..………………………………………………….... iii
DAFTAR GAMBAR ………..…………………………………………………. iv
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
II. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
2.1. Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan ……………………. 4
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan .…. 5
2.2.1. Peranan manusia ………………………………………… .…. 6
2.2.2. Faktor alami ……………………………………………….…. 7
III. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN
KAMPAR
3.1. Sebaran Titik Api Berdasarkan Penggunaan Lahan ..………………. 9
3.2. Sebaran Titik Api Berdasarkan Penguasaan Lahan ..……………….. 11
3.3. Sebaran Titik Api Berdasarkan Kecamatan …………………………. 13
3.4. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Lingkungan di
Kabupaten Kampar …………………………..................................... 15
IV. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DAMPAK KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN
4.1. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan ..................………………. 18
4.2. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ..................……………… 20
4.3. Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan …………. 22
4.4. Pencegahan dan Pengendalian Dampak Kebakaran Hutan dan
Lahan ………….................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA …………..……………………………………………. 25
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Sebaran Titik Api Periode 2004-2008 Berdasarkan Penggunaan Lahan ………………………………………………………………….… 9
2. Sebaran Titik Api Periode 2004-2008 Berdasarkan Penguasaan Lahan ………………………………………………………………….… 11
3. Sebaran Titik Api Periode 2004-2008 Berdasarkan Kecamatan .…….… 13
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Grafik Sebaran Titik Api Berdasarkan Penggunaan Lahan .………….… 10
2. Grafik Sebaran Titik Api Berdasarkan Penguasaan Lahan ..………….… 11
I. PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bentuk gangguan yang
makin sering terjadi di Indonesia ini khususnya Propinsi Riau. Kejadian
kebakaran hutan dan lahan setiap tahun cenderung semakin meningkat. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya kerawanan hutan dan lahan terhadap kebakaran
diantaranya karena konversi hutan alam yang masih sering dilakukan
dengan pembakaran, serta kebiasaan membakar lahan untuk
menyiapkan lahan pada musim kemarau.
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian yang sangat besar,
karena menghilangkan tegakan hutan yang bernilai ekonomis tinggi serta
hilangnya keanekaragaman hayati didalamnya. Kerusakan hutan dan lahan
akibat kebakaran telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat
signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang
berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global (global warming).
Kecenderungan tersebut saat ini sudah dimulai dengan mencairnya sebagian salju
abadi di puncak Gunung Jayawijaya dan mencairnya sebagian es di Kutub Utara,
suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-
200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar
memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025
(Bapedalda, 2008). Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan
banyak wilayah. Akibat lain dari kebakaran hutan adalah penambahan jumlah
lahan kritis, penurunan keragaman flora dan fauna, serta kerugian lain dengan
menurunnya kualitas lingkungan. Selain itu akibat buruk dari kebakaran hutan
adalah terjadinya polusi udara. Polusi yang berupa asap dapat mengganggu
aktivitas dan kesehatan masyarakat.
Seperti telah diketahui jutaan hektar hutan dan lahan di Indonesia telah
rusak akibat kebakaran hutan dan lahan dalam dua dasawarsa terakhir.
Sepanjang periode tersebut terdapat tahun tertentu dengan luas kebakaran yang
cukup besar. Data menunjukkan bahwa pada tahun 1982/1983 hutan dan lahan
yang mengalami kebakaran adalah seluas 3,6 juta ha, pada tahun 1994 seluas
2
5,11 juta ha dan pada tahun 1997/1998 lebih dari 10 juta ha. Sebagian besar
hutan dan lahan tersebut terdapat di Sumatera dan Kalimantan (Saharjo dalam
Adiningsih, 2003).
Selanjutnya dikatakan, walaupun kebakaran hutan dan lahan lebih banyak
disebabkan oleh kegiatan manusia, tetapi berdasarkan pengalaman, kebakaran
menjadi lebih buruk ketika terjadi kemarau panjang atau saat El Nino muncul.
Sebaliknya, saat La Nina kebakaran hutan dan lahan menjadi menurun. Hasil
evaluasi dari citra satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric
Administration - Advanced Very High Resolution Radiometer), kejadian
kebakaran hutan/lahan di Sumatera dan Kalimantan tahun 1997 dan 1998
menunjukkan, bahwa pada tahun 1997 di beberapa propinsi di Sumatera seperti
Riau, Jambi dan Sumatera Selatan dideteksi titik panas dengan jumlah lebih dari
100 titik tiap bulannya terutama pada bulan Juli sampai dengan September 1997.
Hal ini tampaknya sejalan dengan kondisi fenomena El Nino pada tahun 1997
yang mulai menguat pada bulan Juli dan hampir mencapai puncaknya pada bulan
September. Jumlah tersebut cukup besar bila dibandingkan dengan periode yang
sama pada tahun 1998 dengan jumlah kurang dari 50 titik (periode La Nina).
Saat musim kemarau panjang, kebakaran besar bisa terjadi di areal yang
luas dan sulit terjangkau. Keterbatasan sumberdaya pemadaman menjadi salah
satu kendala yang paling sering dihadapi dilapangan. Sementara itu, kesadaran
akan upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan oleh pemerintah sudah
lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari
pengalokasian anggaran untuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan dan lahan
telah dilakukan oleh semua pihak baik Pemerintah, pemerintah daerah, badan
usaha dan masyarakat, termasuk mengefektifkan perangkat hukum, namun belum
memberikan hasil yang optimal. Kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan di Kabupaten Kampar masih bersifat pemantauan lapangan terhadap data
hot spot, sehingga terkesan bahwa aksi dilakukan pada saat terjadinya kebakaran
hutan dan lahan dengan upaya pemadaman. Sosialisasi sebagai bentuk tindakan
pencegahan telah dilaksanakan, namun setiap tahun Kabupaten Kampar masih
3
sebagai penghasil kabut asap. Data-data hot spot belum dijadikan sumber data
yang bisa diolah dan dipakai sebagai alat deteksi dini dalam penentuan prakiraan
kejadian kebakaran hutan dan lahan selanjutnya. Oleh karena itu kegiatan
pengendalian perlu difokuskan pada wilayah-wilayah yang sering terbakar
dengan pengkajian sebaran hot spot (titik api) di Kabupaten Kampar selama lima
tahun terakhir sebagai informasi dan alat deteksi dini, sehingga dapat terlihat
jelas trend dan prakiraan yang akan terjadi dan upaya-upaya yang harus
dilakukan pada wilayah-wilayah tersebut serta dampak yang ditimbulkan dari
kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kampar.
II. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Kebakaran hutan dan lahan selama musim kering dapat disebabkan atau
dipicu oleh kejadian alamiah dan oleh kecerobohan manusia. Menurut Abdullah et
al. (2002), kejadian alamiah seperti terbakarnya ranting dan daun kering secara
spontan akibat panas yang ditimbulkan oleh batu dan benda lainnya yang dapat
menyimpan dan menghantar panas, dan pelepasan gas metana (CH4) telah
diketahui dapat memicu terjadinya kebakaran. Meskipun demikian, pemicu utama
terjadinya kebakaran adalah adanya kegiatan dan atau kecerobohan manusia, yang
90-95% kejadian kebakaran dipicu oleh faktor ini.
2.1. Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
Api sebagai alat atau teknologi awal yang dikuasai manusia untuk
mengubah lingkungan hidup dan sumberdaya alam dimulai pada pertengahan
hingga akhir zaman Paleolitik, 1.400.000-700.000 tahun lalu. Sejak manusia
mengenal dan menguasai teknologi api, maka api dianggap sebagai modal dasar
bagi perkembangan manusia karena dapat digunakan untuk membuka hutan,
meningkatkan kualitas lahan pengembalaan, memburu satwa liar, mengusir satwa
liar, berkomunikasi sosial disekitar api unggun dan sebagainya (Soeriaatmadja,
1997).
Kebakaran hutan dan lahan terjadi karena adanya proses penyalaan api
yang terjadi karena adanya ketersediaan unsur penyebab kebakaran hutan dan
lahan, yaitu tersedianya udara, bahan bakar dan sumber panas (nyala api).
Kebakaran hutan terjadi apabila ketiga unsur tersebut muncul bersamaan, sehingga
saling mendukung munculnya api. Sebagai gambaran ada bahan bakar dan panas
yang terjadi karena suhu yang tinggi, namun tanpa adanya udara sebagai penyulut
api, tidak mungkin terjadi kebakaran hutan. Atau apabila udara ada dan bahan
bakar memungkinkan, namun apabila suhu panas tidak mendukung, maka juga
tidak akan terjadi kebakaran. Dengan demikian upaya perlindungan harus diarahkan
supaya ketiga unsur tersebut tidak muncul bersamaan (Bapedalda, 2008).
5
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan bahwa api kebakaran
hutan dan lahan akan terjadi apabila ketiga unsur tersebut ada bersama-sama. Jadi
secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
API = BAHAN BAKAR + UDARA + PANAS
Bahan bakar tersebut akan dapat terbakar tergantung dari titik bakarnya.
Titik bakar adalah suhu dimana suatu benda (bahan bakar) akan terbakar. Setiap
jenis benda atau bahan bakar memiliki titik bakar yang berbeda-beda.
Ketika api menyala pada bahan bakar alami, tiga tingkatan proses akan
terjadi. Proses pertama, periode awal berkembangnya api, yang menghasilkan
pemanasan, pengeringan dan destilasi sebagian dari bahan bakar yang berada di
depan lidah api. Proses kedua adalah proses transisi atau pembakaran gas.
Lidah api yang terlihat dalam kebakaran adalah contoh dari gas-gas yang
terbakar. Jika proses pembakaran ini tidak sempurna, maka gas-gas tersebut akan
terkondensasi yang kelihatan sebagai asap, atau cairan pada bahan bakar.
Proses ketiga yaitu periode terbakarnya arang, yang menghasilkan sisa
pembakaran sebagai abu.
Energi yang menjaga berlangsungnya proses pembakaran adalah energi panas.
Ketika ditransfer ke bahan bakar yang belum terbakar, panas ini akan menaikkan
suhu ke suatu titik di mana bahan bakar akan berubah menjadi gas, bereaksi dengan
oksigen dan menghasilkan panas, sehingga rantai pembakaran terus berlangsung.
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan,
apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Menurut Danny (2001),
penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena
aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam.
Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena
sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan
srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses
alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
6
2.2.1. Peranan manusia
Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan
telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu.
Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang
lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih
dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan
pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat
yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang
baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm dan Glover, 1999).
Kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997 dan awal 1998
kebanyakan berawal dari pembakaran yang dilakukan dengan sengaja. Menurut
Bapedalda (2008), beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan kebakaran
karena manusia adalah :
a. Konversi lahan : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari
kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri, pembuatan
jalan, jembatan, bangunan dan lain-lain.
b. Pembakaran vegetasi : kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari
pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali sehingga api
lompat, misalnya pembukaan areal HTI dan perkebunan, penyiapan lahan oleh
masyarakat.
c. Aktivitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam : kebakaran yang disebabkan
oleh api yang berasal dari aktivitas selama pemanfaatan sumberdaya alam.
Pembakaran semak belukar dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan
pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar, pencari ikan di dalam
hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkam api akan menimbulkan
kebakaran.
d. Pembuatan kanal-kanal/saluran-saluran di lahan gambut : saluran-saluran
ini umumnya digunakan untuk sarana transportasi kayu asil tebangan maupun
irigasi. Saluran yang tidak dilengkapi pintu kontrol air yang memadai
menyebabkan lari/lepasnya air dari lapisan gambut sehingga gambut menjadi
kering dan mudah terbakar.
7
e. Penguasaan lahan, api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh
kembali hak-hak atas lahan atau bahkan menjarah lahan “tidak bertuan” yang
terletak di dekatnya.
Namun, bahan kayu biasanya sangat jarang terbakar sendiri karena
membutuhkan suhu yang tinggi untuk memicu untuk dapat terbakar.
Kebanyakan kebakaran yang terjadi di Indonesia berawal dari pembakaran yang
dilakukan oleh manusia. Hal ini ditunjukkan data sebaran hotspot pada tahun
1997 yang dikemukakan oleh Saharjo dan Husaeni (1998) yaitu 45,95 % pada
perkebunan, 24,76 % pada peladangan berpindah, 15,49 % pada hutan produksi,
8,51 % pada hutan tanaman, 4,58 % pada hutan lindung dan taman nasional dan
1,20 % pada areal transmigrasi.
2.2.2. Faktor alami
Kebakaran hutan besar terpicu pula oleh munculnya fenomena iklim El-
Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Perkembangan
kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi
kebakaran yang tidak hanya di Kalimantan Timur, tetapi hampir di seluruh
propinsi, serta tidak hanya terjadi di kawasan hutan tetapi juga di lahan non
hutan.
Cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan cara yang
berbeda tapi saling terkait. Kaitan antara cuaca dan iklim dalam mempengaruhi
kebakaran hutan dan lahan adalah (1) iklim sangat mempengaruhi jumlah total
bahan bakar yang tersedia untuk pembakaran, (2) iklim menentukan seberapa
panjang dan seberapa parah episode kebakaran, (3) cuaca mengatur kadar air
bahan bakar mati, selanjutnya kemudahan terbakar (flammability), dan (4) cuaca
mempunyai pengaruh yang independen terhadap penyalaan dan penyebaran
kebakaran hutan.
Api dapat tidak terkendali dan secara liar menyebar khususnya ketika
terjadi kekeringan berkepanjangan. Kebakaran besar di hutan Indonesia selalu
berasosiasi dengan kejadian El Nino. Selama El Nino, hujan dipindahkan ke arah
8
timur Indonesia ke Pasifik tengah menyebabkan kekeringan panjang dan cuaca
yang panas di Indonesia, Filipina dan bagian utara Australia.
Kekeringan yang terjadi selama El Nino juga menyebabkan sumber air
berupa kolam-kolam penampung atau sungai menjadi surut. Sumber-sumber air
yang ada sangat sulit dijangkau sehingga mempersulit upaya pemadaman
kebakaran (Saharjo, 1997). Kebanyakan kebakaran hutan besar terjadi selama
kondisi cuaca yang ekstrim dan tidak biasa, dimana hal ini sesuai dengan
perkiraan. Kekeringan berkepanjangan, disertai suhu udara yang tinggi dan
kelembaban relatif udara yang rendah, membentuk situasi bagi kebanyakan
kebakaran besar karena menurunkan kandungan kelengasan bahan bakar hutan
mencapai kondisi rendah yang ekstrim. Kondisi kebakaran yang hebat biasanya
terjadi selama panas di hari-hari terik, kondisi yang kurang baik kemudian
mengikuti. Beberapa kebakaran mencapai intensitas tertinggi pada malam hari dan
beberapa kebakaran menyebar sangat cepat bahkan ketika suhu maupun
kelembaban udara tidak ekstrim (Soemarsono, 1997).
Faktor alam yang menyebabkan kebakaran dapat dibedakan menjadi
empat yaitu : bahan bakar (ukuran bahan bakar, banyaknya bahan bakar, jenis
bahan bakar dan kadar air bahan bakar), cuaca (angin, suhu, curah hujan, keadaan
air tanah dan kelembaban relatif), waktu (kondisi kebakaran yang paling mudah
dikontrol yaitu pada waktu pukul 04.00 - 06.00 atau pukul 21.00 - 04.00) dan
topografi (kemiringan lahan, arah lereng dan medan). Keempat faktor ini
memiliki peran yang besar dalam mempercepat proses terjadinya kebakaran
IV. DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN
KAMPAR
Berdasarkan pantauan satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and
Atmospheric Administration - Advanced Very High Resolution Radiometer) yang
dianalisis dan di-overlay-kan secara digital dengan peta administrasi Kabupaten
Kampar, periode tahun 2004 – 2008 tercatat 1.110 hotspot (titik api). Titik api
paling tinggi yang terpantau pada tahun 2006 sebanyak 306 titik api, sedangkan
terendah yang terpantau pada tahun 2005 sebanyak 141 titik api. Pada tahun 2009
berdasarkan analisa dan pantauan titik api sampai akhir Oktober 2009 tercatat
208 titik api (hasil analisis).
4.1. Sebaran Titik Api Berdasarkan Penggunaan Lahan
Berdasarkan penggunaan lahan atau pemanfaatan ruang maka titik api
terdistribusi pada areal kebun, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan
Hutan (HPH)/Eks HPH, dan lahan masyarakat/ areal penggunaan lainnya (APL)
(Tabel 1.).
Tabel 1. Sebaran Titik Api Periode 2004-2008 Berdasarkan Penggunaan Lahan di Kabupaten Kampar.
Jumlah Titik Api (Tahun) No Penggunaan Lahan
2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah
1 Kebun 71 28 44 23 23 189 2 HTI 73 41 115 31 58 318 3 HPH/ Eks HPH 28 6 11 1 2 48 4 Lahan masyarakat 101 66 136 97 155 555 Jumlah 273 141 306 152 238 1.110
Sumber : Hasil analisis, 2009
Dilihat dari Tabel 1, maka sebaran titik api banyak berada pada lahan
masyarakat/ areal penggunan lainnya (APL) sebanyak 555 titik atau sebesar
50,00 % dari totak titik api, setelah itu areal HTI sebanyak 318 titik (28,65%),
areal kebun sebanyak 189 titik (17,03%) dan areal HPH/Eks HPH sebanyak 48
(4,32%). Secara grafis sebaran titik api berdasarkan penggunaan lahan di
Kabupaten Kampar dapat dilihat dalam Gambar 1.
10
Gambar 1. Grafik Sebaran Titik Api Berdasarkan Penggunaan Lahan
Dari Tabel 1 dan Gambar 1. dapat diketahui sebaran titik api tersebut
dapat secara jelas terlihat bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada
periode 2004-2008 banyak dilakukan pada lahan masyarakat. Hal ini disebabkan
pembukaan lahan dan persiapan lahan oleh petani/ masyarakat dengan cara
membakar merupakan cara yang murah dan cepat terutama bagi tanah yang
berkesuburan rendah.
Berkurangnya lahan pertanian produktif akibat alih fungsi lahan
mengakibatkan berkurangnya produksi pertanian terutama padi-padian di
Kabupaten Kampar. Alih fungsi penggunaan lahan yang dilakukan oleh berbagai
pihak didasarkan pada pertimbangan produktifitas ekonomi yang dapat dihasilkan
lahan. Penggunaan satu hektar lahan untuk keperluan pertanian diprakirakan akan
menghasilkan lebih kecil nilai ekonomis dibandingkan dengan penggunaan satu
hektar lahan untuk kepentingan perkebunan (Pemkab Kampar, 2008). Oleh
karena itu para pemilk lahan pertanian semusim lebih memilih dan mengubah
fungsinya menjadi lahan perkebunan. Perubahan fungsi lahan ini yang
mendorong masyarakat untuk melakukan pembakaran pada saat pembersihan
lahan perkebunannya.
Sektor perkebunan kelapa sawit lima tahun terakhir memang menjadi
sektor unggulan masyarakat di Kabupaten Kampar, dengan dukungan Pemerintah
Propinsi Riau melalui program K2i perluasan areal tanaman sawit sampai saat ini
11
masih terus berlanjut, hal ini ditunjang juga oleh banyaknya berdiri pabrik
pengolahan minyak kelapa sawit. Sejalan dengan itu pola pembakaran lahan baik
untuk lahan perkebunan maupun pertanian lainnya masih terus dilakukan. Dari
hasil analisa sebaran titik api pada bulan Januari 2009 sampai Oktober 2009
terpantau titik api pada lahan masyarakat sebanyak 125 titik api atau 60,10% dari
208 titik api yang terpantau di Kabupaten Kampar, selebihnya tersebar pada areal
Kebun sebanyak 24 titik api (11,54%), areal HTI sebanyak 51 titik api (24,52%)
dan areal HPH/Eks HPH sebanyak 8 titik api (3,85%).
Pemerintah sampai saat ini belum memberikan solusi konkrit dalam
pemecahan masalah pembukaan lahan dengan sistem zero burning, karena semua
konsep pembukaan lahan tanpa bakar sampai saat ini merupakan sistem yang
sangat mahal apabila dilakukan oleh masyarakat.
4.2. Sebaran Titik Api Berdasarkan Penguasaan Lahan
Apabila dilihat dari penguasaan lahan atau izin pemanfaatan ruang, maka
titik api tersebar pada (Tabel 2 dan Gambar 2) :
1. Areal kelola masyarakat, dan
2. Areal yang telah diberikan hak pemanfaatan ruang (HTI, Perkebunan dan
HPH/Eks HPH).
Tabel 2. Sebaran Titik Api Periode 2004-2008 Berdasarkan Penguasaan Lahan di Kabupaten Kampar.
Jumlah Titik Api (Tahun) No Penggunaan Lahan
2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah
1 Kelola masyarakat 101 66 136 97 155 555
2 Areal yang telah diberikan izin pemanfaatan ruang
172 75 170 55 83 555
Jumlah 273 141 306 152 238 1.110 Sumber : Hasil analisis, 2009
Dilihat dari pola penguasaan lahan maka sebaran titik api berimbang pada
areal kelola masyarakat dan areal yang telah diberikan pemanfaatan ruang
(Kebun, HTI dan HPH/eks HPH).
12
Dari porsi ini dapat secara jelas terlihat bahwa masyarakat dan pemilik
izin pemanfaatan ruang sama-sama berkontibusi dalam kejadian kebakaran hutan
dan lahan di Kabupaten Kampar. Pemilik izin memiliki tanggung jawab terhadap
areal kelolanya beserta dampak yang ditimbulkannya ketika izin tersebut
diberikan oleh negara.
Gambar 2. Grafik Sebaran Titik Api Berdasarkan Penguasaan Lahan
Dari grafik pada Gambar 2 dapat diketahui, pada tahun 2004-2006 areal
yang telah diberikan izin pemanfaatan ruang memiliki jumlah titik api yang
tinggi dibandingkan areal kelola masyarakat, tetapi pada tahun 2007-2008 areal
kelola masyarakat lebih mendominasi distribusi titik api dibandingan areal yang
telah diberikan izin pemanfaatan. Pada areal yang telah diberikan izin
pemanfaatan ruang, yang berkontribusi besar dalam melakukan kebakaran hutan
adalah areal HTI yakni sebanyak 318 titik api atau 68,65 % dari jumlah tutik api
pada areal yang telah diberikan izin pemanfaatan ruang.
Secara umum kebakaran yang terjadi pada areal yang dibebani hak, bisa
disebabkan beberapa hal antara lain : kurangnya sarana dan prasarana kebakaran
hutan dan lahan yang dimiliki oleh pemilik hak sehingga api sulit dipadamkan
pada saat api kecil dan belum merembet ke tempat lain, kurangnya sosialisasi
kepada masyarakat sekitar areal konsesi tentang kebakaran hutan dan lahan,
13
adanya tumpang tindih kepemilikan (areal sengketa terutama yang berbatasan
dengan lahan masyarakat), kurang optimalnya patroli rutin yang dilakukan
petugas perusahaan terutama pada saat musim panas, areal konsesi tidak dikelola
lagi karena telah habis masa konsesi sehingga areal tersebut terkesan tidak
bertuan (khusus areal eks HPH), dan alih fungsi sistem silvikultur (TPTI menjadi
THPB).
4.3. Sebaran Titik Api Berdasarkan Kecamatan
Sebaran titik api pada periode 2004-2008 tersebar di 20 kecamatan dalam
Kabupaten Kampar. Hal ini berarti dari semua kecamatan di Kabupaten Kampar
ditemukan titik api, meskipun menurut data tahunan pantauan titik api pada
periode 2004-2008 tidak semua kecamatan di Kabupaten Kampar terpantau titik
api. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sebaran Titik Api Periode 2004-2008 Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Kampar.
Jumlah Titik Api (Tahun) No Kecamatan
2004 2005 2006 2007 2008 Jumlah
1 Bangkinang 1 9 22 15 16 63 2 Bangkinang Barat - 2 2 6 2 12 3 Bangkinag Seberang 5 5 3 1 2 16 4 Gunung Sahilan 6 4 11 10 14 45 5 Kampar 8 8 8 2 1 27 6 Kampar Kiri 3 4 25 30 70 132 7 Kampar Kiri Hilir 10 10 49 20 10 99 8 Kampar Kiri Hulu 1 - - 7 13 21 9 Kampar Kiri Tengah 1 - 5 4 5 15 10 Kampar Timur 1 4 2 - 2 9 11 Kampar Utara - 1 - - - 1 12 Perhentian Raja - - 4 1 2 7 13 Rumbio Jaya - - 1 - - 1 14 Salo 1 5 18 6 8 38 15 Siak Hulu 40 6 11 4 5 66 16 Tambang 13 6 19 5 7 50 17 Tapung 33 23 35 9 14 114 18 Tapung Hilir 73 17 39 3 24 156 19 Tapung Hulu 48 35 43 4 10 140 20 XIII Koto Kampar 29 2 9 25 33 98
Jumlah 273 141 306 152 238 1.110 Sumber : Hasil analisis, 2009
14
Berdasarkan data Tabel 3 diperoleh informasi sebaran titik api terbanyak
(di atas 100 titik api) pada periode 2004-2008 masing-masing di Kecamatan
Tapung Hilir sebanyak 156 titik api (14,05%), setelah itu Kecamatan Tapung
Hulu sebanyak 140 titik api (12,61%), Kecamatan Kampar Kiri sebanyak 132
titik api (11,89%), dan Kecamatan Tapung sebanyak 114 titik api (10,27%).
Besarnya kejadian kebakaran (hot spot) di Kecamatan Tapung Hilir
disebabkan adanya pembukaan lahan menjadi areal perkebunan. Menurut
Bapedalda (2008), rata-rata waktu hujan pertahun 9,43 per hari dengan curah
hujan rata-rata 136,71 mm. Sedangkan penggunaan kawasan untuk perkebunan
adalah 31.790 ha (kelapa sawit) dan 176 ha (karet) dari luas wilayah 101.356 ha.
Kecamatan Tapung Hulu memiliki potensi sebesar 12,61 % sebagai
kecamatan penghasil titik api. Dengan rata-rata waktu hujan per tahun 7,5 hari
dan curah hujan rata-rata 203,25 mm. Menurut Bapedalda (2008), kebakaran
hutan dan lahan sering terpantau di bagian utara Kecamatan Tapung Hulu yaitu
di Desa Danau Lancang, kawasan ini berada di lokasi perkebunan. Kebakaran
yang terjadi karena adanya upaya konversi lahan hutan menjadi perkebunan baik
oleh masyarakat maupun perusahaan.
Demikian juga dengan Kecamatan Kampar Kiri dan Kecamatan Tapung,
kebakaran yang terjadi sangat dipengaruhi oleh sikap masyarakat dan pengusaha
dalam pembukaan lahan untuk kegiatan perkebunan dan hutan tanaman industri
(Bapedalda, 2008).
Dari Tabel 3 diketahui, terdapat kecamatan yang menunjukan bahwa
jumlah titik api semakin tahun mengalami kenaikan yakni Kecamatan Kampar
Kiri. Hal ini bisa kita kaitkan dengan jumlah rata-rata hari hujan pertahun
sebesar 10,4 hari dan rata-rata hujan per bulan 204,7 mm. Untuk bulan basah
hanya terjadi selam 5 bulan. Kondisi ini menunjukan bahwa sebaran bulan basah
di Kecamatan Kampar Kiri sebagian besar merupakan bulan kering, selain itu di
kecamatan ini terdapat perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri
(Bapedalda, 2008).
15
Hasil analisis sebaran hot spot bulan Januari sampai Oktober 2009
ditemukan Kecamatan Kampar Kiri terpantau 41 titik api, angka yang sama juga
terjadi di Kecamatan XIII Koto Kampar. Angka ini merupakan angka tertinggi
dari 208 titik api yang terpantau di Kabupaten Kampar selama periode tersebut.
Disamping terdapat kecamatan yang memiliki kejadian kebakaran (hot
spot) tertinggi, juga terdapat kecamatan yang hanya terpantau 1 titik api saja
selama periode 2004-2008 yaitu Kecamatan Rumbio Jaya dan Kecamatan
Kampar Utara. Kedua kecamatan ini memiliki luas yang wilayah yang kecil yaitu
0,7 % dari luas Kabupaten Kampar 1.128.928 ha. Apabila dikaitkan dengan
jumlah rata-rata hari hujan pertahun Kecamatan Rumbio Jaya sebesar 14,40 hari
dan rata-rata hujan per bulan 278,2 mm. Kecamatan Kampar Utara tercatat
memiliki rata-rata hari hujan pertahun sebesar 14,42 hari dan rata-rata hujan per
bulan 278,25 mm (Bapedalda, 2008). Bila dibandingkan, kedua kecamatan ini
memiliki rata-rata hari hujan dan rata-rata hujan per bulan lebih tinggi dari
kecamatan lainnya.
4.4. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan terhadap Lingkungan di
Kabupaten Kampar
Menurut Saharjo (2003), kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat
besar sekali baik terhadap kehidupan manusia maupun terhadap kehidupan
mahluk hidup lainnya. Yang paling merugikan adalah timbulnya korban akibat
keganasan api baik langsung maupun tidak langsung, serta hilangnya plasma
nutfah dan lenyapnya spesies tanaman dan binatang yang tidak mungkin kembali
lagi.
Selanjutnya, perubahan sumber daya dan fungsi lingkungan karena
adanya kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan terjadinya penurunan
produktivitas lahan, penurunan fungsi hidrologis : daya serap/tampung air
berakibat banjir, penurunan fungsi pengendalian erosi (terjadi sedimentasi),
penurunan kualitas udara dan gangguan asap, serta penurunan kualitas air.
16
Menurut Pemkab Kampar (2009), terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
Kabupaten Kampar telah menyebabkan turunnya produktivitas lahan dan
meningkatnya lahan kritis. Luas lahan kritis di Kabupaten Kampar sampai dengan
tahun 2009 adalah 35.163,48 ha. Penyebab bertambahnya lahan kritis di
Kabupaten Kampar ini akibat kebakaran hutan dan lahan, perambahan hutan, alih
fungsi hutan, serta pembukaan lahan. Masalah banjir di Kabupaten Kampar tidak
terlepas dari fakor pembukaan lahan, kebakaran hutan dan lahan pada hulu yang
menyebabkan erosi sehingga terjadi sedimentasi.
Dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kabupaten Kampar
secara langsung sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang
menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar yang dilindungi yang
kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerangan
dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya dengan
tingginya kasus ISPA sebagai akibat terpapar oleh polusi asap dari kebakaran
hutan dan lahan tersebut. Penderita pada daerah bencana asap meningkat sebesar
1,8 – 3,8 kali lebih besar dari jumlah penderita ISPA periode yang sama tahun-
tahun sebelumnya (Pemkab Kampar, 2009).
Selanjutnya dikatakan, dampak kebakaran hutan bukan saja
mengakibatkan gangguan pencemaran udara, tetapi juga telah menghanguskan
biodiversitas pada kawasan hutan yang terbakar. Biota yang terbakar terdiri dari
flora dan fauna. Bagi jenis flora tidak memiliki mobilitas dibanding fauna
sehingga akan langsung punah. Namun bagi fauna yang dapat menghindar dari
kebakaran juga lambat laun akan terancam punah karena rusaknya habitat hidup
dan ketiadaan sumber makanan akibat rusaknya ekosistem. Kebakaran hutan juga
dapat memicu terjadinya kebakaran lahan atau sebaliknya, apalagi Kabupaten
Kampar memiliki kawasan gambut yang cukup luas (± 119.775 Ha) yang
berpotensi tinggi untuk terbakar. Jika hal ini terjadi maka perkiraan biaya
pemulihan lahan gambut berketebalan 10 cm saja sebesar 250-260 juta per hektar.
Sementara kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan diperkirakan Rp. 20 juta
per hektar.
17
Akibat tidak langsung dari kebakaran lahan gambut merupakan akibat
lanjutan (post-effect) yang dihasilkan ketika proses pemulihan hutan dan lahan
baik secara alamiah maupun buatan manusia belum mencapai titik pulih. Akibat
ini bisa terjadi selama bertahun-tahun tergantung kemampuan untuk memulihkan.
Akibat utamanya adalah terganggunya fungsi hidrologis dan pengaturan iklim.
Hilangnya vegetasi dan terbukanya hutan dan lahan menyebabkan debit aliran
permukaan dan erosi akan meningkat dalam musim hujan sehingga dapat
menyebabkan banjir. Selain itu, hilangnya vegetasi akan mengurangi penyerapan
CO2
sehingga meningkatkan efek rumah kaca dan hutan juga kehilangan fungsi
pengaturan iklimnya (Kurnain, 2008).
Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kampar, estimasi
luas kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kampar tahun 2009 yang terjadi di
kawasan gambut adalah seluas 3,5 hektar dari total estimasi luas kebakaran hutan
dan lahan 245,55 hektar.
Kebakaran hutan dan lahan setiap tahunnya telah memberikan dampak
negatif bagi keanekaragaman hayati. Berbagai jenis kayu endemik di Kabupaten
Kampar telah menjadi langka. Kayu Kempas (Koompassia malacanensis), kayu
Mahang (Macaranga gigonteai), Ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa
jenis Meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis kayu yang sudah
sulit ditemukan di Kabupaten Kampar. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang
dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah
sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya (Pemkab Kampar,
2009).
V. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DAMPAK KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN
Hasil analisis sebaran hot spot periode 2004-2008 memberikan informasi
bahwa daerah yang perlu mendapat perhatian serius terkait dengan kemungkinan
terjadinya kejadian kebakaran adalah lahan masyarakat, lahan yang telah
diberikan pemanfaatan ruang (Kebun, HTI dan HPH/eks HPH), dan Kecamatan
yang didalamnya terdapat areal guna usaha untuk perkebunan maupun areal
konsesi hutan tanaman industri.
5.1. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
Pada lahan masyarakat, lahan yang telah diberikan pemanfaatan ruang
(Kebun, HTI dan HPH/eks HPH), dan Kecamatan yang didalamnya terdapat areal
guna usaha untuk perkebunan maupun areal konsesi hutan tanaman industri
tersebut upaya untuk melakukan pencegahan terhadap kejadian kebakaran sangat
diperlukan serta persiapan terhadap kemungkinan terjadinya kejadian kebakaran
hutan dan lahan.
Menurut Saharjo (dalam Bapedalda, 2008), upaya pencegahan terhadap
kejadian kebakaran dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu :
1. Pendekatan sistem informasi kebakaran
Secara konvensional sistem informasi ini dilakukan dengan pemantauan
langsung di lapangan (lokasi rawan kebakaran), penggunaan peta dan kompas
serta penggunaan kentongan di desa-desa sebagai alat untuk
menginformasikan kepada warga masyarakat tentang kemungkinan terjadinya
kebakaran hutan dan lahan.
Saat ini dengan bantuan teknologi modern (komputer, alat komunikasi,
internet, penginderaan jauh) dapat dikembangkan sistem informasi kebakaran
berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kebakaran seperti
kondisi bahan bakar, kondisi klimatologi dan prilaku kebakaran.
Beberapa sistem informasi kebakaran hutan dan lahan yang dikembangkan
untuk peringatan kemungkinan terjadinya kebakaran adalah dengan sistem
informasi kebakaran dan distribusi informasi terjadinya kebakaran.
19
Adapun sistem informasi kebakaran hutan dan lahan adalah sebagai berikut :
1) Sistem peringatan dini
Sistem peringatan dini dikembangkan dengan menggunakan data cuaca
harian sebagai dasar untuk menghitung indeks kekeringan. Indeks
kekeringan ini menggambarkan tingkat /nilai defisiensi kelembaban tanah
dan lahan.
2) Sistem peringkat bahaya kebakaran
Berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kemudahan
terbakarnya bahan bakar (vegetasi), kesulitan pengendalian dan faktor
klimatologis, maka telah dikembangkan sistem peringkat bahaya
kebakaran (Fire Danger Rating System).
3) Sistem pemantauan kebakaran
Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas adalah metode
penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Data titik panas dapat
dijadikan sebagai salah satu indikator tentang kemungkinan terjadinya
kebakaran, sehingga perlu dilakukan analisa, pemantauan dan terkadang
perlu dilakukan cek lapangan (ground truthing) untuk mengetahui apakah
diperlukan tindakan penanggulangan dini khususnya pada saat musim
kemarau dimana penyebaran api akan sangat cepat.
2. Pendekatan sosial ekonomi
Pendekatan sosial ekonomi dilakukan dengan meningkatkan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Partisipasi
masyarakat sangat penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian
kebakaran hutan dan lahan, karena :
1) Rasio jumlah petugas yang menguasai wilayah hutan dan lahan dengan
luas wilayah yang harus dikuasainya sangat rendah.
2) Apabila masyarakat lokal memiliki kesadaran akan fungsi hutan serta tidak
ada faktor lain yang memaksanya, maka harapan agar masyarakat dapat
ikut berpartisipasi aktif untuk menjaga keamanan hutan dari bahaya
kebakaran maupun jenis kerusakan lainnya akan dapat terlaksana.
20
3) Masyarakat lokal adalah salah satu unsur pembentuk sumber api yang
dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Peningkatan
partisipasi/peran serta masyarakat lokal dalam pencegahan kebakaran
hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : dorongan dan
rangsangan, insentif, kesempatan, kemampuan masyarakat dan bimbingan
kepada masyarakat.
3. Pendekatan pengelolaan lahan dan hutan
Pendekatan pengelolaan lahan berkaitan dengan kebiasaan masyarakat yang
melakukan pembukaan lahan untuk perkebunan dengan cara melakukan
pembakaran. Upaya pendekatan terhadap pengelolaan lahan dan hutan
dilakukan dengan penerapan usaha pertanian masyarakat dengan pembakaran
yang terkendali. Hal ini perlu ditekannkan karena pembukaan lahan
(persiapan lahan) dengan tanpa bakar (zero burning) sangat sulit dilakukan
oleh masyarakat karena terkait dengan kebiasaan masyarakat. Sehingga
walaupun terjadi pembakaran maka yang perlu dilakukan adalah pembakaran
yang terkendali
5.2. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Strategi yang dilakukan dalam operasi kegiatan pemadaman kebakaran
hutan dan lahan di lahan masyarakat, lahan yang telah diberikan pemanfaatan
ruang (Kebun, HTI dan HPH/eks HPH), dan Kecamatan yang didalamnya
terdapat areal guna usaha untuk perkebunan maupun areal konsesi hutan tanaman
industri, sehingga pemadaman dapat berjalan dengan efektif (lancar, cepat, aman
dan tuntas) adalah penggalangan sumberdaya manusia, identifikasi dan pemetaan
sumber air, dukungan dana, sarana dan prasarana pendukung, identifikasi daerah
bebas asap, organisasi regu pemadaman kebakaran hutan dan lahan serta prosedur
standar pelaksanaan kebakaran. Secara rinci upaya dalam pengendalian kebakaran
hutan dan lahan adalah sebagai berikut (Suratmo et al. dalam Bapedalda, 2008) :
1. Penggalangan sumber daya manusia (SDM)
Penggalangan sumberdaya manusia ini melibatkan unsur-unsur masyarakat,
LSM, Instansi, dinas terkait dan lain-lain. Pembentukan Tim Pengendali
21
Kebakaran (Fire Brigade) merupakan tim terdepan dalam pemadaman
kebakaran hutan dan lahan.
2. Identifikasi dan pemetaan sumber air
Identifikasi dan pemetaan sumber air (surface water dan ground water)
dilakukan pada saat musim kemarau sehingga pada saat terjadi kebakaran,
sumber-sumber air yang telah teridentifikasi diharapkan masih terisi air.
Identifikasi dan pemetaan ini hendaknya disertai dengan koordinat sehingga
mudah dalam pencariannya.
3. Dukungan dana
Dukungan dana sangat diperlukan agar kegiatan operasi pemadaman
kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan lancar. Dukungan dana ini
diperlukan untuk konsumsi tim pemadam kebakaran, mobilisasi masyarakat
untuk membantu pemadaman, penambahan peralatan dan pengadaan sarana
pengobatan untuk korban kebakaran hutan dan lahan.
4. Sarana dan prasarana pendukung
Sarana dan prasarana pendukung yang diperlukan dalam pemadaman
kebakaran hutan dan lahan adalah :
Jaringan jalan
Menara api
Alat komunikasi
Teropong dan kompas
Alat transportasi
Mobil pemadam kebakaran
Alat berat (bulldozer, traktor)
Alat pemadam lain seperti : pemukulapi, kampak, garuk, sekop, pompa
panggung
Perlengkapan timpemadamkebakaran (baju tahan api, sepatu boat,
helm,sarung tangan, senter, golok, tempat minum)
Klinik darurat menyediakan sarana penanggulangan korban kebakaran
.
22
5.3. Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
Kelembagaan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada
lahan milik dapat memanfaatkan kelompok tani yang ada dalam masyarakat
sebagai salah satu tim yang melakukan pengendalian secara mandiri. Disamping
itu perlu juga dilakukan upaya pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran
(zero burning). Namun demikian pengendalian kebakaran hutan ini juga perlu
ada keterlibatan dari pihak pemerintah melalui tim pengendalian kebakaran hutan
dan lahan pada tingkat kabupaten (Suratmo et al. dalam Bapedalda, 2008).
Menurut Direktorat Perlidungan Hutan Dephut RI (dalam Bapedalda,
2008), satuan tugas pemadam kebakaran hutan dan lahan di kecamatan
berkedudukan di Ibukota kecamatan yang menangani kebakaran hutan di wilayah
kecamatan. Regu pemadam kebakaran hutan dan lahan tingkat desa / instansi /
HPH / HPHTI / BUMN / izin usaha (REGDAMKARHUTLA) berkedudukan di
Kantor Desa atau di tempat operasi/lapangan masimg-masing instansi/izin usaha.
Selanjutnya, setiap badan usaha/penanggung jawab lahan usaha wajib
menyiapkan perangkat/sarana/prasarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan yang terdiri atas :
1. Organisasi Regu Pemadam Kebakaran (RPK)
2. Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan
3. Peralatan pemadaman kebakaran yang memadai
4. Menara pengawas api
5. Menyediakan embung atau sumber-sumber air untuk pemadaman
6. Peta rawan kebakaran hutan dan lahan
7. Membuat sekat bakar
8. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat disekitar HGU.
23
5.4. Pencegahan dan Pengendalian Dampak Kebakaran Hutan dan
Lahan
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dampak atau
perubahan sumber daya dan fungsi lingkungan karena adanya kebakaran hutan
dan lahan adalah terjadinya penurunan produktivitas lahan, penurunan fungsi
hidrologis : daya serap/ tampung air berakibat banjir, penurunan fungsi
pengendalian erosi (terjadi sedimentasi), penurunan kualitas udara dan gangguan
asap, serta penurunan kualitas air (Saharjo, 2003).
Kegiatan pengendalian kebakaran bisa dilakukan melalui kegiatan
mitigasi, kesiagaan, dan pemadaman api. Kegiatan mitigasi bertujuan untuk
mengurangi dampak kebakaran seperti pada kesehatan dan sektor transportasi
yang disebabkan oleh asap. Beberapa kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan
antara lain: (1) menyediakan peralatan kesehatan terutama di daerah rawan
kebakaran, (2) menyediakan dan mengaktifkan semua alat pengukur debu di
daerah rawan kebakaran, (3) memperingatkan pihak-pihak yang terkait tentang
bahaya kebakaran dan asap, (4) mengembangkan waduk-waduk air di daerah
rawan kebakaran, dan (5) membuat parit-parit api untuk mencegah meluasnya
kebakaran beserta dampaknya (Kurnain, 2008).
Selanjutnya, kesiagaan dalam pengendalian kebakaran bertujuan agar
perangkat penanggulangan kebakaran dan dampaknya berada dalam keadaan siap
digerakkan. Hal yang paling penting dalam tahap ini adalah membangun
partisipasi masyarakat di kawasan rawan kebakaran, dan ketaatan para pengusaha
terhadap ketentuan penanggulangan kebakaran. Usaha lokal untuk memadamkan
api menjadi sangat penting karena upaya di tingkat lebih tinggi memerlukan
persiapan lebih lama sehingga dikhawatirkan api sudah menyebar lebih luas
Tidak semua unsur lingkungan yang rusak akibat kebakaran dapat
dipulihkan kembali seperti sedia kala karena keterbatasan teknologi atau karena
ketidaksesuaian dengan bentuk penggunaan lahan. Namun usaha-usaha yang bisa
dilakukan dalam pencegahan dampak kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan
salah satunya dengan reboisasi dan penghijauan. Diharapkan dengan pelaksanaan
reboisasi dan penghjauan ini pada akhirnya dapat membantu upaya rehabilitasi
24
lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan, terutama pada lahan-lahan kritis
dan lahan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan sebagai pengatur iklim
mikro.
Ditinjau dari sektor kesehatan, pengendalian dampak pencemaran udara
akibat kebakaran hutan dan lahan sebagaimana tertuang dalam Kepmen
Kesehatan RI No. 289/MENKES/SK/III/2003, mencakup tiga fase prosedur
yaitu :
1. Fase pra bencana kebakaran hutan, dengan melakukan monitoring terhadap
penyakit dan kualitas udara, identifikasi masalah, penyusunan rencana kerja,
pelaporan dan penyebarluasan informasi.
2. Fase bencana kebakaran hutan, adalah fase dimana mulai terjadi kebakaran
hutan dan ditandai oleh angka ISPU > 200. Kegiatan yangdilakukan pada
fase ini adalah monitoring, tindakan reaksi cepat, kemitraan, pelaporan, dan
penyebarluasan informasi tentang kualitas udara dan pengaruhnya terhadap
kesehatan masyarakat.
3. Fase pasca bencana kebakaran hutan. Fase bencana dinyatakan berakhir
apabila angka ISPU mencapai mencapai < 200 dan parameter kualitas udara
dan angka penyakit kembali pada keadaan sebelum terjadi kebakaran hutan.
Kegiatan fase ini meliputi penanganan kasus, pemulihan kualitas lingkungan,
pelaporan, monitoring dan evaluasi dan penyebarluasan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.J., M.R. Ibrahim, dan A.R. A. Rahuim, 2002. The Influence of
Forest Fire in Peninsular Malaysia: History, Root Causes, Prevention, and Control. Paper presented in Workshop on Prevemtion and Control of Fire in Peatland, 19-21 Maret 2002, Kuala Lumpur.
Adiningsih, E.S, 2003. Model Prediksi Dampak El Nino / La Nina untuk Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Kementerian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Bapedalda, 2008. Manual, Prosedur, Standar dan Norma Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Kampar, Bangkinang
Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di
Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998. Kebakaran Hutan dan
Lahan di Indonesia, Dampak, Faktor dan Evaluasi (Jilid 1), Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup & UNDP, Jakarta.
Kurnain, A, 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut : Karakteristik dan
Penanganannya, http://lemlit.unlam.ac.id/wp-content/uploads/2008/02/ akurnain.pdf, tanggal dikunjungi 05 Januari 2009.
Pemerintah Kabupaten Kampar, 2008. Laporan Status Lingkungan Hidup
Kabupaten Kampar Tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Kampar Propinsi Riau, Bangkinang.
________, 2009. Laporan Status Lingkungan Hidup Kabupaten Kampar Tahun
2009, Pemerintah Kabupaten Kampar Propinsi Riau, Bangkinang. Saharjo, H.B, 1997. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Fusii, 1 (2) : 48-
58. Saharjo dan Husaeni, 1998. East Kalimantan Burns. Wildfire 7(7):19-21. Saharjo, B.H. 2003. Kebakaran Hutan dan Lahan. Laboratorium Kebakaran Hutan
dan Lahan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor
26
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran, dalam Mahalnya Harga Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Diterjemahkan oleh A. Tranggono. ITB, Bandung, 139 hal.
Soemarsono, 1997. Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia
(Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan), hal:1-14. Dalam : Pusat Studi Energi UGM (eds) Prosiding Simposium: Dampak Kebakaran Hutan terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta.
Soeriaatmadja, R.E. 1997. Dampak Kebakaran Hutan serta Daya Tanggap
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Terhadapnya, hal 36-39. Dalam: Pusat Studi Energi UGM (eds) Prosiding Simposium: Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Tanggal 16 Desember 1997 di Yogyakarta.