Post on 11-Dec-2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saliva atau air liur merupakan cairan yang kompleks serta tidak
berwarna yang berasal dari sekresi kelenjar saliva. Manusia memproduksi
sebanyak 1000–1500 cc air ludah dalam 24 jam, yang umumnya terdiri dari
99,5% air, dan 0,5% lagi terdiri dari garam–garam, zat organik, dan zat
anorganik. Unsur–unsur organik yang menyusun saliva antara lain protein,
lipida, glukosa, asam amino, amoniak, vitamin, asam lemak, dan beberapa
enzim. Enzim yang terdapat dalam saliva antara lain yaitu enzim amilase,
enzim maltase, serta mukus. Unsur–unsur anorganik yang menyusun saliva
antara lain sodium, kalsium, magnesium, bikarbonat, khloride, rodanida, dan
thiocynate (CNS), fosfat, serta potassium. Yang memiliki konsentrasi paling
tinggi dalam saliva adalah kalsium dan natrium. Selain itu terdapat gas O2, gas
CO2, NO2, Ig A, Ig G, dan Ig M (Sherwood, 2002).
Saliva memiliki beberapa fungsi, antara lain :
1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses
mengunyah dan menelan makanan.
2. Berperan dalam higiene mulut dengan membantu menjaga kebersihan mulut
dan gigi. Aliran air yang terus–menerus membantu membilas residu
makanan, melepaskan sel epitel, dan benda asing.
3. Pelarut molekul–molekul yang merangsang papil pengecap dan molekul
dalam larutan yang bereaksi dengan papil pengecap. Hanya molekul dalam
larutan yang dapat bereaksi dengan reseptor papil pengecap.
4. Membantu diagnosa penyakit.
5. Mempunyai aktivitas anti bakterial dan sistem buffer.
6. Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin
(amilase ludah) dan lipase ludah.
7. Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena
terdapat faktor pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva.
1
8. Jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang
keseimbangan air dalam tubuh.
9. Membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah)
10. Menjaga kelembaban pada mukosa mulut dan bibir.
Manusia memiliki kelenjar ludah yang dibagi atas kelenjar ludah utama
(mayor) dan kelenjar ludah tambahan (minor).
1. Kelenjar ludah utama atau mayor
Kelenjar–kelenjar ludah besar terletak agak jauh dari rongga mulut
dan sekretnya disalurkan melalui duktusnya ke dalam rongga mulut.
Kelenjar saliva mayor terdiri dari :
a. Kelenjar parotis, terletak di bagian bawah telinga di belakang ramus
mandibula.
b. Kelenjar submandibularis, terletak di bagian bawah korpus mandibula.
c. Kelenjar sublingualis, terletak dibawah lidah (Sherwood, 2002).
2. Kelenjar ludah tambahan atau minor
Kebanyakan kelenjar ludah merupakan kelenjar kecil yang terletak
di dalam mukosa atau submukosa (hanya menyumbangkan 5% dari
pengeluaran ludah dalam 24 jam) yang diberi nama lokasinya atau nama
pakar yang menemukannya. Semua kelenjar ludah mengeluarkan sekretnya
ke dalam rongga mulut. Kelenjar minor dapat dibagi sebagai berikut
(Guyton, 2004):
a. Kelenjar labial (glandula labialis) terdapat pada bibir atas dan bibir
bawah dengan asinus–asinus seromukus.
b. Kelenjar bukal (glandula bukalis) terdapat pada mukosa pipi, dengan
asinus-asinus seromukus.
c. Kelenjar Bladin–Nuhn ( Glandula lingualis anterior) terletak pada bagian
bawah ujung lidah disebelah menyebelah garis, median, dengan asinus–
asinus seromukus.
d. Kelenjar Von Ebner (Gustatory Gland: albuminous gland) terletak pada
pangkal lidah, dnegan asinus–asinus murni serus.
2
e. Kelenjar Weber yang juga terdapat pada pangkal lidah dengan asinus–
asinus mukus. Kelenjar Von Ebner dan Weber disebut juga glandula
lingualis posterior.
f. Kelenjar–kelenjar pada pallatum dengan asinus mukus.
B. Tujuan
Tujuan praktikum kali ini dilaksanakan adalah supaya mahasiswa
mengetahui dan melakukan percobaan seperti berikut ini:
1. Viskositas saliva
2. Buffer saliva
3. Reaksi reduksi gula pada saliva
4. Aktivitas enzim amylase saliva
5. Garam Ca pada saliva
C. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 28 April 2010 pada pukul
13.00–15.00 WIB di Laboratorium Jurusan Kedokteran Gigi Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Viskositas
Saliva adalah suatu cairan yang dalam keadaan istirahat memiliki
kepekatan (kental–dapat mengalir) sehingga tetap lama berada di dalam
mulut. Sifat kepekatan saliva ini terutama ditentukan oleh adanya musin.
Molekul musin dalam keadaan istirahat merupakan suatu anyaman sehingga
saliva menjadi sangat pekat, tetapi segera sesudah seseorang bicara,
mengunyah atau menelan, anyaman ini terganggu dan kepekatan saliva turun
dramatis (Amerongen, 1991).
Viskositas saliva dipengaruhi oleh laju alir dan komposisi saliva.
Viskositas saliva submandibula biasanya menurun dengan meningkatnya laju
alir saliva, hal ini dikarenakan sel serosa memiliki respon lebih besar terhadap
stimulasi dibandingkan sel yang mensekresikan musin. Kelenjar sublingual
mengandung predominan sel yang mensekresikan musin sehingga sekresinya
bersifat kental. Selain itu, peningkatan viskositas saliva dapat terjadi karena
stress emosional. Viskositas juga bervariasi secara langsung dengan
kandungan protein (Guyton, 2000).
Sekresi saliva dapat distimulus baik dari stimulus mekanik maupun
stimulus kimiawi. Stimulus mekanik tampak dalam bentuk gerak
pengunyahan sedangkan stimulus kimiawi tampak dalam bentuk efek kesan
pengecapan. Stimulus mekanik yang berupa pengunyahan akan meningkatkan
sekresi saliva yang tampak dalam kecepatan aliran saliva. Demikian juga
dengan stimulus kimiawi dalam efek kesan pengecapan. Proses mengunyah
merupakan stimulus mekanik yang merangsang peningkatan sekresi saliva
sedangkan pengecapan merupakan informasi sensorik yang berhubungan
dengan stimulus kimiawi yang dapat meningkatkan kecepatan aliran saliva.
Stimulus kimiawi dalam rongga mulut berhubungan dengan kesan
pengecapan dan sekresi saliva (Sherwood, 2002).
4
B. Buffer Saliva
Sistem bufer asam karbonat–bikarbonat, serta kandungan amonia dan
urea dalam saliva dapat menyangga dan menurunkan pH yang terjadi saat
bakteri plak sedang memetabolisme gula. Kapasitas bufer dan pH saliva erat
hubungannya dengan kecepatan sekresinya. Peningkatan kecepatan sekresi
saliva mengakibatkan naiknya kadar natrium dan bikarbonat saliva, sehingga
kapasitas bufer saliva pun meningkat. Peningkatan kapasitas bufer dapat
melindungi mukosa rongga mulut dari asam yang terdapat pada makanan saat
muntah. Selain itu, penurunan pH plak sebagai akibat ulah organisme akan
dihambat. Sistem bufer saliva membantu mempertahankan pH rongga mulut
sekitar 7,0 (Ganong, 1995).
C. Reaksi Reduksi Gula pada Saliva
1. HCl (Asam klorida)
Larutan asam klorida atau yang biasa kita kenal dengan larutan HCl
dalam air, adalah cairan kimia yang sangat korosif dan berbau menyengat.
HCl termasuk bahan kimia berbahaya atau B3 (www.usu.ac.id).
2. NaOH
Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima
proton dari Na+. Basa ini mengandung unsur dari golongan alkali, yakni
Natrium (Na+).
NaOH sering digunakan sebagai pelarut karena fungsi dan
efektifitasnya sangat banyak untuk menetralkan asam. NaOH dihasilkan
dari elektrolisis larutan NaCl dan merupakan basa kuat (Ansori dalam
Fauzan, 2001). NaOH sangat reaktif ketika bereaksi dengan lautan asam.
Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima proton
dari Na+ dari golongan alkali (www.usu.ac.id).
Ciri–ciri golongan alkali menurut Linggih (1998):
a. Reduktor kuat dan mampu mereduksi asam.
b. Mudah larut dalam air.
c. Merupakan penghantar arus listrik yang baik dan panas
5
d. Urutan kereaktifannya meningkat seiring dengan bertambahnya berat
atom
3. Larutan Benedict
Larutan Benedict adalah varian dari larutan yang secara ensensial
sama, yang mengandung ion-ion tembaga (II) yang dikompleks dalam
sebuah larutan basa. Larutan Benedict mengandung ion-ion tembaga (II)
yang membentuk kompleks dengan ion-ion sitrat dalam larutan natrium
karbonat.
Glukosa yang terlihat dari hasil positif pada uji benedict yang
terbukti dengan terbentuknya warna merah bata pada tabung reaksi yang
telah dipanaskan. Warna merah bata yang terbentuk disebabkan oleh
glukosa memiliki gugus aldehid yang bebas sehingga dapat mereduksi ion-
ion tembaga (Cu) yang terdapat pada larutan benedict menjadi Cu2O yang
berwarna merah bata (www.gudangmateri.com).
Pada prinsipnya benedict digunakan untuk mengetahui apakah
suatu gula merupakan gula pereduksi atau bukan (mempunyai gugus
aldehida bebas). Reaksi Benedict akan menyebabkan larutan yang
berwarna biru akan berubah menjadi orange atau kuning (www.chem-is-
try.org).
D. Aktivitas Enzim Amilase Saliva
1. Tanpa stimulasi
Amilum terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya
adalah polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya
amilopektin. Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat
dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi molekulnya merupakan rantai terbuka.
Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang sebagian besar
mempunyai ikatan 1,4-glikosidik dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik.
Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang,
sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang.
Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri
atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air
6
dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu
larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium
akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa
yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan
warna ungu atau merah lembayung (Gilvery, 1996).
Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam
sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan
bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan
oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang
terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah
menjadi maltosa dalam bentuk maltosa (Gilvery, 1996).
Pada reaksi hidrolisis parsial, amilum terpecah menjadi molekul-
molekul yang lebih kecil yang dikenal dengan nama dekstrin. jadi dekstrin
adalah hasil antara proses hidrolisis amilum sebelum terbentuk maltosa.
tahap-tahap dalam proses hidrolisis amilum serta warna yang terjadi pada
reaksi dengan iodium adalah sebagai berikut : Amilum terdiri atas dua
macam polisakarida yang kedua-duanya adalah polimer dari glukosa, yaitu
amilosa (kira-kira 20-28%) dan sisanya amilopektin. Amilosa terdiri atas
250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4-glikosidik, jadi
molekulnya merupakan rantai terbuka. Amilopektin juga terdiri atas
molekul D-glukosa yang sebagian besar mempunyai ikatan 1,4-glikosidik
dan sebagian lagi ikatan 1,6-glikosidik.
Adanya ikatan 1,6-glikosidik ini menyebabkan terjadinya cabang,
sehingga molekul amilopektin berbentuk rantai terbuka dan bercabang.
Molekul amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri
atas lebih dari 1.000 unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air
dingin tetapi apabila suspensi dalam air dipanaskan, akan terbentuk suatu
larutan koloid yang kental. larutan koloid ini apabila diberi larutan iodium
akan berwarna biru. Warna biru tersebut disebabkan oleh molekul amilosa
yang membentuk senyawa. Amilopektin dengan iodium akan memberikan
warna ungu atau merah lembayung (Gilvery, 1996).
7
Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam
sehingga menghasilkan glukosa. hidrolisis juga dapat dilakukan dengan
bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang dikeluarkan
oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap amilum yang
terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase, amilum diubah
menjadi glukosa dalam bentuk maltosa. (Gilvery, 1996).
Tabel 1. Tahap hidrolisis:
2. Dengan pemanasan
Enzim adalah suatu protein dan dihasilkan oleh sel hidup. Enzim
adalah protein yang mempunyai fungsi khusus. Enzim bekerja dalam
mengkatalisis reaksi kimia (biokimia) yang berlangsung di dalam sel itu
sendiri. Amilase merupakan kelompok enzim hidrolase yang mengkatalisis
reaksi hidrolisis suatu substrat. Enzim α-amylase (dikenal juga sebagai
enzim ptyalin) yang berperan dalam mengkatalisis reaksi pemecahan pati
menjadi unsur penyusunnya yang lebih sederhana. Enzim ini dihasilkan
secara alami di mulut bersama–sama dengan saliva
(http://greenforce.files.wordpress.com).
Amilase dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:
a. α-amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian
dalam molekul, karenanya disebut endoamilase.
8
b. β-amilase, yang memecah pati secara acak dari tengah atau dari bagian
dalam molekul, karenanya disebut eksoamilase.
c. Glukoamilase, yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula non
pereduksi substrat pati (Winarno, 1986).
Bagan 1.1 Pengaruh enzim α-Amylase
(http://www.bem.fmipa.its.ac.id)
Prinsip percobaan ini adalah terbentuknya warna biru tua antara
amilum dan dengan yodium. Amilum setelah dihidrolisis oleh enzim α-
Amylase secara berturut–turut akan membentuk dekstrin dan oligosakarida
dengan masing–masing tingkat kemampuan yodium yang berbeda–beda.
amilodekstrin dengan yodium membentuk warna biru. Eritodekstrin
dengan yodium membentuk warna merah. Akrodekstrin dan maltosa tidak
berwarna. Disamping kerjanya sangat spesifik, kerja enzim juga sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diantaranya adalah faktor suhu dan pH
(keasaman).
Saliva yang mempunyai pH antara 6,0-7,4. Suatu kisaran yang
menguntungkan untuk kerja pencernaan dari α-amilase. Enzim ini bekerja
secara optimal pada pH 6,6 (Guyton dkk, 1997). Amilase saliva mulai
tidak aktif pada pH 4,0. Oleh karena itu, setelah makanan ditelan dan
masuk ke dalam lambung, proses hidrolisis oleh enzim amilase saliva tidak
9
berjalan lebih lama lagi. Aktivitas enzim ternyata dipengaruhi banyak
faktor. Faktor-faktor tersebut menentukan efektivitas kerja suatu enzim.
Apabila faktor pendukung tersebut berada pada kondisi yang optimum,
maka kerja enzim juga akan maksimal. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kerja enzim:
a. Substrat–Enzim mempunyai spesifitas yang tinggi. Apabila substrat
cocok dengan enzim maka kinerja enzim juga akan optimal.
b. pH (keasaman)–Enzim mempunyai kesukaan pada pH tertentu. Ada
enzim yang optimal kerjanya pada kondisi asam, namun ada juga yang
optimal pada kondisi basa. Namun kebanyakan enzim bekerja optimal
pada pH netral.
c. Waktu–Waktu kontak/reaksi antara enzim dan substrat menentukan
efektivitas kerja enzim. Semakin lama waktu reaksi maka kerja enzim
juga akan semakin optimum.
d. Konsentrasi atau jumlah enzim–Konsentrasi enzim berbanding lurus
dengan efektivitas kerja enzim. Semakin tinggi konsentrasi maka kerja
enzim akan semakin baik dan cepat.
e. Suhu–Seperti juga pH. Semua enzim mempunyai kisaran suhu optimum
untuk kerjanya.
f. Produk Akhir – Reaksi enzimatis selalu melibatkan 2 hal, yaitu substrat
dan produk akhir. Dalam beberapa hal produk akhir ternyata dapat
menurunkan produktivitas kerja enzim
(http://greenforce.files.wordpress.com).
E. Garam Ca pada Saliva
Pada uji Kalsium diperoleh hasil warna putih keruh dan terdapat
endapan putih pada dasar tabung. Endapan putih tersebut adalah kalsium
oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion
K+ yang terdapat dalam kalium oksalat (http://asic.lib.unair.ac.id).
Dengan terdapatnya kalsium tersebut di atas dapat menyebabkan
terjadinya kalkulus. Kalkulus Menurut Harty dan Ogston (1995), dahulu
disebut tartar atau calcareous deposits terdiri atas deposit plak yang
10
termineralisasi , yang keras yang menempel pada gigi. Kalkulus juga dapat
didefinisikan sebagai massa kalsifikasi yang terbentuk dan melekat pada
permukaan gigi ataupun objek solid lainnya di dalam mulut., kalkulus berasal
dari plak yang bercampur dengan zat kapur pada ludah sehingga lama-
kelamaan akan mengendap (usupress.usu.ac.id).
Kalkulus dimulai dengan pembentukan plak pada gigi. Permukaan
kalkulus supragingival dan kalkulus subgingival selalu diliputi oleh plak gigi.
Bakteri plak diperkirakan memegang peranan penting dalam pembentukan
kalkulus, yaitu dalam proses mineralisasi, meningkatkan kejenuhan cairan di
sekitarnya sehingga lingkungannya menjadi tidak stabil atau merusak faktor
penghambat mineralisasi. Sumber mineral untuk kalkulus supragingival
diperoleh dari saliva, sedangkan kalkulus subgingival dari serum darah.
Kalkulus dapat dibersihkan dengan cara scalling (www.adln.lib.unair.ac.id).
Beberapa teori pembentukan kalkulus :
1. Teori CO
Berdasarkan teori ini pengendapan garam kalsium fosfat terjadi akibat
adanya perbedaan tekanan CO dalam rongga mulut dengan tekanan CO dari
ductus salivarius hal ini menyebabkan pH saliva meningkat sehingga larutan
menjadi jenuh.
2. Teori Protein
Pada konsentrasi tinggi, protein klorida saliva bersinggungan dengan
permukaan gigi sehingga protein tersebut akan keluar dari saliva, sehingga
mengurangi stabilitas larutannya dan terjadi pengendapan garam kalsium
fosfat.
3. Teori Fosfatase
Fosfatase berasal dari plak gigi, sel-sel epitel mati atau bakteri.
Fosfatase membantu proses hidrolisa fosfat saliva sehingga terjadi
pengendapan garam kalsium fosfat.
4. Teori Esterase
Esterase terdapat pada mikrorganisme, membantu proses hidrolisis
ester lemak menjadi asam lemak bebas yang dengan kalsium membentuk
kalsiumfosfat.
11
5. Teori Amonia
Saat tidur, aliran saliva berkurang, urea saliva akan membentuk
ammonia sehingga pH saliva naik sehingga terjadi pengendapan garam
kalsium fosfat.
6. Teori pembenihan
Plak gigi merupakan tempat pembentukan inti ion-ion kalsium dan
fosfor yang akan membentuk kristal inti hidroksi apatit dan berfungsi
sebagai benih kristal kalsium fosfat dari saliva jenuh
(www.bem.fmipa.its.ac.id).
Pada percobaan uji kalsium, semakin banyak larutan asam asetat encer
dan K oksalat yang diteteskan pada saliva untuk membembentuk endapan
putih pada dasar saliva, maka mengindikasikan bahwa kadar asam pada saliva
tinggi dan kadar kalsium dalam salivanya rendah sehingga pembentukan
kalkulus cenderung lebih lambat, sedangkan sebaliknya, apabila dengan sedikit
tetesan larutan asam asetat dan K oksalat sudah mampu membentuk endapan
putih pada dasar saliva, maka menunjukkan bahwa kadar asam pada saliva
rendah dan kadar kalsium pada saliva tinggi, maka kondisi ini memudahkan
pembentukan kalkulu (www.bem.fmipa.its.ac.id).
12
BAB III
METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. pH meter
2. Asam cuka encer
3. HCl 1n
4. NaOH 1n
5. Larutan K-oksalat
6. Larutan kanji 1%
7. Larutan yodium
8. Larutan benedict
9. Kain kasa
10. Tabung reaksi
11. Beker glass
12. Piring porselen
13. Penangas air 37oC
14. Penangas air mendidih
15. Akuades
16. Lampu bunsen
B. Cara Kerja
1. Viskositas saliva
a. Kumurlah dengan akuades beberapa kali
b. Kain kasa dikunyah–kunyah
c. Ludah yang keluar dikumpulkan dalam gelas yang tersedia
d. Tingkat keasaman ludah diuji, dan
e. Perhatikan viskositasnya
2. Buffer saliva
a. Ambil saliva dan ukur menggunakan gelas ukur sebanyak 5 ml.
b. Masukkan ke tabung reaksi.
c. Tambahkan 5 tetes asam cuka encer.
13
d. Amati presipitasi.
e. Tuangkan saliva yang tercampur dengan asam cuka ke tabung lain
untuk melihat viskositasnya.
3. Reaksi reduksi gula pada saliva
a. Mengambil 2 ml ludah dan masukan ke dalam tabung reaksi yang
bersih.
b. Menambahkan ke dalam tabung reaksi 1 atau 2 ml HCl.
c. Panasi tabung itu selama 10 menit, dalam suatu penangas air mendidih.
d. Menetralkan dengan 1 atau 2 tetes NaOH.
e. Ujilah untuk reaksi reduksi gula dengan menambahkan ke dalam tabung
reaksi tersebut sebanyak 10 ml larutan benedict
f. Panasi sampai mendidh.
g. Mengamati perubahan warna yang terjadi dalam tabung tersebut.
4. Aktivitas enzim amilase saliva tanpa stimulasi
a. Tanpa stimulasi
1) Ambil 25 ml larutan kanji 1% , masukkan ke dalam beker.
2) Tambahkan 10 ml ludah kedalam gelas beker tadi dan aduk sampai
ludah dan kanji tercampur rata. Tunggu sekitar 3 menit.
3) Ambil 5 tetes campuran ludah-kanji masukkan dalam porselen.
4) Tambahkan 1 tetes larutan yodium kedalam porselen dan amati
perubahan yang terjadi.
5) Ulangi langkah no 4 dengan interval 1 menit sebanyak 5 kali sampai
reaksi yodium dengan kanji menjadi negatif.
6) Ambil 5 ml larutan ludah-kanji, masukkan dalam tabung reaksi yang
bersih.
7) Tambahkan larutan Benedict sebanyak 10 ml dan panasi beberapa
menit
8) Amati perubahan warna yang terjadi dalam tabung reaksi.
14
b. Dengan pemanasan
1) Mengambil sebanyak 25 ml larutan kanji 1 % lalu memasukannya ke
dalam gelas beker.
2) Menambahkan ke dalam gelas beker tersebut 10 ml ludah yang
sudah dipanaskan selama 10 menit terlebih dahulu kemudian
mengaduknya sampai tercampur rata kanji dengan ludah, lalu
mendiamkannya selama 3 menit.
3) Mengambil 5 tetes campuran ludah dan kanji lalu memasukannya ke
dalam piring porselen, kemudian menambahkan 1 tetes larutan
yodium lalu mendiamkannya selama 1 menit, lalu mengulangi hal ini
selama 5 tetes larutan yodium dengan jeda waktu tiap tetes 1 menit.
4) Mengambil sebanyak 5 ml campuran ludah kanji dan
memasukkannya ke dalam tabung reaksi, kemudian menambahkan
larutan benedic sebanyak 10 ml kemudian memanaskannya beberapa
menit.
5. Garam Ca pada saliva
a. Mengambil 5 ml saliva segar dan kemudian dimasukkan ke dalam
tabung reaksi bersih.
b. Menambahkan beberapa tetes larutan asam cuka dan beberapa tetes
larutan K oksalat ke dalam saliva segar tersebut
c. Amati perubahan yang terjadi pada tabung reaksi
15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
No. Percobaan Hasil Pengamatan
1. Viskositas saliva Bersifat serous
pH: 9
2. Buffer saliva Pada bagian bawah tabung
tersentuk endapan garam dan
viskositas saliva pada saat di
tuang ke tabung lain menjadi lebih
encer (serus) dari saliva murni.
3. Reaksi reduksi gula pada saliva Terjadi perubahan warna dari biru
tua menjadi biru muda (warna
lebih cerah), dan terdapat endapan
yang melayang-layang setelah
dipanaskan.
4 a. Aktivitas enzim amilase saliva
tanpa stimulasi
Yodium: biru keabu-abuan lama-
lama menjadi lebih keruh
Benedict: tidak ada perubahan
karena benedictnya rusak
4 b. Aktivitas enzim amilase saliva
dengan pemanasan
Yodium: biru muda
Benedict: biru tua
5. Garam Ca pada saliva Terbentuk endapan berwarna
putih dan konsistensi kental
16
B. Pembahasan
1. Viskositas Saliva
Gambar 4.1 viskositas saliva
Hasil percobaan yang kami lakukan menunjukkan bahwa saliva
bersifat serous dengan nilai pH yaitu 9. Berdasarkan tinjauan pustaka,
ketika terdapat rangsangan mekanik di dalam mulut dengan bentuk gerak
pengunyahan, maka dapat meningkatkan sekresi saliva yang tampak
dalam kecepatan aliran saliva.
Selama proses mastikasi kecepatan sekresi bertambah 0,9 ml/menit
dan 70% hasil sekresi diproduksi oleh kelenjar parotis yang mensekresi
saliva bersifat serous sehingga viskositasnya encer. Hal ini dipengaruhi
oleh karena kelenjar parotis terletak di dekat otot masseter serta letak
duktus stensen yang bersilangan dengan otot masseter dan buccinator.
Poses mastikasi merupakan refleks sederhana atau tidak terkondisi.
Refleks saliva sederhana (tidak terkondisi) terjadi sewaktu kemoreseptor
atau reseptor tekanan di dalam rongga mulut merespon terhadap adanya
makanan. Sewaktu diaktifkan, reseptor–reseptor tersebut memulai impuls
diserat saraf aferen yaitu n. Glossofaringeus (CN.IX) yang membawa
informasi ke pusat saliva di medula batang otak. Pusat saliva yaitu pada
kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis yang ada pada bagian
nukleus salivatorius superior (NSS) dan pada glandula parotidea pada
bagian nukleus salivatorius inferior (NSI). Pusat saliva kemudian
mengirimkan impuls melalui saraf otonom ekstrinsik (eferen) ke kelenjar
17
liur untuk meningkatkan sekresi air liur karena adanya reseptor tekanan
yang terdapat di mulut. Jaras eferen pada glandula submandibula dan
glandula sublingual diinervasi oleh n. Facialis (CN.VII) sedangkan
glandula parotis diinervasi olah n. Glossofaringeus (CN. IX) (Sherwood,
2002).
Pada proses mastikasi dengan diikuti oleh stimulus seperti
pengunyahan kasa akan meningkatkan saliva sekitar tiga kali dari semula.
Reseptor yang ada pada otot mastikasi, temporo mandibular joint, ligamen
periodontal dan mukosa akan melanjutkan proses mastikasi sehingga
nuklei salivarius meningkat dan saraf parasimpatik bekerja. Adanya kerja
dari saraf parasimpatik menyebabkan saliva yang disekresikan bersifat
serous (encer).
Pada hasil praktikum yang telah dilaksanakan dihasilkan bahwa
sekresi dengan stimulasi kasa memiliki pH 9. Hal ini menunjukan bahwa
dengan stimulasi mekanis (kasa) dapat mempengaruhi kecepatan sekresi
saliva yang mana dapat meningkatkan konsentrasi ion bikarbonat
sehingga dapat menaikkan pH saliva.
2. Buffer Saliva
Gambar 4.2 Endapan yang terbentuk
Larutan penyangga (buffer) adalah larutan yang dapat menjaga
(mempertahankan) pH-nya dari penambahan asam, basa, maupun
pengenceran oleh air. pH larutan buffer tidak berubah (konstan) setelah
18
penambahan sejumlah asam, basa, maupun air. Larutan buffer mampu
menetralkan penambahan asam maupun basa dari luar (Raymond,2007).
Semua cairan tubuh harus merupakan larutan buffer, agar pH selalu
konstan saat metabolisme berlangsung. Ada dua jenis larutan buffer yaitu
buffer asam dan buffer basa, komponen buffer asam adalah asam lemah
dan basa konyugasinya, sedang buffer basa terdiri dari basa lemah dan
konyugasinya. Sifat larutan buffer adalah:
a. pH larutan tidak berubah jika diencerkan
b. pH larutan tidak berubah jika ditambahkan kedalamnya sedikit asam
atau basa (www.dikmenum.go.id).
Enzim memiliki sifat bekerja pada pH tertentu dan enzim akan
menjadi inaktif atau rusak jika pHnya melebihi atau kurang pada pH yang
seharusnya. Pada enzim di saliva misalnya enzim amylase akan bekerja
pada kondisi pH mulut yang normal yaitu kurang lebih 7 dan pH optimum
adalah 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas
enzim (www.woodrow.org).
Saat saliva diberi asam cuka, secara otomatis keadaan pH akan
terpengaruh secara tiba-tiba dan mempengaruhi kinerja dari enzim
tersebut. Hal ini mengakibatkan terjadinya denaturasi enzim di mana sifat
enzimatik dan biologis dari enzim mengalami gangguan, sehingga
mengakibatkan terjadinya presipitasi garam yang akhirnya mempengaruhi
konsistensi atau viskositas dari saliva menjadi lebih kental
(www.woodrow.org).
Di dalam saliva juga terdapat protein–protein. Selain kerja enzim
yang terhambat oleh penambahan asam asetat encer, pada saat itu protein
juga akan mengalami denaturasi sehingga terbentuk suatu endapan. Hasil
pengamatan yang kita peroleh berupa larutan yang semakin keruh jika
dibandingkan dengan larutan semula. Kekeruhan ini merupakan indikasi
jika di dalam larutan tersebut terbentuk endapan dan pada beberapa saat
kemudian akan terbentuk endapan pada bagian bawah tabung. Endapan
tersebut merupakan protein (www.biochemia.amb.edu.pl).
19
Pada percobaan didapatkan hasil yang berbeda yaitu viskositas
saliva menjadi lebih encer (serus) dari sebelumnya. Hal tersebut
disebabkan karena komponen utama dari penuyusun serus yang
mempunyai sifat lebih encer adalah protein dan enzim. Dengan adanya
protein dan enzim yang mengendap, maka konsentrasi dari serus menjadi
rendah sehingga viskositasnya juga menjadi lebih encer.
3. Reaksi reduksi gula pada saliva
Penambahan HCl pada saliva dalam reaksi reduksi gula berfungsi
dalam menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa
memiliki sifat mereduksi pereaksi Benedict. Untuk menetralkan asam
ditambahkan NaOH (www.adln.lib.unair.ac.id).
Menurut Harper (2009), saliva setelah diuji dengan Benedict, maka
warna larutan menjadi kuning keruh dan terdapat endapan yang
menandakan bahwa glukosa memiliki gugus reduksi yang dapat mereduksi
ion Cu2+ menjadi Cu+ dengan menghasilkan endapan Cu2O.
Pada percobaan reduksi gula pada saliva yang telah dilakukan
menggunakan larutan benedict terjadi perubahan warna dari biru tua
menjadi biru muda atau warna larutan menjadi lebih cerah dan terdapat
endapan berwarna biru keputih-putihan yang melayang-layang.
Seharusnya dalam saliva yang telah ditambahkan larutan benedict
warna larutan berubah menjadi kuning-orange (www.chem-is-try.org).
Dengan adanya perbedaan antara hasil percobaan dengan tinjauan pustaka
yang ada, maka dilakukan percobaan menggunakan aquades yang
dicampur gula dan ditambahkan 4 tetes larutan benedict. Kemudian
dipanaskan sampai mendidih. Namun hasilnya tetap saja, larutan tetap
berwarna biru muda tidak berubah warna menjadi kuning.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat kerusakan pada benedict yang
digunakan untuk percobaan tersebut, sehingga saliva yang telah ditambah
larutan benedict tidak berubah warna menjadi kuning.
20
Gambar 4.3 Campuran saliva dan HCL setelah dipanaskan
Gambar 4.4 Campuran saliva, HCl, dan NaOH
Gambar 4.5 Saliva setelah dicampur benedict
21
Gambar 4.6 Campuran saliva dan benedict setelah dipanaskan
Gambar 4.7 Larutan gula yang dicampur benedict sebelum dipanaskan
Gambar 4.8 Larutan gula dan benedict setelah dipanaskan
22
4. Aktivitas enzim saliva
a. Tanpa stimulasi
Hasil yang didapat pada pemeriksaan yodium menujukkan
adanya perubahan warna pada larutan kanji-saliva yang ditetesi yodium.
Dari tetesan pertama yang berwarna biru keabuan menjadi lebih gelap
pada tetesan-tesan berikutnya. Hal ini menunjukkan adanya rekasi
antara amylum dalam kanji yang diubah menjadi maltosa oleh enzym
amilase pada saliva. Hasil yang seharusnya didapatkan adalah dengan
pengujian yod, adalah warna larutan menjadi sama dengan warna yod
dengan melalui proses perubahan warna tertentu. Perubahan warna
tersebut merupakan hasil antara hidrolisis amilum menjadi glukosa
yang melalui tahap hidrolisis menjadi dekstrin.
Gambar 4.9 Larutan kanji-saliva ditambah yodium tetes 1
Amilum dapat dihidrolisis sempurna dengan menggunakan asam
sehingga menghasilkan glukosa. Hidrolisis juga dapat dilakukan dengan
bantuan enzim amylase. Dalam ludah dan dalam cairan yang
dikeluarkan oleh pankreas terdapat amylase yang bekerja terhadap
amilum yang terdapat dalam makanan kita. Oleh enzim amylase,
amilum diubah menjadi maltosa dalam bentuk maltosa (Gilvery, 1996).
Pemeriksaan dengan larutan benedict, seharusnya memberikan
hasil perubahan warna dari biru menjadi oranye kekuningan setelah
dipanaskan yang menunjukkan adanya reaksi glukosa dengan larutan
benedict. Perubahan warna tidak terjadi karena larutan benedict yang
digunakan sudah rusak dan tidak berfungsi.
23
Gambar 4.10 Larutan kanji-saliva ditambah benedict awal.
Gambar 4.11 Larutan kanji-saliva ditambah benedict setelah pemanasan
b. Dengan pemanasan
Pada percobaan menggunakan saliva sebanyak 10 ml yang telah
dipanaskan terlebih dahulu selama 10 menit kemudian mencampur
dengan larutan kanji sebanyak 25 ml kemudian mendiamkannya selama
3 menit hasilnya berwarna jernih, sedangkan pada percobaan berikutnya
yaitu mengambil 5 tetes dari campuran larutan kanji dan saliva lalu
menuangkannya ke piring porselen kemudian menambahi 1 tetes
larutan yodium lalu mendiamkannya selama 1 menit, dan terus seperti
itu sampai 5 tetes, hasilnya berubah dari jernih menjadi biru tua ini
24
berarti amilum berubah menjadi maltosa. Sedangkan pada pengamatan
5 ml saliva yang menambahkan larutan benedic sebanyak 10 ml lalu
memanaskannya selama beberapa menit hasilnya juga sama yaitu
berubah dari jernih menjadi warna biru ini berarti amilum tidak berubah
menjadi maltosa, seharusnya percobaan ini menghasilkan warna orange,
ini disebabkan oleh larutan benedic nya mengalami kerusakan.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh pH, suhu dan konsentrasi
substrat terhadap enzim. Jika semakin tinggi suhunya, enzim akan lebih
mudah dijadikan inaktif. Suatu enzim dapat bekerja dengan baik bila
faktor tersebut berada dalam keadaan optimum. Keadan optimum
berbeda-beda untuk setiap enzim.Warna jernih dapat terbentuk
disebabkan amilum yang berikatan dengan Iod membentuk warna biru
telah mengalami proses hidrolisis menjadi maltosa dan dekstrin yang
tidak menimbulkan warna apabila berada dalam larutan yodium.
Pada perubahan suhu, kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh enzim
mula-mula meningkat karena adanya peningkatan suhu. Energi kinetik
akan meningkat pada kompleks enzim dan substrat yang bereaksi.
Namun, peningkatan energi kinetik oleh peningkatan suhu mempunyai
batas yang optimum. Jika batas tersebut terlewati, maka energi tersebut
dapat memutuskan ikatan hidrogen dan hidrofobik yang lemah yang
mempertahankan struktur sekunder-tersiernya. Pada suhu ini, denaturasi
yang disertai dengan penurunan aktivitas enzim sebagai katalis akan
terjadi.
Suhu optimal enzim bergantung pada lamanya pengukuran kadar
yang dipakai untuk menentukannya. Semakin lama suatu enzim
dipertahankan pada suhu dimana strukturnya sedikit labil, maka
semakin besar kemungkinan enzim tersebut mengalami denaturasi.
25
Gambar 4.12 Gambar 4.13
Campuran larutan kanji dan saliva sebelum ditetesi 1 tetes larutan yodium
Ditetesi larutan yodium dan benedic
Gambar 4.14 Gambar 4.15
Ditetesi 2 tetes larutan yodium Ditetesi 3 tetes larutan yodium
Gambar 4.16 Gambar 4.17
Ditetesi 4 tetes larutan yodium Ditetesi 5 tetes larutan yodium
26
Gambar 4.18 Ditetesi larutan benedic setelah dipanaskan
5. Garam Ca pada saliva
Gambar 4.19 Sebelum : belum tampak endapan
27
Gambar 4.20 Sesudah : telah tampak endapan putih di dasar saliva
Pada percobaan uji kalsium pada saliva ini diperoleh hasil bahwa
terjadi endapan berwarna putih pada dasar saliva dan konsistensi saliva
lebih kental daripada sebelumnya setelah saliva segar sebanyak 5ml diberi
beberapa tetes larutan asam asetat encer dan diberi beberapa tetes larutan
K- Oksalat. Pengendapan tersebut terjadi setelah saliva ditetesi masing –
masing 5 tetes larutan asam asetat encer dan juga 5 tetes larutan K oksalat.
Sesuai dengan tinjauan pustaka di atas, endapan putih tersebut adalah
kalsium oksalat. Saliva memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat
menggeser ion K+ yang terdapat dalam kalium oksalat
(http://asic.lib.unair.ac.id).
Jadi, pada percobaan ini, semakin banyak larutan asam asetat encer
dan K oksalat yang diteteskan pada saliva untuk membembentuk endapan
putih pada dasar saliva, maka mengindikasikan bahwa kadar asam pada
saliva tinggi dan kadar kalsium dalam salivanya rendah sehingga
pembentukan kalkulus cenderung lebih lambat, sedangkan sebaliknya,
apabila dengan sedikit tetesan larutan asam asetat dan K oksalat sudah
mampu membentuk endapan putih pada dasar saliva, maka menunjukkan
bahwa kadar asam pada saliva rendah dan kadar kalsium pada saliva
tinggi, maka kondisi ini memudahkan pembentukan kalkulus.
28
BAB V
SIMPULAN
Dari beberapa percobaan yang dilakukan, maka dapat disimpulkan antara
lain adalah sebagai berikut:
1. Viskositas saliva pada percobaan dengan stimulasi pengunyahan kasa
menghasilkan pH 9 dan encer. Viskositas saliva akan menurun apabila sekresi
saliva semakin meningkat. Volume saliva dapat meningkat akibat adanya
rangsangan mekanik misalnya pengunyahan.
2. Saliva mempunyai fungsi sebagai buffer ketika kondisi saliva asam terbukti
adanya endapan.
3. Hasil reaksi reduksi gula saliva terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi biru
muda dan terdapat endapan yang melayang-layang pada. Fungsi HCl adalah
menghidrolisis laktosa menjadi glukosa dan galaktosa. Galaktosa memiliki
sifat mereduksi pereaksi benedict. setelah diuji dengan benedict, warna larutan
seharusnya kuning keruh dan terdapat endapan yang menandakan glukosa
memiliki gugus reduksi yang dapat mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ dan akan
mengendap sebagai Cu2O.
4. Kecepatan reaksi enzimatik akan meningkat seiring peningkatan suhu sampai
batas optimum. Suhu optimum enzim amilase salivarius adalah 37oC, sama
dengan suhu normal tubuh. Enzim memiliki aktivitas maksimal pada pH
optimum yaitu 9. Penurunan atau kenaikan pH akan mempengaruhi aktivitas
enzim. Apabila keadaan suhu maupun pH tidak sesuai keadaan normal, maka
akan terjadi denaturasi enzim, dimana fungsi enzimatik dan biologi dari enzim
mengalami kerusakan. Hal ini mempengaruhi fungsi dari saliva adalah fungsi
dari enzim amilase yang memecah polisakarida menjadi disakarida, yang dapat
diamati melalui indikator iodium.
5. Pada uji kalsium diperoleh hasil warna putih keruh dan terdapat endapan putih
pada dasar tabung. Endapan putih tersebut adalah kalsium oksalat. Saliva
memiliki kandungan ion kalsium. Ion Ca+ dapat menggeser ion K+ yang
terdapat dalam kalium oksalat.
29
DAFTAR PUSTAKA
Amerongen, A.N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah: Arti Penting bagi Kesehatan
Gigi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Chang, Raymond. 2007. Chemistry Ninth Edition. New York: Mc Graw Hill.
Ganong, 1995. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Gilvery, Goldstein. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi 3.
Airlangga University Press: Surabaya.
Guyton, dan Hall. 2004. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Harper. 2009. Biokimia. Jakarta: EGC.
Harty, F. J., R. Ogston.1995. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC
Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC.
http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Kus%20%3B%20Peran%202.pdf,
diakses pada tanggal 29 April 2011.
http://greenforce.files.wordpress.com, diakses 29 April 2011.
http://usupress.usu.ac.id/files/Menuju%20Gigi%20dan%20Mulut%20Sehat
%20_Pencegahan%20dan%20Pemeliharaan__Normal_bab%201.pdf,
diakses pada tanggal 29 April 2011.
www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s2-2004-probosarin-
1108&PHPSESSID=633b, diakses pada tanggal 29 April 2011.
www.bem.fmipa.its.ac.id/download/SAINTEK/Jurnal/praktikum-enzim-petunjuk-
kerja.pdf, diakses pada tanggal 29 April 2011.
www.biochemia.amb.edu.pl/stoma.html, diakses tanggal 28 April 2011.
www.chem-is-try.org/tanya_pakar/
bagaimana_prinsip_kerja_reaksi_fehling_tollens_dan_benedict/, diakses
tanggal 29 April 2011.
www.dikmenum.go.id, diakses tanggal 28 April 2011.
www.gudangmateri.com/2010/02/biokimia-karbohidrat.html, diakses tanggal 28
April 2011.
www.woodrow.org/teachers/ci/1988/starch.html. diakses tanggal 28 April 2011.
30