Post on 07-Apr-2019
15
BAB II
PEMBAHASAN SEKITAR PAILIT
A. Ketentuan Umum Tentang Taflis
1. Pengertian Taflis
Pailit berarti 'Bangkrut' atau 'Jatuh Pailit'. Dalam Hukum Perdata
pailit positif ( peraturan kepailitan: s. 1905-217 jo S. 1906-348), maka
pailit mengacu pada keadaan debitur ( bisa orang, badan hukum,
perseroan) yang terbukti berdasarkan ketetapan pengadilan, bahwa debitur
telah berhenti membayar hutangnya ( tidak mampu melunasi utang) yang
mengakibatkan penyitaan umum atas harta kekayaannya, sehingga debitur
tidak berhak lagi mengurus harta bendanya.1
Taflis atau Iflas ialah banyak hutang dari harta, hingga tak dapat
harta itu membayar segala hutang. Hakim boleh mencegah orang yang di
hukum Muflis mentasyarufkan hartanya, agar tidak memelaratkan orang-
orang yang memberi hutang kepadanya. (mencegah Muflis dari
mentasyarufkan hartanya dinamakan “Hajr atau Hijr”)2
Dalam Fiqh dikenal dengan sebutan Iflaas ( االفالس ): tidak
memiliki harta, sedang orang yang pailit disebut Muflis ( المفلس ) dan
keputusan hakim yang menyatakan bahwa seorang jajtuh pailit disebut
1 Ensiklopedi hukum Islam, Jakarta: PT Ictiar Baru Van Hove,cet.1, 1996, Hlm. 1360 2 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam , Jakarta Bulan Bintang, Hlm. 427
16
Tafliis ( التفليس )3
Ulama Fiqh mendefinisikan Taflis:4
مفلسا بمنعه من التصرف في ماله جعل احلاكم المديون
Artinya: “Keputusan Hakim yang melarang seseorang bertindak atas hartanya.”
Dalam syara’, kata pailit itu diucapkan untuk dua makna.
Pertama: apabila hutang itu menghabiskan harta orang yang berhutang
(debitur), sehingga hartanya itu tidak sanggup lagi melunasi hutangnya.
Kedua: jika seseorang itu sama sekali tidak mempunyai harta yang
kongkret.5
Pada keadaan pertama, jika kepailitan itu terlihat oleh penguasa,
maka para Ulama berselisih pendapat: apakah penguasa tersebut dapat
membatasi tindakan orang itu terhadap hartanya, sehingga ia menjualnya
dan membagi-bagikannya kepada kreditur (pemberi hutang) berdasarkan
pertimbangan piutang mereka, ataukah ia tidak boleh bertindak demikian,
melainkan orang itu harus ditahan (dipenjarakan) sehingga ia memberikan
semua hartanya kepada mereka (para kreditur) berdasarkan perimbangan
apa pun yang disepakati dan kepada siapapun juga dari mereka.
Perselisiahan seperti ini juga tergambar pada orang yang
mempunyai harta yang cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, tetapi ia
3 M Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam ( Fiqh Muamalah), Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. 1, Hlm. 195 4 Ibid., Hlm 196 5 Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidah Al-Mujtahit, Semarang: Asy-Syifa’ 1990, Cet. 1,
Hlm.332.
17
menolak untuk memperlakukan kreditur-krediturnya dengan baik (yakni
tidak mau melunasi). Sesuai dengan kisah Mu’az bin Jabal yang terlilit
hutang, maka Rosulullah tidak lebih hanya memberikan sisa hartanya
tersebut.6
Al-hajru (pengampuan), yang secara harfiah berarti penyitaan dan
pencegahan, pengampuan atau al-hajru ialah pencegahan terhadap
seseorang dari kemungkian mengelola hartanya. Dan dalam pembahasan
sekripsi ini adalah mengenai pengawasan terhadap hak orang lain
(Muflis).7
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa penguasa menjual harta
bendanya, kemudian dibagikan kepada para krediturnya, atau pada seorang
krediturnya, jika piutangnya itu suadah lama. Atau orang tersebut
dinyatakan pailit jika harta bendanya tidak mencukupi untuk membayar
hutangnya, dan dia dilarang melakukan tindakan terhadap harta benda itu.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Syafi'i.8 beralasan dengan
hadits Mu'az Bin Jabal ra. Berikut:
سد رهفي ع هنيد كثر هلىإنع اءهمغر زدي فلم لمسه وليلى اهللا عل الله صو
ان جعله لهم من ماله
Artinya: “Sesungguhnya Mu’az bin Jabal banyak hutangnya dimasa Rosulullah saw, maka tidak lebih beliau hanya memberikan
6 Ibid., 7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Isalm Di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003, Hlm. 136 8 Ibnu Rusdy, op.cit., Hlm.331-332
18
hartanya untuk para krediturnya.9
Golongan kedua, yakni mereka yang berpendapat bahwa
orang tersebut harus dipenjarakan sehingga ia memberikan apa yang
menjadi kewajibannya, atau ia mati dalam penjara, kemudian ia
menjual harta bendanya dan membagi-bagikannya kepada para
kreditur, maka mereka beralasan berdasarkan hadits Jabir bin Abdu’i-
Lah. Yang ketika ayahnya gugur di perang Uhud, ia mempunyai
hutang. Ketika para krediturnya menuntut hutang.10
2. Dasar Hukum Tafliis
Sebagai landasan dasar hukumnya adalah sebuah ruwayat
yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW., menetapkan Mu'az bin
Jabal sebagai seorang yang terlilit hutang dan tidak mampu
melunasinya (Pailit). Kemudian rasul melunasi hutang Mu'az bin Jabal
dengan sisa hartanya. Tetapi yang berpiutang tidak menerima seluruh
pinjamannya, maka diapun melakukan protes kepada Rosulullah.
Prptes tersebut dijawab oleh Rosulullah dan mengatakan:11
اال ذالك لكم سرواه الدا ر القطين واحلاكم(لي(
Artinya: "Tidak ada yang dapat diberikan kepadamu selain itu."
( HR. Daru- Quthni dan Al-Hakim)
9 Ibid., 10 Ibid., 11 M Ali Hasan, op.cit. Hlm. 196
19
Berdasarkan hadits tersebut, Ulama Fiqh telah sepakat
menyatakan bahwa seorang hakim berhak menetapkan seseorang
(debitur) pailit, karena tidak mampu membayar hutangnya dan dengan
sisa hartanya itu hutangnya harus dilunasi.12
3. Syarat-syarat dijatuhkannya kepailitan (Tafliis)
Untuk dapat mengambil harta atau barang jualan yang terdapat
pada orang yang pailit para Ulama berselisih pendapat, tetapi yang
paling mudah untuk bisa melakukan penuntutan atas barang dagangan
yang belum dilunasi, penulis mengambil pendapatnya Mazhab Syafi'i13
:
1. Waktu pembayaran hutang telah jatuh tempo.
2. Debitur enggan membayar hutang.
3. Barang yang menjadi hutang masih ada ditangan debitur.
B. Ketentuan Hukum Tentang Pailit (Taflis)
1. Batasan Muflis
Muflis (orang yang bangkrut), dalam arti bahasa, adalah orang yang
tidak punya harta dan pekerjaan yang bisa menutupi kebutuhannya.
Sedangkan dalam peristilahan para Ulama mazhab adalah orang yang
dilarang oleh hakim (untuk membelanjakan hartanya) karena dia terlilit
hutang yang menghabiskan seluruh hartanya dan bahkan masih kurang,
12ibid., 13 Ibid., Hlm. 201
20
dimana bila seluruh harta yang dimilikinya dibagikan kepada para pemilik
piutang pasti tidak akan mencukupi.14
Mengenai orang yang pailit, maka ada dua macam. Yakni keadaan
pada waktu pailit sebelum diampu dan keadaannya sesudah diampu.15
Tentang Keadaan sebelum diampu, maka Imam Malik berpendapat
bahwa orang pailit tidak boleh menghabiskan (mengeluarkan) sesuatupun
dari harta tanpa imbalan, jika perbuatan tersebut bukan merupakan
perbuatan yang harus dikerjakannya, dan menurut kebiasaan pun tidak
perlu diperbuatnya. Dalam meletakkan syarat “bukan merupakan
perbuatan yang harus dikerjakan”, Imam Malik beralasan bahwa orang
pailit itu boleh mengerjakan apa yang diharuskan oleh Syara’, meski tanpa
imbalan, seperti menafkahi orang tuanya yang miskin atau anak-anak. dan
tentang “apa yang menurut kebiasaan pun tidak perku (harus)
dikerjakan”, bahwa orang tersebut bisa menghilangkan sedikit hartanya
tanpa imbalan, seperti berkorban, membiayai hamba dan sedekah yang
sedikit.16
Menurut Ulama mazhab Maliki, Syafi'I dan hambali, apabila hakim
berpendapat, bahwa debitur dalam keadaan sakit (bukan dibuat-buat) maka
kreditur maka kreditur tidak boleh menuntutnya dan mengawasinya terus-
14 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab: Ja'fari, Hanafi, Maliki, Syafi'I,
Hambali/Muhammad Jawad Mughniyah, Judul Asli: Al-Fiqh 'ala al-madzhi al-khamsah;penerjemah Masykur A.B ed, Cet. 5, Jaakarta: Lentera, 2000, Hlm. 700
15 Ibnu Rusyd, lok.cit., Hlm. 335 16 Ibid.,
21
menerus, dia harus diberi kebebasan untuk mencari rizki sampai dia
berkelapangan untuk melunasi hutangnya. Sedangkan Ulama mazhab
Hanafi berpendapat apabila ternyata tidak ada lagi harta untuk membayar
hutang kepada kreditur, maka debitur dibebaskan sejalan dengan surat Al
Baqarah 280.17
Kemudian bagaimana dengan kepengurusan harta si pailit, Ka'ab
Ibn Malik ra. Menerangkan:18
وباعه فى دبن , حجر على معاذ ماله: ان النبي ص م, عن كعب بن ملك )رواه الدارقطىن(كان عليه
Artinya: "Bahwasanya Nabi SAW. Mengawasi harta Mu'az Bin Jabal dan menjual kekayaannya untuk melunasi hutangnya." (HR. Ad-Darulquthny).
Maksudnya yang mengawasi adalah curator dan hakim boleh
menjual harta orang yang berhutang untuk melunasi hutangnya, karena
takut dihabiskan seluruh kekayaannya. Sedangkan Syafi'I, Malik, Abu
Yusuf dan Muhammad, membolehkan penjualan harta debitur atas
permintaan krediturnya. Diriwayatkan oleh Abu Hanifah, bahwa tidak
boleh dilakukan pengawasan terhadap orang yang berhutang, dan tidak
boleh menjual kekayaannya. Si debitur disandera sampai dia melunasi
seluruh hutangnya.19
17 M Ali Hasan, lok.cit. Hlm.199-200 18 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Edisi ke2, Semarang, PT
Pustaka Rizki Putra, Cet.3, 2001, Hlm.151-152 19 Ibid.,
22
Al-Syaukani membolehkan menyita harta orang yang bangkrut
(pailit) untuk membayar hutangnya, sekalipun harta tersebut tidak
memadai untuk membayar hutangnya secara keseluruhan. Pendapanini
juga disandarkan pada kisah Mu'az.20
Jumhur Fuqoha’ yang berpendirian tentang adanya pengampuan
terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan
tentang kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang
samadengan orang lain.21
Jumhur Ulama berpendapat, bahwa seseorang dapat dinyatakan
pailit setelah mendapat keputusan hakim, dengan demikian segala tindakan
debitur terhadap hartanya, masih dapat dibenarkan. Oleh sebab itu para
Ulama yang mendapat pengaduan harus sesegera mungkin mengambil
suatu keputusan, agar debitur tidakleluasa melakukan aktivitasnya.22
Mengenai kedaan orang pailit sesudah pailit maka Imam Malik
berpendapat bahwa orang tersebut tidak boleh mengadakan penjualan,
pembelian, pengambilan ataupun pemberian. Begitu pula ia tidak boleh
mengaku berhutang atas tanggungan, baik kepada orang dekat maupun
orang jauh, tetapi menurut salah satu riwayat, dikecualikan jika untuk
seorang dari mereka dengan saksi. Sedang menurut riwayat lainnya, Ia
20 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Cet. 1, Jakarta: Logos, 1999, Hlm. 191 21 Ibnu Rusyd, log.cit., 22 M Ali Hasan, lok.cit. Hlm.197
23
boleh mengeluarkan pengakuan (berhutang) terhadap seseorang yang
diketahui mempunyai tagihan atasnya.23
Para Ulama mazhab sepakat bahwa seorang Muflis tidak dilarang
menggunakan hartanya, sebesar apapun hartanya kecuali sesudah adanya
larangan dari hakim. Kalau dia menggunakan seluruh hartanya sebelum
adanya larangan Hakim, maka tindakannya itu dianggap berlaku. Para
piutang dan siapapun tidak berhak melarangnya, sepanjang hal itu tidak
dimaksudkan untuk melarikan diri dari hutang atau menggelapkan hak-hak
orang lain yang ada pada dirinya, khususnya bila tidak ada harapan untuk
bertambahnya penghasilan berdasar kenyataan yang ada.24
2. Pendapat Ulama Tentang Muflis
Barang-Barang Yang Terkena Pailit
Tentang harta yang bisa ditagih oleh penjual (kreditur) dari orang
pailit (debitur), maka hal ini tergantung kepada macam dan kadar
barangnya.
Tentang barang atau benda yang dipertukarkan (dalam jual beli)
yang telah tiada, dan yang karena krediturnya berhak menuntut dari orang
yang mengalami pailit, maka piutangnya menjadi tanggungan orang yang
pailit. Akan halnya jika barang itu sendiri masih ada dan belum musnah,
maka dalam hal ini Fuqoha’ Amshor berselisih dalam empat pendapat:25
23 Ibid., Hlm.335-336 24 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, op.ci., 25 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm. 337
24
Pertama: Bahwa bagaimanapun juga pemilik barang lebih berhak atas
barang tersebut. kecuali jika ia meninggalkannya dan memilih pembagian
piutang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu
Tsaur.
Hanafiyah berkata: barang siapa yang bangkrut (Hakim sudah
menyatakan kebangktutannya) sedang ia mempunyai barang milik orang
lain dengan jelas, maka orang yang memiliki harta seperti hutang yang
artinya tidak mempunyai hak atas harta itu dibanding orang-orang yang
hutang lainnya. Apabila bangkrut sebelum memiliki harta tanpa izin
penjual maka ia wajib mengembalikannya dan menahannya dengan harga
dalam keadaan belum dimiliki.26
Selain Ulama Hanafiyah berkata: apabila Hakim sudah menyatakan
kebanhkrutannya, maka salah satu orang yang hutang memperoleh
sebanyak hartanya (membagi harta yang telah dijual kepadanya sejumlah
barang tersebut) maka baginya hak untuk memiliki sebagian. Sesuai
dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang intinya
'barang siapa yang menemukan hartanya pada orang yang pailit maka ia
lebih berhak atas harta tersebut dari pada orang lain'.27
Kedua: Bahwa nilai barang harus dilihat pada saat diputuskan
kepailitannya. Jika nilai tersebut lebih rendah dari harga semula, maka
pemilik barang disuruh memilih antara mengambil barang tersebut atau
26 Wahbah Zuahaili, Fiqh Islami Wa Adilatahu, Juz 5, Darul Fikr, 1984, Hlm. 475 27 Ibid.,
25
ikut dalam pembagian piutang. Sedang apabila nilainya lebih banyak atau
sama dengan harga semula, maka ia mengambil barang itu sendiri.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan pengikutnya.
Ketiga: Bahwa barang tersebut harus dinilai pada waktu pailit jika nilainya
sama atau kurang dari harga semula, maka barang tersebut diputuskan
untuknya, yakni si penjual. Tetapi jika nilainya lebih banyak, maka penjual
diberi sebanyak harga semula, kemudian para kreditur mengadakan
pembagian pada kelebihannya. Pendapat ini dikemukakan oleh segolongan
ahli atsar.
Keempat : Bahwa bagaimanapun juga para kreditur itu harus mengikuti
pemilik barang. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan
Ahli Kufah.
Silang pendapat dalam masalah ini berpangkal pada adanya hadits
shahih:
مـن : وعن ايب هريرة رضي اهللا عنه ، عن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال ادرك ماله بعينه عند رجل افلس او انسان قد افلس فهو احق به من غيره
)رواه اجلماعة(
Artinya: “Dan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW., ia bersabda: "siapa yang mendapatkan hartanya masih utuh pada seseorag yang pailit – atau seorang manusia yang pailit – maka ia lebih berhak atas barangnya itu daripada orang lain”.” (HR Jama’ah)28
28 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Hlm 149-150, 2002 Mutiara Hadits,
Hlm.478-479 ,Terjemah Nailul Author 4, Hlm.1800-1801
26
Fuqaha yang memegangi hadits tersebut berselisih pendapat
tentang, apabila penjual telah menerima sebagian harga barang tesebut.
Imam Malik berpendapat bahwa jika ia suka, maka ia boleh
mengembalikan sebagian harga yang telah diterimanya itu, kemudian
mengambil kembali barang tersebut seluruhnya. Dan jika ia suka, ia boleh
bergabung dengan para kreditur lainnya untuk mengambil piutang atas
barangnya yang masih ada. Sedang imam Syafi'I berpendapat bahwa
penjual mengambil sebagian barang yang masih ada dengan imbalan harga
selebihnya.29
Apabila muflis menghasilkan harta sesudah dia dilarang
menggunakan hartanya, maka ada perbedaan pendapat antara lain:30
Hambali mengatakan tidak ada perbedaan antara harta yang baru
diperolehnya, dengan harta yang ada saat dilakukan pelarangan.
Mazhab Syafi'I mempunyai dua pendapat. Demikian pendapat
Imamiyah. Allamah Al Hilli mengatakan: yang lebih tepat adalah bahwa
pelarangan tersebut diberlakukan pula terhadapnya. Sebab tujuan dari
pelarangan tersebut adalah untuk mengembalikan hak kepada orang yang
berhak menerimanya, dan hal itu tidak terbatas pada harta yang ada saat
pelarangan saja.
29 Ibnu Rusyd, log.cit., Hlm. 340 30 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, log.cii.,Hlm. 703
27
Hanafi berpendapat pelarangan tidak mencakup barang-barang
yang baru diperoleh itu. Pengakuan dan tindakan Muflis dianggap berlaku.
Pembeli yang pailit telah menghabiskan sebagian barang.
Tidak ada silang pendapat dikalangan Fuqoha, bahwa apabila
pembeli telah menghabiskan sebagian barang, maka penjual lebih berhak
atas sebagian (sisa) barang yang didapati. Kecuali Atha’, karena ia
berpendapat tentang kematian: apakah hukum kematian itu sama dengan
hukum pailit atau tidak?
Imam Malik berpendapat bahwa penjual menjadi panutan para
kreditur dalam hal kepailitan.
Sedang Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam hal ini sama saja.
Dan ini sesuai juga dengan hadits diatas.
Penambahan Terhadap Barang
Imam Malik juga berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i tentang
orang yang mendapatkan barangnya itu sendiri pada orang yang pailit,
sementara orang yang pailit itu telah mengadakan penambahan pada
barang tersebut, seperti tanah yang telah ditanami atau tanah kosong yang
telah didirikan bangunan di atasnya.
28
Imam Malik berpendapat bahwa penambahan tersebut merupakan
penghilangan atas bentuk (sifat) semula. Karena pemilik barang kembali
menjadi kawan para kreditur.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa penjual boleh memilih antara
memberikan harga sesuatu yang ditambahkan oleh pembeli pada
barangnya, kemudian penjual mengambil barang tersebut
Mengenai barang yang masih berada ditangan penjualnya dan
belum diserahkan kepada pembeli sehingga pembeli mengalami pailit,
maka penjual lebih berhak atas barang tersebut pada kematian dan pailit,
tanpa memperselisihkan lagi.
Jika penjual telah menyerahkan barang tersebut kepada pembeli,
kemudian pembeli mengalami pailit, sementara barang tersebut masih
berada ditangannya, maka penjual lebih berhak atas barang tersebut
dibanding kreditur lainnya, yakni dalam keadaan pailit dan bukan dalam
keadaan kematian. Imam Malik berpendapat bahwa para kreditur boleh
mengambil barang tersebut dengan membayar harganya. Tetapi Imam
Syafi’i berpendapat bahwa mereka tidak boleh melakukan tindakan seperti
itu.31
Ringkasnya, tidak diperselisihkan lagi dalam madzhab Maliki,
bahwa penjual lebih berhak atas barangnya yang masih ada tetapi tidak
berada dalam tangannya, dalam hal pailit bukan kematian. Dan bahkan
31 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.342 dan 345
29
penjual itu menjadi panutan para kreditur pada barangnya, jika barangnya
itu sudah tidak ada. Juga dalam hal yang bermiripan dengan keadaan
buruh, menurut pendapat para Imam Malik. Hal ini sesuai dengan hadits di
atas.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Abu Daud, menurut Al-
Hafidh, sanatnya Hasan, hadits tersebut menyatakan bahwa bila seseorang
menjual sesuatu barang kepada seseorang yang ternyata tak mampu
membayar (jatuh bangrut), dan barangnya kemudian dikemukakan pada si
pembeli tersebut, dalam keadaan masih utuh, maka barang tersebut bisa
diambil kembali oleh penjualnya. Syarat untuk dapat mengambil kembali
adalah masih utuh.32
Asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama berpendapat bahwa si penjual tetap
berhak menarik kembali barangnya walaupun sudah dalam keadaan tidak
utuh lagi. Golongan Hanafi tidak sependapat karena menyalahi kaidah,
Jumhur Ulama berpendapat bahwa apabila harganya sudah dilunasi
sebagian, maka barang tersebut tidak dapa ditarik kembali. Apabila
barangnya masih utuh, si penjual tak dapat mengambil lagi barangnya,
demikian pendapat Imam Malik dan Ahmad sedang Asy-Syafi’i
berpendapat , dapat diamil kembali. Syafi’i dan Ahmad juga berpendapat
untuk menolak harga yang hendak dibayar oleh para pewarisnya. Malik
meengharuskan si penjual menerima harga yang dibayar oleh waris.33
32 Bandingkan Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, Terjemah Nailul Author 4, 33 M Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 7, op.cit., , hlm.149-150
30
Hadits ini menyatakan bahwa si pemilik barang dapat mengambil
kembali barangnya tanpa harus menunggu keputusan hakim (pendamai).
Pendapat inilah yang dipandang lebih sahih diantara pendapat ulama.34
Selain kreditur dapat mengambil kembali barang yang masih
terdapat pada orang yang telah bangkrut, maka akan ada kemungkinan bila
harta tersebut berubah karena bertambah atau berkurang, maka pemilikny
lebih berhak atasnya; akan tetapi diberlakukan sama dengan orang-orang
yang berpiutang.35
Sedangkan apabila dia menjual harta itu dan telah menerima
sebagian dari harganya, maka orang yang mempunyai harta itu
diperlakukan sama seperti orang-orang yang berpiutang; dan menurut
Jumhur, dia tidak mempunyai hak untuk meminta kembali apa yang telah
dijual. Yang lebih kuat di antara pendapat dua pendapat Syafi'i ialah
bahwa yang memberinya itu lebih berhak atasnya.36
Tetapi bila pembelinya mati, sedang penjualnya belum menerima
harganya, kemudian penjual itu menemukan apa yang dijualnya, maka ia
berhak terhadapnya karena alasan hadits. Sebab tidak ada perbedaan antara
kematian dan kebangkrutan. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’I.:
34 Ibid., 35 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, Judul Asli: Fiqhussunnah, Bandung: PT Al Ma'arif,
Hlm. 214 36 Ibid.,
31
من : وقال ابو هريرة ألقضين فيكم بقضاء رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم وهذا احلديث صحيح ( افلس او مات فوجد رجل متاعه بعينه فهو احق به
) احلاكم
Artinya: “Berkata Abu Hurairoh: akan aku putuskan urusan diantara kamu dengan keputusan yang diputuskan oleh Rosulullah SAW. “barang siapa yang bangkrut atau mati, kemudian seseoranga menemukan harta miliknya padanya, maka oranga itu lebih berhak atasnya”.”37
Untuk kemaslahatan orang lain seperti pada muflis (pailit) karena
banyak hutang, orang yang sakit keras mendekati mati dan hama yang
diizinkan berdagang. Mencegah harta kepada muflis, untuk menjaga
kemaslaatan orang-orang yang menghutanginya. Dengan demikian orang
yang menghutangi tidak dirugikan.38
Kadar Harta Yang Ditinggalkan
Mengenai kadar harta yang ditinggalkan untuk orang paillit, maka
menurut Mazhab Maliki adalah ditinggalkan untuk hidup dirinya dan istri
dan anak-anaknya yang masih kecil untuk waktu beberapa hari lamanya.
Dalam kitab Al-Wadhihah dan Al-‘Atabiyyah dikatakan, untuk
masa sebulan dan sekitar itu, dan ditinggalkan untuknya pakaian
sepantasnya (secukupnya).
Tentang pakaian untuk istrinya, Imam Malik tidak mengeluarkan
pendapatnya, karena baginya-wajibnya pakaian untuk istri itu lantaran
37 Ibid..,
38 Moh. Rifa'I ed., Terjemah Khulashah Kifayatul Ahyar, Semarang:Toha Putra, 1978, Hlm.200
32
adanya imbalan yang diterima, yakni adanya pengambilan manfaat dari
istri. Ataukah dalam hal ini bukan karena imbalan?
Suhnun berpendapat bahwa untuk orang pailit tidak ditinggalkan
pakaian untuk istinya.
Ibnu Nafi’ meriwayatkan dari Imam Malik, bahwa untuk istri
orang yang pailit itu hanya ditinggalkan apa (pakaian) yang dapat
menutupinya. Pendapat ini dikemukakan oleh ibnu kinanah.39
Al Syaukani sependapat dengan pendapat diatas, boleh menyita
selain pakaian yang dipakainya, tempat tinggal dan kebutuhan yang
primer.40
Imam Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa seluruh harta
orang yang pailit harus dijual. Selain itu, disisakan baginya dan bagi
keluarga yang ditanggungnya nafkah hari pembagian saja. Kalau orang
yang punya harta itu meninggal sebelum pembayaran hutang, maka kain
kafan dan perlengkapan seperti itu harus didahulukan ketimbang hutang.
Yang boleh ditinggal adalah seperti pakaian, makanan pokok, sehari-hari,
buku yang sangat dibutuhkan, perlengkapan kerja, perabotan fital dalam
rumah tangga.41
Orang Pailit Yang Tidak Mempunyai Harta Sama Sekali
39 Ibnu Rusyd, log.cit., Hlm.347 40 Nasrun Rusli, op.cit., 41 Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih lima mazhab, log.cti.,Hlm. 702
33
Orang pailit yang tidak mempunyai harta sama sekali, maka
Fuqoha’ Amshar (Negeri-negeri besar) telah sependapat bahwa ketiadaan
hartanya itu berpengaruh pada penghapusan hutang hingga tiba saat
mampunya. Kecuali pendapat yang diriwayatkan dari Umar bin Abdul ‘I-
Aziz, bahwa para kreditur itu bisa memperkerjakannya. Imam Ahmad
salah seorang Fuqoha’ Amshar, juga mengemukakan pendapat seperti
ini.42
Orang yang bangkrut (Muflis) ialah orang yang tidak memiliki
harta, tidak memiliki apa yang akan dipergunakan untuk membayar
hutangnya, dan kefakirannya ini mencapai keadaan dimana dia katakan
sebagai orang yang tidak mempunyai uang.
Orang itu dinamakan Muflis (tak beruang), sekalipun sebenarnya
dia mempunyai harta, karena hartanya menjadi milik orang-orang yang
mempunyai piutang padanya, maka hartanya itu seolah-olah tidak ada,
nihil. Para Fuqoha mendefinisikan orang yang demikian sebagi orang yang
banyak hutangnya dan tidak bisa membayarnya, sehingga Hakim
menyatakan kebangkrutannya.43
Para Fuqoha juga telah berpendapat, bahwa apabila orang yang
berhutang itu mengaku pailit tanpa diketahui kebenarannya, maka ia
dipenjarakan hingga ternyata kebenarannya, atau para kreditur itu telah
mengakui kebenarannya. Jika ia demikian, maka ia dibebaskan
42 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.349 43 Sayyid Sabiq, op cit. Hlm. 209-210
34
Dari Imam Abu Hanifah diriwayatkan bahwa para kreditur boleh
berkeliling bersama dia dimanapun dia berkeliling.
Tentang mengapa semua Fuqoha berpandapat bahwa orang
tersebut harus ditahan karena hutang- meski dalam hal ini tidak ada hadits
yang shahih tentangnya, adalah karena penahanan tersebut merupakan
suatu keharusan, agar manusia itu saling memenuhi hak-hak diantara
mereka. Ini adalah dalil bagi pendapat yang mengatakan tentang
dipakainya qiyas yang menghendaki kemaslahatan, dan ini pula yang
disebut qiyas mursal. Dari Nabi SAW. Diriwayatkan:
ان النيب عليه الصالة وسالم حبس رجال في تهمة
Artinya: “sesungguhnya Nabi saw. Menahan seorag lelaki oleh sebab suatu tuduhan”
(Seingat Ibnu Rusyd, ini diriwayatkan oleh Abu Daud).44
C. Hubungan Hukum Antara Penjual Dengan Pembeli Pailit
Jual beli dan usaha bersama adakalanya tidak dilakukan dengan
pembayaran tunai, dengan cara berhutang (berangsur). Berhutang karena
darurat atau untuk menutupi suatu hajad yang mendesak tentulah dimaklumi.
Memberi hutang hukumnya sunnah, malah bisa menjadi wajib seperti
menghutangi orang yang terlantar, apabila tidak sanggup membayar
hutangnya dalam jangka waktu yang telah ditentukan sesuai kesepakatan,
44 Bidah Al-Mujtahit, log. cit., Hlm. 351
35
maka yang berhutang tersebut (debitur) akan dinyatakan pailit oleh pengadilan
atas aduan orang yang memberi hutang (kreditur) atau badan hukum. Jadi
hubungan hukum antara kreditur dengan debitur pailit itu sangat erat, saling
berhubungan satu sama lain dan harus saling berprestasi.
Misalnya dalam hukum Islam juga menentukan bahwa transaksi
ekonomi yang halal dan sah adalah jual beli secara tunai. Saat menyerahkan
barang dan saat itu pula menyerahkan harga tanpa panjar sehingga dapat
dilakuian ijab qabul, karena ucapan ijab dan qabul merupakan salah satu rukun
jual beli. Ucapan dari penjual dinamakan ijab dan penerimaan dari pembeli
dinamakan qabul.45
Sedang Jumhur Fuqaha yang berpendirian tentang adanya pengampuan
terhadap orang yang pailit mengatakan, bahwa sebelum ada keputusan tentang
kepailitannya, maka orang tersebut mempunyai kedudukan yang samadengan
orang-orang lain.46
Jadi walaupun setelah dinyatakan kepailitannya dan tetap tidak dapat
melunasi hutangnya dan akirnya terjadi hirj atau penyitaan dan sebagainya,
akan tetapi tetap terlihat keadilannya, artinya bukan penganiayaan, jadi dapat
dibedakan, misalnya: hakim menyita rumah mewah si debitur pailit dengan
meninggali rumah sederhana yang penting bisa untuk melindungi diri keluarga
45 H. Aiyub Ahmad, Transaksi Ekonomi persepektif hukum perdata dan hukum islam,
Jakarta:Kiswah, 2004, Hlm. 15 46 Ibnu Rusyd, op.cit., Hlm.335
36
si pailit dari hujan, panas dan dingin.47
Sekali lagi, pembatasan terhadap si pailit itu semata-mata hanya
supaya mereka saling memenuhu hak diantara mereka yaitu kreditur dan
debittur.
Itulah hubungan hukum antara penjual dan pembeli pailit, walau
demikian pembeli pailit (debitur) tetap harus melunasi hutang-hutangnya
kepada si penjual (kreditur).
47 Nasrun Rusli, log.cit.,Hlm. 192