Post on 20-Jan-2017
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia
1. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar merupakan suatu usaha
dalam mewujudkan tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia yang ada dalam
kurikulum pendidikan. Hal ini dikemukakan oleh Resmini dkk. (2009, hlm. 28)
bahwa “Hakikat pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SD merupakan
a. bentuk penerapan kurikulum,
b. bentuk pencapaian tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia,
c. upaya peningkatan kemampuan siswa SD mulai dari kelas I sampai kelas VI
SD dalam mencapai tujuan mata pelajaran tersebut.”
Pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari dalam lingkup teori
semata.Siswa diharapkan mampu menggunakan kemampuannya secara
fungsional, otentik dan utuh dalam berkomunikasi. Menurut Diknas (dalam
Resmini dkk., 2009, hlm. 29) „Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SD
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis serta
menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan.‟ Hal ini
mengakibatkan pembelajaran yang dilakukan harus bisa disesuaikan dengan
situasi yang akan dihadapi siswa saat ia berkomunikasi menggunakan
kemampuaan berbahasanya. Djuanda (2014, hlm.4) mengemukakan bahwa “Pada
waktu belajar bahasa berlangsung, siswa harus dihadapkan pada kondisi
pembelajaran bahasa yang mirip dengan kondisi pada waktu siswa menggunakan
bahasa itu di dalam kehidupan sehari-hari.”
Kemampuan berkomunikasi ditingkatkan dalam pembelajaran bahasa
Indonesia dengan memperhatikan beberapa aspek. Aminuddin (dalam Resmini
dkk. 2009, hlm. 32) menjelaskan bahwa „Peningkatan kemampuan berkomunikasi
itu meliputi aspek skemata (pengetahuan dan pengalaman), kebahasaan, strategi
produktif, mekanisme psikofisik, dan konteks.‟ Aspek-aspek tersebut
digambarkan dalam bagan berikut ini.
15
Bagan 2.1
Aspek-aspek Peningkatan Komunikasi
(Aminuddin, dalam Resmini dkk. 2009, hlm. 33)
Peningkatan kemampuan komunikasi siswa didukung oleh isi
pembelajaran bahasa Indonesia itu sendiri. Isi pembelajaran tersebut meliputi
bahan ajar yang berisikan kemampuan-kemampuan berbahasa. Menurut
Kurikulum (dalam Resmini, 2009, hlm. 31) “Ruang lingkup mata pelajaran
bahasa Indonesia mencakup komponen berbahasa dan kemampuan bersastra yang
meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) mendengarkan (menyimak), (2)
berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis.
2. Prinsip Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia berlandaskan pada beberapa teori belajar.
Teori ini memiliki beberapa kegunaan dalam pembelajaran bahasa. Djuanda
(2014, hlm.8) mengemukakan bahwa
Kegunaan teori, termasuk di dalamnya teori belajar bahasa, berguna untuk
: (a) menyempurnakan suatu praktik, (b) memperjelas sesuatu, membuat
orang mengerti sesuatu atau memberi tahu bagaimana mengerjakan
sesuatu, (c) dapat merangsang pengetahuan baru dengan jalan memberikan
bimbingan ke arah penyelidikan selanjutnya, misalnya dengan membuat
deduksi tentang apa yang akan terjadi pada situasi dalam konteks tertentu.
Menurut Resmini dkk.(2009, hlm. 4) “Pembelajaran bahasa Indonesia
dilaksanakan mengacu pada wawasan pembelajaran yang dilandasi prinsip (1)
humanisme, (2) progresivisme, dan (3) rekonstruksionisme.” Selain prinsip
belajar yang telah dikemukakan, ada beberapa prinsip atau teori belajar yang
dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Teori tersebut terdiri
Skemata Kebahasaan
Strategi Produktif
Mekanisme Psikofisik
Konteks
16
dari behaviorisme, mentalisme, kognitivisme, kontruktivisme, dan
fungsionalisme. Dalam penelitian ini, teori belajar yang berkaitan dengan
penggunaan metode 6P pada materi meringkas buku meliputi teori humanisme,
behaviorisme, kognitivisme, konstruksionisme, dan fungsionalisme.
a. Humanisme
Menurut Resmini dkk. (2009) pada prinsip ini terdapat wawasan bahwa
manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya memahami sesuatu.
Perilaku manusia juga dilandasi oleh motif dan minat tertentu.Manusia selain
memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Implikasi prinsip ini pada
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yaitu guru hanya menjadi
fasilitator dan model, siswa diyakini dapat menemukan pemahamannya sendiri,
pembelajaran harus dirasa bermakna dan berguna, isi pembelajaran harus
disesuaikan dengan perkembangan siswa, serta guru juga harus melihat siswa
secara individual dengan keunikannya sehingga pembelajaran tidak hanya
dilakukan secara klasikal saja. Djuanda (2014, hlm 24) mengemukakan bahwa
“Menurut pandangan ini, bahasa haruslah dilihat sebagai suatu totalitas yang
melibatkan siswa secara utuh bukan sekedar sesuatu yang intelektual semata-
mata.”
Kaitan teori humanisme dengan penelitian ini bahwa siswa akan
menemukan pemahamannya sendiri tentang bagaimana suatu kalimat dapat dibuat
secara ringkas. Pembelajaran di kelas juga menjadikan guru hanya sebagai
fasilitator agar siswa terlibat dalam pembelajaran dengan baik.
b. Behaviorisme
Prinsip behaviorisme dikembangkan oleh Ivan Pavlov. Prinsip ini
menyatakan di mana ada stimulus pasti akan ada respon. Jika respon yang
diharapkan bermakna, maka harus disiapkan kondisi stimulus yang bermakna
pula. Namun, sebelumnya harus melakukan kontrol terhadap lingkungan stimulus
yang akan diberikan. Menurut Edward L. Thorndike (dalam Djuanda, 2014, hlm.
9) “Dalam melakukan kontrol perlu diperhatikan tiga hal yaitu law of effect atau
kaidah efek, law of excersise atau kaidah latihan, law of readinnes atau kaidah
kesiapan.” Kaidah efek menjelaskan bahwa respon akan terbentuk tergantung
pada efek yang diperoleh. Jika efek yang diperoleh suatu kesenangan maka respon
17
yang diberikan akan maksimal, begitu sebaliknya. Kaidah latihan beranggapan
bahwa semakin sering diadakan latihan maka semakin bagus respon yang
diberikan. Kaidah kesiapan beranggapan bahwa belajar itu akan lebih baik berada
dalam keadaan tegang dan disiplin agar tercipta suatu keseriusan.
Implikasi prinsip behaviorisme dalam pembelajaran bahasa menurut
Djuanda (2014) pada tahun 1970-an terdapat wawasan bahwa belajar bahasa
merupakan pemberian stimulus kebahasaan yang bisa berbentuk latihan, peniruan,
dan pembiasaan yang diikuti penguatan dari guru. Belajar bahasa juga harus
difokuskan pada keterampilan tertentu. Selain itu belajar bahasa tidak melibatkan
aktivitas mental, melainkan kenyataan yang muncul pada respon.
Kaitan teori ini denga penelitian yang dilakukan terletak pada keterlibatan
siswa dalam pembelajaran. Agar siswa tertib dalam mengerjakan tugas, diberikan
stimulus berupa sanksi dan pujian. Ketika siswa tidak mengerjakan tugasnya
maka ia akan diberi bintang merah sebagai peringatan.
Dalam kaitan kebahasaannya, siswa diberikan latihan berupa menulis
huruf kapital dengan benar dan melihat guru membuat pemetaan pikiran.
c. Kognitivisme
Teori kognitivisme dipelopori oleh Jean Piaget. Menurut teori ini,
pengalaman yang sudah ada (skemata) dimanfaatkan untuk memperoleh
pengetahun baru. Teori ini memandang pembelajaran sebagaimana dikemukakan
Djuanda (2014, hlm. 17) “...belajar juga dapat disikapi sebagai asimilasi dan
akomodasi yang bermakna sehingga dapat menghasilkan pemahaman,
penghayatan, dan keterampilan.” Asimilasi di sini berarti bahwa siswa tidak harus
mengubah skematanya ketika menerima pengetahhuan baru. Sedangkan
akomodasi menuntut siswa mengubah terlebih dahulu skematanya untuk
menerima pengetahuan baru.
Aminuddin (dalam Djuanda, 2014) menyarankankan bahwa dalam
pembelajaran menurut teori ini menganjurkan guru menyajikan materi yang saling
berkaitan. Selain itu, pembelajaran juga harus disesuaikan dengan pengetahuan
siswa, proses pembelajaran yang menarik, alamiah, dan memiliki nilai fungsional
bagi siswa.
18
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, siswa diharapkan dapat
mengembangkan skematanya setelah membaca buku, mengaitkan setiap gagasan
yang ia temukan dengan gagasan lain sehingga membentuk pengetahuan isi buku
yang ia baca.
d. Konstruktivisme
Teori konstruktivisme didasari oleh pandangan Jean Piaget, Vigotsky, dan
Bruner. Teori ini menekankan bahwa siswa dengan sendirinya mengkonstruksi
pengetahuannya berdasarkan pengalaman dan konsep rasional. Menurut Djuanda
(2014, hlm. 118) “Pemahaman kenyataan dan pemecahan masalah menghasilkan
pengetahuan baru dalam proses yang aktif dan dinamis. Siswa merekonstruksi
pengetahuannya oleh dirinya sendiri.”
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran
berdasarkan teori konstruktivisme. Hal ini dikemukakan oleh Djuanda (2014)
bahwa dalam merencanakan isi dan proses pembelajaran bahasa Indonesia, guru
harus mempersiapkan materi konkret yang bisa diamati siswa, karakteristik
materi, hubungan materi dengan lingkungan siswa, serta keterhubungan
pembelajaran dengan kehidupan sosial siswa.
Hubungan antara teori konstruktivisme dengan penelitian ini yaitu ketika
siswa membaca sebuah buku, maka kemudian ia akan membangun sebuah
pemikiran tentang isi buku tersebut. Pengetahuan yang telah ia dapatkan dari
membaca buku akan dituangkan dalam sebuah pemetaan pikiran.
e. Fungsionalisme
Teori fungsionalisme merupakan landasan dari pendekatan komunikatif.
Perbedaan teori ini dengan teori lain dikemukkan oleh Djuanda (2014) bahwa
bahasa merupakan fakta soisal, bahasa memiliki tiga tataran fungsi (ideasional,
interpersonal, tekstual), belajar bahasa harus sesuai dengan fungsinya dalam
kehidupan, memahami bahasa berawal dari memahami penggunaannya, serta
hakikat belajar bahasa adalah belajar menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi
dan kaidah sosial.
Implikasi teori fungsionalisme pada pembelajaran bahasa Indonesia
menurut Djuanda (2014) yaitu bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus
bermakna dan berfungsi bagi siswa, merujuk pada kepentingan pengembangan
19
berbahasa baik secara individu maupun kelompok, serta berorientasi pada
pengembangan kemampuan untuk meningkatkan nilai kebangsaan dari bahasa
Indonesia.
Kaitan teori pembelajaran fungsionalisme dengan penelitian ini adalah
kegunaan dari menulis ringkasan sangat dibutuhkan oleh siswa. Pada saat tertentu
dijenjang pendidikan selanjutnya, siswa akan mengahadapi materi pembelajaran
yang lebih rumit. Oleh karena itu, kemampuan menulis ringkasan ini diajarkan
agar mempermudah siswa mempelajari pelajaran dijenjang selanjutnya.
3. Sumber dan Media Pembelajaran Bahasa Indonesia
Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah siswa
melakukan proses pembelajaran, bukan hanya sekedar buku paket atau lembar
kerja siswa yang dibeli di sekolah saja.Sudjana (dalam Djuanda, 2014, 53)
mengemukakan bahwa “Sumber belajar adalah segala daya yang dapat
dimanfaatkan guna memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajar.”
Banyak ragam dan jenis dari sumber belajar yang dapat digunakan dalam
pembelajaran bahasa Indonesia. Menurut Djuanda (2014) sumber belajar terdiri
dari dua kategori yaitu learning resources by design dan learning resources by
utilization. Learning resources by designadalah sumber belajar yang sengaja
dibuat untuk kegiatan belajar. Pembuatan sumber belajar ini disesuaikan dengan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Contoh dari sumber belajar ini yaitu
buku, brosur, video, tape, dan sebagainya. Sedangkan learning resources by
utilizationadalah sumber belajar yang tidak sengaja dibuat tetapi dapat
dimanfaatkan dan mempermudah kegiatan pembelajaran. Contohnya lingkungan
di sekitar seperti pasar, museum, dan sebagainya.
Pada penelitian ini, sumber yang digunakan adalah buku pengetahuan dan
buku sederhana pintar meringkas. Sumber ini termasuk pada kategori learning
resources by design.
Media pembelajaran adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan
pesan dari pembelajaran. Menurut Sadiman (dalam Djuanda, 2014, hlm 149)
media pembelajaran adalah “Segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa agar proses belajar
20
terjadi. Salah satu media yang mudah dipakai dalam pembelajaran bahasa
Indonesia adalah media gambar. Media gambar termasuk dalam kategori media
visual yng tidak diproyeksikan karena tidak menggunakan alat proyektor. Hal ini
sesuai dengan pendapat Hastuti (dalam Djuanda, 2014) bahwa media
dikelompokan menjadi dua kategori yaitu media visual yang tidak dapat
diproyeksikan dan media yang dapat diproyeksikan.
Menurut Djuanda (2014) gambar dapat digunakan untuk mengatasi
keterbatasan ruang dan waktu, mudah di dapat, dan dapat menerjemahkan ide
abstrak. Pemilihan gambar harus berdasarkan kriteria tertentu dengan ciri-ciri yng
baik. Menurut Sudirman (dalam Djuanda, 2014, hlm. 152) „Gambar atau foto
yang baik dan dapat digunakan sebagai media belajar ialah foto atau gambar yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
a. Dapat menyampaikan pesandan ide tertentu.
b. Memberi kesan yang kuat dan menarik perhatian kesederhanaan, yaitu
sederhana dalam warna, tetapi memiliki kesan tertentu.
c. Merangsang orang melihat untuk ingin mengungkapkan tentang
objek-objek dalam gambar.
d. Berani, dinamis, pembuatan gambar hendaknya menunjukkan gerak
atau perbuatan.
e. Bentuk gambar bagus, menarik, dan disesuaikan dengan tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan.
B. Hakikat Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar
1. Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar
Keterampilan menulis adalah bentuk dari sebuah komunikasi yang
merupakan suatu kegiatan mengorganisasikan pengetahuan dan
pengalaman.Menurut Resmini dkk.(2009) pembelajaran menulis hendaknya
berorientasi pada kemampuan berkomunikasi untuk menyampaikan pesan setelah
siswa mengalami prosedur berkomunikasi dengan memadukan aspek
pengetahuan, pengalaman (skemata), kebahasaan, strategi produktif, mekanisme
psikofisik dan konteks. Pengetahuan yang telah dimiliki siswa dipadukan dengan
aspek kebahasaaan lalu diolah melalui mekanisme psikofisik dan strategi
produktif untuk menghasilkan tulisan yang sesuai dengan konteks.
Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling sulit di antara
keterampilan lainnya.Keterampilan menulis juga bukan merupakan bawaan dari
lahir.Oleh karena itu, pembelajaran menulis dilakukan dengan mengadakan
21
banyak latihan menggunakan berbagai metode dan strategi.Metode yang
digunakan haruslah sesuai dengan karakteristik siswanya.Selain itu, pembelajaran
menulis juga harus dilakukan secara berkelanjutan.
Pembelajaran menulis dapat ditingkatkan dengan menggunakan
pendekatan proses menulis dan pendekatan produk tulisan. Menurut Tompkins
(dalam Resmini, 2009, hlm. 218) „Fokus orientasi pembelajaran menulis adalah
bagaimana siswa dapat menulis (learning about written language) dan belajar
melalui tulisan (learning trough writing).‟ Guru dalam proses pembelajarannya
mengarahkan siswa untuk belajar menulis, belajar bahasa tulis, dan belajar
melalui tulisan.
Inti dari pembelajaran menulis adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru
untuk meningkatkan kemampuan sehingga siswa dapat memiliki keterampilan
menulis yang baik.Menurut Resmini dkk.(2009, hlm. 214) “Guru hendaknya
selalu memberdayakan potensi siswa untuk menulis, mulai dari menulis huruf,
kata-kata, dan kalimat sampai tulisan yang berbentuk teks.” Dengan demikian,
pembelajaran menulis pun harus mempertimbangkan karakteristik yang dimiliki
oleh siswa. Siswa harus dipandang sebagai seorang individu yang memiliki
kemampuan dan potensi yang dapat dikembangkan. Mereka dapat membangun
pengetahuannya tentang menulis yang diperoleh dari interaksi sosialnya dengan
cara dan tujuan yang berbeda. Hal ini dikemukakan oleh Pappas (dalam Resmini,
2009, hlm. 215) bahwa ada beberapa asumsi yang harus dipertimbangkan dalam
pembelajaran menulis yaitu
Children (all human) are active and constructive learners, language is
organizedin different ways and different patterns or registers because it is
used for different purpous in different contexs, knowledge is organized and
conctructed by individual learners trough social interaction.
Dalam pembelajaran menulis juga terdapat unsur-unsur belajar sebagai
faktor berlangsungnya suatu pembelajaran. Menurut Suyono dan Hariyanto
(2011) unsur belajar meliputi tujuan belajar, proses belajar, dan hasil
belajar.Unsur-unsur tersebut tidak terlepas dari peran seorang guru. Guru tentu
harus membuat perencanaan pembelajaran untuk menentukan tujuan yang harus
dicapai. Dalam unsur proses belajar, terdapat aktivitas siswa dan kinerja guru
dalam melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran tersebut akan memperlihatkan
22
hasil belajar siswa. Menurut Gage dan Berliner (Suyono & Hariyanto, 2011, hlm.
187) „Ada tiga fungsi utama guru dalam pembelajaran, yaitu sebagai perencana
(planner), pelaksana dan pengelola (organizer), dan penilai (evaluator).‟Dalam
penelitian ini unsur–unsur tersebut diteliti dalam pembelajaran menulis ringkasan
isi buku di kelas V SDN Sirahcipelang dengan menggunakan metode 6P.
2. Tujuan Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar
Menulis merupakan keterampilan untuk mengkomunikasikan pesan baik
berupa ide, informasi atau perasaan ke dalam bentuk tulisan.Keterampilan
menulis ini perlu dimiliki oleh siswa sekolah dasar guna bekal awal untuk
peningkatan kemampuan berkomunikasinya.Oleh karena itu, menurt Resmini dkk.
(2009, hlm.215) “Tujuan utama dari pembelajaran menulis adalah untuk
meningkatkan keterampilan siswa dalam mengkomunikasikan pesan melalui
bahasa tulisan.”Secara rinci tujuan menulis di sekolah dasar dikemukakan oleh
Resmini dkk.(2006) bahwa siswa dapat memupuk dan mengembangkan
kemampuan siswa untuk memahami dan melaksanakan cara menulis dengan baik,
melatih dan mengembangkan kemampuan siswa untuk mengenal dan menuliskan
huruf-huruf sebagai tanda bunyi, melatih mengembangkan kemampuan siswa agar
terampil menuliskan bunyi atau suara yang didengarnya, melatih keterampilan
siswa untuk dapat menetapkan arti tertentu dari sebuah kata dalam konteks
kalimat, mengungkapkan ide dan pesan sederhana secara tertulis.
Menurut Depdiknas (dalam Djuanda, 2008, hlm. 178) ada beberapa
kompetensi menulis yang harus dimiliki siswa.
Kompetensi menulis yang diharapkan dari siswa sekolah dasar ialah dapat
menulis naratif dan non naratif dengan tulisn rapi dan jelas dengan
memperhatikan tujuan dan ragam pembaca, memakai ejaan dan tanda
baca, dan kosakata yang tepat dengan menggunakan kalimat tunggal dan
kalimat majemuk.
Menurut Djuanda (2008, hlm 178) “Tujuan di atas pada hakikatnya
mengacu pada pengembangan aspek logika dan aspek linguistik.” Aspek logika
berkaitan dengan isi dan penyusunannya sehingga hal ini mengacu pada tujuan
bahwa siswa harus mampu mendisiplinkan penorganisasian gagasnnya. Aspek
linguistik berkaitan dengan cara penyampaian apa yang ada dalam pikiran ke
dalam tulisan sehingga hal ini mengacu pada tujuan agar siswa dapat
23
mendisiplinkan tulisannya dalam berbahasa menggunakan tata bahasa dan ejaan
yang baik dan benar.
3. Perkembangan Tulisan Siswa Sekolah Dasar
Kemampuan menulis siswa mengalami perkembangan. Perkembangan ini
terjadi melalui beberapa cara, ada siswa berkembang secara berkesinambungan,
ada siswa yang perkembangannya lambat, ada juga siswa yang mengalami
perkembangan secara pesat. Menurut Resmini dkk.(2006, hlm. 220)
“Perkembangan tulisan anak itu beranjak dari spiral sejalan dengan perkembangan
mentalnya. Dari nonrepresentasional sampai pada representasional, dari pramelek
aksara hingga fasih beraksara, dari menggambar aksara hingga melahirkan
tulisan.”Berdasarakan hal tersebut, perkembangan tulisan siswa sekolah dasar
dibagi dalam dua kategori yaitu kelas rendah untuk kelas satu sampai kelas tiga
dan kelas tinggi untuk kelas empat sampai kelas enam.
Pada siswa kelas satu, mereka jarang mengkhawatirkan tulisnnya.Mereka
hanya menikmati kegiatan menulisnya bukan untuk mencari perhatian dari
pembacanya.Setelah memasuki kelas dua dan tiga, siswa merasa bahwa tulisannya
perlu mendapat perhatian pembacanya, mereka ingin mendapat pengakuan dari
guru atau temannya. Siswa akan menuliskan cerita yang bersifat naratif. Menurut
Calkins (dalam Resmini dkk., 2006, hlm. 216) „Anak-anak pada usia ini sering
membuat cerita bed to bed yang naratif dalam kejadian-kejadian yang terjadi dari
waktu mereka bangun tidur di pagi hari sampai tidur di malam hari.‟
Pada pembelajarannya, siswa kelas rendah masih bergantung pada apa
yang guru perintahkan. Sehingga saat siswa belajar, guru harus mengembangkan
pembelajarannya agar dapat merangsang kemampuan siswa.Hal ini dikemukan
oleh Resmini dkk.(2006, hlm.215) “Guru diharapkan membekali dirinya dengan
kemampuan menulis. Guru pun dituntut memiliki kemampuan memilih metode
yang sesuai sehingga dapat merangsang kreativitas siswa.”
Pada kelas tinggi siswa yang telah melalui masa menulis permulaan sudah
mampu mempertimbangkan aspek-aspek menulis. Kroll dan Wells (dalam
Resmini, dkk. 2006, hlm. 216) mengemukkan bahwa „Anak telah dapat
mengaplikasikan konteks komunikatif dalam mengarang seprti bentuk, gaya,
pembaca, dan tujuan penulisan.‟ Berdasarkan proses menulisnya, Farris (dalam
24
Resmini, dkk. 2006) mengemukakan bahwa siswa kelas tinggi pada tahap
pramenulis sudah mampu memfokuskan pada suatu topik dan berpikir abstrak.
Pada tahap membuat draf siswa mampu menuangkan gagasannya dalam sebuah
draf sesuai minatnya, menyadari adanya pembaca, dapat mengawali cerita dari
bagian mana saja, dan menunjukan perhatian.Pada tahap perbaikan, siswa mampu
menyunting tulisannya dan menerapkan aspek mekanikal seperti tanda baca dan
ejaan pada tulisnnya.
Pada penelitian ini, siswa yang diteliti merupakan kelas V SD. Kelas V ini
berada dalam tingkatan kelas tinggi di mana siswa telah dapat memfokuskan
sebuah topik dan mampu memperbaiki tulisannya.
4. Penyekoran dan Penilaian Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar
Menulis yang merupakan kegiatan multidimensi tidak hanya dapat diukur
dengan menghitung nilai semata.Menurut Resmini dkk.(2006, hlm. 261) “Ada
tiga prosedur untuk memonitor secara harian kemajuan siswa dalam menulis
adalah mengobservasi, mendiskusikan, dan mengumpulkan karangan dalam
map.”Prosedur tersebut dapat diaplikasikan dalam penilaian otentik berupa
penggunaan portofolio, cuplikan kerja, rubrik, diskusi, jurnal, dan catatan
anekdot.
Menurut Resmini dkk.(2006) penilaian portofolio dalam pembelajaran
menulis adalah alat untuk mengetahui perkembangan tulisan siswa secara
sistematis.Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana siswa dapat
mengembangkan gagasan dan meyajikannya dalam sebuah tulisan.
Gurumemberikan komentarnya terhadap perkembangan siswa. Porofolio dibuat
secara sistematis dengan memberikan nama dan tanggal pada setiap tugas
menulis. Penilaian cuplikan kerja menurut Resmini dkk.(2006) merupakan
penilaian terhadap kinerja yang dilakukan siswa. Guru memperhatikan kinerja
siswa kemudian menilai pengetahuan dan keterampilannya berdasarkan kinerja
siswa. Penilaian rubrik menurut Resmini dkk.(2006, hlm.262) “Rubrik adalah
pedoman penilaian yang berisi aspek-spek yang akan dievaluasi berkaitan dengan
tulisan siswa.” Penilaian melalui diskusi, guru akan melakukan tanya jawab
dengan siswa secara informal tentang tulisan dan masalah yang ia hadapi saat
menulis, kemudian guru membeikan alternatif pemecahannya. Penilaian diskusi
25
dilakukan secara individual.Penilaian dengan menggunakan jurnal dilakukan
dengan mencatat kegiatan yang dilakukan siswa saat kegiatan penulisan dan
keterlibatan siswa saat menulis. Penilaian melalui catatan anekdot dilakukan
dengan cara menuliskan komentar singkat mengenai apa yang dikerjakan dan
yang harus siswa kerjakan, gaya belajar dan strategi yang digunakan siswa.
Penilaian ini didokumentasikan secara berkelanjutan sehingga guru mendapatkan
gambaran secara umum mengenai perkembangan menulis siswa.
Dalam melakukan penilaian menulis, guru juga melakukan penyekoran.
Menurut Omaggio dan Cooper (dalam Resmini dkk., 2009, hlm. 296)
„Penyekoran karangan dapat dilakukan dengan menggunakan tiga macam teknik,
yaitu teknik penyekoran holistik, teknik penyekoran analitik, dan teknik
penyekoran unsur-unsur yang diutamakan.‟
Teknik penyekoran holistik adalah teknik yang menilai suatu tulisan
secara keseluruhan.Kriteria penyekoran holistik dikemukakan oleh Resmini
dkk.(2009, hlm 296) yaitu “Kejelasan karangan, topik serta kecukupan
pengembangan ide, efektifitas permasalahan yang dimunculkan, kesesuaian atau
ketepatannya dengan kebutuhan pembaca, tingkat kekohesifan gramatika dan
leksikal serta kekoherensiannya secara keseluruhan, dan keefektifan penggunaan
piranti rektorikanya.”
Teknik penyekoran analitik menurut Resmini dkk.(2009) dilakukan
dengan menghitung kesalahan-kesalahan dalam karangan pada komponen
pembentuk tulisan.Kelebihan teknik ini yaitu dapat menilai semua komponen
tulisan secara rinci, namun memiliki kekurangan saat mengkuantifikasikan hasil
penyekoran.Berikut ini contoh pedoman penyekoran analitik.
Tabel 2.1
Contoh Penyekoran Analitik Aspek yang dinilai Skala Penilaian
1. Judul A B C D E
2. Gagasan
3. Organisasi
a. Kesatuan
b. Kepaduan
c. Kelogisan
4. Penggunaan struktur
5. Pemilihan diksi
6. Tanda baca dan ejaan
26
Teknik penyekoran unsur-unsur yang diutamakan menurut Resmini
dkk.(2009) yaitu dengan menyekor secara keseluruhan dengan menekankan pada
komponen tertentu seperti struktur, kosakata isi, atau organisasi tulisan.Kelebihan
penilaian ini yaitu dapat memusatkan komponen yang ingin diukur tetapi
memiliki kelemahan karena dapat terjadi kemungkinan terlewatnya suatu
komponen untuk diukur.
Dalam penelitian ini, penilaian yang digunakan adalah penilaian rubrik
yakni menilai aspek-spek yang akan dievaluasi berkaitan dengan ringkasan seperti
kelengkapan gagasan, panjang ringkasan, dan penggunaan huruf kapital serta
tanda titik. Sedangkan penyekoran yang digunakan adalah penyekoran analitik,
yaitu mengukur berapa jumlah kesalahan yang ada dalam ringkasan.
5. Materi Pembelajaran Menulis di Sekolah Dasar
Materi pembelajaran menulis di sekolah dasar banyak ragamnya. Diawali
dengan mengajarkan bagaimana posisi menulis, hingga menulis karangan bebas.
Menurut Djuanda (2008) materi menulis yang diajarkan di sekolah dasar terbagi
tiga kelompok. Menurut tingkatan kelas, menulis terdiri menulis permulaan (kelas
1 dan 2) dan menulis lanjut (kelas 3-6). Menurut isi atau bentuknya terdiri dari
karangan verslag (laporan), karangan fantasi, dan karangan reproduksi, dan
karangan argumentasi. Sedangkan menurut susunannya terdiri dari karangan
terikat, bebas, dan karangan setengah bebas setengah terikat. Menurut Resmini,
dkk. (2009, hlm. 209)
Untuk tingkat permulaan, kegiatan menulis lebih didominasi oleh hal-hal
yang bersifat mekanis. Kegiatan mekanis yang dimaksud dapat berupa:
sikap duduk yang baik dalam menulis, cara memegang pensil/alat tulis,
cara memegang buku, melemaskan tangan dengan cara menulis di udara,
dan melemaskan jari-jari melalui kegiatan menggambar,
menjiplak/ngeblat, melatih dasar-dasar menulis.
Pada tingkat lanjut, materi pembelajaran menulis sudah mengarah pada
tulisan untuk kegiatan sehari-hari. Menurut Resmini, dkk. (2009, hlm. 203)
“Pembelajaran menulis lanjut di SD menekankan pelatihan penulisan berbagai
bentuk tulisan, misalnya surat, prosa, puisi, pidato, naskah drama, laporan, naskah
berita, pengumuman, iklan, cara menulis ringkasan, dan mengisi formulir dan
sebagainya.
27
Di kelas V, materi pembelajaran bahasa Indonesia keterampilan menulis
meliputi menulis karangan, menulis undangan, menulis dialog, meringkas isi
buku, menulis laporan pengamatan, dan menulis puisi bebas. Berikut ini standar
kompetensi dan kompetensi dasar menulis SD kelas V sesuai dengan KTSP.
Tabel 2.2
Kompetensi Dasar Menulis Di SD Kelas V
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Menulis
4. Mengungkapkan pikiran, perasaan,
informasi, dan pengalaman secara tertulis
dalam bentuk karangan, surat undangan,
dan dialog tertulis.
4.1Menulis karangan berdasarkan pengalaman
dengan memperhatikan pilihan kata dan
penggunaan ejaan.
4.2 Menulis surat undangan (ulang tahun,
acara agama, kegiatan sekolah, kenaikan
kelas, dll.) dengan kalimat efektif dan
memperhatikan penggunaan ejaan.
4.3 Menulis dialog sederhana antara dua atau
tiga tokoh dengan memperhatikan isi
serta perannya.
8. Mengungkapkan pikiran, perasaan,
informasi, dan fakta secara tertulis dalam
bentuk ringkasan, laporan, dan puisi
bebas.
8.1 Meringkas isi buku yang dipilih sendiri
dengan memperhatikan penggunaan
ejaan.
8.2 Menulis laporan pengamatan atau
kunjungan berdasarkan tahapan (catatan,
konsep awal, perbaikan, final) dengan
memperhatikan penggunaan ejaan.
8.3 Menulis puisi bebas dengan pilihan kata
yang tepat.
Penelitan ini meneliti tentang materi yang berada di kelas V yaitu
meringkas isi buku yang dipilih sendiri dengan memperhatikan penggunaan ejaan,
standar kompetensi nomor 8, kompetensi dasar nomor 8.1.
C. Hakikat Menulis
1. Pengertian Menulis
Menulis yang merupakan bagian dari keterampilan berbahasa digunakan
dalam berkomunikasi secara tidak langsung.Penulis hanya mengungkapkan
gagasan dalam bentuk tulisan sehingga pembaca tidak bertemu secara langsung
28
saat mendapatkan informasi. Hal ini didukung oleh pendapat Tarigan (2013,
hlm.3) bahwa “Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang
dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka
dengan orang lain.” Suriamiharja (dalam Djuanda, 2008, hlm. 180)
mengemukakan bahwa “Menulis adalah berkomunikasi mengungkapkan pikiran,
perasaan dan kehendak kepada orang lain.” Sedangkan menurut Tarigan (dalam
Djuanda, 2008, hlm. 180) mengemukakan bahwa
Menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang
menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga
orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka
memahami bahasa dan gambaran grafik tersebut.
Takala (dalam Cahyani dan Rosmana, 2006, hlm. 97) mengemukakan
bahwa „Menulis adalah sebagai suatu proses menyususn, mencatat, dan
mengkomunikasikan makna dalam tataran ganda, bersifat interaktif dan diarahkan
untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan sistem tanda-tanda
konvensional yang dapat dibaca.‟
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa
menulis adalah suatu keterampilan untuk berkomunikasi dalam bentuk lambang-
lambang yang dapat dimengerti yang dilakukan secara tidak langsung sehingga
tidak membutuhkan intonasi melainkan memerlukan tanda baca dan ejaan yang
baik dan benar.
2. Proses Menulis
Menulis bukanlah keterampilan yang diperoleh secara alamiah.Belajar
menulis perlu dilakukan secara berkelanjutan dalam prosesnya.Mengacu pada hal
tersebut Resmini, dkk. (2006, hlm. 229) berpendapat bahwa “Mengacu pada
proses pelaksanaanya, menulis merupakan kegiatan yang dapat dipandang dapat
sebagai suatu keterampilan, proses berpikir (kegiatan bernalar), kegiatan
transformasi, kegiatan komunikasi, dan sebuah proses.”
Sebagai suatu keterampilan, menulis diajarkan secara konsisten dalam
latihannya sehingga dengan latihan yang baik dapat meningkatkan keterampilan
menulis. Sebagai proses berpikir, menulis merupakan kegiatan memproses dan
mengorganisasi gagasan dalam pikiran secara kreatif untuk dituangkan dalam
sebuah tulisan. Sebagai kegiatan transformatif, menulis memerlukan proses
29
bagaimana mengorganisasikan ide dan perasaan yang harus dituangkan dalam
bentuk tulisan yang sistematis dengan bahasa tulisan, baik pemilihan kalimat,
aturan penulisan dan sebagainya. Sebagai kegiatan berkomunikasi, isi dan bentuk
tulisan harus diperhatikan karena akan disajikansecara komunikatif kepada orang
lain. Sebagai suatu proses, menulis dilakukan melalui kegiatan dalam beberapa
tahapan. Resmini, dkk. (2006) mengemukakan proses menulis terdiri dari
menyusun rencana (perencanaan dan pramenulis), menulis draft, perbaikan,
penyuntingan, dan pemublikasian.
Proses menulis (writing proces) menurut Resmini dkk. (2006, hlm. 230)
“Merupakan suatu pendekatan untuk mengamati pembelajaran menulis yang
penekanannya bergeser dari produk pada proses penuangan apa yang dipikir dan
ditulis siswa.” Proses ini dilakukan secara berulang, fleksibel dan tidak kaku.
Ketika beberapa tahap telah terlewati, penulis dapat kembali pada tahap
sebelumnya guna menjadikan tulisannya lebih baik.Setiap tahapan memiliki
penekanan tersendiri.
a. Menyusun rencana
Pada tahap ini penulis memilih topik, tujuan dan bentuk tulisan serta
mengorganisasikan gagasan-gagasan dari topik yang telah dipilih dengan
membuat kerangka karangan.
b. Menulis draft
Tahap kedua ini menekankan pada penyususnan konsep kasar mengenai
isi dari tulisan. Penulis dapat menuliskan semua gagasan yang akan
dikembangkan tanpa harus memperhatikan ejaan dan tanda baca terlebih dahulu.
c. Perbaikan
Pada tahap ini penulis mulai menyaring ide yang telah
dituangkannya.Penulis dapat menambah atau mengurangi hal yang
ditulisnya.Yang menjadi fokus pada tahap ini adalah memperbaiki isi dari tulisan.
d. Penyuntingan
Tahapan keempat menekankan pada aspek mekanik dalam menulis.Setelah
isi diperbiki, maka ejaan dan tanda baca yang harus diperbaiki agar menjadi
sebuah tulisan yang utuh.
30
e. Pemublikasian
Pada tahap ini penulis menyempurnakan tulisannya dengan membagikan
apa yang ia tulis kepada orang lain, baik dengan membacakan
ataumemperlihatkan kepada orang lain agar dibaca. Tahapan ini bertujuan agar
penulis mendapat penguatan dari komentar yang diberikan oleh pembaca.
Dalam penelitian ini, siswa tetap menggunakan tahapan menulis mulai dari
menulis draf hingga mempublikasikan ringkasannya. Pada tahap padukan di
metode 6P, siswa membuat draf dengan membuat peta pemikiran dan
menuangkannya dalam ringkasan. Pada tahap panggil siswa memperbaiki isi dari
tulisan. Pada tahap periksa, siswa menyunting penggunaan huruf kaptal dan tanda
titiknya. Stelah itu, siswa membacakan ringkasannya di depan kelsa sebagai tahap
pemublikasian.
3. Hubungan Menulis dengan Keterampilan Berbahasa Lainnya
Keterampilan berbahasa yang terdiri dari menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis saling berkaitan satu sama lainnya dan tidak dapat terpisahkan.
Tarigan (2013, hlm. 1) berpendapat bahwa “Keempat keterampilan tersebut pada
dasarnya merupakan satu kesatuan, merupakan catur-tunggal.” Menurut
Alexander (dalam Resmini dkk.2009, hlm. 215) menyatakan aksioma bahwa “
Nothing should be spoken before it has been heard, nothing should be read before
it has been spoken, nothing should be written before it has been read.‟Oleh karena
itu, ada keterhubungan antara keterampilan menulis dengan keterampilan lainnya.
Keterampilan menulis memiliki hubungan dengan keterampilan
menyimak.Keterampilan menyimak yang bersifat reseptif yang hanya menyimak
ujaran bisa menjadi sebuah gagasan yang akan dituangkan secara produktif. Hasil
simakan berupa informasi berbentuk ujaran akan dituangkan kembali dalam
bentuk tulisan dengan menuliskan apa yang telah disimak oleh penulis. Menurut
Suparno dan Yunus (2011, hlm. 1.8) “Melalui menyimak ini, penulis tidak hanya
memperoleh ide atau informasi untuk tulisannya, tetapi juga menginspirasi tata
saji dan struktur penyampaian lisan yang menarik hatinya, yang akan berguna
untuk aktifitas menulisnya.”
31
Keterampilan menulis juga berkaitan dengan ketermapilan
berbicara.Menurut Humboldt (dalam Tarigan, 2013 hlm. 16) „Bahasa tulis tidak
akan pernah menjelma dan tidak akan ada hari ini tanpa adanya ujaran atau bahasa
lisan.‟Secara ideal, seorang pembicara yang baik adalah seorang penulis yang baik
pula.Namun, terkadang sulit dalam pengamalannya. Menurut Suparno dan Yunus
(2011) menulis dan berbicra merupakan keterampilan yang bersifat aktif produktif
di mana dalam proses menulis dan berbicara bertujuan untuk menyampaikan
pesan kepada orang lain. Banyak ahli berpendapat bahwa kedua keterampilan ini
saling berdiri sendiri di mana menulis merupakan bentuk tulisan sedangkan
berbicara berbentuk ujaran.Namun, pada akhirnya lama-kelamaan kedua
keterampilan ini bertemu dalam sebuah hubungan retorik dan makna.
Keterampilan menulis berhubungan pula dengan keterampilan
membaca.Ketika akan menulis, seorang penulis akan menyampaikan gagasan,
perasaan, atau informasi dalam bentuk tulisan. Terkadang ia mendapatkan
gagasan-gagasan tersebut dari proses membaca karya orang lain, karena menurut
Frank Smith (dalam Suparno dan Yunus, 2011, hlm. 1.7) „Ketika membaca,
secara tidak sadar pembaca membaca seperti penulis.‟ Penulis juga harus bisa
memperhatikan kebutuhan dari pembacanya. Seorang pembaca akan membaca
hasil tulisan dan mencoba memahami gagasan dan informasi yang disajikan dalam
bentuk tulisan tersebut. Hal ini dikemukakan oleh Goodman (dalam Suparno dan
Yunus, 2011, hlm. 1.8) „Baca tulis merupakan suatu kegiatan yang menjadikan
penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis.‟
Dalam penelitian ini, menulis ringkasan berkaitan erat dengan kemampuan
membaca. Siswa tidak akan bisa menulis ringkasan jika ia tidak membaca buku
terlebih dahulu. Jika ia telah membaca buku, maka ia pasti akan mengetahui isi
buku dan bisa meringkas isi bukunya.
4. Menulis dengan Ejaan yang Benar
Menulis yang baik tidak terlepas dengan penulisan ejaan yang
benar.Menurut Wijayanti dkk. (2013, hlm. 1) “Ejaan adalah kaidah cara
menggambarkan atau melambangkan bunyi-bunyi ujaran (kata, kalimat, dan
sebagainya), dan bagaimana hubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan
32
dan penggabungannya dalam suatu bahasa.” Penggunaan ejaan mencakup
penulisan huruf, kata, unsur serapan, angka dan pemakaian tanda baca.
Penggunaan huruf terdiri dari huruf kapital dan huruf miring.Berikut ini
ini disajikan contoh dari penggunaan huruf kapital yang benar menurut Wijayanti
dkk. (2013).
Tabel 2.3
Penggunaan Huruf Kapital No. Penggunaan Huruf Kapital Contoh
1 Huruf pertama dalam penulisan nama
Tuhan, nama pengganti dari Tuhan,
dan kitab suci.
Allah
kuasa-Nya
2 Huruf pertama gelar kehormatan,
keturunan yang diikuti nama orang.
Nabi Ibrahim
Sultan Hasanudin
3 Huruf pertama nama jabatan dan
pangkat yang diikuti nama orang,
instansi, atau nama tempat.
Gubernur Jawa Barat
Presiden Joko Widodo
4 Huruf pertama nama bangsa, suku, dan
bahasa.
bahasa Indonesia
suku Jawa
5 Huruf pertama nama tahun, bulan, hari,
hari raya, dan peristiwa sejarah.
tahun Masehi
bulan Januari
Republik Indonesia
6 Huruf pertama pada nama khas
geografi.
Selat Sunda
Danau Toba.
7 Huruf pertama nama resmi lembaga
Negara dan dokumen resmi.
Kementerian Luar Negeri
Undang-Undang Dasar
8 Huruf pertama kata petunjuk hubungan
kekerabatan yang dipakai sebagai kata
ganti atau sapaan.
Hadiah Bapak sudah saya terima.
Ini apa, Bu?
9 Huruf pertama kata ganti anda. Terima kasih atas perhatian Anda.
Ada beberapa hal mengenai penggunaan huruf kapital yang dikemukakan
pada pedoman penulisan karya ilmiah UPI tahun akademik 2014/2015. Huruf
kapital digunakan pada awal kalimat, huruf pertama petikan langsung, huruf
pertama unsur nama orang.
Tanda baca atau pungtuasi menurut Zainurrahman (2013, hlm. 145)
“Pungtuasi adalah seperangkat tanda baca yang berfungsi sebagai penanda dalam
teks yang memiliki seperangkat fungsi dan makna yang secara konvensional
33
dipahami oleh masyarakat pengguna.”Jika dalam berbicara ada intonasi dan gerak
tubuh yang dapat membantu lawan bicara memahami maksud dari pembicaraan,
maka dalam menulis dibutuhkan tanda baca untuk membantu pembaca memahami
maksud tulisan. Ada 15 tanda baca yang lazimnya digunakan dalam menulis yaitu
tanda titik, koma, titik koma, titik dua, tanda hubung, tanda pisah, tanda tanya,
tanda seru, tanda kurung, tanda kurung siku, tanda petik, tanda petik tunggal,
tanda garis miring, dan tanda apostrof. Berikut ini hanya akan disajikan
penggunaan tanda titik beserta contohnya.
Tabel 2.4
Penggunaan Tanda Titik
No. Penggunaan Tanda Titik Contoh
1. Akhir kalimat pernyataan. Ayah tinggal di Solo.
2. Di belakang angka atau huruf
dalam satu bagan, ikhtisar atau
daftar.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
B. Kajian Pustaka
3. Memisahkan angka jam, menit,
dan detik dalam waktu.
Pukul 11.31.3
4. Digunakan pada penulisan daftar
pustaka seteah nama penulis,
tahun penerbitan, judul tulisan
tanpa tanda tanya, dan penerbit.
Sanjaya, W. (2013). Penelitian
tindakan kelas. Jakarta:
Prenadamedia Group.
5. Memisahkan bilangan ribuan
yang menerangkan jumlah.
99.000
Dalam penelitian ini, ringkasan siswa dinilai dari segi penggunaan huruf
kapital dan tanda titik. Penggunaan huruf kapital dan tanda titik dalam ringkasan
juga sangat penting. Kebanyakan huruf kapital yang digunakan dalam menulis
ringkasan penelitian ini terletak pada awal kalimat dan nama tempat. Penggunaan
tanda titik dalam ringkasan penelitian ini, terletak pada akhir kalimat.
34
5. Menulis Ringkasan
Menulis ringkasan buku erat kaitannya dengan membaca. Ketika membaca
terkadang kita lebih memperhatikan detil tertentu sehingga berhenti membaca
untuk lebih memahami detil tersebut. Sebaiknya dalam membaca, keseluruhan
lebih utama agar dapat lebih mudah dalam membuat ringkasannya.Oleh karena
itu, menurut Olivia (2009, hlm. 45) “Langkah utama untuk mencoba mendapatkan
ringkasan secara menyeluruh merupakan usaha mendapatkan ide keseluruhan teks
dan terutama bukan detilnya.”
Menurut Wijayanti dkk. (2013, hlm. 172) “Ringkasan (precis) merupakan
cara yang efektif untuk menyajikan suatu tulisan yang panjang dalam bentuk
singkat dan padat.”Sedangkan Olivia (2009, hlm.29) mengemukakan pendapatnya
mengenai ringkasan.
Yang disebut membuat ringkasan dari sebuah buku (baik fiksi dan non
fiksi) diartikan sebagai penyajian singkat dari suatu karangan asli, tetapi
tetap mempertahankan urutan isi dan sudut pandang pengarang asli,
sedangkan perabandingan bagain atau bab dari karangan asli secara
proporsional tetap dipertahankan dalam bentuknya yang singkat itu.
Menurut Sudiati dan Widyamartaya (2005, hlm. 11) “Untuk membuat
ringkasan yang baik, sisiwa harus dapat mengerjakan dua hal pokok ini: (1)
mampu memahami dengan baik isi bacaan yang hendak diringkasnya; (2) mampu
menyusun kembali ide-idenya.”
Menurut Olivia (2009) ada beberapa bentuk ringkasan yaitu abstrak,
sinopsis, dan simpulan.Abstrak merupakan ringkasan pada karya ilmiah yang
meliputi masalah, asumsi dasar, hipotesis, metodologi, dan sebagainya mengenai
karya ilmiah.Sinopsis merupakan ringkasan yang mempengaruhi pembacanya
untuk membaca hal yang diringkas secara utuh.Simpulan merupakan bentuk
ringkasan yang mengungkapkan gagasan utama dari sebuah uraian dengan
memberikan tekanan pada ide sentral.Pada penelitian ini bentuk ringkasan yang
digunakan adalah simpulan.
Tahapan meringkas menurut Olivia (2009) adalah membaca naskah asli
beberapa kali untuk mengetahui kesan umum, mencatat atau menandai gagasan
utama, membuat reproduksi dengan menyusun gagasan yang telah ditandai
menjadi karangan singkat.
35
Menulis ringkasan memiliki ketentuan tersendiri baik dalam penentuan
panjang ringkasan maupun isi dari ringkasan.Panjang ringkasan ditentukan
berdasarkan kebutuhan. Misalnya, ketentuan panjang ringkasan diminta menjadi
seperseratus, maka harus dilakukan penghitungan kata dalam buku yang akan
diringkas kemudian dibagi seratus. Jumlah pembagian itulah patokan banyaknya
kata yang harus ditulis.
Penghitungan jumlah kata dalam buku bisa secara manual jika buku tidak
terlalu tebal. Namun, jika bukunya tebal maka cara penghitungannya bisa
dilakukan dengan mendekati kenyataan. Adapun cara menghitungnya menurut
Olivia (2009) yaitu
Panjang karangan asli (berupa kata) =
Untuk menentukan panjang ringksan yang akan dibuat dapat dihitung dengan
cara sebagai berikut: panjang ringkasan (berupa kata) =
Setelah menghitung jumlah kata yang dapat ditulis dalam ringkasan, kemudian
harus dihitung panjang halamannya.
Jumlah kata pada satu halaman =
Maka jumlah halaman ringkasan=
Berikut ini penghitungan panjang ringkasan pada buku yang digunakan
dalam penelitian ini.Panjang karangan asli (berupa kata) dihitung secara manual
karena buku hanya 21 halaman.Maka, jumlah kata dalam buku yang digunakan
adalah 285. Perbandingan ringkasan yaitu seperlima sehingga panjang ringkasan
(berupa kata) = . Jumlah kata yang sering siswa tuliskan dalam satu
baris adalah 10 kata.Jumlah baris dalam satu halaman adalah 24 sehingga jumlah
halaman yang diperlukan halaman. Jika dijadikan baris maka
panjang ringkasan adalah 5,7 baris dibulatkan menjadi 6 baris.
36
Ketentuan tambahan saat menulis ringkasan dapat dilihat dari isi
ringkasan.Menurut Wijayanti dkk. (2013) ketentuan tambahan itu meliputi
penggunaan kalimat yang harus berupa kalimat tunggal, kalimat ringkasan
merupakan frasa bahkan kata, gagasan yang diambil berupa gagasan sentral saja,
semua keterangan atau kata sifat bila perlu dibuang saja, urutan gagasan pada
ringkasan harus sesuai dengan naskah asli, tidak mengandung pemikiran
peringkas, tidak mengandung pemberian contoh dan penjelasan rinci.
D. Hakikat Metode 6P
Metode 6P merupakan kependekan dari dari pasangan, pantau, pangkas,
padukan, panggil, periksa. Metode ini pengembangan dari metode 4P yang
dikembangkan oleh Femi Olivia pada bukunya yang berjudul Teknik Meringkas.
Metode 6P merupakan metode yang digunakan untuk membantu siswa dalam
membuat ringkasan isi buku.Metode ini di bawah lingkup model pembelajaran
Cooperative Script.
Dalam tahap pasangan, digunakan untuk mengelompokan siswa.
Pengelompokan siswa ini berdasarkan pada teori bahwa belajar secara
berkelompok akan lebih efektif. Menurut Suprijono (2012, hlm. 58) “Model
pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan pembelajaran efektif yaitu
pembelajaran yang bercirikan memudahkan siswa belajar sesuatu yang
bermanfaat seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi
dengan sesama…”
Pada tahap pantau bertujuan untuk memperoleh informasi secara
keseluruhan mengenai tujuan teks, pengetahuan yang sudah atau belum diketahui.
Setelah mengetahui secara keseluruhan akan lebih mudah mencari detil yang
penting. Kegiatan pantau ini menurut Olivia (2009) dilakukan dengan cara :
1. melihat daftar isi,
2. membaca teks pada sampul buku,
3. membaca kata pengantar dan ringkasan jika ada,
4. membaca keseluruhan buku dengan cepat, fokuskan pada huruf yang ditulis
miring, tebal garis bawah atau tipografi tertentu karena biasanya penulis sudah
menandainya agar pembaca lebih mudah memahami bacaan.
37
Tahap pantau juga didukung oleh pendapat menurut Iswara (2014) yang
mengemukakan bahwa setiap orang membuka-buka buku,ia akan melihat
paragraf, judul gambar, dan lain sebagainya. Saat seseorang membuka-buka buku
ia pasti membaca satu atau dua kata pada halaman tersebut. Dengan demikian
orang tersebut dapat menduga gambaran secara ringkas buku tersebut. Ketika ia
merasa halaman yang ia baca itu memuat informasi penting, maka ia baru akan
membacanya secara mendalam.
Pada tahap pangkas bertujuan untuk menghilangkan kata yang tidak
penting dan memilih kata kunci.Jangan takut untuk memangkas kata agar
mendapatkan kata kunci.Kata kunci adalah kata yang dirasa penting dan dapat
memberikan gambaran keseluruhan bacaan.Menurut Olivia (2009, hlm. 66) “Cara
mudah membuat ringksan adalah menguasai prinsip dasar kata kunci.” Mencari
kata kunci dapat menggunakancaradengan menentukan tempat yang paling
berpotensi menyimpan informasi seperti kalimat awal paragraf lalu
menggarisbawahinya.Olivia (2009, hlm. 64) mengemukakan tips
menggarisbawahi kata kunci yaitu “Garis bawah yang dibuat harus merupakan
prinsip dasar dan transisi dari analisismu sendiri dari buku pelajaran dan
bentuknya juga harus diorganisasikan.” Dalam mengorganisasikan pemberian
garis bawah dianjurkan tidak terlalu banyak agar informasi tidak menjadi
bias.Iswara (2014) mengemukakan bahwa sebaiknya menggarisbawahi dilakukan
dengan memilih satu bagian saja seperti di sebelah kiri atau kanan
saja.Memberikan garis bawah juga dianjurkan menggunakan pensil
warna.Pemilihan pensil warna karena pensil mudah dihapus dan lebih menarik
karena menggunakan warna.
Setelah memberikan garis bawah pada kata kunci, selanjutnya kata kunci
tersebut digunakan untuk membuat peta pemikiran (mind map).Peta pemikiran ini
bertujuan untuk mendaftar gagasan secara terstuktur dan menyenangkan. Menurut
Buzan (2004, hlm 7) “Dengan menggunakan mind map, daftar informasi yang
panjang dan menjemukan bisa diubah bentuknya menjadi diagram berwarna-
warni, mudah diingat, dan sangat beraturan sejalan dengan cara kerja alami
otak”Cara membuat mind map dari kata kunci yang telah ditandai yaitu buat kata
kunci utama di tengah kertas, baca bagian bacaan, tambahkan kata kunci pada
38
cabang pemetaan, baca bagian lainnya, tambahkan lagi kata kunci pada cabang
pemetaan, dan seterusnya sampai semua bagian bacaan dibaca. Peletakan kata
kunci harus sesuai dengan bacaan.Hal ini dikemukakan Olivia (2009, hlm.76)
“Perhatikan caramu meletakan kata kunci tersebut dalam mind maping.Karena
saat kamu membacanya lagi, maka pengertiannya harus sama dengan kalimat dari
soal.”Dalam membuat pemetan pikiran hendaknya menggunakan gambar pada
kata kunci sentral dan warna-warna.Hal ini dikemukakan oleh Buzan (2004)
bahwa gambar dapat memusatkan pikiran dan mengandung seribu kata,
sedangkan warna dapat meningkatkan kreatifitas, membuat lebih hidup, dan lebih
menyenangkan.
Tahap selanjutnya yaitu panggil. Pada tahap ini dilakukan proses
mengingat kembali apa yang telah didapat dari memadukan kata kunci. Cara yang
digunakan dapat melalui lisan atau tulisan. Dalam pembelajaran metode 6P,
digunakan kedua cara tersebut. Secara lisan hanya membantu mengingatkan
kembali apa yang telah didapat, sedangkan dengan menuliskan kembali dapat
dilihat kata yang berhasil ditulis, sehingga apabila tulisan masih melebihi kriteria
panjang ringkasan bisa dilakukan pemangkasan kembali.
Pada tahap periksa dilakukan pemeriksaan terhadap aspek mekanikal
berupa penggunaan huruf kapital dan tanda titik. Tahap periksa merupakan tahap
mengedit dari proses menulis. Dalam menulis ringkasan tetap menggunakan
proses menulis. Pengeditan ini dilakukan dengan memeriksa bersama hasil
pekerjaan secara bergiliran. Dalam proses pembelajaran, metode 6P dijbarkan
dalam enam tahap berikut.
1. Pasangan
Di tahap awal ini, siswa diminta untuk berkelompok dengan jumlah
anggota empat orang.
2. Pantau
Pada tahap kedua yaitu pantau, siswa diminta untuk membaca buku yang
ia pilih agar mendapat pemahaman yang menyeluruh mengenai tipe teks dan isi
penting dari buku tersebut. Siswa membuka-buka buku, melihat sampul, daftar isi,
dan isi buku.
39
3. Pangkas
Pada tahap pangkas, siswa diminta untuk mencari dan memilih kata kunci
sesuai dengan kata utamalalu menandainya, seperti menggarisbawahi atau
memberikan tanda yang dimengerti.
4. Padukan
Pada tahap ini, siswa diminta untuk memadukan kata kunci yang telah
dipilih dengan membuat pemetaan pikiran secara bersama-sama.Pemetaan ini
menggunakan pensil warna-warni atau menggunakan gambar yang dapat dibuat
dan dimengerti siswa.
5. Panggil
Pada tahap panggil, siswa diminta untuk mengingat kembali isi buku
dengan saling bergantian menceritakan pemetaan yang telah dibuat secara
bersama-sama.Teman yang mendengarkan dapat membantu mengingatkan
kembali atau menambahkan hal yang kurang.Hal ini dilakukan secara bergantian
dalam kelompok. Kemudian siswa diminta untuk menuliskan apa yang telah ia
ceritakan sesuai pemetaan ke dalam sebuah ringkasan dengan kertas yang telah
dibatasi oleh guru. Misalnya siswa hanya bisa menuliskan ringkasan dalam 6 baris
pada kertas.
6. Periksa
Setiap siswa memeriksa hasil pekerjaannya.Kemudian seorang siswa
menjelaskan isi ringkasan pada temanya, pasangannya diminta untuk memeriksa
apakah sesuai dengan buku atau tidak.Siswa juga diminta untuk memeriksa ejaan
yang digunakan dengan menandainya.Hal ini dilakukan secara bergantian dalam
kelompok.
Penggunaan metode 6P disertai juga dengan melakukan mini lesson.Mini
lessonadalah pembimbingan yang diberikan guru pada siswa dalam kelompok.
Peran guru dalam kegiatan ini adalah memberikan tips untuk memecahlan
kesulitan yang dihadapi siswa pada suatu fokus materi. Menurut Susiwi (tanpa
tahun, hlm 33) dalam kegiatan ini “Peran guru adalah sebagai organisator KBM,
sumber informasi bagi siswa, pendorong siswa untuk belajar, penyedia materi dan
40
kesempatan belajar bagi siswa, pendiagnosa dan pemberi bantuan kepada siswa
sesuai kebutuhannya.”
E. Hipotesis tindakan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, maka dirumuskanlah hipotesis
tindakan”Jika metode 6P diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
kelas V SDN Sirahcipelang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang pada
materi meringkas isi buku, maka keterampilan menulis ringkasan siswa akan
meningkat”.