Post on 12-Dec-2020
1
1. BAB I
PENDALUHUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan merupakan suatu region di permukaan bumi yang memuat seluruh
komponen biosfer yaitu relief, tanah, batuan induk, atmosfer, hidrologi, tumbuhan
dan hewan, serta segala akibat aktivitas manusia di masa lalu dan masa sekarang
yang mana aktivitas tersebut mempengaruhi penggunaan lahan di masa sekarang
atau masa yang akan datang (Juhadi, 2007). Komponen-komponen lahan tersebut
dapat dikelompokkan menjadi komponen struktural dan komponen fungsional.
Komponen struktural sering juga disebut dengan karakteristik lahan dan komponen
fungsional sering disebut dengan kualitas lahan. Komponen-komponen tersebut
sering dipandang sebagai faktor pembentuk sumber daya suatu lahan dalam
hubungannya dengan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhannya
(Worosuprojo, 2007). Sehingga dapat dikatakan bahwa lahan sebagai sumber daya
alam bagi kehidupan manusia, dan aktivitas manusia tidak dapat lepas dari
penggunaan lahan.
Lahan memiliki keterbatasan dalam penggunaannya baik secara kuantitas
maupun kualitas, oleh karena itu dibutuhkan peraturan untuk mengatur dan
merencanakan penggunaan lahan. Salah satu bentuk peraturan dalam mengatur dan
merencanakan penggunaan lahan yaitu dokumen Rencanan Tata Ruang Wilayah
(RTRW). Dokumen RTRW memuat berbagai peraturan untuk mengekfektifkan
ruang dan mencegah terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan
ruang (Rosari, 2014). Salah satu peraturan dalam dokumen RTRW dalah peta
RTRW Pola Ruang. Peta RTRW Pola Ruang berisi perencaan penggunaan lahan
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang
ditetapkan, dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan (Perda Kabupaten Sleman
No. 12 Tahun 2012). Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan, dengan
fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
2
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya hutan (Perda Kabupaten Sleman No.
12 Tahun 2012).
Setiap daerah tingkat kabupaten memiliki RTRW Pola Ruang yang
berfungsi sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat
dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten, mengatur
keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang, dan sebagai dasar pemberian izin
pemanfaatan ruang pada wilayah kabupaten (Permen No. 16/PRT/M/2009).
Perumusan dokumen RTRW Pola Ruang wilayah kabupaten salah satunya
dirumuskan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah
kabupaten (Permen No. 16/PRT/M/2009). Oleh karena itu, sebagai sebuah
kabupaten yang memiliki peraturan tentang RTRW haruslah mampu
mengakomodasi berbagai potensi keruangan di wilayah tersebut serta mampu
meminimalisasi permasalahan yang ada, sehingga kemakmuran rakyat dapat
terwujudkan.
Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah yang memiliki RTRW Pola
Ruang sebagai salah satu peraturan untuk mengatur dan merencanakan penggunaan
lahannya. RTRW Pola Ruang di Kabupaten Sleman sangat penting perannya karena
melihat Kabupaten Sleman yang berada pada wilayah hulu, dan sebagian besar
wilayah Kabupaten Sleman termasuk ke dalam kawasan lindung yang harus
dilindungi dari kerusakan akibat aktivitas manusia (Ridhawati, 2014). Secara
ekologis, kawasan ini merupakan daerah sumber air dan resapan air yang membantu
persediaan air tanah di lingkungan sekitarnya maupun wilayah yang berada di
bagian bawahnya (hilir) yaitu Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Penentuan
lokasi pembangunan yang tidak memperhatikan potensi atau daya dukung lahan di
Kabupaten Sleman dapat mengakibatkan dampak negatif pada wilayah Kabupaten
Sleman sendiri seperti banjir, erosi, dan kelangkaan sumber daya air tanah
(Ridhawati, 2014).
Pada kenyataanya RTRW pada beberapa daerah masih mengalami ketidak
sesuaian dalam pembuatannya. Ketidak sesuaian tersebut didasarkan pada potensi
lahan yang ada pada daerah tersebut ataupun pada tingkat kerawanan bencananya.
Penelian oleh Iswari Nur Hidayati dan Yoga Toyibulah (2011) menunjukkan hasil
3
evaluasi kesesuaian RTRW terhadap Indeks Potensi Lahan di Kabupaten Sragen.
Indeks Potensi Lahan (IPL) digunakan sebagai metode yang dapat mencerminkan
potensi suatu lahan. Hasil yang didapatkan yaitu sebesar 155,28 km2 (16,49%)
kawasan pada RTRW Tata Guna Lahan tidak sesuai dengan potensi lahannya.
Ketidak sesuaian tersebut terjadi salah satunya dikarenakan adanya lahan dengan
potensi rendah, tetapi pada peta RTRW Tata Guna Lahan Kabupaten Sragen Tahun
2010 – 2030 memiliki peruntukan kawasan sawah irigasi. Penelitian lainnya
dilakukan oleh Teresitas Oktavia Rosari (2014), yang mana penelitian tersebut
melakukan evaluasi RTRW kawasan budidaya di Kabupaten Sleman berdasarkan
peta risiko bencana di Kabupaten Sleman. Hasil yang didapatkan dari penelitan
tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kawasan peruntukan permukiman
dalam peta RTRW kawasan budidaya Kabupaten Sleman yang terletak pada
kawasan risiko bencana tinggi.
Ketidak sesuaian pembuatan RTRW memungkinkan pula terjadi pada peta
RTRW Pola Ruang Kabupaten Sleman, karena berdasarkan data pada Badan Pusat
Statistik Kabupaten Sleman, tahun 2013 hingga 2018 Kabupaten Sleman
mengalami penurunan luas lahan sawah sebesar 26,79% (6.637 ha), dimana pada
tahun 2013 lahan sawah yang ada seluas 24.774 ha dan pada tahun 2018 seluas
18.137 ha. Penurunan lahan sawah di Kabupaten Sleman tahun 2013-2018 dapat
dilihat pada Gambar 1.1. Konversi lahan di Kabupaten Sleman mengakibatkan
berkurangnya lahan-lahan terbuka yang merupakan wilayah resapan utama untuk
air, seperti wilayah di Kecamatan Pakem. Lahan-lahan terbuka yang merupakan
wilayah resapan air yang berkurang di Kabupaten Sleman mengakibatkan
penurunan muka air tanah, yang mana penurunan muka air tanah terjadi sebesar 15-
30 cm setiap tahunnya (Data Dinas Pekerjaan Umum, Energi dan Sumber Daya
Mineral DIY, 2011). Penurunan muka air tanah akan berdampak pada terjadinya
kelangkaan air tanah. Saat ini 50 % wilayah di Kabupaten Sleman mengalami krisis
air tanah (Pakar Hidrologi UGM, Prof. Dr. Ig. L. Setyawan Purnama, M.Si., 2
September 2016). Selain itu, menurunnya permukaan air tanah dapat pula
menurunkan tingkat kelembapan tanah yang mengakibatkan berkurangnya
kesuburan tanah pada suatu lahan (Sahputra dkk, 2016).
4
Gambar 1.1 Penurunan Lahan Sawah di Kabupaten Sleman Tahun 2013-2018
Sumber: BPS Kabupaten Sleman Tahun 2013-2019
Evaluasi adalah kegiatan untuk menilai kesesuaian antara tujuan dan hasil
dari suatu kegiatan yang didasarkan pada suatu pedoman khusus (Rosari, 2014).
Evaluasi peta RTRW Pola Ruang Kabupaten dilakukan berdasarkan Indeks Potensi
Lahan (IPL). Data Indeks Potensi Lahan (IPL) berupa peta indeks potensi lahan
pertanian merupakan data penting yang dapat digunakan dalam memberikan
evaluasi dan informasi mengenai potensi lahan pertanian di Kabupaten Sleman
untuk dapat memanfaatkan lahan secara optimal. Indeks Potensi Lahan pertanian
dapat menggambarkan potensi lahan pertanian dengan memperhatikan kondisi fisik
lahan yaitu kemiringan lereng, kondisi tanah, kondisi batuan, kondisi hidrologi dan
kerawanan bencana sebagai faktor pembatas (Hidayati, 2011).
Data Indeks Potensi Lahan pertanian dapat diolah dengan memanfaatkan
Sistem Informasi Geografi (SIG). Kemampuan SIG dalam melakukan analisis
spasial berupa tumpang susun (overlay) memungkinkan dalam pengolahan
berbagai faktor yang mempengaruhi potensi lahan pertanian dan dihasilakan data
indeks potensi lahan pertanian dalam bentuk peta. Data dalam bentuk peta tersebut
dapat memberikan informasi mengenai agihan dan lokasi lahan beserta potensi
lahan tersebut. Indeks Potensi Lahan menunjukkan berbagai kelas potensi
produktifitas lahan (sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah),
sehingga dapat digunakan dalam memberikan evaluasi dan informasi mengenai
potensi lahan pertanian di Kabupaten Sleman untuk dapat memanfaatkan lahan
secara optimal (Hidayati, 2011).
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
2013 2014 2015 2016 2017 2018
Luas
Lah
an S
awah
(H
a)
Tahun
5
Kegiatan evaluasi tata ruang wilayah pada prinsipnya adalah untuk menilai
keselarasan antara tujuan, strategi, dan kebijakan yang termuat dalam dokumen
RTRW. Evaluasi RTRW dilakukan untuk memonitoring seberapa besar kesesuaian
pembagian kawasan pada peta RTRW Pola Ruang Kabupaten Sleman
memperhatikan potensi lahan untuk pertanian berdasarkan peta Indeks Potensi
Lahan pertanian. Satuan analisis dalam penelitian ini adalah satuan kawasan pola
ruang dalam peta RTRW Pola Ruang yang kemudian dilakukan tumpang susun
(overlay) dengan peta indeks potensi lahan dengan SIG. Hasil dari evaluasi dapat
digunakan sebagai salah satu sumber informasi yang akan digunakan sebagai dasar
terbentuknya suatu kebijakan sehubungan dengan kemungkinan adanya
perbaikan/revisi rencana atau penyusunan rencana yang baru.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dirumuskan, rumusan
masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Bagaimana tingkat Indeks Potensi Lahan (IPL) di Kabupaten Sleman?
(2) Bagaiaman sebaran Indeks Potensi Lahan (IPL) di Kabupaten Sleman?
(3) Bagaimana kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pola
Ruang berdasarkan Indeks Potensi Lahan (IPL) pertanian di Kabupaten
Sleman?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan sebagai berikut.
(1) Mengetahui tingkat Indeks Potensi Lahan (IPL) di Kabupaten Sleman.
(2) Mengetahui sebaran Indeks Potensi Lahan (IPL) di Kabupaten Sleman.
(3) Mengetahui kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pola
Ruang berdasarkan indeks potensi lahan pertanian di Kabupaten Sleman.
1.4. Kegunaan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan diharapkan mempunyai beberapa manfaat
atau kegunaan sebagai berikut.
(1) Memberikan informasi berupa tingkat dan sebaran Indeks Potensi Lahan
(IPL) di Kabupaten Sleman, sehingga dapat digunakan sebagai referensi
dalam perencaan penggunaan lahan yang efektif dan efisien.
6
(2) Memberikan referensi salah satu penerapan atau aplikasi Sistem Informasi
Geografi (SIG) untuk kajian evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Pola Ruang berdasarkan Indeks Potensi Lahan (IPL).
1.5. Telaah Pustaka dan Penelitian Sebelumnya
1.5.1. Telaah Pustaka
a) Lahan
Pengertian lahan mengandung dua arti yaitu yang sepadan dengan land atau
lahan, dan yang sepadan dengan kata soil atau tanah yang di atasnya dapat
dimanfaatkan berbagai kepentingan manusia (Deliyanto, 2014). Pengertian land
atau lahan adalah tanah terbuka, tanah garapan, maupun tanah yang belum diolah
yang dihubungkan dengan arti atau fungsi sosio-ekonominya bagi masyarakat
(Kamus Tata Ruang, 1997). Pengertian soil atau tanah adalah permukaan bumi,
termasuk bagian tubuh bumi dan air serta ruang yang di atasnya sampai yang
langsung berhubungan dengan tata guna tanahnya (UUPA, 1960). Dengan kata lain,
lahan merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen
biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di
bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah batuan induk, refief, hidrologi,
tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia.
Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas berbagai
komponen, yaitu komponen struktural (karakteristik lahan) dan komponen
fungsional (kualitas lahan) (Juhadi, 2007). Kualitas lahan merupakan sekelompok
unsur-unsur lahan yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan bagi
macam pemanfaatan tertentu. Lahan sebagai suatu sistem mempunyai komponen-
komponen yang terorganisir secara spesifik. Komponen-komponen lahan ini dapat
dipandang sebagai sumber daya dalam hubungannya dengan aktivitas manusia
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Worosuprojo, 2007). Dengan dimikian
terdapat kategori utama dalam sumber daya lahan, yaitu sumber daya lahan yang
bersifat alamiah dan sumber daya lahan yang merupakan hasil aktivitas manusia
(budidaya manusia). Oleh karena itu, sumber daya lahan mencakup semua
karakteristik lahan dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, yang mana dengan
cara-cara tertentu dapat digunakan untuk kebutuhan hidup manusia.
7
Deliyanto (2014) menjelaskan lahan sebagai sumber daya alam mempunyai
berbagai fungsi bagi manusia diantaranya adalah fungsi lingkungan, fungsi
ekonomi, dan fungsi sosial. Fungsi lingkungan dapat dilihat dari pandangan sebagai
muka bumi, berfungsi sebagai tempat kehidupan. Muka bumi yang dimaksudkan
adalah biosfer yang terdiri dari daratan (litosfer), air (hidrosfer), dan udara
(atmosfer). Fungsi ekonomi dapat dilihat dari lahan yang berperan sebagai sarana
produksi, yaitu sebagai tempat tumbuhnya tanaman sehingga dapat menunjang
kehidupan di muka bumi. Lahan juga dapat digunakan sebagai benda yang
diperjualbelikan, sebagai tempat usaha dan benda kekayaan. Fungsi sosial yaitu
fungsi lahan yang diatasnya terdapat hal atas tanah mempunyai fungsi sosial untuk
kepentingan masyarakat. Kegiatan sosial tersebut dapat berupa untuk kegiatan
dalam kepercayaan (agama), kesehatan, olahraga, politik dan pemerintahan,
ataupun kesehatan.
b) Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan adalah proses penilaian sumber daya lahan untuk pertanian
maupun non pertanian dalam rangka mengidentifikasi dan membandingkan
macam-macam kemungkinan penggunaan dan pengaruhnya sesuai dengan tujuan
evaluasi (Toyibulah, 2012). Tujuan Evaluasi lahan adalah untuk menyeleksi
penggunaan lahan yang optimal untuk satuan lahan tertentu, seperti penggunaan
lahan untuk pertanian ataupun non pertanian dengan mempertimbangkan faktor
fisik dan sosial ekonomi serta konservasi sumber daya lingkungan untuk
penggunaan yang lestari dan berjangka panjang (Rayes, 2007). Evaluasi lahan
dilakukan dengan membandingkan karakteristik kesesuaian untuk penggunaan
lahan yang akan diterapkan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang
akan digunakan. Penggunaan lahan yang tidak bersesuaian dengan karakteristik
penggunaan lahan yang sesuai dengan peruntukannya merupakan penggunaan
lahan yang tidak berdaya guna dan berhasil guna.
Kemampuan lahan merupakan kemampuan lahan menujukkan kapasitas
lahan untuk penggunaan secara umum. Evaluasi kemampuan lahan merupakan
evaluasi potensi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan
tidak membicarakan peruntukan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan-tindakan
8
pengelolaannya (Sitorus, 1985). Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian
lahan atau komponen lahan secara sistematik dan pengelompokkannya ke dalam
beberapa kategori berdasarkan sifat-sifat yang merupkan potensi dan penghambat
dalam penggunaanya secara lestari (Arsyad, 1989).
Evaluasi potensi lahan bagi pertanian memerlukan berbagai informasi
faktor-faktor pendukung lahan dan faktor pembatas lahan. Faktor pendukung
merupakan suatu kondisi yang dapat meningkatkan nilai potensi suatu lahan untuk
penggunaan pertanian, sedangkan faktor pembatas merupakan faktor yang
mengurangi nilai potensi suatu lahan tersebut. Evaluasi potensi sumber daya lahan
yang berkaitan dengan keperluan pertanian ditunjang oleh kelompok-kelompok
data tanah, iklim, topografi, formasi geologi, dan hidrologi.
c) Indeks Potensi Lahan (IPL)
Indeks Potensi Lahan (IPL) merupakan suatu nilai yang dapat
mencerminkan potensi suatu lahan (Suharsono 1995 dalam Hidayati dan Toyibulah,
2011). IPL dapat mengelaskan lahan menjadi berbagai tingkat tinggi rendahnya
potensi suatu lahan berdasarkan faktor-faktor atau parameter pembanding kualitas
lahan. Tingkat tinggi rendahnya nilai dalam IPL menunjukkan kemampuan suatu
lahan (daya dukung lahan) untuk penggunaan yang paling optimal sehingga dapat
digunakan secara terus menerus. Oleh karena itu, IPL dapat digunakan sebagai
salah satu informasi penting dalam melakukan evaluasi penggunaan lahan.
Indeks Potensi Lahan (IPL) menilai potensi suatu lahan berdasarkan faktor
relief atau topgrafi, faktor litologi, faktor tanah, faktor hidrologi dan faktor
kerawanan bencana (Suharsono, 1995 dalam Hidayati dan Toyibulah, 2011). Faktor
relief atau topografi, faktor litologi, faktor tanah, dan faktor hidrologi merupakan
faktor pendukung dalam menentukan potensi lahan, dimana semakin tinggi nilainya
maka semakin tinggi pula potensi lahan tersebut. Faktor kerawanan bencana
merupakan faktor pembatas dalam menentukan potensi lahan. IPL membagi tingkat
tinggi rendahnya suatu potensi menjadi 4 kelas, dimana semakin menurun kelasnya
semakin menurun pula intensitas dan pilihan penggunaan lahannya. Karakteristik
lahan berdasarkan kelas IPL (Riyadi, 1999) adalah sebagai berikut.
9
(1) Kelas Sangat Tinngi (Nilai IPL 25,5 – 34)
Kelas sangat tinggi dalam Indeks Potensi Lahan (IPL) menunjukkan kondisi
lahan yang sesuai untuk berbagai penggunaan. Lahan pada kelas sangat tinggi
hanya memiliki sedikit kendala yang membatasi penggunaan lahanya. Sebelum
melakukan penggunaan lahan pada kelas sangat tinggi memerlukan beberapa
perbaikan lahan terlebih dahulu seperti perataan, pencucian garam laut, atau
penurunan muka air tanah secara musiman. Lahan dalam kelas sangat tinggi
umumnya memiliki tanah dengan topografi yang datar – agak datar, bahaya erosi
(air maupun angin) termasuk ringan. Tanah umumnya memiliki kedalaman efektid
yang sangat dalam, berdrainase baik dan mudah diolah. Kapasitas menahan air baik,
kesuburan tanah cukup tinggi atau sangat tanggap terhadap pemupukan.
(2) Kelas Tinggi (Nilai IPL 17 – 25,4)
Kelas tinggi dalam Indeks Potensi Lahan (IPL) menunjukkan kondisi lahan
yang dibutuhkan pemilihan dalam penggunaan lahannya. Hal ini dikarenakan pada
lahan kelas tinggi memiliki beberapa kendala. Tanah pada lahan ini membutukan
pengelolaan tanah secara hati-hati, termasuk tindakan konservasi tanah untuk
mencegah kemerosotan tanah atau untuk meningkatkan hubungan air dan udara jika
tanah yang digunakan untuk pertanian. Penanganan yang diperlukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut pada lahan kelas tinggi sangat sedikit dan mudah
untuk dilakukan. Penghambat yang ada pada kelas tinggi yaitu:
a. lereng landai,
b. erosi sedang,
c. kedalaman efektif tanah agak dalam,
d. struktur tanah dan kemampuan tanah untuk diolah agak kurang baik,
e. salinitas ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah
diatasi, tetapi mungkin dapat tibul kembali,
f. kadang-kadang mengalami luapan air (banjir) yang merusak,
g. kelebihan air yang dapat diatasi dengan drainase, tetapi air tetap ada
sebagai pembatas yang tingkatnya sedang, dan
h. keadaan iklim agak kurang sesuai sebagai tanaman dan pengelolaan.
10
(3) Kelas Sedang (Nilai IPL 8,5 – 17,4)
Kelas sedang dalam Indeks Potensi Lahan (IPL) menunjukkan kondisi lahan
yang memiliki kendala berat sehingga mengurangi pilihan penggunaan atau
memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Hal ini dikarenakan pada
lahan kelas sedang memiliki kendala yang lebih besar dari kelas tinggi. Kendala
tersebut adalah terbatasnya waktu penggunaan dan waktu pengolahan, kendala-
kendala tersebut disebabkan oleh satu atau lebih dari sifat berikut:
a. lereng yang agak curam,
b. peka terhadap erosi atau telah mengalami erosi yang agak berat,
c. seringkali mengalami banjir yang dapat merusak tanaman,
d. lapisan bawah tanah permeabilitas sangat lambat,
e. terlalu basah atau terus-menerus jenuh air setelah didrainase,
f. kedalaman yang dangkal terhadap batuan, lapisan padas keras (hardpan),
fragipan atau claypan yang menghambat perakaran dan simpanan air,
g. kapasitas menahan air rendah,
h. tingkat kesuburan rendah dan tidak mudah diatasi,
i. salinitas atau kandungan natrium sedang.
(4) Kelas Rendah (Nilai IPL 0 – 8,4)
Kelas rendah dalam Indeks Potensi Lahan (IPL) menunjukkan kondisi lahan
yang memiliki kendala yang sangat berat sehingga mengurangi pilihan penggunaan
atau memerlukan tindakan pengelolaan yang hati-hati atau keduanya. Hal ini
dikarenakan pada lahan kelas rendah memiliki kendala yang lebih besar dari kelas
sedang. Kendala pada lahan kelas rendah disebabkan oleh salah satu atau kombinasi
dari faktor-fakor berikut:
a. lereng curam,
b. sangat peka terhadap erosi,
c. telah mengalami erosi masa lalu yang parah,
d. tanah dangkal,
e. kapasitas menahan air rendah,
f. sering tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman,
g. kelebihan air bebas dan bahaya genangan setelah didrainase,
11
h. salinitas atau kandungan natrium tinggi.
Potensi lahan yang dinilai dengan Indeks Potensi Lahan (IPL)
memperhatikan beberapa parameter/ faktor. Faktor tersebut berupa kondisi fisik
lahan sebagai berikut.
(1) Faktor Relief atau Topografi
Faktor relief atau topografi menilai potensi suatu lahan berdasarkan nilai
persentase kemiringan lereng lahan tersebut. Besaran kemiringan lereng memiliki
pengaruh terhadap hidrologi permukaan, erosi dan pengupasan permukaan.
Kemiringan lereng yang besar memiliki muka air tanah relatif dalam akibat adanya
drainase ke bawah tanah, sedangkan kemiringan lereng yang kecil memiliki air
tanah relatif dangkal dan terjadinya pelepasan air tanah melimpah (Prabaningrum
dkk, 2019). Kemiringan lereng mempengaruhi daya resapan air hujan ke dalam
tanah. Kemiringan lereng yang besar memiliki kemampuan untuk meresap air hujan
yang kecil dan langsung menjadi aliran permukaan (Maria, 2008). Aliran
permukaan mempengaruhi terjadinya erosi dan pengupasan permukaan. Semakin
besar aliran permukaan yang disertai dengan energi pengangkut material yang besar
dapat mengakibatkan peningkatan laju erosi tanah yang terjadi. Erosi yang terjadi
dapat mengurangi kesuburan tanah yang ada. Oleh karena itu, semakin datar
kondisi lereng suatu daerah, maka semakin tinggi pula potensi lahan daerah
tersebut. Kemiringan lereng mempengaruhi pula kemudahan dalam menggunakan
dan mengelola suatu daerah, dimana semakin besar kemiringan lereng suatu daerah
semakin sulit pula lahan tersebut untuk dijangkau dan dikelola oleh masyarakat
(Amalia, 2019).
(2) Faktor Litologi
Faktor litologi berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah yang ada pada suatu
lahan. Litologi merupakan deskripsi batuan pada singkapan berdasarkan
karakteristiknya (Dewi, 2014). Karakterstik batuan yang berpengaruh terhadap
sifat-sifat tanah adalah resistensinya terhadap pelapukan, umur, kandungan mineral
dan strukturnya. Karakteristik batuan dengan umur yang lebih tua akan lebih
menghasilkan induk tanah yang relatif lebih banyak. Hal ini dikarenakan batuan
yang lebih tua memiliki tingkat pelapukan yang lebih lanjut. Induk tanah yang
12
relatif lebih banyak akan mengakibatkan tanah yang di atasnya lebih berkembang.
Karakteristik struktur batuan berpengaruh pada tingkat resistansi batuan terhadap
denudasi. Perlapisan batuan yang berbutir kasar memiliki lapisan yang tebal
sehingga biasanya sangat resisten terhadap denudasi. Batuan dengan perlapisan
yang lebih tipis tidak cukup resisten dibandingkan dengan batuan yang pertama.
Kandungan mineral dalam batuan mempengaruhi tingkat kesuburan tanah yang ada
pada suatu lahan. Batuan piroklastik misalnya, batuan tersebut merupakan jenis
batuan yang berasal dari erupsi oleh gunung berapi oleh karena itu batuan tersebut
mengandung material yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.
(3) Faktor Tanah
Karakteristik tanah berpengaruh dalam menentukan potensi suatu lahan
karena sifat fisik dan sifat kimia seperti kandungan bahan organik pada tanah
mempengaruhi tingkat kesuburan suatu tanah. Tanah yang subur mampu
menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk proses pertumubuhan dan
reproduksinya (Hardjowigeno, 2007). Kandungan bahan organik dalam tanah
berpengaruh pada berbagai sifat tanah sebeperti struktur tanah, konsistensi tanah,
porositas tanah, daya mengikat air, dam pengikatan ketanhanan terhadap erosi
(Atmojo, 2003). Kandungan bahan organik juga mempengaruhi kemantapan/
stabilitas agregat tanah (Yunagardasari, 2017). Kandungan bahan organik yang
rendah akan mengakibatkan tanah mudah hancur saat terkena air hujan atau saat
tergenang air. Hal ini menyebabkan pori tanah tersumbat oleh butiran-butiran tanah
yang terdispensi dan menurunkan kemampuan infiltrasi tanah.
Kemampuan tanah seperti drainase tanah dan infiltrasi juga mempengaruhi
nilai potensi tanah. Kemampuan infiltrasi tanah dominan dipengaruhi oleh tekstur
halus kasarnya tanah tersebut (Sarief, 1985). Tanah dengan tekstur yang semakin
kasar memiliki kemampuan infiltrasi yang tinggi, sehingga tanah dengan cepat akan
menyerap air ke dalam tanah. Tanah dengan tekstur yang halus memiliki
kemampuan menyerap air yang lebih lambat. Tanah dengan laju infiltrasi yang
buruk akan mudah mengakibatkan timbulnya limpasan permukaan meskipun curah
hujan yang turun rendah (Utomo, 1989). Air hujan yang sebagian besar membentuk
limpasan air dapat mengakibatkan terjadinya banjir dan erosi melalui run off yang
13
terbentuk. Komposisi tanah mempengaruhi terbentuknya tekstur suatu tanah,
komposisi tersebut berupa kandungan pasir, debu dan liat pada tanah tersebut.
Tanah dengan kandungan pasir yang semakin banyak akan membentuk tanah
dengan tekstur yang kasar. Oleh karena itu, semakin banyak kandungan pasirnya
semakin baik pula kemampuan infiltrasi tanah tersebut.
(4) Faktor Hidrologi
Karakteristik faktor hidrologi yang digunakan dalam penilaian potensi lahan
adalah tingkat potensi air permukaan dan air tanah. Air tanah merupakan bagian
dari siklus hodrologi, dimana air tanah terbentuk dari proses penyerapan air hujan
atau air permukaan oleh tanah kemudian air tersebut mencapai zona jenuh air. Air
tanah adalah air yang terdapat pada ruang antar butir batuan atau celah-celah batuan
(Sutandi, 2012). Air tanah yang terserap oleh tanah dan dekat dengan permukaan
akan diuapkan kembali oleh tanaman (evaporasi). Air tanah memiliki peran penting
untuk menjaga keseimbangan dan ketersediaan bahan baku air untuk kepentingan
rumah tangga ataupun industri. Kehidupan manusia sangat bergantung pada air
tanah, bahkan pada beberapa daerah ketergantungan terhadap pemasokan air bersih
dan air tanah telah mencapai kurang lebih 70% (Sutandi, 2012).
Keberadaan air tanah bergantung pada berbagai faktor fisik suatu lahan.
Faktor tersebut seperti lapisan batuan permukaan, topografi, penggunaan lahan,
vegetasi penutup, dan aktivitas manusia. Lapisan batuan mempengaruhi
kemampuan tanah dalam menyerap air (infiltrasi). Hal ini dikarenakan terdapat
batuan yang dapat meloloskan air (permeable) dan batuan yang tidak dapat
meloloskan air. Lapisan permukaan yang dapat meloloskan air seperti kerikil, pasir,
batuapung, dan batuan yang retak-retak, sedangkan lapisan yang sukar meloloskan
air terdiri dari napal, dan tanah liat atau tanah lempung. Air tanah mempengaruhi
tingkat kesuburan tanah pada suatu lahan, dimana semakin baik kualitas air
tanahnya maka semakin subur pula tanah pada lahan tersebut (Amalia, 2019). Oleh
karena itu, semakin baik kualitas air tanah yang ada pada suatu wilayah, maka nilai
potensi lahannya semakin tinggi.
14
(5) Faktor Kerawanan Bencana
Kerawanan bencana pada penilaian potensi lahan berperan sebagai faktor
pembatas. Kerawanan bencana adalah kemungkinan dampak atau kerugian dari
adanya suatu bencana, seperti kematian, luka-luka, kegiatan ekonomi yang
terganggu, kerusakan properti atau kerusakan lingkungan (Amalia, 2019). Bencana
yang digunakan sebagai faktor pembatas dalam penilaian potensi suatu lahan adalah
erosi. Erosi dengan pengangkutan energi yang besar dapat menyebabkan terjadinya
longsor pada lereng yang curam. Erosi mempengaruhi pula tingkat kemampuan
pengolahan lahan, dimana semakin besar erosi yang terjadi maka semakin sulit
lahan tersebut untuk diolah. Sulitnya pengolahan lahan yang memiliki kerawanan
bencana erosi berat akan meningkatkan pula biaya produksi yang harus
dikeluarkan. Oleh karena itu, semakin besar erosi yang terjadi semakin rendah
potensi sutau lahan.
Erosi berkaitan dengan kemiringan lereng, jenis tanah, dan penggunaan
lahan yang ada (Amalia, 2019). Lereng yang curam memicu terjadinya erosi pada
suatu lahan. Lereng yang curam memiliki aliran air permukaan yang besar,
sehingga menyebabkan laju erosi yang semakin besar. Jenis tanah berpengaruh
terhadap kemampuan suatu tanah melakukan infiltrasi. Tanah dengan kemampuan
infiltrasi yang baik akan memperkecil kemungkinan terjadinya erosi yang
disebabkan oleh aliran air permukaan.
d) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Perencanaan Tata Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut, ruang udara
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya
(Perda Kabupaten Sleman No. 12 Tahun 2012). Ruang pada dasarnya memiliki
keterbatasan dalam pemanfaatannya, sehingga perlu dilakukan perencanaan dalam
penggunaanya. Peraturan tersebut mengatur dan merencanakan ruang agar dapat
dimanfaatkan secara efektif. Perencanaan penataan ruang adalah kegiatan yang
meliputi pengarutan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
15
Perencanaan tata ruang memuat perencaan dalam menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
Budiharho dan Sujarto, 1999 merekomendasikan beberapa pemahanan agar
dalam peningkatan kualitas perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan
hidup di masa mendatang dapat berkelanjutan, sebagai berikut.
a. Pengelolaan dan tata ruang tidak lagi dilihat sebagai management od growth
atau management of changes melainkan lebih sebagai management of
conflict. Orientasi tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan
dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat impremental.
b. Mekanisme development control yang ketat agar ditegakan, lengkap
dengan sanksi (dis intensif) untuk yang melanggar dan bonus (intensif bagi
mereka yang taat pada peraturan).
c. Penataan ruang kota secara total, menyeluruh dan terpadu dengan model-
model participatory planning dan over-the-board planning atay
perencanaan lintas sektoral sudah dilakukan secara konsekuen dan
berkesinambungan,
d. Kepekaan sosial-kultural para penentu kebijakan dan para profesional
khususnya di bidang tata ruang kota dan lingkungan hidup seyogyanya lebih
ditingkatkan melakui forum-forum pertemuan/ diskusi/ ceramah/ publikasi,
penataran dan pelatihan baik secara formal maupun non formal.
e. Dalam setiap perencanaan tata ruang kota dan pengelolaan lingkungan
hidup agar lebih diperhatikan perihal kekayaan khasanah lingkungan alam
termasuk iklim tropis yang bersahabat, yang selain akan memberikan
kenyamanan biologis sendiri juga akan lebih menghemat energi yang
sekarang sudah semakin mahal. Selain itu, sepatutnya segenap pihak
mencurahkan kepedulian yang tinggi terhadap warisan budaya. ].2
f. Peran serta penduduk dan kemitraan dengan swasta agar lebih digalakan
untuk bisa memecahkan mesalah tata ruaang kota dan pengelolaan
lingkungan hidup dengan prinsip win-win solution, tanpa ada yang merasa
terlalu dirugikan.
16
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Non. 12 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruas Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011 – 2031
menyatakan, penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang,
pemanfataan ruang dan pengendalian pemenfaatan ruang merupakan satu kesatuan
yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya dan harus dilakukan
sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan dapat mewujudkan
pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna, serta mampu mendukung
pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Penataan ruang yang didasarkan
pada karakteristik, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh
teknologi yang sesuai akan meningkatkan keserasian, keselarasan, dan
kesinambungan subsistem. Hal itu berarti akan meningkatkan kualitas ruang yang
ada, karena pengelolaan subsistem yang satu berpengatuh pada subsistem yang
lainnya dan pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem wilayah ruang nasional
secara keselurhan termasuk provinsi dan kabupaten.
RTRW Kabupaten
Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 16 Tahun 2009, RTRW memiliki
berbagai tingkatan yaitu nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Setiap tingkatan
tersebut saling terintegrasi satu sama lain sehingga mencapai tujuan yang sama
berdasarkan RTRW Nasional sebagai pedoman penataan ruang wilayah Provinsi
Daerah Tingkat I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional merupakan strategi dan arahan
kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara yang berisikan tiga poin, yaitu
(1) penetapan kawasan lindung, kawasan budi daya, dan kawasan tertentu yanng
ditetapkan secara nasional, (2) norma dan kriteria pemanfaatan ruang, (3) pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang. RTRW Provinsi merupakan rencana tata ruang
yang bersifat umum dari wilayah provinsi, yang mengacu pada RTRW Nasional,
Rencana Tata Ruang Pulau/ Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis. RTRW Kabupaten/ Kota adalah rencana tata ruang yang bersifat umum
dari wilayah kabupaten/ kota, yang mengacu pada RTRW Nasional, Rencana Tata
Ruang Pulau/ Kepulauan, Rencana Tata Ruang Strategis Nasional, RTRW Provinsi
dan Rencana Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
17
Berdasarkan Pasal 26 ayat 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten ditetapkan
dengan peraturan daerah kabupaten tersebut. Tujuan penataan ruang wilayah
kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah daerah kabupaten yang
merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan jangka panjang
kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung terwujudnya
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Kedudukan RTRW
Kabupaten dalam sistem penataan ruang dan sistem perencanaan pembangunan
nasional dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2 Kedudukan RTRW Kabupaten dalam Sistem Penataan Ruang dan Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.16/PRTM/2009
RTRW kabupaten adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari
wilayah kabupaten, yang berisi sebagai berikut (Peraturan Menteri PU, No.
16/PRTM/2009).
(1) Tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah kabupaten
Tujuan, kebijakan dan strategi yang termuat di dalam RTRW Kabupaten
merupakan terjemahan dari visi dan misi pengembangan kabupaten dalam
pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi ideal tata ruang wilayah
kabupaten yang diharapkan.
18
(2) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten
Rencana struktur ruang wilayah kabupaten merupakan kerangka tata
ruang wilayah kabupaten yang tersusun atas konstelasi pusat-pusat kegiatan
yang berhierarki satu sama lain yang dihubungkan oleh sistem jaringan
prasarana wilayah kabupaten tertama jaringan transportasi.
(3) Rencana pola ruang wilayah kabupaten
Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi
peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi
daya. Kawasan lindung merupakan kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan di bawahnya. Kawasan budi daya adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dsar kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Rencana pola ruang wilayah kabupaten berfungsi:
a. sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi
masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan peruntukan ruang,
b. mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang,
c. sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah
lima tahunan untuk dua puluh tahun, dan
d. sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah
kabupaten.
(4) Penetapan kawasan strategis kabupaten
Kawasan strategis wilayah kabupaten merupakan bagian wilayah
kabupaten yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai
pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial
budaya, dan/atau lingkungan. Penentuan kawasan strategis kabupaten lebih
bersifat indikatif. Batasan fisik kawasan strategis kabupaten akan ditetapkan
lebih lanjut dalam rencana tata ruang kawasan strategis.
(5) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten merupakan perwujudan
rencana tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama pentaan/
19
pengembangan wilayah kabupaten dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima)
tahunan sampai akhir tahun perencanaan (20 tahun).
(6) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah
ketentuan yang diperuntukan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi
ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan pemberian
insentif dan disintensif, serta arahan pengenaan sanksi dalam rangka
perwujudan rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Fungsi dari RTRW Kabupaten yaitu:
1. acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
(RPJPD) dan Rencana Pengembangan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),
2. acuan dalam pemanfaatan ruang/ pengembangan wilayah kabupaten,
3. acuan untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah
kabupaten,
4. acuan inverstasi dalam wilayah kabupaten yang dilakukan pemerintah,
masyarakat, dan swasta,
5. pedoman untuk penyusunan rencana rinsi ruang di wilayah kabupaten,
6. dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/ pengembangan
wilayah yang meliputi penataan peraturan zonasi, perizinan, pembarian
insentif dan disentif, serta pengenaan sanksi, dan
7. acuan dalam administrasi pertahanan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.16/PRTM/2009
proses penyusunan RTRW Kabupaten disyaratkan berlandaskan atas asas
keterpaduan, keserasian, keselarasan, dan kesinambungan, berkelanjutan,
keberdayagunaan, dan keberhasilgunaan, keterbukaan, kebersamaan dan
kemitraan, perlindungan kepentingan umum, kepastian hukum dan keadilan, serta
asas akuntabilitas. Proses penyusunan RTRW Kabupaten meliputi berbagai
tahapan, yaitu pengumpulan data yang dibutuhkan, pengolahan dan analisis data,
perumusan konsep RTRW Kabupaten, serta penyusunan raperda tentang RTRW
Kabupaten. Proses pembuatan RTRW Kabupaten dapat dilihat pada Gambar 1.3.
20
Gambar 1.3. Proses Penyusunan RTRW Kabupaten
Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.16/PRTM/2009
21
Dari Gambar 1.4 dapat diketahui bahwa dalam proses penyusunan RTRW
Kabupaten diperlukan berbagai jenis data. Data yang digunakan untuk memenuhi
keperluan dalam pengenalan karakteristik tata ruang wilayah dan penyusunan
rencana tata tuang. Data yang digunakan merupakan data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer yang dilakukan yaitu:
(a) penjaringan aspirasi masyarakat yang dapat dilaksanakan melalui
penyebaran angket, temu wicara, wawancara orang per-orang, dan lain
sebagainya, dan
(b) pengenalan kondisi fisik dan sosial ekonomi wilayah secara langsung
melalui kunjungan ke semua bagian wilayah kabupaten.
Data sekunder yang digunakan dalam penyusunan rencana tata ruang sekurang-
kurangnya sebagai berikut.
(a) peta-peta:
- Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) atau peta topgrafi skala 1:250.000
sebagai dasar,
- citra satelit (berumur tidak lebih dari satu tahun pada saat penyusunan
dan menggunakan citra satelit resolusi 10 m – 15 m) peta dasar dan
membuat peta tutupan lahan,
- peta batas wilayah administrasi,
- peta batas kawasan hutan,
- peta-peta masukan untuk analisis kebancanaan (longsor, banjir, tsunami,
dan bencana alam geologi),
- peta-peta masukan untuk identifikasi potensi sumber daya alam
(mineral, batubara, migas, panas bumi, dan air tanah), dan kesesuaian
lahan pertanian (tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan
sebagainya).
(b) data dan informasi, meliputi:
- data tentang kependudukan,
- data tentang sarana dan prasaran wilayah,
- data tentang pertumbuhan ekonomi wilayah,
- data tentang pertumbuhan keuangan pembangunan daerah,
22
- data dan informasi tentang kebijakan penataan ruang terkait (RTRW
Kabupaten yang sebelumnya, RTRW Provinsi, RTRW Nasional dan
RTR pulau terkait),
- data dan informasi tentang kebijakan pembangunan sektoral, terutama
yang merupakan kebijakan pemerintah pusat, dan
- peraturan perundang-undangan terkait.
RTRW Kabupaten Sleman
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman yang saat ini
berlaku berada pada rentang waktu 2011-2031, hal tersebut didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Pasal 24 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang penyusunan dan penetapan
rencana umum. RTRW Kabupaten Sleman merupakan hasil perencanaan tata ryang
yang berisikasn tujuan, kebijaksanaan dan strategi, rencana struktur ruang wilayah,
rencana pola ruang wilayah, penetapan kawasan strategis, arahan pemanfaatan
ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Sleman.
Tujuan dalam penataan ruang wilayah kabupaten Sleman yaitu mewujudkan ruang
kabupaten yang tanggap terhadap bencana dan berwawasan lingkungan dalam
rangka menciptakan masyarakat yang sejahtera, demokratis. Dan berdaya saing.
RTRW Kabupaten Sleman memuat berbagai macam kebijakan dan strategi
untuk mencapai tujuan dari perencanaan penataan ruang wilayah kabupaten. Salah
satu kebijakan yang dimuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12
Tahun 2012 tentang RTRW Tahun 2011-2031 yaitu pengembangan kawasan
pertanian dalam rangka keamanan dan ketahanan pangan. Dalam memenuhi
kebijakan tersebut, strategi pengembangan kawasan pertanian berupa
mengendalikan alih fungsi lahan pertanian dan mengembangkan agropolitan dan
minapolitan. Peraturan mengenai pemanfaatan kawasan peruntukan pertanian
terdapat pada rencana pola ruang wilayah kabupaten. Rencana pola ruang wilayah
Kabupaten Sleman terdiri atas kawasan lindung, dan kawasan budi daya. Kawasan
lingung dan Kawasan budi daya Kabupaten Sleman digambarkan dalam bentuk
peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000.
23
Kawasan lindung merupakan kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan bawahannya, sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang
ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dsar kondisi dan potensi
sumber daya alam, manusia, dan buatan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Sleman Nomor 12 Tahun 2012 tentang RTRW Tahun 2011-2031 kawasan
budidaya terdiri dari kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan
pertanian, perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, dan
peruntukan lainnya. Kawasan peruntukan pertanian di dalam RTRW Kabupaten
Sleman meliputi kawasan pertanian tanaman pangan, kawsan hortikultura, kawasan
perkebunan, dan kawasan peternakan. Kawasan pertambangan berupa
pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan. Kawasan
peruntukan industri meliputi industri menengah dan industri kecil dan mikro.
Kawasan peruntukan pariwisata meliputi wisata alam, budaya, perkotaan dan
perdesaan. Kawasan peruntukan permukiman meliputi permukiman perkotaan dan
permukiman perdesaan. Kawasan peruntukan lainnya di dalam RTRW Kabupaten
Sleman berupa kawasan pertahanan dan keamanan negara, serta kawasan
pendidikan tinggi.
e) Sistem Informasi Geografi (SIG)
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah sistem informasi berbasis komputer
yang digunakan secara digital untuk mengolah dan menganalisis berbagai data
spasial yang terkait dengan permukaan bumi beserta dengan data atribut-atribut non
spasialnya yang digabungkan dengan studi geografi (Fariski dkk, 2017).
Kemampuan SIG dalam mengolah data spasial membuat pengolahan data spasial
menjadi lebih mudah. Kemapuan SIG dalam mengolah data spasial diantaranya
kemapuan untuk kompilasi, pembaruan, penyimpanan, perubahan, manipulasi,
analisis, kombinasi, dan penyajian (Barkey dkk, 2009).
SIG dapat digunakan untuk menghubungkan berbagai data titik tertentu di
permukaan bumi, kemudian melakukan pengolahan berupa penggabungan, analisis,
dan pencetakan hasil baik dalam format grafi atau tabel. Data yang diolah oleh SIG
berupa data spasial yang memiliki sistem koordinat tertentu sebagai dasar
24
referensinya. Pengolahan data spasial dengan SIG dapat mengetahui berbagai
fenomena yang ada di permukaan bumi seperti lokasi, kondisi, kecenderungan/
trend, dan pola (Barkey dkk, 2009). Lokasi dapat menggambarkan apa yang ada
dan apa terjadi pada suatu tempat tertentu. Kondisi dapat menggambarkan
kenampakan suatu wilayah, seperti potensi, geomorfologi dan sebagainya.
Kecenderungan dapat mengambarkan suatu tingkatan fenomena yang ada pada di
suatu wilayah, seperti tingkat perkembangan penduduk ataupun tingkat kerawanan
bencana. Pola dapat menggambarkan kecenderungan arah penyebaran suatu
fenomena yang terjadi di suatu wilayah, seperti pola penyebaran penyakit, pola
pemudaan mangrove dan sebagainya. Selain kemampuan tersebut, SIG dapat
melakukan simulasi atau modeling dari suatu fenomena yang dapat terjadi di
permukaan bumi agar pemahaman terhadap suatu fenomena yang terjadi di
permukaan bumi lebih mudah dipahami.
Data spasial dalam pengolahan SIG terdiri dari dua jenis format data yaitu
data vektor dan data raster (Barkey dkk, 2009). Data vektor merupakan bentuk
representasi bumi yang ditunjukkan dalam kumpulan garis, area (daerah yang
dibatasi oleh garis yang saling bertemu di titik yang sama), dan titik. Data vektor
memiliki kelebihan dalam menentukan ketepatan mempresentasikan fitur titik,
batasan, dan garis lurus. Kelebihan tersebut bermanfaatan dalam menentukan
ketepatan posisi, selain itu data vektor dapat mendefinisikan hubungan spasial dari
beberapa fitur. Kelemahan yang dimiliki data vektor adalah ketidakmampuannya
dalam mengakomodasi perubahan gradual. Tampilan data vektor dapat dilihat pada
Gambar 1.4.
Gambar 1.4 Tampilan Data Vektor
Sumber: Amalia, 2019
Data raster merupakan data dengan bentuk sel grid atau yang disebut dengan
pixel. Data raster dihasilkan dari gambar berupa peta atau data dari penginderaan
jauh. Resolusi pixel mempengaruhi kualitas gambaran yang ditampilkan oleh data
25
raster (Barkey dkk, 2009). Semakin kecil resolusi pixel pada data raster, maka
semakin tinggi kualitas data raster tersebut. Data raster memiliki kelebihan dalam
menampilakan batas-batas yang berubah secara gradual, seperti jenis tanah,
kelembaban tanah, vegetasi, suhu tanah dan sebagainya. Kekurangan yang ada pada
sata raster adalah keterbatasan pada resolusi pixel pada data tersebut, dimana
semakin tinggi resolusinya, semakin tinggi pula kapasitas penyimpanan yang
dibutuhkan untuk menyimpan data raster. Selain itu, kekurangan data raster terletak
pada presisi dalam menunjukkan lokasi. Tampilan data raster dapat dilihat pada
Gambar 1.5.
Gambar 1.5 Tampilan Data Raster
Sumber: Amalia, 2019
Sumber data Sistem Informasi Geografi (SIG) dapat berasal dari berbagai
sumber, diantaranya sebagai berikut (Barkey dkk, 2009).
(1) Peta Analog
Peta analog dibuat dengan teknik kartografi dan memiliki referensi spasial
seperti kooedinat, skala, arah mata angin dan sebaginya. Peta analog pada
awalnya memiliki format raster karena berupa hasil scan agar dapat
diinputkan dalam pemrosessan SIG. Peta analog yang merupakan data raster
dapat diubah menjadi data vektor melalui proses digitasi on screen dengan
software SIG.
(2) Citra Penginderaan Jauh
Citra penginderaan jauh merupakan salah satu sumber data yang penting
dalam SIG. Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau
kondisi lahan secara luas dan temporal, sehingga memungkinkan untuk
melakukan pengamatan dan analisis perubahan kenampakan di permukaan
bumi. Citra penginderaan jauh dapat dilakukan pula perubahan susunan
warna pada band-nya, sehingga dapat menonjolkan kenampakan
permukaan bumi yang akan dianalisis, seperti tubuh air, tanah atau vegetasi.
26
(3) Data Survei Lapangan
Data survei lapangan dapat berupa hasil pengukuran yang dilakukan
terhadap suatu objek atau hasil sesnsus.
1.5.2. Penelitian Sebelumnya
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian evaluasi
Rencana Tatat Ruang Wilayah (RTRW) berdasarkan Indeks Potensi Lahan (IPL),
diantaranya sebagai berikut.
(a) Yoga Toyibulah (2012) dengan judul “Evaluasi Rencana Tata Ruang
Wilayah Berdasarkan Indeks Potensi Lahan Melalui Sistem Informasi
Geografi di Kabupaten Sragen”. Penelitian tersebut bertujuan mengetahui
persebaran indeks potensi lahan dengan membuat peta indeks potensi lahan
di Kabupaten Sragen, dan mengetahui kesesuaian Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) terhadap Indeks Potensi Lahan (IPL) di Kabupaten
Sragen. Bahan yang digunakan dalam penelitian bersumber dari data
sekunder dalam bentuk data analog. Metode yang digunakan dalam
menentukan kelas IPL adalah dengan melakukan tumpang susun (overlay)
dari hasil skoring paaremeter IPL, dimana paramter yang digunakan adalah
lereng dan relief, kedalaman air tanah, litologi, tekstur tanah, dan kerawanan
bencana erosi. Kegiatan survei lapangan dilakukan dengan metode stratified
random sampling. Kegiatan survei lapangan dilakukan untuk mencocokkan
data peta yang ada dengan keadaan sebenarnya di lapangan serta untuk
mengetahui tingkat akurasi Indeks Potensi Lahan yang telah dilakukan.
Metode evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) berdasarkan IPL
dilakukan pula dengan overlay antara keduanya, yang kemudian dianalisis
dengan metode subjective matching. Hasil yang didapatkan dari penelitian
adalah Peta Indeks Potensi Lahan dan Peta Evaluasi Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Tata Guna Lahan Terhadap Indeks Potensi Lahan (IPL)
di Kabupaten Sragen dengan skala 1:200.000.
(b) Teresita Oktavia Rosari (2014) dengan judul “Evaluasi Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman Berdasarkan Analisis Resiko
Bencana Gunung Merapi”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui
27
sebaran tingkat risiko bencana Gunung Merapi di Kabupaten Sleman,
mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sleman,
dan mengetahui penerapan aspek kebencanaan dalam penataan ruang di
Kabupaten Sleman. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah data
sekunder berupa peta tematik untuk melakukan analisis risiko bencana
Gunung Merapi, dan Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kawasan
Budi daya Kabupaten Sleman. Peta tematik yang digunakan untuk membuat
peta risiko yaitu Peta Sebaran Tingkat Risiko dan Peta Sebaran Tingkat
Kerentanan di Kabupaten Sleman. Peta Sebaran Tingkat Risiko Kabupaten
tersebut digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap Peta RTRW
Kawasan budidaya di Kabupaten Sleman. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuantitatif berjenjang dengan teknik pengharkatan/
skoring pada tiap indikator yang mempengaruhi risiko bencana. Metode
dalam evaluasi Peta RTRW Kawasan Budi daya Kabupaten Sleman
berdasarkan Peta Sebaran Tingkat Risiko yang dihasilkan menggunakan
metode overlay, dimana hasil yang didapatkan berupa peta kesesuaian
rencana kawasan budi daya.
(c) Zidni Ilma Amalia (2019) dengan judul “Analisis Indeks Potensi Lahan
(IPL) Kabupaten Sleman”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat Indeks Potensi Lahan (IPL) di Kabupaten Sleman, mengetahui
sebaran IPL di Kabupaten Sleman, dan mengetahui perbandingan kelas IPL
tinggi dengan penggunaan lahan eksisting di Kabupaten Sleman. Bahan
yang digunakan dalam penelitian berupa data sekunder dan data primer.
Data sekunder merupakan sumber data untuk parameter penentuk IPL
(kemiringan lereng, litologi, jenis tanah, produktivitas air tanah, dan
kerawanan bencana) dan data penggunaan lahan di Kabupaten Sleman. Data
primer didapatkan dari hasil lapangan untuk melakukan uji akurasi dari data
parameter IPL dan penggunaan lahan di Kabupaten Sleman. Metode yang
digunakan dalam menentukan jumlah sampel untuk survei lapangan adalah
propotional random sampling. Metode yang digunakan dalam penelitian
adalah tumpang susun (overlay) dari hasil skoring setiap parameter IPL.
28
Hasil dari penelitian adalah Peta Indeks Potensi Lahan Kabupaten Sleman
skala 1:200.000.
Penelitian yang akan dilakukan memiliki metode yang sama dalam
menentukan Indeks Potensi Lahan, yaitu melakukan overlay dari hasil skoring
parameter kemiringan lereng, litologi, jenis tanah, hidrologi, dan kerawanan
bencana. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan metode tersebut memiliki
hasil yang baik dan akurat. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan
penelitian oleh Yoga Toyibulah adalah lokasi dari penelitian, dimana lokasi yang
akan dilakukan di Kabupaten Sleman sedangkan kedua penelitian tersebut
dilakukan di Kabupaten Sragen. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan
penelitian oleh Teresita Oktavia Rosari adalah data acuan yang digunakan dalam
melakukan evaluasi RTRW, dimana pada penelitian tersebut menggunakan Peta
Sebaran Tingkat Risiko Bencana Gunung Merapi dan pada penenlitian yang akan
dilakukan menggunakan data Peta Indeks Potensi Lahan Kabupaten Sleman.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Zidni Ilma Amalia adalah terletak pada
penggunaan Peta Indeks Potensi Lahan Kabupaten Sleman yang dihasilkan, dimana
peta tersebut digunakan untuk mengetahui kesesuaiannya terhadap penggunaan
lahan eksisting di Kabupaten Sleman. Perbandingan penelitian yang dilakukan
dengan penelitian sebelumnya secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 1.1.
29
Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya No. Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
1. Yoga
Toyibulah
(2012)
Evaluasi Rencana
Tata Ruang Wilayah
Berdasarkan Indeks
Potensi Lahan
Melalui Sistem
Informasi Geografi
di Kabupaten Sragen
1. Mengetahui persebaran indeks
potensi lahan di Kabupaten
Sragen
2. Mengetahui kesesuaian Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW)
terhadap indeks potensi lahan di
Kabupaten Sragen
Tumpang susun (overlay) dari hasil
skoring setiap parameter Indeks
Potensi Lahan untuk mengetahui
indeks potensi lahan, kemudian
melakukan subjective matching
untukmelakukann evaluasi
kesesuaiannya dengan RTRW.
1. Peta Indeks Potensi Lahan
Kabupaten Sragen skala
1:200.000.
2. Peta Evaluasi RTRW Tata Guna
Lahan Terhadap Indeks Potensi
Lahan di Kabupaten Sragen
skala 1:200.000.
2. Teresita
Oktavia
Rosari
(2014)
Evaluasi Rencana
Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten
Sleman Berdasarkan
Analisis Risiko
Bencana Gunung
Merapi
1. Mengetahui sebaran tingkat risiko
bencana Gunung Merapi di
Kabupaten Sleman
2. Mengevaluasi Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Sleman berdasarkan
perencanaan kawasan berbasis
kebencanaan
3. Mengetahui penerapan aspek
kebencanaan dalam penataan
ruang di Kabupaten Sleman.
Tumpang susun (overlay) dari hasil
skoring setiap indikator yang
mempengaruhi risiko bencana
berupa peta sebaran tingkat
ancaman dan peta sebaran tingkat
kerentanan untuk menghasilkan
peta sebaran tingkat risiko bencana
Gunung Merapi, kemudian
dilakukan overlay dengan Peta
RTRW Kawasan Budi daya untuk
melakukan evaluasi kesesuaiannya
berdasarkan tingkat risiko bencana
Gunung Merapi di Kabupaten
Sleman.
1. Peta Sebaran Tingkat Risiko
Bencana Gunung Merapi di
Kabupaten Sleman skala
1:200.000
2. Peta Kesesuaian Rencana Tata
Ruang Wilayah Kawasan Budi
Daya berdasarkan Risiko
Bencama Merapi Kabupaten
Sleman skala 1:200.000
3. Zidni Ilma
Amalia
(2019)
Analisis Indeks
Potensi Lahan (IPL)
Kabupaten Sleman
1. Mengetahui tingkat IPL di
Kabupaten Sleman.
2. Mengetahui Sebaran IPL di
Kabupaten Sleman.
3. Mengetahui perbandingan kelas
IPL dengan penggunaan lahan di
Kabupaten Sleman.
Tumpang susun (overlay) dari hasil
skoring setiap parameter Indeks
Potensi Lahan untuk mengetahui
indeks potensi lahan, kemudian
survei lapangan untuk melakukan
uji akurasi setiap parameter IPL.
Peta Indeks Potensi Lahan
Kabupaten Sleman skala
1:200.000.
30
Lanjutan Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya No. Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
4. Rosiana Adi
Rofiqoh (2020)
Evaluasi Rencana Tata
Ruang Wilayah
Berdasarkan Indeks
Potensi Lahan
Kabupaten Sleman
1. Mengetahui tingkat Indeks
Potensi Lahan (IPL) di
Kabupaten Sleman.
2. Mengetahui sebaran Indeks
Potensi Lahan (IPL) di
Kabupaten Sleman.
3. Mengetahui kesesuaian
Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) di Kabupaten
Sleman.
Tumpang susun (overlay) dari
hasil skoring setiap parameter
Indeks Potensi Lahan (IPL)
untuk mengetahui indeks
potensi lahan, kemudian
dilakukan survei lapangan
untuk mencocokkan data pada
peta yang ada dan hasil IPL.
Metode subjective matching
digunakan untuk melakukann
evaluasi kesesuaiannya dengan
RTRW.
1. Peta Indeks Potensi Lahan
Kabupaten Sleman skala
1:200.000.
2. Peta Evaluasi RTRW Pola
Ruang Berdasarkan Indeks
Potensi Lahan di Kabupaten
Sleman skala 1:200.000.
Sumber: hasil kajian penulis, 2020
31
1.6. Kerangka Penelitian
Perencanaan tata ruang wilayah dibuat dengan tujuan untuk mengatur dan
merencanakan penggunaan lahan pada suatu wilayah. Rencana tata ruang wilayah
tersebut disusun berdasarkan undang-undang yang mengikat dan betujuan untuk
mewujudkan terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berpotensi. Perencanaan
tata ruang wilayah tersebut berupa dokumen dalam bentuk peta Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW). Peta RTRW menunjukkan sebaran berbagai kawasan
dalam batasannya yang dinilai sesuai dengan potensi lahannya, baik dari sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, sehingga dapat
meningkatkan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan subsistem. Peta RTRW
digunakan sebagai acuan dalam penggunaan lahan, baik untuk pertanian maupun
non pertanian pada suatu daerah.
Peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu permasalahan yang
dihadapi dalam penggunaan lahan, dimana semakin meningkatnya jumlah
penduduk mengakibatkan semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan.
Kabupaten Sleman mengalami peningkatan jumlah penduduk pada setiap tahunnya,
peningkatan jumlah penduduk tersebut mengakibatkan penurunan luas lahan
pertanian yang ada. Penurunan lahan pertanian tersebut terjadi karena adanya alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau lahan terbangun lainnya.
Berkurangnya lahan pertanian tersebut menunjukkan adanya lahan yang berpotensi
sebagai pertanian disalahgunakan sebagai lahan permukiman atau lahan terbagun
lainnya.
Keterbatasan ketersediaan data yang lengkap dan akurat tentang potensi
sumber daya lahan pada suatu daerah dapat pula menjadi permasalahan dalam
penggunaan lahan. Peta indeks potensi lahan pertanian merupakan data penting
yang dapat digunakan dalam memberikan evaluasi dan informasi mengenai potensi
lahan pertanian di Kabupaten Sleman untuk dapat memanfaatkan lahan secara
optimal. Indeks Potensi Lahan (IPL) memberikan penilaian pada lahan bedasarkan
karakteristik fisik lahan, yaitu kemiringan lereng, kondisi tanah, litologi, hidrologi,
dan kerawanan bencana sebagai faktor pembatas. Peta indeks potensi lahan
pertanian menunjukkan persebaran spasial potensi lahan berdasarkan kelas
32
klasifikasinya (sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan sangat rendah). Peta
sebaran indeks potensi lahan pertanian inilah yang kemudian dihubungkan dengan
peta RTRW pola ruang untuk melakukan evaluasi terhadap peta RTRW. Evaluasi
dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peta RTRW Kabupaten Sleman
memperhatikan potensi lahan untuk pertanian berdasarkan peta Indeks Potensi
Lahan pertanian di Kabupaten Sleman. Diagram kerangka penelitian dapat dilihat
pada Gambar 1.6.
Parameter Indeks Potensi Lahan:
1. Kemiringan lereng
2. Litologi
3. Jenis Tanah
4. Hidrologi
5. Kerawanan Bencana
Analisis Indeks Potensi Lahan (IPL)
Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW)
Gambar 1.6 Kerangka Penelitian
Sumber: Penulis, 2020
Peningkatan jumlah penduduk
di Kabupaten Sleman
Alih fungsi lahan pertanian
Evaluasi RTRW Kabupaten
Sleman
33
1.7. Batasan Operasional
Evaluasi lahan adalah suatu proses yang melakukan perbandingan antara kualitas
lahan dengan ketentuan karakteristik dari penggunaan lahan yang bersangkutan,
sehingga dapat memberikan pilihan penggunaan lahan dengan segala
pertimbangannya (termasuk aspek ekonomi) (FAO, 1976).
Indeks Potensi Lahan (IPL) adalah pengklasifikasian lahan ke dalam beberapa
kelas berdasarkan faktor pembanding kualitas lahan, sehingga dapat dilakukan
klasifikasi kemampuan lahan (Dewi, 2014).
Kemampuan lahan adalah potensi umum suatu lahan untuk keperluan
perencanaan sesuai dengan tujuan yang diinginkan (Mega dkk, 2010).
Kesesuaian lahan adalah strata kecocokan dari suatu lahan terhadap suatu
penggunaan yang lebih spesifik dari kemampuan lahan (Mega dkk, 2010).
Lahan adalah suatu region di permukaan bumi yang memuat seluruh komponen
biosfer yaitu atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan,
serta segala akibat aktivitas manusia di masa lalu dan masa sekarang yang mana
aktivitas tersebut mempengaruhi penggunaan lahan masa sekarang atau masa yang
akan datang (Juhadi, 2007).
Rencacan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten adalah rencana tata ruang
yang bersifat umum dari wilayah kabupaten, yang berisi tujuan, kebijakan, strategi
penataan ruang wilayah kabupaten. Penetapan kawasan strategis kabupaten, arahan
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, 2009)
Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi yang bereferensi
geografis (Aronof, 1989).